Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi virus dengue (DENV) adalah ancaman kesehatan global yang
mempengaruhi setidaknya 3,6 miliar orang yang hidup di lebih dari 125 negara di
daerah tropis dan subtropis (Sam et al., 2013). Demam berdarah (DF) telah menjadi
penyebab masalah kesehatan masyarakat di wilayah Asia Tenggara. Setelah Perang
Dunia II, terjadi peningkatan dramatis dalam frekuensi dan jumlah epidemi di Asia
Tenggara, dengan munculnya bentuk parah yaitu dengue haemorrhagic fever
(DHF) dan dengue shock syndrome (DSS) (WHO, 2011).
Semua empat serotipe virus dengue (DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan
DENV-4) dapat menyebabkan demam berdarah (Peeling et al., 2010). Keempat
serotipe dengue terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe DEN-2 (Pudjiaji et al.,
2009). Sekitar 75% dari semua infeksi DENV tidak menunjukkan gejala (Tomashek
et al, 2016).
Gejala infeksi (demam berdarah) paling sering muncul mulai dari gejala
ringan sampai sedang, tidak spesifik, akut, penyakit demam. Namun, sebanyak 5%
dari semua pasien demam berdarah dapat berkembang menjadi penyakit parah dan
mengancam jiwa (Tomashek et al., 2016). Bentuk yang lebih parah dari demam
dengue/ Dengue Fever (DF) yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan Dengue
Shock Syndrome (DSS). Temuan klinis awal yang tidak spesifik memerlukan indeks
kecurigaan yang tinggi, mengenali tanda-tanda awal syok dan segera memulai
terapi suportif intensif dapat mengurangi risiko kematian di antara pasien dengan
demam berdarah yang parah dari 10% menjadi <1% (Tomashek et al., 2016).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam dengue/ dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue
(DBD)/ dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus, famili
Flaviviridae yang ditularkan melalui vektor nyamuk aedes (arbovirus) (Peeling
et al, 2010). Demam berdarah dengue juga dikenal dengan demam breakbone
(Guerdan, 2010). Manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi
yang disertai leukopenia, ruam, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindroma
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok (Sudoyo et al, 2009).

2.2 Epidemiologi
Setiap 10 tahun, jumlah rata-rata tahunan kasus kasus DD / DBD
dilaporkan ke WHO terus tumbuh dengan pesat. Dari tahun 2000 hingga 2008,
jumlah rata-rata tahunan kasus adalah 1.656. 870, atau hampir tiga setengah kali
angka untuk 1990-1999, yang 479.848 kasus (Gambar 1).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. 5
Tahun 2014, salah satu Provinsi yang menjadi wilayah endemis demam
berdarah dengue adalah Aceh. Angka kejadian DBD di Provinsi Aceh
meningkat tajam dari 2,75 per 100.000 penduduk pada tahun 2003 menjadi 57
per 100.000 di tahun 2011.

2
Gambar 1. Distribusi Dengue di Asia
Sumber: Brady et al., 2012

2.3 Etiologi dan Cara Penularan


2.3.1 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue (DENV) yang merupakan virus RNA berantai tunggal dengan panjang
sekitar 11 kilobases (Shepherd., 2015). Virus DENV masih dalam genus yang
sama dengan virus penyebab Yellow Fever dan West Nile virus (Guerdan., 2010).
Virus ini termasuk dalam genus Flavivirus dan keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat (RNA)
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Struktur virus dengue yaitu Capsid
(C), Membran (M), Envelope (E) protein dan 7 protein non struktural (NS1,
NS2A, NS2B, NS3, NS4, NS4B dan NS5B).

3
Gambar 2. Virus dengue
(Sumber: Smith, 2002)

Virus dengue memiliki 4 tipe serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-


3 dan DENV-4 (Peeling et al., 2010). Di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe
dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, lalu diikuti serotipe
DEN-2 (Pudjiaji et al., 2009). Infeksi dengan satu serotipe DENV memberikan
kekebalan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi
tidak ada pelindungan terhadap serotipe yang lain (WHO, 2012).

2.3.2 Cara Penularan


Nyamuk Aedes betina (Stegomyia) biasanya menjadi terinfeksi dengan
virus dengue ketika mengambil darah dari seseorang yang sedang mengalami
fase demam akut (viraemic). Setelah masa inkubasi ekstrinsik 8 sampai 10 hari
(extrinsic incubation period) , kelenjar ludah dari nyamuk terinfeksi, virus
ditularkan ketika gigitan nyamuk infektif menyuntikkan cairan ludah orang lain.
Menyusul masa inkubasi pada manusia dari 3-14 hari (rata-rata 4-6 hari/
intrinsic incubation period). Sering kali menimbulkan gejala seperti demam,
sakit kepala, mialgia, kehilangan nafsu makan dan berbagai tanda-tanda dan
gejala spesifik termasuk mual, muntah dan ruam. Penularan dari manusia ke
nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang

4
mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam
timbul (WHO, 2011).

Gambar 3. Female Aedes aegypti


(Sumber: WHO, 2011)

Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis terutama hidup dan


berkembang biak didalam rumah yaitu tempat penampungan air jernih atau
tempat penampungan sekitar rumah. Nyamuk tampak berlurik, berbintik-bintik
putih, biasanya menggigit siang hari, terutama pada pagi dan sore hari. Nyamuk
Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih. Biasanya berada
di sekitar rumah dan pohon-pohon, tempat penampungan air hujan yang bersih
seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk ini menggigit pada siang
hari dan memiliki jarak terbang 50m (Rampengan, 2008).

2.4 Faktor R3siko


Tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan infeksi virus
dengue yaitu manusia, virus dan vektor perantara (WHO, 2011). Sekitar 7 hari
viremia pada manusia, transmisi melalui darah dimungkinkan melalui paparan
darah yang terinfeksi, organ atau jaringan lainnya (seperti sumsum tulang).
Selain itu, transmisi DENV perinatal terjadi dan risiko tertinggi di antara bayi

5
yang ibunya mangalami demam dengue akut. DENV juga dapat ditularkan
melalui ASI (Tomashek et al., 2016).
Infeksi dengue sekunder merupakan faktor risiko untuk antibodi DBD,
termasuk pasif yang didapat pada bayi. Strain virus juga merupakan faktor
risiko untuk DBD; tidak semua jenis virus memiliki potensi epidemi atau
menyebabkan penyakit yang parah. Usia pasien dan genetic host merupakan
faktor risiko DBD. Meskipun DBD dapat dan tidak terjadi pada orang dewasa,
sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak kurang dari 15 tahun dan bukti
menunjukkan bahwa beberapa kelompok penduduk mungkin lebih rentan untuk
mengalami SSD daripada yang lain (WHO, 2009).

2.5 Patogenesis
Patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami, tapi dua patofisiologis
utama terjadi:
1. Permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga kebocoran plasma,
hipovolemia dan syok. DBD muncul karena ada kebocoran selektif plasma
ke dalam pleura dan rongga peritoneum dan periode kebocoran singkat (24
- 48 jam).
2. Hemostasis yang abnormal karena vasculopathy, trombositopenia dan
koagulopati, yang mengarah ke berbagai manifestasi perdarahan.
Virus Dengue yang masuk kedalam tubuh akan beredar dalam sirkulasi darah
dan akan ditangkap oleh makrofag (Antigen Presenting Cell). Viremia akan
terjadi sejak 2 hari sebelum timbul gejala hingga setelah
lima hari terjadinya demam. Antigen yang menempel pada makrofag akan
mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lainnya untuk
menangkap lebih banyak virus. Sedangkan sel T-Helper akan
mengaktifasi sel T-Sitotoksik yang akan melisis makrofag. Telah dikenali
tiga jenis antibodi yaitu antibody netralisasi, antibodi hemagglutinasi,
antibody fiksasi komplemen.

6
Aktivasi sistem komplemen adalah temuan konstan pada pasien DBD.
Tingkat C3 dan C5 mengalami depresi, C3a dan C5a meningkat. Mekanisme
aktivasi komplemen tidak diketahui. Kehadiran kompleks imun telah
dilaporkan dalam kasus DBD, namun kontribusi kompleks antigen – antibodi
melengkapi aktivasi pada pasien dengan DBD belum terbukti. Telah
dihipotesiskan bahwa tingkat keparahan DBD dibandingkan dengan DF
dijelaskan oleh peningkatan makrofag oleh antibodi heterotypic yang dihasilkan
dari infeksi dengue sebelumnya. Ada bukti bahwa faktor virus dan respon imun
diperantarai sel yang juga terlibat dalam patogenesis DBD (WHO, 2009).
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan
biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena sulit
mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk
menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagaian
besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis atau the
sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi
apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan
infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5
tahun (Sudoyo et al, 2009).

Gambar 4. Hipotesis secondary heterologus infections


(Sumber: Sudoyo et al, 2009)

7
2.6 Patofisiologi
Antibodi non-netralisasi yang terbentuk akan bersirkulasi bebas di darah
atau menempel di sel fagosit mononuklear yang merupakan tempat utama infeksi
virus dengue. Antibodi non-netralisasi yang menempel pada sel fagosit
mononuklear berperan sebagai reseptor dan generator replikasi virus. Kemudian
virus dengue dengan mudah masuk dan menginfeksi sel fagosit (mekanisme
aferen). Selanjutnya virus bereplikasi di dalam sel fagosit dan bersama sel fagosit
yang telah terinfeksi akan menyebar ke organ lain seperti hati, usus, limpa, dan
sumsum tulang belakang (mekanisme eferen). Adanya sel fagosit yang terinfeksi
akan memicu respon dari sel imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi klinis
yang disebut sebagai mekanisme efektor (Soedarmo, 2002)
Mekanisme efektor dimulai dengan aktivasi sel T helper (CD4), T sitotoksik
(CD8), dan sistem komplemen oleh sel fagosit yang terinfeksi. Th selanjutnya
berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th1 akan melepaskan IFN-γ, IL-2, dan
limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN-
γ akan merangsang monosit melepaskan TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin.
Limfokin juga merangsang makrofag melepas IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan
pelepasan IL-1, TNF-α, dan IFN-γ. Pada jalur komplemen, kompleks imun akan
menyebabkan aktivasi jalur komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a
(anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir respon imun
tersebut adalah peningkatan IL-1, TNF-α, IFN-γ, IL-2, dan histamin (Soedarmo,
2002).
IL-1, TNF-α, dan IFN-γ dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul
demam. IL-1 langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan TNF-α dan
IFN-γ bekerja tidak secara langsung karena merekalah yang merangsang pelepasan
IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1 menyebabkan demam? Daerah spesifik IL-1
adalah pre-optik dan hipothalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina
terminalis (OVLT). OVLT terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan
sekelompok saraf termosensitif (cold dan hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke
dalam OVLT melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan
PGE2. Selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat

8
menjadi PGE2. Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam
hipothalamus atau bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir mekanisme
tersebut adalah peningkatan thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi
sistem saraf simpatis untuk menahan panas (vasokontriksi) dan memproduksi panas
dengan menggigil (Soedarmo, 2002).
Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala
lain seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan
sintesis albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari
kerjasama IL-1 dan TNF-α. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel
adiposa. Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke
hipothalamus ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan
(Soedarmo, 2002 ). IFN-γ sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag
yang poten, menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibodi. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan menimbulkan
efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala berat,
muntah, dan somnolen (Soedarmo, 2002).
Sejak awal demam sebenarnya telah terjadi penurunan jumlah trombosit
pada penderita DBD. Penurunan jumlah trombosit memudahkan terjadinya
perdarahan pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang bermanifes sebagai
bercak kemerahan. Di sisi lain, peningkatan jumlah histamin meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan cairan plasma dari intravaskuler
ke interstisiel. Hal itu semakin diperparah dengan penurunan jumlah albumin akibat
kerja IL-1 dan gangguan fungsi hati. Adanya plasma leakage tersebut menyebabkan
peningkatan Hct. Trombositopenia terjadi akibat pemendekan umur trombosit
akibat destruksi berlebihan oleh virus dengue dan sistem komplemen (pengikatan
fragmen C3g); depresi fungsi megakariosit, serta supresi sumsum tulang. Destruksi
trombosit terjadi di hepar, lien, dan sumsum tulang. Trombositopenia menyebabkan
perdarahan di mukosa tubuh sehingga sering muncul keluhan melena, epistaksis,
dan gusi berdarah. Hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja berlebihan
hepar untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain itu,
sel-sel hepar terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus

9
dengue. Bila kebocoran plasma dan perdarahan yang terjadi tidak segera diatasi,
maka pasien dapat jatuh ke dalam kondisi kritis yang disebut DSS (Dengue Shock
Sydrome) dan sering menyebabkan kematian (Soedarmo, 2002).

10
Bagan Patofisiologi:

11
2.7 Fase Dengue
Dengue dimulai tiba-tiba setelah masa inkubasi 5-7 hari (kisaran, 3-10
hari). Setelah itu diikuti 3 fase, yaitu : demam, kritis dan sembuh (Tomashek et
al., 2016).

Gambar 5. Fase Dengue


(WHO, 2012)

2.7.1 Fase Demam


Demam biasanya berlangsung 2-7 hari dan dapat biphasic. Tanda-tanda
dan gejala lain mungkin termasuk sakit kepala parah, nyeri retroorbital, otot,
sendi, dan nyeri tulang, makula atau ruam makulopapular dan manifestasi
perdarahan ringan termasuk petechiae, ecchymosis, purpura, epistaksis,
perdarahan gusi, hematuria atau hasil tes tourniquet positif. Beberapa timbul
eritema pada wajah pada onset 24-48 jam pertama. Tanda-tanda peringatan
pengembangan menjadi dengue yang parah terjadi pada fase demam adalah
lambatnya penurunan suhu badan dan termasuk muntah terus-menerus, nyeri
perut yang parah, perdarahan mukosa, kesulitan bernafas, tanda-tanda syok

12
hipovolemik dan penurunan cepat dalam jumlah trombosit dengan peningkatan
hematokrit (hemokonsentrasi).

2.7.2 Fase Kritis


Fase kritis DBD dimulai pada penurunan suhu badan sampai normal dan
biasanya berlangsung 24-48 jam. Kebanyakan secara klinis membaik selama
fase ini, namun mengalami kebocoran plasma yang berkembang menjadi
dengue yang parah yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas kapiler.
Awalnya mekanisme kompensasi fisiologis dengan menjaga sirkulasi, tekanan
nadi menurun akibat tekanan darah diastolik meningkat. Kebocoran plasma
yang parah memiliki efusi pleura atau ascites, hipoproteinemia, dan
hemokonsentrasi. Awalnya tanda-tanda syok tidak selalu terlihat, namun akan
diikuti dengan hipotensi, tekanan darah sistolik akan menurun dengan cepat,
shock ireversibel dan kematian dapat terjadi meskipun sudah di resusitasi.
Setelah itu, dapat berkembang menjadi perdarahan berat termasuk
hematemesis, tinja berdarah, melena atau menorrhagia, terutama jika telah lama
shock. Manifestasi atipikal termasuk hepatitis, miokarditis, pankreatitis, dan
ensefalitis.

2.7.3 Fase Penyembuhan


Setelah kebocoran plasma mulai membaik, masuk ke fase penyembuhan
dan mulai menyerap cairan intravena extravasated dan pleura dan efusi
abdomen. Keadaan mulai membaik, status hemodinamik stabil (meskipun dapat
bermanifestasi bradikardia) dan diuresis terjadi kemudian. Hematokrit stabil
atau mungkin menurun karena efek dilusi cairan dan jumlah sel darah putih
biasanya mulai naik, diikuti dengan pemulihan jumlah trombosit. Ruam dapat
mengalami desquamate (mengelupas) dan menjadi gatal. Temuan laboratorium
umumnya termasuk leukopenia, trombositopenia, hiponatremia, peningkatan
aspartat aminotransferase dan SGPT, dan laju endap darah normal.

13
2.8 Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue mungkin asimtomatik atau dapat menyebabkan
penyakit demam undifferentiated (Viral syndrome), demam berdarah (DF), atau
demam berdarah demam berdarah (DBD) termasuk dengue shock syndrome
(DSS). Infeksi dengan satu serotipe dengue memberikan kekebalan seumur
hidup untuk serotipe tertentu, tetapi tidak ada crossprotection untuk serotipe
lainnya. Klinis tergantung pada usia, status kekebalan dari tuan rumah dan strain
virus. Demam undifferentiated pada bayi, anak-anak dan beberapa orang
dewasa yang telah terinfeksi virus dengue untuk pertama kalinya (primary
Infeksi dengue) akan mengembangkan demam sederhana tidak dapat dibedakan
dari infeksi virus lainnya. Ruam makulopapular mungkin menemani demam
atau mungkin muncul selama penurunan suhu badan sampai yang normal
(WHO, 2009). Berikut kriteria berdasarkan Guerdan (2010):
1. Infeksi ringan
Tanpa gejala selain demam.
2. Demam berdarah / Dengue Fever (DF)
Demam dan dua atau lebih dari berikut:
a. Retroorbital/ sakit mata
b. Sakit kepala
c. Rash
d. Myalgia
e. Arthralgia
f. Leukopenia
g. Gejala dengue tidak memenuhi DHF
3. Demam berdarah dengue/ Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)
Memenuhi kriteria untuk Demam Berdarah ditambah
a. Trombositopenia (kurang dari 100.000 sel per mm2).
b. Bukti kebocoran plasma dimanifestasikan oleh hemokonsentrasi
(Peningkatan hematokrit > 20% dari normal untuk usia atau penurunan
<20% setelah rehidrasi) atau efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia.

14
4. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Memenuhi semua kriteria untuk DBD ditambah:
Tanda-tanda syok, yaitu: nadi cepat, tekanan nadi sempit dan yang paling
penting perfusi organ berkurang.

Pongpan et al (2013), pembagian Grade Demam Berdarah Dengue


menurut WHO ialah :
a. Grade I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
b. Grade II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan
spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Grade III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit
lembab dan penderita gelisah.
d. Grade IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa.
Nilai 1 - 2 diklasifikasikan sebagai DBD dan nilai 3-4 yang
diklasifikasikan sebagai DSS.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Macam – macam pemeriksaan untuk DHF WHO, 2011):
a. Pemeriksaan rumple leed test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan
cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah
menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab
kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler
itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya

15
sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit
(petechiae).
Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada
lengan atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai
sistolik dan diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu
lepaskan ikatan dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi.
Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang dibendung
tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah
petechiae yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm
distal dari vena cubiti. Test dikatakan positif jika terdapat lebih dari
dikatakan positif 10 petechiae dalam lingkaran tadi.

Gambar 6. Uji Rumple leed


Sumber: WHO, 2008

b. Leukosit
Normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru
(LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
c. Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit
<100.000/µl) pada hari ke 3-8.

16
d. Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
e. Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan
darah.
f. Protein/albumin
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai
normal albumin adalah 3-5,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8
g/dl.
g. SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)
Dapat meningkat. Nilai normal alanine aminotransferase adalah 0-
40 IU/I.
h. Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
i. Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi)
Bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah. Jumlah
kalium normal serum adalah 3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-145
mEq/l.
j. Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

17
Gambar 7. Imunoglobulin M dan G
Sumber: WHO, 2012

NS 1: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai
hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63-93,4% dengan
spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue.

18
Gambar 8. Pemeriksaan Diagnostik
(WHO, 2012)

2.10 Diagnosa Banding


Demam Tifoid Demam berdarah dengue
Kuman Salmonella typhi (S. Typhi) virus dengue yg tergolong arbovirus
Masa tunas demam tifoid 1. Fase febris
berlangsung antara 10-14 hari. demam mendadak tinggi 2-7 hari,
muka kemerahan, eritema kulit, nyeri
Pada minggu pertama gejala klinis seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan
yang ditemukan adanya keluhan dan sakit kepala. Pada fase ini dapat pula
gejala serupa penyakit infeksi akut ditemukan tanda perdarahan seperti
lainnya seperti: demam, nyeri kepala, ptekie, perdarahan mukosa,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, 2. Fase kritis

19
muntah, obstipasi atau diare, Terjadi pada hari ke3-ke7 sakit dan
perasaan tidak enak diperut, batuk, ditandai dengan penurunan suhu
dan epistaksis. tubuh disertai kenaikan permeabilitas
kapiler, leukopeni dan
Pada minggu kedua gejala-gejala trombositopenia.
menjadi lebih jelas berupa demam, 3. Fase pemulihan Keadaan umum
bradikardi relatif, lidah yang penderita membaik, nafsu makan
berselaput,hepato & splenomegali, pulih kembali, hemodinamik stabil,
meteroismus, gangguan mental dan diuresis membaik.
berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis.
Masuk ke dalam tubuh manusia Masuk ke dalam tubuh manusia melalui
melalui makanan yang sudah gigitan nyamuk Aedes Aegypti,
terkontaminasi kuman Salmonella
typhi (S. Typhi).
Gejala yang timbul berupa demam Gejala yang timbul berupa demam 2-7
yang meningkat perlahan-lahan dan hari, mual, muntah, ruam, mialgia,
terutama pada sore hingga malam arthralgia, leukopenia, perdarahan
hari, bradikadi relatif (peningkatan mukosa, lemas, kenaikan hematokrit
suhu1o C tidak diikuti peningkatan seiring dengan penurunan jumlah
denyut nadi 8 kali per menit), trombosit yang cepat.
pusing, mual, muntah, thypoid
tongue (lidah coated/kotor, tepi dan
ujung hiperemis, tremor).
- Darah rutin : leukopenia dengan - Darah rutin : hb normal/meningkat,
limfositosis relative, Ht , limfositosis relatif, leukopenia,
trombositopenia, LED , SGPT trombositopenia.
dan SGOT , bilirubinemia. - Serologi : uji haemaglutination
inhibition, Uji Mac ELISA, dengue
NS-1 Ag

20
- Urinalisis : kuning tua, keruh - Isolasi virus dengue
(protein +), foam test (ada - RT-PCR
bilirubin).
- Uji widal : titer antibodi
meningkat

a) Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi


bakteri, virus, atau infeksi parasit seperti dengue hemorrhagic fever,
campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis, dam
malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi
dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b) Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya
(DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan
penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD,
DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
injeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada
DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.2
c) Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak
semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-
tanda infeksi. Di samping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi
sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan
LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus.
Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal
dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d) Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah
kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit
DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang (pada ITP bisa tidak

21
disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis.
Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal
daripada ITP.
e) Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada
leukimia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat
anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas
diagnosis leukimia. pada pemeriksaan darah ditemukan pansitopenia
(leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien dengan
perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein dapat
membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan
hipoproteinemia sebagai tanda perembesan plasma.2

2.11 Tatalaksana
Tatalaksana DF (WHO, 2009) adalah sebagai berikut:
1. Istirahat dianjurkan selama akut fase demam.
2. Antipiretik diperlukan untuk menjaga suhu tubuh di bawah 40oC. Aspirin
harus dihindari karena hal itu mungkin menyebabkan gastritis, perdarahan
dan asidosis; parasetamol adalah lebih baik. Dosis paracetamol berdasarkan
WHO (2008):
 1-2 tahun : 60 -120 mg/dosis
 3-6 tahun : 120 mg/dosis
 7-12 tahun : 240 mg/dosis
 Dewasa : 500mg/dosis
3. Analgesik atau obat penenang ringan mungkin diperlukan untuk pasien
dengan sakit parah.
4. Cairan oral dan terapi elektrolit direkomendasikan untuk pasien dengan
keringat atau muntah berlebihan.
5. Di daerah DBD endemik, pasien harus dipantau sampai menjadi afebris dan
setelah jumlah trombosit dan hematokrit normal.

22
1) Tatalaksana Grade I dan II
Penyakit demam berdarah dengan trombositopenia, hemokonsentrasi tinggi
dan menampilkan nyeri perut, epistaksis, perdarahan dari gusi dll, perlu
dirawat di rumah sakit. Semua pasien ini harus diamati untuk tanda-tanda
syok. Itu periode kritis untuk pengembangan shock selama transisi dari
demam ke fase abferile, yang biasanya terjadi setelah hari ketiga penyakit.
Peningkatan hemokonsentrasi menunjukkan kebocoran plasma dan
kehilangan volume yang manajemen cairan yang tepat memainkan peran
penting. Meskipun pengobatan, jika pasien mengalami penurunan TD,
penurunan produksi urine atau fitur lain dari shock, manajemen Grade III /
IV DHF / DSS harus dilakukan.
Rehidrasi oral harus diberikan bersama dengan antipiretik seperti
paracetamol. Algoritma untuk terapi penggantian cairan dalam kasus DBD
Grade I dan II.

23
2) Tatalaksana Grade III dan IV
Segera setelah rawat inap, hematokrit, trombosit dan tanda-tanda
vital harus diperiksa untuk menilai kondisi pasien dan terapi cairan
intravena harus dimulai. Pasien membutuhkan pemantauan berkala dan
berkesinambungan. Jika pasien telah menerima sekitar 1000 ml cairan
intravena, itu harus diubah menjadi solusi koloid sebaiknya Dextran 40 atau
jika hematokrit berkurang lebih maka harus transfusi darah segar 10-20ml
/kg /dosis. Namun, dalam kasus shock persisten bahkan setelah penggantian

24
cairan awal dan resusitasi dengan plasma atau plasma ekspander, hematokrit
terus menurun, perdarahan internal harus dicurigai. Mungkin sulit untuk
mengenali dan memperkirakan tingkat kehilangan darah internal saat
haemoconcentration. Hal demikian dianjurkan untuk memberikan seluruh
darah dalam volume kecil 10ml /kg /jam untuk semua pasien shock sebagai
tindakan pencegahan rutin. Oksigen harus diberikan kepada semua pasien
shock. algoritma pengobatan untuk penderita DBD Kelas III dan IV.

25
3) Pilihan cairan intravena untuk resusitasi
Tidak ada keuntungan yang jelas untuk penggunaan koloid lebih
kristaloid dalam hal hasil keseluruhan. Namun, koloid mungkin menjadi
pilihan yang lebih disukai jika tekanan darah harus dipulihkan dengan cepat.
Koloid telah ditunjukkan untuk mengembalikan indeks jantung dan
mengurangi tingkat hematokrit lebih cepat daripada kristaloid pada pasien
dengan syok keras dan tekanan nadi kurang dari 10mmHg.

26
a) Kristaloid
Rentang plasma klorida yang normal 95-105 mmol / L 0,9% Saline
adalah pilihan yang cocok untuk resusitasi cairan awal, tapi berulang-ulang
dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik dengan asidosis laktat dari
shock berkepanjangan. Pemantauan klorida dan laktat tingkat akan
membantu untuk mengidentifikasi masalah ini. Ketika tingkat serum klorida
melebihi batas normal, disarankan untuk mengubah ke alternatif lain seperti
laktat Ringer.

b) Ringer Laktat
Koloid Ringer Laktat memiliki natrium lebih rendah (131 mmol /L) dan
klorida (115 mmol/L) dan osmolalitas 273 mOsm/L. Ini mungkin tidak
cocok untuk resusitasi pasien dengan hiponatremia. Namun, itu adalah
solusi yang cocok setelah 0,9 Saline dan tingkat klorida serum telah
melebihi batas normal. Laktat Ringer mungkin harus dihindari pada gagal
hati dan pada pasien yang memakai metformin dimana metabolisme laktat
mungkin terganggu.

c) Koloid
Jenis-jenis koloid yang berbasis gelatin, dekstran dan pati. Salah satu
kekhawatiran terbesar mengenai penggunaannya adalah dampaknya
terhadap koagulasi. Secara teoritis, dekstran mengikat faktor von
Willebrand / Faktor VIII kompleks dan merusak koagulasi paling. Namun,
ini tidak diamati memiliki signifikansi klinis di resusitasi cairan pada syok
dengue. Dari semua koloid, gelatin memiliki efek baik pada koagulasi tapi
risiko tertinggi reaksi alergi. Reaksi alergi seperti demam, menggigil dan
kerasnya juga telah diamati di Dextran 70. Dextran 40 berpotensi dapat
menyebabkan cedera ginjal osmotic pada pasien hipovolemik.

27
4) Tranfusi trombosit
Syarat;
 Jumlah trombosit kurang dari 20.000/cumm karena resiko tinggi alami
perdarahan.
 Perdarahan pada DBD trombositopenia berat.
 Pasien DBD trombosit antara 20.000/mm3 – 40.000/mm3, memiliki
indikasi mendapat tranfusi platelet hanya jika menunjukkan
menifestasi perdarahan yang jelas.

28
2.12 Kriteria Pemulangan Pasien
Kriteria untuk pemulangan pasien berdasarkan WHO, 2011.
a. Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa menggunakan terapi
antipiretik.
b. Kembalinya nafsu makan
c. Perbaikan klinis
d. Urine output baik
e. Minimal 2 atau 3 hari setelah pemulihan syok
f. Tidak ada distress pernafasan distress efusi pleural atau asites
g. Hitung trombosit> 50.000 / cumm

2.13 Komplikasi
Demam berdarah dengue dapat menyebabkan terjadinya kegagalan
fungsi hati, ginjal, dan lain sebagainya. Pada beberapa kasus ditemukan
ensefalopati, ensefalopati dapat terjadi karena adanya edema serebral,
anoreksia, perdarahan, hiponatremia, kegagalan hati, dan perdarahan kapiler.
Selain itu dapat juga terjadi ensefalitis akibat virus dengue, hal ini dibuktikan
dengan ditemukan adanya IgM dan RNA virus pada cairan serebrospinal.
Demam berdarah dengue juga dapat mengakibatkan Acute Respiratory Distress
Syndrome. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antigen virus dengue pada
sel-sel lapisan alveolar paru-paru. Pada stadium akut atau febris terjadi
pelepasan mediator c3a dan c5a yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskuler sehingga cairan plasma dapat bocor ke ruang interstisial dan
mengakibatkan edema serta disfungsi paru (WHO, 2011).

2.14 Prognosis
Mengenali tanda-tanda awal syok dan segera memulai terapi suportif
intensif dapat mengurangi risiko kematian di antara pasien dengan demam
berdarah yang parah dari 10% menjadi <1% (Tomashek et al., 2016). Penyebab
tersering kematian karena syok lama, overhidrasi, perdarahan massif, demam
Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak syok.

29
2.15 Pencegahan
Cara mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia- vektor-
patogen. Pengendalian vektor dapat berupa:
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan
monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap
keluarga,
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog.
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam
setelah menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/ kelompok untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.

30
BAB III
STATUS PASIEN

3.1 IDENTITAS PASIEN


No. RM : 04-83-52
Tanggal Masuk : 26 Januari 2020
Nama : Ny. NB
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Kontrak
Alamat :

3.2 ANAMNESIS
 Keluhan Utama :
Demam
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RSUD SAAS Peurlak dengan keluhan
demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan terus menerus sepanjang
hari, namun demam dirasakan paling berat pada malam hari. Demam turun
setelah pasien minum obat penurun panas, namun beberapa jam kemudian
demam naik lagi. Demam tidak disertai menggigil (-), keringat dingin (-).
Pasien mengeluhkan nyeri otot dan persendian pegal-pegal (+), mual (+),
muntah (+) sebanyak 3 kali berupa makanan yang di makan. nyeri pada ulu
hati (+), pasien juga mengeluhkan nyeri kepala, nyeri dirasakan berdenyut-
denyut, dan nyeri di sekitar mata.. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pasien tidak mengeluhkan batuk, mimisan dan gusi berdarah. Pasien belum
pernah merasakan keluhan yang serupa.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa.
- Riwayat Hipertensi : disangkal

31
- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
- Riwayat Asma : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
- Riwayat Alergi Obat : disangkal
- Riwayat Gastritis : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


Sebelumnya keluarga pasien tidak ada yang mengalami demam dengan
gejala sama yang dikatakan oleh pasien.

- Riwayat Hipertensi : disangkal


- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
- Riwayat Asma : disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal

 Riwayat Pengobatan
Sebelumnya saat 3 hari SMRS pasien sempat membeli obat di apotek dekat
rumahnya. Pada saat itu pasien diberikan obat penurun panas berupa
parasetamol 3 x 500 mg. Obat tersebut diminum 3 kali dalam sehari,
dikatakan setelah meminum obat tersebut panas badan pasien menurun
namun dalam beberapa jam timbul kembali setelah efek obat tersebut
hilang.

 Riwayat Psikososial
Pasien sebagai karyawan RS swasta. Jumlah anggota keluarga 4
orang terdiri dari pasien, ayah, ibu dan seorang adik pasien. Anggota
keluarga yang bekerja 2 orang yaitu pasien dan ayahnya sendiri. Biaya
pengobatan ditanggung BPJS. Kesan sosial ekonomi sedang. Tetangga
pasien ada yang menderita penyakit yang sama.

32
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status internus
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis Cooperatif
 GCS : E4V5M6
 Tanda Vital :
• Tekanan Darah : 120/80 mmHg
• Nadi : 80 x / menit
• Pernapasan : 20 x / menit, teratur
• Suhu : 38,1 0C
• BB : 59 kg
• TB : 152 cm
• BMI : 25,53 kg/m2 (kesan: Overweight)

Pemeriksaan Khusus
Kepala
 Bentuk : bulat, simetris, normocephal.
 Rambut : pendek, warna hitam, tidak mudah dicabut

 Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva palpebra anemis (-/-),


sklera ikterik (-/-), Reflek pupil isokor (+/+)
 Telinga : discharge (-/-)
 Hidung : discharge (-/-), napas cuping hidung (-/-)
 Mulut : sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
 Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
 Inspeksi : simetris, tidak tampak pembesaran KGB leher
 Palpasi : tidak tampak pembesaran KGB leher serta tidak
terjadi pembesaran kelenjar tiroid.
 Kaku kuduk : tidak ada
 JVP : tidak meningkat
 Kesan : pada pemeriksaan leher tidak didapatkan perbesaran
kelenjar getah bening.

33
 Thorak :
Cor : BJ I, II reguler, bising (-)
konfigurasi jantung dalam batas normal
Pulmo : SD vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Dextra Sinistra
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada dalam batas normal dalam batas normal
Hemitorak Simetris Simetris
2. Palpasi
Stem fremitus Dex=sin Dex = sin
Nyeri tekan (-) (-)
Pelebaran ICS (-) (-)
3. Perkusi Sonor di seluruh lapang Sonor diseluruh
paru lapang paru
Peranjakan paru 5 cm (N)
4. Auskultasi
Suara dasar Vasikuler Vasikuler
Suara tambahan (-) (-)

Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dada Dalam batas normal Dalam batas normal
Hemitorak Simetris Simetris
2. Palpasi
Stem fremitus Dex=sin Dex=sin
Nyeri tekan (-) (-)

34
Pelebaran ICS (-) (-)
3. Perkusi Sonor di seluruh lapang Sonor di seluruh
paru lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan (-) (-)

 Abdomen : bising usus (+) , nyeri tekan epigastrium (+)


 Ekstremitas :
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Refleks Fisiologis +N/+N +N/+N
Refleks Patologis -/- -/-

 Pemeriksaan Tambahan
Dilakukan uji torniket pada pasien, hasil (+)

Keterangan : hasil (+) apabila ptechie yang ditemukan >10 dalam lingkaran
diameter pemeriksaan.

Interpretasi hasil: uji Torniket (Rumple Leed)  (+)

35
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
 Minggu, 26/01/2019
No Pemeriksaan Hasil Nilai normal
1 Haemoglobin 12,7 P: 12-16%
2 Leukosit 4002 Dew : 5000-10.000/mm3
3 Eritrosit 4.49 P: 4.5 – 6.5 juta/mm3
4 Hematokrit 36,4 P: 40-52%
5 Trombosit 97.000 150.000-400.000/mm3

 Senin, 27/02/2020
No Pemeriksaan Hasil Nilai normal
1 Haemoglobin 12,4 P: 12-16%
2 Leukosit 4.710 Dew : 5000-10.000/mm3
3 Eritrosit 4.41 P: 4.5 – 6.5 juta/mm3
4 Hematokrit 36,2 P: 40-52%
5 Trombosit 48.000 150.000-400.000/mm3

 Selasa, 28/01/2020
No Pemeriksaan Hasil Nilai normal
1 Haemoglobin 12,4 P: 14-18%
2 Leukosit 7.180 Dew : 5000-10.000/mm3
3 Eritrosit 4.42 P: 4.5 – 6.5 juta/mm3
4 Hematokrit 36,4 P: 40-52%
5 Trombosit 30.000 150.000-400.000/mm3
6 Ig M - -
7 Ig G - -

36
 Rabu, 29/01/2020
No Pemeriksaan Hasil Nilai normal
1 Haemoglobin 12,2 P: 14-18%
2 Leukosit 7740 Dew : 5000-10.000/mm3
3 Eritrosit 4.37 P: 4.5 – 6.5 juta/mm3
4 Hematokrit 35,2 P: 40-52%
5 Trombosit 31.000 150.000-400.000/mm3

 Kamis, 30/01/2020
No Pemeriksaan Hasil Nilai normal
1 Haemoglobin 14,2 P: 14-18%
2 Leukosit 7740 Dew : 5000-10.000/mm3
3 Eritrosit 4.37 P: 4.5 – 6.5 juta/mm3
4 Hematokrit 35,2 P: 40-52%
5 Trombosit 60.000 150.000-400.000/mm3

3.5 RESUME
Pasien datang ke UGD RSUD SAAS Peurlak dengan keluhan Peurlak dengan
keluhan demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan terus menerus sepanjang
hari, namun demam dirasakan paling berat pada malam hari. Demam turun setelah
pasien minum obat penurun panas, namun beberapa jam kemudian demam naik
lagi. Demam tidak disertai menggigil (-), keringat dingin (-). Pasien mengeluhkan
nyeri otot dan persendian pegal-pegal (+), mual (+), muntah (+) sebanyak 3 kali
berupa makanan yang di makan. nyeri pada ulu hati (+), pasien juga mengeluhkan
nyeri kepala, nyeri dirasakan berdenyut-denyut, dan nyeri di sekitar mata.. BAB
dan BAK dalam batas normal. Pasien tidak mengeluhkan batuk, mimisan dan gusi
berdarah

37
3.6 DIAGNOSIS BANDING
Febris e.c dd
1. DHF grade 2-3
2. Tyfoid Fever
3. Demam Cikunguya

3.7 DIAGNOSA KERJA


Febris e.c DHF Grade 2

3.8 PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa:
• Menjaga higienitas makanan, banyak minum, kebersihan diri dan
lingkungan sekitar.
Medikamentosa (UGD):
• IVFD Ringer Laktat Guyur 1 Fls 20 tetes/ menit
• Ranitidin 1 ampul/ 12 jam (23.00 WIB)
• ondansetron 1 ampul / 12 jam (23.00 WIB
• Paracetamol Drip 1 Flash (23.00 WIB) tetap di lanjutkan jika Temperatur
>18 C
• Omeprazol 2 x 20 mg
• Antasia 3 x 1
• Paracetamol tablet 3 x 500 mg
• Citirizin 1 x 10 mg
• Neurodex 1 x 1

3.9 PROGNOSIS
Quo Ad Visam : dubia ad bonam
Quo Ad Sanam : dubia ad bonam
Quo Ad fungionam : dubia ad bonam

38
3.10 FOLLOW UP

Hari, Tgl/Bl/Thn Follow up


Senin, 27/01/2020 S : Demam (+), Nyeri perut (+), BAK (+), BAB (-)
BAB kehitaman (-), Mual (+), Muntah (+), lemas (+),
nafsu makan ↓. Gusi berdarah (+)
O : TD : 100/80 mmHg, HR : 80 x/i, RR : 20 x/I, T:
37,8ºC
Laboratorium. Senin, 27-01-202
Trombosit : 48.000

A : Febris e.c DHF grade 2


- Dyspepsia Tipe Mixed
- Konstipasi

P : IVFD RL 20 tpm

• Ranitidin 1 ampul/ 12 jam


• ondansetron 1 ampul / 12 jam (k/p)
• Paracetamol Drip 1 Flash tetap di lanjutkan jika
Temperatur >18 C
• Omeprazol 2 x 20 mg
• Antasia 3 x 1
• Paracetamol tablet 3 x 500 mg
• Citirizin 1 x 10 mg
• Neurodex 1 x 1
• Ketorolac 1 ampul / 8 jam
• Dulcolax supp 1

P/ Cek DR/hari

39
Selasa, 28/01/2020 S : Demam (-), BAB (+), lemas (+), nyeri perut (+),
nafsu makan ↓, mual muntah (-).
O : TD : 110/80 mmHg, HR : 88 x/i, RR : 20x/I, T:
36,4ºC
Lab, selasa, 28/01/2020
Trombosit : 30.000
A : DHF Grade 1-2
- Dyspepsia Tipe Mixed
P : IVFD RL 20 tpm
• Ranitidin 1 ampul/ 12 jam
• ondansetron 1 ampul / 12 jam (k/p)
• Paracetamol Drip 1 Flash tetap di lanjutkan jika
Temperatur >18 C
• Omeprazol 2 x 20 mg
• Antasia 3 x 1
• Paracetamol tablet 3 x 500 mg
• Citirizin 1 x 10 mg
• Neurodex 1 x 1
• Ketorolac 1 ampul / 8 jam
• Dulcolax supp 1  Stop

P/ Cek DR/hari

40
Rabu , 29/01/2020 S : Demam (-), BAB (+), lemas (+), nyeri perut (),
nafsu makan (↓), mual muntah (-).
O : TD : 110/80 mmHg, HR : 88 x/i, RR : 20x/I, T:
36,3ºC
Lab Rabu , 29/01/2020
Trombosit : 31.000
A : Febris e.c DHF grade 1-2
P : IVFD RL 20 tpm
• Ranitidin 1 ampul/ 12 jam
• ondansetron 1 ampul / 12 jam (k/p)
• Paracetamol Drip 1 Flash tetap di lanjutkan jika
Temperatur >18 C
• Omeprazol 2 x 20 mg
• Antasia 3 x 1
• Paracetamol tablet 3 x 500 mg
• Citirizin 1 x 10 mg
• Neurodex 1 x 1
• Ketorolac 1 ampul / 8 jam

P/ Cek DR/hari

Kamis, 30/01/2020 S : KU Membaik, Lemas (-), Nafsu makan (+), nyeri


perut (-), BAB (+)
O : TD : 120/80 mmHg, HR : 80x/i, RR : 22x/I, T:
36,7ºC
Lab Kamis, 30/01/2020
Trombosit : 60.000
A : DHF Grade 1-2
- Dyspepsia Tipe Mixed

41
P : IVFD RL 20 tpm
• Ranitidin 1 ampul/ 12 jam
• ondansetron 1 ampul / 12 jam (k/p)
• Paracetamol Drip 1 Flash  tetap di lanjutkan
jika Temperatur >18 C
• Omeprazol 2 x 20 mg
• Antasia 3 x 1
• Paracetamol tablet 3 x 500 mg
• Citirizin 1 x 10 mg
• Neurodex 1 x 1
• Ketorolac 1 ampul / 8 jam

P/ PBJ

42
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa Pasien datang ke


IGD RSUD SAAS Peurlak dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu. Demam
dirasakan terus menerus sepanjang hari, namun demam dirasakan paling berat pada
malam hari. Demam turun setelah pasien minum obat penurun panas, namun
beberapa jam kemudian demam naik lagi. Demam tidak disertai menggigil (-),
keringat dingin (-). Pasien juga mengeluhkan nyeri otot dan persendian pegal-pegal
(+), mual (+), muntah (+) sebanyak 3 kali, muntah berupa makanan yang di makan.
nyeri pada ulu hati (+), pasien juga mengeluhkan nyeri kepala, nyeri dirasakan
berdenyut-denyut, dan nyeri di sekitar mata.. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pasien tidak mengeluhkan batuk, mimisan dan gusi berdarah.

3 hari SMRS pasien mengeluhkan demam tinggi, timbul mendadak, terus menerus,
pasien membeli obat penurun panas di apotek dan pasien merasa demamnya
berkurang namun kembali demam setelah beberapa jam minum obat. Menggigil (-
), keringat dingin (-), otot dan persendian pegal-pegal, mual (+), muntah (+)
sebanyak 3 kali berupa makanan, nyeri pada ulu hati (+),pasien juga mengeluhkan
nyeri kepala, nyeri dirasakan berdenyut-denyut, dan nyeri di sekitar mata. nafsu
makan berkurang, pasien merasa pahit jika menelan. penurunan berat badan (-).
BAB dan BAK tidak ada keluhan.
1 hari SMRS pasien merasa keluhan semakin memberat, Timbul bintik-
bintik merah pada pergelangan tangan, perdarahan gusi (+), perdarahan hidung (-),
nyeri ulu hati dan nyeri kepala masih dirasakan.Perdarahan pada gusi (+),penurunan
kesadaran (-), keluar darah dari hidung (-), muntah darah (-), BAB hitam (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh os 38,9C, rumple leed (+), gusi
berdarah, dan pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin di dapat kan hasil
leukosit : 2190, hematokrit : 44,2 %, trombosit 65000.

43
Dari data diatas, os didiagnosa demam berdarah dengue grade 2 yaitu
dengan tanda klinis DBD bersasarkan WHO 2011 adalah Demam yang berlangsung
2-7 hari, Bukti pendarahan atau tes touniquet positif,Trombositopenia (≤100,000
sel per mm3), Bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit ≥20% di atas rata-rata dan terdapat tanda-tanda perdarahan
spontan dari gusi nya.
Diberikan terapi cairan untuk mengatasai kebocoran plasma berupa cairan
kristaloid RL 30tts/i, paracetamol sebagai antipiretik untuk penurun panas, dan obat
omeprazol 40 mg,dan dan domperidon sebagai pengobatan simtomatis atas keluhan
pasien. Dilakukan pemantauan darah rutin per 24 jam.

Pasien datang ke UGD RSUD Siak dengan keluhan demam sejak 5 hari
yang lalu. Keluhan disertai dengan mual, muntah dan BAB dengan ujung
kehitaman. Pasien tidak mengeluhkan batuk, mimisan dan gusi berdarah. Pasien
belum pernah merasakan keluhan yang serupa. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum pasien baik, vital sign didapatkan dalam batas normal.
Tetangga pasien ada yang menderita demam berdarah. Pada pemeriksaaan
rumpleed hasil positif. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombosit
menurun dan pemeriksaan penunjang didapatkan IgM dan IgG (+).
Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan demam berdarah karena pada
pasien ditemukan adanya demam sejak 5 hari, adanya keluhan mual dan muntah (+)
dan terdapat BAB kehitaman. Pada uji terniquet didapatkan hasil positif. Pada
pemeriksaan penunjang ditemukan penurunan leukosit yaitu leukosit 4.100/mm3
dan terjadi penurunan trombosit 27.000/mm3. Demam berdarah merupakan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Pada pasien sudah dilakukan
pemeriksaan IgM dan IgG didapatkan hasil positif dengan sensitifitas dan
spesifisitas yang cukup baik. Terlebih lagi tetangga pasien ada yang mengalami
penyakit yang sama yaitu demam berdarah.
Terapi yang diberikan adalah pemberian makan dan cairan yang cukup, dan
edukasi untuk menjaga higienitas. Pada pasien diberikan terapi IVFD RL 30 ggt/i,

44
Inj. Radin 2 x 1 amp, inj. transamin 3 x 500mg, inj. methyl prednisolon 2 x 125mg.
IVFD RL untuk rehidrasi kebutuhan cairan pasien. Injeksi radin (ranitidine hcl)
untuk menetralisir asam lambung. Injeksi transamin untuk mengatasi perdarahan.
Injeksi methyl prednisolon untuk megurangi gejala peradangan (inflamasi) atau
umumnya untuk meredakan nyeri.

45
DAFTAR PUSTAKA
Brady et al. 2012. Refining the global spatial limits of dengue virus transmission
by evidence based consensus. PLoS Negl Trop Dis. 6(8): e1760. Doi:
10.1371/journal.pntd.0001760.
Guerdan, B. R. 2010. Dengue fever/ dengue hemorrhagic fever. American Journal
of Clinical Medicine. 7(2): 51-53.
Pongpan, S., Wisitwong, A., Tawichasri, C., Patumonond, J., dan Namwongprom,
S. 2013. Clinical Study: Development of Dengue Infection Severity Score.
http://dx.doi.org/10.1155/2013/845876.
Pudjiaji, A. H., Badriul, H., Setyo, H., Idris, H. S., Ellen, P. G., Eva, D. H. 2009.
Infeksi virus dengue. Pedoman Pelayanan Medis: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Rampengan, T. H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi 2. Jakarta: EGC.
Sam, S. S., Omar S. F. S., Teoh B. T., Abd-Jamil, J., AbuBakar, S. 2013. Review
of Dengue Hemorrhagic Fever Fatal Cases Seen Among Adults: A
Retrospective Study. PLoS Negl Trop Dis. 7(5): e2194.
doi:10.1371/journal.pntd.0002194
Shepherd, S. M. 2015. Dengue. Dapat diakses di: http://emedicine.medscape.com
/article/215840-overview#a4
Soedarmo, P. S. 2002. Infeksi Virus Dengue. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta:
IDAI, pp: 176-209.
Sudoyo, A.W., dkk. 2009. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : FKUI.
Tomashek,K. M., Sharp, T. M., Margolis, H. S. 2016. Akses:
http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2016/infectious-diseases-related-
to-travel/dengue
WHO. 2008. Guidelines for clinical management of dengue fever, dengue
hemorrhagic fever and dengue shock sindrom. India: WHO.

46
WHO. 2009. Prevention and control of dengue and dengue hemorrhagic fever.
Akses:
http://www.themimu.info/sites/themimu.info/files/documents/RefDoc_He
alth_WHO_Regional_Guidelines_on_Dengue_DHF_Prevention_Control.
pdf
WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorraghic Fever. India: WHO.
WHO. 2012. Handbook for Clinical Management of Dengue. Dapat diakses:
http://www.wpro.who.int/mvp/documents/handbook_for_clinical_manage
ment_of_dengue.pdf
WHO. 2014. National guidelines for clinical management of dengue fever. Akses:
http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2016/infectious-diseases-related-
to-travel/dengue

47

Anda mungkin juga menyukai