Anda di halaman 1dari 24

Case Report Session (CRS)

DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

Oleh :

Ayunda Sartika 1840312711


Ikhvan Juzef 1840312720
Luvia Rahmi Adriyanti 1840312698
Shinta Chamarelza 1840312751

Preseptor:
dr. Vesri Yoga, Sp.PD

BAGIAN ILMU KESEHATAN PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2019

0
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi virus dengue merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh


virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty. Infeksi virus dengue
pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara
penyakit paling ringan (mild undiffrentiated febrile illness), demam dengue,
demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok
(dengue shock syndrome). Patofisiologi utama penyakit DBD adalah terjadinya
kebocoran plasma yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas pembuluh
darah (vascular).1
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome)/DSS adalah demam berdarah dengue
yang ditandai oleh renjatan/syok. Terdapat 4 gambaran klinis utama dari
penyakit DBD pada anak, yaitu demam tinggi, manifestasi perdarahan,
hepatomegali, dan terjadinya renjatan (syok). Diagnosis klinis Demam Dengue
dan Demam Berdarah Dengue didasarkan pada kriteria klinis dan laboratorium,
trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Diagnosis pasti  adalah dengan
ditemukannya virus dengue sebagai penyebab infeksi virus dengue pada
penderita. Menemukan virus dengue pada penderita hanya dapat dilakukan di
laboratorium dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus dengue dalam serum
atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum penderita.
Tatalaksana terhadap penyakit Demam Dengue meliputi pemberian antipretik
untuk menurunkan suhu tubuh, pemberian cairan untuk mencegah renjatan (syok),
dan mengatasi perdarahan.1

1
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18 seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon, dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima
hari (vijfdaagse koorts) kadang juga disebut sebagai demam sendi (knokkel
koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam 5 hari
disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.1
Di Indonesia, pertama sekali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968 dan
kemudian disusul dengan daerah-daerah yang lain. Jumlah penderita menunjukkan
kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini banyak terjadi di
kota-kota yang padat penduduknya. Akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini,
penyakit ini juga berjangkit di daerah pedesaan. 2
Berdasarkan penelitian di Indonesia dari tahun 1968-1995 kelompok umur
yang paling sering terkena ialah 5 – 14 tahun walaupun saat ini makin banyak
kelompok umur lebih tua menderita DBD. Saat ini jumlah kasus masih tetap
tinggi rata-rata 10-25/100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun
bermakna < 2%.3 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit
infeksi yang sering terjadi pada anak. Penyakit ini disebabkan oleh virus
dengue. DBD dapat ditularkan dari satu orang kepada orang lainnya. Virus dengue
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Setelah
virus berada dalam tubuh penderita akan menimbulkan berbagai efek klinis, mulai
dengan demam tinggi, perdarahan, sampai terjadinya syok. Tatalaksana yang
cepat dan tepat dapat menyelamatkan penderita. 1

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Infeksi virus dengue merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty.1 Demam dengue/DF dan
demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit
infeksi dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik.
2.2. Etiologi
Virus dengue merupakan bagian dari famili Flaviviridae. Keempat serotipe
virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4) dapat dibedakan dengan
metode serologik. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan
imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi
hanya menjadi perlindungan sementara dan partial terhadap serotipe yang lain.
Virus dengue menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus
lain, mempunyai genom RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal yang dikelilingi
oleh nukleokapsid ikohedral dan terbungkus oleh selaput lipid. Virionnya
mempunyai diameter kira-kira 50 nrn. Genom flavivirus mempunyai panjang 11
kb (kilobases), dan mempunyai urutan genom lengkap untuk mengisolasi keempat
serotipe. Virus terdiri dari 3 struktur dan 7 protein tidak terstruktur yaitu:
nukleokapsid atau protein inti, protein yang berkaitan dengan .membran (M) dan
protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein nonstruktural (NS). Domain
bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi reseptor virus dengan
protein pembungkus.4
2.3. Vektor
A. aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan
antara garis lintang 35 U dan 35 S. Distribusi A. aegypti juga dibatasi oleh
ketinggian sehingga nyamuk ini tidak ditemukan di atas ketinggian 1.000 m. A.
aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling utama untuk arbovirus
karena nyamuk ini sangat antropofilik, hidup dekat manusia, dan sering hidup di
dalam rumah sekitar kamar tidur, pakaian, dan air bersih sehingga sulit untuk

3
mengontrolnya dari lingkungan luar. Nyamuk dewasa lebih sering menggigit pagi
hari dan sore hari.1
2.4. Penularan
Setelah menggigit manusia .yang terinfeksi, virus dengue memasuki
nyamuk betina dewasa. Virus pertama kali bereplikasi dalam midgut kemudian
bereplikasi dalam kelenjar saliva nyamuk yang lamanya kurang lebih 8-12 hari,
periode ini disebut periode ekstrinsik. Nyamuk yang mengandung virus tersebut
kemudian menggigit manusia lain dan bereplikasi dalam tubuh manusia dengan
masa inkubasi 4-7 hari (3-14 hari) yang disebut periode intrinsik. Viremia terjadi
1 hari sebelum dan 5 hari setelah onset penyakit.2
2.5. Patofisiologis
Penelitian patogenesis infeksi virus dengue sampai sekarang merupakan
penelitian yang paling menantang. Hal tersebut disebabkan sejauh ini belum ada
suatu teori yang dapat menerangkan secara tuntas patogenesis infeksi virus
dengue. Dua teori yang kini digunakan untuk menjelaskan perubahan
patogenesis infeksi virus dengue yaitu hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection) dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE).
Beberapa hipotesis telah dibuktikan untuk menjelaskan peningkatan insidens
kasus yang berat setelah terjadi infeksivirus dengan serotipe yang berbeda.
Penelitian secara in vitro telah memperlihatkan bahwa ada cross reactive non
neutralizing dari antibodi dengue berbentuk kompleks virus yang heterologous.4
a. Berdasarkan Teori Infeksi Sekunder
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi kekebalan
terhadap infeksi jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Jadi seseorang
yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue akan mempunyai antibodi
yang dapat menetralisasi virus yang sama (homologous). Tetapi jika orang
tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain maka
terjadi infeksi berat karena pada infeksi selanjutnya antibodi heterologous yang
terbentuk pada infeksi primer tidak dapat menetralisasi virus dengue serotipe lain
(non neutralizing antibody). Pada makrofag yang dilingkupi oleh antibodi non
neutralisasi, antibodi tersebut bersifat opsonisasi, internalisasi dan mempermudah

4
makrofag/monosit terinfeksi serta virus bebas bereplikasi di dalam makrofag
bahkan membentuk kompleks yang lebih infeksius sehingga penyakit cenderung
menjadi berat serta berperan dalam patogenesis terjadinya DBD/DSS. 4
b. Berdasarkan Hipotesis antibody dependent enhancement
Hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) prinsipnya adalah
suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear.2 Kompleks antibodi dan virus dengue yang heterologous akan
memfasilitasi masuknya virus ke dalam monosit melalui reseptor Fc, proses ini
dikenal sebagai ADE. Monosit yang mengandung virus menyebar ke berbagai
organ dan terjadi viremia. Dasar teori infection enhancing antibody ialah peran sel
fagosit mononuklear dan terbentuknya antibodi non netralisasi. Sebagai respons
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan manifestasi
perdarahan sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. Disamping
kedua hipotesis di atas masih ada teori lain tentang patogesis DBD yaitu teori
mediator, teori virulensi virus, teori antigen antibodi, teori apoptosis, dan teori
trombosit endotel. Teori virulensi menurut Russel, 1990, mengatakan bahwa DBD
berat terjadi pada infeksi primer dan bayi usia < 1 tahun, serotipe DEN-3 akan
menimbulkan manifestasi klinis yang berat dan fatal, dan serotipe DEN-2 dapat
menyebabkan syok. Hal-hal diatas menyimpulkan bahwa virulensi virus turut
berperan dalam menimbulkan manifestasi klinis yang berat.2
c. Berdasarkan Teori Mediator
Teori mediator sekarang ini dipikirkan oleh para ahli karena melanjutkan
teori antibody enhancing. Pasien DBD mempunyai kadar TNF-a, lL-6, IL-i3, lL-
18, dan faktor sitotoksik lebih tinggi dibandingkan pasien DD sedangkan pada
pasien DSS mempunyai kadar IL-4, IL-o, lL-8, dan IL-10 yang tinggi. Sitokin
tersebut sangat berperan meningkatkan permeabilitas vaskular dan syok selama
terinfeksi dengue.
Kompleks virus antibodi yang meliputi sel makrofag akan memproduksi
sitokin TNF-a, lFN-y, lL-Z, lL-6, PAF (platelet activating factor), dan lain-lain
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, kerusakan
endotel pembuluh darah sehingga terjadi kebocoran cairan plasma ke dalam

5
jaringan tubuh dan mengakibatkan syok. Kompleks virus-antibodi juga akan
merangsang komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) Serta perdarahan. Tingginya
kadar pelepasan PAF oleh monosit dengan infeksi sekunder dapat pula
menjelaskan perdarahan pada DBD dan DSS. Jadi perdarahan pada DBD dapat
disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama yaitu vaskulopati, kelainan
trombosit, dan penurunan kadar faktor pembekuan. Pada fase awal demam,
perdarahan disebabkan oleh vaskulopati dan trombositopenia, sedangkan pada
fase syok dan syok yang lama, perdarahan disebabkan oleh trombositopeni diikuti
oleh koagulopati terutama sebagai akibat koagulasi intravaskular rnenyuluruh dan
peningkatan fibrinolisis. Faktor sitotoksis memproduksi sel CD4+T yang akan
merangsang makrofag memproduksi TNF-alpha dan IL-18. Kadar faktor
sitotoksik berhubungan dengan beratnya penyakit. Selama infeksi dengue berat
beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi supresi respons Th1 dan
didapatkan respons Th2 yang lebih dominan. Beberapa laporan menunjukkan
bahwa respons Th2 predominan terjadi pada kasus DBD/SSD.2
2.6. Gambaran Klinis
Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini di bawah ini dipenuhi :
 Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji bendung positif.
- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
- Hematemesis atau melena.
 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin.

6
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD
adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.3
Pemeriksaan Penunjang
• Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
• Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
• SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
• Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
• Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
• Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
• Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
- IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
- IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
• Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang
dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG. 2
Dua kriteria klinis pertama yaitu demam dan manifestasi perdarahan
disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan definisi kasus DBD.
Sedangkan definisi kasus DBD confirmed adalah bila terdapat paling sedikit 1

7
pemeriksaan berikut yang positif: Titer HI 2 1280, serokonversi naik 4x, adanya
IgM dan peningkatan titer IgG pada fase akut dan konvalesens, dan isolasi virus
positif. Diagnosis pasti DBD adalah dengan ditemukannya virus dengue sebagai
penyebab DBD pada penderita. Menemukan virus dengue pada penderita hanya
dapat dilakukan di laboratorium dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus
atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam
serum penderita. Hingga kini, dikenal 5 jenis uji serologik yang biasa dipakai
untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu:
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Hemaglutination inhibition test = HI test)
2. Uji kornpleman fiksasi (Complemen fixation test = CF test)
3. Uji neutralisasi (Neutralization test =NT test)
4. IgM Elisa (Mac Elisa)
5. IgG Elisa
Pada dasamya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi
fase konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik 4 kali lipat atau lebih).
Demam Dengue merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai
dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
• Nyeri kepala.
• Nyeri retro-oebital.
• Mialgia / artralgia.
• Ruam kulit.
• Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif).
• Leukopenia.
dan pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DD/DBD yang
sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.2

8
Klasifikasi Derajat Penyakit
DBD Derajat Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 atau Leucopenia


lebih tanda: sakit kepala, Trombositopenia, Serologi
nyeri retro-orbital, tidak ditemukan
mialgia, artralgia. bukti kebocoran Dengue
plasma Positif

DBD I Gejala di atas ditambah uji Trombositopenia,


bendung positif (<100.000/µL),
bukti ada
kebocoran plasma

DBD II Gejala di atas ditambah Trombositopenia,


perdarahan spontan (<100.000/µL),
bukti ada
kebocoran plasma

DBD III Gejala di atas ditambah Trombositopenia,


(DSS) kegagalan sirkulasi (kulit (<100.000/ µL),
dingin dan lembab serta bukti ada
gelisah) kebocoran plasma

DBD IV Syok berat disertai dengan Trombositopenia,


(DSS) tekanan darah dan nadi (<100.000/ µL),
tidak terukur. bukti ada
kebocoran plasma1

9
2.7. Diagnosis Banding
1. Malaria
Anamnesis
Keluhan utama dapat meliputi demam, menggigil, dapat disertai sakit
kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. Riwayat berkunjung
dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria. Riwayat tinggal
didaerah endemik malaria. Riwayat sakit malaria. Riwayat minum obat malaria
satu bulan terakhir. Gejala klinis pada anak dapat tidak jelas. Riwayat mendapat
transfusi darah.
Selain hal-hal tadi, pada pasien penderita malaria berat, dapat ditemukan
keadaan seperti Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat, Keadaan umum
yang lemah, Kejang-kejang, Panas sangat tinggi, Mata dan tubuh kuning,
Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna, Nafas cepat (sesak napas), Muntah
terus menerus dan tidak dapat makan minum, Warna air seni seperti the pekat dan
dapat sampai kehitaman, Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada dan
Telapak tangan sangat pucat.

Pemeriksaan fisik
a. Malaria Ringan
Demam (pengukuran dengan termometer ≥ 37,5°C), Konjungtiva atau
telapak tangan pucat, Pembesaran limpa (splenomegali), dan Pembesaran hati
(hepatomegali).
b. Malaria Berat
Mortalitas: Hampir 100% tanpa pengobatan, tatalaksana adekuat: 20%,
infeksi oleh P.falciparum disertai dengan salah satu atau lebih kelainan yaitu
Malaria serebral, Gangguan status mental, Kejang multipel, Koma, Hipoglikemia:
gula darah < 50 mg/dL, Distress pernafasan, Temperatur > 40oC, tidak responsif
dengan asetaminofen, Hipotensi, Oliguria atau anuria, Anemia dengan nilai
hematokrit <20% atau menurun dengan cepat, Kreatinin > 1,5 mg/dL, Parasitemia
> 5%, Bentuk Lanjut (tropozoit lanjut atau schizont) P. falciparum pada apusan
darah tepi, Hemoglobinuria, Perdarahan spontan, dan Kuning.
Pemeriksaan laboratorium

10
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di
Puskesmas/Iapangan/rumah sakit untuk menentukan Ada tidaknya parasit malaria
(positif atau negatif),Spesies dan stadium plasmodium, Kepadatan parasite.Untuk
penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1 Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang
setiap 6 jam sampai 3 hari berturut-turut.
2 Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut
tidak ditemukan parasit maka diagnosis malaria disingkirkan.
b. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi, dalam bentuk dipstik Tes ini
sangat bermanfaat pada unit gawat darurat, pada saat terjadi kejadian luar biasa
dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas lab serta untuk survey tertentu.
Hal yang penting lainnya adalah penyimpanan RDT ini sebaiknya dalam lemari es
tetapi tidak dalam freezer pendingin.
c. Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat
Pemeriksaan peninjang meliputi; darah rutin, kimia darah lain (gula darah,
serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum,
kreatinin, natrium dan kalium, anaIisis gas darah, EKG, Foto toraks,Analisis
cairan serebrospinalis, Biakan darah dan uji serologi, dan Urinalisis.

2. Demam Tifoid
Masa inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-14 hari, namun dapat mencapai
3-30 hari.Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.Kemudian
menyusul gejala dan tanda klinis yang biasa ditemukan.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam berlangsung 3 minggu bersifat febris, remiten dan suhu tidak terlalu
tinggi.Pada awalnya suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga selama
2-7 hari, lebih tinggi pada sore dan malam hari,tetapi demam bisa pula mendadak
tinggi. Dalam minggu kedua penderita akan terus menetap dalam keadaan demam,
mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai normal kembali pada

11
minggu keempat. Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang tidak beraturan,
sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil. Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi dan diare.Konstipasi dapat
merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul
diare.Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian sebelumnya juga
didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit kepala , batuk, lemah dan tidak nafsu
makan.
Tanda klinis yang didapatkan antara lain adalah pembesaran beberapa organ
yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain hepatomegali dan splenomegali.
Penelitian yang dilakukan di Bangalore didapatkan data teraba pembesaran pada
hepar berkisar antara 4 – 8 cm dibawah arkus kosta. Tetapi adapula penelitian lain
yang menyebutkan dari mulai tidak teraba sampai 7,5 cm di bawah arkus kosta.
Penderita demam tifoid dapat disertai dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak terlalu dalam, yaitu apatis
sampai somnolen.
Selain tanda – tanda klinis yang biasa ditemukan tersebut,mungkin pula
ditemukan gejala lain.Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola,
yaitu bintik kemerahan karena emboli dalam kapiler kulit.Kadang-kadang ditemukan
ensefalopati, relatif bradikardi dan epistaksis pada anak usia > 5 tahun. Penelitian
sebelumnya didapatkan data bahwa tanda organomegali lebih banyak ditemukan
tetapi tanda seperti roseola sangat jarang ditemukan pada anak dengan demam tifoid.

3. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri,


virus, atau penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis
chikungunya, malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai
hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.

4. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh
anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila
dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak,
masa demam lebih pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam
makulopapular, injeksi kojungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi
uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC
tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.

12
5. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula
kelihatan sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi.
Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear
(pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat
dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis
meningkokokus jelas terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada
pemeriksaan cairan serebrospinalis.

6. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat


II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-
hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada
ITP demam cepat
2.8. Penatalaksanaan
1. Pemberian cairan.
Tujuan pemberian cairan adalah untuk mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan perdarahan. Jika masih bisa
minum (intake baik) dan tidak ada muntah diberikan minum banyak 1-2 liter/hari.
Jenis minuman yang diberikan berupa: air" putih, teh manis, sirup, jus buah, susu,
oralit. Pemberian cairan intra-vena (infus) jika : (1) terus-menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi,dehidrasi; (2) nilai hematokrit cenderung meningkat
pada pemeriksaan berkala.1

13
14
Cairan Cairan yang diberikan bisa berupa :
1. Kristaloid :
- Ringer Laktat
- 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer Laktat
- 5 % Dextrose di dalam larutan Ringer asetat
- 5 % Dextrose di dalam larutan setengah normal saline, dan
- 5 % Dextrose di dalam larutan normal saline
2. Koloidal :
- Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dextran 40)
- Plasma.
a. RL / D 5 % dalam RL / D 5 % dalam Ringer Asetat / larutan normal
garam faali: diberikan 10 –20 ml/kg BB/ 1 jam.
b. Pada kasus yang berat (grade IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg BB
(1x atau 2 x).

15
c. Jika renjatan berlangsung terus (Hematokrit tinggi) diberikan larutan
koloidal (Dextran atau Plasma) sejumlah 10 – 20 ml/kg BB/ 1 jam.3
2. Tranfusi darah
Diberikan pada :
• Kasus dengan renjatan yang sangat berat atau syok yang berkelanjutan.
• Gejala perdarahan yang nyata, misal : hematemesis dan melena.
Pemberian darah dapat diulang sesuai dengan jumlah yang dikeluarkan. Jika
jumlah thrombocyte menunjukkan kecenderungan menurun.3
3. Antipiretika
Diberikan Parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali (mencegah timbulnya Efek samping
pedarahan dan asidosis). Hindari asetosal
4. Terapi Oksigen
5. Profilaksis Antibiotik
Diberikan Amoxicillin atau antibiotik yang sesuai dengan pola kuman di rumah
sakit seperti golongan sefalosforin generasi ke-3
6. Koreksi kelainan-kelainan yang terjadi
Koreksi asidosis Natrium bicarbonat dapat diberikan 1 – 2 mEq/kgBB, diberikan
dengan kecepatan 1 mEq/menit, atau jumlah Nabic dapat dihitung dengan rumus :
Kebutuhan Nabic : 0,5 x BB x Defisit HCO3- atau 0,3 x BB x Base deficit.5
7. Kortikosteroid
Penggunaannya masih controversial pada pengobatan DSS Bisa diberikan dengan
dosis :
• Hidrokortison 6 – 8 mg/kgBB/ 6 – 8 jam i.v.
• Methyl prednisolon 30 mg/kgBB/hari i.v.

Dexamethazon 1 – 2 mg/kgBB sebagai dosis awal, kemudian 1 mg/kgBB/hari
i.v.5
2.9 Prognosis
Pada Demam Dengue prognosisnya apabila suhu turun maka akan terjadi
perbaikan dan penyembuhan sempurna. Sedangkan pada Demam Berdarah
Dengue angka kematian yang disebabkan oleh DBD adalah kurang dari 1%, tetapi
bila timbul Dengue Shock Syndrome maka angka kematian bisa mencapai 40-
50%. Sehingga prognosis Dengue Shock Syndrome sangat tergantung dari

16
pengenalan dini dengan cara pemantauan cermat dan tindakan cepat dan tepat
terutama ketika terjadi renjatan (syok).4
2.10. Pencegahan
Pencegahan/pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan
sarangnya dengan melakukan tindakan 3 M, yaitu
1. Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali
atau menaburkan bubuk larvasida (abate).
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
3. Mangubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air
4. Adultsida (fogging) dengan menggunakan DDT (Dicloro-Diphenyl-
Tricloroethane)

17
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

a. Nama/Kelamin/Umur : Ny. SY/Perempuan /39 tahun


b. Pekerjaan : Pedagang
c. Alamat : Jambi
d. No MR : 01.07.24.20

3.2 Keluhan Utama:

Demam sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit

3.3 Riwayat Penyakit Sekarang:

 Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak menggigil, dan
tidak berkeringat banyak.
 Riwayat perdarahan abnormal tidak ada
 Sakit Perut, Mual (-) Muntah (-) Nafsu makan baik
 Sesak Napas (-)
 Sakit kepala (-)
 Nyeri otot dan sendi (-)
 BAB dan BAK tidak ada keluhan
 Pasien Rujukan RS Sungai Penuh untuk mendapatkan terapi lebih lanjut
3.4 Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat DM (-)
 Riwayat HT (-)
3.5 Riwayat Penyakit Keluarga
 Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama
 Riwayat DM (-)
 Riwayat Hipertensi (-)

18
3.6 Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 89 kali/menit, regular, kuat angkat, pengisian cukup
Frekuensi Napas : 20 kali/menit, tipe pernapasan Thorakoabdominal
Suhu : 39OC
Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 50kg

Pemeriksaan Sistemik
Kulit
Warna kuning langsat, Ptekie (+) di lengan dan tungkai, scar (-),
ikterus (-), sianosis (-), pertumbuhan rambut normal.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher, submandibula,
supraklavikula, infraklavikula, aksila, inguinalis.
Kepala
Bentuk normochepali, simetris, deformasi (-), rambut hitam, lurus,
tidak mudah dicabut.
Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum tidak deviasi dan tulang-tulang
dalam perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan,
pernapasan cuping hidung (-), sekret (-).
Telinga
Kedua meatus acusticus eksternus normal, cairan (-), nyeri tekan
processus mastoideus (-), pendengaran baik.

Mulut

19
Pembesaran tonsil (-), pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), Perdarahan
Gusi (-), stomatitis (-), bau pernafasan khas (-).
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, pembesaran kelenjar KGB tidak
ada, JVP 5-2cmH2O, kaku kuduk (-).
Thoraks
Bentuk dada simetris, spider nevi (-)
Paru-paru
I : Dada simetris sisi kanan dan kiri, pergerakan dada sisi kanan dan
kiri sama
P : Fremitus kanan sama dengan kiri
P : Paru kanan sonor dan paru kiri sonor
A: Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
I : ictus cordis tidak terlihat
P : ictus codis tidak teraba
P : batas atas RIC II, batas jantung kanan linea parasternalis dextra,
batas
jantung kiri 1 jari medial RIC V linea midclavicularis sinistra
A: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : tidak tampak membuncit
P: Supel, Nyeri tekan (-), Nyeri Lepas (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal: tidak teraba, ballotement (-)
P: timpani
A: BU (+)
Alat kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan.

20
Ekstremitas atas : nyeri sendi (-), gerakan bebas, edema (-), jaringan parut
(-), ptekie (+), telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat
(-), eritema palmaris (-), sianosis (-), Flapping tremor (-)
Ekstremitas bawah : nyeri sendi (-), gerakan terbatas, edema (-/-) pada
kedua tungkai, jaringan parut (-), ptekie (+), jari tabuh (-), turgor kembali
lambat (-), akral pucat (-), sianosis (-).

3.7 Pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan Darah (31-12-2019)
Hb : 14,4 gr/dl
Leukosit : 3.990/mm3
Trombosit : 11.000/mm3
PT/APTT : 10,3/ 31.1 detik
Natrium/ Kalium : 133/ 3,2 mmol/L

3.8 Diagnosis Kerja


 DHF Grade II
3.9 Diagnosis Banding
 ITP
 Thiphoid
 Malaria
3.10 Rencana Terapi
 Diet Makanan Biasa TKTP
 IVFD RL 8 jam/kolf
 Paracetamol 3x500gr
3.11 Pemeriksaan Anjuran
 Widal Test
 Parasit Malaria

21
BAB 4

DISKUSI

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa Pasien datang ke


IGD RSUD Raden Mattaher dengan keluhan 4 hari SMRS pasien mengeluhkan
demam tinggi, timbul mendadak, terus menerus. Menggigil tidak ada, keringat
dingin tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, sakit perut ada, riwayat
perdarahan abnormal tidak ada, nyeri otot dan sendi tidak ada. BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Pasien rujukan dari RS Sungai penuh untuk mendapatkan
terapi lebih lanjut.

Riwayat penyakit dahulu, pasien tidak ada memiliki riwayat DM dan


hipertensi. Riwayat penyakit keluarga, tidak ada keluarga dengan keluhan yang
sama dengan pasien, tidak ada riwayat DM dan riwayat hipertensi.

Pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh os 39 C, rumple leed test positif,


ptekie ada di lengan dan tungkai, scar tidak ada, ikterus tidak ada, sianosis tidak
ada, dan pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin di dapat kan hasil Hb :
14,4,. leukosit : 3.900, trombosit 11.000, PT/APTT : 10,3/31,1, Na/K : 133/3,2

Dari data diatas, os didiagnosa demam berdarah dengue grade 2 yaitu dengan
tanda klinis DBD berdasarkan WHO 2011 adalah Demam yang berlangsung 2-7
hari, Bukti pendarahan atau tes touniquet positif,Trombositopenia (≤100,000 sel
per mm3), Bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit ≥20% di atas rata-rata dan terdapat tanda-tanda
perdarahan spontan dari gusi nya.

Diberikan terapi cairan untuk mengatasai kebocoran plasma berupa cairan


kristaloid RL 8 jam/kolf, paracetamol sebagai antipiretik untuk penurun panas.
Dilakukan pemantauan darah rutin per 24 jam.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. : DHF. Buku Kuliah 3 Ilmu
Kesehatan Anak. Percetakan Infomedika. Jakarta. 1985. P. 1228 – 31.
2. Poerwo Soedarmo, Sumarsono S. Carna, Herry dkk. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008
3. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia Jilid 1. Penerbit IDAI.
Jakarta. 2010.
4. John D Synder, Larry K Pickering. : Demam Dengue. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak 15th eds. Vol 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2000. P. 1484 – 5.
5. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/ Dengue Hemorrhagic Fever in
Small Hospitals. WHO. New Delhi. 1999.
6. Zulkarnaen I. Malaria Berat (Malaria Pernisiosa).
Dalam: Noer S et al (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi
ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, Hal:504-7, 2000.
7. Mansyor A dkk. Malaria. Dalam: kapita Selekta
Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid I, Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, Hal: 409-
16, 2001.
8. Harijanto PN. Gejala Klinik Malaria. Dalam: Harijanto
PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan
Penanganan. Jakarta: EGC, Hal: 151-55, 2000.
9. Purwaningsih S. Diagnosis Malaria. Dalam: Harijanto
PN (editor). Malaria,
10. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan
Penanganan. Jakarta: EGC, Hal: 185-92, 2000.
11. Tjitra E. Obat Anti Malaria. Dalam: Harijanto PN
(editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan
Penanganan. Jakarta: EGC, Hal: 194-204, 2000.

23

Anda mungkin juga menyukai