PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Sindrom koroner akut merupakan sindrom yang mengacu pada keadaan dimana
menumpuknya plak aterosklerosis di dalam arteri koroner sehingga membatasi aliran
darah ke jantung. Sindrom ini menjadi pembunuh nomor satu di Amerika. Menurut
AHA, hampir 785.000 orang Amerika memiliki gejala MI dan 500.000 mempunyai gejala
yang hampir sama. Pada tahun 2006, hampir 1,4 juta pasien didiagnosis ACS, termasuk
537.000 orang dengan angina tidak stabil dan 810.000 dengan NSTEMI dan STEMI.
Setiap tahun di Amerika, sekitar 1,36 juta rawat inap diperlukan bagi para pasien dengan
MI.
Secara garis besar, faktor resiko yang berperan dapat dibagi menjadi dua. Pertama
berupa factor resiko yang dapat diperbaiki atau bisa diubah yaitu hipertensi, kolesterol,
merokok, obesitas, diabetes mellitus, hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress dan
gaya hidup (life style). Faktor resiko yang tidak dapat diubah berupa usia, jenis kelamin,
dan riwayat penyakit keluarga, genetic, dan etnik maupun ras. Laki laki memiliki resiko
yang lebih tinggi di bandingkan perempuan. Laki-laki dengan usia lebih dari 45 tahun
dan wanita dengan usia lebih dari 55 tahun dan setiap orang dengan perkembangan
penyakit yang mengarah pada penyakit arteri coroner sebelum usia 55 tahun atau 65
tahun, riwayat merokok, gaya hidup, obesitas, DMT 2, stress dan serum cholesterol, LDL
dan TG.
Nyeri dada merupakan gejala kardinal pasien infark miokard akut. Nyeri dada ini
harus dapat dibedakan dengan nyeri dada yang berasal dari luar jantung. Sifat nyeri dada
angina sebagai berikut: lokasi substernal, retrosternal, prekordial; sifat nyeri seperti
ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dipelintir; penjalaran
biasanya ke lengan kiri, ke leher, rahang bawah, punggung; nyeri membaik atau hilang
dengan istirahat; faktor pencetus seperti latihan fisik, stress, udara dingin, setelah makan;
gejala yang menyertai ialah mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas, dan
lemas. Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat. Seringkali ekstremitas pucat
disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya infark miokard dengan elevasi ST.
Pemeriksaan
penunjang
yang
dapat
dilakukan
antara
lain:
pemeriksaan
BAB II
Definisi dan Klasifikasi
2.1 Definisi
Sindrom koroner akut adalah sindrom yang mengacu pada spektrum presentasi
klinis mulai dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment elevation
myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST
segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil
(unstable angina pectoris = UAP). Hal ini hamper selalu dikaitkan dengan pecahnya plak
aterosklerosis dan adanya thrombosis parsial atau sebagian pada arteri yang terkait.
UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil (UAP)
dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi
yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan miokardium,
sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat diperiksa.3
2.2 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG) dan pemeriksaan marka jantung, sindrom coroner akut di bagi menjadi :
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI : ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI : non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP : Unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indicator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya,
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer.. diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pectoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten pada dua sadapan yang
bersebelahan.
Diagnosis NSTEMI dan angina pectoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pectoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan
tanpa perubahan. Sementara Angina pectoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung,
yaitu Troponin I/T atau CKMB.
mengalami peningkatan, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non
Elevasi (NSTEMI). Jika pada hasil pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan
sementara angina masih berangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian.
Jika hasil EKG berikutnya tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif, maka pasien dipantau selama 12-24 jam dan di EKG
ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.3
BAB III
FAKTOR RISIKO
Saat ini aterosklerosis tidak lagi dianggap timbul akibat proses penuaan saja.
Timbulnya bercak-bercak lemak pada dinding arteri koronaria bahkan sejak masa kanakkanank sudah merupakan fenomena alamiah dan tidak selalu harus menjadi lesi
aterosklerotik. Sekarang dianggap terdapat banyak factor yang saling berkaitan dalam
mempercepat proses aterogenik. Tiga factor risiko biologis yang tidak dapat diubah
yaitu : usia, jenis kelamin laki-laki, dan riwayat keluarga. Kerentanan terhadap
aterosklerosis coroner meningkat seiring bertambahnya usia. Namun demikian jarang
timbul penyakit serius sebelum usia 40 tahun, sedangkan dari usia 40 hingga 60 tahun,
insiden MI meningkat 5 kali lipat. Secara keseluruhan resiko aterosklerosis coroner lebih
besar pada laki-laki daripada perempuan.
Adanya riwayat penyakit jantung coroner dalam keluarga meingkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis premature. Adanya hipertensi seperti peningkatan
homosistein dan peningkatan lipud, ditemukan pada individu tersebut, factor risiko
tambahan lainnya masih dapat diubah sehingga berpotensi memperlambat proses
aterogenik. Factor risiko utama yang dapat diubah adalah : peningkatan kadar lipid
serum, hipertensi, merokok, diabetes mellitus, gaya hidup yang tidak aktif, obesitas, dan
peningkatan kadar homosistein.4
BAB IV
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi
Hampir semua kasus infark miokardium disebabkan oleh aterosklerosis arteri
koroner. Hal ini bermula ketika adanya gangguan pada plak ateroklerosis sehingga
merangsang agregasi dari platelet dan pembentukan trombus. Proses pembentukan dari
plak dimulai ketika adanya disfungsi pada endotelnkarena adanya faktor-faktor tertentu.
a. Inisiasi proses aterosklerosis : peran endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar
dan arteri sedang dan berlangsung terus menerus selama hidup sampai akhirnya
bermanifestasi sebagai ACS. Beberapa faktor yang turut berperan dalam proses
pembentukan aterosklerosis antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabates,
merokok, infeksi dan stress oksidatif juga dapat menyebabkan kerusakan endotel.
Faktor ini menyebabkan kerusakan endotel dan akan berkembang menjadi
disfungsi dari endotel yang memegang peranan penting dalam terjadinya proses
aterosklerosis. Jejas endotel akan mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan
ploriferasi sel, kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan pada akhirnya
menyebabkan pertumbuhan plak. Adanya disfungsi endotel ditandai dengan
berkurangnya bioavailibilitas nitrit oksida dan produksi endothelin-1 yang
berlebihan
sehingga
menganggu
hemostasis
vaskuler,
peningkatan
akan bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, mensintesis kolagen lalu
membentuk kapsul fibrosis yang akan menstabilisasi plak dengan cara
membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah.
c. Stabilisasi plak aterosklerosis berhubungan dengan perbandingan natara sel otot
polos dan makrofag.LDL yang telah termodifikasi akan meningkatkan respon
inflamasi oleh makrofag. Respon inflamasi ini akan memberikan umpan balik
dan menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang
selanjutnya akan mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang
terstimulasi akan meproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi
kolagen. Semnetara di sisi lain, sel otot pebuluh darah pada tunika intima, yang
memberntuk kapsul fbrosis merupakan sumber apoptosis. Jika terjadi penipisan
fibrosis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah terhadap
zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini bisa menyebabkan terbentuknya bekuan.
Sitokin seperti IL-4 dan TGF-beta bekerja mengurangi proses inflamasi yang
terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara seimbang seperti pada proses penyebuhan
luka dimana keseimbangan ini bisa bergeser satu arah dan jika bergeser ke arah
pertumbuhan plak, maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah
dan menjadi rentan mengalami ruptur.
d. Kebanyakan plak aterosklerosis akan berkembang perlahan-perlahan seiring
berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala baru kan muncul jika
terjadi stenosis lumen mencapai 70-80 %. Mayoritas kasus SKA terjadi karena
ruptur plak aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat
kurang dari 50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak
yang tetap stabil belum diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan inflamasi
dalam plak merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur
plak maupun erosi endotel, subendotelial akan terpapar darah yang ada di
sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan
agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombisit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur
BAB V
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien
dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut : non kardiak, Angina
stabil, kemungkinan SKA, dan defenitif SKA. 3
a. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (anginia ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/ berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang,
area
interskapular,
bahu
atau
epigastrium,
berlangsung
Pria
Nyeri dengan gambaran berupa nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan
dengan respirasi atau batuk), nyeri pada abdomen tengah atau bawah, nyeri
dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari terutama di daerah apeks ventrikel
iri atau pertemuan kostokondral, nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan
tubuh atau palpasi, nyeri dada dengan durasi beberapa detik, nyeri dada yang
menjalar ke ekstremitas bawah, merupakan bukan karakteristik iskemia
miokard (nyeri dada nonkardiak).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengindentifikasi factor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Adanya suara jantung S3, ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengindentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tandatanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus
atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction
rub karena pericarditis, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
c. Pemeriksaan elektrokardiogram
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu : normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (> 20 menit)
maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI
untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada
sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostic beragam, bergantung pada usia
dan jenis kelamin. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah >0,5 mV. Depresi
segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan
tubuh segmen ST levasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika
10
ST
dikelompokkan
bersama
dengan
LBBB
(komplet)
11
infark
12
diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST
13
14
meningkat dalam waktu 4 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai
2 hari.
Pemeriksaan Noninvasiv
Ekokardiograf transtorakal dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara
umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia
segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat
iskemia menghilang. Pemeriksaan ini tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak
stabil secara langsung. Tetapi bila ditemukan adanya gangguan faal vantrikel kiri, adanya
mitral insufisiensi dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan
prognosis yang kurang baik.
Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu
menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri,
EKG istrahat normal, dan marka jantung yang negative. Jika ditemukan hasil positif,
terlebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan angiografi coroner, untuk menilai keadaan pembuluh coronernya apakah
perlu tindakan revaskularisasi (PCI atau CABG) karena resiko terjadinya komplikasi
kardiovaskular dalam waktu mendatanh cukup besar.3
Stratifikasi Risiko
Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya
(konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI. Beberapa cara
stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk ACS. Beberapa stratifikasi
risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction) dan
GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid
risk stratification of Unstable angina patients Suppress Adverse outcomes with Early
implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko
terjadinya perdarahan untuk menentukan pilihan penggunaan antirtrombolitik.
15
Skor TIMI
Ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing-masing setara 1
poin.
Skor GRACE
Untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6
bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah
sakit, pasien dengan skor risiko GRACE 108 dianggap mempunyai risiko
rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko
GRACE 109-140 dan > 140 berturutan mempunyai risiko kematian
menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6
bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE
88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian < 3%). Sementara
itu pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan
mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).
16
Kelas Killip
Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko
berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark
miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam
30 hari.
17
Terapi
Berdasarkan stratifikasi resiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi
invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melibatkan dilakukannya
angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi
1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi
2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria
risiko tinggi primer.
3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi atau dengan
gejala berulang
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (Kelas IIIA)
Dalam strategi konservatif, evaluasi awal tidak dilakukan secara rutin.
Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri dada
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan
prekordial yang berdampingan atau 1mm pada dua sadapan ektremitas. Periksaan
enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is
muscle.2 Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal dari
18
jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula
apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung
koroner pada keluarga.3,6
Presentasi Klinis
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,
seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi
hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.6
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan nyeri dada lainnya,
karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut6 :
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sperti
ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan
lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus
dan usia lanjut.2 Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali
ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark
anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau
19
20
dengan lokasi infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q
atau non Q menggantikan infark mural atau nontransmural.6
Gambar : EKG menunjukkan STEMI dengan evolusi patologik Q wave di lead I dan VL
Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac
Specific Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan
sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal,
karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak
tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard)
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat
pada operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.
21
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 48 jam.
Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.6
22
BAB VI
PENATALAKSANAAN
6.1 Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina) dan NSTEMI
Oksigen
Adanya tambahan oksigen harus di berikan pada pasien dengan NSTE-ACS
dengan saturasi oksigen arterinya kurang dari 90%. Respiratory distress, atau resiko
tinggi lainnya. UA/NSTEMI CPG 2007 merekomendasikan pemberian rutin oksigen
pada semua pasien dengan NSTE-ACS selama 6 jam pertama setelah munculnya gejala
dengan alasan keamanan dan mengurangi resio hipoksemia. (Class I.C)7
Morfin
Jika tidak ada kontraindikasi, pemberian morfin sulfat melalui intravena dapat
wajar diberikan untuk pasien dengan NSTE-ACS jika adanya nyeri dada yang terus
berlanjut meskipun telah diberi penanganan dengan anti iskemia secara maksimal. (Class
IIb-B)
Terapi Medikamentosa
Anti Iskemia
23
Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi
wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai
dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Pasien dengan UAP/NSTEMI dengan nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali
pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika
tidak ada kontraindikasi. (Class I.C). Nitrat intravena diindikasikan pada
pasien dengan NSTE-ACS, gagal jantung, atau hipertensi dalam
48 jam
Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekana darah sistolik <90mmHg
atau >30mmHg dibawah nilai awal, bradikari berat (<50 kali permenit),
takikardi tanpa gejala gagal jantung, atau infarks ventrikel kanan serta nitrat
tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fofosiesterase :sildenafil dalam 24 jam , tadalafil dalam 48 jam. (Class III-C).
24
Antiplatelet
25
Pada pasien dengan NSTE-ACS yang tidak dapat menerima aspirin karena
hipersensitivitas atau karena intoleransi gastrointestinal, loading doase
dari clopidogrel diikuti dengan dosis harian harus diberikan (Class I-B)
B) Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Class III-A) atau
pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Class III-A)
Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya diindikasikan apabila
fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Class I-C)
27
28
Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydoxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus
diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani
terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat kontraindikasi (Class I-A). Terapi statin dosis
tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk
mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL (Class I-A). Menurunkan kadar kolesterol
LDL sampai < 70 mg/dL mungkin untuk dicapai.3,7
29
30
Oksigen
Suplemen Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri < 90. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.8
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Terapi Nitrat harus dihindari pada
pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmhg atau pasien yang dicurigai menderita
infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan
hiotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan phospodiesterase-5
inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi
nitrat.8
Analgesia
Morfin sulphate (2-4 mg IV dengan penambahan 2 8 mg diulang dengan interval 5-15
menit) adalah analgesic pilihan untuk managemen nyeri pada STEMI. (Class I-C)
Aspirin
Aspirin merupakan golongan anti platelet yang merupakan rekomendasi dari ACC/AHA
untuk terapi STEMI. Pada STEMI Kelas I yaitu aspirin harus dikunyah oleh pasien dan
perawat tidak boleh memberikan aspirin sebelum menunjukkan adanya diagnosa STEMI.
Dosis awal yang harus diberikan adalah 162 mg (Level of Evidence : A) sampai 325 mg
(Level of Evidence : C). Walaupun begitu beberapa penelitian menggunakan entericcoated aspirin untuk dosis awal, namun dengan menggunakan aspirin dalam bentuk non
enteric coated lebih cepat asorbsinya melalui buccal.8
Beta Blocker
Terapi beta blocker dianjurkan pada pasien yang tidak memiliki kontraindikasi terutama
bila ditemukan adanya hipertensi dan takiaritmia (Class I-B). Manfaat beta blocker pada
pasien STEMI akan memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
31
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmi
ventrikel yang serius. Terapi beta blocker pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar
pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Terapi beta blocker oral harus
diberikan segera untuk pasien tanpa kontraindikasi, terlepas dari adanya pemberian
fibrinolitik dan PCI primer (Class IA). 8
ACE Inhibitor
Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark
anterior, riwayat infark sebelumnya dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global).ACE
inhibitor harus diberikan secara oral selama fase pemulihan pada pasien yang mengalami
toleransi pada medikasi ini dan harus dilanjutkan dalam jangka waktu panjang. (Class IA). Blok aldosterone jangka panjang harus diresepkan untuk pasien pasca-STEMI tanpa
disfungsi organ yang signifikan (creatinin harus kurang dari atau sama dengan 2,5 mg.dL
pada laki-laki dan kurang dari atau sama dengan 2,0 mg/dL pada wanita) atau
hiperkalemia yang sudah menerima dosis terapi ACE inhibitor, mempunyai LVEF kurang
dari 0,40 dan mempunyai gejala gagal jantung atau diabetes. (Class I-A).8
Antitrombotik
Intravena UFH dengan dosis rekomendasi bolus 60 U/kg maximum 4000 U, dilanjutkan
unfus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam) atau LMWH harus diberikan pada
pasien yang telah mengalami STEMI yang mempunyai resiko tinggi mengalami emboli
sistemik. (Class IIa-C)8
Reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan untuk semua
pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap
atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa
mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG
adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam
yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi
reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang
32
memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan
waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,
reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.3
Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolisis merupakan strategi reperfusi penting terutama jika PCI Primer tidak
dapat diberikan pada pasien STEMI dalam batas waktu yang direkomendasikan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasienpasien tanpa kontraindikasi apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Class I-A). Pada pasienpasien yang datang segera (< 2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan
risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak
medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit (Class IIa-B). Agen yang spesifik
(Tenekteplase, altaplase, reteplase) terhadap fibrin lebih disarankan dibandingkan agenagen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Class I-B). Aspirin oral atau
intravena harus diberikan (Class I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai
tambahan untuk aspirin. (Class I-A)3
33
BAB VII
PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan prognosis pasca IMA :
TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaa fisis.6
34
BAB VIII
KESIMPULAN
Sindrom Koroner Akut merupakan salah satu manifestasi klinis yang utama dan
paling sering mengakibatkan kematian. Sindrom ini merupakan PJK progresif dan pada
perjalanan penyakitnya sering terjadi perubahan dari keadaan stabil menjadi keadaan
tidak stabil atau akut. Mekanisme terjadinya SKA berhubungan dengan adanya gangguan
pada plak ateroklerosis sehingga merangsang agregasi dari platelet dan pembentukan
trombus sehingga menyebabkan adanya disfungsi pada endotel.
Manifestasi klinis SKA dapat berupa Angina Pektoris tidak stabil/UA, Non ST
elevation myocardial infarction (NSTEMI) atau ST elevation myocardial infarction
(STEMI). Keadaan ini merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri di dada atau gejalagejala lain sebagai akibat iskemia miokard. SKA di diagnosis dengan adanya nyeri dada
tipikal, hasil EKG, dan biomarker jantung. UA dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan
presentasi kinis yang sama. Bila ditemukan petanda biokimia nekrosis miokard yaitu
adanya peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB maka diagnosis adalah
NSTEMI, sedangkan bila petanda biokimia tidak meningi, maka diagnosis adalah UA.
Untuk penatalaksanaannya sendiri dengan menggunakan terapi farmakologis dan
reperfusi pada STEMI
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Overbaough K.J. Acute coronary syndrome. American Journal of Nursing. Vol
009. No. 5. 2009. Hal 42
2. European Heart Journal. 2015 ESC Guidelines for the management of acute
coronary syndrome in patients presenting without persistent ST-segment
elevation. 2015 : hal 2
3. PERKI. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Jakarta : Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Hal : 3-9
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2006. Hal: 579-580
5. Myrtha R. Patofisiologi sindrom koroner akut. CDK 192. Vol. 39. No 4. 2012.
Hal 262-263
6. Alwi I. Tatalaksana infark miokard dengan elevasi ST. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Ed.VI. Jakarta : 2014 : hal 1457-1474
7. American Heart Association. 2014 AHA/ACC Guidelines for the Management of
patients with Non-ST-Elevation acute coronary syndrome.2014 :hal 361-363
8. American Collage of Cardiology Foundation. ACC/AHA Guidelines for the
Management of Patients with ST-elevation myocardial infarction-executive
summary. 2004 : 596-597
9. European Heart Journal. ESC guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. 2012. Hal. 5,16
10. Coven DL. Acute coronary syndrome, Medscape; 2015 September 09. (dikutip
tanggal
2016
Desember
6)
di
dapatkan
dari
www.emedicine.medscape.com/article/1910735
36
37