Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Sindrom koroner akut merupakan sindrom yang mengacu pada keadaan dimana
menumpuknya plak aterosklerosis di dalam arteri koroner sehingga membatasi aliran
darah ke jantung. Sindrom ini menjadi pembunuh nomor satu di Amerika. Menurut
AHA, hampir 785.000 orang Amerika memiliki gejala MI dan 500.000 mempunyai gejala
yang hampir sama. Pada tahun 2006, hampir 1,4 juta pasien didiagnosis ACS, termasuk
537.000 orang dengan angina tidak stabil dan 810.000 dengan NSTEMI dan STEMI.
Setiap tahun di Amerika, sekitar 1,36 juta rawat inap diperlukan bagi para pasien dengan
MI.
Secara garis besar, faktor resiko yang berperan dapat dibagi menjadi dua. Pertama
berupa factor resiko yang dapat diperbaiki atau bisa diubah yaitu hipertensi, kolesterol,
merokok, obesitas, diabetes mellitus, hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress dan
gaya hidup (life style). Faktor resiko yang tidak dapat diubah berupa usia, jenis kelamin,
dan riwayat penyakit keluarga, genetic, dan etnik maupun ras. Laki laki memiliki resiko
yang lebih tinggi di bandingkan perempuan. Laki-laki dengan usia lebih dari 45 tahun
dan wanita dengan usia lebih dari 55 tahun dan setiap orang dengan perkembangan
penyakit yang mengarah pada penyakit arteri coroner sebelum usia 55 tahun atau 65
tahun, riwayat merokok, gaya hidup, obesitas, DMT 2, stress dan serum cholesterol, LDL
dan TG.
Nyeri dada merupakan gejala kardinal pasien infark miokard akut. Nyeri dada ini
harus dapat dibedakan dengan nyeri dada yang berasal dari luar jantung. Sifat nyeri dada
angina sebagai berikut: lokasi substernal, retrosternal, prekordial; sifat nyeri seperti
ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dipelintir; penjalaran
biasanya ke lengan kiri, ke leher, rahang bawah, punggung; nyeri membaik atau hilang
dengan istirahat; faktor pencetus seperti latihan fisik, stress, udara dingin, setelah makan;
gejala yang menyertai ialah mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas, dan
lemas. Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat. Seringkali ekstremitas pucat

disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya infark miokard dengan elevasi ST.
Pemeriksaan

penunjang

yang

dapat

dilakukan

antara

lain:

pemeriksaan

elektrokardiogram (EKG), pemeriksaan laboratorium, dan uji latih. Pemeriksaan EKG


harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di unit gawat darurat.
Pemeriksaan EKG memberikan hasil adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan
kemungkinan adanya iskemia akut. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST.
Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tidak stabil atau infark miokard
tanpa elevasi ST. Elevasi segmen ST ditemukan jika terjadi obstruksi trombus total.
Pemeriksaan laboratorium yang penting untuk diagnosa SKA adalah pemeriksaan
troponin T atau I dan pemeriksaan creatinin kinase MB (CK-MB) dan dilakukan secara
serial. Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard).1
1.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, usia rata-rata bagi presentasi ACS adalah 68 tahun dengan
ratio laki-laki dan perempuan 3 : 2. Beberapa pasien memiliki riwayat angina stabil
sedangkan yang lain merupakan presentasi awal dari penyakit arteri coroner.
Diperkirakan bahwa setiap tahunnya, di Amerika Serikat , lebih dari 780.000 orang akan
mengalami ACS. 2 Penyakit ini merupakan penyebab kematian paling sering. Lebih dari 7
juta orang meninggal karena infark miokard setiap tahunnya. Setiap 6 laki dan 7
perempuan di Eropa, meinggal karena infark miokard.9

BAB II
Definisi dan Klasifikasi
2.1 Definisi
Sindrom koroner akut adalah sindrom yang mengacu pada spektrum presentasi
klinis mulai dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment elevation
myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST
segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil
(unstable angina pectoris = UAP). Hal ini hamper selalu dikaitkan dengan pecahnya plak
aterosklerosis dan adanya thrombosis parsial atau sebagian pada arteri yang terkait.
UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP)
dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi
yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan miokardium,
sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat diperiksa.3
2.2 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG) dan pemeriksaan marka jantung, sindrom coroner akut di bagi menjadi :
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI : ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI : non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP : Unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indicator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya,
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer.. diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pectoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten pada dua sadapan yang
bersebelahan.

Diagnosis NSTEMI dan angina pectoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pectoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan
tanpa perubahan. Sementara Angina pectoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung,
yaitu Troponin I/T atau CKMB.

Bila pada hasil pemeriksaan biomarka jantung

mengalami peningkatan, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non
Elevasi (NSTEMI). Jika pada hasil pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan
sementara angina masih berangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian.
Jika hasil EKG berikutnya tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif, maka pasien dipantau selama 12-24 jam dan di EKG
ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.3

BAB III
FAKTOR RISIKO
Saat ini aterosklerosis tidak lagi dianggap timbul akibat proses penuaan saja.
Timbulnya bercak-bercak lemak pada dinding arteri koronaria bahkan sejak masa kanakkanank sudah merupakan fenomena alamiah dan tidak selalu harus menjadi lesi
aterosklerotik. Sekarang dianggap terdapat banyak factor yang saling berkaitan dalam
mempercepat proses aterogenik. Tiga factor risiko biologis yang tidak dapat diubah
yaitu : usia, jenis kelamin laki-laki, dan riwayat keluarga. Kerentanan terhadap
aterosklerosis coroner meningkat seiring bertambahnya usia. Namun demikian jarang
timbul penyakit serius sebelum usia 40 tahun, sedangkan dari usia 40 hingga 60 tahun,
insiden MI meningkat 5 kali lipat. Secara keseluruhan resiko aterosklerosis coroner lebih
besar pada laki-laki daripada perempuan.
Adanya riwayat penyakit jantung coroner dalam keluarga meingkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis premature. Adanya hipertensi seperti peningkatan
homosistein dan peningkatan lipud, ditemukan pada individu tersebut, factor risiko
tambahan lainnya masih dapat diubah sehingga berpotensi memperlambat proses
aterogenik. Factor risiko utama yang dapat diubah adalah : peningkatan kadar lipid
serum, hipertensi, merokok, diabetes mellitus, gaya hidup yang tidak aktif, obesitas, dan
peningkatan kadar homosistein.4

BAB IV
PATOFISIOLOGI

Patofisiologi
Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis arteri
koroner. Hal ini bermula ketika adanya gangguan pada plak ateroklerosis sehingga
merangsang agregasi dari platelet dan pembentukan trombus. Proses pembentukan dari
plak dimulai ketika adanya disfungsi pada endotelnkarena adanya faktor-faktor tertentu.
a. Inisiasi proses aterosklerosis : peran endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar
dan arteri sedang dan berlangsung terus menerus selama hidup sampai akhirnya
bermanifestasi sebagai ACS. Beberapa faktor yang turut berperan dalam proses
pembentukan aterosklerosis antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabates,
merokok, infeksi dan stress oksidatif juga dapat menyebabkan kerusakan endotel.
Faktor ini menyebabkan kerusakan endotel dan akan berkembang menjadi
disfungsi dari endotel yang memegang peranan penting dalam terjadinya proses
aterosklerosis. Jejas endotel akan mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan
ploriferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan pada akhirnya
menyebabkan pertumbuhan plak. Adanya disfungsi endotel ditandai dengan
berkurangnya bioavailibilitas nitrit oksida dan produksi endothelin-1 yang
berlebihan

sehingga

menganggu

hemostasis

vaskuler,

peningkatan

trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal.


b. Perkembangan proses aterosklerosis : peran proses inflamasi
Jika terjadi kerusakan pada endotel, monosit yang merupakan sel inflamatorik
akan bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dan akan berdiferensiasi menjadi
makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang berpentrasi ke dinding
arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya akan membentuk fatty streaksi.i.
makrofag yang teraktivasi akan melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin
yang makin mengaktifkan proses inflamasi dengan menarik lebih banyak limfosit
T dan sel otot polos pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah

akan bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, mensintesis kolagen lalu
membentuk kapsul fibrosis yang akan menstabilisasi plak dengan cara
membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah.
c. Stabilisasi plak aterosklerosis berhubungan dengan perbandingan natara sel otot
polos dan makrofag.LDL yang telah termodifikasi akan meningkatkan respon
inflamasi oleh makrofag. Respon inflamasi ini akan memberikan umpan balik
dan menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang
selanjutnya akan mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang
terstimulasi akan meproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi
kolagen. Semnetara di sisi lain, sel otot pebuluh darah pada tunika intima, yang
memberntuk kapsul fbrosis merupakan sumber apoptosis. Jika terjadi penipisan
fibrosis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap
zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini bisa menyebabkan terbentuknya bekuan.
Sitokin seperti IL-4 dan TGF-beta bekerja mengurangi proses inflamasi yang
terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyebuhan
luka dimana keseimbangan ini bisa bergeser satu arah dan jika bergeser ke arah
pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah
dan menjadi rentan mengalami ruptur.
d. Kebanyakan plak aterosklerosis akan berkembang perlahan-perlahan seiring
berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala baru kan muncul jika
terjadi stenosis lumen mencapai 70-80 %. Mayoritas kasus SKA terjadi karena
ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat
kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak
yang tetap stabil belum diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan inflamasi
dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur
plak maupun erosi endotel, subendotelial akan terpapar darah yang ada di
sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan
agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombisit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur

hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan sistem


hemostasis primer yang dimediasi trombosit. Ada 2 macam trombus yang dapat
terbentuk. 1) Trombus putih merupakan bekua yang kaya trombosit dan hanya
menyebabkan oklusi sebagian, 2) trombus merah, merupakan bekuan dengan kaya
fibrin, terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada
arteri. Bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih menyebabkan
terjadinya oklusi total.5
Thrombus tersebut dapat langsung menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi
iskemia dan infark.

BAB V
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien
dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut : non kardiak, Angina
stabil, kemungkinan SKA, dan defenitif SKA. 3
a. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (anginia ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/ berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang,

area

interskapular,

bahu

atau

epigastrium,

berlangsung

intermiten/beberapa menit atau persisten (>20menit). Keluhan ini sering


disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal,
sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan, sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau
usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,
keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantun coroner (PJK).
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :

Pria

Mempunyai penyakit aterosklerosis non coroner (penyakit arteri


perifer/karotis)

Mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah


pintas coroner atau IKP
9

Mempunyai factor resiko; umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,


diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga

Nyeri dengan gambaran berupa nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan
dengan respirasi atau batuk), nyeri pada abdomen tengah atau bawah, nyeri
dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari terutama di daerah apeks ventrikel
iri atau pertemuan kostokondral, nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan
tubuh atau palpasi, nyeri dada dengan durasi beberapa detik, nyeri dada yang
menjalar ke ekstremitas bawah, merupakan bukan karakteristik iskemia
miokard (nyeri dada nonkardiak).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengindentifikasi factor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Adanya suara jantung S3, ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengindentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tandatanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus
atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction
rub karena pericarditis, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
c. Pemeriksaan elektrokardiogram
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu : normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (> 20 menit)
maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI
untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada
sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostic beragam, bergantung pada usia
dan jenis kelamin. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah >0,5 mV. Depresi
segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan
tubuh segmen ST levasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika

10

STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi


segmen

ST

dikelompokkan

bersama

dengan

LBBB

(komplet)

baru/persangkalan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi


reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostic untuk STEMI
dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka
jantung tersedia. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak
ditemukan elvasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark
miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau angina pectoris tidak
stabil (APTS/UAP). Depresi segen ST yang diagnostic untuk iskemia adalah
sebesar >0,05 mV di sadapan V1-V3 dan >0,1 mV di sadapan lainnya.
d. Pemeriksaan Marka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin
I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan
adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan
penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin
I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak non koroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut,
emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada
dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari
troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CKMB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan
SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika
awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot

11

skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang


singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun
periprosedural. Pemeriksaan

infark

marka jantung sebaiknya dilakukan di

laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif


jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau
semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care
testing sebagai alat diagnostic rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu
pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka
jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka
pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.3

Unstable angina dan Non ST Elevasi Miocard Infark


Angina pektoris adalah nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada yang terjadi
karena otot jantung tidak mendapatkan cukup oksigen dan merupakan gejala penyakit
jantung koroner yang paling banyak terjadi. Untuk menegakkan diagnosis UAP dan
NSTEMI didasarkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat disertai dengan
perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika marka
jantung meningkat, diagnosis mengarah pada NSTEMI, jika tidak meningkat, diagnosis
mengarah UAP. Unstable Angina dan Infark Miokard akut tanpa elevasi segmen ST

12

(NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi


dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda.
Sebagian besar, sindrom ini berkembang karena adanya penurunan dari perfusi miokard
akibat dari penyempitan koroner. Hal ini disebabkan karena adanya pembentukan
trombus yang selanjutnya akan menyebabkan gangguan pada plak aterosklerotik.
Di bandingkan dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP lebih tinggi, di mana
pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki lebih banyak komorbiditas.
Selain itu, mortalitas awal NSTEMI lebih rendah di bandingkan STEMI namun setelah 6
bulan, mortalitas keduanya berimbang dan secara jangka panjang, mortalitas NSTEMI
lebih tinggi.3
Presentasi Klinik
Presentasi klinik pada NSTEMI dan UAP dapat berupa nyeri tipikal berupa rasa
tertekan/berat didaerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler,
bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten lebih dari 20 menit disertai
mual, muntah, nyeri abdomonal, sesak napas, dan sinkop. Perasaan nyeri seperti diperas,
perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan
menjadi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. 2 New onset angina : baru pertama
kali timbul, saat aktivitas fisik sehari-hari, aktifitas ringan/ istirahat, Increasing angina :
sebelumnya sudah terjadi, menjadi lebih lama, sering, nyeri atau dicetuskan aktivitas
lebih ringan. Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas, mual
sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani
seringkali tidak ada yang khas. 3
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi (ECG)
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat.

Pemeriksaan ECG sangat penting baik untuk

diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST

13

yang baru menunjukan kemungkinan adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan


gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST > i 0.5mm dan
gelombang T negatif kurang dari 2mm, tidak spesifik untuk iskemi, dan dapat disebabkan
karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI
1-6% ECG juga normal. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap
keluhan angina timbul kembali.3
Depresi segmen ST > 0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk
diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST
yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST > 1 mm. Jika
pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina masih
berlangsung, pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika pada keadaan EKG ulang
tetap menunjukkan kelainan nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara
keluhannya sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau 12-24 jam untuk dilakukan EKG
ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang. Bila selama masa pemantauan terjadi
perubahan EKG, misalnya depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang
signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipastikan.3
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai
petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European Society of Cardiology
(ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24
jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat
kenaikan troponin.
Biomarker utama dalam mendiagnosis adanya nekrosis miokardial adalah
Troponin I dan Troponin T. Adapun yang mendukung troponin untuk di deteksi pada
syndrome koroner akut yaitu tingginya konsentrasi dalam miokardium. Tes yang negative
pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis
infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam
darah perifer 3-4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Apabila
pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan

14

meningkat dalam waktu 4 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai
2 hari.
Pemeriksaan Noninvasiv
Ekokardiograf transtorakal dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara
umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia
segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat
iskemia menghilang. Pemeriksaan ini tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak
stabil secara langsung. Tetapi bila ditemukan adanya gangguan faal vantrikel kiri, adanya
mitral insufisiensi dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan
prognosis yang kurang baik.
Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu
menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri,
EKG istrahat normal, dan marka jantung yang negative. Jika ditemukan hasil positif,
terlebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan angiografi coroner, untuk menilai keadaan pembuluh coronernya apakah
perlu tindakan revaskularisasi (PCI atau CABG) karena resiko terjadinya komplikasi
kardiovaskular dalam waktu mendatanh cukup besar.3
Stratifikasi Risiko
Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya
(konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI. Beberapa cara
stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk ACS. Beberapa stratifikasi
risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction) dan
GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid
risk stratification of Unstable angina patients Suppress Adverse outcomes with Early
implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko
terjadinya perdarahan untuk menentukan pilihan penggunaan antirtrombolitik.

15

Skor TIMI
Ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing-masing setara 1
poin.

Skor GRACE
Untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6
bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah
sakit, pasien dengan skor risiko GRACE 108 dianggap mempunyai risiko
rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko
GRACE 109-140 dan > 140 berturutan mempunyai risiko kematian
menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6
bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE
88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian < 3%). Sementara
itu pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan
mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).

16

Kelas Killip
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam
30 hari.

17

Terapi
Berdasarkan stratifikasi resiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi
invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melibatkan dilakukannya
angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi
1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi
2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria
risiko tinggi primer.
3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi atau dengan
gejala berulang
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (Kelas IIIA)
Dalam strategi konservatif, evaluasi awal tidak dilakukan secara rutin.
Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan
prekordial yang berdampingan atau 1mm pada dua sadapan ektremitas. Periksaan
enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is
muscle.2 Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari

18

jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung
koroner pada keluarga.3,6
Presentasi Klinis
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi
hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.6
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya,
karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut6 :

Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.

Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.

Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan
lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru,

diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus
dan usia lanjut.2 Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark
anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau
19

hipotensi) dan hampir setengah pasien infark posterior menunjukkan hiperaktivitas


parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).6
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena
disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai
380C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI .6
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri
dada atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di UGD. Pemeriksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti
kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara
kontinu harus dilakukan unutk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.6
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard
gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika
obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak
kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST dan biasanya megalami UA atau
NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural
digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan
infark miokard nontransmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara
segmen ST atau gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG

20

dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q
atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural.6

Gambar : EKG menunjukkan STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I dan VL
Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac
Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan
sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal,
karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak
tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard)

CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat
pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.

21

cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu2:

Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 48 jam.

Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.

Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.6

22

BAB VI
PENATALAKSANAAN
6.1 Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina) dan NSTEMI
Oksigen
Adanya tambahan oksigen harus di berikan pada pasien dengan NSTE-ACS
dengan saturasi oksigen arterinya kurang dari 90%. Respiratory distress, atau resiko
tinggi lainnya. UA/NSTEMI CPG 2007 merekomendasikan pemberian rutin oksigen
pada semua pasien dengan NSTE-ACS selama 6 jam pertama setelah munculnya gejala
dengan alasan keamanan dan mengurangi resio hipoksemia. (Class I.C)7
Morfin
Jika tidak ada kontraindikasi, pemberian morfin sulfat melalui intravena dapat
wajar diberikan untuk pasien dengan NSTE-ACS jika adanya nyeri dada yang terus
berlanjut meskipun telah diberi penanganan dengan anti iskemia secara maksimal. (Class
IIb-B)
Terapi Medikamentosa
Anti Iskemia

Penyekat beta (Beta Blocker)


Pemberian Beta blocker dengan dosis awal di berikan secara intravena jika
ditemukan nyeri dada yang sedang berlangsung. Diikuti dengan pemberian
oral selama tidak ada kontraindikasi. Penyekat beta direkomendasikan bagi
pasien UAP atau NSTEMI terutama jika terdapat hipertensi dan/atau
takikardi. Diberikan dalam 24 jam pertama dan juga diindikasikan untuk
semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada kontraidikasi.
Pada pasien dengan iskemia berulang dan kontraindikasi pemberian penyekat
beta, nondihydropyridine calcium antagonist merupakan terapi inisial selama
tidak ada disfungsi LV dan kontraindikasi lainnya (Class 1.B)

23

Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi
wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai
dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Pasien dengan UAP/NSTEMI dengan nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali
pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika
tidak ada kontraindikasi. (Class I.C). Nitrat intravena diindikasikan pada
pasien dengan NSTE-ACS, gagal jantung, atau hipertensi dalam

48 jam

pertama (Class I-B).3,7

Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekana darah sistolik <90mmHg
atau >30mmHg dibawah nilai awal, bradikari berat (<50 kali permenit),
takikardi tanpa gejala gagal jantung, atau infarks ventrikel kanan serta nitrat
tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fofosiesterase :sildenafil dalam 24 jam , tadalafil dalam 48 jam. (Class III-C).

24

Calcium channel blockers (CCBs)


Antagonis kalsium dibagi dalam 2 golongan besar: golongan dihidropiridin
seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem dan
verapamil. Kedua golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah.2 Golongan dihidropiridin mempunyai efek
vasodilatasi lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV
lebih sedikit, dan efek inotropik negatif juga lebih kecil. Sebaliknya Verapamil
dan diltiazem mempunyai efek terhadap nodus SA dan nodus AV yang
menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. CCB nondihidroperidin
direkomendasikan untuk pasien yang mengalami kontraindikasi terhadap
penyekat beta (Class I-B), CCB Nondihidropiridin oral direkomendasikan
pada pasien dengan NSTE-ACS yang memiliki iskemia berulang setelah
pemberian penye; 300 mg atau 600 mg kat beta dan nitrat (Class I-C). CCB
direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapat
terapa penyekat beta namun gagal, kontraindikasi atau efek yang tidak bisa
diperkirakan.(Class I-C). CCB long-acting dan nitra direkomendasikan pada
pasien dengan spasme arteri koroner.3,7

Antiplatelet

Non-enteric-coated, aspirin dengan dikunya (162 mg 325 mg) harus


diberikan pada semua pasien dengan NSTE-ACS tanpa kontraindikasi
secepat mungkin setelah timbulnya gejala dan dosis maintenens 81 mg325 mg harus dilanjutkan (Class I-A)

25

Pada pasien dengan NSTE-ACS yang tidak dapat menerima aspirin karena
hipersensitivitas atau karena intoleransi gastrointestinal, loading doase
dari clopidogrel diikuti dengan dosis harian harus diberikan (Class I-B)

P2Y12 inhibitor (baik clopidogrel maupun ticagrelor) selain aspirin harus


diberikan hingga 12 bulan kepada semua pasien NSTE-ACS tanpa
kontraindikasi. Pilihan berupa Clopidogrel dengan dosis 300 mg atau 600
mg loading dose, dan 75 mg dosis harian, Ticaggrelor dengan dosis 180
mg loading dose, lalu 90 mg 2 kali sehari.

Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole_ diberikan


bersama DAPT (dual antiplatelet therapy aspirin dan penghambat
reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan
saluran cerna atau ulkus peptikum dan perlu diberikan pada pasien dengan
beragam factor risiko seperti infeksi H. pylori, usia > 65 tahun serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid. (Class I-A)

Ticagrelor atau Clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan atau


dilanjutkan setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman. (Class IIaB)

Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat


COX- 2 selektif dan NSAID non selektif) (Class III-C).3,7

Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan
perdarahan (Class I-C). Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIc/IIIa dapat
diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya
peningkatan troponin, thrombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Class I26

B) Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Class III-A) atau
pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Class III-A)
Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.

Pemberian antikoagulan disarakan untuk semua pasien yang mendapatkan


terapi antiplatelet (Class I-A)

Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan resiko perdarahan dan iskemia


dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Class I-C)

Fondaparinuks secara keseluruha memiliki profil keamanan berbanding


resiko yang paling baik. Dosis yang diberikan 2,5 mg secara subkutan
(Class I-A)

Enoksaparin disarankan untuk pasien dengan resiko perdarahan rendah


apabila fondaparinuks tidak tersedia (Class I-B).

Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya diindikasikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Class I-C)

Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi


perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Class
I-A)

Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Class III-B)

27

Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan

Penggunaan warfarin bersama aspirin dan atau clopidogrel dapat


meningkatkan resiko perdaraham dan oleh karena itu harus dipantau ketat
(Class I-A)

Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat


indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin
dan dipilih target INR terendah yang masih efektif (Class IIa-C)

Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama


pada penderita tua atau yang resiko tinggi perdarahan, target INR 2-2,5
lebih terpilih (Class IIb-B)

Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodelling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang
disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.

ACE Inhibitor diindikasikan penggunannya untuk jangka panjang, kecuali


ada kontraindikasi pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40%
dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal
kronik (PGK) (Class I-A)

ACE Inhibitor hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain


seperti di atas (Class IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang
telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Class IIa-C)

Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark miokard


yang intoleran terhadap ACE Inhibitor dan mempunyai fraksi ejeksi
ventrikel kiri < 40 % dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Class
I-B)

28

Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydoxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus
diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani
terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat kontraindikasi (Class I-A). Terapi statin dosis
tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk
mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL (Class I-A). Menurunkan kadar kolesterol
LDL sampai < 70 mg/dL mungkin untuk dicapai.3,7

29

6.2 ST Elevation Miocard Infark


Penatalaksanaan
Sebisa mungkin penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat berdasarkan
jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi reperfusi secepatnya
secara efektif dan bila fasilitas memadai sebenyak mungkin pasirn dilakukan IKP. Semua
rumah sakit dan system emergensi media yang terlibat dalam penanganan pasien STEMI
harus mencatat dan mempertahakan segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk
mencapai dan mempertahankan target kualitas yaitu waktu dari kontak medis pertama
perekaman EKG pertama 10 menit, waktu dari kontak medis pertama hingga
pemberian terapi reperfusi : untuk fibrinolysis 30 menit dan untuk IKP primer 90
menit ( 60 menit apabila pasien dating dengan awitan kurang dari 120 menit atau
langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP).3

30

Oksigen
Suplemen Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri < 90. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.8
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Terapi Nitrat harus dihindari pada
pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmhg atau pasien yang dicurigai menderita
infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan
hiotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan phospodiesterase-5
inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi
nitrat.8
Analgesia
Morfin sulphate (2-4 mg IV dengan penambahan 2 8 mg diulang dengan interval 5-15
menit) adalah analgesic pilihan untuk managemen nyeri pada STEMI. (Class I-C)
Aspirin
Aspirin merupakan golongan anti platelet yang merupakan rekomendasi dari ACC/AHA
untuk terapi STEMI. Pada STEMI Kelas I yaitu aspirin harus dikunyah oleh pasien dan
perawat tidak boleh memberikan aspirin sebelum menunjukkan adanya diagnosa STEMI.
Dosis awal yang harus diberikan adalah 162 mg (Level of Evidence : A) sampai 325 mg
(Level of Evidence : C). Walaupun begitu beberapa penelitian menggunakan entericcoated aspirin untuk dosis awal, namun dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non
enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal.8
Beta Blocker
Terapi beta blocker dianjurkan pada pasien yang tidak memiliki kontraindikasi terutama
bila ditemukan adanya hipertensi dan takiaritmia (Class I-B). Manfaat beta blocker pada
pasien STEMI akan memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,

31

mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmi
ventrikel yang serius. Terapi beta blocker pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Terapi beta blocker oral harus
diberikan segera untuk pasien tanpa kontraindikasi, terlepas dari adanya pemberian
fibrinolitik dan PCI primer (Class IA). 8
ACE Inhibitor
Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark
anterior, riwayat infark sebelumnya dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global).ACE
inhibitor harus diberikan secara oral selama fase pemulihan pada pasien yang mengalami
toleransi pada medikasi ini dan harus dilanjutkan dalam jangka waktu panjang. (Class IA). Blok aldosterone jangka panjang harus diresepkan untuk pasien pasca-STEMI tanpa
disfungsi organ yang signifikan (creatinin harus kurang dari atau sama dengan 2,5 mg.dL
pada laki-laki dan kurang dari atau sama dengan 2,0 mg/dL pada wanita) atau
hiperkalemia yang sudah menerima dosis terapi ACE inhibitor, mempunyai LVEF kurang
dari 0,40 dan mempunyai gejala gagal jantung atau diabetes. (Class I-A).8
Antitrombotik
Intravena UFH dengan dosis rekomendasi bolus 60 U/kg maximum 4000 U, dilanjutkan
unfus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam) atau LMWH harus diberikan pada
pasien yang telah mengalami STEMI yang mempunyai resiko tinggi mengalami emboli
sistemik. (Class IIa-C)8
Reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua
pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap
atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa
mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG
adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam
yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi
reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang

32

memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan
waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,
reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.3
Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolisis merupakan strategi reperfusi penting terutama jika PCI Primer tidak
dapat diberikan pada pasien STEMI dalam batas waktu yang direkomendasikan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasienpasien tanpa kontraindikasi apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Class I-A). Pada pasienpasien yang datang segera (< 2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan
risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak
medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit (Class IIa-B). Agen yang spesifik
(Tenekteplase, altaplase, reteplase) terhadap fibrin lebih disarankan dibandingkan agenagen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Class I-B). Aspirin oral atau
intravena harus diberikan (Class I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai
tambahan untuk aspirin. (Class I-A)3

33

BAB VII
PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan prognosis pasca IMA :

Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana, S3 gallop.


Kongesti paru dan syok kardiogenik

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)

TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaa fisis.6

34

BAB VIII
KESIMPULAN
Sindrom Koroner Akut merupakan salah satu manifestasi klinis yang utama dan
paling sering mengakibatkan kematian. Sindrom ini merupakan PJK progresif dan pada
perjalanan penyakitnya sering terjadi perubahan dari keadaan stabil menjadi keadaan
tidak stabil atau akut. Mekanisme terjadinya SKA berhubungan dengan adanya gangguan
pada plak ateroklerosis sehingga merangsang agregasi dari platelet dan pembentukan
trombus sehingga menyebabkan adanya disfungsi pada endotel.
Manifestasi klinis SKA dapat berupa Angina Pektoris tidak stabil/UA, Non ST
elevation myocardial infarction (NSTEMI) atau ST elevation myocardial infarction
(STEMI). Keadaan ini merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri di dada atau gejalagejala lain sebagai akibat iskemia miokard. SKA di diagnosis dengan adanya nyeri dada
tipikal, hasil EKG, dan biomarker jantung. UA dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan
presentasi kinis yang sama. Bila ditemukan petanda biokimia nekrosis miokard yaitu
adanya peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB maka diagnosis adalah
NSTEMI, sedangkan bila petanda biokimia tidak meningi, maka diagnosis adalah UA.
Untuk penatalaksanaannya sendiri dengan menggunakan terapi farmakologis dan
reperfusi pada STEMI

35

DAFTAR PUSTAKA
1. Overbaough K.J. Acute coronary syndrome. American Journal of Nursing. Vol
009. No. 5. 2009. Hal 42
2. European Heart Journal. 2015 ESC Guidelines for the management of acute
coronary syndrome in patients presenting without persistent ST-segment
elevation. 2015 : hal 2
3. PERKI. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Jakarta : Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Hal : 3-9
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2006. Hal: 579-580
5. Myrtha R. Patofisiologi sindrom koroner akut. CDK 192. Vol. 39. No 4. 2012.
Hal 262-263
6. Alwi I. Tatalaksana infark miokard dengan elevasi ST. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Ed.VI. Jakarta : 2014 : hal 1457-1474
7. American Heart Association. 2014 AHA/ACC Guidelines for the Management of
patients with Non-ST-Elevation acute coronary syndrome.2014 :hal 361-363
8. American Collage of Cardiology Foundation. ACC/AHA Guidelines for the
Management of Patients with ST-elevation myocardial infarction-executive
summary. 2004 : 596-597
9. European Heart Journal. ESC guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. 2012. Hal. 5,16
10. Coven DL. Acute coronary syndrome, Medscape; 2015 September 09. (dikutip
tanggal

2016

Desember

6)

di

dapatkan

dari

www.emedicine.medscape.com/article/1910735

36

37

Anda mungkin juga menyukai