Anda di halaman 1dari 23

A.

KASUS

Seorang laki-laki, umur 25 tahun, diantar oleh keluarganya ke puskesmas


karena tadi pagi tiba-tiba matanya kuning dan merasa lemah. Pada
anamnesis didapat keterangan bahwa gejala tersebut tidak disertai
demam.Menurut keluarganya satu hari sebelumnya penderita disengat
serangga.

B. KATA SULIT

1. Demam : keadaan suhu tubuh lebih dari normal sebagai akibat dari
peningkatan pusat pengaturan suhu di hipotalamus yang
dipengaruhi oleh interleukin-1.1)

C. KALIMAT KUNCI
1. Laki-laki 25 tahun.
2. Mata kuning dan merasa lemah.
3. Tidak disertai demam.
4. Riwayat disengat serangga.

D. PERTANYAAN PENTING
1. Bagaimana proses hematopoesis?
2. Jelaskan fisiologi sel darah merah!
3. Jelaskan definisi anemia dan klasifikasinya!
4. Jelaskan patomekanisme gejala pada skenario
5. Jelaskan hubungan sengatan serangga dengan gejala!
6. Mengapa tidak disertai demam pada skenario?
7. Jelaskan langkah-langkah diagnosis pada skenario!
8. Jelaskan diferential diagnosis dan diagnosis sementara dari skenario!

1
E. JAWABAN PERTANYAAN
1. Proses hematopoesis
Hemopoesis atau hematopoesis ialah proses pembentukan darah. Tempat
hemopoesis pada manusia berpindah-pindah sesuai dengan umur.2)
a. yolk sac : umur 0-3 bulan intrauterin
b. hati & lien : umur 3-6 bulan intrauterin
c. sumsum tulang : umur 4 bulan intrauterin-dewasa.
Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik semua hemopoesis terjadi
pada sumsum tulang. Dalam keadaan patologik, seperti pada mielofibrosis,
hemopoesis terjadi di luar sumsum tulang, terutama di lien, disebut sebagai
hemopoesis ekstrameduler. Untuk kelangsungan hemopoesis diperlukan:2)
1) Sel Induk hemopoetik (hematopoetic stem cell)
Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi
sel-sel darah. Sel induk paling primitif disebut sebagai pluripotent stem
cell. Sel induk pluripotent mempunyai sifat:2)
a. self renewal: kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga tidak
akan pernah habis meskipun terus membelah
b. proliferative: kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-sel
dengan fungsi tertentu
c. diferensiatif: kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-sel
dengan fungsi tertentu
Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk hemopoetik
dapat dibagi menjadi:2)
a. Pluripotent stem cell: sel induk yang mempunyai kemampuan untuk
menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.
b. Committed stem cell: sel induk yang mempunyai komitmen untuk
berdiferensiasi melalui salah satu garis turunan sel (cell line). Sel
induk yang termasuk golongan ini ialah sel induk myeloid dan sel
induk limfoid.
c. Oligopotent stem cell: sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi
hanya beberapa jenis sel. Misalnya, CFU-GM (colony forming unit-

2
granulocyte/monocyte)
d. Unipotent stem cell: sel induk yang hanya mampu berkembang
menjadi satu jenis sel saja. Contoh: CFU-E (colony forming unit-
erythrocyte) hanya dapat menjadi eritrosit.

Gambar 1 – Hierarki sel-sel darah3)


2) Lingkungan mikro (microenvirontment) sumsum tulang
Lingkungan mikro sumsum tulang adalah substansi yang
memungkinkan sel induk tumbuh secara kondusif. Komponen
lingkungan mikro ini meliputi berikut:2)
a. Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang
b. sel-sel stroma:
 Sel endotil
 Sel lemak
 Fibroblast
 Makrofag
 Sel reticulum
c. Matriks ekstraseluler: fibronekti, haemonektin, laminin, kolagen,
dan proteoglikan
Lingkungan mikro sangat penting dalam hemopoesis karena berfungsi
untuk berikut:
a. Menyediakan nutrisi dan bahan hemopoesis yang akan dibawa oleh

3
peredaran darah mikro dalam sumsum tulang.
b. Komunikasi antarsel (cell to cell communication), terutama
ditentukan oleh adanya adhesion molecule.
c. Menghasilkan zat yang mengatur hemopoesis: hematopoesis growth
factor, cytokine, dan lain lain.
3) Bahan-Bahan pembentuk darah
Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah adalah:2)
a. asam folat & vitamin B12
b. besi: sangat diperlukan dalam pembentukan haemoglobin
c. cobalt, magnesium, Cu, Zn
d. asam amino
e. vitamin lain: vitamin C, B kompleks, dan lain-lain.
4) Mekanisme Regulasi
Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah dan
kuantitas pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang matang dari
sumsum tulang ke darah tepi sehingga sumsum tulang dapat merespon
kebutuhan tubuh dengan tepat. Produksi komponen darah yang
berlebihan ataupun kekurangan (defisiensi) sama-sama menimbulkan
penyakit. Zat-zat yang berpengaruh dalam mekanisme regulasi ini
adalah:2)
a. Faktor pertumbuhan hemopoesis (hematopoetic growth factors):
 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF)
 Granulocyte colony stimulating factor (G-CSF)
 Macrophage colony stimulating factor (M-CSF)
 Thrombopoietin
 Burst promoting activity (BPA)
 Stem cell factor (kit ligand)
b. Sitokin seperti misalnya: IL-3, IL-4, IL-5, IL-7, IL-8, IL-9, IL-10,
IL-11
c. Hormon hemopoetik spesifik:
Erythropoietin: hormon yang dibentuk di ginjal khusus

4
merangsang pertumbuhan precursor eritroid.
d. Hormon nonspesifik:
Beberapa jenis hormone diperlukan dalam jumlah kecil untuk
hemopoesis, seperti:
 Androgen:
 Estrogen
 Glukokortikoid
 Growth Hormon
 Hormon tiroid
Dalam regulasi hemopoesis normal terdapat feed back mechanism:
suatu mekanisme umpan balik yang dapat merangsang hemopoesis jika
tubuh kekurangan komponen darah (positive loop) atau menekan
hemopoesis jika tubuh kelebihan darah tertentu (negative loop).2)

2. Fisiologi sel darah merah


Sel darah merah(eritrosit) adalah sel datar berbentuk piringan yang
mencekung dibagian tengah dikedua sisi seperti donat dengan bagian
tengah menggempeng bukan lubang bentuk bikonkaf. Bentuk unik ini
berperan, melalui dua cara dalam menentukan efisiensi sel darah
merah melakukan fungsi utmanya mengangkut O2 dalam darah:4)
a. Bentuk bikonkaf menghasilkanluas permukaan yang lebih besar
untuk difusi O2 menembus membran dibandingkan dengan bentuk
sel bulat dalam volume yang sama
b. Tipisnya sel memungkinkan O2 cepat berdifusi anatara bagian
paling dalam sel dan eksterior sel.
Fungsi sel darah merah antara lain Sel darah merah berfungsi
mengangkut O2 ke jaringan dan mengembalikan karbondioksida (CO2)
dari jaringan ke paru-paru. Untuk mencapai pertukaran gas ini,
sel darah merah mengandung protein spesial yaitu hemoglobin.
Tiap sel darah merah mengandung sekitar 640 juta molekul
hemoglobin. Tiap satumolekul hemoglobin A (Hemoglobin A dominan

5
dalam darah setelah usia 3-6 bulan). terdiri dari 4 rantai polipeptida,
α2,β2 masing masing dengan gugus hemenya.5)

3. Anemia dan klasifikasinya


Anemia adalah kurangnya hemoglobin di dalam darah, yang dapat
disebabkan oleh jumlah sel darah merah yang terlalu sedikit atau jumlah
hemoglobin dalam sel yang terlalu sedikit.6)

Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis :3)


a. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1) Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia Defisiensi Vitamin B12
2) Gangguan Penggunaan (Utilisasi) Besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Nemia sideroblastik
3) Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia Aplastik
b) Anemia mieloptisik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
f) Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal
ginjal kronik
b. Anemia akibat hemoragi
1) Anemia pasca perdarahan akut
2) Anemia akibat perdarahan kronik
c. Anemia hemolitik
1) Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat defisiensi

6
G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
d) Thalassemia
e) Hemoglobinopati Struktural : HbS, HbE, dll
2) Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopatik
d. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis
yang kompleks
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan etiologi:3)
a. Anemia Hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg
1) Anemia Defisiensi Besi
2) Thalassemia major
3) Anemia akibat penyakit kronik
4) Anemia sideroblastik
b. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH
27-34 pg
1) Anemia pasca perdarahan akut
2) Anemia apalstik
3) Anemia hemolitik didapat
4) Anemia akibat penyakit kronik
5) Anemia pada gagal ginjal kronik
6) Anemia pada sindrom mielodisplastik
7) Anemia akibat keganasan hematologic
c. Anemia Makrositer, bila MCV > 95 fl
1) Bentuk megaloblastik
a) Anemia defisiensi asam folat
b) Anemia defisiensi Vit. B12, termasuk anemia pernisiosa
2) Bentuk non-megaloblastik
a) Anemia pada penyakit hati kronik
b) Anemia pada hipotiroidisme

7
c) Anemia pada sindrom mielodisplastik

4. Patomekanisme gejala pada skenario


a. Ikterus
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin
yang meningkat kosentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk
sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolism
sel darah merah. 3)
Pembagian terdahulu membagi dalam 3 fase. Prahepatik, intrahepatic dan
pascahepatik. 3)
 Pra Hepatik (Pembentukan bilirubin)
Sekitar 250-350 mg bilirubin terbentuk setiap harinya berasal dari
pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya dari protein
hem yang berada terutama di dalam sum-sum tulang dan hati. Sebagian
dari protein hem dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin
dengan perantaraan enzim hemeoksigenase. Enzim lain biliverdin
reductase mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terja di
dalam sel system retikulo endotelial. Peningkatan hemolysis sel darah
merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
Transport plasma. Bilirubin tak larut dalam air karenanya bilirubin tak
terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan
tak dapat melewati membrane glomerulus, karenanya tak muncul dalam
air seni. 3)
Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan
bilirubin, namun peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan
hemolysis dapat melampaui kemampuannya. 3)
 Fase intrahepatik (Liver uptake)
Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan
cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. 3)
Bilirubin bebas yang terkonjugasi bersam dengan asam glukoronik

8
membentuk bilirubin diglurokonida atau bilirubin konjugasi. Reaksi ini
dikatalis oleh enzim microsomal glukoronil transferase menghasilkan
bilirubin yang larut dalam air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya
akan menghasilkan bilirubin monoglukoronida, dengan bagian asam
glukoronik kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui system
enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik. 3)
 Fase Pascahepatik(ekskresi bilirubin)
Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke kanalikulus bersama bahan
lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses
kompleksini. Dalam usus flora bakteri mendekonjugasi dan mereduksi
bilirubin menjadi stercobilinogen. Dan sebagian besar mengeluarkannya
ke feces yang memberi warna coklat dan sebagian diserap kembali
keempedu dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukoronida tapi tidak
bilirubin unkonjugasi. 3)

5. Hubungan Sengatan Serangga Dengan Gejala


Infeksi parasit malaria pada anusia mulai saat nyamuk anopheles betina
menggigit manusia dan nyamuk akan mekepaskan sporozoit kedalam
pembuluh darah dimanasebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju
ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati dalam darah. Di dalam sel
parenkim hati mulailah perkembangan bentuk aseksual skizon intrahepatik
atau skizon pre eritrosit. 7)
Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk skizon hati yang apabila
pecah akan dapat mengeluarkan 10.000-30.000 merozoit ke sirkulasi darah.
Setelah berada di sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan
masuk melalui reseptor permukaan eritrosit. Parasit tumbuh setelah
memakan hemoglobin dan dalam metabolisme-nya membentuk pigmen
yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Keadaan ini
dapat menyebabkan anemia dan ikterus. 7)
Anemia terjadi akibat pecahnya eritrosit baik yang terinfeksi maupun tidak

9
terinfeksi. P.falciparum menginfaksi semua jenis eritrosit. P.vivax/ovale
menginfaksi eritrosit muda (2% dari total eritrosit). Dan P.malariae
menginfeksi eritrosit tua (1% dari total eritrosit). Selain karena alasan
diatas, P.falciparum menyebabkan anemia yang lebih berat karena terjadi
penurunan masa hidup eritrosit dan gangguan pembentukan eritrosit akibat
depresi eritropoesis dalam sumsum tulang. Ikterus dapat terjadi karena
hemolisis dan gangguan hepar. 8)

6. Penyebab Tidak Disertai Demam Pada Skenario


Tergantung pada masa inkubasi. Masa inkubasi yaitu rentan waktu sejak
sporozoid masuk sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan
demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium
diantaranya : 9)
1. Plasmodium falciparum masa inkubasi 9-14 hari (12)
2. Plasmodium vivax masa inkubasi 12-17 hari (15)
3. Plasmodiumn ovalemasa inkubasi 16-18 hari (17)
4. Plasmodium malariaemasa inkubasi 18-40 hari (28)
Berdasarkan skenario penderita memiliki riwayat tersengat serangga satu
hari sebelum dibawa kepuskesmas jadi toksik dari serangga tersebut masih
berada dalam masa inkubasi sebelum terddaji manifestasi klinis.

7. Langkah-Langkah Diagnosis Pada Skenario


a. Anamnesis10)
 Menayakan identitas seperti nama, umur, alamat dan pekerjaan
 Manayakan asal usul pasien
 Menayakan keluhan utama
 Menggali riwayat penyakit sekarang dan dahulu
 Menelusuri tentang riwayat pengobatan sebelumnya
 Menelusuri penyakit keluarga dan lingkungan dengan:
menanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita /pernah

10
menderita gangguan yang sama.
b. Pemeriksaan fisik
Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau
multisistem dan untuk menilai beratnya kondisi penderita. Pemeriksaan
perlu memperhatikan: 11)
 Adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.
 Pucat : sensitivitas dsn spesifisitas untuk pucat pada telapak tangan,
kuku, wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi
antara 19 -70% dan 70-100%.
 Ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik.
Ikterus sering sulit dideteksi di ruangan dangan cahaya lampu
artifsial. Pada penelitian 62 tenaga medis, ikterus ditemukan pada
85% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan 68% penderita
dengan bilirubin 3,1 mg/Dl.
 Penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk)
pada talasemia.
 Lidah licin (atrof papil) pada anemia defisiensi Fe.
 Limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di
sternum); nyeri tulang dapat disebabkan oleh adanya ekspansi
karena penyakit infiltratif (seperti pada leukemia
mielositik kronik), lesi litik (pada mieloma multipel atau metastasis
kanker).
 Petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.
 Kuku rapuh, cekung (spoon nall) pada anemia defisiensi Fe.
 Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter,
anemia sideroblastik familial).
c. Pemeriksaan laboratorium
 Complete blood count (CBC).
CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah
eritrosit, ukuran eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada
beberapa laboratorium, pemeriksaan trombosit, hitung jenis, dan

11
retikulosit harus ditambahkan dalam permintaan pemeriksaan
(tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated blood counter,
didapatkan parameter RDW yang menggambarkan variasi ukuran
sel. 11)
 Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi.
Apusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik. Beberapa
kelainan darah tidak dideteksi dengan automated blood counter. 11)
 Sel Darah Merah Berinti (normoblas).
Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan dalam
sikulasi. Normoblas ditemukan pada penderita dengan kelainan
hematologis (penyakit sickle cell, talasemia, anemia hemolitik
lain). Atau merupakan bagian dari gambaran lekoeritroblastik pada
penderita dengan bone marrow replacement. Pada penderita tanpa
kelainan hematologis sebelumnya, adanya normoblas dapat
menunjukkan adanya penyakit yang mengancam jiwa, seperti
sepsis dan gagal jantung berat. 11)
 Hipersegmentasi neutrofil
Hipersegmentasi neutrofil merupakan abnormalitas yang
ditandai dengan lebih dari 5% neutrofil berlobus >5 dan /atau 1
atau lebih neutrofil berlobus >6. Adanya hipersegmentasi neutrofil
dengan ganbaran makrositik berhubungan dengan gangguan
sistensis DNA (defisiensi vitamin B12 dan asam folat). 11)
 Hitung leukosit.
Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit
dapat berupa persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit
absolut, hitung retikulosit absolut terkoreksi, atau reticulocyte
production index. Produksi sel darah merah efektif merupakan
proses dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan
jumlah yang di produksi pada penderita tanpa anemia. 11)
 Jumlah leukosit dan hitung jenis.
Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan

12
suspensi atau infiltrasi sum – sum tulang, hipersplenisme atau
defisiensi B12 atau asam folat. 11)

8. Diferential Diagnosis dan Diagnosis Sementara Dari Skenario


a. Anemia Defisiensi Besi
1) Definisi
Anemia yang terjadi akibat berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoiesis karena cadangan besi kosong. Hal ini tersebut
mengakibatkan berkurangnya pembentukan hemoglobin. 8)
2) Etiologi8)
a) Kebutuhan zat besi meningkat : anak dalam masa pertumbuhan,
kehamilan dan laktasi
b) Kehilangan zat besi karena perdarahan
c) Konsumsi zat besi yang kurang (faktor nutrisi), yaitu kurangnya
jumlah konsumsi zat besi dalam makanan sehari-hari. Kebutuhan
zat besi yang diperoleh dari makanan ialah sekitar 20 mg/hari.
Dari jumlah tersebut, kurang lebih hanya 2 mg yang diserap
d) Gangguan absorpsi zat besi : pasca gastrektomi, penyakit crohn,
tropical sprue.
3) Epidemiologi
Merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai, terutama
dinegara berkembang berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi
masyarakat. Di Indonesia, anemia defisiensi besi terjadi pada 16-
50% laki-laki, perempuan 46-92%, ibu hamil dan balita 55,5 %.8)
4) Klasifikasi
Defisiensi besi merupakan tahapan akhir dari penurunan
cadangan besi yang telah menimbulkan gejala klinis. Berikut adalah
tahpannya: 8)
a) Depiesi besi (iron depleted state). Cadangan besi menurun,
penyediaan besi untuk eritropoiesis belum terganggu.

13
b) Eritropoiesis defisiensi besi ( iron deficient erythropoiesis).
Cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoiesis
terganggu, belum muncul anemia secara laboratoris.
c) Anemia defisiensi besi. Cadangan besi kosong, sudah muncul
anemia defisiensi besi
5) Manifestasi klinis
a) Gejala umum anemia : lemah, cepat lelah, mata berkunang-
kunang, pucat. 8)
b) Gejala khas defisiensi besi : kolonika (kuku sendok), atrofi papil
lidah, stomatitis angularis, disfagia maupun pica. 8)
6) Diagnosis
Anemia defisiensi besi ditegakkan apabila ditemukan penurunan
kadar Hb dan penurunan kadar Fe serum. Profil hematologik pada
anemia defisiensi besi adalah sebagai berikut: 8)
a) Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : Hb,MCV, MCHC,MCH
turun
b) Apusan darah terpi. Dapat ditemukan gambaran anemia
mikrositik hipokrom, anisositosis, polikrositosis, sel cincin, sel
pensil
c) Besi (Fe) menurun hingga <50 µg/dL. Besi termasuk acute
phase reactant yang akan meningkat pada kondisi inflamasi (
positif palsu)
d) Total iron-binding capacity (TIBC) meningkat >350 µg/dL.
TIBC menggambarkan jumlah total besi yang dapat dibawa oleh
protein transferin.
e) Saturasi transferin <15%. Saturasi transferin menggambarkan
persentase dari trasnferin yang sedang berikatan dengan
besi.
f) Penurunan kadar feritin serum. Feritin merupakan indokator
cadangan besi yang baik. Namun tidak dapat dijadikan patokan
pada keadaan inflamasi. Untuk daerah tropik dianjurkan

14
menggunakan anfka feritin serum<20 mg/L sebagai kriteria
diagnosis anemia defisiensi besi
7) Tata laksana
a) Terapi kausal. Dengan mengatasi penyebab perdarahan yang
terjadi, misalnya mengobati infeksi cacing tambang. 8)
b) Pemberian preparat besi (Fe). Ferrous sulfat per oral 3x200
mg selama 3-6 bulan, ada pula yang menganjurkan hinggaq 12
bulan. Preparat diberikan saat perut kosong8)
 Pada pasien yang tidak tahan terhadap keluhan
gastrointestina, seperti mual, muntah, konstipasi, pemberian
Ferrous sulfat dapat dilakukan saat makan atau dosis
dikurangi menjadi 3x100 mg
 Dapat diberikan preparat vitamin C 3x100 mg untuk
meningkatkan penyerapan zat besi
c) Terapi besi parenteral : iron dextran complex (50 mg/mL),
subkutan atau intravena pelan. Rute parenteral bertujuan
mengembalikan kadar Hb dan mengisi besi hingga 50-100 mg.
Namun, rute ini bukan pilihan utama dan hanya dilakukan atas
indikasi : 8)
 Intoleransi terhadap pemberian besi oral
 Kepatuhan terhadap pemberian besi oral yang rendah
 Gangguan pencernaan yang dapat kambuh jika diberikan
preparat besi oral, misalnya kolitis ulseratif
 Penyerapan preparat besi oral terganggu. Misalnya pada
gastroknemi
 Terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar, sehingga tidak
dapat dikompensasi dengan pemberian preparat oral
 Kebutuhan besi yang besar dalam waktu singkat, misalnya
sebelum operasi
 Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian
eritropoietin pada anemia gagal ginjal kronis

15
8) Komplikasi
Anemia defisiensi besi kronis jarang menimbulkan komplikasi
berat. Perdarahan hebat dapat menyebabkan kematian, berkaitan
dengan hipoksia yang siebabkan oleh anemia pasca perdarahan. Pada
anak-anak , anemia defisiensi besi berhubungan dengan ganguan
fungsi kognitif, tumbuh kembang dan imunitas tubuh. 8)
9) Prognosis
Tanda respon pengobatan yang baik , antara lain retikulosit naik
pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10 dan
kembali normal setalah hari ke 14, kenaikan Hb 0,15 d/dL per hari
atau 2 g/dL setelah 3-4 minggu sehingga Hb akan kembali normal
setelah 4-10 minggu. 8)

b. Anemia Aplastik
1) Defisini
Anemia aplastik adalah kelainan yang ditandai oleh tertekannya
selpunca mieloid yang multipoten, yang menyebabkan kegagalan
sum sum tulang dan pansitopenia12)
2) Etiologi
Lebih dari separuh kasus anemia aplastik adalah idiopatik. Di
antara sisanya telah dapat ditetapkan pajanan zat-zat yang disebut
sebagai zat mielotoksik seperti obat-obatan atau zat kimia.
Beberapa zat sudah diperkirakan dapat merusak sum sum tulang
yang terkait pada dosis dan biasanya masih reversibel misalnya zat
yang tergolong obat anti tumor (contoh, zat penyebab alkilasi, anti
metabolit), benzen dan kloramfenikol. Pada keadaan lain keracunan
sum sum tulang terjadi secara idiosinkratik atau reaksi hipersensitif
terhadap dosis kecil dari obat mielotoksik yang dikenal (contoh,
kloramfenikol) atau obat seperti sulfo namid, yang tidak
mielotoksik pada individu lain. Anemia aplastic kadang kadang
timbul sesudah infeksi virus tertentu, terutama virus hepatitis yang

16
menular dalam masyarakat. Virus yang spesifik sebagai penyebab
tidak diketahui. Virus hepatitis A, B dan C agaknya bukan
penyebab. Apabila sum sum tulang terjadi secara perlahan dalam
beberapa bulan sesudah sembuh dari hepatitis dan perjalanan
klinisnya progresif. Proses sampai terjadinya gagal sum sum
tulang, masih tidak jelas, tetapi agaknya selT yang autoreaktif
mempunyai peranan penting. Hal ini didukung oleh berbagai
eksperimen dan perjalanan klinis yang menunjukkan bahwa 70%-
80% kasus anemia aplastik bereaksi baik dengan pengobatan
imunosupresif terhadap sel T. Yang lebih tidak jelas adalah
peristiwa sel T yang terpicu melawan sel puncak sum sum tulang;
mungkin antigen virus atau hapten dari obat dan atau kerusakan
genetik yang menimbulkan neoantigen dalam sel punca yang
menjadi sasaran untuk sistem imun. Jarang tetapi menarik ialah
bahwa keadaan genetik juga berhubungan dengan gagal sum sum
tulang 5%-10% pasien dengan anemia aplastik didapat, mewarisi
cacat pada telomerase yang seperti sudah ditekankan sebelumnya,
diperlukan untuk pemeliharaan dan kestabilan kromosom. Sudah
ada hipotesa bahwa kerusakan pada telomerase menyebabkan sel
punca hemopoietik mengalami penuaan dini (senescence
prematur). Hal yang menarik selanjutnya ialah bahwa sel sum sum
tulang pada sebanyak 50% dari kasus sporadik mempunyai
telomerase pendek yang tidak lazim, yang mungkin sebagai akibat
cacat pada telomerase yang belum ditemukan atau karena replikasi
berlebihan dari sel pada sum sum tulang, yang dapat mendorong
proses penuaan dini. Sebagian anak yang menderita anemia
Fanconi, suatu kelainan bawaan dari perbaikan DNA, juga
mengalami aplasia sum sum tulang. 12)
3) Epidemiologi
Relatif jarang ditemukan. Insiden berkisar antara 2-6 kasus/ 1
juta penduduk/tahun. Umumnya terjadi pada usia 15-25 tahun;

17
puncak insiden kedua (lebih jarang) terjadi setelah usia 60 tahun. 8)
4) Patomekanisme

Gambar 2. Patomekanisme anemia aplastik


5) GambaranKlinis
Anemia aplastik dapat terjadi pada semua umur baik pria
maupun wanita. Anemia yang berlangsung lambat dan progresif,
menyebabkan perkembangan penyakit secara lambat-laun berupa
kelelahan, pucat dan sesak napas, sering kali terjadi peteki
edanekimosis akibatd ari trombositopenia. Granulositopenia
mungkin terlihat sebagai infeksi ringan yang persisten atau sebagai
gejala menggigil, demam dan rasa lemah yang timbul secara tiba-
tiba. Anemia aplastik, perlu dibedakan dengan anemia yang
disebabkan oleh adanya infiltrasi dalam sumsum tulang (anemia
mieloptisik),leukemia yang alekemik dan penyakit-penyakit
granulomatosa yang dapat mempunyai gambaran klinis sama tetapi
mudah dibedakan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Anemia
aplastik tidak menyebabkan splenomegali. Apabila itu terdapat,
maka diagnosis lain harus dicari. Yang khas adalah sel darah merah

18
yang normokrom dan normositik atau sedikit makrositik.
Retikulosit berkurang(retikulopenia). 12)
6) Diagnosis
Anemia aplastic dapat ditegakan berdasarkan temuan
pansitopenia pada pemeriksaan darah tepi dan hiposelularitas pada
biopsy sumsumtulang. 8)
a) Darahtepi : ditemukan anemia normositik normokrom; kadang
ditemukan makrositik, anisositosis, poikilositosis; granulosit
dan trombosit ditemukan dalam jumlah rendah; limfositosis
relative (terjadipada 75% kasus); retikulosit rendah atau
normal;
b) Laju Endap Darah : selalu meningkat (89% kasus memiliki
LED >10 mm/jam dalam jam pertama);
c) Faal Hemosasis : waktu perdarahan memanjang (karena
trombositopenia);
d) Sumsum tulang : gambaran hiposeluler, kepadatan
sumsumtulang<25%, banyak terisi oleh lemak.
7) Prognosis
Prognosis tidak dapat diramalkan. Penghentian obat kadang
kadang menghasilkan remisi, tetapi ini lebih berupa perkecualian
bukan keharusan. Apabila tidak diobati, pada yang idiopatik
prognosisnya lebih buruk. Transplantasi sumsum tulang sering
kuratif terutama pada penderita dibawah umur 40 tahun yang tidak
mendapat transfusi. Transfusi darah akan menyebabkan penderita
menjadi sensitif terhadap alloantigen yang menyebabkan tingginya
kegagalan pada transplantasi. Jadi, hal itu harus diperkecil pada
penderita yang layak untuk transplantasi sumsum tulang.
Keberhasilan transplantasi memerlukan persiapan (conditioning)
dengan radiasi imunosupresif dosis tinggi atau kemoterapi. Hal ini
memperkuat dugaan bahwa autoimun berperan penting pada
anemia aplastik. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa calon

19
yang tidak baik untuk ditransplantasi, sering mendapat keuntungan
dengan pengobatan imunosupresif. 12)
8) Tata Laksana
 Tata laksana definitive berupa transplantasi sumsum tulang
(TST) 8)
- Pasien berusia muda umumnya mentoleransi TST lebih
baik;
- Pasien berusia >20 tahun dengan hitung neutrophil 200-
500/mm3 lebih mendapatkan manfaat dengan terapi
imunosupresif dari pada TST;
- Pasien dengan hitung neutrophil sangat rendah, lebih baik
mendapat TST mengingat neutropenia pada pasien yang
mendapat terapi imunosupresi baru akan membaik setelah
±6 bulan.
 Terapisuportif : 8)
- Apabila terdapat keluhan akibat anemia, berikan transfuse
PRC hingga kadar Hb 7-8 gr/dL;
- Terapiimunosupresi : anti-thymocyte globulin (ATGam) 20
mg/KgBB/hariselama 4 hari (berasal dari kuda) atau
thymoglobulin 3,5 mg/KgBB/haris elama 5 hari (berasal
dari kelinci) ditambah dengan siklosporin A (CsA) 12-15
mg/KgBB selama 6 bulan.
- Untuk meningkatkan neutrophil: G-CSF (Filgrastim 5
µg/KgBB/hari) atau GM-CSF (Sargramostim 250
µg/KgBB/hari). Pemberian bersamaan dengan regimen
imunosupresi ATG/CsA dapat memperbaiki neutropenia
dan respon terapi ini merupakan factor prognostic yang
baik.
- Atasi infeksi dengan pemberian antibiotic. Infeksi disertai
dengan neutropenia berat harus segera diatasi dengan
pemberian antibiotic spectrum luas parenteral; umumnya

20
diberikan seftazidim atau kombinasi aminoglikosida,
sefalosporin, dan penisilin. Pasien diedukasi untuk
mencegah hygiene dalam rangka mencegah terjadinya
infeksi.
Untuk merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk
sumsum tulang: steroid anabolic (oxymethylone, danazol). Saat ini,
hanya digunakan sebagai terapi penyelamatan pada pasien yang
refrakter terapi imunosupresi. 8)

c. Anemia Hemolitik
1) Definisi
Anemia hemolitik non-imun adalah anemia akibat terjadinya
hemolisis tanpa keterlibatan immunoglobulin tetapi karena factor
defek molecular, abnormalitas struktur membrane, factor lingkungan
yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan
mekanisme eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang
mengakibatkan kerusakn eritrosit tanpa mengikutsertakan
mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium.3)
2) Etiologi dan klasifikasi
Berdasarkan etiologi8)
1. Anemia hemolitik herediter8)
a. Defek enzim: defisiensi glukosafosfatisomerase, defisiensi
fosfogliserat-kinase
b. Defek jalur hekosa – monofosfat: defisiensi glukosa 6-
fosfatdehidrogenase (G6PD)
c. Hemoglobinopati: talasemia, anemia bulan sabit
d. Defek membrane: sferositosis herediter
2. Anemia hemolisis yang didapat8)
a. Anemia heolisis imun : keganasan, obat-obatan, idiopatik
b. Mikroangiopati: trombotik trombositopeniapurpura (TTP),
sindrom uremik hemolitik

21
c. Infeksi: malaria, babesiosis, clostridium sp.
3) Epidemiologi
Sickle cell anemia umumnya terdapat pada orang Afrika, Afrika-
Amerika, Arab, dan India Selatan. Anemia hemolitik herediter non-
imun herediter umumnya terjadi pada masa awal kehidupan. 8)
4) Manifestasi klinis
Gejala umu anemia, seperti lemah, pusing, mudah lelah, dan sesak.
Gejala kuning dan urin berwarna kecoklatan jarang dilaporkan. Pada
pemeriksaan fisis didapatkan adanya kulit dan mukosa yang ikterik,
serta tanda splenomegali. 8)
5) Diagnosis8)
a) Pemeriksaan darah tepi: penurunan kadar Hb, retikulositosis
b) Morfologi erotrosit: terjadi hemolisis
c) Tanda hemolisis :
 Peningkatan bilirubin takterkonjugasi (indirek) dan
hemoblobulinuria
 Kadar LDH-2 dan SGOT meningkat menunjukkan adanya
percepatan destruksi eritrosit tanpa kerusakan jaringan
organ lain
6) Tata laksana
Disesuaikan dengan penyebabnya, misalnya anemia infeksi
malaria dapat diberikan obat ACT (Artemisinin base combination
therapy). 8)
7) Prognosis
Secara umum, angka mortalitas pada kasus anemia hemolitik
tergolong rendah, namun meningkat pada pasien berusia lanjut
dengan gangguan kardiovaskuler. 8)

22
DAFTAR PUSTAKA

1) Purnasiwi,D., Lusmilasari,L.,Hartini,S. Faktor ResikoKejadian Kejang Pada


Anak di Instalasi Rawat Inap RS.Bethesda Yogyakarta:Jurnal JIK.
Vol.03.No.02;2009.
2) Bakta, Made :Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran
EGC
3) Setiati Siti, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo, etc : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 2 Edisi ke-6. Jakarta : InternaPublishing;2015
4) Sherwood , Lauralee : Fisiologi manusia: dari sel ke sistem ; alih bahasa,
Brahm U. Pendit ; editor edisi bahasa indonesia, Nella Yesdelita. Ed.
6. Jakarta :EGC, 2011
5) V. Hoffbrand, P. A. H. Moss : Kapita selekta hematologi,; alih bahasa Brahm
U. Pendit ; editor edisi bahasa indonesia, Ferdy sandra.Ed. 6. Jakarta
:EGC, 2013.
6) Guyton, Hall: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi Revisi Berwarna Ke-12.
Singapore: Elsevier;2016
7) Setiati Siti, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo, etc : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1 Edisi ke-6. Jakarta : InternaPublishing;2015
8) Arif, M. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi IV. Jakarta: Penerbitan.
Media Aesculapius FKUI; 2014.
9) Putra,TRI : Malaria dan Permasalahannya, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.
Vol 11 no. 2;2011.
10) Buku panduan kerja keterampilan klinik sistem hematologi fakultas
kedokteran universitas hasanuddin
11) Oehadian, Amayfia :Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing
Medical Education. CDK-194/ Vol 39 NO. 6 ;2012
12) Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. Buku Ajar Patologi
Robbins. Edisi. 9. Singapura: Elsevier Saunders; 2015.

23

Anda mungkin juga menyukai