Anda di halaman 1dari 21

i

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah
salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi virus dengue pada manusia, sedangkan
manifestasi klinis dan infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan demam
berdarah dengue. Dengue adalah penyakit daerah tropis dapat ditularkan oleh nyamuk
Aedes Aegypti, nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang umumnya menggigit pada siang
hari.
Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit endemis di Indonesia,
sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, jumlah kasus terus
meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis
selalu terjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998. Penyebab
meningkatnya jumlah kasus dan semakin bertambahnya wilayah terjangkit antara lain
karena semakin baiknya transportasi penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam
waktu singkat, adanya pemukiman-pemukiman baru, penyimpanan-penyimpanan air
tradisional masih dipertahankan, perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk yang masih kurang, vector nyamuk terdapat di seluruh pelosok tanah air (kecuali
di ketinggian > 1000 m dari permukaan air laut) dan adanya 4 serotype virus yang
bersirkulasi sepanjang tahun.
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol
vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada
penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini.
Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi
DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami
patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium,
diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue


Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue hemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
dan trombositopenia. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.

2.2 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue


Di Indonesia, demam berdarah dengue pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968. Pada saat ini DBD di banyak Negara di kawasan Asia Tenggara merupakan
penyebab utama perawatan anak di rumah sakit. Morbiditas dan mortalitas DBD yang
dilaporkan dari berbagai Negara bervariasi dan disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi
serotipe virus dengue.
.

Gambar 2.1. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue


2.3 Etiologi Demam Berdarah Dengue
Virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu DEN – 1, DEN – 2, DEN – 3, DEN – 4.

2
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN – 3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Demam Berdarah Dengue


Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis
dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor
yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di
kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat
masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat
menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu
masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan
dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam
timbul.
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog
yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian
membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari
3
membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang
akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada gambar 2.2. yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien,
respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan
proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti
dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan
mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex)
yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada
pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan
berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya,
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan
syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi
baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu
beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar.
Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

4
Gambar 2.2. Patofisiologi terjadinya syok pada DBD

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain


mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar
2.3.). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu
sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

5
Gambar 2.3. Patofisiologi perdarahan pada DBD

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga


walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem
kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan
dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

2.5 Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue


 Demam
Demam tinggi yang mendadak, terus – menerus berlangsung selama 2 – 7
hari, naik turun (demam bifasik). Kadang – kadang suhu tubuh sangat tinggi
sampai 40 oC dan dapat terjadi kejang demam. Akhir fase demam merupakan fase
kritis pada demam berdarah dengue. Pada saat fase demam sudah mulai menurun

6
hati–hati karena fase tersebut sebagai awal kejadian syok, biasanya pada hari ketiga
dari demam.
 Tanda-tanda perdarahan
Penyebab perdarahan pada pasien demam berdarah adalah vaskulopati,
trombositopenia, gangguan fungsi trombosit serta koagulasi intravaskuler yang
menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak adalah perdarahan bawah kulit seperti
ptekia, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva. Ptekia merupakan tanda
perdarahan yang sering ditemukan. Muncul pada hari pertama demam tetapi dapat
pula dijumpai pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain yaitu, epitaksis,
perdarahan gusi, melena dan hematemesis.
 Hepatomegali
Pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit bervariasi dari
hanya sekedar diraba sampai 2–4 cm di bawah arcus costa kanan. Derajat
hepatomegali tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan pada
daerah tepi hepar berhubungan dengan adanya perdarahan.
 Syok
Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda dan gejala klinis menghilang
setelah demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan
tekanan darah, akral teraba dingin disertai dengan kongesti kulit. Perubahan ini
memperlihatkan gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma
yang dapat bersifat ringan atau sementara. Pada kasus berat, keadaan umum pasien
mendadak menjadi buruk setelah beberapa hari demam pada saat atau beberapa
saat setelah suhu turun, antara 3–7 hari, terdapat tanda kegagalan sirkulasi, kulit
teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah kecil sampai tidak teraba.

2.6 Pemeriksaan Penunjang Demam Berdarah Dengue


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada
hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke
3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-
7
Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT,
ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis
uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode
ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2
minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang
dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui
pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-
PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi
yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak
digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu
ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada
hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan
pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.

2.7 Diagnosis Demam Berdarah Dengue


Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif, petekie,
ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm3).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.

8
- Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
 Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.
 Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.
 Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
 Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

2.8 Diagnosis Banding Demam Berdarah Dengue


1. Demam Thyphoid
2. Malaria
3. Morbili
4. Demam Chikungunya
5. Leptospirosis
6. Idiophatic Thrombocytopenia Purpura (ITP)

2.9 Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue


Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma
dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian
terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis
maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada
umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7
proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke
intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan
terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup,
lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai
9
terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis
untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi
nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna
bagaian atas (lambung/duodenum).
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah
jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah
untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid
(ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO
menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena
dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan
yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat
bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu
sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah
edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki
waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus
(20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vascular hanya dalam waktu
yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular)
dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya
5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang
interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan
penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang
menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari
kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu
pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular)
yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan
kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan
hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan
penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar.
Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang
rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom
10
renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1
jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah
penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita
dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses
publikasi.
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma
yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi
DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk
mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien
dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam;
sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari berat badan
sebanyak 1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan
hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian,
pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi
masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih
perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,
stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil
(derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat
badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga
kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 2.6 dan 2.7). Pada kondisi di mana
terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil,
pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai
kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

2.10 Prognosis
Kematian dapat terjadi pada 40-50 % pasien DHF dengan syok (DSS), namun
dengan perawatan intensif yang tepat angka kematian bisa ditekan hingga 1 %. Prognosis
DHF tergantung dari saat diagnosis adanya perembesan plasma ditegakkan yaitu saat
terjadi penurunan trombosit disertai peningkatan hematokrit. Fase kritis adalah saat suhu
turun yaitu antara hari ketiga sampai kelima sakit. Pemberian cairan garam isotonik
intravena sebagai pengganti kehilangan plasma dapat mengurangi derajat beratnya
penyakit.

11
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : MRA
Tanggal Lahir / Umur : 15 Januari 2017 / 3 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Desa Tanjung Karang, Gumay Tala

ANAMNESA
Keluhan Utama : Demam
Telaah
Pasien datang dibawa keluarga ke IGD RSUD Lahat dengan keluhan demam yang
dialami sejak kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan naik
turun sepanjang hari. Demam disertai batuk berdahak dan pilek sejak 3 hari ini. Ibu os juga
mengatakan os mual dan muntah 2 kali berisi makanan yang dimakan. Keluhan mimisan,
gusi berdarah, timbul bintik-bintik kemerahan dan BAB hitam disangkal. BAK biasa.
Riwayat kejang sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak ada

Riwayat Pemakaian Obat : Parasetamol

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK

TANDA VITAL

Kesadaran/GCS : CM/15 T : 38,5ºC

Tekanan Darah : 100/60 mmHg BB : 14 Kg

Nadi : 90 x/i TB : 90 cm

Pernafasan : 20 x/i

12
STATUS GENERALISATA
1. Kepala : Normocephali

2. Mata : - Pupil : Isokor (+/+)


- Sklera : Ikterik (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Refleks Cahaya : (+/+)

3. Telinga : Deformitas (-/-), Sekret (-/-), Serumen (-/-)

4. Hidung : Deviasi septum (-), Sekret (-)

5. Mulut : Bibir kering (-), Perdarahan gusi (-) Faring hiperemis (+)

6. Leher : Peningkatan Tekanan Vena Jugularis (-), Pembesaran


kelenjar getah bening (-)
7. Thorax (Paru)
Inspeksi : Simetris Fusiform
Palpasi : Stem fremitus (Kanan=Kiri)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
8. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di sela Iga V Mid Clavicula Sinistra
Perkusi : Batas Atas ICR II Linea Parasternalis Dextra
Batas Kanan ICR IV Linea Parasternal Dextra
Batas Kiri ICR IV Linea Mid Clavicularis Sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II normal
9. Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Normoperistaltik

13
10. Genitalia : Tidak ditemukan kelainan

11. Ekstremitas :
Superior : Edema (-/-), Tremor (-), Akral Hangat
Inferior : Edema (-/-),Tremor (-), Akral Hangat

RESUME MEDIS

Anamnesis :
Pasien datang dibawa keluarga ke IGD RSUD Lahat dengan keluhan demam yang dialami
sejak kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan naik turun
sepanjang hari. Demam disertai batuk berdahak dan pilek sejak 3 hari ini. Ibu os juga
mengatakan os mual dan muntah 2 kali berisi makanan yang dimakan. Keluhan mimisan,
gusi berdarah, timbul bintik-bintik kemerahan dan BAB hitam disangkal. BAK biasa.
Riwayat kejang sebelumnya disangkal.

Pemeriksaan Fisik :
Kesadaran/GCS : CM/15 T : 38,5ºC
Tekanan Darah : 100/60 mmHg BB : 14 Kg
Nadi : 90 x/i TB : 90 cm
Pernafasan : 20 x/i
Dijumpai : Uji bendung (+) : Muncul bintik-bintik merah di tubuh pasien (ptekie, +)

Pemeriksaan Penunjang :
1. Darah Rutin : 26 Februari 2020
27 Februari 2020
28 Februari 2020
2. Gula Darah Sewaktu : 26 Februari 2020
3. Dengue Ig G dan Ig M : 26 Februari 2020

Diagnosa Banding : 1. Dengue berdarah dengue


2. Demam Thypoid
3. Malaria

14
Diagnosa Kerja : Demam berdarah dengue derajat I + rhinofaringitis akut

Terapi :
 Nonfarmakologi :
- Banyak minum
- Kompres hangat
- Observasi tanda-tanda vital

 Tindakan Suportif : IVFD RL 20 gtt/I macro (6-7 cc/kgbb/jam)

 Medikamentosa :

 Inj. Ceftriaxone 2 x 700 mg


 Inj. Ondansentron 2 x 1,5 mg
 Inj. Omeprazole 1x 10 mg
 Pyrexin sup 210 mg (jika T > 380 C
 Epexol syr 3 x ½ cth
 Imunos syr 1 x 1 cth
 Psidii syr 2x1 cth

FOLLOW UP PASIEN

Hari/Tanggal S O A P

Rabu / Demam hari ke 5 Sens : CM - DBD grade I + - Bed Rest


26 Februari RFA
2020 Menggigil (-) TD:100/60 - IVFD RL 20
mmHg gtt/i
Mimisan (-)
HR : 90 x/i - Inj.
Gusi bedarah (-) Ceftriaxone
RR : 20 x/i 700 mg / 12
Kejang (-) jam
T : 38,2ºC
Batuk (+) Pilek (+) - Inj.
Lab : Hb 12,5 g/dl Omeprazole
BAB (+) N Wbc 5.600 10 mg / 24
Hct 31,7 % jam
BAK (+) N Plt 138.000

15
BSS: 101 mg/dl - Inj.
Ondansetrone
Ig G (+) 1,5mg / 12
jam
Ig M (-)
- Pyrexin sup
210 mg ( jika
T > 38 C

- Epexol 3x1/2
cth

- Imunos syr 1 x
1 cth

- Psidii syr 2x1


cth

Kamis / Demam hari ke 6 Sens : CM - DBD grade I + - Bed Rest


27 Februari RFA
2020 Menggigil (-) TD:100/60 - IVFD RL 20
mmHg gtt/i
Mimisan (-)
HR : 88 x/i - Inj.
Gusi bedarah (-) Ceftriaxone
RR : 20 x/i 700 mg / 12
Kejang (-) jam
T : 36,8ºC
Batuk (+) Pilek (-) - Inj.
Lab : Hb 12,4 g/dl Omeprazole
BAB (+) N Wbc 7,660 10 mg / 24
Hct 32,7 % jam
BAK (+) N Plt 152.000
- Inj.
Ondansetrone
1,5mg / 12
jam

- Pyrexin sup
210 mg ( jika
T > 38 C

- Epexol 3x1/2
cth

- Imunos syr 1 x
1 cth

- Psidii syr 2x1


cth

16
Jumat/ Demam Hari ke 6 Sens : CM - DBD grade I + - Bed Rest
28 Februari RFA
2020 Menggigil (-) TD:90/70 mmHg - IVFD RL 20
gtt/i
Mimisan (-) HR : 90 x/i
- Inj.
Gusi berdarah (-) RR : 20 x/i Ceftriaxone
700 mg / 12
Batuk (+) Pilek (-) T : 36,7ºC jam

BAB (+) N Lab: Hb 12,8 - Inj.


Wbc 7,850 Omeprazole 10
BAK (+) N Hct 32,7 % mg / 24 jam
Plt 279.000
- Inj.
Ondansetrone
1,5mg / 12 jam

- Pyrexin sup
210 mg ( jika T
> 38 C

- Epexol 3x1/2
cth

- Imunos syr 1 x
1 cth

- Psidii syr 2x1


cth

Pasien Boleh Pulang Rawat Jalan

17
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dibawa keluarga ke IGD RSUD Lahat dengan keluhan demam yang
dialami sejak kurang lebih 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan naik
turun sepanjang hari. Demam disertai batuk berdahak dan pilek sejak 3 hari ini. Ibu os juga
mengatakan os mual dan muntah 2 kali berisi makanan yang dimakan. Keluhan mimisan,
gusi berdarah, timbul bintik-bintik kemerahan dan BAB hitam disangkal. BAK biasa.
Riwayat kejang sebelumnya disangkal.

Pada pemeriksaan penunjang darah rutin didapatkan trombositopenia 138.000/uL


Pada pemeriksaan serologi didapatkan Ig G (+) dan Ig M(-) yang artinya infeksi
virus dengue pada anak terjadi 2-3 bulan sebelumnya.

Hal ini sesuai dengan teori, gambaran klinis pada demam berdarah dengue
biasanya memperlihatkan demam tinggi yang mendadak, terus – menerus berlangsung
selama 2 – 7 hari, naik turun (demam bifasik). Pasien menyangkal keluhan mimisan dan
gusi berdarah, berdasarkan dengan teori penderita demam berdarah dengue yang bisa
mengalami perdarahan spontan dikarenakan pada pasien belum terjadi plasma lackage
yang signinifikan. Dari pemeriksaan fisik pada pasien juga ditemukan uji bendung positif
yang menandakan adanya manifestasi perdarahan dibawah kulit. Pemeriksaan
laboratorium yang menunjang, pada pasien dilakukan pemeriksaan darah rutin pada
tanggal 26 Februari 2020. Dari hasil darah rutin didapatkan penurunan trombosit atau
trombositopenia, yaitu pada pasien 138.000/uL.
Pasien telah diberikan pengobatan berupa cairan kristaloid (IVFD RL) sebanyak 6-
7 cc/kgBB/jam yang merupakan terapi utama pada demam berdarah dengue derajat I
sebagai upaya mengatasi kebocoran plasma. Pasien juga diberikan terapi parasetamol supp
untuk mengatasi gejala demam. Serta terapi simtomatik untuk mengurangi keluhan pasien.

18
BAB V
KESIMPULAN

1. Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa
dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk pada hari
kedua.
2. Virus Dengue tergolong dalam grup Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN 3 merupakan
serotip yang paling banyak.
3. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti.
4. Gejala utama demam berdarah dengue (DBD) adalah demam, pendarahan,
hepatomegali dan syok.
5. Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua criteria klinis
ditambah trombositopenia dan peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan
diagnosis demam berdarah dengue.
6. Penatalaksanaan demam berdarah dengue bersifat simtomatik yaitu mengobati gejala
penyerta dan suportif yaitu mengganti cairan yang hilang.
7. Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma. Dalam terapi cairan, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah
jenis cairan, jumlah serta kecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun
laboratoris untuk menilai respon kecukupan cairan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue:an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6

World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic
fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17

World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock
syndrome in the context of the integrated management of childhood illness.
Department of Child and Adolescent Health and Development.
WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen


Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta,
2007

Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan
kesehatan, 2005.p.19-34

Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo,
A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat
Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9

Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI,
2006.p.137-8

Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia.
Depkes RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. 2004

20

Anda mungkin juga menyukai