Anda di halaman 1dari 44

Diskusi kasus

DENGUE SYOK SYNDROM

oleh :

KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2008

0
TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM BERDARAH DENGUE

DEFINISI
Demam dengue (DD) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari disertai
dua atau lebih gejala klinis berupa nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia /
artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (tes tourniket positif dan petechiae)
dan leukopenia. Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut
dengan gejala seperti DD disertai manifestasi perdarahan yang lebih nyata (tes
tourniket positif, petechiae, echimosis atau purpura, perdarahan mukosa),
trombositopenia ( 100.000/L) dan kebocoran plasma akibat meningkatnya
permeabilitas kapiler yang ditandai oleh peningkatan hematokrit 20%. Dengue
Shock Syndrome (DSS) adalah penampilan klinis DBD yang disertai tanda-tanda
kegagalan sirkulasi berupa penderita gelisah sampai penurunan kesadaran, nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), hipotensi (tekanan sistolik
< 80 mmHg), kulit dingin dan lembab, akral dingin (cappilary refill time > 2
detik), diuresis menurun sampai anuria. 2,3,4

ETIOLOGI
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan
oleh virus dengue termasuk grup B Arthropod borne virus (arboviruses) dan
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4
jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Keempat
jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan
dengan kasus berat. 2,3
Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies
yang lain dapat juga menularkan virus ini tapi merupakan vektor yang kurang

1
berperan. Nyamuk aedes tersebut dapat menularkan virus dengue ke manusia baik
secara langsung yaitu setelah menggigit orang yang sedang mengalami viremia
maupun secara tidak langsung yaitu setelah melalui masa inkubasi dalam
tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic incubation period). Pada manusia diperlukan
waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus
masuk ke dalam tubuh. Pada nyamuk, sekali virus dapat masuk dan
berkembangbiak didalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan menularkan virus
selama hidupnya (infektif). Sedangkan pada manusia, penularan hanya dapat
terjadi pada saat tubuh dalam keadaan viremia yang timbul pada saat menjelang
gejala klinik tampak hingga 5 - 7 hari setelahnya. 2,3
EPIDEMIOLOGI
DBD pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953 dan pada tahun
1956 ditemukan virus dengue pada isolasi darah penderita DBD. Selama tiga
dekade, DBD juga ditemukan di wilayah asia tenggara termasuk Indonesia dan
kepulauan pasifik. Sejak tahun 1960, jumlah penderita DBD mengalami
peningkatan, menyebar dari satu daerah ke daerah lain di daerah endemik. Hal ini
tergantung dari musim. Pada saat itu, dilaporkan 1.070.207 kasus dan 42.808
kematian yang disebabkan oleh DBD, dan kebanyakan adalah anak-anak. DBD
termasuk dalam salah satu penyakit yang menyebabkan hospitalisasi pada
penderita dan kematian anak di negara-negara tropis di Asia. 5
Di Indonesia infeksi virus dengue pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi virologi baru diperoleh pada tahun 1970. Setelah itu
berturut-turut dilaporkan kasus dari kota di Jawa maupun dari luar Jawa dan pada
tahun 1994 telah menyebar ke seluruh propinsi yang ada. Setelah kurun waktu 30
tahun sejak ditemukan virus dengue di Indonesia, jumlah orang yang menderita
DBD makin bertambah dan menyebar di 27 propinsi di Indonesia. Sampai saat ini
200 kota telah melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat dari 0,005
per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi 6-27 per 100.000 penduduk pada
tahun terakhir ini. 2,3 Pada saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi, rata-rata 10-25
per 100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna
menjadi <2%. 4

2
PERKEMBANGAN PATOGENESIS DBD
Penyakit infeksi virus Dengue merupakan hasil interaksi multifaktorial,
yang pada saat ini mulai diupayakan memahami keterlibatan faktor genetik
pada penyakit infeksi virus, yaitu: kerentanan yang dapat diwariskan. Konsep ini
merupakan salah satu teori kejadian infeksi berdasarkan adanya perbedaan
kerentanan genetik ( genetic susceptibility ) antar individu terhadap infeksi yang
mengakibatkan perbedaan interaksi antara faktor genetik dengan organisme
penyebab serta lingkungannya. 6
Menurut sejarah perkembangan patogenesis DBD dalam kurun waktu
hampir seratus tahun ini, dapat dibagi dua teori patogenesis yaitu : pertama, virus
dengue mempunyai sifat tertentu dan kedua pada manusia yang terinfeksi
mengalami suatu proses imunologi yang berakibat kebocoran plasma, perdarahan
dan pelbagai manifestasi klinik. Dapat pula kemungkinan patogenesis dari kedua
mekanisme tersebut.
Bagian yang pertama didominasi oleh pemikiran seseorang akan terkena
infeksi virus dengue dan menjadi sakit kalau jumlah dan virulensi cukup kuat
untuk mengalahkan pertahanan tubuh. Karena banyak menyangkut tentang berat
ringan keparahan DBD maka teorinya disebut teori virulensi virus. Bagian kedua
lebih banyak didominasi oleh pemikiran ada proses imunopatologi dalam
menghadapi serangan infeksi virus dengue. Bagian kedua ini disebut teori
imunopatologi. 2

Teori virulensi virus


Secara klasik pada tahun 1918, 1928 dan 1931 pernah dicoba manusia
diinfeksi dengan virus dengue. Beberapa orang sukarelawan digigit nyamuk yang
infeksius, hasilnya adalah ada orang yang tidak sakit dan ada yang sakit. Masa
inkubasi dan tipe panasnya juga berlainan. Belum ada keterangan yang jelas
mengapa hal itu terjadi. Sabin mensinyalir bahwa manifestasi klinik dengue akan
berubah kalau daerah tersebut berulangkali terkena virus dengue. Sampai
sekarang fenomena itu tetap dapat diamati. Contoh sampai tahun 1981 daerah

3
Karibia dan Amerika Tengah jarang ditemukan DBD/ DSS, meskipun virus
dengue dan DD ada. Tahun 1981 meledak epidemi di Kuba. 2

Fakta yang ada sekarang adalah semua jenis virus dapat ditemukan pada
kasus fatal. Artinya semua virus dapat saja membuat kematian. Pertanyaan yang
muncul mengapa di suatu daerah lebih banyak Den-3, di daerah lain Den-2,
sedang Den-1 dan Den-4 relatif jarang ? Apakah virulensi berbeda di antar
keempatnya ? Sayang sekali sampai sekarang belum ada penenda virulensi virus
dan belum ada model binatang untuk percobaan laboratorium. 2
Para peneliti di bidang virus lalu mencoba memeriksa sekuens protein
virus. Penelitian secara molekuler biologi ini mendapatkan hal-hal yang menarik.
Pada saat sebelum kejadian luar biasa, selama kejadian luar biasa dan setelah reda
kejadian luar biasa ternyata sekuens protein tersebut berbeda.
Di antara serotipe dan di antara strain sendiri juga mempunyai susunan
protein yang berbeda. Data molekuler biologi, data klinik dan epidemiologik terus
dikumpulkan untuk mencari bagian mana dari virus yang membuat seseorang
menjadi sakit. Kelompok peneliti yang menitik beratkan pada sifat virus, pada
umumnya tidak membedakan secara tegas antara demam dengue dan DBD.
Berbeda dengan kelompok peneliti yang mendasarkan pada teori imunopatologi,
pada umumnya membedakan secara tegas antara demam dengue dengan DBD.
Batasnya adalah kejadian hemokonsentrasi, trombositopeni dan manifestasi
kebocoran plasma. 2
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan
terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama.
Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan sebagai berikut seseorang yang
pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai antibodi yang
dapat menetralisasi yang sama (homologous). 6
Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis
serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat, antibody heterologous
yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan
infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda, namun tidak dapat dinetralisasi
virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius. 6

4
Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan
serotipe lain atau virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka
partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-
antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc gama pada sel
melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi
virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan
antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag
mudah terinfeksi sehingga akan teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6
dan TNF alpha dan juga Platelet Activating Faktor (PAF). Karena antibodi
bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi bebas bereplikasi
di dalam makrofag; informasi ini akan lebih jelas bila diuraikan dalam bentuk
gambar berikut. TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari
makrofag teraktivasi antigen antibodi kompleks, dan selanjutnya akan
menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke
jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum jelas, dimana hal tersebut akan
mengakibatkan syok. 6
Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan merangsang
komplemen, yang farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif
dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik)
dan perdarahan. 6

5
Dikutip dari CDC

Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat
pernah terinfeksi virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka
dalam tubuh anak tersebut telah terjadi Non Neutralizing Antibodies akibat
adanya infeksi yang persisten, sehingga infeksi baru pertama kali sudah terjadi
proses Enhancing yang akan memacu makrofag sehingga mudah terinfeksi dan
teraktivasi dan akan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF. Dimana
bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding
pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran
plasma dan perdarahan. 6

Teori Imunopatologi
Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak
dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang
berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral
maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin, anti komplemen.
Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue
primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang
telah ada meningkat (booster effect). 6

Respon Imun Infeksi Virus Dengue(dikutip dari Suroso, Torry C.


Panbio Dengue Fever Rapid Strip IgG dan IgM, 2004)

6
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi
primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam
hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari
kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan
dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi
sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG
dan IgM yang cepat. 7
Kinetik dari kelas imunoglobulin spesifik terhadap virus dengue di dalam
serum pasien DD, DBD dan SSD ternyata didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3,
sedangkan IgA level tertinggi dijumpai pada fase akut dari SSD. Dikatakan pula
bahwa IgA, IgG1 dan IgG4 dapat digunakan sebagai marker dari risiko
berkembangnya DBD dan SSD, oleh karenanya pengukuran kadar imunoglobulin
tersebut sejak awal pengobatan dapat membantu mengetahui perkembangan
penyakit. 7
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini
menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini
dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus
DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak
ada cross protektif terhadap serotip virus yang lain. 6
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis:
netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cell-mediated
Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement. Virion dari virus
DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M (membran) dan E (envelope),
sedang virus intraseluler mempunyai protein pre-membran atau pre-M.
Glikoprotein E merupakan epitop penting karena mampu membangkitkan
antibodi spesifik untuk proses netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin,
berperan dalam proses absorbsi pada permukaan sel (reseptor binding),
mempunyai fungsi biologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan virion.

7
Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan mengenali protein E yang berperan
sebagai epitop yang memiliki serotip spesifik, serotipe-cross reaktif atau
flavivirus-cross reaktif. Antibodi netralisasi ini memberikan proteksi terhadap
infeksi virus DEN. 6
Antibodi terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal
yang berbeda :
a. Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies memiliki serotip
spesifik yang dapat mencegah infeksi virus.
b. Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.

. Pada percobaan terhadap manusia dan mencit dapat disimpulkan bahwa


sesudah mendapat infeksi virus dengue satu serotipe maka akan terjadi kekebalan
terhadap virus ini dalam jangka lama dan tidak mampu memberi pertahanan
terhadap jenis virus yang lain. Teori ini berkembang dan didukung oleh data
epidemiologik, klinis dan laboratorium yang banyak diteliti di Thailand sekitar
tahun 1954 1964. Teori tersebut kemudian disebut sebagai teori infeksi sekunder
oleh virus heterologus yang berturutan. Kalau seseorang mendapat infeksi primer
dengan satu jenis virus, kemudian lain kali mendapat infeksi sekunder dengan
jenis serotipe virus yang lain maka risiko besar akan terjadi infeksi yang berat.
Teori yang dikembangkan oleh Halstead ini sampai sekarang masih banyak
penganutnya meskipun banyak pula penentangnya.

Teori antigen antibodi


Teori ini diidasarkan kenyataan bahwa pada penderita DBD terjadi
penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan dari
kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu 48-72% penderita DBD terbentuk kompleks
imun antara IgG dengan virus Dengue, selanjutnya kompleks imun tersebut dapat
menempel pada trombosit, sel B, dan sel-sel dalam organ tubuh lain.
Terbentuknya kompleks imun tersebut akan mempengaruhi aktivitas komponen
sistem imun yang lain.
Secara radioaktif dibuktikan penurunan kadar anafilaktoksin bukan karena
produksi yang menurun atau ekstravasasi. Kadar anafilaktoksin meninggi, lalu

8
menurun pada fase penyembuhan. Histamin pada urin didapatkan pada masa
tersebut. Pada saat itu juga terjadi permeabilitas kapiler yang meninggi. Dari
kejadian itu dipikirkan ada suatu mekanisme sebagai berikut : virus dengue
dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi, kemudian
mengaktivasi komplemen, aktivasi ini akan menghasilkan anafilaktoksin C3a dan
C5a, yang merupakan mediator kuat peningkatan permeabilitas kapiler, kemudian
terjadi kebocoran plasma. 2
Ternyata memang benar virus dengue itu di sirkulasi berikatan dengan IgG
yang spesifik dan membentuk kompleks imun. Kompleks imun ini terdapat pada
48 72% pasien DBD. Pertanyaan selanjutnya muncul : bagaimana pasien yang
tidak ada kompleks imun ? Apakah kompleks imun atau komplemen yang
merangsang makrofag untuk mengeluarkan limfosit B dan organ tubuh yang lain,
kejadian apa yang timbul ? 2

Teori infection enhancing antibody


Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies enhance
infection, T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit akan melepaskan
sitokin yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan SSD. 6

Dikutip dari CDC

Singkatnya secara umum ADE dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika


terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut
dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam

9
tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat
menimbulkan penyakit yang berat. 6

Aktivitas enhancing pada umumnya dapat dilihat pada pengenceran yang


cukup banyak sehingga antibodi di sana tidak mempunyai sifat neutralisasi.
Kejadian tersebut dapat diamati misalnya pada kera yang disuntik dengan antibodi
terhadap Dengue-2 yang telah diencerkan dibanding dengan yang tidak
mendapatkan hal serupa. Setelah diinfeksi dengan virus Dengue-2 ternyata titer
viremia lebih tinggi pada kelompok yang pertama. 2
Di dalam kultur peripheral blood mononuklear sel, terjadi juga kejadian
serupa. Suatu kultur mononuklear sel yang diberi imunoglobulin non neutralisasi
dan tidak diberi apa-apa, ternyata titer viremianya lebih tinggi pada kelompok
yang pertama. Observasi selanjutnya adalah kejadian DBD pada bayi. Kelompok
peneliti yang menganut paham teori virulensi mendapatkan bahwa bayi dengan
infeksi primer ada pola yang menderita DBD berat, jadi tidak memerlukan infeksi
sekunder oleh virus lain dengan berturutan. Kelompok peneliti imunopatologi
meneliti kadar antibodi pada ibu dan bayinya. Disimpulkan pada bayi yang
terkena DBD karena pada saat ada infeksi virus, di tubuhnya sudah ada antibodi
non neutralisasi yang berasal dari ibu. Bayi yang berumur kurang dari satu tahun
ternyata lahir dari ibu yang mempunyai antibodi dengue. Si bayi menerima secara
pasif antibodi tersebut dari ibunya. Jadi menurut kelompok peneliti
imunopatologi, hal tersebut mendukung teori infeksi sekunder. 2
Teori di atas menimbulkan pemikiran kalau ada antibodi yang spesifik
untuk satu jenis virus maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi
kalau di dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang tidak mampu
menetralisirvirus tersebut, justru keadaan ini yang berbahaya. Banarkah pada
suatu saat dapat diproduksi dua macam antibodi sekaligus ? Russel mendapatkan
dua tipe antibodi tersebut. Yang pertama non neutralisasi yang memacu replikasi
virus, sedangkan yang kedua antibodi yang dapat menetralisir virus secara
spesifik. Pertanyaan yang muncul dari kejadian tersebut adalah : apabila benar ada
antibodi yang non neutralisasi di dalam tubuh apakah antibodi itu dapat
dieliminir? 2

10
Virus mempunyai target serangan yaitu pada sel fagosit seperti makrofag,
monosit, sel Kupfer. Menurut penelitian antigen dengue lebih banyak di dapat
pada sel makrofag yang beredar dibanding dengan sel makrofag yang tinggal
menetap di jaringan. Kemungkinan antibodi non neutralisasi itu yang berperan,
yaitu melingkupi sel makrofag yang beredar dan tidak melingkupi sel makrofag
yangmenetapdi jaringan.
Pada makrofag yang dilingkupi oleh antibodi non neutralisasi, antibodi
tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi. Lebih
banyak selmakrofag terinfeksi lebih berat penyakitnya. Diduga makrofag yang
terinfeksi akanmenjadi aktif dan mengeluarkan pelbagai substansi inflamasi,
sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan akan
mengaktivasi faktor koagulasi. 2

Teori mediator
Ada beberapa kejadian yang menyebabkan para ahli berburu mediator
sebagai biang keladi terjadinya DBD. Pertama, melanjutkan teori antibody
enhancing. Jadi dipikirkan bahwa makrofag yang terinfeksi virus mengeluarkan
mediator atau sitokin. Makrofag yang terinfeksi virus Dengue akan melepas
berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dll. Diperkirakan
mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam
dan peningkatan permeabilitas kapiler. 6,12
Sitokin ini diproduksi oleh banyak sel terutama makrofag mononuklear. Di
sini sitokin tersebut juga disebut monokin. Di dalam keadaan normal sitokin ini
tidak terbentuk, sehingga tidak terdapat pada serum. Kedua, kejadian masa kritis
pada DBD selama 48 72 jam, berlangsung sangat pendek. Kemudian disusul
masa penyembuhan yang cepat dan praktis tidak ada gejala sisa. Kejadian tersebut
menimbulkan pemikiran bahwa yang dapat berperilaku seperti itu adalah
mediator. Ketiga, dari kalangan ahli syok bakterial mengambil perbandingan
bahwa pada syok septik banyak berhubungan dengan mediator. 2
Oleh karena itu penelitian diarahkan ke mediator seperti syok septik.
Beberapa kejadian tersebut membawa penelitian ke arah mediator, seperti
interferon, interleukin 1, interleukin 6, interleukin 12, Tumor Necrosis Factor
(TNF), Leukosit Inhibiting Factor (LIF), dll. Dipikirkan bahwa mediator tersebut

11
yang bertanggungjawab atas terjadinya demam, syok dan permeabilitas kapiler
yang meningkat. 2
Fungsi dan mekanisme kerja sitokin adalah sebagai mediator pada
imunitas alami yang disebabkan oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai
regulator yang mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit, sebagai
aktivator sel inflamasi non spesifik dan sebagai stimulator pertumbuhan dan
diferensiasi leukosit matur. Teori mediator ini sejalan dan berkembang bersama
dengan peran endotoksin dan teori peran sel limfosit. 2

Teori trombosit endotel


Teori trombosit endotel ini merupakan alternatif lain dari pada teori
virulensi virus dan imunopatologik. Trombosit dan endotel diduga mempunyai
peran penting dalam patogenesis DBD, berdasarkan kenyatan bahwa pada DBD
terjadi trombositopenia dan permeabilitas kapiler yang meningkat yang berarti ada
pengaruh terhadap integritas sel endotel. Dua komponen ini sudah diketahui sejak
lama merupakan satu kesatuan fungsi dalam mempertahankan homeostasis. Salah
satu cedera akan berakibat pada yang lain. Trombosit dapat dipandang sebagai sel
sekretorik yang mempunyai granula-granula yang mengandung pelbagai mediator.
Endotel mempunyai macam-macam reseptor, disamping dapat mengeluarkan
bhaan-bahan vasoaktif kuat seperti prostasiklin, platelet activating factor (PAF),
faktor plesminogen dan interleukin-1. Gangguan pada endotel akan menimbulkan
agregasi trombosit serta aktivasi koagulasi. 2

Teori apoptosis
Teori ini berdasar penelitian apoptosis yang banyak dikerjakan pada
pelbagai penyakit. Apoptosis adalah proses kematian sel secara fisiologik yang
merupakan reaksi terhadap pelbagai stimulasi. Proses tersebut dapat dibagi
menjadi dua tahap yaitu kerusakan inti sel, kemudian perubahan bentuk sel dan
perubahan permeabilitas membran sel. Konsekuensi dari apoptosis adalah
fragmentasi DNA inti sel, vakuolisasi sitoplasma, blebbing dan peningkatan
granulasi membran plasma menjadi DNA sus selular yang berisi badan-badan
apoptotik. Apoptosis berbeda dengan proses nekrosis. Limfosit sitotoksik
mengkode protease (granzyme, fragmentin) yang menginduksi apoptosis sel
target. Selain itu limfosit yangteraktivasi guna merespon infeksi virus

12
menunjukkan ekspresi Fas dalam kadar tinggi dan sangat rentan terhadap
apoptosis.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya berselang
beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan tetapi derajad
kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menjadikan penyebab kematian dari infeksi virus tersebut melainkan lebih
disebabkan oleh gangguan metabolik. Diketahui juga bahwa akibat dari replikasi
virus di dalam sel mulai dari terjadinya stres dari sel sampai kematian sel
apoptotik, baik in vitro maupun in vivo. Mekanisme pertahanan tubuh melalui
apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan lokal
(local tissue injury) atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya memicu
efek yang lain. 6,12

Diseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Terjadinya DIC pada penderita DBD masih merupakan tanda tanya. Ada
penelitian yang menyatakan bahwa pada penderita DBD ditemukan peningkatan
yang minimal kadar FDP dan tidak berhubungan dengan beratnya penyakit. Pada
penderita dengan peningkatan FDP, ditemukan masa tromboplastin parsial dan
masa protrombin yang agak memanjang. FDP yang meningkat disertai
trombositopenia menunjukkan adanya proses koagulasi intravaskular, merupakan
hal yang mengakibatkan perdarahan tetapi belum membuktikan adanya DIC.
Namun demikian DBD dengan syok dan asidosis berkepanjangan dapat
mencetuskan DIC. Sedangkan peneliti lain mengatakan bahwa pada semua kasus
DBD ditemukan manifestasi DIC tipe akut.
Jadi jelaslah bahwa perjalanan penyakit DBD yang alami akan
menyebabkan proses patofisiologi kompleks dari berbagai sistem dalam tubuh
penderita. Hal ini masih dapat menjadi bahan yang cukup luas untuk melakukan
penelitian mengenai patofisiologi DBD. 2

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS


Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu : pertama, meningkatnya
permeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dan ini menyebabkan

13
hipovolemia, hemokonsentrasi serta renjatan; kedua, adanya hemostasis yang
abnormal, melibatkan perubahan pembuluh darah, trombositopeni dan
koagulopati.
Sistim vaskuler
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas
vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume
plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung
penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemi. Tidak terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan
bahwa perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja
singkat. Jika penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi
diabsorbsi dengan cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan
hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor : perubahan vaskuler,
trombositopeni dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami
peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, dan banyak diantaranya
penderita menunjukkan koagulogram yang abnormal. 6
Hemostasis yang abnormal menyebabkan bermacam-macam manifestasi
perdarahan. Mediator-mediator apa yang meningkatkan permeabilitas kapiler dan
bagaimana mekanisme phenomena perdarahan, belum dapat diidentifikasi.
Penyebab perdarahan pada DBD sangat komplek dan mungkin melibatkan satu
atau lebih dari trombositopeni, kerusakan pembuluh darah kecil, gangguan fungsi
trombosit dan diseminated intravasculan coagulation (DIC). Kerusakan trombosit
dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, pasien dengan
trombosit lebih dari 100.000/ mm3 mungkin didapat waktu perdarahan yang
memanjang. DIC terjadi pada renjatan berkepanjangan dan berat serta
menyebabkan perdarahan hebat dan irreversibel syok dengan prognosis buruk. 2
Manusia dapat terinfeksi 4 serotipe dengue selama hidup. Hampir semua
pasien DBD pernah terinfeksi dengan salah satu dari 4 serotipe virus dengue
sebelumnya, yang dikenal dengan hipotesa antibodi heterotipik. 2
Adanya ikatan antigen-antibodi (komplek antibodi-virus) ini dalam
sirkulasi darah akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :

14
1. Agregasi trombosit melepaskan ADP dan mengalami metamorfosis yang
kemudian kehilangan fungsi sehingga dimusnahkan sistem retikulo endotel
dengan akibat trombositopeni hebat dan perdarahan. Disamping itu trombosit
yang mengalami metamorfosis melepaskan faktor trombosis ke-3 yang
mengakibatkan sistem pembekuan.
2. Aktifasi faktor Hageman (faktor XII) akan mengakibatkan sistem pembekuan
dengan akibat terjadinya pembekuan intravaskuler yang sangat luas. Dalam
proses ini plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan
anafilatoksin menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan
anafilatoksin dan penghancuranfibrin menjadi fibrin degradation product.
Disamping itu aktifasi faktor XII menggiatkan sistem kinin yang berperan
meningkatkan permeabilitas kapiler, menurunnya faktor pembekuan yang
disebabkan aktifasi sistem pembekuan dan kerusakan hati akan menambah
beratnya perdarahan. 2

Secondary Heterologous Dengue Infection

Replikasi virus + Respon antibodi sebelumnya

Komplek virus-antibodi

Agregasi trombosit Aktifasi koagulasi Aktifasi


komplemen
Plasmin
Pelepasan faktor III
Pelepasan trombosit trombosit Aktifasi faktor
oleh RES Hageman
Anafilatoksin
Pemakaian
Trombositopeni koagulopati Sistem kinin

Faktor pembekuan Kinin Permeabilitas


Kegagalan fungsi pembuluh darah
trombosit
FDP

Perdarahan hebat Renjatan

15
Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas terjadi
pada pasien DBD dan SSD disebabkan oleh kerja bersama seperti suatu konser
dari aktivasi komplemen, induksi kemokin, dan kematian sel apoptotik. Bila
terjadi hipovolemi akibat kebocoran plasma maka tubuh akan melakukan
kompensasi melalui mekanisme neurohumoral yang akan meningkatkan
kemampuan kardiovaskuler sehingga tekanan darah bisa dipertahankan. Akibat
kompensasi ini maka terjadi takikardia, vasokonstriksi, penyempitan tekanan nadi,
akral dingin dan penurunan produksi urin. 6,12

MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis infeksi virus dengue tergantung dari berbagai faktor
yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai keadaan mulai
dari tanpa gejala (asimtomatik) demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan
Sindrom Syok Dengue. 2,10,11

1. Demam dengue (DD)


Setelah masa inkubasi 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodromal yang tidak khas seperti nyeri kepala, sakit tulang belakang, dan
rasa lelah. Tanda khas dari DD adalah peningkatan suhu mendadak, kadang-
kadang disertai menggigil, sakit kepala dan flushed face (muka kemerahan).
Dalam 24 jam, terasa nyeri pada belakang mata terutama pada pergerakan
mata atau bila bola mata ditekan, fotofobia, dan nyeri otot serta sendi. Gejala
lainnya adalah anoreksia, konstipasi, nyeri perut/kolik, nyeri tenggorok dan
depresi. Gejala tersebut biasanya menetap selama beberapa hari. 2,8,10
Demam, suhu pada umumnya antara 39-40 oC, dapat bersifat bifasik,
menetap antara 5-6 hari. Pada awal fase demam timbul ruam menyerupai
urtikaria di muka, leher, dada dan pada akhir fase demam (hari sakit ke3
atau 4), ruam akan menjadi makulopapular. Pada akhir fase demam atau awal
suhu turun timbul petekie yang menyeluruh biasanya pada kaki dan tangan.
Perdarahan kulit pada DD terbanyak adalah uji tourniquet positif dengan atau
tanpa petekie. 2,8,10

16
Pada awal fase demam akan dijumpai jumlah leukosit normal,
kemudian menjadi leukopenia selama fase demam. Jumlah trombosit dan
semua faktor pembekuan umumnya normal. Serum biokimia dan enzim pada
umumnya normal tetapi enzim hati dapat meningkat. 2,8,10

2. Demam berdarah dengue (DBD)


Terdapat empat gejala utama DBD yaitu demam tinggi, fenomena
perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Gejala klinis diawali
dengan demam mendadak, disertai dengan muka kemerahan (facial flush) dan
gejala klinis lain yang tidak khas menyerupai gejala DD.
Keempat gejala utama DBD adalah :
a. Demam
Penyakit didahului demam tinggi mendadak, terus menerus
berlangsung 2-7 hari dengan sebab yang tidak jelas dan hampir tidak
bereaksi terhadap pemberian antipiretik (mungkin hanya turun sedikit
kemudian naik kembali). Bila tidak disertai syok maka demam akan turun
dan penderita sembuh dengan sendirinya. Akhir fase demam merupakan
fase kritis pada DBD, oleh karena fase tersebut dapat merupakan awal
penyembuhan tetapi dapat pula sebagai awal fase syok. 2
b. Tanda-tanda perdarahan
Penyebab perdarahan pada DBD adalah vaskulopati, trombositopeni
dan gangguan fungsi trombosit serta koagulasi intravaskular yang
menyeluruh. Jenis perdarahan terbanyak antara lain perdarahan kulit
seperti uji tourniquet (uji Rumple Leede) positif, petekie, purpura,
ekimosis, dan perdarahan mukosa seperti epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, melena. Petekie merupakan tanda perdarahan yang tersering
ditemukan. Tanda ini dapat muncul pada hari-hari pertama demam.
Perdarahan yang paling ringan adalah uji tourniquet positif, berarti
fragilitas kapiler meningkat, namun hal ini dapat dijumpai pada penyakit
virus lain (misalnya campak, demam chikungunya), infeksi bakteri dan
lain-lain. Uji tourniquet positif sangat berguna apabila secara klinis diduga
DBD, karena pada awal perjalanan penyakit 70,2% kasus DBD
mempunyai hasil uji tourniquet positif. Uji tourniquet dinyatakan positif

17
jika terdapat 10-20 atau lebih petekie dalam diameter 2,8 cm (1 inci
persegi) di lengan bawah bagian depan (volar) dan pada lipatan siku (fossa
cubiti). 2
c. Pembesaran hepar
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan
penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba sampai 2-4 cm di
bawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan
beratnya penyakit. Nyeri tekan di daerah hati seringkali ditemukan dan ini
berhubungan dengan adanya perdarahan. 2
d. Syok
Perjalanan syok tergantung pada penyakit primer penyebab renjatan,
kecepatan dan jumlah cairan yang hilang, lama renjatan serta kerusakan
jaringan yang terjadi, tipe dan stadium renjatan. 2
3. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara
hari ke 3 sampai hari sakit ke-7. Pada kasus ringan dan sedang, semua tanda
dan gejala klinis menghilang setelah demam turun. Demam turun disertai
keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan tekanan darah, akral
ekstremitas dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini menunjukkan gejala
gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat
ringan atau sementara. 2,9
Pada kasus berat, keadaan umum pasien mendadak menjadi buruk
setelah beberapa hari demam. Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun,
antara hari sakit ke 3 -7, terdapat tanda kegagalan sirkulasi. Sesaat sebelum
syok seringkali pasien mengeluh nyeri perut. Syok ditandai dengan kulit
pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung kaki dan tangan; anak menjadi
rewel, gelisah lambat laun kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor dan
koma; denyut nadi cepat dan lemah; tekanan nadi menurun ( 20 mmHg);
hipotensi (tekanan sistolik 80 mmHg); oligouri sampai anuria. Pasien dapat
dengan cepat masuk ke dalam fase kritis yaitu syok berat (profound shock),
pada saat itu tekanan darah dan nadi tidak terukur lagi. 2,9,11

18
Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok
biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau
pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai
penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna,
sehingga memperburuk prognosis. Secara klinis perjalanan syok dapat dibagi
dalam 3 fase yaitu fase kompensasi, dekompensasi, dan ireversibel. 12,13
Tanda klinis Kompensasi Dekompensasi Ireversibel
Blood loss ( % ) Sampai 25 25 - 40 > 40
Heart rate Takikardia + Takikardia ++ Taki/bradikardia
Tek. Sistolik Normal Normal/menurun Tidak terukur
Nadi ( volume ) Normal/menurun Menurun + Menurun ++
Capillary refill Normal/ Meningkat>5 detik Meningkat ++
meningkat 3-5 detik
Kulit Dingin, pucat Dingin/mottled Dingin/deadly pale
Pernafasan Takipneu Takipneu + Sighing respiration
Kesadaran Gelisah Lethargi Reaksi / hanya
bereaksi thd nyeri
Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/l biasa ditemukan
pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan
perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran
plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang
disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk
DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok
terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian
cairan atau oleh perdarahan. 2
Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis
relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau
syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya
fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen,
protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang
pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu.
Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. 2
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu

19
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan
tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali
sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat
pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan
estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb. 2

Pemeriksaan Radiologis
Pada foto rontgen dada didapatkan efusi pleura, terutama pada
hemithoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura
dapat dijumpai pada kedua hemithoraks. Pemeriksan foto rontgen dada sebaiknya
dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur disisi badan sebelah
kanan). Ascites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. 2

Pemeriksaan Serologi
Merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk membantu
menegakkan diagnosis infeksi virus dengue. Pemeriksaan serologi terdapat 4 jenis
uji serologi yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue
yaitu : 2
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI test)
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF test)
3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test)
4. Uji Eliza
Pemeriksaan serologi yang banyak dipakai yaitu uji Hemaglutinasi
Inhibisi dan uji Eliza. 3
Hemaglutinasi Inhibisi
Sampai sekarang ini uji HI masih menjadi patokan baku WHO untuk
konfirmasi dan klasifikasi jenis infeksi virus dengue. Prinsip metode ini
adalah mengukur kadar Ig M dan Ig G melalui prinsip adanya kemampuan
antibodi antidengue menghambat reaksi hemaglutinasi darah angsa. 3

20
Eliza
Uji Eliza mempunyai sensitivitas yang sama dengan uji H.I. Prinsip
metode ini adalah mendeteksi adanya antibodi Ig M dan Ig G dalam serum
penderita dengan cara menangkap antibodi yang beredar dalam darah
penderita. Uji Eliza ini tidak mengadakan reaksi silang dengan golongan
flaviirus yang lain, sehingga metode ini lebih spesifik dibandingkan
metode H.I. 3

DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis DBD didasarkan pada kriteria menurut
WHO (1997), yaitu : 4
1. Kriteria Klinis
a. Panas tinggi mendadak, terus menerus selama 2 7 hari tanpa sebab
yang jelas (tipe demam bifasik)
b. Manifestasi perdarahan
- Uji Tourniquet positif
- Petechie, echimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan atau melena
c. Hepatomegali
d. Kegagalan sirkulasi (syok) yang ditandai dengan :
- Nadi cepat dan lemah
- Tekanan nadi menurun ( 20 mmHg)
- Hipotensi (tekanan sistolik 80 mmHg)
- Akral dingin
- Kulit lembab
- Pasien tampak gelisah
2. Kriteria Laboratoris
a. Trombositopenia (AT <100.000/ul)
b. Hemokonsentrasi ditandai dengan nilai hematokrit lebih dari atau
sama dengan 20% dibandingkan dengan masa konvalesen yang

21
dibandingkan dengan nilai Hct sesuai umur, jenis kelamin dari
populasi.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemo-
konsentrasi (atau peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis
klinis DBD. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis
terutama pada pasien anemi dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok,
adanya peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia mendukung
diagnosis DBD. 2

DERAJAT PENYAKIT
Mengingat derajat beratnya penyakit yang bervariasi dan sangat erat
kaitannya dengan pengelolaan dan prognosis maka WHO (1997) membagi DBD
dalam derajat setelah kriteria laboratoris terpenuhi yaitu : 2
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya
manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan
lain.
Derajat III : Terdapat kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi disertai kulit
dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.
Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tak teraba dan tekanan darah
yang tak terukur, kesadaran amat menurun.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang harus diwaspadai, antara lain : 4
a. Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada
DBD dengan atau tanpa syok. Evaluasi gejala sisa SSP sangat penting,
mengingat organ ini sangat sensitif terhadap hipoksia yang dapat terjadi
pada renjatan berkepanjangan

22
b. Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan
dapat terjadi gagal ginjal akut
c. Edema paru, seringkali terjadi akibat
overloading cairan.
d. Depresi miokard-gagal jantung
e. Gangguan koagulasi/pembekuan (DIC)

DIAGNOSIS BANDING
1. Pada awal perjalanan penyakit,
diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa seperti
demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya,
leptospirosis dan malaria.
2. Idiopatic Thrombocytopenic
Purpura (ITP)
3. Perdarahan seperti petekie dan
ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis,
meningitis meningokokus; leukemia atau anemia aplastik.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya
perubahan fisiologi berupa perembesan plasma danperdarahan. Perembesan
plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap
adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah
terjadinya syok. Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase
demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi
pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut
diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan
dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit
dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan
merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti
plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat. 9,13
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak

23
mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai
hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang
diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan
cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan
natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. 9,13

Penggantian Volume Plasma Segera


Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB.
Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat
badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10 cc/kg BB/jam, bila
tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila
syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10
ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi
cairankoloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya
pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500
ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit
turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi
darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam
volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam.
Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan
klinis dankadar hematokrit. 9
Pemeriksaan hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg
BB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi
selama 24-48 jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat,
saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila
hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg
BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada
umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila
cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi

24
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah
pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat
edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma
ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi.
Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi. 9

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit


Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD,
maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD
berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga
tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian
cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan
natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi
sehingga heparin tidak diperlukan. 9

Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien
syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapiharus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen. 9

Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).
Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang
nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya
dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan
yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel
darah merah dan faktor pembesar trombosit.Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya

25
terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin
parsial, waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa
pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. 9
Adapun penatalaksanaan DBD menurut derajatnya lihat bagan.

26
TATA LAKSANA

PENATALAKSANAAN KASUS TERSANGKA


DEMAM BERDARAH DENGUE DBD
(Bagan 1)

Tersangka DBD

Demam tinggi, mendadak, terus-menerus,


< 7 hari tidak disertai ISPA, badan
lemah/lesu

Ada kedaruratan Tidak ada


kedaruratan
Tanda syok muntah terus menerus,
kesadaran menurun Periksa uji tourniquet
Kejang, muntah darah, berak darah,
berak hitam

Uji Tourniquet (+) Uji tourniquet (-)

Rawat jalan
Jumlah trombosit Jumlah trombosit Parasetamol
< 100.000/ul > 100.000/ul Kontrol tiap hari sampai
demam hilang

Rawat Inap Rawat Jalan Nilai tanda klinis & jumlah


trombosit, Ht bila masih
demam hari sakit ke-3
Minum banyak,
Parasetamol bila perlu
Kontrol tiap hari sp demam turun.
Bila demam menetap periksa Hb.Ht, AT.

Perhatikan untuk orang tua: pesan bila timbul


tanda syok : gelisah, lemah, kaki tangan dingin,
sakit perut, berat hitam, kencing berkurang. Lab
Hb/Ht naik dan trombosit turun

segera bawa ke rumah sakit

27
PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAD I DAN II TANPA
PENINGKATAN HEMATOKRIT
(Bagan 2)

DBD Derajad I
Gejala klinis : demam 2-7 hari
Uji tourniquet positif
Lab. hematokrit tidak meningkat
trombositopeni (ringan)

Pasien Masih dapat minum Pasien tidak dapat minum


Beri minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 Pasien muntah terus menerus
sd. mkn tiap 5 menit.
Jenis minuman; air putih teh manis,
sirup, jus buah, susu, oralit
Pasang infus NaCl 0,9%: Dekstrosa 5%
Bila suhu > 38,5 derajad celcius beri (1:3) tetesan rumatan sesuai berat badan
parasetamol Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam
Bila kejang beri obat antikonvulasif

Ht naik dan atau trombositopeni

Perbaikan klinis dan laboratoris


Infus ganti ringer laktat
(tetesan disesuaikan, lihat Bagan 3)

Pulang
Kriteria memulangkan pasien :
Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit lebih dari 50.000/ml
Tidak dijumpai distress pernafasan

28
PENATALAKSANAAN KASUS DBD DERAJAD II DENGAN
PENINGKATAN HEMATOKRIT
(Bagan 3)

DBD Derajat II

DB Derajad I + perdarahan spontan


Hemokonsentrasi & Trombositopeni
Cairan awal RL/NaCl 0,9% atau
RLD5%/NaCl 0,9 + D 5% 6 7
ml/kgBB/jam

Monitor Tanda Vital/Nilai Ht & trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak Ada


Perbaikan
Tidak gelisah
Nadi kuat Gelisah
Tek Darah stabil Distres pernafasan
Diuresis cukup Frek. nadi naik
(1 ml/kgBB/jam) Ht tetap tinggi/naik
Ht Turun Tanda Vital memburuk Tek. Nadi < 20 mmHg
(2x pemeriksaan) Diuresis kurang/tidak
ada

Tetesan dikurangi Ht meningkat Tetesan dinaikkan


10-15 ml/kgBB/jam
5 ml/kgBB/jam (bertahap)
Perbaikan

Evaluasi 15 menit
Perbaikan

Sesuaikan tetesan Tanda vital tidak stabil

3 ml/kgBB/jam Distress pernafasan, Ht Ht turun


naik, tek. Nadi 20mmHg

IVFD stop setelah 24-48 jam


apabila tanda vital/Ht stabil dan Koloid Transfusi darah segar
diuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB

Perbaikan

29
PENATALAKSANAAN KASUS SSD ATAU DBD DERAJAD III DAN IV
(Bagan 4)

DBD Derajad III & IV

DBD Derajad II + Kegagalan sirkulasi

Oksigenasi (berikan O2 2-4L/menit) Penggantian


volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
RingerAsetat/ NaCl 0,9 % 10-20 ml/kgBB
secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?


Pantau tanda vital tiap 10 menit
Cacat balans cairan selama pemberian
cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak teratasi

Kesadaran membaik Kesadaran menurun


Nadi teraba kuat Nadi lembut / tidak teraba
Tekanan nadi > 20 mmHg Tekanan nadi < 20 mmHg
Tidak sesak nafas / Sianosis Distres pernafasan / sianosis
Ekstrimitas hangat Kulit dingin dan lembab
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah

Cairan 10 ml/kgBB/jam
Lanjutkan cairan
15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat Tambahan koloid/plasma
Tanda vital Dekstran 40/FFP
Tanda perdarahan 10-20 (max 30) ml/kgBB
Diuresis Koreksi Asidosis
Hb, Ht, Trombosit evaluasi 1 jam
Syok teratasi

Stabil dalam 24 jam Syok belum teratasi


Tetesan 5 ml/kgBB/jam

Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Ht turun Ht tetap
+ Transfusi fresh blood 10 ml/kg tinggi/naik +
Dapat diulang sesuai kebutuhan Koloid
Infus Stop tidak melebihi 48 jam 20 ml/kgBB

30
ANALISA KASUS

Pada kasus ini diagnosis DSS ditegakkan berdasarkan :


A. Anamnesis didapatkan :
1. Penderita mengalami panas sumer-sumer sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit.
2. Penderita merasa mual, muntah 2x isi makanan dan air dan tidak mau
makan sejak pagi hari.
3. Penderita tampak pucat, kulitnya dingin serta mengigau bahkan tidak
menjawab ketika ditanya.
4. Didapatkan manifestasi perdarahan berupa gusi berdarah.
5. Riwayat serupa didapatkan pada guru dan teman sekolahnya.

B. Pemeriksaan Fisik didapatkan


Pada tanggal 25 Maret 2007 pukul 20.00 didapatkan keadaan umum
tampak pucat, gelisah, apatis, gizi kesan baik. Tekanan darah : 90/60 mmHg,
nadi : 124 x/menit, regular, teraba lemah, simetris, laju pernapasan : 32
x/menit, tipe torakoabdominal dan suhu pada saat itu adalah 35,8 OC.
Didapatkan pula uji turniquet (+),nyeri tekan abdomen (+), hepar teraba 3 cm
BACD, lien tidak teraba, turgor kulit baik. Kulit dingin dan lembab dengan
capillary refill time > 2 detik

C. Pemeriksaan Penunjang
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Pada
penderita didapatkan trombositopeni yaitu AT 30 x 10 3 uL dan
hemokonsentrasi ( Hct : 56,6 % )
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh
karena itu harus waspada jika melihat tanda/gejala yang mungkin merupakan
gejala awal penyakit DBD. Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah demam
tinggi 2-7 hari mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus, muntah, nyeri

31
kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri epigastrium, badan terasa lemah, atau anak
tampak lesu, dan tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas.
Untuk menegakkan diagnosis DSS didasarkan pada kriteria menurut WHO
(1997), yaitu :
1. Kriteria Klinis
a. Panas selama 5 hari tanpa sebab yang jelas.
b. Manifestasi perdarahan berupa gusi berdarah
c. Kegagalan sirkulasi (syok) yang ditandai dengan :
- Nadi cepat dan lemah
- Akral dingin dan kulit lembab
- Pasien apatis
2. Kriteria Laboratoris
a. Trombositopenia yaitu 30.000/L dengan kecenderungan menurun
pada pemeriksaan berikutnya.
b. Peningkatan hematokrit yaitu 56,6 % (hemokonsentrasi = 36%)

Pada kasus ini penderita dimondokkan karena terdapat tanda-tanda syok yaitu
penurunan kesadaran, nadi cepat dan lemah, akral dingin, kulit lembab dan CRT
>2 detik disertai peningkatan frekuensi napas. Hal ini terjadi karena hipovolemi
akibat kebocoran plasma maka tubuh akan melakukan kompensasi melalui
mekanisme neurohumoral yang akan meningkatkan kemampuan kardiovaskuler
sehingga tekanan darah bisa dipertahankan. Akibat kompensasi ini maka terjadi
takikardia, vasokonstriksi, penyempitan tekanan nadi, akral dingin dan penurunan
produksi urin. Selain itu penderita juga tidak mau makan.
Dengue Shock Syndrome (DSS) ialah DBD dengan gejala, gelisah, nafas
cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit (tekanan
nadi < 20 mmHg), bibir biru, tangan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin.
Segera beri infus kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20ml/kgBB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 liter/menit.
Observasi tanda vital tiap 10 menit, tanda-tanda perdarahan dan balance cairan
serta diuresis per 8 jam. Pemeriksaan Hb, hematokrit, dan trombosit tiap 4-6 jam.
Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin-hematokrit,
tekanan nadi > 20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10

32
mm/kg BB/jam. Volume 10 ml/kg BB /jam dapat dipertahankan sampai 24 jam
atau sampai klinis stabil dan hematokrit menurun < 40%. Selanjutnya cairan
diturunkan menjadi 7 ml/kg/BB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil
kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5 ml dan seterusnya 3ml/kg BB/jam.
Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan
urin >1ml/kgBB/jam, berat jenis urin <1.020) dan pemeriksaan Hb, hematokrit
dan trombosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun dibandingkan
nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin 1 ml/kgBB/jam atau lebih merupakan indikasi
bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan
lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah
yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai
dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka
akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dan gagal jantung.
Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai
tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan
darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase
reabsorbsi.

33
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. D
Tanggal Lahir/ Umur : 11 Mei 2000 / 6 tahun 10 bulan 16 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama Ayah : Bp. M.
Pekerjaan Ayah : Swasta
Nama Ibu : Ny. S
Pekerjaan Ibu : Ibu rumah tangga
Alamat : Sumberejo Krebet Masaran, Sragen
Tanggal Pemeriksaan : 28 Januari 2008
No. CM : 83 41 20

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Panas
B. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)
Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan
badannya panas. Panas dirasakan sumer-sumer. Panas dirasakan sejak
malam hari ( jam 20.00 WIB), dan hingga esok harinya panas tidak turun.
Kemudian oleh ibu penderita diberi obat penurun panas. Panas mulai
berkurang, tapi penderita kemudian merasa mual, dan penderita tidak mau
makan. Mencret (-), gusi berdarah (+) sedikit, mimisan (-), batuk (-),
pilek (-), sakit tenggorok (-).
Dua hari sebelum masuk rumah sakit penderita tiba-tiba panas
disertai menggigil, dan oleh orang tuanya dibawa ke RSDM. Keluarga
penderita menolak rawat inap, dan diberi obat (orang tua penderita lupa),
panas turun tapi penderita masih merasa mual. Sejak siang hari penderita
tidak mau makan, dan minum hanya sedikit ( 3 gelas belimbing).

34
Lima jam sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh perutnya
sakit sekali, dan penderita juga mulai mengigau. Penderita tidak menjawab
tiap kali ditanya oleh keluarganya, dan terus menerus mengigau, serta
tampak pucat dan kulitnya dingin. Kemudian penderita dibawa ke RSDM
lagi, masuk rumah sakit sekitar jam 20.00 WIB dan penderita disarankan
untuk mondok. Panas (-), mual (+), muntah (+) 2x isi makanan dan air,
mencret (-), gusi berdarah (+) sedikit, mimisan (-), BAK terakhir 4 jam
sebelum masuk rumah sakit (1/4 gelas aqua) dan penderita tidak mau
makan sejak pagi hari.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat imunisasi : (+) lengkap
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat sakit demam berdarah : (+) guru dan teman penderita
E. Pohon Keluarga

35
F. Riwayat Imunisasi
Jenis I II III IV
BCG 2 bulan - - -
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan -
POLIO 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan
Hepatitis 3 bulan 4 bulan 9 bulan -
Campak 9 bulan - - -

G. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Senyum : 2 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 5 bulan
Gigi keluar : 6 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
H. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ayah : baik
Ibu : baik
Adik : baik
I. Riwayat Makan dan Minum Anak
Sejak lahir penderita tidak menerima ASI, karena ASI tidak keluar.
Setiap hari penderita diberi susu formula (Lactogen) dengan takaran 1
sendok takar ditambah 200 ml air, dengan frekuensi dan jumlah yang terus
bertambah hingga penderita berumur 3 tahun. Nasi tim diberikan sejak
penderita berumur 4 bulan, sebanyak 3 kali per hari. Nasi diberikan sejak
penderita berusia 1 tahun, frekuensi 3 kali sehari. Lauk pauk dan buah-
buahan sudah diberikan sejak umur 1 tahun dengan frekuensi 3 x perhari.
J. Pemeliharaan Kehamilan dan Prenatal
Pemeriksaan di : bidan
Frekuensi : Trimester I : 1x/1 bulan
Trimester II : 1x/2 minggu
Trimester III : 1x/1 minggu
Keluhan selama kehamilan : (-)

36
Obat-obatan yang diminum selama kehamilan : vitamin dan tablet
penambah darah.
K. Riwayat kelahiran
Lahir di Puskesmas dengan bantuan bidan, umur kandungan 9
bulan, lahir spontan, berat badan lahir 3200 gram, menangis kuat setelah
lahir, panjang badan 49 cm.
L. Pemeriksaan Postnatal
Pemeriksaan di puskesmas, frekuensi 1 bulan 1 kali.
M. Riwayat Keluarga Berencana :
Ibu penderita menggunakan pil KB.

III.PEMERIKSAAN FISIK (25-03-2007)


A. Keadaan Umum : tampak pucat, gelisah, apatis, gizi kesan baik
Berat badan : 18,5 kg
Tinggi badan : 117 cm
Lingkar perut : 58,5 cm
B. Tanda vital
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 124 x/menit, regular, teraba lemah, simetris
Laju Pernapasan : 32 x/menit, tipe torakoabdominal
Suhu : 35,8 0C
C. Kulit : warna sawo matang, lembab, ujud kelainan
kulit (-), uji turniquet (+)
D. Kepala : bentuk mesocephal, rambut hitam sukar dicabut
E. Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), air
mata (+/+), Refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(3 mm/ 3 mm), bulat, di tengah, mata cekung (-/-)
F. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
G. Mulut : bibir pucat (+), sianosis (-), mukosa basah (+)
H. Telinga : sekret (-), mastoid pain (-), tragus pain (-)
I. Tenggorok : uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (-),
tonsil T1 T1

37
J. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
K. Thorax
Bentuk : normochest
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Kiri bawah :SIC V linea medioclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-)
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar : SIC VI dextra
Batas paru lambung :spatium intercosta VII Sinistra
Redup relatif : batas paru hepar
Redup absolut : hepar
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan RBK (-/-),
RBH (-/-), wheezing (-/-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (+), hepar teraba 3 cm BACD, lien
tidak teraba, turgor kulit baik

38
M. Ekstremitas :
Akral dingin Oedema
+ + - -
+ + - -

Sianosis ujung jari Capilary refill time > 2 detik


- -
- -

N. Perhitungan Status Gizi


1. Secara klinis
Nafsu makan : kurang
Kepala : rambut jagung (-), susah dicabut (+)
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Mulut : bibir kering dan pecah-pecah (-)
Ekstremitas : pitting oedem (-)
Status gizi secara klinis : gizi kesan baik
2. Secara Antropometri
BB = 18,5 x 100 % = 82,2 % (P3 CDC 2000) normal
U 22,5

TB = 117 x 100 % = 97,5 % (P25 CDC 2000) normal


U 120

BB = 18,5 x 100 % = 86,05 % (P25<BB<P50 CDC 2000) kurang


TB 21,5

-2 SD > Z score > -1 SD

Status gizi secara antropometri : gizi baik

39
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah (25 Maret 2007)
Hb : 18,1 g/dL
AE : 6,80 x 106 uL
Hct : 56,6 %
AL : 14,3 x 103 uL
AT : 30 x 103 uL
Golongan darah : B

V. RESUME
Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan badannya
panas, sumer-sumer, terus-menerus. Saat panas mulai berkurang, penderita
merasa mual, tidak mau makan, dan gusi berdarah (+).
Dua hari sebelum masuk rumah sakit, panas disertai menggigil, minum
obat, panas turun tapi masih mual. Penderita tidak mau makan, minum hanya
sedikit ( 3 gelas belimbing).
Lima jam sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh perutnya
sakit sekali dan mulai mengigau. Penderita tidak menjawab tiap kali ditanya
oleh keluarganya, dan terus menerus mengigau, serta tampak pucat dan kulit
dirasa dingin. Panas (-), mual (+), muntah (+) 2x isi makanan dan air, gusi
berdarah (+) sedikit, BAK terakhir 4 jam sebelum masuk rumah sakit (1/4
gelas aqua) dan tidak mau makan sejak pagi hari.
Riwayat sakit serupa sebelumnya disangkal, riwayat sakit serupa di
keluarga, disangkal status imunisasi lengkap, riwayat pertumbuhan dan
perkembangan baik, keadaan kesehatan keluarga baik, riwayat sakit demam
berdarah (+) pada guru dan teman penderita, riwayat minum dan makan anak
baik, riwayat kehamilan baik, post natal baik.

40
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak
pucat, gelisah, apatis, gizi baik.
Berat badan : 18,5 kg
Tinggi badan : 117 cm
Pemeriksaan tanda vital didapatkan:
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 124 x/menit, regular, teraba lemah, simetris
Laju Pernapasan : 32 x/menit, tipe torakoabdominal
Suhu : 35,8 0C
Pada kulit didapatkan uji turniquet positif. Pada palpasi abdomen nyeri tekan
dan hepar teraba membesar 3 cm BACD, lien tidak teraba, turgor kulit masih
baik, lingkar perut = 58,5 cm. Selain itu pada ektremitas atas dan bawah teraba
akral dingin.
Dari pemeriksaan laboratorium darah (25 maret 2007) didapatkan hasil:
Hb : 18,1 g/dL
AE : 6,80 x 106 uL
Hct : 56,6 %
AL : 14,3 x 103 uL
AT : 30 x 103 uL
Golongan darah : B

VI. DIAGNOSA BANDING


- DHF grade III (DSS/Dengue Syok Sindrom)
- Gizi baik

VII. DIAGNOSIS KERJA


- DSS (febris hari ke-5)
- Gizi baik

41
VIII. PENATALAKSANAAN
Tanggal 25 Maret 2007 :
O2 nasal 2 L/ menit
IVFD RL 20 ml/kgBB bolus 30 menit2 jalur @ 92 tpm makro,
selanjutnya jika syok teratasi diberikan:
IVFD RL 10 ml/kgBB/jam 1 jalur 46 tpm makro
Mondok bangsal infeksi anak
Diet nasi + lauk 1665 kalori per hari

IX. PLANNING
Diagnosis :
Pemeriksaan Hb, HCT, dan AT per 6 jam
Pemeriksaan lingkar perut setiap hari
Monitoring :
Keadaan umum dan tanda vital tiap 4 jam
Balans cairan dan diuresis tiap 6 jam
Awasi tanda-tanda syok berulang
Edukasi :
Motivasi banyak minum

X. PROGNOSIS
Ad vitam : baik
Ad sanam : baik
Ad fungsionam : baik

42
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, 1997. Dengue Haemorrhagic Fever, 2nd edition. WHO. Geneva


2. Sri Rejeki HH, 2002. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan
bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
dalam Tatalaksana Kasus DBD. Balai Penerbit FK UI. Jakarta
3. Staf Medis Fungsional Anak RSDM, 2004. Standar Pelayanan Medis
Kelompok Staf Medis Fungsional Anak. RSUD Dr, Moewardi. Surakarta
4. Hendarwanto, 2000. Dengue dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1,
ed. 3., editor : HM Sjaifoellah Noer. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
5. Saford, Jay, P, 1999. Infeksi Arbovirus dalam : Harrison Prinsip-prinsup Ilmu
Penyakit Dalam, vol. 2 ed.13., editor : Kurt J Isselbacher, Eugene
Braunwaald, Jean Wilson, Joseeph B Martin, Anthony S Fauci, Dennis L
Kasper. EGC. Jakarta
6. Soegijanto S, 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus
Dengue. http://www. pediatrik.com
7. Wijaya H, 2006. Hubungan antara Respon Imun Humoral dengan Severitas
Demam Berdarah Dengue (DBD). http://www. pediatrik.com
8. Price D, 2006. Dengue Fever. www.emedicine.com/emerg/byname/dengue-
fever.htm
9. Wills B, 2006. Volume Replacement in Dengue Shock Syndrome.
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue
10. Departemen IKA RSCM, 2005. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM. RSCM. Jakarta
11. Rampengan Th, 1997. Demam Berdarah Dengue. Penyakit Infeksi Tropik
pada Anak. EGC. Jakarta
12. Halstead S, 2000. Arbovirus dalam : Nelson Ilmu Kesehatan Anak, vol. 2, ed.
15., editor : Richard E. Behrman, RK Kliegman, AM Arvin. EGC. Jakarta
13. Ashadi T, 2006. Terapi Cairan Intravena pada Syok Hipovolemik.
http://www.pdpi.com

43

Anda mungkin juga menyukai