Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi

Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue tipe 1- 4, dengan manifestasi klinis berupa demam yang terjadi secara
mendadak 2-7 hari. Dapat disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa adanya syok, dengan
hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya trombositopenia (trombosit
kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal. Infeksi
virus dengue dapat disertai dengan terjadinya kebocoran plasma (Suhendro et al., 2007)

1.2. Epidemiologi

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang
berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan
wabah. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila Filipina pada tahun 1953 dan
selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan
pada tahun 1968 di Surabaya dengan jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang
(41,3%), akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Selanjutnya sejak
saat itu penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung menyebar ke seluruh tanah air
Indonesia, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur
telah terjangkit penyakit, dan mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan insidens rate
mencapai 13,45 % per 100.000 penduduk. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya
mobilitas penduduk dan sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transpotasi (Sukohar,
2014).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 50 sampai 100 juta


infeksi demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus ini 500.000 kasus DHF
mengakibatkan 22.000 kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data
resmi yang disampaikan ke WHO, kasus demam berdarah di seluruh Amerika, Asia
Tenggara dan Pasifik Barat melampaui 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada
tahun 2013. Pada tahun 2013, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan terjadi di Amerika
saja, dimana 37, 687 kasus merupakan DHF berat. Setelah epidemi DHF yang pertama
diketahui pada tahun 1953 sampai 1954 di Filipina, penyakit ini terus menyebar ke seluruh
penjuru dunia (Sanyaolo et al., 2017).

Indonesia pada tahun 2010 menempati urutan tertinggi kasus DHF di AsiaTenggara,
dengan jumlah kasus sebanyak 156.086 dan jumlah kematian sebanyak 1.358 orang. Data
menunjukkan Indonesia endemis DHF sejak tahun 1968 sampai dengan saat ini. Indonesia
terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun 1968 sampai tahun 2015, tercatat terdapat
126.675 penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal
dunia (Kemenkes, 2014).

1.3. Etiologi

Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype virus
yaitu :

1. Dengue 1 (DEN 1) diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.

2. Dengue 2 (DEN 2) diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.

3. Dengue 3 (DEN 3) diisolasi oleh Sather

4. Dengue 4 (DEN 4) diisolasi oleh Sather.

Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses). Keempat
type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang terbanyak
adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue type 3 merupakan
serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat (Sukohar, 2014).

1.4. Patofisiologi

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan
oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan
perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang
bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma
yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi
klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan
berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi
viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas
mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya
sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit
lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag
yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi,
antibodi fiksasi komplemen (WHO, 2009).

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang


terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.
Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. Imunopatogenesis DBD dan
DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk
menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis
infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) (WHO, 2009).

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen (Hadinegoro dan Rezeki, 2011).

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah


dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the
secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi
apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe
virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6
bulan sampai 5 tahun. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi sekunder
dicoba dirumuskan oleh Suvatte dan dapat dilihat pada gambar.

Gambar 1. Patogenesisi terjadinya syok pada DBD

Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita
dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi anamnestik yang akan
terjardi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun
dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Replikasi virus dengue terjadi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi
sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui
endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang
tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik
dan kematian.
Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaran hebat
yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen
dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit.

Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai sebab perdarahan pada
penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor II, V, VII, IX, X dan
fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor koagulasi disebabkan
diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh
aktifasi sistem koagulasi.

Gambar 2. Patogenesis perdarahan pada DBD

Pembekuan intravaskuler menyeluruh (PIM/DIC) secara potensial dapat terjadi juga

pada penderita DBD tanpa atau dengan renjatan. Renjatan pada PIM akan saling
mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki renjatan irrevesible disertai perdarahan

hebat, terlihatnya organ-organ vital dan berakhir dengan kematian.

1.5. Manifestasi Klinis

Infeksi dengan hanya salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
spektrum penuh dan beratnya penyakit. Spektrum penyakit dapat berkisar dari, sindrom
demam non-spesifik ringan, demam berdarah klasik (DF), dengan bentuk parah dari
penyakit, DHF dan demam berdarah shock syndrome (DSS). Bentuk parah biasanya
terwujud setelah hari 2-7 fase demam dan sering ditandai dengan tanda-tanda peringatan
klinis dan laboratorium. Walaupun tidak ada agen terapeutik untuk infeksi dengue, kunci
keberhasilan penanganan adalah penggunaan waktu yang tepat dan kebijaksanaan perawatan
suportif, termasuk pemberian cairan isotonik intravena atau koloid, serta pemantauan ketat
tanda-tanda vital dan status hemodinamik, keseimbangan cairan, dan parameter hematologi
(WHO, 2009)

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi
antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat
tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam
tanpa penyebab yang jelas, dengue fever (DF) dan bermanifestasi berat dengan dengue
hemorrhagic fever (DHF) tanpa syok atau dengue shock syndrome (DSS).

Manifestasi klinis bergantung pada strain virus, faktor host misalnya umur, dan
status imun. Berikut ini adalah bagan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue.
Gambar 3. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue

Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.
Gejala lain seperti mual muntah, diare, ruam kulit, nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang.
Nyeri kepala dapat menyeluruh atau terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot
terutama pada tendon.

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan
fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi pada hari 1 – 3 hari
mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia,
artralgia dan sakit kepala.Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi
perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 6
sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan
timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran
plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit.Pada
fase ini dapat terjadi syok. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi
pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam
setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik
stabil dan diuresis membaik (Tanto, 2014).

1.6. Cara Penularan

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
nyamuk Aedes Aegypti. Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang
lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Aedes
tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8 – 10
hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat di tularkan kembali pada manusia pada saat
gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).

Dalam tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4–6 hari (intrinsic
incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul (Sukohar, 2014).

1.7. Diagnosis

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 2011
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis berdasarkan WHO 2011:

1. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit, nyeri seluruh
tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.

2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :

- Uji tourniket positif (yang palinng umum)

- Petekie, ekimosis, purpura

- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi

- Hematemesis dan/atau melena


3. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk ditandai dengan nadi
lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah.

Kriteria Laboratoris:

- Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)

- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma atau tanda hemokonsentrasi sebagai
berikut:

o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.

o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan


nilai hematokrit sebelumnya.

o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoalbuminemia.

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan hematokrit,


cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Adanya pembesaran
hati selain dua kriteria klinis pertama adalah dugaan terjadinya demam berdarah dengue
sebelum onset kebocoran plasma. Efusi pleura (X-ray dada atau ultrasonografi) adalah bukti
objektif terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya hipoalbumin dapat memperkuat
diagnosis terutama pada pasien anemia, perdarahan berat, kondisi ketika tidak adanya
hematocrit dasar, dan peningkatan hematocrit kurang dari 20% akibat pemberian terapi
intravena secara dini. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia,
mendukung diagnosa demam berdarah dengue. ESR yang rendah (kurang dari 10 mm/satu
jam pertama) selama syok membedakan DSS dari syok septik.

Berdasarkan tingkat keparahan, WHO (2004) membagi demam berdarah dengue


menjadi 4 derajat, yaitu:

1. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Derajat 1, disertai perdarahan terjadinya spontan di kulit dan perdarahan
lainnya.

3. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun
(20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di daerah sekitar mulut, kulit dingin dan
lembab, dan tampak gelisah.

4. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

DF/DHF Derajat Gejala Laboratorium

DF Demam disertai 2 atau lebih tanda: - Leukopenia (wbc

- sakit kepala 5000sel/mm3 )

- nyeri retro orbital - Trombositopenia (Platelet

- myalgia/ nyeri otot <150 000 cells/mm3 ).

- arthralgia - Peningkatan HCT (5% –

10% ).
- ruam
- Tidak ada bukti kebocoran
- tidak adanya tanda kebocoran
plasma plasma

DHF I Demam dan manifestasi perdarahan - Trombositopenia

(uji bendung positif) dan adanya (<100.000/ul),

bukti ada kebocoran plasma - Peningkatan HCT 20%

DHF II Gejala pada derajat I disertai - Trombositopenia

dengan perdarahan spontan (<100.000/ul)

- Peningkatan HCT 20%

DHF III Gejala pada derajat I atau II disertai - Trombositopenia


dengan kegagalan sirkulasi (nadi (<100.000/ul)

lemah, hipotensi, kulit dingin dan - Peningkatan HCT 20%

lembab serta gelisah)

1.8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menunjang diagnosis DHF adalah


pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Pemeriksaan yang umumya
dan signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Diagnosis DHF secara definitif
dapat dilakukan dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis (WHO, 2011).

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD


adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang signifikan
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis DBD secara
definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.

Pemeriksaan Darah Lengkap:

Pemeriksaan darah yang dilakukaan secara rutin adalah kadar hemoglobin,


hematokrit, jumlah trombosit. Meningkatnya hematokrit yang pada pasien DHF merupakan
penanda terjadinya perembesan plasma. Selain itu dapat juga ditemukan trombositopenia
dan leukopenia. Pada pemeriksaan darah lengkap parameter yang diamati adalah terdapat
trombositopenia (<100.000) di hari ke 3-8, kebocoran plasma ditandai dengan peningkatan
hematokrit ≥20% dari hematokrit awal yang biasanya terjadi mulai dari hari ke-3 demam,
leukosit dapat normal atau menurun dan mulai demam hari ke 3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% total leukosit).

Pemeriksaan Faal Pembekuan Darah


Pemeriksaan faal pembekuan darah dapat digunakan sebagai acuan untuk memandu
terapi pada pasien dengan adanya manifestasi perdarahan yang parah. Pada pemeriksaan faal
pembekuan darah biasanya ditemukan protrombin time memanjang, activated partial
thromboplastin time memanjang, dan fibrinogen rendah dan tingkat degradasi produk fibrin
yang tinggi merupakan tanda DIC.

Deteksi Antigen

Perkembangan baru dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke amplop / membran
(E / M) antigen dan protein non-struktural 1 (NS1) yang menunjukkan bahwa konsentrasi
tinggi antigen tersebut dalam bentuk kompleks imun dapat dideteksi pada pasien dengan
infeksi dengue primer dan sekunder sampai sembilan hari setelah onset penyakit. NS1
glikoprotein dihasilkan oleh semua flaviviruses dan dikeluarkan dari sel mamalia. NS1
menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Banyak penelitian telah diarahkan
menggunakan deteksi NS1 untuk membuat diagnosis awal infeksi virus dengue. Antigen
NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke delapan dengan
sensitivitas 63%-93,4% dan spesifisitas 100%.8

b. Tes Serologi

IgG/IgM

Respon antibodi terhadap infeksi terdiri dari munculnya berbagai jenis


immunoglobulin.Isotipe imunoglobulin IgM dan IgG memiliki nilai diagnostik pada demam
berdarah.Antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari ke-3-5 setelah onset penyakit, meningkat
dengan cepat sekitar dua minggu dan menurun sampai tingkat yang tidak terdeteksi setelah
2-3 bulan. Karena kemunculan antibodi IgM yang terlambat, yaitu setelah lima hari demam,
tes serologis berdasarkan antibodi ini yang dilakukan selama lima hari pertama penyakit
klinis biasanya akan menunjukkan hasil yang negatif.

Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat yang rendah pada akhir minggu pertama,
yang kemudian akan meningkat dan tetap untuk periode yang lebih lama (selama bertahun-
tahun). IgG terdeteksi mulai hari ke 3-5 demam. Meningkat hingga minggu ke-3 dan dapat
menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14 dan
pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2 dapat terdeteksi selama lebih dari
60 tahun dan jika tidak ada gejala. Setelah infeksi primer, IgG mencapai tingkat puncak
dalam darah setelah 14-21 hari. Selama infeksi berikutnya, tingkat puncaknya lebih awal
dan titer biasanya lebih tinggi. Selama infeksi dengue sekunder (ketika host sebelumnya
telah terinfeksi virus dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat.Antibodi IgG dapat
terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan pada tahap awal, dan bertahan dari beberapa bulan
sampai periode seumur hidup.

Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus infeksi
sekunder.Oleh karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan antara
infeksi dengue primer dan sekunder.Trombositopenia biasanya diamati antara hari ketiga
dan kedelapan penyakit yang diikuti oleh perubahan hematokrit lainnya. Baik IgG dan IgM
memberikan kekebalan protektif terhadap serotipe virus yang menginfeksi.

c. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)


dilakukan dengan tujuan melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks.Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
ultrasonografi.Kelainan yang bisa didapatkan antara lain dilatasi pembuluh darah paru,
kardiomegali atau efusi perikard, dan hepatomegaly.

1.9. Tatalaksana

Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal
terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.
Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari
ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan
pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah
pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya
kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai.Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup,
lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi
simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk
mengatasi keluhan dispepsia.Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid
sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:

1. Penanganan suspek DHF tanpa syok

Potokol ini sebagai pedoman dalam memberikan pertolongan pertama pada pasien
yang menderita DHF atau yang dicurigai menderita DHF di Instalasi Gawat Darurat.
Protokol ini juga digunakan sebagai sebagai petunjuk dalam memutuskan apakah pasien
harus dirawat atau tidak. Seseorang yang menderita DHF di IGD dilakukan pemeriksaan
Hemoglobin (Hb), hematoktrit dan trombosit apabila didapatkan :

a. Hb, Ht dan trombosit dalam batas normal atau jumlah trombosit antara 100.000
– 150.000, pasien dapat dipulangkan dan dilakukan observasi dengan anjuran kontrol
atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya untuk dilakukan
pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit setiap 24 jam. Apabila keaadaan pasien
memburuk, pasien segera dibawa kembali ke Instansi Gawat Darurat.

b. Hb, Ht normal tetapi jumlah trombosit<100.000 pasien dianjurkan untuk


dirawat inap di rumah sakit.

c. Hb, Ht meningkat dan jumlah trombosit normal atau turun pasien juga
dianjurkan untuk dirawat inap di rumah sakit.

2. Pemberian cairan pada suspek DHF dewasa di ruang rawat

Pasien yang menderita DHF tanpa adanya perdarahan spontan dan masif dan
tanpa adanya syok maka diberikan cairan infus kristaloid di ruang rawat dengan jumlah
seperti rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x
(BB dalam kg – 20), Setelah dilakukan pemberian cairan pasien dilakukan pemeriksaan
HB, Ht setiap 24 jam

a. Apabila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah


pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit
dilakukan tian 12 jam.

b. Apabila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian


cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %.

3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%.

Tubuh akan mengalami defisit sebanyak 5% ketika terjadinya peningkatan Ht >20


%. Terapi awal yang dilakukan adalah dengan pemberian infus cairan kristaloid sebanyak
6-7 ml/kgBB/jam.Pasien kemudian dievaluasi kondisi pasien setelah 3-4 jam pemberian
cairan.Apabila terjadinya perbaikan kondisi yang ditandai dengan adanya Ht turun,
frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan
yang diberikan harus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Setelah itu 2 kemudian
dilakukan pemantauan kembali, apabila kondisi pasien tetap membaik maka pemberian
cairan dapat dihentikan dalam waktu 24-48 jam kemudian.

Apabila setelah dilakukan pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam tadi
keadaan pasien tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan
jumlah cairan infus yang diberikan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan evaluasi kembali. Apabila keadaan pasien menunjukkan adanya perbaikan
maka jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila
keaadaan pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan maka jumlah cairan infus yang
diberikan dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam. Dilakukan pemantaun terhadap
kondisi pasien, apabila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan
didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana
sindrom syok dengue pada pasien dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan
dimulai lagi seperti terapi cairan awal.
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa

Perdarahan maksud adalah yang pada hidung/epistaksis yang tidak terkendali

walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan

melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak

atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam.

Pada keadaan ini jumlah cairan yang diberikandan kecepatan pemberian cairan tetap

seperti keadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan

dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit
serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit

sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin dapat diberikan apabila secara klinis dan laboratoris

ditemukan adanya tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai

indikasi. FFP dapat diberikan apabila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT

dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g %. Transfusi

trombosit hanya diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan spontan dan masif

dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID dan Hb <10g/dL.

5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.

Pasien dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus

diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian cairan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue

sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan, dan renjatan dapat

terjadi karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan pertolongan / pengobatan,

penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda –

tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada

penatalaksanaan SSD yaitu jenis cairan dan jumlah serta kecepatan cairan yang akan

diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang

intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)

maupun koloid dapat diberikan. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan

dalam penatalaksanaan SSD antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,

aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan

memiliki efek alergi yang minimal.WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan

standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah

didapat dan lebih murah. Keuntungan lainnya penggunaan kristaloid antara lain

komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang,

dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik. Secara umum, penggunaan kristaloid

dalam tatalaksana DHF aman dan efektif. Selain pemberian cairan, penderita juga

diberikan oksigen 2-4 liter/menit.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi

setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD sistolik 100mmHg

dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-

1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam.

Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi

5ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian

caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital

dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus

dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah

terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan

hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan

terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan (karena selain proses

patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20%

saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena

untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan

tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan

napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik serta

jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/kam.

Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat

dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit. Bila stelah fase awal pemberian

cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat

ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila

nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka


pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun , berarti

terjadi perdarahan ( internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah

segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan koloid diberikan

maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid

sendiri mulu-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah

10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan

dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga

jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena

sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan

koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi

sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan

belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor. Pemeriksaan –

pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),

hemostasis, AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.
Gambar 9. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
1.10. Pencegahan

Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu


nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :

A. Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan


Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah.
Sebagai contoh:

- Menguras bak mandi/penampungan air- sekurang-kurangnya sekali seminggu.

- Mengganti/menguras vas bunga dan tempat- minum burung seminggu sekali.

- Menutup dengan rapat tempat penampungan- air.

- Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain
sebagainya.

B. Biologis

Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan
adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).

C. Kimiawi

Cara pengendalian ini antara lain dengan:

- Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk


mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.

- Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti,


gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan

mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan ”3M Plus”, yaitu menutup,

menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan

pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang

kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk,

memeriksa jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat (Lestari K, 2007).
BAB III

KESIMPULAN

Demam Dengue dan Demam berdarah Dengue (DBD) didefinisikan sebagai suatu

penyakit yang disebabkan oleh infeksi satu dari empat virus dengue, yaitu DENV1, DENV2,

DENV3, dan DENV4, engan nyamuk dari genus Aedes sebagai vektor utama penyakit ini.

Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh Demam Dengue adalah adanya demam mendadak

tinggi (390C-400C) terus menerus, pola bifasik, selama 2-7 hari, disertai nyeri kepala, nyeri otot

(myalgia) dan sendi (atralgia), nyeri retro-orbital, fotofobia, gangguan pencernaan (diare atau

konstipasi), nyeri perut, sakit dan tenggorokan. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue

dapat dibedakan dengan ada atau tidaknya kebocoran plasma.

Diagnosis Demam Dengue memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.

Demam Dengue ditangani dengan pasien dianjurkan untuk bed rest selama fase akut, menjaga

suhu tubuh pasien tetap < 38,00C, pemberian antipiretik jika suhu > 38,00C serta memenuhi

kebutuhan cairan pasien dengan minum yang cukup.


DAFTAR PUSTAKA

Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam Buku ajar Ilmu

Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW dkk. Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : 2007.

Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan; 2004.

Sanyaolu, et al. 2017. Global epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An Update. Journal

of Human Virology & Retrovirology. 5(6);00179

Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI. 2009.

Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di Indonesia. Farmaka. 2007;

5:12-29.

Kemenkes RI. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Situasi

Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: 2014.

Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan

kesehatan, 2005.p.19-34

Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah Dengue.

Medicinus. 2009; 22 (1)

Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta: 2014.

Lestari, K. 2007. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Indonesia.

Farmaka. 5(3):12-29.

Anda mungkin juga menyukai