Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN IKM-IKK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

PENANGANAN DHF DALAM KEDOKTERAN KELUARGA

PENYUSUN:
Arfan, S.Ked
K1A1 14 139

PEMBIMBING:
dr. Ashaeryanto, M.Med

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN IKM-IKK


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis.
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam
jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968
hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara
Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah
penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk.1
Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30
tahun terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 136.121
kasus, dengan angka kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk.
Total kasus meninggal terus meningkat dengan Case Fatality Rate sebesar 1-2,5%
(Depkes RI, 2008a). Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi
di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD.1
Penularan virus ini terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya yang
berasal dari penderita demam berdarah lainnya. Demam berdarah ini sering terjadi
di daerah tropis,lingkungan yang lembab dan pada musim penghujan. Penyakit
DHF sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus, hal ini
disebabkan karena virus dengue yang menyebabkan DHF bisa bersifat
asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Masalah bisa bertambah karena virus
tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain, oleh karena itu
diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue,
patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang
baik dan lengkap, diagnosis DHF serta pemeriksaan penunjang (laboratorium)
dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.2

1
2

Dalam bidang kedokteran keluarga, penanganan DBD lebih berfokus pada


promotif dan preventif dimana Kejadian luar biasa (KLB) masih sering terjadi.
secara teoritis ada empat cara untuk memutuskan rantai penularan DBD ialah
melenyapkan virus, isolasi penderita, mencegah gigitan nyamk (vector)
dan penggalian vector. Untuk pengendalian vector dilakukan dengan dua cara
yaitu dengan cara kimia dan pengelolaan lingkungan, salah satunya dengan cara
pemberantasan sarang nyamuk (PSN).2
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui penanganan pasien demam berdarah berdasarkan
pendekatan kedokteran keluarga.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue


2.1.1. Definisi
Demam dengue atau demam berdarah dengue merupakan
penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD ditandai
dengan demam tinggi mendadak 3-14 hari setelah tergigit nyamuk
yang terinfeksi virus dengue.3

2.1.2. Etiologi
Demam dengue atau demam berdarah dengue disebabkan oleh
virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga
Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-
3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. Infeksi serotipe manapun memberi kekebalan
seumur hidup terhadap virus tersebut. Infeksi sekunder dengan serotipe
lain atau beberapa infeksi dengan serotipe berbeda akan menyebabkan
demam berdarah dengan bentuk yang parah (dengue hemorrhagic fever,
DHF/dengue shock syndrome, DSS).4
2.1.3. Epidemiologi
Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis
dan sub-tropis. Resiko terkena DBD pada laki – laki dan perempuan
hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. Kasus cenderung
meningkat pada musim penghujan (Desember-Maret) dan menurun
pada musim kemarau (Juni-September). Di Malaisia, insidensi DBD
mencapai 1.638 kasus per tahun yang meninggal di antaranya
bermanifestasi secara klinis, dengan apapun tingkat keparahannya.5 Dari
jumlah tersebut, sekitar 75% berada di wilayah Asia Pasifik, dan

3
4

vektor-vektor primer DBD (Aedes aegypti dan Aedes albopictus) telah


tersebar dalam beberapa dekade terakhir akibat perubahan-perubahan
sosial, lingkungan, dan demografik. Di Indonesia, pada tahun 2015,
prevalensi DBD mencapai 49,5 per 100.000 penduduk, dan case fatality
rate (CFR) DBD di tahun itu adalah 0,97%.3

2.1.4. Faktor risiko


Faktor-faktor berikut berkontribusi menimbulkan penyakit
yang berat dan membawa pada berbagai komplikasi:
1. Bayi kurang dari 1 tahun
2. Obesitas
3. Penderita ulkus peptikum
4. Wanita yang sedang menstruasi atau terdapatnya perdarahan vagina
yang abnormal (abnormal uterine bleeding, AUB)
5. Penyakit hemolitik seperti defisiensi G6PD, talasemia dan
hemoglobinopati lain
6. Penyakit jantung bawaan
7. Penyakit kronik seperti DM, hipertensi, asma, gagal ginjal kronik
dan sirosis hati 8. Penderita yang sedang dalam pengobatan steroid
atau NSAID.4

2.1.5. Patogenesis
Perjalanan penyakit penyakit dengue dibagi menjadi tiga fase, yaitu
fase febris, kritis, dan penyembuhan (recovery). Akibat perjalanan
penyakit DBD yang dinamis, gejala yang parah biasanya muncul
selama periode defervesens (transisi antara fase febris dengan afebris),
yang sering bersamaan dengan awitan fase kritis.6
Hingga saat ini masih dianut the secondary heterologous infection
hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan
bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus
dengue pertama kali terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue
5

serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun. The


Immunological Enhancement Hypothesis Antibody menyatakan bahwa
antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang
berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit,
yang terdiri dari enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada
saat ini dikenal 2 jenis antibodi, yaitu: (1) Kelompok monoklonal
reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu
replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara
spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini
berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibodi non-
neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat
bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang
berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama
hipotesis ini adalah :
• Sel fagosit mononuklear (monosit, makrofag, histiosit, dan sel
Kupffer) merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue
primer.
• Non-neutralizing antibodi bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear,
disebut mekanisme aferen.
• Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit
mononuklear yang telah terinfeksi.
• Selanjutnya sel monosit mengandung kompleks imun akan
menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini
disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD
dengan atau tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.
• Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi
dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat
6

dilepaskannya mediator yang memengaruhi permeabilitas kapiler dan


mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme
efektor.
Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen
virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ).
Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan
infeksi pertama), limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan
IFN-α yang selanjutnya akan merangsang sel terinfeksi virus dengue
dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T
CD4 dan CD8 spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis
dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma
dan perdarahan.

2.1.6. Manifestasi klinik


Spektrum infeksi virus dengue dapat bervariasi, antara asimptomatik
atau berupa demam yang tidak khas (sindrom virus), demam dengue
(DF), demam berdarah dengue (DHF), atau sindrom syok dengue
(DSS).7
a. Demam ringan (undifferentiated febrile illness)
Bayi, anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue
pertama kali (infeksi primer) mungkin berkembang menjadi
demam ringan yang sulit dibedakan dengan infeksi virus. Ruam-
ruam makulopapular mungkin dapat menyertai demam atau
muncul selama masa penurunan suhu. Gejala saluran nafas atas dan
pencernaan umumnya juga dapat ditemui.7
b. Demam dengue (Dengue Fever/DF)
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari. Awal penyakit biasanya
mendadak, disertai gejala prodormal, seperti nyeri kepala, nyeri
berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise.
Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota
badan, dan timbulnya ruam (rash). Ruam timbul 6-12 jam sebelum
7

suhu naik pertama kali, yaitu pada hari ke 3-5 sakit dan
berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang dengan tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh, serta
abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Pada lebih dari
separuh pasien, gejala klinis timbul mendadak, disertai kenaikan
suhu, nyeri kepala hebat, nyeri retroorbita, punggung, otot, sendi
disertai rasa menggigil. Dapat pula dijumpai bentuk kurva suhu
menyerupa pelana kuda atau bifasik. Anoreksia dan obstipasi
sering dilaporkan, juga nyeri epigastrium disertai nyeri kolik.
Gejala klinis lain yang sering adalah fotofobia, keringat
bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Kelainan
darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama periode pra
demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh
neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit
dan pada masa konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang
pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil
bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada
periode puncak penyakit disertai trombositopenia. Darah tepi
menjadi normal kembali dalam 1 minggu.7
c. Demam berdarah dengue (Dengue hemorrhagic fever/DHF)
Ditandai dengan 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi,
perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan
kegagalan sirkulasi. Fenomena patofisiologi utama yang
membedakan DF dan DHF adalah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DHF terdapat
perdarahan kulit, uji torniquet positif, memar, dan hematom pada
tempat pengambilan darah vena. Petekie halus yang tersebar di
anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi terkadang dijumpai,
sedangkan perdarahan saluran cerna hebat agak jarang dan
8

biasanya timbul setelah syok yang gagal diatasi. Perdarahan lain,


seperti perdarahan subkonjungtiva kadang ditemukan. Pada masa
konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak
tangan/telapak kaki.7
d. Sindrom syok dengue (Dengue shock syndrome / DSS)
Pada DBD derajat syok, setelah demam berlangsung selama
beberapa hari, keadaan umum tiba-tiba memburuk, yang biasanya
terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu antara hari
sakit ke 3-7. Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan
peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar
mulut, nadi menjadi cepat dan lambat. Anak tampak lesu, gelisah,
dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali
mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Nyeri perut
hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal. Nyeri di
daerah retrosternal tanpa sebab jelas dapat memberikan petunjuk
adanya perdarahan gastroinstestinal yang hebat. Syok yang terjadi
selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.7
Syok ditandai dengan:

Kulit pucat, dingin dan lembab, terutama pada ujung jari kaki,

tangan dan hidung, dan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh
sirkulasi yang tidak memadai yang menyebabkan peningkatan
aktivitas saraf simpatis secara refleks.

Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun

kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini


disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.

Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi

menjadi cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba karena kolaps
sirkulasi.
9

Tekanan nadi (pulse pressure) menyempit menjadi 20 mmHg

atau kurang.

Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau

kurang.

Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang

memasuki arteri renalis.


Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <100.000/uL ditemukan antara
hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematocrit merupakan bukti
adanya kebocoran plasma, walaupun dapat terjadi pada kasus
derajat ringan meskipun tidak sehebat keadaan syok. Hasil
laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hiponatremia,
hipoproteinemia, kadar transaminase serum dan ureum darah
meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik.
Jumlah leukosit bervariasi antara leukopenia dan leukositosis.
Kadang ditemukan albuminuria yang bersifat sementara.7
e. Expanded Dengue Syndrome
Kasus infeksi dengue dengan manifestasi tidak lazim tidak jarang
terjadi pada anak dan umumnya berhubungan dengan keterlibatan
beberapa organ seperti hepar, ginjal, jantung, dan gangguan
neurologis. Manifestasi tidak lazim dikaitkan dengan ko-infeksi,
ko-morbiditas, atau komplikasi syok yang berkepanjangan
(prolonged shock) disertai kegagalan organ (organ failure). Pada
ensefalopati seringkali dijumpai gejala kejang, penurunan
kesadaran, dan paresis transien. Ensefalopati dengue dapat
disebabkan oleh perdarahan atau oklusi pembuluh darah. Infeksi
dengue berat dapat disebabkan oleh kondisi ko-morbid pada pasien
seperti usia bayi, obesitas, lansia, ibu hamil, ulkus peptikum,
menstruasi, penyaki temolitik, penyakit jantung bawaan, penyakit
10

kronik seperti DM, hipertensi, asma, gagal ginjal kronik, sirosis,


pengobatan steroid, atau NSAID.7

a. Demam Dengue
Demam akut yang disertai: nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia,
arthralgia nyeri tulang, ruam, manifestasi perdarahan (tes
tourniquet (TT) positif, petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan
mukosa, traktus gastrointestinal, perdarahan ditempat injeksi atau
daerah lain, hematemesis atau melena), leukopenia
(≤5.000sel/mm3), trombositopenia (<150.000 sel/mm3),
peningkatan hematokrit (5-10%), dan ditambah minimal satu
diantara:

Pemeriksaan ser ologi serum menunjukkan titer ≥1.280 dengan

tes hemaglutinasi inhibisi (HI), sebanding dengan titer IgG dengan


pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), atau
positif pada pemeriksaan antibodi IgM.

Ditemukan kasus demam dengue yang terjadi bersamaan pada

suatu lokasi. Diagnosis pasti dengan menggunakan kriteria di atas


ditambah minimal satu diantara:
 Isolasi virus dengue dari serum, CSF atau sampel autopsi
 Peningkatan 4x lipat atau lebih IgG serum (dengan tes HI)
atau peningkatan antibodi IgM spesifik virus dengue
 Deteksi virus dengue atau antigen di jaringan, serum, CSF
dengan immunohistokimia, immunofluoresensi atau ELISA
 Deteksi virus dengue dengan reverse transcription-
polymerase chain reaction. 4
b. Demam Berdarah Dengue
Diagnosis berdasarkan kriteria:
11

• Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari,


dengan pola bifasik.
• Manifestasi perdarahan (tes tourniquet (TT) positif, petekie,
ekimosis, ataupurpura, perdarahan mukosa, traktus gastrointestinal,
perdarahan di tempat injeksi atau daerah lain, hematemesis atau
melena).
• Hepatomegali ditemukan pada penyakit ini pada 90-95% anak.
• Trombositopenia (≤100.000/mm3)
• Bukti adanya kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas
vaskuler, yang ditandai oleh setidaknya satu dari gejala berikut:
Peningkatan hematokrit / hemokonsentrasi ≥20% dari nilai dasar
atau penurunan pada masa penyembuhan, atau adanya efusi pleura,
asites, hipoproteinemia, dan albuminemia.4
c. Sindrom Syok Dengue
Kriteria demam berdarah dengue di atas ditambah tanda syok,
seperti :

Takikardi, akral dingin, capillary refill time memanjang, nadi

lemah, letargi, gelisah (mungkin merupakan tanda penurunan


perfusi otak).

Tekanan nadi (pulse pressure) ≤20 mmHg dengan penurunan

tekanan diastolik.

Hipotensi (<80 mmHg pada usia <5 tahun, atau 80-90 mmHg

pada anak yang lebih tua dan dewasa).4

2.1.7. Penatalaksanaan
Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C.8 Pasien
yang termasuk Grup A dapat menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien
yang termasuk Grup B atau C harus menjalani perawatan di rumah
12

sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi
dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan suportif.

a. Grup A
Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning
signs dan mampu mempertahankan asupan oral cairan yang
adekuat dan memproduksi urine minimal sekali dalam 6 jam.
Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah lengkap
harus dilakukan. Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat
dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi
edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan
oral yang cukup, serta pemberian parasetamol. Pasien beserta
keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara
jelas dan diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah
sakit jika timbul warning signs selama perawatan di rumah.8

b. Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan
pasien dengan kondisi penyerta khusus (co-existing conditions).
Pasien dengan kondisi penyerta khusus seperti kehamilan, bayi,
usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan indikasi sosial
seperti tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus
dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu mentoleransi
asupan cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan
intravena dapat dimulai dengan memberikan larutan NaCl 0,9%
atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan tetes maintenance.
Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan
cairan keluar), produksi urine, dan warning signs.8
Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah
sebagai berikut:
13

 Mulai dengan pemberian larutan isotonik (NS atau RL) 5-7


ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian kurangi kecepatan tetes
menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kemudian
kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
 Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika
hematokrit stabil atau hanya meningkat sedikit, lanjutkan
terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4
jam.
 Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat
nilai HCT, tingkatkan kecepatan tetes menjdai 5-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam.
 Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan
evaluasi kecepatan tetes infuse. Kurangi kecepatan tetes
secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis yang
diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan
yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah nilai baseline.
 Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai
pasien melewati fase kritis), produksi urine, hematokrit
(sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan, kemudian
setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil
ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).

c. Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma
(plasma leakage) berat yang menimbulkan syok dan/atau
akumulasi cairan abnormal dengan distres nafas, perdarahan
berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi menjadi
terapi syok terkompensasi (compensated shock) dan terapi syok
hipotensif (hypotensive shock).8
Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:
14

 Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10


ml/kg/jam selama 1 jam. Nilai kembali kondisi pasien, jika
terdapat perbaikan, turunkan kecepatan tetes secara gradual
menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam selama
2-4 jam dan selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien.
Terapi cairan intravena dipertahankan selama 24-48 jam.
 Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah
bolus cairan pertama. Jika nilai hematorit meningkat atau
masih tinggi (>50%), ulangi bolus cairan kedua atau larutan
kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika membaik
dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan
kecepatan tetes secara gradual seperti dijelaskan pada poin
sebelumnya.
 Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan
adanya perdarahan dan memerlukan transfusi darah (PRC
atau whole blood).
Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:
 Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20
ml/kg/jam sebagai bolus diberikan dalam 15 menit.
 Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau
koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam, kemudian turunkan
kecepatan tetes secara gradual.
 Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil,
evaluasi nilai hematokrit sebelum bolus cairan. Jika
hematokrit rendah (<40%), hal ini menandakan adanya
perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika
hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan
dengan cairan koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua
15

selama 30 menit sampai 1 jam, nilai ulang setelah bolus


kedua.
 Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-
10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian kembali ke cairan
kristaloid dan kurangi kecepatan tetes seperti poin
penjelasan sebelumnya.
 Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai
hematokrit setelah bolus cairan kedua. Jika nilai hematokrit
menurun, hal ini menandakan adanya perdarahan. Jika
hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat (>50%),
lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga
selama 1 jam, kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam
selama 1-2 jam, kemudian ganti dengan cairan kristaloid
dan kurangi kecepatan tetes.
 Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi
PRC segar atau 10-20 ml/kg/jam whole blood segar.

 Kriteria memulangkan pasien


Pasien dapat dipulangkan apabila:
a. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
b. Nafsu makan membaik
c. Secara klinis tampak perbaikan
d. Hematokrit stabil
e. Tiga hari setelah syok teratasi
f. Jumlah trombosit > 50.000/µl
g. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi
pleura atau asidosis)

2.1.8. Prognosis
Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya
penanganan diberikan, umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat
16

I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi
secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok
yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian
cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan
perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih ringan
daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi
sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk.7

2.1.9. Penanganan dalam kedokteran keluarga


Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti
dengan kagiatan Penyelidikan Epidemiologis (PE) dan
Penanggulangan Fokus, sehingga kemungkinan penyebarluasan DBD
dapat dibatasi dan KLB dapat dicegah. Selanjutnya dalam
melaksanakan kegiatan pemberantasan DBD sangat diperlukan peran
serta masyarakat, baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan
kegiatan pemberantasan maupun dalam memberantas jentik nyamuk
penularnya.9
a. Penyelidikan Epidemiolegis (PE) adalah kegiatan pencarian
penderita DBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik
nyamuk penular DBD di tempat tinggal penderita dan
rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam
radius sekurang-kurangnya 100 m. Tujuannya adalah untuk
mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta
tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar
tempat penderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui adanya
penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya
jentik nyamuk penular DBD, dan menentukan jenis tindakan
(penanggulangan fokus) yang akan dilakukan.9
17

b. Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk


penular DBD yang dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan
sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD), larvadiasasi,
penyuluhan dan penyemprotan (pengasapan) menggunakan
insektisisda sesuai kriteria. Tujuannya adalah membatasi penularan
DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat tinggal
penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya serta tempat-
tempat umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD
lebih lanjut.9
c. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya
penanggulangan yang meliputi : pengobatan/perawatan penderita,
pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada
masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan
di seluruh wilayah yang terjadi KLB. Tujuannya adalah membatasi
penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di suatu wilayah tidak
meluas ke wilayah lainnya. Penilaian Penanggulangan KLB
meliputi penilaian operasional dan penilaian epidemiologi.
Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase
(coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan.
Penilaian ini dilakukan melalui kunjungan rumah secara acak dan
wilayah-wilayah yang direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi
dan penyuluhan. Sedangkan penilaian epidemiologi ditujukan
untuk mengetahui dampak upaya penanggulangan terhadap jumlah
penderita dan kematian DBD dengan cara membandingkan data
kasus/kematian DBD sebelum dan sesudah penanggulangan KLB.9
d. Pemberantasan Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSN
DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong
nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat
perkembangbiakannya. Tujuannya adalah mengendalikan populasi
nyamuk, sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi.
Keberhasilan PSN DBD diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ).
18

Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan


DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan
dengan ”3M”, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat
penampungan air, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan
air, dan (3) mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas
yang dapat menampung air hujan.9
e. Pemeriksaan Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara
teratur oleh petugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau
jentik (jumantik). Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan jentik
nyamuk penular demam berdarah dengue termasuk memotivasi
keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD.9

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi


kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pencegahan penyakit DBD
sangat tergantung pada pengendalian vektornya yaitu nyamuk Aedes
Agypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat yaitu:7
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut dapat
dilakukan dengan antara lain pemberantasan sarang nyamuk
(PSN), pengendalian sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Yaitu dengan gerakan 3M plus:
a. Menguras bak mandi sekurang kurangnya 1 kali seminggu
b. Menutup dengan rapat penampungan air
c. Mengubur kaleng kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas
disekitar rumah dan lain sebagainya.
d. Plus : memangkas pohon pohon dan daun lebar dan tidak
menggantung baju bekas pakai
19

2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan jentik.
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain
a. Pengaspan dengan menggunakan malation dan fenition berguna
untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu
tertentu.
b. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat tempat
penampungan air.
4. Perilaku
Memakai pakaian dengan lengan panjang untuk menghindari
gigitan nyamuk penyebab DBD, menghindari tidur siang,
menggunakan kelambu saat tidur, merapikan pakaian kotor yang
bergantungan di balik balik pintu, memakai lotion atau obat
nyamuk lain pada saat tidur.

Tugas kedokteran keluarga dalam upaya pencegahan dan


penaggulangan DBD :
1. Harus mampu mengenal masalah yang berkaitan dengan penyakit
DBD, dan membuat keluarga dapat mengenal masalah DBD
dengan cara seperti penyuluhan dari petugas kesehatan, informasi
dari majalah ataupun peran aktif keluarga untuk memberitahu
informasi mengenai DBD.
2. Membuat mampu memutuskan tindakan yang tepat jika salah satu
anggota keluarga yang terkena penyakit DBD, keluarga harus
dengan cepat memutuskan tindakan yang terpat pada anggota
keluarganya yang terkena DBD dengan membawanya ke rumah
sakit. Keputusan harus diambil keluarga karena keluargalah yang
dapat memantau keluarganya yang terkena DBD.
20

3. Harus dapat menciptakan lingkungan yang sehat. Kemampuan


keluarga ini sangat erat kaitannya dengan pencegahan penyakit
DBD karena nyamuk penyebab DBD dapat berkembang biak
dilingkungan rumah yang tidak diperhatikan oleh keluarga.
Keluarga dapat melakukan tindakan 3 M pada lingkungan
rumahnya untuk mencegah terjadinya DBD.
Perilaku keluarga yang dimaksud dalam pencegahan DBD adalah
keterlibatan semua anggota keluarga baik tenggung jawab secara
mental dan emosional. Pengelolaan sarana yang di adakan agar
tetap terjamin dan terpelihara sehingga tidak menjadi tempat
perkembangbiakan vektor penyakit DBD.
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. DBD ditandai khas dengan
demam tinggi yang mendadak, peningkatan hematokrit, penurunan jumlah
trombosit yang bermakna, penurunan hitung leukosit, dan adanya manifestasi
perdarahan spontan. Tatalaksana DBD harus dilakukan dengan cepat dan
berfokus pada rehidrasi (pemulihan volume plasma darah), pengendalian
nyeri, pengendalian demam, dan pencegahan komplikasi-komplikasi yang
dapat terjadi dari hipoperfusi. DBD terutama dapat dicegah dengan tindakan
3M dengan memberantas habitat nyamuk vektor ( Aedes aegypti dan Aedes
albopictus), agar rantai transmisi penyakit ini terputus.

20
DAFTAR PUSTAKA

21

Anda mungkin juga menyukai