Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

Dengue Fever

Konstipasi

Oleh:

Adrian Valentinus

112021278

Pembimbing:

Dr. Agus Sukamto, Sp.PD

Penguji:

Dr. Mayorita P, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSAU ESNAWAN ANTARIKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 4 JULI - 10 SEPTEMBER 2022


Tinjauan Pustaka

Demam Berdarah Dengue

DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tipe 1-4
(Den 1- Den 4), dengan manifestasi klinis demam mendadak tinggi 2-7 hari disertai gejala perdarahan
dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia (trombosit
kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal1

Epidemiologi

Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara global. Di seluruh
dunia 50-100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya sekitar 500.000 kasus DBD perlu perawatan
di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak – anak usia kurang dari 15 tahun. Angka kematian DBD
diperkirakan sekitar 5% dan sekitar 25.000 kasus kematian dilaporkan setiap harinya.2

Pada tahun 2017 jumlah kasus DBD yang dilaporkan sebanyak 68.407 kasus dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 493 orang dan IR 26,12 per 100,000 penduduk dibandingkan tahun 2016 dengan kasus
204,171 serta IR 78,85 per 100,000 penduduk terjadi penurunan kasus pada tahun 2017 (lihat pada gambar
1)2

Gambar 1. Inciden Rate DBD per 100.000 penduduk di Indonesia.

Etiologi

DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan RNA virus dengan
nukleokapsid icosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul lipid. Virus dengue termasuk kedalam
kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae, genus flavivirus. Flavivirus merupakan virus yang berbentuk
sferis, berdiameter 45-65nm, mempunyai rantai RNA positif sense yang terselubung, bersifat termolabil,
sensitive terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70 oC.3 Virus dengue
mempunyai 4 jenis serotype, yaitu ; Den 1, Den 2, Den 3, Den 4.3
Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue, terdapat 2 faktor lain yang berperan,
yaitu ; factor host dan factor perantara. Virus dengue dikatakan dapat menyerang manusia dan primate.
Pada penelitian di Afrika ditemukan bahwa monyet dapat terinfeksi dari virus dengue. Transmisi vertical
dari ibu kepada anak pernah dilaporkan kejadiannya di Bangladesh dan Thailand. 4 Vektor penyebaran
utama dari dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti betina, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
(Gambar 2)

 Badan kecil, dengan warna dasar hitam dan berbintik putih


 Hidup didalam dan disekitar rumah
 Aktivitas tinggi pada siang hari
 Sering bersembunyi pada pakaian yang tergantung
 Membuat sarang pada genangan air ataupun tempat penampungan air yang bersih
 Didalam rumah : Bak mandi, vas bunga, tempat minum, dan lain-lain

Gambar 2. Penampakan dan ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti

Jika terdapat pasien yang menderita demam berdarah pada lingkungan kemudian digigit oleh
nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue akan masuk kedalam tubuh nyamuk bersamaan dengan darah.
Virus dengue nantinya akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh bagian
tubuh nyamuk, sehingga Ketika nyamuk nantinya mengigit orang lain dengan proboscisnya maka virus
dengue akan dikeluarkan bersamaan dengan air liur nyamuk. Air liur dari nyamuk berfungsi untuk
mencegah adanya pembekuan darah.

Patofisiologi dan Patogenesis

Meskipun etiologic dari demam berdarah dengue dan demam dengue sama-sama disebabkan oleh
virus dengue, tetapi mekanisme patofisiologisnya berbeda sehingga menyebabkan perbedaan pada
klinisnya. Perbedaan yang paling khas dapat dilihat dari hemokonsentrasi Ht yang khas pada DBD yang
mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan terjadi karena adanya kebocoran plasma yang diduga karena
proses imunologi. Pada pasien dengan demam dengue kebocoran plasma tidak terjadi. Pada demam dengue
manifestasi klinis yang terjadi akibat reaksi tubuh dari masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam
sirkulasi darah dan ditangkap oleh makrofag. Terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan
berakhir setelah 5 hari gejala panas muncul. Makrofag akan menangkap virus dan memprosesnya sehingga
makrofag nantinya akan berubah menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel pada
makrofag ini akan mengaktivasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain demi memfagosit lebih banyak
virus dengue. T_Helper nantinya akan mengaktifkan sel T-Sitotoksis yang akan melisis makrofag yang
telah memfagosit virus tersebut, serta mengaktifkan sel B yang akan melepaskan Antibodi. Antibodi yang
dilepaskan terdiri dari 3 jenis, yaitu; antibody netralisasi, antibody hemagglutinasi, antibody komplemen.5

Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya mediator yang merangsang terjadinya gejala
sistemik seperti; demam, nyeri pada sendi, otot, malaise, dan gejala lainnya. Dapat pula terjadi manifestasi
perdarahan karena terjadinya agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi umumnya
trombositopenia yang terjadi bersifat ringan.5 Imunopatogenesis dari DBD dan DSS masih belum jelas,
tetapi ada dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan pathogenesis pada DBD dan DSS yaitu
teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory).

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus binatang
lainnya, dapat mengalami perubahan genetic akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada
tubuh manusia ataupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetic dalam genom virus
dapat menyebabkan peningkatan replikasi virulensi dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe yang paling virulen.6

Secara umum hipotesis infeksi sekunder menjelaskan bahwa jika terdapat antibody yang spesifik
terhadap jenis virus tertentu maka antibody tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila
antibody terdapat dalam tubuh merupakan antibody yang tidak dapat menetralisasi virus, sehingga
menimbulkan penyakit yang lebih berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai
virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.3

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous
infection) dapat dilihat pada Gambar 3. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang
berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
antidengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen.

Gambar 3. Patogenesis Terjadinya Syok pada DBD.

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien
dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48
jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah
ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan
di dalam rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan syok sangat
penting guna mencegah kematian.3

Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain mengaktivasi
sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui
kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD.
Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh
RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati konsumtif (KID;
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product )
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah
trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan
menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada
DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang
terjadi. (Gambar 4)3

Gambar 4. Patogenesis Terjadinya Perdarahan pada DBD.3

Spektrum klinis dan Derajat Penyakit Dengue

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi antara kondisi
imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat tidak menunjukan gejala
(asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa penyebab yang jelas, demam
dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom
syok dengue (SSD). Namun, untuk alasan praktis, infeksi dengue yang tidak berat (non-severe dengue)
dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.1

Gambar 5. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue.

Diagnosa
Untuk mendiagnosa dengue dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Klasifikasi Infeksi Dengue

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD adalah pemeriksaan
darah rutin, urine, serologi dan isolasi virus. Yang signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin,
selain itu untuk mendiagnosis DBD secara definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.

Darah Rutin :

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit.
Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DBD merupakan indikator terjadinya perembesan
plasma, Selain hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.5

Isolasi Virus :

Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu:

a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.


b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva

Identifikasi Virus :

Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence antibody technique test
secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan cunjugate. Untuk identifikasi virus dipakai
flourensecence antibody technique test secara indirek dengan menggunakan antibodi monoklonal.4

Uji Serologi :

1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)4


Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan digunakan sebagai
baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji HI
ini :
a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukan tipe
virus yang menginfeksi
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun), maka uji ini baik digunakan
pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer serum akut atau
konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang
baru terjadi (Recent dengue infection )
2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )4
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena selain cara
pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa yang sudah berpengalaman.
Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sampai beberapa tahun
saja ( 2 – 3 tahun )
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )4
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji
neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test ( PRNT ) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dideteksi dalam
serum hampir bersamaan dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi dan
bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)7
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai. Sesuai
namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti oleh IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk memeperjelas
hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM tidak boleh dipakai
sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji mac elisa
hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI , hanya sedikit lebih
spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue IgM / IgG dengue blot, dengue rapid
IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca
dengan melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat
kali kelipatan atau lebih).7

Metode Diagnosis Baru (RTPCR)

Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular, diagnosis infeksi virus dengue dapat
dilakukan dengan suatu uji yang disebut Reverse Transcriptase Polymerase Chai Reaction (RTPCR). 8,9 Cara
ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat
didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal
dari darah, jaringan tubuh manusia , dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus,
PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam penyimpanan
dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR.8,9

Pemeriksaan Radiologi

Kelainan yang mungkin dapat ditemukan pada kasus DBD antara lain:

1. Dilatasi pembuluh darah paru


2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea

Diagnosa Banding

1. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau penyakit
protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis chikungunya, malaria. Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan antara DBD dengan
penyakit lain
2. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga
dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC
memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu tubuh tinggi, hampir
selalu disertai ruam makulopapular, injeksi kojungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi.
Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak
ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok
3. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis,
meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan sakit berat, demam naik turun,
dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel
polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis). Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat
dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningkokokus
jelas terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
4. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh karena
didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit
dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal
daripada ITP.
5. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam tidak
teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum
tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam
timbul karena infeksi sekunder.

Penatalaksanaan

Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan ke dalam 3 kelompok
yaitu Grup A, B, dan C. 5
Pasien yang termasuk Grup A dapat menjalani rawat jalan. Sedangkan pasien
yang termasuk Grup B atau C harus menjalani perawatan di rumah sakit. Sampai saat ini belum tersedia
terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi bersifat simptomatis dan suportif.

A. Grup A

Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan mampu
mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine minimal sekali dalam 6
jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan. Pasien dengan
hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup A meliputi edukasi
mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral yang cukup, serta pemberian
parasetamol. Pasien beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang warning signs secara jelas dan
diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit jika timbul warning signs selama
perawatan di rumah.
B. Grup B
Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan kondisi penyerta
khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta khusus seperti kehamilan, bayi,
usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti tempat tinggal yang jauh
dari RS atau tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika pasien tidak mampu mentoleransi
asupan cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi cairan intravena dapat dimulai dengan
memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate dengan kecepatan tetes maintenance.
Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan masuk dan cairan keluar), produksi urine, dan
warning signs.5

Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai berikut:

 Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian
kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kemudian kurangi lagi menjadi
2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
 Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil atau hanya
meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam.
 Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT, tingkatkan kecepatan tetes
menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam.
 Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan tetes infuse. Kurangi
kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis yang diindikasikan oleh adanya
produksi urine dan asupan cairan yang adekuat dan nilai hematokrit di bawah nilai baseline.
 Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati fase kritis), produksi
urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan, kemudian setiap 6-12 jam), gula
darah, dan fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati, dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).
C. Grup C
Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma leakage) berat yang
menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres nafas, perdarahan berat, atau
gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi (compensated
shock) dan terapi syok hipotensif (hypotensive shock).5

Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:

 Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1 jam. Nilai kembali
kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan tetes secara gradual menjadi 5-7
ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam
selama 2-4 jam dan selanjutnya sesuai status hemodinamik pasien. Terapi cairan intravena
dipertahankan selama 24-48 jam.
 Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan pertama. Jika nilai hematorit
meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi bolus cairan kedua atau larutan kristaloid 10-20
ml/kg/jam selama 1 jam. Jika membaik dengan bolus kedua, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan pengurangan kecepatan tetes secara gradual seperti
dijelaskan pada poin sebelumnya.
 Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan memerlukan
transfusi darah (PRC atau whole blood).

Terapi Cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi :

 Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus diberikan dalam 15
menit.
 Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam, kemudian
turunkan kecepatan tetes secara gradual.
 Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai hematokrit sebelum bolus
cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini menandakan adanya perdarahan, siapkan cross-match
dan tranfusi. Jika hematokrit tinggi dibandingkan nilai basal, ganti cairan dengan cairan koloid 10-
20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua selama 30 menit sampai 1 jam, nilai ulang setelah bolus kedua.
 Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian
kembali ke cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes seperti poin penjelasan sebelumnya
 Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus cairan kedua. Jika nilai
hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya perdarahan. Jika hematokrit tetap tinggi atau
bahkan meningkat (>50%), lanjutkan infus koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus ketiga selama 1
jam, kemudian kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti dengan cairan
kristaloid dan kurangi kecepatan tetes.
 Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-20 ml/kg/jam whole
blood segar.

Kriteria Pasien Rawat

Dilihat dari keadaan umum pasien, jika mengalami perburukan maka ada indikasi dirawat, ada pun warning
sign yang dapat dinilai :

1. Demam turun tetapi keadaan umum memburuk


2. Nyeri perut dan nyeri tekan pada abdomen
3. Muntah yang menetap
4. Letargi, gelisah
5. Perdarahan pada mukosa
6. Oligouria
7. Peningkatan kadar Ht dengan penurunan kadar trombosit yang cepat
8. Hematokrit awal yang tinggi

Kriteria memulangkan Pasien

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik


2. Nafsu makan membaik
3. Secara klinis tampak perbaikan
4. Hematokri stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit >50.000/ul
7. Tidak dijumpai distress pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

Pencegahan

Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes
aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk) Upaya ini merupakan cara yang
terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat, dengan cara sebagai berikut5 :

1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-lain)
sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat minum burung,
perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain agar nyamuk
tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban bekas, botol-
botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang
biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah
lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE ke dalam
genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali.

Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk
ABATE. Untuk menakar ABATE digunakan sendok makan. Satu sendok makan peres berisi 10 gram
ABATE. Setelah dibubuhkan ABATE maka7 :

1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes aegypti
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya, hendaknya
jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan dan tetap aman
bila air tersebut diminum

Prognosis

Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan, umur, dan keadaan
nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara
cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi
dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya,
Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa
umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi sepeti DIC
dan ensefalopati prognosisnya buruk3

Konstipasi

Definisi

Konstipasi adalah kondisi sulit atau jarang untuk Defikasi. Karena frekuensi berdefekasi berbeda
pada setiap individu, defekasi ini bersifat subjektif dan dianggap sebagai penurunan relatif jumlah buang air
besar pada individu. Pada umumnya, pengeluaran defekasi kurang dari satu setiap 3 hari yang dianggap
mengidentifikasikan konstipasi.

Konstipasi adalah penurunan pada frekuensi normal Defekasi yang disertai oleh kesulitan atau
pengeluaran tidak lengkap atau pengeluaran faces yang kering, keras, dan banyak.

Klasifikasi

International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan
rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan : (Tabel 1)

1. Konstipasi fungsional
2. Konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid.

Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada
muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan
sumbatan pada anus.

Tabel 1. Definisi Konstipasi sesuai International workshop on constipation


No Tipe Kriteria
1 Konstipasi Fungsional Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12
bulan :
 Mengedan keras 25% dari BAB
 Feses yang keras 25% dari BAB
 Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
 BAB kurang dari 2 kali per minggu
2 Penundaan pada muara Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB waktu untuk BAB
rectum lebih lama
Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Model tinja atau feses 1 (konstipasi kronis), 2 (konstipasi sedang) dan 3 (konstipasi ringan) dari Bristol
Stool Chart yang menunjukkan tingkat konstipasi atau sembelit.

Etiologi

Penyebab umum konstipasi atau sembelit yang berada disekitar kita antara lain:

1. Kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi.


2. Pengaruh hormon dalam tubuh (misalnya dalam masa menstruasi atau kehamilan).
3. Usus kurang elastis (biasanya karena sedang dalam masa kehamilan atau usia lanjut).
4. Kelainan anatomis pada sistem pencernaan.
5. Gaya hidup dan pola makan yang kurang teratur (seperti diet yang buruk).
6. Efek samping akibat meminum obat yang mengandung banyak kalsium atau alumunium (misalnya
obat antidiare, analgesik, dan antasida).
7. Kekurangan asupan vitamin C dan kekurangan makanan berserat.
8. Merupakan gejala penyakit (misalnya tifus dan hernia).
9. Sering menahan rangsangan untuk buang air besar dalam jangka waktu yang lama.
10. Emosi, karena orang yang emosi atau cemas ususnya kejang, sehigga pertaltik usus terhenti dan
usus besar menyerap kembali cairan feses. Akibatnya feses menjadi semakin keras.
11. Jarang atau kurang berolahraga.
12. Kelebihan memakan daging. Terutama daging merah karena sulit dicerna dan memiliki banyak zat
besi. Besi adalah zat yang membuat pengerasan tinja, membuatnya berwarna gelap dan hitam.
13. Dari penyalahgunaan obat, seperti obat laksatif. Sebagai contoh, pemakaian pencahar berguna untuk
melancarkan gerakan peristaltik. Lama-kelamaan usus menjadi terbiasa dan bergantung pada obat
tersebut, mengakibatkan reaksi usus menjadi lamban, dan menghambat gerak peristaltik mandiri
usus.

Manifestasi Klinis
Anamnesis yang terperinci merupakan hal terpenting untuk mengungkapkan adakah konstipasi dan
faktor resiko penyebabnya. Konstipasi merupakan suatu keluhan klinis yang umum dengan berbagai tanda
dan keluhan lain yang berhubungan.

Pasien yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan patokan-patokan yang obyektif.
Misalnya jika dalam 24 jam belum BAB atau ada kesulitan dan harus mengejan serta perasaan tidak tuntas
untuk BAB sudah mengira dirinya menderita konstipasi.

Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah :

1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB.


2. Mengejan keras saat BAB.
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar.
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB.
5. Sakit pada daerah rektum saat BAB.
6. Rasa sakit pada perut saat BAB.
7. Adanya perembesen feses cair pada pakaian dalam.
8. Menggunakan obat-obatan pencahar untuk bisa BAB

Komplikasi

Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi hanya sekedar mengganggu, tetapi untuk
untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses
merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang
berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, di rektum (70%), sigmoid(20%), dan kolon bagian
proksimal(10%).

Impaksi feses penyebab penting dari morbiditas pada usia lanjut, menigkatkan resiko perawatan di
rumah sakit dan mempunyai potensi terjadinya komplikasi yang fatal. penampilannya sering hanya berupa
kemunduran klinis yang tidak spesifik. kadang-kadang dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai
39,5o , delirium perut yang tegang, suara usus melemah, aritmia serta takipnia karena karena peregangan
dari diafragma. pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. peristiwa ini dapat disebabkan ulserasi
sterkoraseus dari suatu fecaloma yang keras menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang.
dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang mendadak.

Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher kandung kemih
menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadangh-kadang gagal ginjal yang membaik setelah
impaksi dihilangkan titik. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan, karena impaksi feses di daerah
kolorektal.

Volvulus daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan
berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.

Pemeriksaan Lab

1. Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-faktor resiko penyebab


konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan
dengan keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya. Prosedur lain misalnya anuskopi dianjurkan
dikerjakan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura,
ulkus, wasir dan keganasan.
2. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang terjadinya akut.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan adanya massa feses yang keras yang
dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon.
3. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium Enema untuk memastikan
tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan
pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan
konstipasi tertentu
4. Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anaorektal untuk menilai evakuasi feses
secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot
rektum.

Penatalaksanaan

Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang upaya untuk
memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada
penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang
peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi :

1. Pengobatan non-farmakologis
a. Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan
pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan
waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan
waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-
kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap
tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk
BAB ini.
b. Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut.
data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi
angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya
divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta
mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup
asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c. Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan
kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan
menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada
penderita dengan atoni pada otot perut
2. Pengobatan farmakologis Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi
farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat
pencahar : memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose,
Psilium.
a. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan
permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor,
golongan dochusate.
b. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya
pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
c. merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang
banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka
panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya :
Bisakodil, Fenolptalein.
d. Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut
di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan
anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit
yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan
yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya
volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan
LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian: Rabu, 11 Mei
2022 SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT: RSAU DR.ESNAWAN ANTARIKSA

Nama Mahasiswa: Adrian Valentinus Tanda Tangan

Nim : 112021278 ....................

Dr. Pembimbing: dr. Agus Sukamto, Sp.PD

....................

Dr. Penguji: dr. Mayorita P, Sp.PD

....................

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E Jenis Kelamin : Perempuan


Tanggal lahir : 01/03/1974 Suku Bangsa :
Status Perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : IRT Pendidikan :
Alamat :

A. ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan pasien pada tanggal 21 Juli 2022 pukul

17.00 di IGD RSAU

Keluhan utama:

Demam Sejak 4 hari SMRS

Keluhan Tambahan:

Tidak BAB 4 hari


Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari, demam dirasakan tinggi mendadak,
membaik saat konsumsi obat paracetamol, kemudian suhu naik lagi. Selain demam pasien
mengeluhkan pusing (+), Meriang (+), Mual (+), nyeri pada ulu hati (+), Pegal-pegal pada
ekstremitas (+), Nyeri pada daerah persendian lutut hingga pergelangan kaki, dengan riwayat
berdiri lama sejak 2 hari sebelum demam. Dengan keadaan lingkungan banyak nyamuk (+).
Pasien sudah tidak BAB selama 4 hari, ada kentut (+), ada sendawa (+), BAK normal,
Riwayat Perdarahan spontan/mimisan (-), Lidah terasa pahit (+)

Penyakit Dahulu
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjal/Sal.kemih
(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hernia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Rematik
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(-) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu lain-lain : (-) Operasi
Riwayat Keluarga

Penyakit Ya Tidak Hubungan


Alergi 
Asma 
Tuberkulosis 
Artritis 
Rematisme 
Hipertensi 
Jantung 
Ginjal 
Lambung 
Diabetes 

ANAMNESIS SISTEM

Kulit

(-) Bisul (+) Rambut (-) Keringat Malam (-) Lain-lain

(-) Kuku (-) Kuning/Ikterus (-) Sianosis

Kepala

(-) Trauma (+) Sakit Kepala

(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus

Mata

(-) Nyeri (-) Radang

(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan

(-) Kuning/Ikterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun

Telinga

(-) Nyeri (-) Tinitus

(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran (-) Kehilangan Pendengaran

Hidung

(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan (-) Epistaksis

(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman (-) Sekret

(-) Pilek
Mulut

(-) Bibir kering (-) Lidah kotor

(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah (-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan

(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara

Leher

(-) Benjolan (-) Nyeri Leher

Dada ( Jantung / Paru – paru )

(-) Nyeri dada (-) Sesak Napas

(-) Berdebar (-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe (-) Batuk malam hari

Abdomen ( Lambung Usus )

(-) Rasa Kembung (-) Perut Membesar

(+) Mual (-) Wasir

(-) Muntah (-) Mencret

(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah

(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul (-) Nyeri Perut

(-) Tinja Berwarna Ter (-) Benjolan


Saluran Kemih / Alat Kelamin

(-) Disuria (-) Kencing Nanah

(-) Stranguri (-) Kolik

(-) Poliuria (-) Oliguria

(-) Polakisuria (-) Anuria

(-) Hematuria (-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes

(-) Ngompol (-) Penyakit Prostat

Katamenia

(-) Leukore (-) Pendarahan (-) lain – lain

Haid

(-) Haid terakhir (-) Jumlah dan lamanya

(-) Teratur/tidak (-) Nyeri

(-) Gangguan haid(-) Pasca menopause

Saraf dan Otot

(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi (-) Ataksia

(-) Otot Lemah(-) Hipo / Hiper-esthesi

(-) Kejang (-) Pingsan

(-) Afasia (-) Kedutan (‘tick’)

(-) Amnesia (-) Pusing (Vertigo)

(-) Gangguan bicara (Disartri)


Ekstremitas

(-) Bengkak (-) Deformitas

(-) Nyeri (-) Sianosis

Berat Badan :

Berat badan rata – rata (kg) : Kg

Berat tertinggi kapan (kg) : Kg

Berat badan sekarang : Belum diukur (bila pasien tidak tahu dengan pasti)

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran

Tempat Lahir : () di rumah ( ) Rumah Bersalin ( ) R.S Bersalin Ditolong oleh :

( ) Dokter () Bidan () Dukun ( ) lain - lain

Riwayat Imunisasi

Pasien tidak ingat

Riwayat Makanan

Frekuensi / Hari : 2 kali sehari

Jumlah / kali : Setengah porsi

Variasi / hari : Kurang bervariasi

Nafsu makan : Kurang


Pendidikan

( ) SD ( ) SLTP (√) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan

( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah

Pemeriksaan Jasmani

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum :
Tampak sakit sedang

Kesadaran :
Compos mentis

Tinggi Badan : cm

Berat Badan : Kg

Tekanan Darah :
127/80 mmHg

Nadi :
113x/menit

Suhu : 39oC

Pernafasaan :
22x/menit

Keadaan gizi : Baik

Sianosis : Tidak
ada

Udema umum : Tidak


ada

Cara berjalan : Baik

Mobilitas (aktif/pasif) : Aktif

Umur menurut taksiran Umur menurut taksiran


pemeriksaan :
Sesuai
Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku :
wajar/gelisah/tenang/hipoaktif/hiperaktif Alam Perasaan
:
biasa/sedih/gembira/cemas/takut/marah Proses Pikir
:wajar/
cepat/gangguan/waham/fobia/obsesi

Kulit
Warna : Kuning langsat
Effloresensi : Tidak ada
Jaringan Parut : Tidak ada
Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Normal merata
Lembab/Kering : Lembab
Suhu Raba : Hipertermi
Pembuluh darah : Tidak tampak
Keringat : Umum
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada
Oedem : Tidak ada

Kelenjar Getah Bening


Submandibula : Tidak membesar Leher : Tidak membesar
Supraklavikula : Tidak dilakukan Ketiak : Tidak dilakukan
Lipat paha : Tidak dilakukan

Kepala
Ekspresi wajah : Wajar
Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam, lurus
Pembuluh darah temporal : Tidak tampak

Mata
Exophthalamus : Tidak ada
Enopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Normal
Lensa : Normal
Konjungtiva : Normal
Visus : Tidak diukur
Sklera : Normal
Gerakan Mata : Baik
Lapangan penglihatan : Normal
Tekanan bola mata : Normal
Nistagmus : Tidak ada

Telinga
Tuli : Tidak ada
Selaput pendengaran : Tidak diperiksa
Lubang : Tidak diperiksa
Penyumbatan : Tidak diperiksa
Serumen : Tidak diperiksa
Pendarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada

Mulut

Bibir : Merah muda

Tonsil : T1-T1

Langit-langit : Normal

Bau pernapasan : Tidak diperiksa

Gigi geligi : Normal

Faring : Normal

Selaput lendir : Normal

Lidah : Normal
Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) : Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe : Tidak teraba membesar

Dada

Bentuk : Simetris

Pembuluh darah : Tidak diperiksa

Buah dada : Tidak diperiksa

Paru – Paru

Depan Belakang

Kanan Bentuk normal, tidak ada Tidak dilakukan

pelebaran sela iga, simetris


dengan hemitoraks kiri
Inspeksi
Kiri Bentuk normal, tidak ada Tidak dilakukan
pelebaran sela iga, simetris

dengan hemitoraks kanan

Palpasi Kanan Sela iga normal, tidak ada Tidak dilakukan

bagian yang tertinggal,


fremitus normal, tidak ada

nyeri tekan

Kiri Sela iga normal, tidak ada Tidak dilakukan


bagian yang tertinggal,
fremitus normal, tidak ada

nyeri tekan

Perkusi Kanan Sonor, redup Tidak dilakukan

Kiri Sonor, redup Tidak dilakukan

Kanan Vesikular (+), rhonki basah Tidak dilakukan

Auskultasi (-), wheezing (-)

Kiri Vesikular (+), rhonki basah Tidak dilakukan

(-), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi Bentuk dada normal, ictus cordis tidak tampak

Palpasi Ictus cordis teraba di Sela iga V midclavicularis kiri, kuat

angkat

 Batas atas: Sela iga II garis parasternalis kiri

Perkusi  Batas kanan: Sela iga V garis sternalis kanan

 Batas kiri: Sela iga V garis axillaries anterior kiri

Auskultasi BJ S1 dan S2 murni regular, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Karotis : Tidak dilakukan perabaan


Arteri Brakhialis : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Radialis : Teraba pulsasi, regular, kuat angkat

Arteri Femoralis : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Poplitea : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Tibialis Posterior : Tidak dilakukan perabaan

Arteri Dorsalis Pedis : Tidak dilakukan perabaan

Perut

Inspeksi : Datar, dilatasi vena (-), tidak ada bekas luka

Palpasi : Dinding perut: nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muscular
(-),massa(-)

Hati : Tidak teraba

Limpa : Tidak teraba

Ginjal : Balotement (-), nyeri ketok CVA (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : BU normal

Refleks dinding perut : Baik

Alat Kelamin (atas indikasi)

Tidak dilakukan

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kirin

Otot Normal Normal

Tonus Normotonus Normotonus


Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak tampak kelainan Tidak tampak kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Edema Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Lemas Lemas

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Normotonus, eutrofi Normotonus, eutrofi

Sendi Tidak tampak kelainan Tidak tampak kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Edema Pitting Oedema (-) Pitting Oedema (-)

Krepitasi Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Lemas Lemas

Reflex

Kanan Kiri

Refleks Tendon Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Bisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Trisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Patela Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Achiles Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks kulit Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks patologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Colok Dubur (atas indikasi)

Tidak dilakukan
A. LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA
Pemeriksaan laboratorium 21 Juli 2022

Parameter Hasil Rujukan

Darah Rutin

Hb 15.1 12,0-16,0

Ht 43 35-47

Lukosit 4000 4000-10000

Trombosit 125000 150000-400000

Diff

Basofil 0 0-1

Eosinofil 2 2-4

Neutrofil Batang 3 3-5

Neutrofil Segment 76 50-70

Limfosit 15 25-40

Monosit 4 2-8

Kimia Klinik
Ureum 32 <50

Creatinin 0.6 <1,2

Glukosa Sewaktu 101 <120

Pemeriksaan Radiologi (Rontgen Thorax)

Tidak dilakukan

Ringkasan (Resume)

Pasien dengan demam 4 hari, membaik saat minum paracetamil, demam tinggi mendadak,
meriang (+), Pusing (+), Mual (+), Nyeri ulu hati (+), Pegal pada Ekstremitas (+),
Lingkungan banyak nyamuk (+), BAB (-) 4 hari, Flatus (+), Lidah Pahit (+)

Diagnosa dan Dasar Diagnosa

1. Demam Dengue
Dasar Diagnosis :

Dipikirkan karena adanya demam yang tinggi secara mendadak, mual, nyeri pada
uluhati, lemas pada ekstremitas, adanya penurunan nilai trombosit tanpa adanya peningkatan
leukosit. Tidak ada peningkatan nilai Hemokonsentrasi (Ht)

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu yang mencapai 39oC, dengan riwayat tempat
tinggal yang banyak nyamuk.

2. Konstipasi

Dasar Diagnosis :

Dipikirkan karena tidak adanya BAB selama 4 hari, dengan keadaan masih dapat flatus.

Rencana Diagnostik :

Non Medikamentosa

1. Bedrest
2. Kompres Hangat
3. Diet Lunak
4. Diet tinggi serat
Medikamentosa

1. Paracetamol tab 500mg 3x1


2. Inj. Ranitidine 2x1
3. Inj. Ondansentron 3x 4g
4. Dulcolax tab 20 mg 1x1

Edukasi

1. Bedrest
2. Evaluasi darah rutin / 24 jam
3. Konsumsi makanan tinggi serat
4. Minum obat secara teratur

Pencegahan

1. Membersihkan tempat penyimpanan air, 1 minggu sekali


2. Tutup tempat penampungan air
3. Menaburkan bubuk ABATE pada tempat yang sulit dikuras
4. Gunakan Kelambu saat tidur
5. Makan makanan tinggi serat
6. Kurangi konsumsi makanan berminyak/gorengan

Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam


Follow Up

Subjective Objective Assessment Planning

21/07/22

Demam (+) KU: Sakit Sedang Dengue Fever - Observasi


Nyeri Ulu Hati (+) KU
Kes: Compos Mentis Konstipasi
- Evaluasi
Mual (+)
Suhu : 39 C o
trombosit
Pusing (+) - Evaluasi Ht
Td :127/80
- USG
Pegal Ekstremitas
HR : 113x/menit Abdomen
(+)
- Paracetamol
RR : 22x/menit
BAB (-) tab 500mg
Lab : 3x1

Hb : 15,1 - Inj.
Ranitidine
Leuk : 4000 2x1

Ht : 43 - Inj.
Ondansentron
Trombo : 125.000
3x 4g
- Dulcolax tab
20 mg 1x1

22-07-2022

Demam (-) KU : Sakit Sedang Konstipasi Hari ke 5 1. Dulcolax tab


10 mg 1x1
Sulit Tidur Kes : Compos
2. Domperidone
Mentis
Pegal pada sisi 1x1
kanan Td : 110/70

Pusing (+) HR : 52x/menit

Mual (+) RR : 20x/menit


Bab (-) hari ke 5 Suhu : 36oC

Mulut pahit (-) Lab :

Nyeri ulu hati (+) Hb :

Leuk :
Trombo :
Ht :

23-07-2022

Bab (-) hari ke 6 KU :


Kes :

HR

RR

Suhu
Td

Lab

Hb : 14.0

Leuk : 7500
Trombo : 51000

Ht : 42

24-07-2022

Bab (-) hari ke 7 KU :


Kes :

HR

RR

Suhu
Td
Lab

Hb : 10,1

Leuk : 10200
Trombo: 21000

Ht : 31

KU :
Kes :

HR

RR

Suhu
Td

Lab

Hb : 13,0

Leuk : 11400
Trombo: 25000

Ht : 39

25-07-2022

BAB (-) hari ke 8 KU : Sakit ringan Konstipasi Hari ke 1. Dulcolax tab


Kes : Compos 8 10 mg 1x1
Flatus (+)
Mentis
Sendawa (+)
HR : 85
Badan pegal (+)
RR : 20
Pusing (+)
Suhu : 36.0
Mual (-) Td : 115/75

Lab
Hb : 13,1

Leuk : 7350
Trombo : 27000

Ht : 40

26-07-2022

BAB (-) hari ke 9 KU : Konstipasi hari ke 9 1. Dulcolax tab


Kes : 10 mg 1x1
Kentut (+)
HR
Sendawa (+)
tidak ada keluhan RR
lain.
Suhu
Pasien rencana Td
dipulangkan besok
Lab

Hb

Leuk :
Trombo

Ht

Anda mungkin juga menyukai