TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1- 4, dengan manifestasi klinis berupa demam yang terjadi secara
mendadak 2-7 hari. Dapat disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa adanya syok, dengan
hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya trombositopenia (trombosit
kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal. Infeksi
virus dengue dapat disertai dengan terjadinya kebocoran plasma (Suhendro et al., 2007)
1.2. Epidemiologi
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang
berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan
wabah. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila Filipina pada tahun 1953 dan
selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan
pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang
(41,3%), akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Selanjutnya sejak
saat itu penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung menyebar ke seluruh tanah air
Indonesia, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur
telah terjangkit penyakit, dan mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan insidens rate
mencapai 13,45 % per 100.000 penduduk. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya
mobilitas penduduk dan sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transpotasi (Sukohar,
2014).
Indonesia pada tahun 2010 menempati urutan tertinggi kasus DHF di AsiaTenggara,
dengan jumlah kasus sebanyak 156.086 dan jumlah kematian sebanyak 1.358 orang. Data
menunjukkan Indonesia endemis DHF sejak tahun 1968 sampai dengan saat ini. Indonesia
terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun 1968 sampai tahun 2015, tercatat terdapat
126.675 penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal
dunia (Kemenkes, 2014).
1.3. Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype virus
yaitu :
Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses). Keempat
type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak
adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue type 3 merupakan
serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat (Sukohar, 2014).
1.4. Patofisiologi
Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan
oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan
perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang
bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma
yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi
klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan
berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi
viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas
mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya
sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit
lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag
yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi,
antibodi fiksasi komplemen (WHO, 2009).
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen (Hadinegoro dan Rezeki, 2011).
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita
dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi anamnestik yang akan
terjardi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun
dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Replikasi virus dengue terjadi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui
endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang
tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik
dan kematian.
Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaran hebat
yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen
dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit.
Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab perdarahan pada
penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor II, V, VII, IX, X dan
fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor koagulasi disebabkan
diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh
aktifasi sistem koagulasi.
pada penderita DBD tanpa atau dengan renjatan. Renjatan pada PIM akan saling
mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki renjatan irrevesible disertai perdarahan
Infeksi dengan hanya salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
spektrum penuh dan beratnya penyakit. Spektrum penyakit dapat berkisar dari, sindrom
demam non-spesifik ringan, demam berdarah klasik (DF), dengan bentuk parah dari
penyakit, DHF dan demam berdarah shock syndrome (DSS). Bentuk parah biasanya
terwujud setelah hari 2-7 fase demam dan sering ditandai dengan tanda-tanda peringatan
klinis dan laboratorium. Walaupun tidak ada agen terapeutik untuk infeksi dengue, kunci
keberhasilan penanganan adalah penggunaan waktu yang tepat dan kebijaksanaan perawatan
suportif, termasuk pemberian cairan isotonik intravena atau koloid, serta pemantauan ketat
tanda-tanda vital dan status hemodinamik, keseimbangan cairan, dan parameter hematologi
(WHO, 2009)
Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat
tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam
tanpa penyebab yang jelas, dengue fever (DF) dan bermanifestasi berat dengan dengue
hemorrhagic fever (DHF) tanpa syok atau dengue shock syndrome (DSS).
Manifestasi klinis bergantung pada strain virus, faktor host misalnya umur, dan
status imun. Berikut ini adalah bagan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue.
Gambar 3. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue
Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Gejala lain seperti mual muntah, diare, ruam kulit, nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang.
Nyeri kepala dapat menyeluruh atau terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot
terutama pada tendon.
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan
fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi pada hari 1 – 3 hari
mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia dan sakit kepala.Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi
perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 6
sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan
timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran
plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit.Pada
fase ini dapat terjadi syok. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi
pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam
setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik
stabil dan diuresis membaik (Tanto, 2014).
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
nyamuk Aedes Aegypti. Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang
lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Aedes
tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8 – 10
hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di tularkan kembali pada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).
Dalam tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4–6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul (Sukohar, 2014).
1.7. Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 2011
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis berdasarkan WHO 2011:
1. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit, nyeri seluruh
tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
Kriteria Laboratoris:
- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma atau tanda hemokonsentrasi sebagai
berikut:
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
1. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Derajat 1, disertai perdarahan terjadinya spontan di kulit dan perdarahan
lainnya.
3. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun
(20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di daerah sekitar mulut, kulit dingin dan
lembab, dan tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
10% ).
- ruam
- Tidak ada bukti kebocoran
- tidak adanya tanda kebocoran
plasma plasma
a. Pemeriksaan Laboratorium
Deteksi Antigen
Perkembangan baru dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke amplop / membran
(E / M) antigen dan protein non-struktural 1 (NS1) yang menunjukkan bahwa konsentrasi
tinggi antigen tersebut dalam bentuk kompleks imun dapat dideteksi pada pasien dengan
infeksi dengue primer dan sekunder sampai sembilan hari setelah onset penyakit. NS1
glikoprotein dihasilkan oleh semua flaviviruses dan dikeluarkan dari sel mamalia. NS1
menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Banyak penelitian telah diarahkan
menggunakan deteksi NS1 untuk membuat diagnosis awal infeksi virus dengue. Antigen
NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke delapan dengan
sensitivitas 63%-93,4% dan spesifisitas 100%.8
b. Tes Serologi
IgG/IgM
Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat yang rendah pada akhir minggu pertama,
yang kemudian akan meningkat dan tetap untuk periode yang lebih lama (selama bertahun-
tahun). IgG terdeteksi mulai hari ke 3-5 demam. Meningkat hingga minggu ke-3 dan dapat
menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14 dan
pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2 dapat terdeteksi selama lebih dari
60 tahun dan jika tidak ada gejala. Setelah infeksi primer, IgG mencapai tingkat puncak
dalam darah setelah 14-21 hari. Selama infeksi berikutnya, tingkat puncaknya lebih awal
dan titer biasanya lebih tinggi. Selama infeksi dengue sekunder (ketika host sebelumnya
telah terinfeksi virus dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat.Antibodi IgG dapat
terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan pada tahap awal, dan bertahan dari beberapa bulan
sampai periode seumur hidup.
Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus infeksi
sekunder.Oleh karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan antara
infeksi dengue primer dan sekunder.Trombositopenia biasanya diamati antara hari ketiga
dan kedelapan penyakit yang diikuti oleh perubahan hematokrit lainnya. Baik IgG dan IgM
memberikan kekebalan protektif terhadap serotipe virus yang menginfeksi.
c. Pemeriksaan Radiologi
1.9. Tatalaksana
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan
pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya
kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai.Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup,
lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi
simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk
mengatasi keluhan dispepsia.Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid
sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO.
Potokol ini sebagai pedoman dalam memberikan pertolongan pertama pada pasien
yang menderita DHF atau yang dicurigai menderita DHF di Instalasi Gawat Darurat.
Protokol ini juga digunakan sebagai sebagai petunjuk dalam memutuskan apakah pasien
harus dirawat atau tidak. Seseorang yang menderita DHF di IGD dilakukan pemeriksaan
Hemoglobin (Hb), hematoktrit dan trombosit apabila didapatkan :
a. Hb, Ht dan trombosit dalam batas normal atau jumlah trombosit antara 100.000
– 150.000, pasien dapat dipulangkan dan dilakukan observasi dengan anjuran kontrol
atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya untuk dilakukan
pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit setiap 24 jam. Apabila keaadaan pasien
memburuk, pasien segera dibawa kembali ke Instansi Gawat Darurat.
c. Hb, Ht meningkat dan jumlah trombosit normal atau turun pasien juga
dianjurkan untuk dirawat inap di rumah sakit.
Pasien yang menderita DHF tanpa adanya perdarahan spontan dan masif dan
tanpa adanya syok maka diberikan cairan infus kristaloid di ruang rawat dengan jumlah
seperti rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x
(BB dalam kg – 20), Setelah dilakukan pemberian cairan pasien dilakukan pemeriksaan
HB, Ht setiap 24 jam
Apabila setelah dilakukan pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam tadi
keadaan pasien tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan
jumlah cairan infus yang diberikan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan evaluasi kembali. Apabila keadaan pasien menunjukkan adanya perbaikan
maka jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila
keaadaan pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan maka jumlah cairan infus yang
diberikan dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam. Dilakukan pemantaun terhadap
kondisi pasien, apabila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan
didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana
sindrom syok dengue pada pasien dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan
dimulai lagi seperti terapi cairan awal.
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa
walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
Pada keadaan ini jumlah cairan yang diberikandan kecepatan pemberian cairan tetap
seperti keadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit
serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit
indikasi. FFP dapat diberikan apabila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT
dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g %. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan spontan dan masif
dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID dan Hb <10g/dL.
Pasien dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian cairan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan, dan renjatan dapat
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan SSD yaitu jenis cairan dan jumlah serta kecepatan cairan yang akan
diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)
maupun koloid dapat diberikan. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan
dalam penatalaksanaan SSD antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,
aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal.WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan
standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah. Keuntungan lainnya penggunaan kristaloid antara lain
komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang,
dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik. Secara umum, penggunaan kristaloid
dalam tatalaksana DHF aman dan efektif. Selain pemberian cairan, penderita juga
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD sistolik 100mmHg
dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-
Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi
5ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian
caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital
dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus
dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah
terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%
saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena
untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan
tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan
napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik serta
dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit. Bila stelah fase awal pemberian
cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat
ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila
terjadi perdarahan ( internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah
segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan koloid diberikan
maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid
sendiri mulu-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah
10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan
dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena
sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan
koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi
sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.
Gambar 9. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
1.10. Pencegahan
A. Lingkungan
- Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain
sebagainya.
B. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan
adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).
C. Kimiawi
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan ”3M Plus”, yaitu menutup,
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan
pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang
memeriksa jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat (Lestari K, 2007).
BAB III
KESIMPULAN
Demam Dengue dan Demam berdarah Dengue (DBD) didefinisikan sebagai suatu
penyakit yang disebabkan oleh infeksi satu dari empat virus dengue, yaitu DENV1, DENV2,
DENV3, dan DENV4, engan nyamuk dari genus Aedes sebagai vektor utama penyakit ini.
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh Demam Dengue adalah adanya demam mendadak
tinggi (390C-400C) terus menerus, pola bifasik, selama 2-7 hari, disertai nyeri kepala, nyeri otot
(myalgia) dan sendi (atralgia), nyeri retro-orbital, fotofobia, gangguan pencernaan (diare atau
konstipasi), nyeri perut, sakit dan tenggorokan. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue
laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
Demam Dengue ditangani dengan pasien dianjurkan untuk bed rest selama fase akut, menjaga
suhu tubuh pasien tetap < 38,00C, pemberian antipiretik jika suhu > 38,00C serta memenuhi
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW dkk. Pusat Penerbitan
Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Sanyaolu, et al. 2017. Global epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An Update. Journal
Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI. 2009.
Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di Indonesia. Farmaka. 2007;
5:12-29.
Kemenkes RI. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Situasi
Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan, 2005.p.19-34
Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue.
Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta: 2014.
Lestari, K. 2007. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Indonesia.
Farmaka. 5(3):12-29.