PENDAHULUAN
1
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi kegiatan
yang ada kaitanya dengan pelayanan kesehatan, khususnya terkait DBD
dan hipertensi.
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.2 Epidemiologi
Menurut WHO, dengue adalah penyakit virus yang yang paling umum
ditularkan oleh nyamuk ke manusia, yang dalam beberapa tahun terakhir telah
menjadi masalah kesehatan utama masyarakat internasional. Secara global, 2.5
miliar orang tinggal di daerah di mana virus dengue dapat ditransmisikan.
Penyebaran geografis antara vektor nyamuk dan virus telah menyebabkan epidemi
demam berdarah secara global dan kedaruratan demam berdarah dengue dalam 25
tahun terakhir dengan perkembangan hiperendemisitas di pusat-pusat perkotaan
daerah tropis.2
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik
barat dan karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di
seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di indonesia antara 6 hingga 15 per
100.000 penduduk (1989 hingga 1995), dan pernah meningkat tajam saat kejadian
luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan
mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
3
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi,
kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).2
2.1.3 Etiologi
DVirus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat
serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4) dapat dibedakan
dengan metode serologik. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe
menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang
sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara dan partial terhadap serotipe
yang lain. Virus dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan
flavivirus lain, mempunyai genom RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal yang
dikelilingi oleh nukleokapsid ikohedral dan terbungkus oleh selaput lipid.
Virionnya mempunyai diameter kira-kira 50 nrn. Genom flavivirus mempunyai
panjang 11 kb (kilobases), dan mempunyai urutan genom lengkap untuk
mengisolasi keempat serotipe. Virus terdiri dari 3 struktur dan 7 protein tidak
terstruktur yaitu: nukleokapsid atau protein inti, protein yang berkaitan
dengan .membran (M) dan protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein
nonstruktural (NS). Domain bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan
interaksi reseptor virus dengan protein pembungkus.4
2.1.4 Vektor
A. aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan
antara garis lintang 35 U dan 35 S. Distribusi A. Aegypti juga dibatasi oleh
ketinggian sehingga nyamuk ini tidak ditemukan di atas ketinggian 1.000 m. A.
aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling utama untuk arbovirus
karena nyamuk ini sangat antropofilik, hidup dekat manusia, dan sering hidup di
dalam rumah sekitar kamar tidur, pakaian, dan air bersih sehingga sulit untuk
mengontrolnya dari lingkungan luar. Nyamuk dewasa lebih sering menggigit pagi
hari dan sore hari.2
2.1.5 Penularan
Setelah menggigit manusia .yang terinfeksi, virus dengue memasuki
nyamuk betina dewasa. Virus pertama kali bereplikasi dalam midgut kemudian
bereplikasi dalam kelenjar saliva nyamuk yang lamanya kurang lebih 8-12 hari,
4
periode ini disebut periode ekstrinsik. Nyamuk yang mengandung virus tersebut
kemudian menggigit manusia lain dan bereplikasi dalam tubuh manusia dengan
masa inkubasi 4-7 hari (3-14 hari) yang disebut periode intrinsik. Viremia terjadi
1 hari sebelum dan 5 hari setelah onset penyakit.
2.1.6 Patofisiologis
Penelitian patogenesis infeksi virus dengue sampai sekarang merupakan
penelitian yang paling menantang. Hal tersebut disebabkan sejauh ini belum ada
suatu teori yang dapat menerangkan secara tuntas patogenesis infeksi virus
dengue. Dua teori yang kini digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis infeksi virus dengue yaitu hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE).
Beberapa hipotesis telah dibuktikan untuk menjelaskan peningkatan insidens
kasus yang berat setelah terjadi infeksi virus dengan serotipe yang berbeda.
Penelitian secara in vitro telah memperlihatkan bahwa ada cross reactive non
neutralizing dari antibodi dengue berbentuk kompleks virus yang heterologous.4
5
Hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) prinsipnya adalah
suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear.2
Kompleks antibodi dan virus dengue yang heterologous akan
memfasilitasi masuknya virus ke dalam monosit melalui reseptor Fc, proses ini
dikenal sebagai ADE. Monosit yang mengandung virus menyebar ke berbagai
organ dan terjadi viremia. Dasar teori infection enhancing antibody ialah peran sel
fagosit mononuklear dan terbentuknya antibodi non netralisasi. Sebagai respons
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan manifestasi
perdarahan sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. Disamping
kedua hipotesis di atas masih ada teori lain tentang patogesis DBD yaitu teori
mediator, teori virulensi virus, teori antigen antibodi, teori apoptosis, dan teori
trombosit endotel. Teori virulensi menurut Russel, 1990, mengatakan bahwa DBD
berat terjadi pada infeksi primer dan bayi usia < 1 tahun, serotipe DEN-3 akan
menimbulkan manifestasi klinis yang berat dan fatal, dan serotipe DEN-2 dapat
menyebabkan syok. Hal-hal diatas menyimpulkan bahwa virulensi virus turut
berperan dalam menimbulkan manifestasi klinis yang berat.2
6
kadar pelepasan PAF oleh monosit dengan infeksi sekunder dapat pula
menjelaskan perdarahan pada DBD dan DSS. Jadi perdarahan pada DBD dapat
disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama yaitu vaskulopati, kelainan
trombosit, dan penurunan kadar faktor pembekuan. Pada fase awal demam,
perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan trombositopenia, sedangkan pada
fase syok dan syok yang lama, perdarahan disebabkan oleh trombositopeni diikuti
oleh koagulopati terutama sebagai akibat koagulasi intravaskular rnenyuluruh dan
peningkatan fibrinolisis. Faktor sitotoksis memproduksi sel CD4+T yang akan
merangsang makrofag memproduksi TNF-alpha dan IL-18. Kadar faktor
sitotoksik berhubungan dengan beratnya penyakit. Selama infeksi dengue berat
beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi supresi respons Th1 dan
didapatkan respons Th2 yang lebih dominan. Beberapa laporan menunjukkan
bahwa respons Th2 predominan terjadi pada kasus DBD/SSD.5
7
Demam dengue dan demam berdarah dengue pada awal perjalanan
penyakit sulit dibedakan. Fase pertama yang relatif lebih ringan berupa
demam, malaise, mual muntah, sakit kepala, anoreksia, dan batuk berlanjut
selama 2-5 hari diikuti oleh deteriorasi dan pemburukan klinis. Pada fase
kedua, pasien umumnya pilek, ekstermitas basah oleh keringat, badan
hangat, wajah kemerah merahan, diaforesis, kelelahan, iritabilitas dan
nyeri epigastrik.
Sering dijumpai petekie menyebar di kening dan ekstermitas,
ekimosis spontan dan memar serta perdarahan dapat dengan mudah terjadi
di lokasi pungsi vena. Ruam makular atau mukopapular dapat dengan
mudah terjadi di lokasi pungsi vena. Ruam makular atau makulopapular
dapat terlihat. Respirasi cepat dan melelahkan, denyut nadi lemah dan
cepat, suara jantung melemah. Hati dapat membesar 4-6 dan biasanya
keras dan sulit digerakkan.
Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue akan timbul syok (sindrom
syok dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat atau perdarahan
gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak diobati. Setelah krisis
24-36 jam, pemulihan terjadi dengan cepat pada anak yang diobati. Temperatur
dapat kembali normal sebalum atau selama syok. Bradikardia dan ekstrasistol
ventrikular umumnya terjadi saat fase pemulihan.1
8
Gambar 2.1 Algoritma sederhana penentuan DD dan DBD
9
e) Protein/albumin
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma
f) SGOT/SGPT (Serum alanin aminotransferase) : Dapat meningkat
g) Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
h) Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi)
Bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.
i) Imunoserologi
Dilakukan pemeriksaan IgG dan IgM terhadap dengue.
IgM : terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.
B. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi
dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula di deteksi dengan
pemeriksaan USG.
2.1.9 Diagnosis
Belum ada panduan yang dapat diterima untuk mengenal awal infeksi
virus dengue.6 Perbedaan utama antara demam dengue dan DBD adalah pada
DBD ditemukannya adanya kebocoran plasma.
A. Demam dengue
Ditegakkan bila terdapat dua atau lebih manifestasi klinis (nyeri
kepala, nyeri retroorbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan,
leukopenia) di tambah pemeriksaan serologis dengue positif atau ditemukan
pasien demam dengue/ demam berdarah dengue yang telah dikonfirmasi pada
waktu dan lokasi yang sama.
B. Demam berdarah dengue
10
Berdasarkan kriteria WHO 1999 diagnosis DBD ditegakkan bila
semua hal di bawah ini terpenuhi.
a) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
b) Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis, purpura
Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan
gusi) atau perdarahan dari tempat lain.
Hematemesis atau melena.
c) Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
d) Terdapat minimal satu dari tanda tanda kebocoran plasma sebagai
berikut :
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi
cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
11
2.1.10 Klasifikasi derajat penyakit
/DBD Derajat Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 atau lebih tanda: Leucopenia
sakit kepala, nyeri retro-orbital, Trombositopenia, Serologi
mialgia, artralgia. tidak ditemukan
bukti kebocoran Dengue
plasma Positif
DBD I Gejala di atas ditambah uji bendung Trombositopenia,
positif (<100.000/µL), bukti
ada kebocoran
plasma
2.1.11 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasusDBD. Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
12
pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melaui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan divisi penyakit tropik dan infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa dengan kriteria :
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan dan tindakan yang dibuat
sesuai atas indikasi
Praktis dalam pelaksanaannya
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori antara lain :
1. Protokol 1 : Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di instalasi gawat
darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi
rawat.
Seseorang tersangka DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-
150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau
berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya,
(dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit tiap 24 jam) bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalasi gawat
darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk
dirawat.
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
untuk dirawat.
13
Gambar 2.2 Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan
di UGD
14
Gambar 2.3 Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruangan
15
Gambar 2.4 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita
harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi
15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk
dan didapatkan tanda tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
4. Protokol 4 : Pelaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.
Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
16
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan
trombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit sebaiknya diulang tiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi faktor faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC
diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan
pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit
< 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
17
kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita
DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita
DBD mendapatkan pertolongan dan pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan
penatalaksanaan renjatann yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan
sesuai resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter per menit.
Pemeriksaan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer
lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida,
serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan
tekanan darah sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frequensi
nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba
hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5 – 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan
dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap
stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
kemudian keadaan tetap stabil maka pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi dan tanda tanda vital dan
hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus
dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi
telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan
maka keadaan hipervolemia, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karema
selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid
hanya sekitar 20
% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik,
diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.
18
Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan
perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan
belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-
30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap
belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat
berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid
merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan
( internal bleeding ) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB
dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat sidat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula mula diberikan dengan
tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan
tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan
pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1 – 1,5 l / hari) dengan sasaran tekanan
vena sentral 15- 18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan
dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai
dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor.
19
Gambar 2.6 Penatalaksanaan sindrom renjatan dengue
20
2.1.12 Prognosis
Pada Demam Dengue prognosisnya apabila suhu turun maka akan terjadi
perbaikan dan penyembuhan sempurna. Sedagkan pada Demam Berdarah Dengue
angka kematian yang disebabkan oleh DBD adalah kurang dari 1%, tetapi bila
timbul Dengue Shock Syndrome maka angka kematian bisa mencapai 40-50%.
Sehingga prognosis Dengue Shock Syndrome sangat tergantung dari pengenalan
dini dengan cara pemantauan cermat dan tindakan cepat dan tepat terutama ketika
terjadi renjatan (syok).4
2.1.13 Pencegahan
Pencegahan/pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan
sarangnya dengan melakukan tindakan 3 M, yaitu
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali atau
menaburkan bubuk larvasida (abate).
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
3. Mangubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air
Adultsida (fogging) dengan menggunakan DDT (Dicloro-Diphenyl-
Tricloroethane)
BAB III
LAPORAN KASUS
21
3.1 Identitas Pasien :
Nama : Bpk. B
Umur : 35 tahun
Alamat : Bypass
No. MR : 1001688092
3.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Demam sejam 5 hari yang lalu
22
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit hipertensi disangkal
Riwayat penyakit DM disangkal
Riwasat sakit kuning disangkal
Riwayat transfuse darah disangkal
Riwayat pemakaian jarum suntik bersama / injeksi di luar RS disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat penyakit TB disangkal
23
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36,5oC
Uji bendung :+
Status Gizi
BB : 53 kg
TB : 165cm
BMI : 19.4 (underweight)
Status Generalisata :
Kulit : Ikterik (-), Sianosis (-)
Kepala : Normocephal, rambut hitam dengan sedikit uban tidak mudah rontok
Wajah : Edema (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil isokor kiri dan kanan
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal, stomatitis angularis (-),atrofi lidah (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pemebesarak KGB submandibula,
sepanjang M. sternocleidomastoideus, supra/infraclavicula kiri dan
kanan
Thorak :
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di RIC V linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas kanan : RIC IV Linea sternalis dextra
Batas kiri : 2 jari di RIC V Linea medioclavicularis sinistra
Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Irama murni, M1>M2, P2<A2, bising jantung (-)
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, statis dan dinamis
24
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit, ascites (-), venectasi (-), sikatrik (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada epigastrium, nyeri lepas (-). Hepar teraba 5 jari
dibawah arcus costarum dan 4 jari dibawah proc. Xiphoideus, sudut
tumpul, permukaan rata, konsistensi padat, lien teraba membesar di
S3, nyeri ketok pada CVA (-).
Perkusi : Tympani, Shiftingdullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Superior
Inspeksi : Edema (-), sianosis (-), Palmar Eritem (-), Ptekie (+),
spider nevi (-)
Palpasai : Perabaan hangat, pulsasi artei radialis kuat angkat
Tes Sensibilitas : Sensibilitas halus (+), sensibilitas kasar (+)
Inferior
Inspeksi : Edema (-), sianosis (-)
Palpasi ` : Perabaan hangat, pulsasi a. femoralis, a. dorsalis pedis, a.
tibialis posterior, dan a. poplites kuat angkat
25
Trombosit : 53.000/mm3
Kimia Klinik
Ureum : 44 mg/dl
Creatinin : 1.66 mg/dl
GDR 93 mg%
3.7 Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis :
a. Tirah baring
b. Rawat di interne, cek darah rutin per hari
c. IVFD RL 4 jam/ kolf
d. Banyak minum air putih
e. Makan sedikit tapi sering
2. Farmakologis :
Inj. Lansoprazol 1x1
Inj. Ondansetron 2x1
Paracetamol 4x1. Berikan paracetamol inf extra jika suhu >39c
Psidii 3x1
Curcuma 3x1
3.9 Prognosis
26
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fuctionam : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Sudoyo, W.Aru dkk.2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam III edisi V.
Jakarta : Interna Publishing.
2. Depkes RI.2010.Penyelidikan Epidemiologis penanggulangan Fokus dan
Penanggulangan Vektor Pada Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue.
Jakarta: Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
3. Marulam M. Panggabean.Penyakit Jantung Hipertensi. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
4. Soegijanto, S.2011. Demam Berdarah Dengue. Surabaya : Airlangga
University Press
5. McBride WJH and Bielefeldt-Ohmann H. (2010) Dengue viral infections;
pathogenesis and epidemiology. Microbes and Infection. 2:1041- 1050.
6. WHO. (2007) Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention
and control, 2nd edition. Geneva: World Health Organization.
7. Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, et all, editors.2011. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Riaz, Kamran. Hypertensive heart disease. (Serial Online: Desember 2011).
Available from: http://www.emedicine.com/MED/topic3432.htm. Diakses pada
20 Juli 2016.
9. Adnil Basha.2012 Penyakit Jantung Hipertensif; Buku Ajar Kardiologi. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10.
28