Anda di halaman 1dari 20

TUGAS

DENGUE FEVER

Disusun oleh:

Komang Jourdy Kharisma P 42190353

Sheilla Dewi Sadara W 42190354

Hesli Salmen Menda 42190355

Isaias Stany Renjaan 42190356

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PERIODE 28 SEPTEMBER 2020 – 10 OKTOBER 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA - RSPAU dr. S. HARDJOLUKITO

YOGYAKARTA

2020
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama di 100 negara-negara tropis dan
subtropis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Kira-kira 50
juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus dengue ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk,
urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang
efektif di daerah endemik, dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi
dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imunologis pejamu, kepadatan vektor
nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan kondisi geografis setempat.
Prevalensi global DHF mengalami peningkatan yang dramatis dalam dua dekade terakhir.
Sekitar 40 % dari penduduk dunia di daerah tropis dan sub tropis beresiko terkena DHF. Penyakit
ini kini menjadi penyakit yang endemik di Indonesia sejak tiga dekade terakhir. Insidennya
berfluktuasi setiap tahun bahkan sampai terjadi wabah DHF di beberapa daerah di Indonesia.
Sampai saat ini 200 kota telah melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat dari 0,005
per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun
terakhir ini. Jumlah kasus Dengue Hemorragic Fever ( DHF ) di Indonesia sejak Januari s/d Mei
2004 mencapai 64.000 (IR 29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724 orang
(CFR 1,1 %).
DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DHF berdasarkan umur di
Indonesia menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi pada anak usia sekolah yaitu pada usia
5-14 tahun. DHF masih sulit diberantas karena belum ada vaksin untuk pencegahan dan
penatalaksanaannya hanya bersifat suportif. Keberhasilan penatalaksanaan DHF terletak pada
kemampuan mendeteksi secara dini fase kritis dan penanganan yang cepat dan tepat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala perdarahan dengan
atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia (trombosit
kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal.

2.2 Epidemiologi

Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara global.
Di seluruh dunia 50-100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya sekitar 500.000 kasus
DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak – anak usia kurang dari 15
tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan sekitar 25.000 kasus kematian
dilaporkan setiap harinya.

2.3 Etiologi dan Transmisi

DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan RNA virus dengan
nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul lipid. Virus ini termasuk kedalam
kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae, genus Flavivirus. Flavivirus merupakan virus yang
berbentuk sferis, berdiameter 45-60 nm, mempunyai RNA positif sense yang terselubung, bersifat
termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu
70oC4,7. Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4.

Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu sendiri, terdapat 2 faktor
lain yang berperan yaitu faktor host dan vektor perantara. Virus dengue dikatakan menyerang
manusia dan primata yang lebih rendah. Penelitian di Afrika menyebutkan bahwa monyet dapat
terinfeksi virus ini. Transmisi vertikal dari ibu ke anak telah dilaporkan kejadiannya diBangladesh
dan Thailand6. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes aegypti betina, disamping pula
Aedes albopictus betina. Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam berdarah (nyamuk Aedes
aegypti):

 Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih


 Hidup di dalam dan di sekitar rumah
 Menggigit/menghisap darah pada siang hari
 Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar
 Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan di
got/comberan
 Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, dan lain-lain.

Gambar 2.2 Aedes aegypti betina

Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, maka virus
dengue akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh nyamuk itu virus dengue
akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk.
Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air liur nyamuk. Jika nyamuk tersebut menggigit
seseorang maka alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang itu
diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya agar darah yang diisapnya tidak membeku.
Bersama dengan air liur inilah virus dengue tersebut ditularkan kepada orang lain.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue(DBD) disebabkan oleh virus
yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis.
Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa mengarah pada
kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena proses
imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam dengue timbul
akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah
dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan
berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap
virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen
yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis
makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi.
Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi,
antibodi fiksasi komplemen.

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya


gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis
pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous
infection theory).

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat
menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen.

Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika terdapat
antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat mencegah
penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak
dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat. Antibodi heterolog yang
telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit
terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary


heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe
virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi
dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi
juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex)
yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang
ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari
30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan
kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura
dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian.

Gambar 2.3 Patogenesis Terjadinya Syok Pada DBD.


Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem
koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosine
diphosphat), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan.

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi
akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan
(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

Gambar 2.4 Patogenesis Terjadinya Perdarahan pada DBD


2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi antara
kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat tidak
menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa
penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam berdarah
dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue (SSD). Namun, untuk alasan praktis, infeksi
dengue yang tidak berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu
pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.

2.6 Diagnosis

Kriteria untuk mendiagnosis dengue (dengan atau tanpa warning sign) dan severe dengue
dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Klasifikasi Infeksi Dengue

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD adalah
pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang signifikan dilakukan adalah
pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis DBD secara definitif dengan isolasi
virus, identifikasi virus dan serologis.

Darah Lengkap :

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin,


hematokrit, jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada
DBD merupakan indikator terjadinya perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga
didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.5

Isolasi Virus :

Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :


a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva.

Identifikasi Virus :

Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence


antibody technique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan
cunjugate. Untuk identifikasi virus dipakai flourensecence antibody technique test secara
indirek dengan menggunakan antibodi monoklonal.

Uji Serologi :

1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)

Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan
digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam uji HI ini :

a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukan tipe virus yang menginfeksi
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun), maka uji ini baik
digunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer serum akut
atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga keras positif infeksi
dengue yang baru terjadi (Recent dengue infection )

2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )

Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena
selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa yang
sudah berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya
bertahan sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun )
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )

Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test
( PRNT ) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi
neutralisasi dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi komplemen
tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi dan bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga
rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.

4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)8

Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali
dipakai. Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :

a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti oleh
IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis
yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk
memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji mac
elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji
HI.

5. IgG Elisa

Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI , hanya
sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue IgM / IgG
dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada
dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen
terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih).8
Metode Diagnosis Baru (RTPCR) :

Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular, diagnosis infeksi


virus dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut Reverse Transcriptase
Polymerase Chai Reaction (RTPCR).9,10 Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat
sensitif dan spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang
dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari
darah, jaringan tubuh manusia , dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan
isolasi virus, PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik
(misalnya dalam penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga
tidak mempengaruhi hasil dari PCR.

2.7.2 Pemeriksaan Radiologi

Kelainan yang bisa didapatkan antara lain 3:

1. Dilatasi pembuluh darah paru


2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea

2.8 Diagnosis Banding

a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis chikungunya,
malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan
antara DBD dengan penyakit lain.
b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota
keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan
dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi kojungtiva
dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis
hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan sakit
berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat
leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis).
Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi
bakteri dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas terdapat rangsangan meningeal
dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam
cepatmenghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD
jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam
tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi
dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak
sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder3.

2.9 Penatalaksanaan

Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan ke dalam
3 kelompok yaitu Grup A, B, dan C.5 Pasien yang termasuk Grup A dapat menjalani rawat jalan.
Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai
saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis
dan suportif.

2.9.1 Grup A

Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan mampu
mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine minimal sekali dalam
6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Pasien
dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi
edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral yang cukup, serta pemberian
parasetamol. Pasien beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas
dan diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning signs selama
perawatan di rumah.5

2.9.2 Grup B

Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan kondisi
penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta khusus seperti
kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti tempat
tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak
mampu mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan intravena
dapat dimulai dengan memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan
tetes maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan cairan keluar),
produksi urine, dan warning signs.5

Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai berikut:

 Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam,
kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kemudian
kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
 Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil atau hanya
meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam.
 Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT, tingkatkan kecepatan
tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
 Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan tetes infuse.
Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis yang
diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan yang adekuat dan nilai
hematokrit di bawah nilai baseline.
 Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati fase kritis),
produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan, kemudian setiap
6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati, dan fungsi koagulasi
sesuai indikasi).
2.9.3 Grup C

Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma leakage) berat
yang menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres nafas, perdarahan
berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi
(compensated shock) dan terapi syok hipotensif (hypotensive shock).5

Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:

 Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1 jam. Nilai
kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan tetes secara gradual
menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian
2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi
cairan intravena dipertahankan selama 24-48 jam.
 Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan pertama. Jika nilai
hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi bolus cairan kedua atau larutan
kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika membaik dengan bolus kedua, kurangi
kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan
kecepatan tetes secara gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
 Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan
memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).

Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:

 Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus diberikan
dalam 15 menit.
 Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam,
kemudian turunkan kecepatan tetes secara gradual.
 Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai hematokrit
sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini menandakan adanya
perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika hematokrit tinggi dibandingkan nilai
basal, ganti cairan dengan cairan koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30
menit sampai 1 jam, nilai ulang setelah bolus kedua.
 Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam,
kemudian kembali ke cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes seperti poin penjelasan
sebelumnya.
 Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus cairan kedua.
Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya perdarahan. Jika hematokrit
tetap tinggi atau bahkan meningkat (>50%), lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam
sebagai bolus ketiga selama 1 jam, kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian ganti dengan cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes.
 Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-20
ml/kg/jam whole blood segar.

Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan apabila :

- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik


- Nafsu makan membaik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit > 50.000/μl
- Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)1.

2.10 Penyulit

Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik
seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab ensefalopati. Melihat
ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis
pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskuler yang menyeluruh.
Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan juga bahwa keadaan
ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen, dapat
disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD / SSD. Apabila pada pasien syok dijumpai
penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus diatasi terlebih
dahulu. Apabila syok telah teratasi maka perlu dinilai kembali kesadarannya. Pungsi lumbal
dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila jumlah
trombosit <50.000/μl). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase
(SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas
darah, dan hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar amoniak darah).

Kelainan Ginjal

Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak
teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah
gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskuler, penting
diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang
penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan
> 1 ml / Kg BB per jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik sedangkan volume
cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijimpai
akut tubular nekrosis ditandai penurunan jumlah urine dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

Oedema Paru

Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan panduan yang
diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena perembesan plasma masih
terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan yang
diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit
tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada
kelopak mata dan ditunjang dengan gambaran oedema paru pada foto rontgen.

2.11 Pencegahan Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk
Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk)
Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh
masyarakat, dengan cara sebagai berikut:
1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-lain)
sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat minum burung,
perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain agar
nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban
bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak
menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan lain-
lain agar dibakar bersama sampah lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE
ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini
setiap 2-3 bulan sekali Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk
10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk ABATE. Untuk menakar ABATE digunakan
sendok makan. Satu sendok makan peres berisi 10 gram ABATE. Setelah dibubuhkan
ABATE maka8:
- Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes
aegypti
- Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya,
hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut
- Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan dan
tetap aman bila air tersebut diminum

2.12 Prognosis

Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan,
umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV
bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang
tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-
2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa
prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-
anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya
buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, Regional Office for South East Asia (2011). Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and expanded edition. SEARO
Technical Publication Series No. 60. India

2. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran
UI : Media Aescullapius. Jakarta.

3. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. Hal 63-72

4. Hadinegoro, S.Sri Rezeki (2011). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Terbitan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta.

5. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. New Edition 2009.

6. Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, Hunsperger E. Laboratory Tests for The Diagnosis of Dengue
Virus Infection. J Clin Microbiol 2006;40:376-81.

7. Guzman MG, Kouri G. Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis 2007;8:69-
80.

8. Shu PY. Comparison of a capture immunoglobulin M (IgM) and IgG ELISA and non-structural
protein NS1 serotype-specific IgG ELISA for differentiation of primary and secondary dengue
virus infections. Clin Diagn Lab Immunol 2006;10:622-30.

9. Chien LJ. Development of a real time reverse transcriptase PCR assays to detect and serotype
dengue viruses. J Clin Microbiol 2008;44:1295-04.

10. Lanciotti RS. Rapid detection and typing of dengue viruses from clinical samples by using
reverse transcriptase-polymerase chain reaction. J Clin Microbiol 2008;30:545-51.

Anda mungkin juga menyukai