BAB 1
LATAR BELAKANG
Epidemiologi
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai telah terjadi di Surabaya pada tahun 1968,
tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama
dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan
Jogjakarta (1972). Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua
setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus
meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973) menjadi 8,65 (1983) dan mencapai angka
tertinggi pada tahun 1988 yaitu 27,09 per 100.000 penduduk dengan penderita sebanyak
57.573 orang, dengan 1.527 orang penderita dilaporkan meninggal dari 201 daerah tingkat
ti ngkat II.
Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 telah berhasil diisolasi dari
darah penderita. Di Jakarta daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita DBD derajat
berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus DEN-3. Survei virologis penderita DBD
telah dilekukan di beberapa rumah sakit di Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun
1995. Keempat serotipe virus dengue berhasil diisolasi baik dari penderita DBD derajat
ringan maupun berat. Selama 17 tahun, serotipe yang berdominasi adalah virus dengue
serotipe DEN-2 atau DEN-3
Laporan kepustakaan mengenai demam berdarah dengue dalam kehamilan dan
persalinan masih sangat sedikit. Penelitian di Haiti dan Republik Dominika melaporkan
bahwa setengah dari semua anak yang telah mencapai usia 2 tahun di negara tersebut
mempunyai antibodi terhadap dengue. Pada saat periode non epidemik, surveilens di
Republik Dominika terhadap darah dari 54 ibu hamil dan darah tali pusat bayi yang
dilahirkannya menunjukkan bahwa attack rate adalah 6%. Dilaporkan pula bahwa kadar
antibodi di dalam darah tali pusat lebih tinggi daripada di dalam darah ibu. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa dalam kehamilan telah terjadi imunisasi pasif transplasental.
BAB II
PEMBAHASAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegepty dan Aedes albopictus dengan empat manifestasi klinis utama berupa demam
tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan pada kasus yang berat ditandai dengan
kegagalan sirkulasi. Pasien dengan keadaan ini dapat berkembang menjadi syok hipovolemik
karena adanya kebocoran plasma, yang dikenal dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) yang
berakibat fatal.
Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, yang memiliki 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe
yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang lain sangat
kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut.
Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler
yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
meningmbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasme menurun
lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung oleh penemuan post-mortem
Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegepty
atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus limfaticus,
sumsum tulang serta paru-paru. Data dari perbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah,
uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi di antara keempat serotipe virus DEN.
Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus
tersebut, tetapi tidak ada proteksi silang
sila ng terhadap serotipe virus yang lain.
Patogenesa DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder ( secondary
heterologous infection theory)
theory) atau hipotesis immune enchancement. Hipotesis ini
menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya
dengan serotipe virus dengue yang heterolog, mempunyai risiko yang lebih besar untuk
menderita DBD atau DSS. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai
virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan faktor reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag.
Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan
bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody
dependent enchancement (ADE),
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syo
syok.
k.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the
the secondary heterologous
infection theory
theory yang
yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang
akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di samping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi
(virus antibody complex)
complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang
ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih
dari 30% dan berlangsung selama 24-43 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, ascites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan
syok sangat penting guna mencegah kematian.
imunitas humoral dan selular. Hipotesis secondary heterologous infection oleh Halstead
menyatakan reaksi antibodi terhadap virus dari infeksi sebelumnya akan mempermudah
infeksi virus terhadap monosit dan makrofag (antibody dependent enhancement). Disamping
hipotesis tersebut diketahui pula peran komplemen, limfosit T dan berbagai mediator seperti
TNF-a, IL-2, IL-6, IFN-g, PAF, C3a, C5a dan histamin yang menyebabkan disfungsi endotel,
perembesan plasma, renjatan, gangguan koagulasi dan manifestasi perdarahan Peran IL-18
terhadap diferensiasi sel T menjadi T-helper 1 diperkirakan juga berperan dalam patogenesis
demam berdarah dengue.
Vaskulopati bermanifestasi sebagai uji 1 touniquet yang positif dan petekie yang
terjadi pada awal demam sebelum terjadinya, trombositopenia. Gangguan vaskular yang
terjadi berupa infiltrasi dinding vaskular oleh limfosit fagosit mononuklear, deposit IgM,
komplemen dan fibrinogen. Vaskulopati terjadi sebagai akibat pengaruh virus secara
langsung saat awal infeksi atau sebagai akibat reaksi imunologis yang terjadi saat konvalesen.
-7
demam dan kembali meningkat pada hari ke 8-9. Jumlah trombosit pada syok (DSS) pada
-rata 20.000/mm3. Perdarahan umumnya tidak terjadi
( prolonged
prolonged shock ).
). Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada
saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia.
Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan frogmen C3g, karena terdapatnya antibodi
VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan
fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar B-
tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi pada berbagai infeksi virus dan bakteri termasuk infeksi virus
dengue. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue derajat III dan IV. Terjadi pemanjangan masa protombin (PT), masa
tromboplasin parsial teraktivasi (APTT), penurunan fibrinogen dan peningkatan D-Dimer
atau FDP, serta penurunan berbagai faktor koagulasi (11, V, VII, VIII, IX, X dan XII).
Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue seperti juga pada sepsis diperkirakan
melalui jalur ekstrinsik (tissue
( tissue factor pathway).
pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi
faktor XIa namun tidak melalui, aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
C1-inhibitor complex).
complex). Aktivitas
antitrombin III pada demam berdarah dengue menurun terutama pada DSS dan berkorelasi
dengan PT, APTT, kadar albumin dan fibrinogen. Proses koagulopati yang berlangsung di
luar batas kompensasi menyebabkan terjadinya penumpukan fibrin, KID dan kegagalan organ
multipel.
Bagaimana pengaruh gangguan hemostasis/koagulasi terhadap risiko perdarahan dan
mortalitas pada pasien DBD dan DSS, kiranya masih memerlukan penelitian lebih lanjut;
walaupun pada DBD derajat I pada umumnya dapat membaik tanpa memerlukan intervensi
terapi. Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa gangguan hemostasis pada demam
berdarah dengue merupakan proses kompleks yang
yang melibatkan fungsi vaskuler, trombosit dan
koagulasi dan terkait dengan keadaan klinis dan derajat penyakit.
Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus
dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimptomatik), demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, atau bentuk yang lebih
berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan Dengue
dan Dengue Shock Syndrome (DSS).
Syndrome (DSS).
1.Demam Berdarah Dengue (DBD)
Bentuk klasik DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka
kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan
muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings
hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Nyeri
epigastrium dan di bawah tulang iga kanan, serta nyeri di daerah perut yang bersifat umum,
biasa ditemukan. Demam tinggi dapat menimbulkan
menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.
Bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan adalah uji tourniquet (rumple leed) positif,
kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas
pengambilan darah. Pada kebanyakan kasus petekia halus ditemukan tersebar di daerah
ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna
ringan dapat ditemukan pada fase demam. Keadaan hepatomegali juga dapat ditemukan.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada fase akhir demam, pada saat ini penurunan suhu yang
tiba-tiba sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya.
Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan, perubahan yang terjadi minimal dan
sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
DBD dibedakan dari DD dengan adanya kebocoran plasma yang bermanifestasi sebagai
peningkatan nilai hematokrit, efusi pada rongga pleura atau rongga peritoneum, atau
hipoproteinemia. Perjalanan penyakit dapat dipengaruhi oleh diagnosis dini dan pemberian
cairan.
Berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan, DBD dibagi atas 4 derajat, yaitu:
Derajat I :Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah
uji tourniquet.
Derajat IV :Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.
Diagnosis
100Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan
penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah kelainan
hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu, trombositopenia dan
hemokonsentrasi merupakan kejadian yang selalui dijumpai.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 yang
3.Pembesaran hati
4.Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, kaki dan tangan
dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris adalah:
1. Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
2. Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan
hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan atau
hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia dan atau terjadi
Diagnosis Laboratoris
Laboratoris
Diagnosis defenitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara
isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh, dan deteksi
antibodi spesifik dalam serum pasien.
Diagnosis Serologis
Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus
dengue, yaitu:
1. Uji hemaglutinasi inhibisi
Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai dan
dipergunakan sebagai gold
sebagai gold standard pada
pada pemeriksaan serologis.
1. Uji komplemen
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh karena
selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan
Uji ini pada tahun terakhir merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Uji ini mempunyai
sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan yaitu hanya memerlukan satu serum
akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI.
1. IgG Elisa
Uji IgG Elisa sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik.
Diagnosis banding
Etiologi demam pada awal penyakit umumnya sulit diketahui, karenanya perlu ditelit
infeksi pada alat-alat tubuh baik yang disebabkan bakteri maupun virus, seperti
ruamnya lebih banyak, adanya bintik-bintik koplik pada selaput lendir mulut dan selalu
ditemukan koriza. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan
leptospirosis. Pada hari ke 3-4 demam dengan adanya manifestasi perdarahan, kemungkinan
diagnosis DBD akan lebih besar.
Perdarahan di kulit seperti petekie dan kimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis, meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas
terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear. Pemeriksaan laju endap darah
(LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis
meningokokus jelas terdapat tanda rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan
cairan serebrospinalis.
Penyakit-penyakit darah seperti idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP),
purpura (ITP), leukemia
pada stadium lanjut dan anemia aplastik dapat pula memberikan gejala-gejala
gejala-gejala yang mirip
DBD. Pemeriksaan sumsum tulang akan dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.
Renjatan endotoksik dan renjatan karena dengue sulit dibedakan. Umur, faktor
predisposisi dan perjalanan klinisnya dapat membantu membedakannya.
membedakannya.
Gejala penyakit yang disebabkan virus Chikungunya (juga suatu arbovirus)
a rbovirus) mirip
sekali dengan dengue, terutama mengenai lama demam dan manifestasi perdarahan, tetapi
tidak pernah menyebabkan renjatan dan gangguan kesadaran.
Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue
Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik
Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstra, apabila cairan
masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan
hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distres pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto
dada.
Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD atau DSS
mortalitasnya cukup tinggi.
Pencegahan
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara paling
memadai saat ini. Vektor dengue khususnya A.aegypti sebenarnya mudah diberantas karena
sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak terbangnya maksimum
100 meter. Tetapi karena vektor terbesar luas, untuk keberhasilan pemberantasan diperlukan
total coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi.
c. Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol pecah dan benda
lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.
Isolasi pasien agar pasien tidak digigit vektor untuk ditularkan kepada orang lain sulit
dilaksanakan lebih awal dari perawatan di rumah sakit karena kesulitan praktis. Mencegah
gigitan nyamuk dengan cara memakai obat gosok maupun pemakaian kelambu memang
dapat mencegah gigitan nyamuk, tetapi cara ini dianggap kurang praktis. Imunisasi maupun
pemberian anti-virus dalam usaha memutuskan rantai penularan, saat ini baru dalam taraf
penelitian.
Thailand dengan sakit panas yang melahirkan bayinya melalui seksio sesarea. Meski virus
dengue tidak dapat diisolasi dari si ibu, namun data serologi menunjukkan dengue sebagai
penyebab panas pada ibu tersebut. Bayi yang dilahirkan
dila hirkan menderita pireksia pada umur 6 hari
dan hal ini mungkin dikarenakan si bayi mendapat infeksi virus dengue dari ibunya,
meskipun ada kemungkinan si bayi digigit nyamuk pada umur 1 atau 2 hari. Selain itu, pada
kasus yang lain dilaporkan bayi yang dilahirkan dari seorang wanita yang menderita DBD
pada waktu hamil menderita panas pada umur 48 jam. Bayi ini menderita panas selama 2
hari, hepatomegali, trombositopenia, dan efusi pleura. Dengan menggunakan PCR
( polymerase
polymerase chain reaction)
reaction) terdeteksi virus dengue tipe 1 di serumnya.
I.PENGUMPULAN DATA
A. IDENTITAS
Nama Ibu : Ny. Mona
Mona Nama suami : Tn. David
David
Umur : 25 tahun Umur : 28 tahun
Suku/Kebangsaan
Suku/Kebangsaa n : Batak/Indonesia Suku/Kebangsaan : Batak/Indonesia
Batak/Indones ia
Agama : Kristen Agama : Kristen
Kristen
Pendidikan : DIII Pendidikan : DIII
Pekerjaan : guru Pekerjaan : Pegawai
Alamat : Jl. Karang anom Alamat : Jl. Karang anom
B. DATA SUBJEKTIF
Pada tanggal : 15 September 2013 Pukul :08.00 wib
Alasan kunjungan ini : Ada
Ada keluhan
eluhan utama : Ibu mengeluh demam,menggigil,
demam,menggigil, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis
Riwayat menstruasi
a. Haid pertama : 14 tahun
b. Siklus : 28 hari
c. Banyaknya : 3 x ganti doek/hari
d. Dismenorhoe : Ada
d. Panas/menggigil : ada
e .Sakit kepala berat : Tidak ada
f.Penglihatan kabur : Tidak ada
g.Pengeluaran cairan pervaginam : Tidak ada
h.Oedma : Tidak ada
Tanda-tanda bahaya/penyulit
Perdarahan
: Tidak ada
Obat-obat yang dikomsumsi
Antibiotik
: Tidak ada
Tablet ferum : Ada
Jamu
: Tidak ada
Status emosional : Stabil
Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas lalu :
Tgl Usia Jenis Tempat Komplik Penol Bayi Nifas
Hipertensi
: Tidak ada
Diabetes
: Tidak ada
Malaria
: Tidak ada
Epilepsi
: Tidak ada
Penyakit kelamin : Tidak ada
DM
: Tidak ada
Tanda vital :
Tekanan darah : 130/80mmhg
Nadi : 110 kali/menit
Suhu : 380C
Pernafasan : 26 kali/menit
BB/TB : 60Kg/158cm
Lila : 28 cm
Kepala :
Rambut : Hitam sehat
Kulit kepala : Bersih
Wajah :
Cloasma gravidarum : Tidak ada
Pucat :ada
Oedema : Tidak ada
Mata :
Konjungtiva : anemis
Sklera mata : Tidak ikterik
Hidung :
Lubang hidung : ada sedikit darah
Polip : Tidak ada
Mulut :
Lidah : Tidak berslak
Gigi : Tidak karies
Pembesaran abdomen
Bentuk : Pembesaran sesuai dengan usia kehamilan
Bekas luka : Tidak ada
Striae gravidarum : Ada
Palpasi leopold
Leopold I : TFU 2 jari dibawah px (32cm).
Leopold II : Punggung kanan.
Leopold III : Presentase bokong.
Leopold IV :Sudah masuk PAP
Auskultasi DJJ
Punctum maksimum : Kuadran bawah abdomen ibu
Frekuensi : 144x/menit
Pelvimetri
Distansia spinarum : 25 cm
Distansia kristarum : 27 cm
Konjugata eksterna : 18 cm
Lingkar panggul : 82 cm
Ekstremitas
Varices : Tidak ada
Reflek patela : Ka (+) ki(+)
Oedema : Tidak ada
D. UJI DIAGNOSTIK
HB : 10 gr%
Urine : Glukosa :-
Protein :-
Uji tourniquet positif
Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
Rencana tindakan
1. Jelaskan pada ibu tentang keadaan yang dialaminya.
Tujuan:Dengan menjelaskan mengenai keadaan yang di alaminya maka ibu akan
mengerti dan kecemasannya dapat teratasi sehingga ibu dapat bersikap kooperatif
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demam berdarah adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah tropis
yang mirip dengan malaria. Demam berdarah oleh nyamuk Aedes Aegypti yang ditandai
dengan munculnya demam secara tiba-tiba disertai dengan sakit kepala berat, sakit pada
sendi dan otot (myalgia dan atfhralgia)
atfhralgia) dan ruam. Penyebab demam berdarah
menunjukkan demam yang lebih tinggi, satu perdarahan (trombositopenia)
(trombositopenia) dan
apabila tidak menjaga lingkungan dengan baik yaitu penyakit demam berdarah.
Pada zaman sekarang ini seseorang sangat mudah terkena penyakit, maka dari itu
diperlukan perhatian yang ketat untuk masalah lingkungan bersih oleh pemerintah. Kami
harapkan agar pembaca memperhatikan lingkungan yang ada disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dengue Haemorrhagic Fever. Diakses dari:
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/012-23.pdf
2. Hadinagoro SR. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah dengue. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Rektorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999
3. Satari HI. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Dokter Spesialis
Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta, 1999
4. Prawirohardjo S. Penyakit Menular. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta, 1999: 567-560
5. Sumarmo S.P.S. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis.
Hipokrates. Jakarta, 1999: 177-205