Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

DEMAM BERDARAH DENGUE


(Dengue Hemorrhagic Fever)

Oleh :
Aulia Rahmadani, S.Ked
K1B1 21 025

Pembimbing
dr. Jumhari Baco, Sp.A, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Aulia Rahmadani
Stambuk : K1B1 21 025
Judul Kasus : Demam Berdarah Dengue
Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, 23 September 2021


Mengetahui :
Pembimbing,

dr. Jumhari Baco, Sp.A, M.Sc

2
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue masih menjadi masalah kesehatan yang cukup besar.
Sebanyak 400 juta orang infeksi dalam setahun. Meskipun vaksin telah tersedia,
penggunaan vaksin ini masih dibatasi karena beberapa ketentuan. Selama pasien
terinfeksi dengan infeksi virus dengue, deteksi dini dan terapi suportif sangat penting
dalam mencegah komplikasi dan mortalitas. Spektrum klinis dari infeksi virus dengue
adalah beragamnya demam yang sulit ditentukan sampai dengan syok sindrome dengue
yang dicirikan dengan perembesan plasma dan hemokonsentrasi.1
Menurut data WHO, Asia Pasifik menanggung 75 persen dari beban dengue
di dunia antara tahun 2004 dan 2010, sementara di Indonesia dilaporkan sebagai negara
kedua dengan kasus DBD terbesar diantara 30 wilayah endemis. Seluruh wilayah di
Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam berdarah dengue, sebab
baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan
penduduk maupun di tempat-tempat umum diseluruh Indonesia.
Penyakit Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua golongan umur.
Sampai saat ini penyakit Demam Berdarah Dengue lebih banyak menyerang anak-anak
tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi
penderita Demam Berdarah Dengue pada orang dewasa.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus dengue
ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan
tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah endemik,
dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi dengue
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imunologis pejamu, kepadatan
vektor nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan kondisi geografis
setempat.2,3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi
virus dengue. Nyamuk betina terutama dari spesies Aedes aegypti dan pada
tingkat lebih rendah, Ae. Albopictus adalah vektor pembawa virus dengue.
Dengue tersebar luas di seluruh daerah tropis, dengan variasi lokal dalam risiko
dipengaruhi oleh curah hujan, suhu dan cepat yang tidak direncanakan
urbanisasi. DBD adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis perdarahan yang
menimbulkan syok yang berujung kematian.4
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan
oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopictus.5

B. Epidemiologi
Data distribusi kasus DBD berdasarkan kelompok umur menunjukan bahwa
hampir semua kelompok umur berisiko terinfeksi virus dengue. Usia yang paling
sering yaitu 5-14 tahun hal ini diprediksikan oleh akibat penularan DBD terjadi
dilingkungan sekolah. Namun tidak menuntut kemungkinan anak yang berusia
kurang dari 1 tahun tidak terinfeksi virus dengue.6
Menurut data WHO, Asia Pasifik menanggung 75 persen dari beban dengue
di dunia antara tahun 2004 dan 2010, sementara di Indonesia dilaporkan sebagai
negara kedua dengan kasus DBD terbesar diantara 30 wilayah endemis. Pada
tahun 2017 jumlah kasus DBD di Indonesia dilaporkan sebanyak 68.407 kasus.
Provinsi dengan kasus terbanyak yaitu Jawa Barat dengan 10.016 kasus,
sedangkan provinsi Sulawesi Tenggara dilaporkan sebanyak 817 kasus.

4
C. Etiologi
Demam berdarah disebabkan oleh infeksi salah satu dari empat serotipe virus
dengue, yaitu dengue 1-4. Infeksi oleh satu serotype memberikan kekebalan
seumur hidup terhadap reinfeksi oleh serotipe yang sama, tetapi tidak terhadap
serotipe lainnya.4
Aedes aegypti adalah vektor nyamuk utama demam berdarah. Mereka
beradaptasi untuk berkembang biak di sekitar tempat tinggal manusia, di wadah
air, vas, kaleng, ban bekas dan benda-benda lain yang dibuang. Vektor sekunder
virus dengue adalah Aedes albopictus yang memberikan kontribusi yang
signifikan untuk transmisi di Asia dan yang kehadirannya menyebar di negara-
negara Amerika Latin. Wabah DBD juga telah dikaitkan dengan Aedes
polynesiensis dan Aedes scutellaris, tetapi pada tingkat yang lebih rendah.4
Virus berkembang di dalam nyamuk selama 1 sampai 2 minggu dan setelah
mencapai kelenjar ludah, dapat ditularkan ke manusia saat nyamuk menghisap
darah, yang mungkin terjadi beberapa kali sehari selama sisa hidup nyamuk 1
sampai 4 minggu. Virus dengue bisa memiliki potensi transmisi yang signifikan di
daerah tertentu. Setelah gigitan nyamuk menular, virus bereplikasi di kelenjar
getah bening lokal dan dalam waktu 2 sampai 3 hari menyebar melalui darah ke
berbagai jaringan. Virus beredar di darah biasanya selama 4 hingga 5 hari selama
fase demam dan dibersihkan dalam satu hari setelah demam. 4

5
Gambar 1. Virus dengue dibawah mikroskop elektron7

D. Patofisiologi
1. Volume plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan dinding pembuluh
darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta
diatesis hemoragik. Pada kasus DBD volume plasma terbukti merembes
selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai
puncaknya pada masa syok.
Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat
bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh
darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menunjukkan
terjadinya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler (ruang interstitial dan

6
rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Maka dari itu dapat ditemmukan
cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikardium.
Pada kasus besar plasma yang menghilang dapat digantikan dengan
efektif dengan ekspander plasma. Namun pada fase dini dpat diberikan cairan
yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis
terjadi secara cepat dan drastis.8
2. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menunrun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada fase syok. Jumlah trombosit secara
cepat meningkat pada masa konvalesens dan niali normal biasanya tercapai
7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan
meningkatnya megakarosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa
hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Mekanisme
lain yaitu depresi fungsi megakariosit.
Hal ini dikarenakan terjadi penghancuran trombosit pada
retikuoendotelial, limpa dan hati. Namun penyebab destruksi ini belum
diketahui, namun terdapat beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu
virus dengue, komponen aktif sistem imun komplemen, kerusakan sel
endotel, dan aktivasi pembekuan darah secara bersamaan atau terpisah. Lebih
lanjut trombosit menurun akibat proses imunologis yang ditandai terdapat
kompleks imun pada peredaran darah. 8
3. Sistem Koagulasi dan fibrinolysis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.
Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa trombopastin
parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun,
termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD terbukti
adanya peningkatan fibrinogen degradation product (FDP), penunrunan
aktivitas antitrombin III, menurunnya aktivitas faktor pembekan darah. Hal

7
ini diakibatkan pada DBD stadium akut terjadi proses koagulasi dan
fibrinolisis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), dan gangguan
fungsi trombosit.8
4. Sistem Komplemen
Terjadi penurunan kadar C3, C3 aktivator, C4 dan C5. Terdapat
hubungan positif dengan derajat penyakit. Penurunan kadar komplemen ini
diakibatkan oleh aktivasi sistem komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel
mast untuk melepaskan histamin dan meruakan mediator kuat untuk
menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume
plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi terhadap virus,
permukaan trombosit dan limfosit T yang mengakibatkan waktu paruh
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.8
5. Respon leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, pada har ketiga terdapat peningkatan
limfosit atopik yang berlangsung hingga hari kedelapan. Pada sediaan apus
buffy coat dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase tinggi yang
dapat dibedakan dengan virus lain. Pemeriksaan LPB secara serial
menunjukkan infeksi dengue mencapai puncak pada hari keenam.8

E. Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah
dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut
"the secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD
dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi
berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang
tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun.8

8
1. The immunological Enhancement Hypothesis
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang
berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu
enhancing –antibody dan neutralizing-antibody. Pada saat ini dikenal dua
jenis antibodi yaitu kelompok mononuklear reaktif yang tidak mempunyai
sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan antibodi yang dapat
menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus.
Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesidicity. Antibodi
non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu
replikasi virus. Teori ini juga mendasari bahwa infeksi sekunder vius dengue
oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat.
Dasar utama hipotesisi ini yaitu eningkatnya reaksi imunologis yang
berlangsung sebagai berikut:8
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel
kupferr merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue
primer.
b. Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun
yang melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dala sel fagosit mononuklear
yang telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan
menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang.
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan
sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang mepengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi

9
2. Aktivasi Limfosit T
Limfosit T memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsangan monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue,
limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ). Pada infeksi sekunder
oleh virus dengue (serotipe berbeda dari infeksi pertama), limfosit T CD4+
berproliferasi dan menghasilkan IFN-α, IFN-α selanjutnya merangsang sel
yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi
mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue, monosit akan
mengelalami lisis dan mengeluarkan mediator inflammasi yang menyebabkan
kebocoran plasma dan perdarahan.8

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, kritis, dan
konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase
mempunyai risiko yang dapat memperberat keadaan sakit.9
a. Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya suhu
tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam dapat
disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah. Hal ini
merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran plasma yang
tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma yang
bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat
menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi. 9

10
Gambar 2. Fase DBD9

b. Fase Kritis (Fase Syok)


Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence),
pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami
syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan terjadi
syok yaitu dengan mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok
(warning sign). Warning sign umumnya terjadi menjelang akhir fase demam,
yaitu antara hari sakit ke 3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat
merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat
pasien masuk ke keaadaan syok. Pasien semakin lesu, tetapi pada umumnya
tetap sadar. Gejala tersebut dapat tetap menetap walaupun telah terjadi syok.
Kelemahan, pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama syok.9
Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat pengambilan
darah merupakan manifestasi yang penting. Hepatomegali dan nyeri perut
sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan progresif
menjad di bawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit di atas data

11
dasar merupakan tanda awal perembesan plasma dan pada umumnya di
dahului leukopenia (≤5000 sel/mm3).9
Peningkatan hematokrit di atas merupakan salah satu tanda awal
yang paling sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma yang pada
umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan hematokrit
mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh karena itu,
pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat
berarti kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan volume
intravaskular bertambah, sehingga penggantian cairan yang adekuat dapat
mencegah syok hipovolemi.9
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil maka
pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok
hipotensif dan profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik,
gangguan organ progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan
hebat yang terjadi menyebabkan penurunan hematokrit, dan jumlah leukosit
yang semula leukopenia dapat meningkat sebagai respons stres pada pasien
dengan perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan
plasma dan kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien
tersebut peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat.
Selain itu, pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi
keterlibatan organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan/atau
perdarahan hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue syndrome.9
c. Fase penyembuhan (fase konvalesens)
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-
48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular kedalam ruang
intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya.
Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal mereda,
status hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul kemudian.

12
Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa
kasus lain dapat disertai pruritus umum. Bradikardia dan perubahan
elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada tahap ini. Hematokrit kembali
stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi.
Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan
tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan
pemapasan akibat efusi pleura masif dan ascites, edema paru atau gagal
jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika
cairan intravena diberikan berlebihan. Penyulit dapat terjadi pada fase demam,
fase kritis, dan fase konvalesens tertera gambar.9

1. Sindrom Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome)


Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang terjadi
pada DBD, yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai
perembesan plasma. Syok dengue pada umumnya terjadi di sekitar penurunan
suhu tubuh (fase kritis), yaitu pada hari sakit ke 4-5 dan sering kali didahului
oleh tanda bahaya (warning signs). Pada pasien yang tidak mendapat terapi
cairan intravena yang adekuat akan segera mengalami syok.9
a. Syok terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, adanya
hipovolemi menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi
melalui jalur neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ
vital. Sistem kardiovaskuler mempertahankan sirkulasi melalui
peningkatan isi skuncup (stroke volume), laju jantung (heart rate) dan
vasokontriksi perifer. Pada fase ini tekanan darah biasanya belum
menurun, namun telah terjadi peningkatan laju jantung. Oleh karena itu
takikardia yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai turun, walaupun
tekanan darah belum banyak menurun, harus diwaspadai kemungkinan
anak jatuh ke dalam syok.9

13
Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung
atau pengobatan tidak adekuat, kompensasi dilakukan dengan
mempertahankan sirkulasi kearah organ vital dengan mengurangi
sirkulasi ke daerah perifer (vasokontriksi perifer), secara klinis ditemukan
ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi
bercak-bercak (mottled), pengisian waktu kapiler (capillary refill time)
memanjang lebih dari 2 detik. Dengan adanya vasokontriksi perifer,
terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan diastolik
meningkat sedangkan tekanan sistolik tetap sehingga tekanan nadi
(perbedaan tekanan antara sistolik dan diastolik) akan menyempit kurang
dari 20 mmHg.9
Pada tahap ini system pernapasan melakukan kompensasi berupa
quite tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernapasan).
Kompensasi system keseimbangan asam-basa berupa asidosis metabolik
namun pH masih normal dengan tekanan karbon dioksida rendah dan
kadar bikarbonat rendah. Keadaan anak pada fase ini pada umumnya
tetap sadar, sehingga kadang sulit untuk menilai bahwa pasien sedang
dalam fase kritis.9
Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan memberikan
prognosis yang baik. Bila keadaan kritis luput dari pengamatan sehingga
pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan tepat, maka pasien akan
jatuh dalam keadaan syok dekompensasi.9
b. Syok dekompensasi
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk
mempertahankan sistem kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini
tekanan sistolik dan diastolik telah menurun, disebut syok hipotensif.
Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau pemberian pengobatan
tidak adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai dengan nadi

14
tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, sianosis makin jelas
terlihat.9
Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan kondisi
mental karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi gelisah, bingung,
atau letargi. Pada beberapa kasus anak-anak dan dewasa muda pasien
tetap memiliki status mental yang baik walaupun sudah mengalami syok.
Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan asidosis
metabolic berat, kegagalan organ multiple serta perjalanan klinis yang
sangat sulit diatasi. Perjalanan dari ditemukannya warning sign sampai
terjadi syok terkompensasi, dan dari syok terkompensasi menjadi syok
hipotensif dapat memakan waktu beberapa jam.9
Pasien DBD berat memiliki derajat kelainan koagulasi yang
bervariasi, tetapi hal ini pada umumnya tidak sampai menyebabkan
perdarahan massif. Terjadinya perdarahan massif hamper selalu
berhubungan dengan profound shock yang bersama-sama dengan
trombositopenia, hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan kegagalan
organ multiple dan koagulasi intravascular disaminata.9
c. Warning Sign (Tanda Bahaya):6
1) Klinis:
a) Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
b) Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
c) Muntah yang menetap
d) Letargi, gelisah
e) Perdarahan mukosa
f) Pembesaran hati >2 cm
g) Akumulasi cairan
h) Oligouri
2) Laboratorium:

15
a) Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunan
cepat jumlah trombosit
b) Hematokrit awal tinggi
2. Expanded dengue syndrome
Semakin banyak kasus infeksi dengue dengan manifestasi yang tidak
lazim/jarang yang dilaporkan dari berbagai Negara termasuk Indonesia, kasus
in disebut sebagai expanded dengue syndrome (EDS). Manifestasi klinis
tersebut berupa keterlibatan organ seperti hati, ginjal, otak maupun jantung
yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan atau tidak ditemukannya
tanda kebocorn plasma. Manifestasi yang jarang ini terutama disebabkan
kondisi syok yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi gagal organ atau
pasien dengan komorbiditas atau ko-infeksi. Maka dapat disimpulkan bahwa
EDS dapat berupa penyulit infeksi dengue dan manifestasi yang tidak lazim,
penyulit infeksi dengue dapat berupa kelebihan cairan dan gangguan
elektrolit, sedangkan yang termasuk manifestasi klinis yang tidak lazim ialah
ensefalopati dengue/ ensefalitis, perdarahan hebat, infeksi ganda, kelainan
ginjal dan miokarditis.9

Kriteria diagnosis laboris diperlukan untuk survailans epidemiologi, terdiri atas: 9


a. Probable dengue: apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan
serologi anti dengue.
b. Confirmed dengue: apabila diagnosis klinis diperkuat dnegan deteksi genome
virus dengue denngan pemeriksaan RT-PCR. Antigen dengue dengan
pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan serokonversi pemeriksaan igG dan
igM (dari negative ke positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan.
Isolasi virus dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam konfirmasi diagnosis
klinis, namun karena memerlukan teknologi yang canggih dan prosedur yang
rumit pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan.

16
Klinis:8
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk perdaraham lain (peteki, purpura, ekiosis, epistaksis, perdarahan
gusi), hematemesis, dan atau melena
3. Pembesaran Hati
4. Syok yang ditandai dengan nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi
menurun (≤ 20mmHG), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80
mmHG) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung
hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan timbul sianosis disekitar
mulut.

Laboratorium:8
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari
peningkatan nilai hematokrit ≥ 20 % dibandingkan dengan nilai hematokrit
pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga
patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah
cukup untuk membuat diagnosis DBD.8

Tabel 2. Derajat DBD8

17
G. Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan. Pasien DBD dirawat diruang perawatan biasa, namun kasus DBD
dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini dan edukasi
segera dirawat bila terdapat anda syok.10
Keberhasilan tatalaksana DBD terletak bagaimana mendeteksi secara dini fase
kritis yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan
sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan
plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal
terjadinya oerembesan plasma dengan tanda peningkatan kadar hematokrit dan
penurunan jumlah trombosit. Penurunan jumlah trombosit terjadi sebelum
peningkatan hematokrit dan sebelum penurunan suhu. Pemberian cairan awal
sebagai pengganti awal sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan
garam isotonik atau ringer laktat yang kemudian disesuaikan sesuai dengan
beratnya penyakit.10
1. Tata Laksana Rawat Jalan Demam Dengue
Pasien DD yang tidak memiliki komorbiditas dan sosial, diperlakukan
sebagai pasien rawat jalan. Pasien pengobatan simtomatik berupa antipiretik
seperti parasetamol dengan dosis 10-15 mg/K8BB/dosis yang dapat diulang

18
setiap 4-6 jam bila demam. Hindarkan pemberian antipiretik berupa asetil
salisilat, antiinflamasi nonsteroid (obat antiinflamasi nonsteroid/NSAID)
seperti ibuprofen. Upaya demam dengan metode fisik seperti kompres yang
diizinkan, yang lebih dianjurkan adalah dengan cara "kompres hangat”. Anak
lebih baik minum, boleh air putih atau teh, namun lebih baik jika diberikan
cairan yang mengandung elektrolit seperti jus buah, oralit atau air tajin.
Tanda cairan cairan adalah diuresis setiap 4-6 jam. Pasien yang dibutuhkan
untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari mengingat tanda dan gejala DBD
pada fase awal sangat menyerupai DD. 10
Tata laksana pasien di rumah harus yang disampaikan kepada orang
tua dengan jelas, sebaiknya dalam bentuk tertulis seperti yang tertera pada
pasien yang menderita DD dengan penyulit atau DBD yang mungkin timbul
selama rawat jalan, orang tua diminta untuk memantau kondisi anak, bila
ditemukan tanda bahaya harus segera kembali ke rumah sakit tanpa menunggu
keesokan harinya.
Nasihat kepada orang tua untuk pasien rawat jalan Nasihat di rumah:10
 Anak harus istirahat
 Cukup minum, selain air putih dapat diberikan susu, jus buah, cairan
elektrolit, air tajin. Cukup minum ditandai dengan frekuensi buang air
kecil setiap 4-6 jam.
 Parasetamol 10 mg/kgBB/kali diberikan jika suhu >38°C dengan interval
4-6 jam, pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan kompres hangat.
 Pasien rawat jalan harus kembali berobat setiap hari dan dinilai oleh
petugas kesehatan sampai melewati fase kritis, mengenai: pola demam,
jumlah cairan yang masuk dan keluar (misalnya muntah, buang air kecil),
tanda-tanda perembesan plasma dan perdarahan, pemeriksaan darah
perifer lengkap.

19
 Pasien harus segera dibawa ke rumah sakit jika terdapat satu atau lebih
keadaan berikut: pada saat suhu turun keadaan anak memburuk, nyeri
perut hebat, muntah terus-menerus, tangan sakit dan dingin dan lembab,
letargi atau gelisah/rewel, anak tampak lemas, perdarahan (misalnya
BAB berwarna hitam atau muntah hitam), sesak napas, tidak buang air
kecil lebih dari 4-6 jam, atau kejang.

Bagan 1. Tatalaksana Tersangka DBD10

20
2. Tatalaksana Rawat inap Demam berdarah dengue

21
Berbeda dengan DD, pada DBD terjadi kebocoran plasma yang
apabila cukup banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemik (demam
berdarah dengan syok/ sindrom syok dengue) dengan mortalitas yang tinggi.
Dengan demikian penggantian cairan ditujukan untuk mencegah timbulnya
syok.

Penggantian cairan
 Jenis cairan
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD.
Tidak disarankan memberikan cairan hipotonik seperti NaCl 0,45%,
kecuali bagi pasien usia <6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu
jam pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam
ruang intravaskular sedangkan cairan isotonis 1/4 volume yang bertahan,
sisanya terdistribusi ke ruang intraselular dan ekstraselular. Cairan koloid
hiperonkotik (osmolaritas >300 mOsm/L) seperti dextran 40 atau HES
walaupun lebih lama bertahan dalam ruang intravaskular namun memiliki
elek samping seperti alergi, gangguan fungsi koagulasi, dan kemungkinan
gangguan fungsi ginjal. Jenis cairan ini hanya pada 1) perembesan plasma
masif yang ditunjukkan dengan nilai hematokrit yang semakin meningkat
atau tetap tinggi meskipun telah diberi cairan kristaloid yang adekuat, atau
2) pada keadaan syok yang tidak berhasil dengan pemberian bolus cairan
kristaloid yang kedua. 10
 Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi
klinis dan temuan laboratornum. Pasien dengan obesitas, pemberian
jumlah cairan harus hati-hati karena mudah terjadi kelebihan cairan,
penghitungan cairan sebaiknya berdasarkan berat badan ideal. Pada DBD
terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, karena itu jumlah

22
cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan
(maintenance) ditambah dengan perkiraan defisit cairan 5%.10
 Antipiretik
Paracetamol 10 15mg/kgBB/kali diberikan jika suhu >38°C dengan
interval 4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan
kompres hangat.
 Nutrisi
Jika pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup, terutama
minum cairan yang mengandung elektrolit.10
3. Tatalaksana sindrom syok terkompensasi

Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera mendapat


pengobatan sebagai berikut:
 Berikan terapi oksigen 2-4 L/menit
 Berikan resusitasi cairan dengan cairan isotonik intravena dengan jumlah
cairan 10-20 mL/kgBB dalam waktu l jam. Periksa hematokrit
 Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mLkg BB/jam selama
1-2 jam.
 Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara
bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5 mL/KgBB/jam. Pada umumnya setelah

23
24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan.
untuk mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila
masukan cairan melalui oral semakin membaik.
 Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit. kalsium
dan gula data untuk menilai kemungkinan adanya A-B-C-S (A-asidosis,
B=bleeding, C-calcium, S-blood sugar/gula darah) yang memperberat
syok hipovolemik. Jika salah satu atau beberapa kelainan tersebut
ditemukan, segera lakukan koleksi.10
4. Tatalaksana sindrom syok dekompensasi
Syok dekompensasi memerlukan tindakan yang cepat dan segera, pertolongan
terlambat akan mengakibatkan jatuhnya pasien dalam kondisi syok berat yang
memiliki prognosis buruk.

Jika pasien saat berobat sudah dalam syok dekompensasi, baik yang masih
dalam fase hipotensif maupun yang sudah jatuh dalam syok berat, diberi
pengobatan sebagai berikut. 10
 Berikan oksigen 2-4 L/menit
 lakukan pemasangan akses vena. apabila dua kali gagal atau Iebih dari 3-
5 menit, berikan cairan melalui prosedur i.o.

24
 Berikan cairan kristaloid dan atau koloid 10-20 mL kgBB per bolus
dalam waktu 120 menit. Pada saat bersamaan melakukan pemeriksaan
hematokrit, analisis gas darah, gula darah dan kalsium
 Saat syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10 mL/kg
BB/jam selama 1-2 jam.
 Jika keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid dengan
jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 15
mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan
intravena sudah tidak diperlukan. untuk mengurangi jumlah cairan yang
diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral semakin
membaik.
 Jika syok belum teratasi periksa hematokrit, jika hematokrit tinggi
diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila asidosis, hipoglikemia
atau hipokalsemia.
Bila hematokrit rendah atau mual dan ditemukan tanda perdarahan masi,
berikan transfusi darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10 mL/kg
BB atau fresh packest red cell dengan dosis 5 ml/kgBB.10
5. Pemantauan DBD dengan syok
Setiap pasien DBD yang mengalami syok harus dilakukan pemeriksaan
berkala.
a) Tanda vital setiap 15-30 menit, selanjutnya setiap jam apabila syok sudah
teratasi
b) Analisis gas darah, gula darah, kalsium pada saat masuk rumah sakit
terutama pada pasien syok dekompensasi atau yang mengalami syok yang
berkepanjangan
c) Hematokrit harus diperiksa sebelum pemberian cairan resusitasi pertama
dan kedua, selanjutnya setiap 4-6 jam
d) Produksi urin harus ditampung dan diukur.

25
e) Jika ditemukan gangguan fungsi organ atau sistem lain, seperti ginjal,
hati, gangguan prembekuan, dan jantung. pemeriksaan fungsi ginjal,
fungsi hati, fungsi koagulasi, dan EKG
f) Perhatian khusus harus diberikan untuk kemungkinan terjadinya edema
paru akibat kelebihan cairan. Periksa keadaan respirasi (napas cepat,
napas cuping hidung. reiraksi, ronki basah tidak nyanng), peninggian
tekanan vena jugularis, hepatomegaly, efusi pleura. Edema paru jika
tidak akan diobati karena asidosis, sehingga pasien dapat kembali jatuh ke
dalam syok.10
6. Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit
stabil, 3 hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.000/uL dan
cenderung meningkat, baik, serta tidak dijumpai distres pernafasan
(disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis).10

H. Diferensial Diagnosis
Pada awal fase demam, diagnosis banding meliputi spektrum luas virus, bakteri,
dan infeksi protozoa mirip dengan DF. Manifestasi perdarahan, mis. tes
tourniquet positif dan leukopenia (≤5000 sel/mm3) menyarankan penyakit demam
berdarah. Adanya trombositopenia dengan hemokonsentrasi yang bersamaan
membedakan DBD/DSS dari penyakit lain.11
Pada pasien tanpa peningkatan hematokrit yang signifikan sebagai akibat dari
perdarahan hebat dan/atau terapi cairan intravena yang lebih awal, terjadinya efusi
pleura/asites menunjukkan kebocoran plasma. Hipoproteinemia/albuminemia
mendukung adanya kebocoran plasma. Laju endap darah (LED) yang normal
membantu membedakan dengue dari infeksi bakteri dan syok septik. Perlu dicatat
bahwa selama periode syok, LED <10 mm/jam.11

26
I. Komplikasi
Komplikasi DHF/DD dengan perdarahan dapat terjadi sehubungan dengan
penyakit yang mendasari seperti tukak lambung, trombositopenia dan trauma.
Komplikasi DBD ini biasanya terjadi dalam hubungannya dengan syok
berat/berkepanjangan yang menyebabkan asidosis metabolik dan perdarahan
hebat akibat DIC (disseminated intravascular coagulation) dan kegagalan
multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal. 11
Penggantian cairan yang berlebihan selama periode kebocoran plasma
menyebabkan efusi masif menyebabkan gangguan pernapasan, kongesti paru
akut dan/atau gagal jantung. Selain itu, syok yang dalam/berkepanjangan dan
terapi cairan yang tidak tepat dapat menyebabkan gangguan
metabolisme/elektrolit. Kelainan metabolic sering ditemukan sebagai
hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan kadang-kadang, hiperglikemia.
Gangguan ini dapat menyebabkan berbagai manifestasi yang tidak biasa,
misalnya ensefalopati.11

J. Prognosis
Faktor-faktor prognostik perkembangan penyakit dengue:12,13,14
1. Muntah
2. Nyeri perut
3. Perdarahan mukosa atau spontan
4. Status nutrisi (obesitas)
5. Virus Dengue serotype DEN-2
6. Trombosit ˂100.00/mm3
7. Akumulasi cairan (efusi pleura atau asites)
8. Peningkatan AST atau ALT 3 kali diatas normal
9. Penurunan Serum albumin ˂3-5 gr/dL
10. Hepatomegaly
11. Infeksi sekunder

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan, Erni J. 2018. Early Detection of Plasma Leakage in Dengue Hemoragic


Fever. Indonesia Interna Medicines. Acta Med Indonesia
2. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
3. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
4. WHO. 2005. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome
in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness. World Health
Organization.
5. Sandy Semuel dan Sasto Iman. 2015. Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten
Keerom Provinsi Papua. Balaba. Vol 11
6. Prasad, J., dkk. 2014. National Guidelines for Clinical Management of Dengue
Fever.World Health Organization
7. Wahala, M. 2011. The Human Antibody Response to Dengue Virus Infection.
Viruses Journal. Microbiology and Immunology of North Carolina..
8. Herry, Garna. 2015. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia
9. WHO. 2012. Handbook For Clinical Management of Dengue. World Health
Organization.
10. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI. 2014. Pedoman Diagnosis dan
Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak. IDAI: Jakarta
11. WHO. 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and
dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. SEARO Technical
Publication Series: India.

28
12. Sangkaew, S., Ming, D., Boonyasiri, A., Goneyford K., Kalayanarooj, S.,
Yacoub, S, dkk. 2021. Risk Predictors of Progression to Severe Disease During
the Febrile Phase of Dengue: A Systematic Review and Meta-Analysis. Lancet.
21:1014-1026.
13. Zulkipli, M.S., Dahlui, M., Jamli, N., Peramalah, D., Wai, H.V.C., Bulgiba, A.,
dkk. 2018. The Association Between Obesity and Dengue Severity Among
Pediatric Patients: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLOS Neglected
Tropical Diseases. 12(2):1-22.
14. Zhang, H., Zhou, Y.P., Peng, H.J., Zhang, X.H., Zhou, F.Y., Liu, Z.H., dkk. 2014.
Predictive Symptoms and Signs of Severe Dengue Disease for Patients with
Dengue Fever: A Meta-Analysis. BioMed Research International.

29

Anda mungkin juga menyukai