Anda di halaman 1dari 214

F

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Infeksi Virus Dengue
adalah penyakit infeksi virus yang disebabkan oleh virus dengue yang memiliki
sprektrum manifestasi bervariasi dari yang paling ringan (mild undifferentiateed febrile
illness) , demam dengue , demam berdarah dengue (DBD), sampai demam berdarah
dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome = DSS).
Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena
gunung es , dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di Rumah Sakit sebagai puncak
gunung es, sedangkan kasus demam dengue ringan (silent dengue infection dan demam
dengue ) merupakan dasarnya.
Dengue Shock Syndrome

Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada penderita Dengue
Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue.

Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan kesehatan


masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan suatu
permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami
renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.

II. ETIOLOGI
Virus dengue termasuk virus RNA untai tunggal yang memiliki enveloped virion dan
nukleokapsid. Virus ini merupakan salah satu virus group B arthropod borne virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae , yang
memiliki 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan
tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 bahkan 4 serotipe selama hidupnya,Serotipe
den-3 merupakan serotipe yang dominana dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
( IDAI,2008)
Virus dengue hanya dapat bertahan pada waktu yang pendek di luar tubuh manusia.
Darah dari pasien yang mengandung virus dengue dan disimpan dalam suhu dingin masih
dapat digunakan untuk menginfeksi manusia. Pada beberapa kasus, virus dapat bertahan di
luar tubuh selama 48 jam (Dengue, 2004.
Replikasi virus terjadi di dalam sel host. Penetrasi ke dalam sel target dimulai dengan
endositosis. Virus masuk ke dalam sel , di dalam sel kemudian ada proses uncoating yaitu
pelepasa n nucleokapsid. Apabila proses uncoating ini segera diikuti dengan proses
translasi maka akan berlanjut ke replikasi virus. Infeksi dengue bermula dari gigitan
nyamuk yang menggigit kulit. Pada kulit terdapat Antigen presenting cell APC yang
meliputi , jika virus langsung masuk ke peredaran darah maka APC yang berperan adalah
monosit dan makrofag. Yang akan disinggahi pertama kali oleh virus di hepar lien dan
sumsung tulang. sel langerhans dan sel dendritic.
Pada infeksi pertama terdapat reaksi antibodi yang bersifat monotipik dan pada infeksi
yang kedua reaksi antibodi terbentuk berdifat heterotipik.. pada jaringan akan terbentuk
kompleks antigen dan antibodi dimana yang terbentuk adalah IgA, IgM, dan IgD. Telah
dibuktikan terdapat kompleks imun dalam darah dan histamin pada air kencing. IgG akan
muncul lambat pada infeksi primer, namun akan meningkat pesat saat infeksi sekunder.
igG akan bertahan dalam jangka watu yang lama.

III. EPIDEMIOLOGI
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakkkan di Filippina
tahun 1953. Pada tahun 1958 meluasnya epidemik penyakit serupa di Bangkok. Setelah
tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara
lain di Asia Tenggara, diantaranya Hanoi ( 1958) , Malaysia (!962-1964), Saigon (1965),
yang disebabkan virus dengue tipe 2, dan Calcutta (19630 dengan tipe virus dengue 2 dan
chikungunya berhasil diisolasi.
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi
terkonfirmasi virologis tahun 1970. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata – rata DBD di
Indonesia terus meningkat dari 0,05 menjadi 8,14 (1973) , 8,65 (1983) dan mencapai angka
tertnggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita
72.133 orang.
Semua kelompok umur dapat terinfeksi namun paling banyak pada umur 5-9 tahun. Hal
ini didukung oleh data yang menyebutkan bahwa saat epidemi Dengue di Gorontalo
Sulawesi , jumlah penderita yang terkena terutama anak-anak 1-5 tahun. Semakin padatnya
pendduk suatu daerah maka semakin meningkatnya transmisi virus. Secara keseluruhan
tidak ada perbedaan antara jenis kelamin , tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi
pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah
negara , pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari
golongan berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya , jumlah kasus
golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim tidak begitu jelas
namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari
dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.

IV. PATOFISIOLOGI
Volume Plasma
Patofisiologi utama untuk menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD
dengan DBD adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan
volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia serta diastesis hemoragik.
Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD menunjukkan bahwa perembesan plasma
dimulai dari awal demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat syok
terjadi secara akut , nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma
melalui endotel pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok
menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah
ekstravaskuler ( ruang intersisial dan ruang serosa. Melalui kapiler yang rusak. Bukti yang
mendukung adalah meningkatnya berat badan , ditemukannya cairan yang tertimbun dalam
rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata
melebihi cairan yang diberikanmelalui infus dan adanya edema.
Pada sebagia kasus plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan
pemberian plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan
elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis.
Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan perubahan struktur pembuluh darah yang
destruktif akibat radang , sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional
dinding pembuluh darah terjadi akibat mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.
Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan
kerusakan endotel vaskular yang mirip dengan uka akibat anoksia atau luka bakar.
Gambaran itu mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat
keadaan trombositopenia.

Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
kasus dbd. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah
pada masa syok. Jumlah trombosit mulai meningkat cepat pada masa konvalesens dan nilai
normal biasanya tercapai pada hari ke 7-10 sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan peningkata jumlah megakariosit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit diduga akubat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan
lain penyebab trombositopenia adalah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan
radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem
retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui ,
namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem
komplemen , kerusakan sel endotel, dan aktivasi sistem pembekuan darah secara
bersamaan atau terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terukti menurun
mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemukan kompleks imun dalam
peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebaba utama terjadinya perdarahan DBD.
Sistem Koagulasi Dan Fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang , masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi
memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun , termasuk faktor II, V, VII , VIII , X
dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation
products (FDP) . Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan
aktivitas antitrombin III. Di samping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas
faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini
membuktikan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya disebabkan
oleh konsumsi sistem koagulasi tetapi juga oleh sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis
pada DBD dibuktikan dengan menurunnya aktivitas a-2 plasmin inhibitor dan penurunan
aktivitas plasminogen.
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa 1) pada DBD stadium akut telah terjadi
proses koagulasi dan fibrinolisis, 2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) secara
potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD , peran DIC tidak
menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk
sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya
akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki syok ireversibeldisertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang
berujung dengan kematian. 3) perdarahan kulit umumnya disebabkan oleh faktor kapiler ,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan masif ialah akibat
kelainan mekanisme yang lebih kompes seperti trombositopenia, gangguan faktor
pembekuan dan kemungkinaan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok
lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. 4) Anti trombin III
yang merupakan kfaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antotrombin III , respons
pemberian heparin berkurang.

V. MANIFESTASI KLINIS
Demam Dengue
Masa tunas umumnya 5 – 8 hari. Awal penyakit biasanya mendadak , disertai gejala
prodormal seperti nyeri kepala , nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia , rasa menggigil
dan malaise. Dijumpai trias sindrom yaitu demam tinggi , nyeri pada anggota badan dan
timbulnya ruam (rash). Ruam timbul pada 6- 12 jam sebelum sebelum suhu naik pertama
kali, yaitu pada hari ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam terdapat di dada , tubuh serta
abdomen , menyebar ke anggota gerak dan muka.
Pada lebih dari separuh pasien , gejala klinis timbul dengan mendadak , disertai
kenaikan suhu, nyeri kepala hebat , nyeri di belakang bola mata, punggung , otot , sendi
dan disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dilihat bentuk kurva suhu yang
menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini
tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan , di samping itu perasaan tidak nyaman di
daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium
dini sering timbul perubahan dalam indra pengecapan. Gejala klinis lain yang sering
didapat ialah fotofobia , keringat yang bercucuran , suara serak , batuk, epistaksis dan
disuria. Demam menghilang secara lisis disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa
servikal dilaporkan membesar pada 67-77 % kasus. Beberapa menyebutkan Castellani sign
, sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis
banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Berbagai bentuk manifestasi
perdarahan seperti menoragi dan menstruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan
lahir rendah yang diakibatkan perdarahan uterus.
Komplikasi demam dengue yang jarang dilaporkan ialah orchitis atau ovaritis keratitis
dan retinitis. Berbagai kelainan neurologi dilaporkan berupa penurunan kesadaran ,
paralisis sensorik yang bersifat sementara, meningismus dan ensefalopati. Diagnosis
banding mencakup berbagai infeksi virus (termasuk chikungunya), bakteria dan parasit
yang memperlihatkan sindrom serupa. Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue
ringan adalah mustahil terutama pada kasus sporadis.
Demam Berdarah Dengue
Ditandai oleh 4 manifestasi klinis , yaitu demam tinggi, perdarahan ( terutama kulit) ,
hepatomegali , dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure. Patofisiologi utama
yang membedakan DBD dengan demam Dengue adalah adanya peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diastesis
hemoragik.
Pada DBD terdapar perdarahan kulit , uji torniquet positif, memar dan perdarahan.pada
tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang muncul di anggota gerak , muka
aksila, seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan
dapat terjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai ,
sedangkan perdarahan saluran cerna hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah
renjatan yang tidak dapat diatasi.
Dengue Shock Syndrome

Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada penderita Dengue
Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue.

Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan kesehatan


masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan suatu
permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami
renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.
Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan yang
biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
a. Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada
masa demam dan mencapai nilai terendah saat masa renjatan
b. Gangguan fungsi trombosit
c. Kelainan sistem koagulasi, masa tromboplastin partial, masa
protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita

didapatkan masa thrombin normal. Beberapa factor pembekuan

menurun, termasuk factor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen.

d. Pembekuan intravaskuler yang meluas (Disseminated Intravascular


Coagulation-DIC).

1. Manifestasi Klinis
Dengue Shock Syndrome (DSS) menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan demam
berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue dengan tanda-tanda
kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.
Renjatan :
Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah demam
menurun yaitu antara hari ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke-10.
Manifestasi klinik renjatan pada anak terdiri atas :
a. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan
dan hidung.

b. Anak semula rewel, cengeng dan gelisah lambat-laun ksadaran


menurun menjadi apati, spoor dan koma.

c. Peubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya.


d. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
e. Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
f. Oligouri sampai anuria
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Deteksi Antigen
Deteksi Antigen pada serum saat fase akut sangat jarang digunakan pada pasien dengan infeksi
sekunder karena pasien dengan kondisi tersebut sudah memiliki pre-existing virus Ig-G antibodi
imunokompleks. Perkembangan baru pada pemeriksaan ELISA dan dot blot assay yang dapat
mendeteksi secara langsung antigen pada Non-structural protekin ! (NS-1) saat infeksi dengue
primer dan sekunder hingga 9 hari setelah onset.
Semua Flavivirus akan menghasilkan NS 1 glikoprotein yang dpaat digunakan untuk diagnosis
awal infeksi virus. Fluorescent antibody , immunoperoksidase dan avidin – biotin enzyme assay
dapat mendeteksi antigen virus.

Pemeriksaan Serologis
MAC ELISA
IgM antibody –capture enzyme linked immunosorbent assay ( MAC-ELISA) total IgM pada
serum pasien ditangkap dengan rantai anti bodi ( spesifik IgM). Dengue specific antigen akan
berikatan dengan antibodi IgM anti dengue yang dideteksi dengan monoclonal atau polyclonal
dengue antibodi secara direk-indirek yang terkonjugasi dengan enzim yang mengubah susbstrat
tak bewarna menjadi bewarna. Densitas optik diukur dengan spectrophotometer.
IgG ELISA
Metode inhibisi ELISA ini dapat digunakan untuk deteksi IgG antibodi serum atau plasma dan
filter paper yang didapatkan dari sampel darah dan mempermudah identifikasi infeksi dengue
primer dan sekunder.
Rasio IgM/IgG
Protein spesifik virus dengue IgM dan IgG rasio dapat digunakan untuk membedakan infeksi
virus primer dan sekunder. Pengecatan ELISA yang paling umum digunakan untuk menangkap
protein IgM dan IgG . Infeksi primer jika rasio IgM/IgG > 1.2 ( dengan seum 1/100 dilusi) atau
1.4 ( pasien serum dengan 1/20 dilusi). Infeksi sekunder apabila rasio <1.2 atau 1.4
Tes hemaaglutinasi- inhibisi

Hemaaglutinasi inhibisi tes berdasarkan kemampuan antigen dengue untuk mengaglutinasi sel
darah merah. Antibodi HI dapat diperiksa dengan suatu pemeriksaan yang disebut uji HI
(hemagglutination inhibition test). Dasar pemeriksaan ini ialah sifat virus yang dapat
menggumpalkan (mengaglutinasi) darah yang dapat dihambat oleh serum yang mengandung
antibody homolog terhadap antigen (dalam hal ini virus) yang dipakai.
Untuk pemeriksaan HI terhadap virus dengue dipakai antigen 8 satuan. Pertama-tama digunakan
antigen virus dengue tipe1 atau 2. Apabila hasil pemeriksaan negative, percobaan diulangi
dengan menggunakan ketiga antigen lain.

Interpretasi

1. Pada infeksi primer, titer antibody HI pada masa akut, yaitu bila serum diperoleh sebelum
keempat sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer anak naik 4 kali atau lebih pada masa
konvalesen, tetapi tidak akan melebihi 1:1280.

2. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection) ditandai oleh titer
antibody HI kurang dari 1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa konvalesen titer bernilai
sama atau lebih besar daripada 1:2560. Tanda lain infeksi sekunder ialah apabila titer antibody
akut sama atau lebih besar daripada 1:20 dan titer akan naik 4 kali atau lebih pada masa
konvalesen.

3. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive diagnosis) ditandai
oleh titer antibody HI yang sama atau lebih besar daripada 1:280 pada masa akut. Dalam hal
ini tidak diperlukan kenaikan titer 4 kali atau lebih pada masa konvalesen.

Pemeriksaan Darah Rutin


Nilai hematokrit dan trombosit biasanya diukur saat fase akut infeksi dengue. sehingga
pemeriksaan perlu dilakukam sesuai protokol yang terstandarisasi.

Penurunan trombosit < 100.000 per µl harus diobservasi pada kecurgaan demam dengue tetapi
lebih sering terjadi pada demam berdarah dengue. Trombositopeni sering diobservasi pada hari
ke 3 dan ke 8 setelah munculnya gejala.

Hemokonsentrasi dilihat dari adanya peningkatan hematokrit >20% atau lebih dibanding dengan
nilai normal. Hal ini dapat menandakan kemungkinan terjadinya syok hipovolemik akibat adanya
peningkatan permeabilitas vaskular dan kebocoran plasma.

VII.PENGOBATAN
Pasien dengan fase kritis meliputi kondisi kebocoran plasma yang mengarah syok, akumulasi
cairan dengan distress respirasi ; perdarahan hebat, keterlibatan organ lain ( hepatomegali,
kardiomipati, ensefalopati) Tanda kebocoran plasma harus di antisipasi dengan secara langsung
dan cepat menggunakan cairan kristaloid yang bersifat isotonik , namun bila pasien memiliki
kecenderungan syok hipotensif maka harus dipertimbangkan pemberian cairan koloid. Sebelum
pemberian resusitasi cairan akan lebih baik dengan memastikan niai hematokrit terlebih dahulu.
Resusitasi cairan melalui jalur intravena menggunakan cairan kristaloid dapat mencukupi
kebutuhan volume selama periode kebocoran plasma dan harus dilakukan secara Segera beri
infus kristaloid (ringer laktat atau NaCI 0,9 %) 20 ml / kg berat badan secepatnya (diberikan
dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 liter / menit. Untuk SSD berat (DBD derajat IV,
nadi teraba dan tensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20 ml / kg berat badan bersama koloid
( lihat butir 2). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam.
Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap dilanjutkan 15-
20 ml/ kg berat badan, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid ( dekstran 40)
sebanyak 10-20 ml/ kg berat badan, maksimal 30 ml / kg berat badan (koloid diberikan pada
jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum,
tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis,
elektrolit, dan gula darah.
a. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin / hematokrit, tekanan nadi <
20 mm Hg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/kg bb/jam. Volume 10 ml/kg
bb/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabil dan hematokrit menurun <
40 %. (atau di Bag IKA FK Unsrat: 8 jam pertama 10 ml/kg bb/jam, 8 jam II : 8 ml/kg bb/jam,
dan 8 jam III : 6 ml/kg bb/jam { @ 2 x BB}, kemudian secara bertahap cairan diturunkan jadi
5ml dan seterusnya 3 ml /kg bb/jam.) Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/kg bb/jam
sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5ml dan
seterusnya 3 ml /kg bb/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok
teratasi. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin ³
1 ml / kg bb/jam, BJ urin < 1,020) dan pemeriksaan hematokrit & trombosit tiap 4-6 jam sampai
keadaan umum baik.
b.Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tapi masih > 40 %,
berikan darah dalam volume kecil 10 ml/kg bb. Apabila tampak perdarahan masif, berikan darah
segar 20 ml/kg bb dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/kg bb/jam. Pemasangan CVP
(dipertahankan 5-8 cm H2O) pada syok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
sonde lambung tidak dianjurkan.
Pasien dengan syok hipotensif memerlukan manajemen sebagai berikut

- Awali resusitasi cairan dengan kristaloid atau koloid ( jika ada ) dengan 20 ml/kg dengan
bolus selama 15 menit untuk mengeluarkan pasien dari fase syok segera

- Jika kondisi pasien mengalami perbaikan , beri kristaloid / koloid infus 10ml/kg untuk 1
jam . Lalu lanjutkan dengan infus kristaloid dan secara perlahan turunkan menjadi 5-7
ml/kg / jam untuk 1-2 jam, lalu 3-5ml/kg / jam untuk 2-4 jam . lalu turunkan menjadi 2-3
ml /kg/jam. Dan bisaa dipertahankan selama 24-48 jam selanjutnya.
- Jika tanda vital tidak stabil dan nilai hematokrit rendah (<40% pada perempuan, <45%
anak laki-laki) ini mengindikasikan adanya perdarahan dan butuh cross match transfusi
darah segera

- Jika nilai hematokrit naik dibandingkan dengan nilai baseline , gunakan cairan koloid 10-
20ml/kg selama 30 menit- 1 jam dengan bolus. Setelah pemberian bolus monitor pasien ,
jika tanda vital mengalami perbaikan , turunkan cairan menjadi 7-10cc/kg/jam untuk 1-2
jam lalu cairan dapat diganti kembali dengan kristaloid . Jika kondisi masih tidak stabil
ulangi pemeriksaan hematokrit setelah pemberian bolus kedua.

- Jika hematokrit turun dibandingkan pemberian sebelumnya (<40% pada perempuan, <45%
anak laki-laki) ini mengindikasikan adanya perdarahan dan butuh cross match transfusi
darah segera. Jika hematokrit naik diandingkan nilai sebelumnya (>50%) gunakan cairan
koloid 10-20ml/kg selama 30 menit- 1 jam dengan bolus. Setelah pemberian bolus monitor
pasien , jika tanda vital mengalami perbaikan , turunkan cairan menjadi 7-10cc/kg/jam
untuk 1-2 jam lalu cairan dapat diganti kembali dengan kristaloid

Pasien dengan dengue shock dengue harus dipantau tanda vital, dan perfusi perifer (15-30
menit sampai pasien keluar dari fase syok., lalu lanjutkan 1-2 jam) . Urin output harus
dipantau tiap jam , lalu dilanjutkan 1-2 jam berikutnya hingga psien keluar dari fase syok.
Pemasangan kateter urin penting untuk memantau urin output pasien (0.5ml/kg/jam) Nilai
hematokrit perlu di pantau sebelum dan sesudah pemberian bolus hoimgga pasien stabil,
selama 4-6 jam
VIII. KOMPLIKASI

- Hiperglikemia dan hipoglikemia tanpa didahului diabetes mellitus

- Ketidak seimbangan asam basa dan elektrolit yang berhubungan dengan muntah dan diare
selama periode sakit

- Asidosis metabolik dapat menjadi pertanda apakah ada ko-infeksi mauun infeksi
nosokomial.

IX. PENCEGAHAN

DBD dapat dicegah dengan penggunaan kelambu saat tidur dan lotion anti-nyamuk,
pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik nyamuk di bak mandi, penyemprotan
cairan insektisida (fogging), dan gerakan 3 M (mengubur barang bekas, menutup tempat
penampungan air, dan menguras bak air).

Fogging yang efektif merupakan salah satu cara menurunkan populasi nyamuk. Namun,
perlu diperhatikan dosis insektisida yang digunakan, perhitungan arah angin, dan
perhitungan radius daerah cakupan. Fogging sebaiknya dilakukan pada pagi hari pukul
07.00 – 10.00 dan sore hari pukul 15.00 sampai 17.00. Bila dilakukan pada siang hari,
nyamuk sedang tidak beraktivitas dan asap fogging mudah menguap karena udara siang
yang panas. Foggingsebaiknya tidak dilakukan pada keadaan hujan.

Saat ini, vaksin DBD saat ini sudah tersedia dan dalam waktu dekat akan diedarkan di
Indonesia. Pemberian vaksin tidak lantas mengurangi upaya pencegahan DBD yang ada,
dan dilakukan bersama-sama. Dengan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap
bahaya infeksi DBD, keikutsertaan masyarakat dalam usaha pencegahan, dan adanya
vaksin, maka diharapkan angka kesakitan dan kematian anak akibat DBD di Indonesia
dapat diturunkan.

TINJAUAN PUSTAKA

X. DEFINISI
Infeksi Virus Dengue
adalah penyakit infeksi virus yang disebabkan oleh virus dengue yang memiliki
sprektrum manifestasi bervariasi dari yang paling ringan (mild undifferentiateed febrile
illness) , demam dengue , demam berdarah dengue (DBD), sampai demam berdarah
dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome = DSS).
Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena
gunung es , dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di Rumah Sakit sebagai puncak
gunung es, sedangkan kasus demam dengue ringan (silent dengue infection dan demam
dengue ) merupakan dasarnya.
Dengue Shock Syndrome

Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada penderita Dengue
Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue.

Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan kesehatan


masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan suatu
permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami
renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.

XI. ETIOLOGI
Virus dengue termasuk virus RNA untai tunggal yang memiliki enveloped virion dan
nukleokapsid. Virus ini merupakan salah satu virus group B arthropod borne virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae , yang
memiliki 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan
tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 bahkan 4 serotipe selama hidupnya,Serotipe
den-3 merupakan serotipe yang dominana dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
( IDAI,2008)
Virus dengue hanya dapat bertahan pada waktu yang pendek di luar tubuh manusia.
Darah dari pasien yang mengandung virus dengue dan disimpan dalam suhu dingin masih
dapat digunakan untuk menginfeksi manusia. Pada beberapa kasus, virus dapat bertahan di
luar tubuh selama 48 jam (Dengue, 2004.
Replikasi virus terjadi di dalam sel host. Penetrasi ke dalam sel target dimulai dengan
endositosis. Virus masuk ke dalam sel , di dalam sel kemudian ada proses uncoating yaitu
pelepasa n nucleokapsid. Apabila proses uncoating ini segera diikuti dengan proses
translasi maka akan berlanjut ke replikasi virus. Infeksi dengue bermula dari gigitan
nyamuk yang menggigit kulit. Pada kulit terdapat Antigen presenting cell APC yang
meliputi , jika virus langsung masuk ke peredaran darah maka APC yang berperan adalah
monosit dan makrofag. Yang akan disinggahi pertama kali oleh virus di hepar lien dan
sumsung tulang. sel langerhans dan sel dendritic.
Pada infeksi pertama terdapat reaksi antibodi yang bersifat monotipik dan pada infeksi
yang kedua reaksi antibodi terbentuk berdifat heterotipik.. pada jaringan akan terbentuk
kompleks antigen dan antibodi dimana yang terbentuk adalah IgA, IgM, dan IgD. Telah
dibuktikan terdapat kompleks imun dalam darah dan histamin pada air kencing. IgG akan
muncul lambat pada infeksi primer, namun akan meningkat pesat saat infeksi sekunder.
igG akan bertahan dalam jangka watu yang lama.

XII.EPIDEMIOLOGI
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakkkan di Filippina
tahun 1953. Pada tahun 1958 meluasnya epidemik penyakit serupa di Bangkok. Setelah
tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara
lain di Asia Tenggara, diantaranya Hanoi ( 1958) , Malaysia (!962-1964), Saigon (1965),
yang disebabkan virus dengue tipe 2, dan Calcutta (19630 dengan tipe virus dengue 2 dan
chikungunya berhasil diisolasi.
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi
terkonfirmasi virologis tahun 1970. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata – rata DBD di
Indonesia terus meningkat dari 0,05 menjadi 8,14 (1973) , 8,65 (1983) dan mencapai angka
tertnggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita
72.133 orang.
Semua kelompok umur dapat terinfeksi namun paling banyak pada umur 5-9 tahun. Hal
ini didukung oleh data yang menyebutkan bahwa saat epidemi Dengue di Gorontalo
Sulawesi , jumlah penderita yang terkena terutama anak-anak 1-5 tahun. Semakin padatnya
pendduk suatu daerah maka semakin meningkatnya transmisi virus. Secara keseluruhan
tidak ada perbedaan antara jenis kelamin , tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi
pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah
negara , pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari
golongan berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya , jumlah kasus
golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim tidak begitu jelas
namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari
dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari.

XIII. PATOFISIOLOGI
Volume Plasma
Patofisiologi utama untuk menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD
dengan DBD adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan
volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia serta diastesis hemoragik.
Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD menunjukkan bahwa perembesan plasma
dimulai dari awal demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat syok
terjadi secara akut , nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma
melalui endotel pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok
menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah
ekstravaskuler ( ruang intersisial dan ruang serosa. Melalui kapiler yang rusak. Bukti yang
mendukung adalah meningkatnya berat badan , ditemukannya cairan yang tertimbun dalam
rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata
melebihi cairan yang diberikanmelalui infus dan adanya edema.
Pada sebagia kasus plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan
pemberian plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan
elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis.
Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan perubahan struktur pembuluh darah yang
destruktif akibat radang , sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional
dinding pembuluh darah terjadi akibat mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.
Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan
kerusakan endotel vaskular yang mirip dengan uka akibat anoksia atau luka bakar.
Gambaran itu mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat
keadaan trombositopenia.

Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
kasus dbd. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah
pada masa syok. Jumlah trombosit mulai meningkat cepat pada masa konvalesens dan nilai
normal biasanya tercapai pada hari ke 7-10 sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan peningkata jumlah megakariosit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit diduga akubat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan
lain penyebab trombositopenia adalah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan
radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem
retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui ,
namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem
komplemen , kerusakan sel endotel, dan aktivasi sistem pembekuan darah secara
bersamaan atau terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terukti menurun
mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemukan kompleks imun dalam
peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebaba utama terjadinya perdarahan DBD.
Sistem Koagulasi Dan Fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang , masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi
memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun , termasuk faktor II, V, VII , VIII , X
dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation
products (FDP) . Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan
aktivitas antitrombin III. Di samping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas
faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini
membuktikan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya disebabkan
oleh konsumsi sistem koagulasi tetapi juga oleh sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis
pada DBD dibuktikan dengan menurunnya aktivitas a-2 plasmin inhibitor dan penurunan
aktivitas plasminogen.
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa 1) pada DBD stadium akut telah terjadi
proses koagulasi dan fibrinolisis, 2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) secara
potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD , peran DIC tidak
menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk
sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya
akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan
memasuki syok ireversibeldisertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang
berujung dengan kematian. 3) perdarahan kulit umumnya disebabkan oleh faktor kapiler ,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan masif ialah akibat
kelainan mekanisme yang lebih kompes seperti trombositopenia, gangguan faktor
pembekuan dan kemungkinaan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok
lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. 4) Anti trombin III
yang merupakan kfaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antotrombin III , respons
pemberian heparin berkurang.

XIV. MANIFESTASI KLINIS


Demam Dengue
Masa tunas umumnya 5 – 8 hari. Awal penyakit biasanya mendadak , disertai gejala
prodormal seperti nyeri kepala , nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia , rasa menggigil
dan malaise. Dijumpai trias sindrom yaitu demam tinggi , nyeri pada anggota badan dan
timbulnya ruam (rash). Ruam timbul pada 6- 12 jam sebelum sebelum suhu naik pertama
kali, yaitu pada hari ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam terdapat di dada , tubuh serta
abdomen , menyebar ke anggota gerak dan muka.
Pada lebih dari separuh pasien , gejala klinis timbul dengan mendadak , disertai
kenaikan suhu, nyeri kepala hebat , nyeri di belakang bola mata, punggung , otot , sendi
dan disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dilihat bentuk kurva suhu yang
menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini
tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan , di samping itu perasaan tidak nyaman di
daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium
dini sering timbul perubahan dalam indra pengecapan. Gejala klinis lain yang sering
didapat ialah fotofobia , keringat yang bercucuran , suara serak , batuk, epistaksis dan
disuria. Demam menghilang secara lisis disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa
servikal dilaporkan membesar pada 67-77 % kasus. Beberapa menyebutkan Castellani sign
, sangat patognomonik dan merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis
banding. Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Berbagai bentuk manifestasi
perdarahan seperti menoragi dan menstruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan
lahir rendah yang diakibatkan perdarahan uterus.
Komplikasi demam dengue yang jarang dilaporkan ialah orchitis atau ovaritis keratitis
dan retinitis. Berbagai kelainan neurologi dilaporkan berupa penurunan kesadaran ,
paralisis sensorik yang bersifat sementara, meningismus dan ensefalopati. Diagnosis
banding mencakup berbagai infeksi virus (termasuk chikungunya), bakteria dan parasit
yang memperlihatkan sindrom serupa. Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue
ringan adalah mustahil terutama pada kasus sporadis.
Demam Berdarah Dengue
Ditandai oleh 4 manifestasi klinis , yaitu demam tinggi, perdarahan ( terutama kulit) ,
hepatomegali , dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure. Patofisiologi utama
yang membedakan DBD dengan demam Dengue adalah adanya peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diastesis
hemoragik.
Pada DBD terdapar perdarahan kulit , uji torniquet positif, memar dan perdarahan.pada
tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang muncul di anggota gerak , muka
aksila, seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan
dapat terjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai ,
sedangkan perdarahan saluran cerna hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah
renjatan yang tidak dapat diatasi.
Dengue Shock Syndrome

Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada penderita Dengue
Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue.

Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan kesehatan


masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan suatu
permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami
renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.

Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan yang
biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
e. Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada
masa demam dan mencapai nilai terendah saat masa renjatan
f. Gangguan fungsi trombosit
g. Kelainan sistem koagulasi, masa tromboplastin partial, masa
protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita
didapatkan masa thrombin normal. Beberapa factor pembekuan

menurun, termasuk factor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen.

h. Pembekuan intravaskuler yang meluas (Disseminated Intravascular


Coagulation-DIC).

2. Manifestasi Klinis
Dengue Shock Syndrome (DSS) menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan demam
berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue dengan tanda-tanda
kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.
Renjatan :
Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah demam
menurun yaitu antara hari ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke-10.
Manifestasi klinik renjatan pada anak terdiri atas :
g. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan
dan hidung.

h. Anak semula rewel, cengeng dan gelisah lambat-laun ksadaran


menurun menjadi apati, spoor dan koma.

i. Peubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya.


j. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
k. Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
l. Oligouri sampai anuria

XV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Deteksi Antigen
Deteksi Antigen pada serum saat fase akut sangat jarang digunakan pada pasien dengan infeksi
sekunder karena pasien dengan kondisi tersebut sudah memiliki pre-existing virus Ig-G antibodi
imunokompleks. Perkembangan baru pada pemeriksaan ELISA dan dot blot assay yang dapat
mendeteksi secara langsung antigen pada Non-structural protekin ! (NS-1) saat infeksi dengue
primer dan sekunder hingga 9 hari setelah onset.
Semua Flavivirus akan menghasilkan NS 1 glikoprotein yang dpaat digunakan untuk diagnosis
awal infeksi virus. Fluorescent antibody , immunoperoksidase dan avidin – biotin enzyme assay
dapat mendeteksi antigen virus.

Pemeriksaan Serologis
MAC ELISA
IgM antibody –capture enzyme linked immunosorbent assay ( MAC-ELISA) total IgM pada
serum pasien ditangkap dengan rantai anti bodi ( spesifik IgM). Dengue specific antigen akan
berikatan dengan antibodi IgM anti dengue yang dideteksi dengan monoclonal atau polyclonal
dengue antibodi secara direk-indirek yang terkonjugasi dengan enzim yang mengubah susbstrat
tak bewarna menjadi bewarna. Densitas optik diukur dengan spectrophotometer.
IgG ELISA
Metode inhibisi ELISA ini dapat digunakan untuk deteksi IgG antibodi serum atau plasma dan
filter paper yang didapatkan dari sampel darah dan mempermudah identifikasi infeksi dengue
primer dan sekunder.
Rasio IgM/IgG
Protein spesifik virus dengue IgM dan IgG rasio dapat digunakan untuk membedakan infeksi
virus primer dan sekunder. Pengecatan ELISA yang paling umum digunakan untuk menangkap
protein IgM dan IgG . Infeksi primer jika rasio IgM/IgG > 1.2 ( dengan seum 1/100 dilusi) atau
1.4 ( pasien serum dengan 1/20 dilusi). Infeksi sekunder apabila rasio <1.2 atau 1.4
Tes hemaaglutinasi- inhibisi

Hemaaglutinasi inhibisi tes berdasarkan kemampuan antigen dengue untuk mengaglutinasi sel
darah merah. Antibodi HI dapat diperiksa dengan suatu pemeriksaan yang disebut uji HI
(hemagglutination inhibition test). Dasar pemeriksaan ini ialah sifat virus yang dapat
menggumpalkan (mengaglutinasi) darah yang dapat dihambat oleh serum yang mengandung
antibody homolog terhadap antigen (dalam hal ini virus) yang dipakai.

Untuk pemeriksaan HI terhadap virus dengue dipakai antigen 8 satuan. Pertama-tama digunakan
antigen virus dengue tipe1 atau 2. Apabila hasil pemeriksaan negative, percobaan diulangi
dengan menggunakan ketiga antigen lain.

Interpretasi
4. Pada infeksi primer, titer antibody HI pada masa akut, yaitu bila serum diperoleh sebelum
keempat sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer anak naik 4 kali atau lebih pada masa
konvalesen, tetapi tidak akan melebihi 1:1280.

5. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection) ditandai oleh titer
antibody HI kurang dari 1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa konvalesen titer bernilai
sama atau lebih besar daripada 1:2560. Tanda lain infeksi sekunder ialah apabila titer antibody
akut sama atau lebih besar daripada 1:20 dan titer akan naik 4 kali atau lebih pada masa
konvalesen.

6. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive diagnosis) ditandai
oleh titer antibody HI yang sama atau lebih besar daripada 1:280 pada masa akut. Dalam hal
ini tidak diperlukan kenaikan titer 4 kali atau lebih pada masa konvalesen.

Pemeriksaan Darah Rutin

Nilai hematokrit dan trombosit biasanya diukur saat fase akut infeksi dengue. sehingga
pemeriksaan perlu dilakukam sesuai protokol yang terstandarisasi.

Penurunan trombosit < 100.000 per µl harus diobservasi pada kecurgaan demam dengue tetapi
lebih sering terjadi pada demam berdarah dengue. Trombositopeni sering diobservasi pada hari
ke 3 dan ke 8 setelah munculnya gejala.
Hemokonsentrasi dilihat dari adanya peningkatan hematokrit >20% atau lebih dibanding dengan
nilai normal. Hal ini dapat menandakan kemungkinan terjadinya syok hipovolemik akibat adanya
peningkatan permeabilitas vaskular dan kebocoran plasma.

XVI. PENGOBATAN
Pasien dengan fase kritis meliputi kondisi kebocoran plasma yang mengarah syok, akumulasi
cairan dengan distress respirasi ; perdarahan hebat, keterlibatan organ lain ( hepatomegali,
kardiomipati, ensefalopati) Tanda kebocoran plasma harus di antisipasi dengan secara langsung
dan cepat menggunakan cairan kristaloid yang bersifat isotonik , namun bila pasien memiliki
kecenderungan syok hipotensif maka harus dipertimbangkan pemberian cairan koloid. Sebelum
pemberian resusitasi cairan akan lebih baik dengan memastikan niai hematokrit terlebih dahulu.
Resusitasi cairan melalui jalur intravena menggunakan cairan kristaloid dapat mencukupi
kebutuhan volume selama periode kebocoran plasma dan harus dilakukan secara Segera beri
infus kristaloid (ringer laktat atau NaCI 0,9 %) 20 ml / kg berat badan secepatnya (diberikan
dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2 liter / menit. Untuk SSD berat (DBD derajat IV,
nadi teraba dan tensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20 ml / kg berat badan bersama koloid
( lihat butir 2). Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam.
Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap dilanjutkan 15-
20 ml/ kg berat badan, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid ( dekstran 40)
sebanyak 10-20 ml/ kg berat badan, maksimal 30 ml / kg berat badan (koloid diberikan pada
jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum,
tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis,
elektrolit, dan gula darah.
a. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin / hematokrit, tekanan nadi <
20 mm Hg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/kg bb/jam. Volume 10 ml/kg
bb/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabil dan hematokrit menurun <
40 %. (atau di Bag IKA FK Unsrat: 8 jam pertama 10 ml/kg bb/jam, 8 jam II : 8 ml/kg bb/jam,
dan 8 jam III : 6 ml/kg bb/jam { @ 2 x BB}, kemudian secara bertahap cairan diturunkan jadi
5ml dan seterusnya 3 ml /kg bb/jam.) Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/kg bb/jam
sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5ml dan
seterusnya 3 ml /kg bb/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok
teratasi. Observasi klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin ³
1 ml / kg bb/jam, BJ urin < 1,020) dan pemeriksaan hematokrit & trombosit tiap 4-6 jam sampai
keadaan umum baik.
b.Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tapi masih > 40 %,
berikan darah dalam volume kecil 10 ml/kg bb. Apabila tampak perdarahan masif, berikan darah
segar 20 ml/kg bb dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/kg bb/jam. Pemasangan CVP
(dipertahankan 5-8 cm H2O) pada syok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
sonde lambung tidak dianjurkan.
Pasien dengan syok hipotensif memerlukan manajemen sebagai berikut

- Awali resusitasi cairan dengan kristaloid atau koloid ( jika ada ) dengan 20 ml/kg dengan
bolus selama 15 menit untuk mengeluarkan pasien dari fase syok segera

- Jika kondisi pasien mengalami perbaikan , beri kristaloid / koloid infus 10ml/kg untuk 1
jam . Lalu lanjutkan dengan infus kristaloid dan secara perlahan turunkan menjadi 5-7
ml/kg / jam untuk 1-2 jam, lalu 3-5ml/kg / jam untuk 2-4 jam . lalu turunkan menjadi 2-3
ml /kg/jam. Dan bisaa dipertahankan selama 24-48 jam selanjutnya.
- Jika tanda vital tidak stabil dan nilai hematokrit rendah (<40% pada perempuan, <45%
anak laki-laki) ini mengindikasikan adanya perdarahan dan butuh cross match transfusi
darah segera

- Jika nilai hematokrit naik dibandingkan dengan nilai baseline , gunakan cairan koloid 10-
20ml/kg selama 30 menit- 1 jam dengan bolus. Setelah pemberian bolus monitor pasien ,
jika tanda vital mengalami perbaikan , turunkan cairan menjadi 7-10cc/kg/jam untuk 1-2
jam lalu cairan dapat diganti kembali dengan kristaloid . Jika kondisi masih tidak stabil
ulangi pemeriksaan hematokrit setelah pemberian bolus kedua.

- Jika hematokrit turun dibandingkan pemberian sebelumnya (<40% pada perempuan, <45%
anak laki-laki) ini mengindikasikan adanya perdarahan dan butuh cross match transfusi
darah segera. Jika hematokrit naik diandingkan nilai sebelumnya (>50%) gunakan cairan
koloid 10-20ml/kg selama 30 menit- 1 jam dengan bolus. Setelah pemberian bolus monitor
pasien , jika tanda vital mengalami perbaikan , turunkan cairan menjadi 7-10cc/kg/jam
untuk 1-2 jam lalu cairan dapat diganti kembali dengan kristaloid

Pasien dengan dengue shock dengue harus dipantau tanda vital, dan perfusi perifer (15-30
menit sampai pasien keluar dari fase syok., lalu lanjutkan 1-2 jam) . Urin output harus
dipantau tiap jam , lalu dilanjutkan 1-2 jam berikutnya hingga psien keluar dari fase syok.
Pemasangan kateter urin penting untuk memantau urin output pasien (0.5ml/kg/jam) Nilai
hematokrit perlu di pantau sebelum dan sesudah pemberian bolus hoimgga pasien stabil,
selama 4-6 jam
XVII. KOMPLIKASI

- Hiperglikemia dan hipoglikemia tanpa didahului diabetes mellitus

- Ketidak seimbangan asam basa dan elektrolit yang berhubungan dengan muntah dan diare
selama periode sakit

- Asidosis metabolik dapat menjadi pertanda apakah ada ko-infeksi mauun infeksi
nosokomial.

XVIII. PENCEGAHAN

DBD dapat dicegah dengan penggunaan kelambu saat tidur dan lotion anti-nyamuk,
pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik nyamuk di bak mandi, penyemprotan
cairan insektisida (fogging), dan gerakan 3 M (mengubur barang bekas, menutup tempat
penampungan air, dan menguras bak air).

Fogging yang efektif merupakan salah satu cara menurunkan populasi nyamuk. Namun,
perlu diperhatikan dosis insektisida yang digunakan, perhitungan arah angin, dan
perhitungan radius daerah cakupan. Fogging sebaiknya dilakukan pada pagi hari pukul
07.00 – 10.00 dan sore hari pukul 15.00 sampai 17.00. Bila dilakukan pada siang hari,
nyamuk sedang tidak beraktivitas dan asap fogging mudah menguap karena udara siang
yang panas. Foggingsebaiknya tidak dilakukan pada keadaan hujan.

Saat ini, vaksin DBD saat ini sudah tersedia dan dalam waktu dekat akan diedarkan di
Indonesia. Pemberian vaksin tidak lantas mengurangi upaya pencegahan DBD yang ada,
dan dilakukan bersama-sama. Dengan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap
bahaya infeksi DBD, keikutsertaan masyarakat dalam usaha pencegahan, dan adanya
vaksin, maka diharapkan angka kesakitan dan kematian anak akibat DBD di Indonesia
dapat diturunkan.

A. RESUME

Pasien datang ke IGD RSU Kardinah Tegal pada tanggal 07 Maret 2018 pukul 09.30
WIB diantar oleh orang tuanya dengan keluhan demam sejak + 7 hari SMRS. Demam timbul
mendadak, terus-menerus, demam tidak disertai menggigil dan keringat dingin. Demam
dirasakan terutama saat malam hari, demam turun dengan obat penurun panas namun setelah
beberapa jam minum obat penurun panas, demam mulai dirasakan kembali. Ibu pasien
mengatakan demam sempat meningkat pada hari ke 3 demam dan keesokan harinya demam
mulai turun selama 1 hari dan kemudian demam mulai meningkat lagi. Keluhan ini disertai
dengan nyeri kepala , nyeri otot, nyeri sendi dan tulang belakang, nyeri belakang bola
mata,nyeri ulu hati, mual, muntah berisi makanan dan cairan 2 kali sejak 1 hari yang lalu.
Pasien juga mengeluh nyeri tenggorokan terutama saat menelan sejak 2 hari SMRS, batuk
kering sejak + 2 hari SMRS dan penurunan nafsu makan. Keluhan flu, mimisan, gusi
berdarah, bintik-bintik merah pada tubuh disangkal. BAK dan BAB juga dikatakan normal
oleh Ibu pasien.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum kompos mentis, tampak sakit sedang,
dengan denyut jantung 100 x/m, pernafasan 28 x/m, dan suhu 36,8˚C. Status antropometri
dan status gizi pasien adalah gizi kurang. Status generalis didapatkan faring hiperemis, nyeri
tekan epigastrium, uji rumple leed positif.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia, leukopenia, hematokrit


yang menurun setelah dilakukan terapi, neutrofil rendah, limfosit dan monosit yang
meningkat, eosinophil yang menurun pada pemeriksaan darah rutin.

DAFTAR MASALAH

 Demam

 Mual dan muntah

 Nyeri perut epigastrium

 Nyeri menelan

 Nyeri kepala, nyeri sekitar bola mata, nyeri otot dan nyeri sendi

 Batuk kering

 Uji rumple leed positif


 Trombositopenia

 Penurunan hematokrit setelah diterapi

 Leukopenia

B. DIAGNOSIS BANDING

 Demam Hemoragic Fever (DHF)


 Demam dengue
Observsi febris  Demam dengue syok sindrom
 Demam typhoid
 Malaria
 Kurang
Status gizi  Baik
 Buruk

C. DIAGNOSIS KERJA

- Demam Hemoragic fever

- Status gizi kurang

D. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
 Pengawasan keadaan umum dan tanda vital
 Edukasi:
- Menjelaskan mengenai penyakit pasien saat ini, serta rencana manajemen yang akan
diberikan
- Kenali gejala DD/DHF : demam mendadak tinggi tanpa sebab yang jelas, terus
menerus, lemas dan tampak lesu, terdapat tanda-tanda perdarahan
- Menjelaskan pada ibu agar memberikan makan dan minum yang cukup

- Kompres dengan air hangat bila anak panas

- Menghimbau untuk menjaga kebersihan lingkungan dengan 3 M:

- Menguras tempat penampungan air

- Menutup tempat penampungan air

- Mengubur barang-barang bekas

- Abatisasi pada kolam atau tempat penampungan air yang sulit dikuras dapat
ditaburkan bubuk abate 3ang dapat membunuh jentik, bubuk abate dapat dibeli di
apotek.

b. Medikamentosa
 Infus RL 10 tpm

 Paracetamol sirup 3x1½ cth

 Ambroxol sirup 3x1 cth

 Injeksi vitamin c 1x100 mg

 Psidi sirup 3x1 cth

 Cefotaxim 3x500 mg
E. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : Dubia ad malam

Quo ad sanationam : Dubia ad malam

F. PEMERIKSAAN ANJURAN

• Darah rutin

• Pemeriksaan IgM dan IgG

• NS1

• Foto Thorax

I. RESUME
Seorang anak perempuan usia 8 tahun datang IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Semarang dengan keluhan demam naik turun, menggigil (+), dan muntah (+). Demam
dirasakan sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit disertai nyeri sekitar bola mata (+/+) ,
nyeri kepala (+) ,sesak nafas (+) lemas (+), penurunan nafsu makan (+). Demam dirasakan
naik turun terutama naik di malam hari. Ketika demam tidak diukur. Demam turun dengan
pemberian obat penurun panas. 1 hari SMRS demam turun namun badan pasien terasa
dingin kemudian pasien mengeluh muntah kehitaman. Terdapat riwayat tetangga di dekat
rumah mengalai keadaan yang sama 1 bulan yang lalu
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nadi 130x/menit, pernapasan 25 x/menit, dan suhu
37,7 0C (Axilla). Pada pemeriksaan status internus tampak ruam di kulit yang muncul di di
muka dan kulit kepala dan menyebar ke badan dan ekstremitas. Tampak lesi berupa
makula, papula, vesikula berdinding tipis, pustula dan krusta dikelilingi daerah eritema
ireguler yang menyebar di seluruh tubuh.
Pada pemeriksaan hematologi ditemukan penurunan hematokrit dan pada pemeriksaan
kimia klinik ditemukan peningkatan GDS dan penurunan natrium.
II. DIAGNOSIS BANDING
Demam Berdarah Derajat 3
Demam Berdarah Derajat 4

III. DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis utama : Dengue Shock Syndrome
Diagnosis komorbid : -
Diagnosis gizi : Gizi normal
Diagnosis komplikasi : Potential Respiratory Failure
Diagnosis social ekonomi : Cukup
Diagnosis Imunisasi : Imunisasi dasar dan booster lengkap.

IV. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF


Ip Dx: Subyektif: -
Obyektif : Px Hematologi dan Kimia Klinik
Ip Tx:

Oksigenasi ( O2 2-4 liter)

Infus RL 10-20 cc/ kg dalam 30 menit

 BB : 32 Kg  kebutuhan cairan : 640 cc / 30 menit

 Evaluasi dalam 30 menit apakah syok teratasi

 Pantau Tanda vital setiap 10 menit

 Jika syok teratasi lanjutkan dengan pemberian cairan 10ml/ kg/ jam lalu evaluasi
ketat tanda vital, Hb, Hematokrit dan trombositopeni

 Stabil dalam 24 jam bila Hematokrit < 40%

 Beri tetesan 5 cc/ Kg/ Jam  jika membaik ganti tetesan 3 cc/kg/jam

 Bila setelah 30 menit pemberian cairan awal syok tidak teratasi maka lanjutkan
cairan 20cc/kg / jam

 Jika syok masih belum bisa teratasi maka pertimbangkan untuk mengecek nilai
hematokrit, bila turun : beri transfusi darah segar. , bila nilai menetap /tinggi /
naik : beriksn koloid 20cc/kg
Ip Mx:
• Keadaan Umum
• Tanda Vital
• Tanda Perdarahan

V. PROGNOSIS
Prognosis ad vitam : dubia ad bonam
Prognosis ad sanam : ad bonam
Prognosis ad functionam : bonam.
BRONKOPNEUMONIA
DEFINISI
Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli
kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan histologis
terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri,
klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab.
Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari
parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-
bercak yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing.
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat.
Bronchopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama,
tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne
G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial
3) Bronkopneumonia.
Gambar 1. jenis-jenis pneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru
yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur
dan benda asing.

EPIDEMIOLOGI
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di
negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh
dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar
terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6%
kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem
repiratori, terutama pneumonia.4
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia
pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia yang terjadi
pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat
ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri
patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap
rokok).4

Diagram 1. penyebab kematian anak dibawah 5 tahun menurut WHO 7

ETIOLOGI
Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.5
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
Lahir-20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria moonocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes Simpleks

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe B

Virus Moraxella catharalis


Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainflueza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial virus Virus Sitomegalo
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


5 tahun-remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
Virus Varisela-Zoster

PATOGENESIS 2,3
Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme yang
menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis
kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui
selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh
Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola mikrorganisme
adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan, penyakit kronik, polusi
lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat menimbulkan perubahan karakteristik
kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis kuman akibat adanya berbagai mekanisme terutama
oleh S. aureus, H. influenza dan Enterobacteriaceae serta berbagai bakteri gram negative.
Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S. pneumonia, S.
pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis. Kolonisasi bakteri ini meningi
merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi permukaan mukosa. Fibronektin merupakan
reseptor bagi flora normal gram positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan reseptor
pada permukaan sel terpajan oleh bakteri gram negative. Sumber basil gram negative dapat
berasal dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar.
Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus dapat terjadi
pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau pada pasien
dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru lainya adalah
melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakeaatau luka tusuk dada yang
berdekatan denga tempat infeksi yang berbatasan.
Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme penyebab
infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat pada bayi berusia
dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, M. pneumonia
dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H. influenza serta M. catarrhalis pada pasie
lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering didapatkan pada pasien
perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia. Pseudomonas aeruginosa pada
pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan imunisupresi disertai lekopeni.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan
Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus
pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya
Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel
epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori
dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari
seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :


1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara
kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang
cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme


aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari
respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat
sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari
infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari
sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan
sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka
mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.

Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :


 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan ystem epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan kearah ystem oleh mukosiliar
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui ystem limfatik.

MANIFESTASI KLINIS 2
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C dan mungkin disertai kejang
karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak
dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
 Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut,
retraksi sela iga.
 Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
 Perkusi : Sonor memendek sampai beda
 Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah
gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang
terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi mungkin
hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki dapat
terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran
nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak,
kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada.
Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah.

2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu.
Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis.
Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat
adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif /
produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada
kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif /
produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :
Pemeriksaan Bakteri Virus Mikoplasma
Anamnesis
Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolah
Awitan Mendadak Perlahan Tidak nyata
Sakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselang
Batuk Produktif nonproduktif Kering
Gejala penyerta Toksik Mialgia, ruam, Nyeri kepala, otot,
organ bermukosa tenggorok
Fisik
Keadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuan
Demam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC
Auskultasi Ronkhi ±, suara Ronkhi bilateral, Ronkhi unilateral,
Napas melemah Difus, mengi mengi. 14

Takipneu berdasarkan WHO:


a. Usia < 2 bulan : ≥ 60 x/menit
b. Usia 2-12 bulan : ≥ 50 x/menit
c. Usia 1-5 tahun : ≥ 40 x/menit
d. Usia 6-12 tahun : ≥ 28 x/menit

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga >
15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit >
30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis >
500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus.
Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama
pada anak- anak kecil.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi
anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien
bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau
beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus
pneumonia.

Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru kanan

Gambar 4. Foto toraks PA pada bronkopneumonia.


b. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama
interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP
digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non
infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan
untuk evaluasi respon terapi antibiotik.

c. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.

d. Pemeriksaan mikrobiologi
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan
mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi trakhea,
fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi
teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya
dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.
KRITERIA DIAGNOSIS
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya paling
sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan limfosit predominan,
dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

DIAGNOSIS BANDING
1. Infeksi perinatal/kongenital (pada neonatus)
2. Hyalin membrane disease/HMD (pada neonatus)
3. Aspirasi pneumonia
4. Edema paru
5. Atelektasis
6. Perdarahan paru
7. Kelainan kongenital parenkim paru
8. Tuberkulosis
9. Gagal jantung kongestif
10. Neoplasma
11. Reaksi hipersensitivitas (pneumonitis).

PENYULIT
1. Empiema (paling sering oleh S. Pneumoniae dan S. Aureus
2. Perikarditis
3. Pneumotoraks
4. Pneumatokel
5. Meningitis bakterialis
6. Artritis supuratif
7. Osteomielitis.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan umum
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak
nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

Penatalaksanaan khusus
- mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya
tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi
antibioti awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau
penderita kelainan jantung
- pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme
penyebab dan manifestasi klinis
Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka
resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
b. Berat ringan penyakit
c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Antibiotik :
Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama)
menurut kelompok usia.
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai
hari ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata
dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman
penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti
empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif)

PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini
pada perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa kanak-
kanak dapat di turunkan sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas
yang berlangsung lama juga menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi
protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

Pasien dibawa ke IGD RSU Kardinah pada tanggal 27 oktober dengan keluhan sesak nafas sejak
1 hari SMRS. Sesak muncul tiba – tiba serta dirasakan terus menerus dan tidak membaik sampai
kemudian di bawa ke RS, suara ngik di samngkal oleh ibu pasien. Batuk mulai timbul bersamaan dengan
timbulnya sesak. Batuk seperti berdahak namun dahak tidak dapat keluar. Demam tidak terlalu tinggi
mulai dirasakn setelah timbulnya sesak dan batuk.
Pasien ketika berusia 8 bulan pernah memiliki riwayat kejang 1 kali dengan durasi kejang kurang
lebih 10 menit dan tidak ada kejang berulang. Kemudian pasien di rawat di ICU selama 1 bulan dan
dalam keaadaan tidak sadarkan diri semala 9 hari pertama pasien di rawat. Pasien di diagnosis denagan
meningitis dan TB paru. Pasien sudah melakukan pengobatan Tb paru selama 6 bulan dan dinyatakan
sembuh. Ibu pasien mengatakan sejak setelah pasien dirawat, mulai terjadi keterlambatan perkembangan,
dan anggota badanya menjadi kaku terus menerus hingga akhirnya dilakukan fisioterapi sejak 1 tahun
yang lalu.
Pemeriksaan fisik pasien tampak lemah, tampak kaku pada anggota badan, tampak sesak. HR 125
x/menit, RR 34 x /menit, suhu 37,1 0C. Auskultasi napas vesikuler didapatkan adanya ronki pada kedua
paru (+/+). Spastik pada ke empat ekstremitas. Pengukuran lingkar kepala: microcefal, status gisi: gizi
buruk. Laboratorium: Leukositosis, dan Trombositosis

F. DAFTAR MASALAH
- Sesak napas sejak 1 hari SMRS
- Batu sejak 1 hari SMRS
- Demam setelah timbul sesak dan batuk
- Gizi buruk

G. DIAGNOSIS BANDING
Sesak, batuk, demam - Bronkopneumonia
- Bronkiolitis
- Asma
- Bronkitis akut
- TB paru

H. DIAGNOSIS KERJA:
- Bronkopneumonia
- Cerebral palsy

I. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Rontgen thorax AP/ Lateral

J. PENATALAKSANAAN
b. Non medikamentosa
- Rawat inap untuk monitoring gejala

- Tirah baring (bed rest).

- Memperbaiki keadaan umum penderita

c. Medikamentosa
- O2 sungkup 3 liter/menit
- Infus RL 12 tpm
- Nebulizer Ventolin 3 x 2,5 mg
- Inj dexametason 3 x 2,5 mg
- Syr Lasal exp 3 x ½ cth
- Amoxicilin 3 x 250mg/ 5ml
- Paracetamol 3 x 0,7 ml
K. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
TUBERKULOSIS
Definisi
Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dengan
gejala yang sangat bervariasi. (Mansjoer, 1999) Tuberculosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis yang biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), orang ke
orang dan mengkolonisasi bronkiolus atau alveolus. (Corwin, 2001) Tuberculosis paru adalah : penyakit
infeksius terutama menyerang parenchim paru dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lain, termasuk
meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe. ( Brunner & Suddart, 2002 ) Tuberculosis adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC
menyerang paru, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya.

Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru

a. Anatomi Paru-paru
Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh
karenanya, masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh
besar serta struktur-struktur lain dalam mediastinum. Masing-masing paru-paru berbentuk konus dan
diliputi oleh pleura viseralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan hanya
dilekatkan ke mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang
tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Di pertengahan permukaan
medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf
ke paru-paru untuk membentuk radiks pulmonalis. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru
kiri dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius
dan

inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan
inferior. Setiap bronkus lobaris, yang berjalan ke lobus paru-paru, mempercabangkan bronkus
segmentalis. Setiap bronkus segmentalis yang masuk ke lobus paru-paru secara struktural dan fungsional
adalah independen, dan dinamakan segmen bronkopulmonalis. Segmen ini berbentuk piramid,
mempunyai apeks yang mengarah ke radiks pulmonalis dan basisnya mengarah ke permukaan paru-paru.
Tiap segmen dikelilingi oleh jaringan ikat, dan selain bronkus juga diisi oleh arteri, vena, pembuluh limfe
dan saraf otonom. Asinus adalah unit respiratori fungsional dasar, meliputi semua struktur dari
bronkhiolus respiratorius sampai ke alveolus. Dalam paru-paru manusia, terdapat kira-kira 130.000 asini,
yang masing-masing terdiri dari tiga bronkhiolus respiratorius, tiga duktus alveolaris dan 17 sakus
alveolaris. Alveolus adalah kantong udara terminal yang berhubungan erat dengan jejaring kaya
pembuluh darah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi anatomisnya, semakin negatif tekanan
intrapleura di apeks, ukuran alveolus akan semakin besar. Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I
berukuran besar, datar dan berbentuk skuamosa, bertanggungjawab untuk pertukaran udara. Sedangkan
tipe II, yaitu pneumosit granular, tidak ikut serta dalam pertukaran udara. Sel-sel tipe II inilah yang
memproduksi surfaktan, yang melapisi alveolus dan mencegah kolapnya alveolus. Sirkulasi pulmonal
memiliki aliran yang tinggi dengan tekanan yang rendah (kira-kira 50 mmHg). Paru-paru dapat
menampung sampai 20% volume darah total tubuh, walaupun hanya 10% dari volume tersebut yang
tertampung dalam kapiler. Sebagai respon terhadap aktivitas, terjadi peningkatan sirkulasi pulmonal.
Yang paling penting dari sistem ventilasi paru-paru adalah upaya terus menerus untuk memperbarui
udara dalam area pertukaran gas paru-paru. Antara alveoli dan pembuluh kapiler paru-paru terjadi difusi
gas yang terjadi berdasarkan prinsip perbedaan tekanan parsial gas yang bersangkutan. Sebagian udara
yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada daerah pertukaran gas, tetapi tetap berada dalam
saluran napas di mana pada tempat ini tidak terjadi pertukaran gas, seperti pada hidung, faring dan
trakea. Udara ini disebut udara ruang rugi, sebab tidak berguna dalam proses pertukaran gas. Pada
waktu ekspirasi, yang pertama kali dikeluarkan adalah udara ruang rugi, sebelum udara di alveoli sampai
ke udara luar. Oleh karena itu, ruang rugi merupakan kerugian dari gas ekspirasi paru-paru. Ruang rugi
dibedakan lagi menjadi ruang rugi anatomik dan ruang rugi fisiologik. Ruang rugi anatomik meliputi
volume seluruh ruang sistem pernapasan selain alveoli dan daerah pertukaran gas lain yang berkaitan
erat. Kadang-kadang sebagian alveoli sendiri tidak berungsi atau hanya sebagian berfungsi karena tidak
adanya atau buruknya aliran darah yang melewati kapiler paru-paru yang berdekatan. Oleh karena itu,
dari segi fungsional, alveoli ini harus juga dianggap sebagai ruang rugi dan disebut sebagai ruang rugi
fisiologis.
Gambar. Anatomi Paru

Fisiologi Paru-paru

Fungsi paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada pernapasan melalui
paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen dipungut melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernapas,
oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkhial ke alveoli, dan dapat erat hubungan dengan darah di
dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran, yaitu membran alveoli-kapiler, memisahkan
oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah
dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa ke dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan
paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh
oksigen.

Di dalam paru-paru, karbon dioksida adalah salah satu hasil buangan metabolisme, menembus
membran alveoler-kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronkhial dan trakhea,
dinafaskan keluar melalui hidung dan mulut.

Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan pulmoner atau pernafasan eksterna:

1. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernafasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara luar.
2. Arus darah melalui paru-paru .
3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlah tepat dari setiapnya dapat
mencapai semua bagian tubuh
4. Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler. CO2 lebih mudah berdifusi
daripada oksigen.
Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-paru menerima
jumlah tepat CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan lebih banyak darah datang di paru-paru
membawa terlalu banyak CO2 dan terlampau sedikit O2. Jumlah CO2 itu tidak dapat dikeluarkan,
maka konsentrasinya dalam arteri bertambah. Hal ini merangsang pusat pernapasan dalam otak
untuk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernapasan, dengan penambahan ventilasi maka
terjadi pengeluaran CO2 dan memungut lebih banyak O2.

C. Etiologi

Tuberculosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk


batang dengan ukuran panjang 1 – 4 um dan tebal 0,3 – 0,6 um. Sebagian besar kuman terdiri dari
asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam sehingga disebut
bakteri tahan asam. Sifat lain kuman ini adalah aerob yaitu kuman lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan O2 nya.

Dalam hal ini tekanan O2 pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain sehingga
bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis. (Soeparman, 1999).

Mereka yang paling beresiko tertular basil adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang
yang terinfeksi aktif khususnya individu yang sistem imunnya tidak adekuat. (Corwin, 2001)

Cara Penularan:

 Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
 Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
 Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama
pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.
 Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur
negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992
WorldHealth Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ».
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang
terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.

Jumlah terbesar kasus TB terjadi diAsia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat
tuberkulosis pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat diAsia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TByang muncul.

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga(SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit
pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992
disebutkan bahwa penyakit TBmerupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001
menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian
Patogenesis
Kuman TB
dalam
droplet nuclei
yang

ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian
kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik,
sehingga tidak terjadi responsimunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan
tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di
dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk
lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu
kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah
kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks
primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap
disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung
selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks
primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada
saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman
TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme
ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula yang dapat menimbulkan obstruksi pada
bronkus sehingga menyebabkan pneumonitis dan atelektasis(lesi segmental kolaps-konsolidasi)

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran
hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai
organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks
paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak,
hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon,
yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute
generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di
dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit
TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama
di bawah dua tahun.

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini
terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga
sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread

Diagnosis TB pada anak

A. Penemuan Pasien TB Anak

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :

1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

Anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB
menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan
umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan
secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab profilaksis TB pada anak.

2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena
adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai
organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena
gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:


1.Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak
naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.

2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi
saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan
merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.

3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin
lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).

5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Gejala klinis spesifik terkait organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe,
susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:

1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,
dan kadang saling melekat atau konfluens.

2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:


 Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
 Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
 Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
 Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan
di daerah panggul.
 Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
 Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

4. Skrofuloderma:

Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).

5. Tuberkulosis mata:

• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).

• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila


ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di
Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan
menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan
sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Diagnosis pasti
TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu
pemeriksaan mikroskopis apusanlangsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan
pemeriksaan biakan kuman TB.

Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi.
Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan
sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran
pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis
TB.

Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen.
Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari
berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas.
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya
dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

Cara Mendapatkan sampel pada Anak :

1. Berdahak Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yangmampu mengeluarkan dahak.
Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.

2. Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat
mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi
hari.

3. Induksi Sputum, relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan hasil
yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel.
Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang
memadai untuk melaksanakan metode ini.

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah
membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang
tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi
dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara
melaksanakan uji tuberkulin terdapat pada lampiran.

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan
demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain dengan
foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)

b. Konsolidasi segmental/lobar

c. Efusi pleura

d. Milier

e. Atelektasis

f. Kavitas

g. Kalsifikasi dengan infiltrat

h.Tuberkuloma

Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Parameter Sistem Skoring:

 Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari
hasil laboratorium.
 Penentuan status gizi:

-Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).

-Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia <5 tahun
merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC
2000 (lihat lampiran).
.Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

 Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
 Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis,
konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,

tuberkuloma.
Penegakan Diagnosis

 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat
diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis
dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
 Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH
profilaksis tergantung dari umur anak tersebut Foto toraks bukan merupakan alat
diagnostik utama pada TB anak

 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
 Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan
dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila
terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
 Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah
terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
 Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
 Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin
dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap
dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.
 Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke
RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis
Tuberkulosis Abdomen

TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di peritoneum (TB peritonitis), usus,
omentum, mesenterium, dan hepar. M tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen
ataupun penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai, yaitu
sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan
lebih sering dari laki-laki (2:1).

Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu kesatuan
(konfluen). Pada perkembangan selanjutnya, omentum dapat menggumpal di daerah epigastrium dan
melekat pada organ-organ abdomen, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan obstruksi usus. Di lain
pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar, menyebabkan penekanan pada vena porta dengan
akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites.

Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB anak. Tanda yang
dapat terlihat adalah ditemukannya massa intraabdomen dan adanya asites. Kadang-kadang ditemukan
fenomena papan catur, yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa yang diselingi perabaan
lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi usus dan asites.

Tuberkulosis hati jarang ditemukan, hasil penyebaran hematogen melalui vena porta atau jalur limfatik,
yaitu rupturnya kelenjar limfe porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke hati. Lesi TB di hati dapat
berupa granuloma milier kecil (tuberkel). Granuloma dimulai dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang
membentuk nodul kecil sebagai reaksi terhadap adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag
dan basil membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, sel datia Langhans (makrofag yang
bersatu), dan limfosit T.

Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan. Beberapa pemeriksaan lanjutan yang
akan dilakukan adalah foto polos abdomen, analisis cairan asites dan biopsi peritoneum. Pada keadaan
obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan operasi.

Tuberkulosis Milier

Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB berat dan merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB
dengan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis milier terjadi karena adanya penyebaran secara
hematogen dan desimenata bisa ke seluruh organ. Gambaran milier dapat dilihat pada foto toraks dalam
waktu 2-3 minggu setelah penyebaran kumn secara hematogen.
Gejala dan tanda TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai sesak nafas, ronki dan mengi,
dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipoksia, sepsis, pneumotoraks, dan pneumomediastinum, gangguan
fungsi organ serta syok. Gambaran TB milier pada foto thoraks khas berupa tuberkel halus yang tersebar
merata di seluruh lapang paru dengan ukuran sama rata 1-3mm.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologis yang khas dan riwayat kontak
dengan pasien tb atau uji tuberkuloin positif. Pada anak dengan TB milier perlu dilakukan pemeriksaan
pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran serta kemungkinan TB di organ
lain.

Dengan pengobatan yang teapt perbaikan TB biasanya berjalan lambat. Respon keberhasilan terapi
antara lain adalah menghilangnya demam setelah 2-3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan,
perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan. Gambaran milier foto thoraks
berangsur-angsur menghilang dalam 5-10 minggu tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai
beberapa bulan..

Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak

Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:

 Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang tidak
memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan kelainan
radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien
ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa
dan Pasien TB Ekstra Paru.

Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut:

• Lokasi atau organ tubuh yang terkena:

a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya
pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru. Pasien TB paru dengan atau
tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru

• Riwayat pengobatan sebelumnya:

a. Baru

Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.

b. Pengobatan ulang

Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1 bulan
( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi
penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak
dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (lost to follow-up).

• Berat dan ringannya penyakit

a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB


primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dl
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB
hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.

Resistensi Obat

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis terhadap OAT terdiri dari:
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama.

b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.

d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan terhadap salah satu
OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu
Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.

e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Rifampisin


dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi menggunakan metode
pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk
dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam bentuk
Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR

Paduan OAT Anak

Prinsip pengobatan TB anak:


• OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler

• Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain untuk
membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan

• Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam obat,
tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis
dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan
setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika
obat tidak diminum setiap hari.

• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB
milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.

• Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikankortikosteroid (prednison)
dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone
adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini
untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

• Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah:

o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR

o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR

• Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-
KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
• OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan
dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

MENINGITIS

PENDAHULUAN

Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan serebrospinal maupun
selaput otak yang membungkus jaringan otak dan medula spinalis. Kuman-kuman masuk
ke setiap bagian ruang subarakhnoidal dan dengan cepat menyebar ke bagian lain
sehingga medula spinalis terkena, yang akhirnya menimbulkan eksudasi berupa pus atau
serosa yang disebabkan oleh bakteri maupun virus. 6,12

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Data WHO menunjukkan bahwa sekitar 1,8 juta kematian anak balita di seluruh dunia
setiap tahun. Lebih dari 700.000 kematian anak terjadi di negara kawasan Asia tenggara
da Pasifik barat. Pada satu penelitian di Amerika, tercatat 55% dari kasus meningitis
terjadi pada anak laki-laki. Meningococcal meningitis umumnya terjadi antara umur 3
tahun sampai masa pubertas.

ETIOLOGI

Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri,


jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak. Meningitis disebabkan
oleh berbagai macam organisme tetapi kebanyakan pasien dengan meningitis mempunyai
faktor predisposisi seperti fraktur tulang tengkorak, infeksi, operasi otak atau sumsum
tulang belakang.5
PATOFISIOLOGI

Mekanisme invasi bakteri ke selaput otak dan ruang arakhnoid belum diketahui secara
pasti, namun banyak kasus meningitis diawali oleh infeksi primer seperti nasofaringitis,
otitis media dan miokarditis yang menunjukakn bahwa meningitis adalah infeksi
sekunder yang terjadi secara hematogen ataupun perkontinuitatum. Invasi kuman-kuman
(meningokokus, pneumokokus, hemofilus influenza, streptokokus) ke dalam ruang
subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan arakhnoid, CSS dan sistem
ventrikulus. Jika bakteri patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, berarti mekanisme
pertahanan tubuh yang menurun. Pada umumnya didalam cairan serebrospinal yang
normal tidak ditemukan bakteri dan komplemen lainnya. Namun paba meningitis atau
peradangan pada selaput otak ditemukan bakteri dan peningkatan komplemen dalam
cairan serebrospinal. Konsenterasi komplemen ini memegang peranan penting dalam
opsoniasi dari Encapsuled Meningeal Patogen, suatu proses yang penting untuk
terjadinya fagositosis. Mula-mula pembulu darah meningeal yang kecil dan seang
mengalami hiperemi akibat inflaasi yang disebabkan oleh bakterimia, dan dalam waktu
yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimormonuklear ke dalam ruang
subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan
limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk
terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin
sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.12

MENINGITIS BAKTERI

Meningitis bakteri adalah peradangan pada selaput otak (menings), yang disebabkan oleh
bakteri. Bakteri yang paling sering adalah H influenza, Diplocooccus pneumoniae,
Streptokokus grup A, Sthapilococcus Aureus, E coli, Kliebsella dan Pseudomonas. Tubuh
akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dengan terjadinya peradangan yang
disebabkan oleh neutrofil, monosit, dan limfosit. Cairan eksudat yang terdiri dari bakteri,
fibrin dan leukosit terbentuk di ruangan subarakhnoid akan terkumpul di dalam cairan
serebrospinal sehingga dapat menyebabkan peningkatan intracranial. Hal ini akan
mengakibatkan jaringan otak akan menjadi infark. Resiko terjadinya meningitis
bakterialis meningkat pada penderita infeksi primer seperti infeksi telinga, infeksi
tenggorokan, miokarditis dan pasien pasca bedah.7

MENINGITIS TUBERKULOSA

Meningitis Tuberkulosa adalah peradangan selaput otak akibat komplikasi dari infeksi
tuberkulosa primer. Terjadinya meningitis bukanlah karna terinfeksinya selaput otak okle
M. Tuberkulosis secara langsung oleh pnyebaran hematogen tetapi biasanya sekunder
melalui pembentukan tuberkel-tuberkel pada permukaan otak, sum-sum tulang belakang
atau vertebra yang kemudian peceh ke dalam rongga subarakhniod yang akhirnya akan
memberikan gejala klinis terhadap penderita.2

MENINGITIS VIRUS

Suatu sindrom infeksi virus SSP yang akut dengan gejala rangsang meningeal,
pleiositosis dalam cairan serebrospinal, perjalanan penyakit tidak lama dan self limiting
disease tanpa didahului dengan demam untuk beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada
anak ialah demam dan nyeri kepala yang mendadak, nausea, vomiting, kesadaran
menurun, kaku kuduk, fotoofobia, parastesia serta mialgia. Gejala pada bayi tidak khas,
bayi mudah terangsang dan menjadi gelisah, mual dan muntah sering terjadi tapi kejang
jarang terjadi.24

MENINGITIS KRONIK

Meningitis kronik adalah suatu infeksi selaput otak (menings) yang berlangsung selama
satu bulan atau lebih. Beberapa organisme infeksius bisa menyerang otak dan tumbuh
didalam otak, kemudian secara bertahap menyebabkan gejala-gejala klinis pada pasien.
Penyebab yang paling sering adalah jamur crypococcus, cytomegalo virus, dan M.
Tuberkulosa. Gejalanya menyerupai meningitis bakterial namun perkembangan
penyakitnya berlangsung lambat, biasanya lebih dari beberapa minggu. Demam timbul
tidak sehebat meningitis bakterial. Sering terjadi nyeri kepala, linglug dan bahkan sakit
punggung.11

MENINGITIS NEONATUS

Meningitis pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh bakteri, virus jamur, atau protozoa.
Meningitis dapat dikaitkan dengan sepsis atau muncul sebagai infeksi lokal. Kebanyakan
kasus meningitis akibat dari penyebaran hematogen. Dapat juga melalui defek neural
tube, saluran sinus kongenital atau luka tembus waktu pengambilan sampel kulit kepala
janin. Radang otak dan infark septik sering terjadi pada meningitis bakteri. Pembentukan
abses, ventrikulitis, hydrocephalus.

GEJALA KLINIS

Pada neonatus gejala klinis berbeda dengan anak yang lebih besar dan dewasa. Umumnya
meningitis terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan,
kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare, biiasanya
disertai dengan septikemia dan pneumonitis. Kejang terjadi lebih kurang 44% anak
dengan penyebab H. Influenza, 25% oleh streptokokus pneumoniae, 78% sterptokokus,
dan 10% oleh meningokokus. 5 Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku kuduk, tanda
kernig, brudzinki dan fontanela menonjol untuk waktu awal belum muncul. Pada anak
yang lebih besar, permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang
bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot, nyeri punggung. Biasanya
dimulai dengan gangguan pernafasan bagian atas.

10 Gejala klinis jika dibagi menurut mur tercantum seperti dibawah ini. Pada neonatus :

Gejala tidak khas


Demam kadang-kadang

tampak malas

lemah

tidak mau minum,

muntah

kesadaran menurun

Ubun-ubun besar kadang cembung

Pernapasan tidak teratur

Pada anak umur 2 bulan – 2 tahun Gambaran klasik tidak tampak :

Demam, muntah, gelisah dan kejang berulang Kadang “high pitched cry”

Pada anak > 2 tahun Demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala , Kejang, Gangguan
kesadaran, Tanda-tanda rangsang meningeal ada.

DIAGNOSIS

Adanya gejala-gejala seperti panas yang mendadak yang tidak diketahui etiologinya ,
letargi, muntah, kejang dan gejala lainnya harus dipikirkan kemungkinan meningitis.
Diagnosis pasti untuk meningitis mutlak harus dengan pemeriksaan cairan serebrospinal
dengan pungsi lumbal. Namun jika terdapat tanda peningkatan intra kranial berupa
kesadaran menurun, sakit kepala, papil edem dan muntah maka harus penggunaan pungsi
lumbal harus dengan hati-hati atau tidak sama sekali, karena akan menyebabkan herniasi
serebelum dan batang otak akibat dekompresi dibawa foramen magnum.

Pada meningitis bakterial stadium akut terdapat leukosit polimorfonuklear. Jumlah sel
berkisar antara 1.000-10.000 dan pada kasus tertentu bisa mencapai 100.000/mm3 , dapat
disertai sedikit eritrosit. Bila jumlah sel di atas 50.000 mm3 maka kemungkinan abses
otak yang pecah dan masuk ke dalam sistem ventrikulus. Pada meningitis tuberkulosa
didapatkan CSF yang jernih kadang-kadang sedikit keruh. Bila CSF didiamkan maka
akan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-
500/ml. Tes tuberkulin dilakukan pada bayi dan anak untuk memastikan meningitis
tuberkulosa.

BANDING

Meningitis meningokokus harus dibedakan dengan penyebab utama lainya pada anak,
yaitu haemophilus influenza dan streptokokus dapat ditegakkan. Bila rash pada anak
tidak didapatkan, diagnosis harus didasarkan pada pewarnaan gram dari CSF dan
pemeriksaan laboratorium lainnya. Pada keaadaan non epidemic, beberapa infeksi viral
dan rickketsia harus dipertimbangkan dalam defferensial diagnosis. Rash dan arthralgia
didapatkan pada infeksi rubella, pada infeksi picona virus (terutama coxsackie dan echo
virus) dapat timbul rash dan sering menyebabkan meningitis aseptik. Leptospirosis
mempunyai kemiripin dengan gambaran klinis dari infeksi meningokokus.5

Terdapat infeksi bakteri yang menyerupai infeksi meningokokus. Infeksi genokokus


bakterimia pada umumnya lebih ringan dibandingkan dengan meningokokus.
Karakteristik dari infeksi genokokus barupa erupsi makulopapular dan demam, namun
gambaran purpura dan kolaps tidak ditemukan. Infeksi moraella urethralis dapat
menyebabkan febris, erupsi kulit dan meningitis.5

PENATALAKSANAAN

Meningitis termasuk penyakit gawat darurat, karena itu penderita harus menginap di
rumah sakit untuk perawatan dan pengobatan intensif. Penderita perlu istirahat mutlak
dan apabila infeksi cukup berat maka penderita perlu dirawat diruang isolasi. Penderita
dengan demam dan renjatan atau koma harus dirawat intensif. Fungsi respirasi dan
kebutuhan gizi dan cairan harus dipantau dengan ketat. Apabila telah ditegakkan
diagnosis melalui biakan atau kultur CSF yang telah diambil, maka terapi dengan
antibiotik harus segera diberikan. Tetapi untuk terapi permulaan diberikan ampicilin
dengan gentamicin atau aminoglikosida lainnya melalui inra vena atau intra muscular.
Pemilihan terhadap aminoglikosida dipengaruhi oleh tempat infeksi didapat dan tempat
asal kuman enterik gram negatif ditemukan, yaitu apakah di ruang rawat neonatus atau di
ruang rawat neonatus intensif.infeksi gram negatif yang didapat dari ibu atau masyarakat
sekitarnya sensitif terhadap kinamicin, sedangkan infeksi yang didapat di ruang rawat
intensif lebih sensitif terhadap gentamicin. Pengobatan lesi kulit yang nekrotik dan
diduga disebabkan oleh pseudomonas adalah dengan tikarsilin dan gentamicin.10

Sesudah diketahui bakteri penyebab dari meningitis dengan uji sensitifitas maka
pengobatan harus segera diberikan. Sebagan besar kuman gram negatif dan enterokokus
harus diberikan terapi kombinasi penisilin dengan aminoglikosida, karena kedua obat ini
bekerja secara sinergis.10

Terapi sepsis harus diberikan selama 10-14 hari atau 5-7 hari sesudah tampak tanda
perbaikan kelinik dan tidak disertai oleh adanya abses atau kerusakan jaringan yang luas.
Biakan darah yang dilakukan 24-48 jam sesudah pengobatan harus negatif. Apabila
biakan positif atau ada abses yang tersembunyi, maka terapi harus diganti. Terapi
meningitis diberikan selama tiga minggu. Pengobatan yang lebih lama mungkin
diperlukan apabila perbaikan klinis lambat atau hasil lab yang tidak membaik.10
Disamping pengobatan dengan antibiotik, diperlukan juga terapi penunjang seperti
pemberian cairan dan elektrolit, dan bantuan ventilasi.10

KOMPLIKASI

Komplikasi yang biasanya timbul berhubungan dengan proses inflamasi pada menings
dan pembulu dara serebral berupa kejang, parese nervus kranialis, lesi serebri fokal, dan
hidrosefalus. Dan komplikasi yang disebabkan oleh bakteri meningokokus pada organ
tubuh lainnya seperti infeksi okular, arthritis, purpura, pericarditis, endicarditis,
myocarditis, orchitis, eepydidimiti, albuminuria atau hematuria dan perdarahan adrenal.
DIC dapat terjadi sebagai komplikasi dari meningitis. Komplikasi dapat pula terjadi
karena infeksi pada saluran napas bagian atas, telinga tengah dan paru-paru.
PROGNOSIS

Angka mortalitas pada kasus yang tidak diobati sangat bervariasi tergantung daerah
endemik, biasanya berkisar antara 50-90%. Dengan 9 terapai saat ini, angka mortalitas
sekitar 10% dan insiden dari kompikasi dan sequelle rendah. Faktor yang mempengaruhi
prognosis adalah usia pasien, bakterimia, kecepatanterapi, komplikasi dan keadaan umum
dari pasien sendiri. Kejjadian fatal rendah terjadi pada kelompok usia antara 3- 10 tahun.
Angka mortalitas tiggi didapatkan pada infant, pasien dewasa dengan keadaan umum
yang buruk dan pasien dengan perdarahan adrenal yang ekstensif.

PENCEGAHAN

Imunisasi Vaksin meningokokus sangat penting untuk epidemis controling di negara yang
selalu terdapat infeksi meningokokus grup A, dengan epidemic setiap beberapa tahun.
Imunitas yang didapat tidak bertahan selamanya dan akan berkurang dalam 3-5 tahun
setelah vaksinasi. Polisakarida grup C menghasilkan respon imun yang lebih rendah pada
anak dibawah usia 2 tahun. Imunoprofilaksis terhadap infeksi meningokokus
menggunakan vaksin polisakarida kuadrivalent (serogrup A, C, Y dan W 135). Pada bayi,
hanya komponen vaksin meningokokus grup A yang menghasilkan pritektif antibodi.
Vaksinasi hanya direkomendasikan untuk individu dengan resiko tinggi, termasuk
pengunjung negara dengan penyakit endemik atau epidemik. Pada negara berkembang,
penyebab infeksi meningokokus adalah grup B. Kapsul polisakarida dari organisme ini
mempunyai imunogenisitas yang sangat rendah, sebab antibodi anti-B polisakarida tidak
bersifat bakterisidal didalam komplemen manusia. Untuk meningkatkan imunogenisitas
dari polisakarida serogrup B, telah dikembangkan suatu polisakarida protein konyugat
vaksin yang serupa dengan protein konyugat vaksin H. Influenza tipe B.5

Kemoprofilaksis

Resiko dari meningitis pada kontak keluarga sekitar 4 : 100, kurang lebih 500-1000 kali
lipat dibandingkan dengan populasi secara umum dan resiko akan meningkat pada anak-
anak. Resiko untuk terkena meningitis menjadi tinggi segera setelah kontak dengan
penderita, diman kebanyakan kasus timbul pada minggu pertama setelah kontak, paling
lambat dua bulan. Pada kasus degan penderita, secepatnya harus diberikan
kemoprofilaksis. Kontak didefinisikan sebagai keluarga, perawat yang kontak dengan
sekret oral dari pasien dan petugas kesehatan yang melakukan tindakan resusitasi mouth
to mouth secara langsung.5

RESUME

Pasien seorang anak perempuan datang ke IGD RSU Kardinah dengan keluarga pada tanggal 26
Januari 2018 dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak satu jam SMRS. Badan pasien terasa
lemas, tidak bisa berjalan dan bicara meracau serta anak tampak tidak tenang seperti gelisah sejak satu
hari SMRS.

Ayah pasien mengatakan anak muntah kurang lebih 5x sejak 3 jam SMRS, sakit kepala
bersamaan dengan badan yang terasa lemas. Demam sejak 3 minggu SMRS demam naik turun, demam
turun jika minum obat.

Ayah pasien juga mengatakan anak batuk berdahak sudah 2 bulan sampai sekarang, batuk terus
menerus tidak dipengaruhi oleh waktu, batuk memberat saat malam hari dan batuk berdarah di sangkal.
Anak mengatakan sering berkeringat saat sedang tidur atau malam hari. Ayah pasien juga mengatakan
berat badan anak menurun akhir-akhir bulan ini kira-kira 3 bulan kurang lebih 5kg dan anak sulit untuk
makan semenjak batuk-batuk (2 bulan) anak hanya mau makan indomie atau cemilan saja, makan nasi
terkadang 1-2x per hari. Anak kejang dan trauma kepala disangkal.

Satu setengah bulan lalu pasien di bawa berobat ke dokter umum karena batuk namun tidak
membaik, lalu pasien kembali berobat lagi setelah 2 minggu berobat karena batuk tidak membaik dan
masih tetap tidak membaik. Kemudian 3 minggu lalu pasien berobat ke puskesmas karena demam dan
tidak membaik. Satu minggu terakhir sebelum ke RSU Kardinah anak berobat ke puskesmas lagi lalu di
sarankan untuk foto roentgen, setelah hasil keluar anak di beri obat oleh dokter yang membuat BAK
berwarna merah.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien Compos mentis dan keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, tampak pucat, Tampak kurus, tampak lemas, dengan
Nadi : 98 x/m, reguler, kuat, isi cukup , nafas 20 x/m, regular, Suhu : 39.6 oC. berat badan: 30 kg, tinggi
badan: 137 cm. pada pemeriksaan paru terdengar suara rhonki dikedua lapang paru. Dan pada
pemeriksaan rangsang meningeal di dapatkan kaku kuduk, lasegue, brudziski 1 positif dan kernig sign
positif.

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah terbaru pasien didapatkan penurunan kadar
hemoglobin, natrium. sedangkan untuk foto thoraks didapat kesan TB Milier.

VII. MASALAH

Penurunan kesadaran
Lemas dan tidak bisa berjalan
Muntah
Sakit kepala
Demam
Batuk
Gizi kurang

VIII. DIAGNOSA KERJA


- TB Milier
- Meningitis

IX. DIAGNOSIS BANDING

 Batuk dan demam

- TB Paru

- Bronchopneumonia

- Bronchitis
- Bronchiolitis

 Penurunan kesadaran, lemas, muntah, sakit kepala

- Meningitis

- Meningitis tuberkulosis

- Meningitis bakterial

- Meningitis virus

X. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa:

 Infus KN3B 20 tpm


 Inj. Ondancetron 3 x ½
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
 Inj. Dexametason 3 x 1 mg
 Isoniazid 1 x 300 mg
 Rifampicin 1 x 450 mg
 Pirazinamid 1 x 500 mg
 Etambutol 1 x 500 mg
 Vit B6 1 x 10
Non-medikamentosa

 Rawat inap untuk monitor gejala


 Awasi keadaan umum, dan tanda vital
 Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan
komplikasi yang mungkin dapat terjadi.

XI. PROGNOSA

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad malam


Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

RESUME

Pasien seorang anak perempuan datang ke IGD RSU Kardinah dengan keluarga pada tanggal 26
Januari 2018 dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak satu jam SMRS. Badan pasien terasa
lemas, tidak bisa berjalan dan bicara meracau serta anak tampak tidak tenang seperti gelisah sejak satu
hari SMRS.

Ayah pasien mengatakan anak muntah kurang lebih 5x sejak 3 jam SMRS, sakit kepala
bersamaan dengan badan yang terasa lemas. Demam sejak 3 minggu SMRS demam naik turun, demam
turun jika minum obat.

Ayah pasien juga mengatakan anak batuk berdahak sudah 2 bulan sampai sekarang, batuk terus
menerus tidak dipengaruhi oleh waktu, batuk memberat saat malam hari dan batuk berdarah di sangkal.
Anak mengatakan sering berkeringat saat sedang tidur atau malam hari. Ayah pasien juga mengatakan
berat badan anak menurun akhir-akhir bulan ini kira-kira 3 bulan kurang lebih 5kg dan anak sulit untuk
makan semenjak batuk-batuk (2 bulan) anak hanya mau makan indomie atau cemilan saja, makan nasi
terkadang 1-2x per hari. Anak kejang dan trauma kepala disangkal.

Satu setengah bulan lalu pasien di bawa berobat ke dokter umum karena batuk namun tidak
membaik, lalu pasien kembali berobat lagi setelah 2 minggu berobat karena batuk tidak membaik dan
masih tetap tidak membaik. Kemudian 3 minggu lalu pasien berobat ke puskesmas karena demam dan
tidak membaik. Satu minggu terakhir sebelum ke RSU Kardinah anak berobat ke puskesmas lagi lalu di
sarankan untuk foto roentgen, setelah hasil keluar anak di beri obat oleh dokter yang membuat BAK
berwarna merah.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien Compos mentis dan keadaan umum pasien
tampak sakit sedang, tampak pucat, Tampak kurus, tampak lemas, dengan

Nadi : 98 x/m, reguler, kuat, isi cukup , nafas 20 x/m, regular, Suhu : 39.6 oC. berat badan: 30 kg, tinggi
badan: 137 cm. pada pemeriksaan paru terdengar suara rhonki dikedua lapang paru. Dan pada
pemeriksaan rangsang meningeal di dapatkan kaku kuduk, lasegue, brudziski 1 positif dan kernig sign
positif.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah terbaru pasien didapatkan penurunan kadar
hemoglobin, natrium. sedangkan untuk foto thoraks didapat kesan TB Milier.

VII. MASALAH

Penurunan kesadaran
Lemas dan tidak bisa berjalan
Muntah
Sakit kepala
Demam
Batuk
Gizi kurang

VIII. DIAGNOSA KERJA


- TB Milier
- Meningitis

IX. DIAGNOSIS BANDING

 Batuk dan demam

- TB Paru

- Bronchopneumonia

- Bronchitis

- Bronchiolitis

 Penurunan kesadaran, lemas, muntah, sakit kepala

- Meningitis
- Meningitis tuberkulosis

- Meningitis bakterial

- Meningitis virus

X. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa:

 Infus KN3B 20 tpm


 Inj. Ondancetron 3 x ½
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 g
 Inj. Dexametason 3 x 1 mg
 Isoniazid 1 x 300 mg
 Rifampicin 1 x 450 mg
 Pirazinamid 1 x 500 mg
 Etambutol 1 x 500 mg
 Vit B6 1 x 10
Non-medikamentosa

 Rawat inap untuk monitor gejala


 Awasi keadaan umum, dan tanda vital
 Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan
komplikasi yang mungkin dapat terjadi.

XI. PROGNOSA

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam


ANALISA KASUS

Diagnosis asma bronkiale diambil berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang


dilakukan.

Masalah Interpretasi
Anamnesis
 Anak laki-laki berusia 13 tahun dengan Menurut Global Initiative for Asthma (GINA),
keluhan sesak nafas terus menerus sejak 1 asma adalah gangguan inflamasi kronik pada
minggu SMRS. saluran napas dengan berbagai sel yang
 Sesak sering kambuh saat cuaca dingin, berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan
sehabis mengkonsumsi makanan yang limfosit T.
banyak mengandung pemanis buatan, atau
Menurut Pedoman Nasional Asma Anak
setelah beraktivitas yang berat.
 Dada terasa nyeri seperti tertindih saat sesak (PNAA) :
Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk,
kambuh.
 Ibu pasien mengatakan sesak sering muncul. wheezing, sesak napas, dada tertekan yang
Bisa sampai 5 kali terjadi sesak setiap timbul secara kronik dan atau berulang,
bulannya. reversibel, cenderung memberat pada malam
 Pasien memiliki alergi dingin, debu dan atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada
makanan yang mengandung banyak pencetus.
pemanis buatan.
 Riwayat TB paru saat berusia 1,5 tahun. Faktor pencetus :
Pengobatan selama 2 tahun dan tuntas.  Keturunan
 Pasien menderita asma sejak usia 5 tahun.  Alergen (kutu debu, kecoak, binatang,
 Ayah pasien adalah seorang perokok aktif dan polen/tepung sari)
 Kondisi rumah : jendela jarang dibuka,  Makanan (susu, telur, udang, kepiting,
cahaya matahari tidak dapat masuk dengan ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
baik sehingga rumah terasa lembab. Rumah jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan
tidak disapu setiap hari. pewarna makanan)
Pemeriksaan Fisik  Bahan iritan (parfum, household spray,
Kesadaran : compos mentis, tampak sakit
asap rokok, cat, sulfur,dll)
ringan  Obat-obatan tertentu (golongan beta
Tanda Vital
blocker seperti aspirin)
- TD : 120/80 mmHg  Stress/gangguan emosi
- Nadi : 98 kali, reguler, isi dan  Polusi udara
ketegangan cukup  Cuaca
- Laju nafas : 24 x/menit  Aktivitas fisik
- Suhu : 37.0 0 C (aksila)  Riwayat penyakit infeksi saluran
- SpO2 : 98%
pernapasan

Paru :
Pemeriksaan fisik :
 Inspeksi : Bentuk dada simetris
Pada auskultasi didapatkan mengi.
kanan-kiri. Retraksi (-). Gerak napas
simetris, tidak ada hemithotax yang
tertinggal. Penunjang :
 Palpasi : Simetris, tidak ada Gambaran radiologik paru biasanya tidak
hemithorax yang tertinggal tampak kelainan atau hiperairasi.
 Perkusi : Sonor di kedua
hemithorax
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+),
rhonki (-/-), wheezing (+/+).
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin :
 Eosinofil ↑

Rontgen thorax :
Gambaran kedua lapang paru normal
II. DAFTAR MASALAH
 Sesak nafas
 Wheezing kedua lapang paru
 Riwayat TB paru usia 1,5 tahun dan pengobatan tuntas
 Lingkungan tempat tinggal sirkulasi dan ventilasi tidak baik
 Pasien memiliki alergi dingin, debu dan makanan yang mengandung banyak pemanis
buatan.
 Menderita asma sejak usia 5 tahun
 Ayah seorang perokok aktif

III. DIAGNOSIS BANDING


 Berdasarkan kekerapan timbul gejala
- Persisten berat
- Persisten sedang
- Persisten ringan
- Intermiten
 Berdasarkan keadaan saat ini
- Serangan sedang
- Serangan berat
Asma bronkial - Serangan ringan
- Gejala
- Tanpa gejala
- Ancaman gagal napas
 Berdasarkan derajat kendali
- Tidak terkendali
- Terkendali sebagian
- Terkendali penuh dengan obat pengendali
- Terkendali penuh tanpa obat pengendali
 Baik
Status gizi  Kurang
 Buruk

IV. DIAGNOSIS KERJA


 Asma bronkiale persisten sedang dengan derajat serangan ringan, tidak terkendali
 Gizi Normal
V. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
 Nebulizer combivent + NaCl / 3 jam
 Infus RL 15 tpm
 Inj. Ranitidine 2x1/2 amp
 Salbutamol 3x1/2 cth
 Sanmol 3x1/2 cth
 Dexamethason 1 amp

b. Non-medikamentosa
 Pengawasan keadaan umum dan tanda vital
 Edukasi :
- Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan komplikasi
yang mungkin dapat terjadi.
- Hindari faktor pencetus.
- Menjelaskan mengenai aktivitas yang boleh dan perlu dikurangi pada pasien
 O2 nasal 2 liter

VI. PROGNOSIS

 Quo ad vitam : dubia ad bonam


 Quo ad santionam : dubia
 Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

VII. SARAN PEMERIKSAAN


 Uji faal paru
 Uji tuberculin
 Uji provokasi bronkus
 Uji imunologi
Definisi
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya, lebih dari 200 gram atau 200
ml/24 jam. Menurut WHO, diare adalah buang air besar encer lebih dari 3x sehari baik disertai
lendir dan darah maupun tidak.1 Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari
3 kali per hari, disertai dengan perubahan konsitensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir
dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu

Epidemiologi
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.Insiden tetinggi
terjadi pada kelompok umur 6 – 11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini
menggambarakan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi,
pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan
tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan enteropatogen
merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang
membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan pada orang
dewasa.

Klasifikasi
Berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu :

a. Diare Akut

Diare akut yaitu, diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang
dari 7 hari).Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama
kematian bagi penderita diare.Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak 3
kali atau lebih perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau
tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari dua minggu.Pada bayi yang minum
ASI, sering frekuensi buang air besarnya lebih dari 3-4 kali per hari, keadaan ini tidak
disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis. Selama berat badan bayi meningkat normal,
hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa sementara akibat
belum sempurnanya perkembangan saluran cerna.

b. Diare persisten
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus.Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan
metabolisme.

c. Disentri

Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah
anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan kemungkinan terjadinnya
komplikasi pada mukosa.

d. Diare dengan masalah lain

Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten) mungkin juga disertai
dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

Etiologi
a. Infeksi
1. Virus (30–40%) : rotavirus, norwalk virus, norovirus, adenovirus, astrovirus,
cytomegalovirus, coronaviruses.
2. Bakteri dan parasit(20-30%) : vibrio cholerae, salmonella, clostridium difficile,
shigella, e. coli, giardia, entamoeba
3. Helminth: Strongyloides
4. Infeksi lain: Otitis media, sepsis, penyakit menular seksual.

b. Non infeksi
1. Diare osmotik: Pada diare ini natrium tinja rendah (30-40 mEq/L), diare air, disebabkan
kerusakan microvili usus akibat virus. Virus yang menginfeksi lapisan epitelium diusus
halus menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sehingga cairan dan makanan
akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus
sehinggan cairan dan makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus,
menimbulkan diare osmotik.(27)
2. Diare sekeretorik: Pada diare ini natrium tinja tinggi (60-120 mEq/L), diare air,
disebabkan laksans yang meningkatkan sekresi usus.
3. Penyebab umum : obstruksi usus, asupan toksik, keadaan inflamatorik dan alergik
( intoleransi laktosa, spru seliak, efek samping obat).
Diare akut adalah salah satu penyakit yang paling umum pada bayi dan anak-anak di
seluruh dunia.Adenovirus, rotavirus dan norovirus, merupakan patogen penyebab penting diare
masa kanak-kanak.Biasanya merupakan penyebab 3,2-12,5% dari kasus diare akut, dan lebih
tinggi di negara-negara berkembang dibandingkan di negara maju.

Rotavirus tetap menjadi penyebab paling umum dari diare akut pada anak diseluruh
dunia, yang menyebabkan sekitar 453 000 kematian dan lebih dari 2 juta dirawat di rumah sakit
setiap tahun pada anak-anak kurang dari 5 tahun. Meskipun perbaikan dalam sanitasi dan air
bersih, paparan rotavirus selama 2 tahun pertama kehidupan tetap tinggi. (26) Rotavirus adalahvirus
yang paling sering menyebabkan diare akut, dan peringkat kedua sebagai penyebab diare akut
adalah bakteri yaitu Enteroaggregative escherichia coli (EAEC). (7) EAEC diidentifikasi dengan
HEp-2 cell adherence assay dikaitkan dengan penyakit diare akut pada anak-anak yang berada di
negara berkembang dan daerah industri. Daerah geografis di mana EAEC itu paling sering
diidentifikasi pada anak dengan diare akut yaitu di Belgrade, Yugoslavia (12 [75%] dari 16
orang) dan Fortaleza, Brasil (24 [46%] dari 52) dan New Orleans, Louisiana (5 [24%] dari 21).

Rotavirus adalah virus RNA yang tergolong dalam famili Reoviridae.Penularan rotavirus
terjadi melalui faecal-oral. Rotavirus akan menginfeksi dan merusak sel-sel yang membatasi usus
halus dan menyebabkan diare cair akut dengan masa inkubasi 24-72 jam. Gejala yang timbul
bervariasi dari ringan sampai berat, didahului oleh muntah -muntah yang diikuti 4-8 hari diare
hebat yang dapat menyebabkan dehidrasi berat dan berujung pada kematian.Mekanisme
terjadinya diare oleh infeksi rotavirus meliputi malabsorbsi akibat kerusakan sel usus (enterosit),
toksin, perangsangan saraf enterik serta adanya iskemik pada vilus. Rotavirus yang tidak
ternetralkan oleh asam lambung akan masuk ke dalam bagian proksimal usus. Rotavirus
kemudian akan masuk ke sel epitel dengan masa inkubasi 18-36 jam, dimana pada saat ini virus
akan menghasilkan enterotoksin NSP-4. Enterotoksin ini akan menyebabkan kerusakan
permukaan epitel pada vili, menurunkan sekresi enzim pencernaan usus halus, menurunkan
aktivitas Na+ kotransporter serta menstimulasi syaraf enterik yang menyebabkan diare. Kami
menemukan diare rotavirus menyerang 78,4% kasus berumur kurang dari 2 tahun dengan
prevalensi tertinggi pada kelompok umur 6-23 bulan (65,5%). Anak umur 6-23 bulan rentan
terkena infeksi rotavirus karena kadar antibodi ibu yang diperoleh melalui ASI mulai menurun
dan mulai memasuki fase oral ketika anak suka memasukkan semua benda yang dipegang ke
dalam mulut.

Faktor Resiko
Faktor penyakit diare adalah sebagai berikut :

1. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare

Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui
makanan atau minuman yang tercemar tinja penderita.

2. Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare

Faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit dan lamanya
diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI eksklusif, kurang gizi/malnitrisi,
infeksi campak, gangguan imunitas(misal: HIV).

3. Faktor lingkungan

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Faktor yang
dominan, yaitu ketersediaan air bersih dan sarana pembuangan tinja. Apabila lingkungan
tidak sehat karena tercemar kuman maka berisiko terjadinya diare pada anak.

Anak-anak dari rumah tangga yang tidak memilik sumber air minum bersih 2 kali lebih
berisiko menderita diare dari pada rumah tangga yang memiliki sumber air bersih. Demikian
pula, anak-anak dari rumah tangga yang tidak memiliki sarana pembuangan tinja berisiko 6
kali menderita diare dari pada rumah tangga yang memiliki sarana pembuangan tinja.

4. Faktor Sosiodemografi

Faktor sosiodemografi meliputi umur ibu, tingkat pendidikan ibu, dan jenis pekerjaan ibu.

a. Umur ibu

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan


epidemiologi.Angka-angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua keadaan
menunjukkan hubungan dengan umur.
b. Tingkat pendidikan

Jenjang pendidikan memegang peranan cukup penting dalam kesehatan


masyarakat.Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan mereka sulit diberi tahu
mengenai pentingnya higyene perorangan dan sanitasi lingkungan untuk mencegah
terjangkitnya penyakit menular, diantaranya diare.Dengan sulitnya mereka menerima
penyuluhan, menyebabkan mereka tidak peduli terhadap upaya pencegahan penyakit
menular.Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada
tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status
kesehatan yang lebih baik.Pada perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin
rendah angka kematian bayi dan kematian ibu.

Ibu dengan pendidikan tinggi dianggap memiliki kesempatan yang lebih baik untuk
mendapatkan informasi dari pada ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Ibu
dengan status pendidikan rendah mungkin tidak memiliki pengetahuan tentang dampak
faktor risiko potensial, seperti pasokan air bersih, pemanfaatan jamban, kebersihan, dan
sanitasi, pada terjadinya diare Oleh karena itu, penelitian menunjukkan bahwa lebih tinggi
prevalensi diare (67,5%) dalam rumah tangga dengan ibu dengan tingkat pendidikan rendah.
(13)

c. Jenis pekerjaan

Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status sosial,


pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera atau masalah kesehatan dalam suatu
kelompok populasi.Pekerjaan juga merupakan suatu determinan risiko dan determinan
terpapar yang khusus dalam bidang pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor status
kesehatan dan kondisi tempat suatu populasi bekerja.

Pekerjaan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan diare pada anak. Anak-anak dari
ibu yang memiliki pekerjaan sekitar dua kali lebih mungkin untuk menderita diare
dibandingkan dengan anak dari ibu yang tidak bekerja.(19)

5. Faktor perilaku
Faktor perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan
risiko terjadinya diare adalah sebagai berikut :

a. Pemberian ASI eksklusif

ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare.Tidak memberikan ASI


eksklusif secara penuh selama 4 sampai 6 bulan.Pada bayi yang tidak diberi ASI risiko
untuk menderita diare lebih besar dari pada bayi yang diberi ASI penuh dan kemungkinan
menderita dehidrasi berat juga lebih besar.

ASI merupakan makanan ideal yang memenuhi persyaratan gizi bayi muda,
didalam ASI terdapat antibodi untuk melindungi mereka terhadap penyakit menular dan
mengurangi eksposur mereka terhadap makanan dan air yang terkontaminasi. kelanjutan
menyusui selama 13 bulan atau lebih secara signifikan mengurangi kejadian penyakit
diare. Risiko kematian balita yang menderita diare adalah 2.5 kali dengan pemberian
ASI, dan 9 kali lebih besar pada anak yang tidak diberikan ASI.

b. Pengunaan air bersih

Air bisa tercemar bisa dari sumbernya atau pada saat disimpan
dirumah.Pencemaran dirumah dapat terjadi kalau tempat peyimpanan tidak tertutup atau
tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat
penyimpanan.Untuk mengurangi risiko terhadap diare yaitu dengan menggunakan air
yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi.

Sebagian besar negara-negara berkembang memiliki lingkungan yang


terkontaminasi dengan penyakit menular, di mana orang-orang, termasuk bayi dan anak
kecil, yang terkena air berpotensi terkontaminasi dengan patogen enterik, termasuk yang
menyebabkan penyakit diare. Kurangnya sanitasi dan praktek-praktek higienis
merupakan kontributor penting untuk penyakit diare, dan perilaku higienis terendah
terdapat di negara-negara berkembang, khususnya di Asia dan Afrika.Lebih dari 1 miliar
orang saat ini tidak memiliki akses ke air bersih.Diperkirakan bahwa intervensi dalam
penyediaan air, sanitasi dan kebersihan dapat mengurangi kejadian diare sebesar
seperempat (25%) dan kematian anak sebesar 65%.
c. Kebiasaan cuci tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam


penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama
sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi makan anak
dan sesudah makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare.

Mencuci tangan dengan sabun yang sesuai adalah intervensi yang kuat yang telah
diamati untuk mengurangi insiden kedua diare dan pneumonia oleh setidaknya 50%, dan
efektif bila dipraktekkan di lingkungan yang terkontaminasi.

d. Pembuangan tinja bayi

Membuang tinja (termasuk tinja bayi) harus dilakukan secara bersih dan
benar.Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi tidaklah berbahaya, padahal
sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar.Hasil penelitian
menunjukkan tentang penurunan 60% diare anak di rumah tangga yang membuang tinja
anak dengan cara yang aman daripada anak-anak dari rumah tangga yang dibuang tinja
dengan cara yang tidak aman.

Patofisiologi
Ada 2 prinsip meaknisme terjadinya diare cair, yaitu sekretorik dan osmotik.Meskipun
dapat melalui kedua mekanisme tersebut, diare sekretorik lebih sering ditemukan pada infeksi
saluran cerna.begitu pula kedua mekanisme tersebut dapat terjadi bersamaan pada satu anak.

 Diare Osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit
dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dengan cairan
ekstrasel. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus
halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertoni dan menyebabkan hiperosmolaritas.
Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus
jejunum yang bersifat permeable, air akan mengalir kea rah jejunum, sehingga akan
banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen,
dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na
normal. Sebagian kecil cairan ini akan dibawa kembali, akan tetapi lainya akan tetap
tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukosa,
sucrose, lactose, maltose di segmen ileum dan melebihi kemampuan absorbs kolon,
sehinga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dan jus buah, atau bahan yang
mengandung sorbitol dalam jumlah berlabihan akan memberikan dampak yang sama.

 Diare Sekretorik
Diare sektorik disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang
terjadi akibat gangguan absorbs natrium oleh vilus saluran cerna, sedangkan sekresi
klorida tetap berlangsung atau meningkat. Keadaan ini menyebabkan air dan elektrolit
keluar dari tubuh sebagai tinja cair. Diare sekretorik ditemukan diare yang disebabkan
oleh infeksi bakteri akbat rangsangan pada mukosa usus halus oleh toksin E.coli atauV.
cholera.01.7
Osmolaritas tinja diare sekretorik isoosmolar terhadap plasma.beda osmotik dapat
dihitung dengan mengukur kadar elektrolit tinja. Karena Natrium ( Na+) dan kalium (K+)
merupakan kation utama dalam tinja, osmolalitas diperkirakan dengan mengalikan
jumlah kadar Na + dan K+ dalam tinja dengan angka 2. Jika diasumsikan osmolalitas
tinja konstan 290 mOsm/L pada tinja diare, maka perbedaan osmotic 290-2 (Na++K+).
Pada diare osmotik, tinja mempunyai kadar Na+ rendah (<50 mEq/L)dan beda
osmotiknya bertambah besar (>160 mOsm/L). Pada diare sekretorik tinja diare
mempunyai kadar Na tinggi (>90 mEq/L), dan perbedaan osmotiknya kurang dari 20
mOsm/L.6

Karakteristik Osmotik Sekretorik


Volume tinja <200 ml/hari >200 ml/hari
Puasa Diare berhenti Diare berlanjut
Na+ tinja <70 mEq/L >70 mEq/L
Reduksi (+) (-)
pH tinja <5 >6

Tabel 3. Perbedaan Diare Osmotik dan Sekretorik

Dikenal bahan-bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri


dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk
dihidroxy, serta asam lemak rantai panjang. Toksin penyebab diare ini terutama bekerja
dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP, atau Ca++ yang
selanjutnya akan mengaktifasi protein kinasi. Pengaktifan protein kinase akan
menyebabkan fosforilase membrane protein sehingga mengakibatkan perubahan saluran
ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Disisi lain terjadi peningkatan aktivitas
pompa natrium, dan natrium masuk ke dalam lumen usus bersama Cl-

 Gangguan Motilitas
Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan
motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi.Baik peningkatan ataupun penurunan
motilitas keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan
bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau
nutrisi akan meningkatkan absorbsi, Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan
statis intestinal bearkibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare
akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi.Watery diare dapat disebabkan karena
hipermotilitas pada kasus kolon irritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin
merupakan penyebab diare pada tirotoksikosis, malabsorbsi asam empedu, dan berbagai
peyakit lain.

 Proses Inflamasi di Usus Halus dan Kolon

Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik
dalam pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air, elektrolit, mucus, protein dan
seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare
akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare laina seprti diare osmotik dan
sekretorik.

Manifestasi Klinis
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila
terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologic.

A. Gejala gastrointestinal berupa :


Diare, kram perut, dan muntah.Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung
pada penyebabnya.
B. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa :
paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat), hipotoni dan
kelemahan otot (C. botulinum).

Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab.

Gejala Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera


klinik
Masa tunas 17-72 jam 24-48 jam 6-72 jam 6-72 jam 6-72 jam 47-72 jam

Panas + ++ ++ - ++ -
Mual Sering Jarang Sering + - -
muntah
Nyeri perut Tenesmus Tenesmus Tenesmus - Tenesmus Sering kramp
kramp kolik kramp
Nyeri kepala - + + - - -

Lamanya 5-7 hari > 7 hari 3-7 hari 2-3 hari variasi 3 hari
sakit

Sifat tinja
Volume Sedang Sedikit Sedikit Banyak Sedikit Banyak
Frekuensi 5-10 /hari > 10x/hari Sering sering Sering Terus menerus

Konsistensi Cair Lembek Lembek Cair Lembek Cair


sering
Darah - ± Kadang - + -

Diagnosis
 Anamnesis
Cara mendiagnosis pasien diare adalah dengan menentukan tiga hal berikut :
1) Persistensinya

2) Etiologi

3) Derajat dehidrasi.

Hal-hal ini dapat diketahui melalui anamnesa yang terperinci.

Untuk menentukan persistensinya, perlu ditanyakan kepada orang tua pasien,


sudah berapa lama pasien menderita diare.Apakah sudah lebih dari 14 hari atau belum,
sehingga nantinya dapat ditentukan apakah diare pada pasien termasuk diare akut atau
diare persisten.Hal ini berkaitan dengan tatalaksana diare yang berkaitan dengan penyulit
ataupun komplikasi dari diare tersebut.

Untuk menentukan etiologi, diagnosis klinis diare akut berdarah hanya


berdasarkan adanya darah yang dapat dilihat secara kasat mata pada tinja.Hal ini dapat
ditanyakan pada orang tua pasien maupun dilihat sendiri oleh dokter.Pada beberapa
episode Shigellosis, diare pada awalnya lebih cair dan menjadi berdarah setelah 1-2
hari.Diare cair ini dapat sangat berat dan menimbulkan dehidrasi.Seringkali disertai
demam, nyeri perut, nyeri pada rektum, dan tenesmus.

Untuk menentukan derajat dehidrasi dapat dilakukan dengan anamnesis yang


teliti, terutama pada asupan peroral, frekuensi miksi/urin, frekuensi serta volume tinja dan
muntah yang keluar.Tanyakan juga apakah pasien sudah pernah periksa dan apakah
pasien mengkonsumsi obat tertentu sebelumnya.

 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa hal-hal sebagai berikut : berat badan, suhu
tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu
dicari tanda-tanda untama dehidrasi seperti kesadaran, rasa haus dan turgor kulit
abdomen, serta tanda-tanda tambahan lainnya seperti ubun-ubun besar cekung atau tidak,
mata cowong atau tidak, ada atau tidaknya air mata, keadaan bibir, mukosa dan lidah. 2,3,4
Karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja makin lama makin
asam akibat banyaknya asam laktat yang terjadi dari pemecahan laktosa yang tidak dapat
diabsorpsi oleh usus.
Pernapasan yang cepat dan dalam merupakan indikasi adanya asidosis
metabolik.Bising usus yang lemah atau tidak ada dapat ditemukan pada keadaan
hipokalemi.Dilakukan juga pemeriksaan pada ekstremitas berupa capillary refill untuk
menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.

Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan :

Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003

Simptom Minimal atau tanpa Dehidrasi Ringan- Dehidrasi Berat,


dehidrasi, Sedang, Kehilangan Kehilangan BB > 9%
Kehilangan BB <3% BB 3%-9%
Kesadaran Baik Normal, lelah, Apatis, letargi, tidak
gelisah, irritable sadar
Denyut jantung Normal Normal-meningkat Takikardia,
bradikardia pada
kasus berat
Kualitas nadi Normal Normal-melemah Lemah, kecil, tak
teraba
Pernapasan Normal Normal-cepat Dalam
Mata Normal Sedikit cowong Sangat cowong
Air mata Ada Berkurang Tidak ada
Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering
Cubitan kulit Segera kembali Kembali < 2 detik Kembali > 2 detik
Capillary refill Normal Memanjang Memanjang, minimal
Ekstremitas Hangat Dingin Dingin, mottled,
sianotik
Kencing Normal Berkurang Minimal

Penentuan derajat dehidrasi berdasarkan MTBS (Managemen Terpadu Balita Sakit)

Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda DEHIDRASI BERAT


berikut :

Letargis atau tidak sadar.

Mata cekung

Tidak bisa minum atau malas minum.

Cubitan kulit perut kembalinya lambat.


Terdapat dua atau lebih dari tanda-tada
berikut :

Gelisah, rewel/marah.
DEHIDRASI RINGAN/SEDANG
Mata cekung.

Haus, minum dengan lahap.

Cubitan kulit di perut kembalinya lambat.


Tidak cukup tanda-tanda untuk
diklasifikasikan sebagai dehidrasi berat atau TANPA DEHIDRASI
ringan/sedang.

Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995

Penilaian A B C
Lihat :

Keadaan umum Baik, sadar. *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai atau


tidak sadar

Sangat cekung dan


Mata Normal Cekung
kering.

Sangat kering
Air mata Ada Tidak ada
Sangat kering
Mulut dan lidah Basah Kering
*Malas minum atau
Rasa haus Minum biasa, tidak *Haus, ingin minum tidak bisa minum
haus banyak
Periksa :

Turgor kulit Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat


lambat
Hasil pemeriksaan : Tanpa dehidrasi Dengan dehidrasi Dehidrasi berat bila
ringan-sedang bila ada1 tanda *
ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih
ditambah 1 atau lebih tanda lain.
tanda lain
Terapi : Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan tinja
o Makroskopis dan mikroskopis
o pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet elinitest, bila diduga
intoleransi gula.
o Bila perlu lakukan pemeriksaan biakan / uji resistensi.
b. Pemeriksaan Darah Lengkap untuk mengetahui adanya infeksi sitemik (diare yang
disebabkan parenteral)
c. Pemeriksaan Urine Lengkap untuk mengetahui adanya infeksi saluran kemih (diare yang
disebabkan parenteral)
d. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah dengan menentukan pH dan
cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah (bila
memungkinkan).
e. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
f. Pemeriksaan kadar elektrolit terutama natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam serum
(terutama bila ada kejang).

Tatalaksana
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana Pengobatan
diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan merujuk
pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai diterapkan pada pelayanan kesehatan.
Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi
usus dan menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu,
Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare
yang diderita anak baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu:

1. Rehidrasi

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut

3. ASI dan makanan tetap diteruskan

4. Antibiotik selektif

5. Edukasi orang tua

Rehidrasi
Diare karena virus tersebut tidak menyebakan kekurangan elektrolit seberat pada
disentri.Karena itu, para ahli diare mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat
osmolaritas yang lebih rendah.Osmolaritas larutan baru lebih mendekati osmolaritas plasma,
sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.

Berikut ini adalah tatalaksana rehidrasi sesuai dengan derajat dehidrasi :

Tatalaksana Rehidrasi pada Pasien Diare Tanpa Dehidrasi

RENCANA TERAPI A

UNTUK MENGOBATI DIARE DI RUMAH

(Pencegahan Dehidrasi)
GUNAKAN CARA INI UNTUK MENGAJARI IBU :

- Teruskan mengobati anak diare di rumah.


- Berikan terapi awal bila terkena diare.
MENERANGKAN EMPAT CARA TERAPI DIARE DI RUMAH

1. BERIKAN ANAK LEBIH BANYAK CAIRAN DARIPADA BIASANYA UNTUK


MENCEGAH DEHIDRASI

- Gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan, seperti oralit, makanan yang cair
(seperti sup, air tajin) dan kalau tidak ada air matang gunakan larutan oralit untuk anak,
seperti dijelaskan di bawah ( Catatan : jika anak berusia kurang dari 6 bulan dan belum
makan makanan padat, lebih baik diberi oralit dan air matang daripada makanan cair.
- Berikan larutan ini sebanyak anak mau, berikan jumlah larutan oralit seperti di bawah.
- Teruskan pemberian larutan ini hingga diare berhenti.

2. BERI TABLET ZINC

- Dosis zinc untuk anak-anak :


Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari.
Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari.
- Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anak telah sembuh dari
diare.
- Cara pemberian tablet zinc :
Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI atau oralit. Untuk
anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan di dalam air matang
atau oralit.

3. BERI ANAK MAKANAN UNTUK MENCEGAH KURANG GIZI

- Teruskan ASI.
- Bila anak tidak mendapatkan ASI, berikan susu yang biasa diberikan. Untuk anak
kurang dari 6 bulan atau belum mendapat makanan padat, dapat diberikan susu.
- Bila anak 6 bulan atau lebih atau telah mendapat makanan padat :
 Berikan bubur, bila mungkin campur dengan kacang-kacangan, sayur, daging
atau ikan. Tambahkan 1 atau 2 sendok teh minyak sayur setiap porsi.
 Berikan sari buah atau pisang halus untuk menambahkan kalium.
 Berikan makanan yang segar. Masak dan haluskan atau tumbuk makanan
dengan baik.
 Bujuklah anak untuk makan, berikan makanan sedikitnya 6 kali sehari.
 Berikan makanan yang sama setelah diare berhenti, dan berikan porsi makanan
tambahan setiap hari selama 2 minggu.

4. BAWA ANAK KEPADA PETUGAS KESEHATAN BILA ANAK TIDAK MEMBAIK


DALAM 3 HARI ATAU MENDERITA SEBAGAI BERIKUT :
- Buang air besar lebih sering.
- Muntah terus-menerus.
- Rasa haus yang nyata.
- Makan atau minum sedikit.
- Demam.
- Tinja berdarah.

5. ANAK HARUS DIBERI ORALIT DI RUMAH APABILA :

- Setelah mendapat Rencana Terapi B atau C.


- Tidak dapat kembali ke petugas kesehatan bila diare memburuk.
- Memberikan oralit kepada semua anak dengan diare yang datang ke petugas
kesehatan merupakan kebijakan pemerintah.

Tatalaksana Rehidrasi pada Pasien Diare dengan Dehidrasi Ringan-Sedang

RENCANA TERAPI B

UNTUK MENGOBATI DIARE DI RUMAH

( Pengobatan dehidrasi ringan-sedang)


Pada dehidrasi rinngan-sedang, Cairan Rehidrasi Oral diberikan dengan pemantauan yang
dilakukan di Pojok Upaya Rehidrasi Oral selama 4-6 jam. Ukur jumlah rehidrasi oral yang
akan diberikan selama 4 jam pertama.

umur Lebih dari 4 4-12 bulan 12 bulan-2 tahun 2-5 tahun


bulan
Berat badan < 6 Kg 6 - < 10 Kg 10 - < 12 Kg 12-19 Kg
Dalam ml 200-400 400-700 700-900 900-1400
Jika anak minta minum lagi, berikan.

- Tunjukkan kepada orang tua bagaimana cara memberikan rehidrasi oral


 Berikan minum sedikit demi sedikit.
 Jika anak muntah, tunggu 10 menit lalu lanjutkan kembali rehidrasi oral pelan-
pelan.
 Lanjutkan ASI kapanpun anak meminta.
- Setelah 4 jam :
 Nilai ulang derajat dehidrasi anak.
 Tentukan tatalaksana yang tepat untuk melanjutkan terapi.
 Mulai beri makan anak di klinik.
- Bila ibu harus pulang sebelum selesai rencana terapi B
 Tunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di rumah.
 Berikan oralit untuk rehidrasi selama 2 hari lagi seperti dijelaskan dalam Rencana
Terapi A.
 Jelaskan 4 cara dalam Rencana Terapi A untuk mengobati anak di rumah.

Berikut ini adalah komposisi dari Oralit Baru yang direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF
untuk diare akut non-kolera pada anak :

Oralit Baru Osmolaritas Mmol/Liter


Rendah

Natrium 75
Klorida 65
Glucose, anhydrous 75
Kalium 20
Sitrat 10
Total Osmolalitas 245

Ketentuan pemberian oralit formula baru

a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru


b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang untuk persediaan 24 jam
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan:
1) Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali BAB
2) Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200ml tiap BAB
d) Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan harus
dibuang.
Tatalaksana Rehidrasi pada Pasien Diare dengan Dehidrasi Berat

RENCANA TERAPI C

UNTUK MENGOBATI DIARE DI RUMAH

(Penderita dengan dehidrasi berat)


Ikuti arah anak panah. Bila jawaban dari pertanyaan adalah YA, teruskan ke kanan. Bila TIDAK,
teruskan ke bawah.
- Beri cairan IV segera. Bila penderita bisa
minum, beri oralit ketika cairan IV dimulai.
Beri 100ml/KgBB cairan RL (NaCl atau Ringer
Apakah saudara
Asetat jika tidak tersedia RL) sebagai berikut :
dapat
menggunakan YA Bayi < 1 tahun : pemberian pertama 30 ml/Kg
cairan IV dalam 1 jam. Kemudian 70ml/Kg dalam 5 jam.
secepatnya
Anak 1-5 tahun : : pemberian pertama 30 ml/Kg
dalam 30 menit. Kemudian 70ml/Kg dalam 2
1/2jam.

- Ulang jika denyut nadi masih lemah atau tidak


teraba.
T - Nilali kembali dalam 1-2 jam -> rehidrasi
belum tercapai -> percepat tetesan.
I - Berikan oralit (5 mg/KgBB/jam) bila penderita
D bisa minum.
- Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak), nilai
A kembali. Pilih rencana terapi.
K

Kirim penderita untuk terapi IV.


Apakah terdapat terapi IV
YA Bila penderita dapat minum, sediakan oralit dan tunjukkan cara
terdekat (dalam 30 menit)?
memberikan nya selama perjalanan.
TIDAK

Mulai rehidrasi mulu dengan oralit melalui


pipa nasogatrik atas mulut.Berikan
Apakah saudara dapat menggunakan YA 20ml/Kg/jam selama 6 jam. (total 120ml/Kg).
pipa nasogastrik untuk dehidrasi?
Nilai tiap 1-2 jam :

Bila muntah atau perut kembung,, berikan


cairan pelan-pelan.

Bila rehidrasi tak tercapai setelah 3 jam, rujuk


TIDAK untuk mendapat terapi IV.

Setelah 6 jam, nilai kembali dan pilih rencana


terapi

Segera rujuk anak untuk rehidrasi


melalui nasogatrik atau IV

Catatan :

Bila mungkin, amati penderita sedikitnya 6 jam setelah rehidrasi untuk memastikan bahwa ibu dapat
menhaga pengembalian cairan yang hilang dengan memberi oralit.

Bila umur anak di atas 2 tahun dan kolera baru saja berjangkit di daerah saudara, pikirkan kemungkinan
kolera dan berikan antibiotik yang tepat secara oral setelah anak sadar.

2.9.1 Zinc diberikan 10 hari berturut-turut


Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan
anak. Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memilik evidence
based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan
di awal masa diare selam 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan morbiditas dan
mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc pada pasien anak penderita
kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang dikeluarkan. Zinc termasuk
mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang optimal. Meski dalam
jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan
sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta
nafsu makan. Zinc juga berperan dalam system kekebalan tubuh dan meripakan mediator
potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam
pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan
fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian
zinc pada diare dapat meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus,meningkatkan
kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan
respon imun yang mempercepat pembersihan pathogen dari usus. Pengobatan dengan zinc
cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak
masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang
rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi
dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.

Dosis zinc untuk anak-anak

Anak di bawah umur 6 bulan : 10mg (½ tablet) per hari

Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari

Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare.
Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit, Untuk anak-anak
yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.

2.9.2 ASI dan makanan tetap diberikan


ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu
anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisis yang hilang. Pada
diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Jikaanakmenyusui,cobauntukmeningkatkan
frekuensidandurasimenyusuinya.Pasiendiaretidakdianjurkanpuasa,kecualijikamuntah-muntah
hebat. Jika curiga diare disebabkan karena intoleransi laktosa h indarkansusu sapi dan susu
formula.Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase penyembuhan.
Secara umum, makanan yang sesuai untuk anak dengan diare adalah sama dengan yang
diperlukan oleh anak-anak yang sehat.

 Bayi segala usia yang menyusui harus tetap diberi kesempatan untuk menyusui sesering dan
selama mereka inginkan. Bayi sering menyusui lebih dari biasanya dan ini harus didukung.
 Bayi yang tidak disusui harus diberikan susu biasa mereka makan (atau susu formula)
sekurang-kurangnya setiap tiga jam, jika mungkin dengan cangkir.
 Bayi di bawah usia 6 bulan yang diberi makan ASI dan makanan lain harus diberikan ASI
lebih banyak. Setelah anak tersebut sembuh dan meningkatnya pasokan ASI, makanan lain
harus diturunkan.
 Jika anak usia minimal 6 bulan atau sudah diberikan makanan lunak, ia harus diberi sereal,
sayuran dan makanan lain, selain susu. Jika anak di atas 6 bulan dan makanan tersebut
belum diberikan, maka harus dimulai selama episode diare atau segera setelah diare
berhenti. Daging, ikan atau telur harus diberikan, jika tersedia. Makanan kaya akan kalium,
seperti pisang, air kelapa hijau dan jus buah segar akan bermanfaat.
Berikan anak makanan setiap tiga atau empat jam (enam kali sehari). Makan porsi kecil
yang Sering, lebih baik daripada makan banyak tetapi lebih jarang. Setelah diare berhenti, dapat
terus memberi makanan dengan energi yang sama dan membrikan satu lagi makan tambahan
daripada biasanya setiap hari selama setidaknya dua minggu. Jika anak kekurangan gizi,
makanan tambahan harus diberikan sampai anak telah kembali berat badan normal.

2.9.3 Antibiotik selektif


Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena
sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self-limited dan tidak dapat dibunuh
dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10-20%) yang disebabkan oleh bakteri pathogen.

Antibiotik selektif sesuai dengan pathogen penyebab diare

Penyebab Antibiotik Pilihan Antibiotik Alternative


Tetracyclin 12,5 mg/ KgBB Eritromicyn 12,5 mg/KgBB
Kolera 4x sehari selama 3 4x sehari selama 3
hari hari
Shigella Dysentri Ciprofloxacin 15 mg/KgBB Pivmecillinam 20 mg/KgBB
2x sehari selama 3 hari 4x sehari selama 5 hari
Ceftriaxone 50-100
mg/KgBB
1x sehari selama IM/IV 2-5
hari

Metronidazole 10 mg/KgBB
Amoebiasis 3x sehari selama 5 hari (10
hari pada kasus berat)
Metronidazole 10 mg/KgBB
Giardiasis
3x sehari selama 5 hari

2.9.4 Edukasi Orang tua


Pengetahuanyangbaikseorangibusangatmenentukan kesehatananak.Edukasiyang
diberikanseperticucitangansebelummemberiASI,kebersihanpayudara jugaperlu diperhatikan,
kebersihanmakanantermasuksaranaairbersih,kebersihanperalatan makanan,danlain-lain.

Selain itu Ibu harus membawa anaknya ke petugas kesehatan, jika anak:

• Buang air besar cair sering terjadi

• Muntah berulang-ulang

• Sangat haus

• Makan atau minum sedikit

• Demam

• Tinja Berdarah

• Anak tidak membaik dalam tiga hari.

Selain lima penatalaksanaan diare yang dianjurkan menurut WHO, beberapa


randomized controlled trials (RCT) dan meta-analisis menyatakan bahwa probiotik efektif
untuk pencegahan primer maupun sekunder serta untuk mengobati diare.

Probiotik merupakan bakteri hidup yang mempunyai efek yang menguntungkan pada
host dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik didalam lumen saluran cerna
sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik melalui reseptor dalam
sel epitel usus. Dengan mencermati penomena tersebut bakteri probiotik dapat dipakai dengan
cara untuk pencegahan dan pengobatn diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus maupun
mikroorganisme lain, pseudomembran colitis maupun diare yang disebabkan oleh karena
pemakaian antibiotika yang tidak rasional (antibiotik asociatek diarrhea ) dan travellers diarrhea.
Dosis yang dianjurkan pada penyakit diare akut yang disebabkan oleh infeksi adalah 10 10–
1011 cfu, 2 kali sehari.

L. RESUME
Pasien datang ke UGD RSUD Kardinah pada hari sabtu tanngal 10 Maret 2018, pukul
21.30 bersama orang tuanya dengan keluhan BAB cair sejak 1 hari SMRS. BAB cair
>10x/hari, ampas (+) banyak, lendir (+), darah (-). Keluhan ini disertai adanya demam sejak
1 hari SMRS, demam tidak terlalu tinggi (pengukuran hanya dilakukan dengan telapak
tangan ibu pasien), demam naik turun.selain itu juga terdapat keluhan mual muntah berisi
makanan dan cairan setiap kali makan. Ibu pasien sebelumnya membawa pasien berobat ke
dokter kemudian dirujuk ke RSUD Kardinah Tegal untuk dilakukan perawatan lebih lanjut
tanpa diberikan penanganan atau obat apapun sebelumnya. Ibu pasien mengatakan, pasien
menjadi semakin rewel dan cengeng semenjak sakit, dan jika menangis air mata pasien
keluar lebih sedikit dari biasanya, minum pasien lebih banyak seperti kehausan, nafsu makan
pasien berkurang semenjak sakit. Akhir- akhir ini pasien sering memasukkan mainan dan
benda-benda yang ia pegang ke dalam mulut, serta kadang kala makan tanpa mencuci tangan
dengan sabun. Keluhan lain seperti batuk, pilek, kejang disangkal, BAK dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 13 Maret 2018 pukul 13.30, didapatkan hasil
nadi 125 x/menit reguler, kuat, isi cukup, RR 34 x/menit reguler, suhu 37oC, Axilla. Keadaan
umum, kesadaran compos mentis, tampak sakit sedang, gelisah, rewel, perut kembung (+),
pucat (-), sesak (-), retraksi (-), sianosis (-), kejang (-), terpasang infus RL (+). Status
generalis didapatkan UUB datar (+), mata cekung (+/+), berkurang, air mata (+/+), turgor
baik, akral hangat. Status neurologis dalam batas normal.
Pemeriksaan khusus berupa lingkar kepala dengan kurva nellhaus didapatkan kesan
normocephali dan status gizi kurang. Pemeriksaan penunjang hasil laboratorium darah rutin
terdapat kadar hb dan ht yang menurun, mcv rendah, hitung jenis terdapat nilai monosit dan
limfosit tinggi dan nilai netrofil rendah.
M. DAFTAR MASALAH
 Bab cair + ampas banyak, lendir(+), darah (-)
 Demam
 Muntah
 Minum terlihat lebih haus
 Nafsu makan berkurang
 Gelisah, rewel
 Mata cekung

N. DIAGNOSIS BANDING

Diare akut  Infeksi


- Enteral
- Parenteral
 Non infeksi
- Makanan
- Konstitusi
- Psikis
Dehidrasi  Sedang
 Ringan
 Berat
Status Gizi  Gizi Kurang
 Gizi Baik
 Gizi Buruk

O. DIAGNOSIS KERJA
 Diare akut dengan dehidrasi sedang
 Gizi Kurang

P. PEMERIKSAAN ANJURAN
 Feses rutin
 Elektrolit
 Gula Darah Sewaktu

Q. PENATALAKSANAAN
c. Non medikamentosa
 Rawat inap untuk monitoring gejala
 Monitor KU, TV, TD
 Nutrisi : ASI tetap diteruskan
 Edukasi orang tua

d. Medikamentosa
 Rehidrasi : RL 8 tpm
 Inj. Paracetamol 4x0,7 mg
 Ektra Inj. Ondansentron 1/3 ampul
 Po:
 Zinc : 1x 10 mg
 L-BIO 2x1 sachet

R. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam

GLOMERULONEFRITIS AKUT
2.1 Definisi
Glomerulonefritis akut adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau
virus tertentu yang dikarakterisasi oleh cedera glomerular dengan onset mendadak.
Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara berkembang adalah
setelah infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, yaitu glomerulonefritis akut
pasca infeksi streptokokus (GNAPS).(1) GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus
yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dan inflamasi glomerulus yang didahului
oleh infeksi group A β-hemolitic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik
seperti adanya hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.(2)

2.2 Epidemiologi
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus dapat terjadi pada semua kelompok usia
namun lebih sering ditemukan pada kelompok usia 2-15 tahun, sangat jarang terjadi pada
anak dengan usia di bawah dua tahun dan dua kali lebih sering terjadi pada anak laki–laki
dibandingkan dengan anak perempuan.(3) WHO memperkirakan 472.000 kasus GNAPS
terjadi setiap tahunnya secara global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. (3) Angka
kejadian GNAPS sulit ditentukan karena bentuk asimptomatik lebih sering dijumpai
dibandingkan dengan bentuk yang simtomatik. Di Indonesia, GNAPS lebih banyak
ditemukan pada golongan sosial ekonomi yang rendah.(2) GNAPS tercatat sebagai penyebab
penting terjadinya gagal ginjal, yaitu terhitung 10-15% dari kasus gagal ginjal di Amerika
Serikat. GNAPS dapat muncul secara sporadik maupun epidemik terutama menyerang anak-
anak atau dewasa muda pada usia sekitar 4-12 tahun dengan puncak usia 5-6 tahun.(4)

2.3 Etiologi
Sekitar 75% GNAPS timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang
disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49.
Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit. Infeksi kuman streptokokus
beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus
berkisar 10-15%. Streptokokus sebagai penyebab GNAPS pertama kali dikemukakan oleh
Lohlein pada tahun 1907 dengan bukti timbulnya GNA setelah infeksi saluran nafas, kuman
Streptokokus beta hemolyticus golongan A dari isolasi dan meningkatnya titer anti-
streptolisin pada serum penderita. Protein M spesifik pada Streptokokus beta hemolitikus
grup A diperkirakan merupakan tipe nefritogenik. Protein M tipe 1, 2, 4 dan 12 berhubungan
dengan infeksi saluran nafas atas sedangkan tipe 47, 49, dan 55 berhubungan dengan infeksi
kulit.(5)
Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya
GNAPS. Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya: (5,6)
1. Bakteri: Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus viridans, Gonococcus,
Leptospira, Mycoplasma pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi, dll
2. Virus: Hepatitis B, varicella, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis epidemika
3. Parasit: Malaria dan toksoplasma.

Streptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk
pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan bakteri yang
heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokokus pada manusia disebabkan oleh Streptokokus
hemolisis β grup A. Grup ini diberi nama spesies S. pyogenes. Bakteri ini hidup pada
manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang sering disebabkan diantaranya adalah
faringitis, demam rematik dan glomerulonefritis.(7)
GABHS mengeluarkan hemolisin yang bernama streptolisin O. Streptolisin O
merupakan suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan tereduksi
(mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen. Streptolisin O
bergabung dengan antistreptolisin O, suatu antibodi yang timbul pada manusia setelah
infeksi oleh streptokokus yang menghasilkan streptolisin O. Antibodi ini menghambat
hemolisis oleh streptolisin O. Titer serum antistreptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200
unit dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi streptokokus yang baru saja terjadi
atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang
hipersensitifitas.(7)

2.4 Patofisiologi
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe
12,4,16,25,dan 29. Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dengan gambaran klinis
kerusakan glomerulus menunjukkan bahwa proses imunologis memegang peranan penting
dalam patogenesis glomerulonefritis. Mekanisme dasar terjadi nya sindrom nefritik akut
pasca infeksi streptokokus adalah adanya suatu proses imunologis yang terjadi antara
antibodi spesifik dengan antigen streptokokus. Proses ini terjadi di dinding kapiler
glomerulus dan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Selanjutnya sistem komplemen
memproduksi aktivator komplemen 5a ( C5a) dan mediator-mediator inflamasi lainnya.
Sitokin dan faktor pemicu imunitas seluler lainnya akan menimbulkan respon inflamasi
dengan manifestasi proliferasi sel dan edema glomerular. Penurunan laju filtrasi glomerulus
berhubungan dengan penurunan koefisien ultrafiltrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi
glomerulus diikuti penurunan ekskresi atau kenaikan reabsorbsi natrium sehingga terdapat
penimbunan natrium dengan air selanjutnya akan diikuti kenaikan volume plasma dan
volume cairan ekstraselular sehingga akan timbul gambaran klinis oliguria, hipertensi ,
edema dan bendungan sirkulasi.(4)
Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga
menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam akibat
kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia, kongesti
vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali),
azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia
semakin nyata, bila LFG sangat menurun. Hipoperfusi menyebabkan aktivasi sistem renin-
angiotensin. Angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya
dan menyebabkan perfusi ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun
disamping timbulnya hipertensi. Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek
adrenal untuk melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan
akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi.(4)

2.5 Gejala Klinis


GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada usia di
bawah 2 tahun.1,2 GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3
minggu pada pioderma.
Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat
pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%.1
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas.
Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun
epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama
hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.
Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penderita GNAPS simtomatik adalah sebagai
berikut:
a. Periode laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2
minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3
minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1
minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan
kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent haematuria
b. Edema
Edema merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Keluhan ini yang paling
pertama timbul dan akan menghilang setelah minggu pertama. Edema paling sering
terjadi di daerah periorbital sehingga tampak edema palpebra, kemudian dapat juga
ditemukan pada area tungkai. Apabila terjadi retensi yang berat, edema dapat timbul
pada area perut dan menimbulkan ascites dan dapat juga ditemukan adanya edema pada
genitalia eksterna (edema skrotum/vulva).(2)
Edema pada penderita GNAPS bersifat pitting oedem akibat cairan jaringan yang
tertekan masuk ke jaringan interstitial yang dalam waktu singkat akan kembali lagi ke
tempat semula.(2)
c. Hematuria
Hematuria dapat terjadi pada semua pasien dengan GNAPS, tetapi hanya
sepertiga dari penderita yang mengalami hematuria makroskopis. Urine tampak
berwarna coklat kemerah-merahan atau berwarna teh pekat, air cucian daging atau
berwarna seperti cola. Warna urine dapat tampak berwarna seperti teh atau cola karena
hemoglobin dalam urine teroksidasi dan berubah menjadi kecoklatan karena suasana
urine yang asam. Hematuria makroskopis dapat berlangsung sampai lebih dari 10 hari.(8)
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,4,5 sedangkan
hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian multisenter
di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%, sedangkan
hematuria mikroskopik berkisar 84-100%. Hematuria makroskopik biasanya timbul
dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung
sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,
umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria
mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan
hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah
menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal,
mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.(2)
d. Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar
mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan
menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan
kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan
tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah
akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi
yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah,
kesadaran menurun dan kejang
Hipertensi merupakan tanda kardinal ketiga bagi SNA pasca infeksi streptokokus,
dilaporkan terdapat sekitar 50–90% dari penderita yang dirawat dengan glomeluronefritis
akut . Terdapat beberapa teori yang mengungkapkan hipotesis terjadinya hipertensi
mungkin akibat dari dua atau tiga faktor berikut yaitu, gangguan keseimbangan natrium,
peranan sistem renin angiotensinogen dan substansi renal medullary hypotensive factors ,
diduga prostaglandin.(4)
e. Oliguria
Oliguria dapat terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbuk kegagalan ginjal
akut. Oliguria biasanya timbul dalam minggu pertama dan akan menghilang bersamaan
dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama.(2)
f. Gangguan kardiovaskuler
Gangguan kardiovaskuler dapat terjadi akibat adanya bendungan sirkulasi yang
terjadi pada GNAPS. Bendungan sirkulasi ini dapat terjadi akobat retesi dari Na dan air
sehingga terjadi hipervolemia.(2)
Edema paru merupakan gejala paling sering ditemukan akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini disertai dengan adanya batuk, sesak nafas dan juga sianosis.(2)
g. Anemia (pucat)
Anemia dapat terjadi karena adanya keadaan hemodilusi akibat retensi cairan. Anemia
akan menghilang dengan sendirinya setelah hilangnya hipervolemia dan edema. Anemia
juga dapat terjadi karena hematuria makroskopik yang berlangsung lama.(2)

2.6 Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada umumnya
kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
Gejala-gejala klinik :
1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case dengan
gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan gejala-gejala khas
GNAPS
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa ASTO
(meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit,
hematuria & proteinuria.
3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus grup A.

Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin (hematuria
mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan penderita GNAPS.
Gambaran klinis GNAPS dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi
tidak jarang anak datang dengan yang gejala berat. Biasanya anak akan datang dengan
keluhan bengkak pada wajah, kadang edema bersifat ringan yang terbatas di sekitar mata
atau di seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal
jantung. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun
edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang.
Urine mungkin tampak kemerah-merahan, berwarna seperti teh atau cola. Suhu badan
biasanya tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Gejala
gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang
menyertai penderita GNA.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah
1. Pemeriksaan darah rutin
Pada anak yang mengalami GNAPS dapat ditemukan kadar Hb yang rendah.
Anemia biasanya bersifat normokromik normositer , terjadi karena adanya
keadaan hemodilusi akibat retensi cairan. Anemia akan menghilang dengan
sendirinya setelah hilangnya hipervolemia dan edema.(5)
2. Pemeriksaan reaksi serologis
Peningkatan ASTO pada minggu pertama setelah infeksi. Kenaikan titer 2-3
kali berarti adanya infeksi.(9)
3. Pemerisksaan aktivitas komplemen: komplemen C3 yang rendah pada
minggu pertama. Kadar komplemen C3 akan mencapai kadar normal kembali
dalam waktu 6-8 minggu.(9)
4. Pemeriksaan fungsi ginjal
Sebagian besar pasien GNAPS menunjukkan kenaikan kadar BUN dan
kreatinin serum
5. Pemeriksaan laju endap darah (LED)
- Pemeriksaan urine
Urinalisis menunjukkan adanya hematuria makroskopik ditemukan hampir pada
50% penderita, proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine dengan
eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin
(+), silinder lekosit (+) dan lainlain.(5)
b. Pemeriksaan Radiologis
c. Pemeriksaan Histopatologis
Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik
perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena,
sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa. Tampak proliferasi sel endotel
glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai
Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul,
infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron
akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps
di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen dan
antigen Streptokokus.(10)

2.7 Diagnosis Banding(2,5,6)


a. Penyakit ginjal
- Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
- Sindroma alport
- Nefropati IgA-IgG
- Rapidly progressive glomerulonefritis
- Lupus nefritis
b. Penyakit sistemik
- Henoch Scӧenlein Purpura
- Eritromatosus
- Endokarditis bakterialis
c. Penyakit infeksi lain
- Infeksi bakteri : Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi, dll
- Infeksi virus: Hepatitis B, varicella, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika

2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien GNAPS bersifat simtomatik dan lebih diarahkan terhadap
eradikasi organisme dan pencegahan terjadinya gagal ginjal akut. Rawat inap
direkomendasikan bila terdapat edema, hipertensi atau peningkatan kadar kreatinin darah.
2.8.1 Non-Medikamentosa
- Istirahat selama 3-4 minggu
- Diet
Jumlah garam yang diberikan harus diperhatikan. Pada anak dengan edema berat
dianjurkan untuk makan tanpa garam. Bila edema ringan, garam dibatasi
sebanyak 0,5-1 g/hari.
Protein dibatasi bila kadar ureum tinggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgBB/hari.
Pada penderita dengan anuria atau oligouria, jumlah cairan yang masuk harus
seimbang dengan yang keluar.(2)
2.8.2 Medikamentosa
- Antibiotik
Pemberian penisilin pada fase akut dengan tujuan untuk mengurangi menyebarnya
infeksi Streptokokus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan
hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah
nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat
imunitas yang menetap. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksilin
50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan
penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.(2,11)
- Antihipertensi
Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda serebral diberikan kaptopril 0,3-2
mg/kgBB/hari atau furosemid 1-3 mg/kgBB atau kombinasi keduanya. Bila
asupan oral cukup baik dapat diberikan nifedipin seblingual 0,25-0,5
mg/kgBB/hari yang dapat diulangi tiap 30-60 menit bila perlu.(2)
Pada hipertensi berat atau ensefalopati hipertensi, dapat diberikan klonidin 0,002-
0,006 mg/kgBB dapat diulang sampai 3 kali atau diazoxide 5 mg/kgBB/hari IV.(2)

2.9 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada anak dengan GNAPS adalah:
1. Ensefalopati hipertensi
Ensefalopati hipertensi adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) pada anak >6 tahun
dimana tekanan darah dapat lebih dari 180/120 mmHg.(2) Ensefalopati hipertensi dapat
terjadi akibat adanya spasme dari pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
(5)
Pada anak dengan ensefalopati hipertensi didapatkan gejala seperti pusing, kejang-
kejang, muntah.(5)
2. Gangguan kardiovaskular
- Edema paru
Pada anak yang mengalami edema paru, biasanya akan didapati dyspneu, orthopnoe,
dan pada pemeriksaan fisik akan didapati ronki basah halus di basal paru.(2,5)
- Pembesaran jantung
Pembesaran jantung dapat terjadi akibat adanya hipervolume plasma intravaskular
yang menimbulkan meningkatnya besar beban volume yang harus diterima jantung
yang mengakibatkan membesarnya jantung. Dapat pula terjadi gagal jantung apabila
terjadi hipertensi yang menetap dan terdapat kelainan dari miokardium.(5)
3. Gangguan ginjal akut
Gangguan ginjal akut dengan manifestasi oliguria sampai anuria akibat berkurangnya
filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufiiensi ginjal akut dengan uremia,
hiperfosfatemia, hiperkalemia.(7)

2.10 Prognosis
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada
komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat
jarang, GNAPS dapat kambuh kembali.
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala laboratorik
terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-
95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75% GNAPS
dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara histologik atau laboratorik.
Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada
anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis GNAPS baik,
kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney
injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain
umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola serangan
sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis
glomerulus. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik dibanding anak yang lebih besar
atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik
glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis
yang baik.(12)

HIPERTENSI PADA ANAK


3.1 Definisi dan Klasifikasi
Definisi hipertensi pada anak dan remaja tidak dapat disebut dengan satu angka, karena
nilai tekanan darah normal bervariasi pada berbagai usia.5 Definisi hipertensi pada anak dan
remaja didasarkan pada distribusi normal tekanan darah pada anak sehat. Tekanan darah
normal pada anak adalah tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD) di
bawah persentil 90 berdasarkan jenis kelamin, usia dan tinggi badan. Data National Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES), tekanan darah anak laki-laki dan anak
perempuan berdasarkan persentil usia dan tinggi badan yang sudah direvisi tersaji pada tabel
1 dan 2 di bawah ini.13,14
Hipertensi dinyatakan sebagai rerata TDS dan/atau TDD > persentil 95 menurut
jenis kelamin, usia dan tinggi badan pada > 3 kali pengukuran. Prehipertensi yaitu rerata
TDS atau TDD > persentil 90 tetapi < persentil 95 merupakan, keadaan yang berisiko tinggi
berkembang menjadi hipertensi. Anak remaja dengan nilai tekanan darah di atas 120/80
mmHg harus dianggap suatu prehipertensi.13,14
Hipertensi emergensi adalah hipertensi berat disertai komplikasi yang mengancam jiwa,
seperti ensefalopati (kejang, stroke, defisit fokal), payah jantung akut, edema paru,
aneurisma aorta, atau gagal ginjal akut.15
Cara penggunaan tabel tekanan darah 1 dan 2 yaitu sebagai berikut:
1. Pergunakan grafik pertumbuhan Center for Disease Control (CDC) 2000
untuk menentukan persentil tinggi anak.
2. Ukur dan catat TDS dan TDD anak.
3. Gunakan tabel TDS dan TDD yang benar sesuai jenis kelamin.
4. Lihat usia anak pada sisi kiri tabel. Ikuti perpotongan baris usia secara
horizontal dengan persentil tinggi anak pada tabel (kolom vertikal).
5. Kemudian cari persentil 50, 90, 95, dan 99 TDS di kolom kiri dan TDD di kolom
kanan.
6. Interpretasikan tekanan darah (TD) anak:
TD: <persentil 90 adalah normal.
TD: antara persentil 90-95 disebut pre-hipertensi.
Pada anak remaja jika >120/80 mmHg disebut prehipertensi.
TD >persentil 95 kemungkinan suatu hipertensi.
7. Bila TD >persentil 90, pengukuran TD harus diulang sebanyak dua kali pada
kunjungan berikutnya di tempat yang sama, dan rerata TDS dan TDD harus
dipergunakan.
8. Bila TD >persentil 95, TD harus diklasifikasikan dan dievaluasi lebih lanjut.

Tabel 1. Tekanan darah anak laki-laki berdasarkan persentil umur dan tinggi badan

Systolic BP [mmHg)

Diastolic BP (mmHg]

Percentile of height

Percentile of height

Age (year)
BP percentile
Sth
10th
25th
50th
75th
90th
95th
5th
10th
25th
50th
75th
90th
95th

1
50th
83
84
85
86
88
89
90
38
39
39
40
41
41
42

90th
97
97
98
100
101
102
103
52
53
53
54
55
55
56

95th
100
101
102
104
105
10E
107
56
57
57
58
59
59
60

99th
108
108
109
111
112
113
114
64
64
65
65
66
G7
67

2
50th
85
85
87
88
89
91
91
43
44
44
45
46
46
47

90th
98
99
100
101
103
104
105
57
58
58
59
60
61
61

95th
102
103
104
105
107
103
109
G1
62
62
63
64
G5
65

99th
109
110
111
112
114
115
116
69
69
70
70
71
72
72

3
50th
86
87
88
89
91
92
93
47
48
48
49
50
50
51
90th
100
100
102
103
104
106
105
G1
62
62
63
64
G4
65

95th
104
104
10S
107
108
109
110
65
66
66
67
68
68
69

99th
in
111
114
115
115
116
117
73
73
74
74
75
76
76

4
50th
88
aa
90
91
92
94
94
50
50
51
52
52
53
54

90th
101
102
103
104
106
107
108
64
64
65
6E
67
67
68
95th
105
106
107
108
110
111
112
68
68
69
70
71
71
72

99th
112
113
114
115
117
118
119
76
75
76
77
78
79
79

5
50th
89
90
91
93
94
95
9G
52
53
53
54
55
55
56

90th
103
103
105
106
107
109
109
66
67
67
68
69
G9
70

95th
107
107
108
110
111
112
113
70
71
71
72
73
73
74

99th
114
114
11G
117
113
120
120
78
78
79
79
80
31
81

G
50th
91
92
93
94
9G
97
98
54
54
55
56
56
57
58

90th
104
105
106
108
109
110
111
68
68
69
70
70
71
72

95th
108
109
110
111
113
114
115
72
72
73
74
74
75
7G

99th
115
116
117
119
120
121
122
80
80
80
81
82
83
83

7
50th
93
93
95
96
97
99
99
55
56
56
57
58
58
59

90th
106
107
108
109
111
112
113
69
70
70
71
72
72
73

95th
110
111
112
113
115
116
116
73
74
74
75
76
76
77

99th
117
lie
119
120
122
123
124
31
81
82
82
83
34
34

8
50th
95
95
96
98
99
100
101
57
57
57
58
59
60
60

90th
108
109
110
111
113
114
114
71
71
71
72
73
74
74

95th
112
112
114
115
11G
118
118
75
75
75
76
77
73
78
99th
119
120
121
122
123
125
125
82
82
83
83
84
85
86

9
50th
96
97
98
100
101
102
103
58
58
58
59
60
Gl
61

90th
110
110
112
113
114
116
116
72
72
72
73
74
75
75

95th
114
114
115
117
118
119
120
76
76
76
77
78
79
79

99th
121
121
123
124
125
127
127
83
83
84
84
85
86
87
10
50th
98
33
100
102
103
104
105
59
59
59
60
G1
62
62

90th
112
112
114
115
116
118
118
73
73
73
74
75
76
76

95th
116
116
117
119
120
121
122
77
77
77
78
79
80
80

99th
123
123
125
126
127
129
129
84
84
85
86
86
37
38

11
50th
100
101
102
103
105
106
107
60
60
60
G1
62
63
63

90th
114
114
116
117
118
119
120
74
74
74
75
76
77
77

95th
118
lie
119
121
122
123
124
78
78
78
79
80
31
ei

99th
125
125
126
128
129
130
131
85
85
86
87
87
88
89

12
50th
101
102
104
106
108
109
110
59
60
SI
G2
G3
63
64

90th
115
116
118
120
121
123
123
74
75
75
76
77
78
79

95th
119
120
122
123
125
127
127
78
79
80
81
82
32
83

99th
126
127
129
131
133
134
135
36
87
88
89
90
90
91

13
50th
104
105
10E
108
110
111
112
60
60
SI
G2
G3
64
64

90th
117
113
120
122
124
125
126
75
75
76
77
78
79
79

95th
121
122
124
126
128
129
130
79
79
80
81
82
83
83

99th
128
130
131
133
135
13G
137
87
87
83
89
90
91
91

14
50th
1OG
107
109
111
113
114
115
60
61
62
S3
G4
65
65
90th
120
121
123
125
126
128
128
75
76
77
7fi
79
79
80

95th
124
125
127
129
130
132
132
80
80
81
82
83
84
84

99th
131
132
134
136
136
139
140
87
83
89
90
91
92
92

15
50th
109
110
112
113
115
117
117
SI
62
63
64
G5
66
66

90th
122
124
125
127
129
130
131
76
77
78
79
80
80
81
95th
126
127
129
131
133
134
135
81
81
82
83
84
85
85

99th
134
135
13G
139
140
142
142
33
89
90
91
92
93
93

16
50th
111
112
114
116
118
119
120
63
63
64
S5
G6
67
67

90th
125
126
128
130
131
133
134
78
78
79
80
31
82
82

95th
129
130
132
134
135
137
137
82
83
83
84
85
86
87

99th
136
137
139
141
143
14+
145
90
90
91
92
93
94
94

17
50th
114
115
116
lie
120
121
122
65
66
66
67
G8
69
70

90th
127
128
130
132
134
135
136
80
80
81
82
83
84
84

95th
131
132
134
13S
138
139
140
84
85
86
87
87
88
89

99th
139
140
141
143
145
14G
147
92
93
93
94
95
96
97

Tabel 2. Tekanan darah anak perempuan berdasarkan persentil umur dan tinggi badan

Systolic BP[mmHg)

Diastolic BP [mmHg)

Percentile of height

Percentile of height
Age
(Year)
BP percentile
Sth
10th
25th
50th
75th
90th
95th
5th
10th
25th
50th
75th
90th
95th
1
50th
83
84
85
86
88
89
90
38
39
39
40
41
41
42

90th
97
97
98
100
101
102
103
52
53
53
54
55
55
56

95th
100
101
102
104
105
106
107
56
57
57
58
69
59
60

99th
108
108
109
111
112
113
114
64
64
65
65
66
67
67
2
50th
85
65
87
88
89
91
91
43
44
44
45
46
46
47

90th
98
99
100
101
103
104
105
57
56
56
59
60
61
61

95th
102
103
104
105
107
108
109
61
62
62
63
64
65
65

99th
109
110
111
112
114
115
116
69
69
70
70
71
72
72
3
50th
86
67
88
89
91
92
93
47
46
4fi
49
60
50
51

90th
100
100
102
103
104
106
106
61
62
62
63
64
64
65

95th
104
104
105
107
108
109
110
66
66
66
67
68
68
69

99th
111
111
114
115
115
116
117
73
73
74
74
76
7G
76
4
50th
88
66
90
91
92
94
94
50
50
51
52
62
53
54

90th
101
102
103
104
106
107
108
64
64
65
66
67
67
68

95th
105
106
107
108
110
111
112
68
66
69
70
71
71
72

99th
112
113
114
115
117
118
119
76
76
76
77
78
79
79
5
50th
89
90
91
93
94
95
96
52
53
53
&4
66
55
56

90th
103
103
105
106
107
109
109
66
67
67
68
69
69
70

95th
107
107
108
110
111
112
113
70
71
71
72
73
73
74

99th
114
114
116
117
118
120
120
78
76
79
79
80
81
61
6
50th
91
92
93
94
96
97
98
54
54
55
56
56
57
58

90th
104
105
106
108
109
110
111
68
66
69
70
70
71
72

95th
10S
109
110
111
113
114
115
72
72
73
74
74
75
76

99th
115
11S
117
119
120
121
122
80
60
GO
81
82
83
83
7
50th
93
93
95
96
97
99
99
56
56
56
57
68
58
59

90th
106
107
108
109
111
112
113
69
70
70
71
72
72
73

95th
110
111
112
113
115
116
116
73
74
74
75
76
76
77

99th
117
116
119
120
122
123
124
81
81
62
82
83
84
84
8
50th
95
95
96
98
99
100
101
57
57
57
58
69
60
60

90th
ioa
109
110
111
113
114
114
71
71
71
72
73
74
74

95th
112
112
114
115
116
118
118
76
75
75
76
77
78
78

99th
119
120
121
122
123
125
125
82
62
63
83
84
85
86
9
50th
96
97
98
100
101
102
103
58
56
56
59
60
61
61

90th
110
110
112
113
114
116
116
72
72
72
73
74
75
75

95th
114
114
115
117
118
119
120
76
76
76
77
78
79
79

99th
121
121
123
124
125
127
127
83
63
G4
84
86
86
87
ID
50th
98
99
100
102
103
104
105
59
59
59
60
61
62
62

90th
112
112
114
115
116
118
118
73
73
73
74
76
76
76

95th
116
115
117
119
120
121
122
77
77
77
78
79
80
80

99th
123
123
125
126
127
129
129
84
64
65
86
86
87
88
11
50th
100
101
102
103
105
106
107
60
60
60
61
62
63
63

90th
114
114
116
117
118
119
120
74
74
74
75
76
77
77

95th
118
116
119
121
122
123
12+
78
76
7fi
79
80
81
61

99th
125
125
126
128
129
130
131
86
65
66
87
87
88
89
12
50th
102
103
104
105
107
108
109
61
61
61
62
63
64
64

90th
116
116
117
119
120
121
122
75
75
75
76
77
78
78

9Sth
119
120
121
123
124
125
126
79
79
79
80
81
82
82

99th
127
127
128
130
131
132
133
86
86
87
88
88
89
90
13
50th
104
105
106
107
109
110
110
62
62
62
63
64
65
65

90th
117
118
119
121
122
123
124
76
7G
7G
77
78
79
79

95th
121
122
123
124
126
127
128
80
80
80
81
82
83
83

99th
128
129
130
132
133
134
135
87
87
88
89
89
90
91
14
50th
106
106
107
109
110
111
112
63
63
63
64
65
66
66

90th
119
120
121
122
124
125
125
77
77
77
78
79
80
80

95th
123
123
125
126
127
129
129
81
81
81
82
83
84
84

99th
130
131
132
133
135
136
136
88
88
89
90
90
91
92
15
50th
107
108
109
110
111
113
113
64
64
64
65
66
67
67

90th
120
121
122
123
125
126
127
78
78
78
79
80
81
81

95th
124
125
126
127
129
130
131
82
82
82
83
84
85
85

99th
131
132
133
134
136
137
138
89
89
90
91
91
92
93
16
50th
108
108
110
111
112
114
114
64
64
65
66
66
67
68

90th
121
122
123
124
126
127
128
78
78
79
80
81
81
82

95th
125
126
127
128
130
131
132
82
82
83
84
85
85
86

99th
132
133
134
135
137
138
139
90
90
90
91
92
93
93
17
50th
108
109
110
111
113
114
115
64
65
65
66
67
67
68

90th
122
122
123
125
126
127
128
78
79
79
80
81
81
82

95th
125
126
127
129
130
131
132
82
83
83
84
85
85
86

99th
133
133
134
136
137
138
139
90
90
91
91
92
93
93

Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah pada anak dan dewasa


Pediatrics definition

Normal <90th percentile <120/80


Prehypertensive 90th to <95th percentile, or if BP 120-139/80-89
exceeds 120/80
even if <90th percentile up <95th
percentilea
Stage 1 95th to 99th percentile + 5 mmHg 140-159/90-99
hypertension
Stage 2 >99th percentile + 5 mmHg ≥160/100
hypertension
a
This occurs typically typically at 12 years old for systolic blood pressure (SBP) and at 16
years old for diastolic blood pressure (DBF).

3.2 Epidemiologi
Menurut WHO dan the International Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600
juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya.
Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat.
Hipertensi pada anak merupakan masalah dibidang pediatri dengan prevalens sekitar 1-3%.
Prevalens hipertensi pada anak, khususnya pada usia sekolah mengalami peningkatan. Hal
ini mungkin disebabkan meningkatnya prevalens obesitas pada kelompok usia tersebut.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa hipertensi pada orang dewasa sudah dimulai sejak
masa anak. Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner pada
orang dewasa, dan hipertensi pada anak memberikan kontribusi terhadap terjadinya penyakit
jantung koroner sejak dini.16 Di Indonesia angka kejadian hipertensi pada anak dan remaja
bervariasi dari 3,11% sampai 4,6%.17

3.3 Etiologi
Hipertensi dapat oleh karena primer (esensial), atau sekunder oleh karena gangguan medik
lain. Umumnya sebagian besar hipertensi pada anak-anak adalah sekunder. Namun, anak-
anak dengan hipertensi esensial akhir-akhir ini cenderung meningkat. Walaupun demikian
penting untuk melakukan eksplorasi penyebab sekunder pada anak-anak, terutama pada
anak-anak yang relatif sangat muda dan pada hipertensi berat.
3.4 Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien hipertensi esensial didiagnosis secara kebetulan pada saat
dilakukan pemeriksaan fisik rutin disekolah atau pada saat pemeriksaan oleh dokter karena
keluhan yang lain. Sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala klinik, tetapi sebagian
lainnya mengeluhkan gejala-gejala sakit kepala, pusing, lemah, atau gejala-gejala
kardiovaskular. Pasien dengan penyebab sekunder biasanya sering menunjukkan gejala
yang berhubungan dengan penyakit penyebabnya (misal hematuria pada glomerulonefritis
atau rasa panas dan penurunan berat badan pada hipertiroidisme) yang lebih menonjol
dibandingkan gejala hipertensinya.

Hipertensi krisis
Diluar klasifikasi hipertensi tersebut diatas terdapat suatu keadaan yang disebut
hipertensi krisis, yaitu apabila tekanan darah sistolik atau diastolik berada 50% di atas
tekanan darah 95 persentil. Pada anak di atas 6 tahun secara praktis dipakai kriteria tekanan
darah sistolik > 180 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg, atau meskipun
tekanan darah < 180/120 tetapi disertai gejala ensefalopati, dekompensi jantung atau edema
papil pada mata.18
Hipertensi krisis dapat terjadi baik pada hipertensi akut misalnya pada glomerulonefritis
akut pasca streptokokus atau pada hipertensi kronik. Hipertensi krisis memerlukan
penurunan tekanan darah yang cepat untuk mencegah kerusakan organ target. Hipertensi
krisis dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Hipertensi emergensi
2. Hipertensi urgensi
Definisi hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolik
yang telah atau dalam proses mengalami kerusakan organ target yaitu otak, jantung, ginjal
atau mata. Oleh karena itu harus diturunkan dalam beberapa menit atau jam' 211. Pada
hipertensi urgensi dapat diturunkan lebih perlahan yaitu beberapa hari. Hipertensi urgensi
sewaktu-waktu dapat progresif menjadi hipertensi emergensi, karena itu harus diturunkan
dalam 12-24 jam. Manifestasi klinik hipertensi emergensi: Ensefalopati, gagal jantung,
edema paru, gagal ginjal, krisis adenergik, trauma kepala, stroke, infark miokard, diseksi,
eklampsia.
Manifestasi klinik hipertensi emergensi nomor 7 - 1 0 biasanya ditemukan pada orang
dewasa, jarang pada anak. Pada anak yang sering ditemukan adalah ensefalopati hipertensi
pada penderita glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). Mortalitas sangat tinggi
apabila hipertensi krisis tidak mendapatkan terapi yang cepat dan tepat. Dilaporkan bahwa
angka mortalitas dalam satu tahun dapat mencapai hampir 90% pada penderita dewasa yang
tidak cepat diatasi.
3.5 Ensefalopati Hipertensi

Ensefalopati hipertensi (EH) merupakan bagian dari hipertensi krisis yaitu


tekanan darah yang meningkat mendadak dan berlebihan dengan akibat terjadi disfungsi
serebral. Karena EH dan hipertensi krisis merupakan dua hal yang saling berhubungan,
maka pembahasan kedua hal tersebut akan dilakukan bersama-sama.

Gejala klinik ensefalopati hipertensi


Gejala dini EH yang merupakan gejala prodromal terjadi 12 - 48 jam sebelumnya
ialah keluhan sakit kepala yang makin lama makin hebat, mual, muntah dan gangguan
penglihatan seperti kabur dan diplopia. Selanjutnya terjadi mental confusion, penurunan
kesadaran yang makin berat, kejang umum atau fokal. Defisit neurologik fokal dapat
dijumpai misalnya hemiparesis, afasia, refleks asimetrik dan nistagmus. Gejala
neurologik fokal tersebut bersifat sementara. Bila kelainan tersebut menetap maka
diagnosis EH perlu dipertanyakan. Timbulnya EH tidak hanya ditentukan oleh derajat
hipertensi tetapi juga oleh kecepatan peningkatan tekanan darah. Gejala EH terjadi
karena ada gangguan autoregulasi pembuluh darah serebral yang menyebabkan
terjadinya gangguan peredaran darah otak.

Pada penderita hipertensi kronik, EH timbul pada tingkat hipertensi yang lebih
tinggi karena telah ada pergeseran autoregulasi pembuluh darah otak, sedangkan pada
anak yang sebelumnya normotensif gejala EH dapat timbul pada tingkat yang lebih
rendah. Pemeriksaan funduskopi pada anak jarang memperlihatkan gambaran perdarahan
maupun edema papil. Loggie (1979) tidak menemukan kelainan retina pada anak dengan
EH. Alatas dkk (1979) meneliti 12 anak dengan hipertensi krisis, 4 di antaranya
menderita EH, dan hanya menemukan 1 kelainan fundus berupa penyempitan arteriol
tanpa eksudat, perdarahan ataupun edema papi.
Pemeriksaan pungsi lumbal menunjukkan peninggian tekanan intrakranial tetapi
komposisi cairan serebrospinal normal. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan pada
penderita EH kecuali bila dicurigai adanya perdarahan intrakranial. Pemeriksaan EEG
dan foto kepala tidak memberi bantuan dalam menegakkan diagnosis EH tetapi dapat
dilakukan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial yang lain. Dalam keadaan
meragukan pemeriksaan CT-scan dan MRI otak dapat membantu diagnosis EH
walaupun pengalaman penggunaannya masih sangatterbatas.
Kriteria yang paling tepat untuk diagnosis EH ialah hilangnya gejala dengan
cepat setelah tensi dapat diturunkan. Bila hal ini tidak terjadi maka diagnosis EH patut
diragukan. Diagnosis banding yang perlu dipikirkan ialah perdarahan intraserebral atau
subaraknoid, tumor intrakranial, trauma kepala, ensefalitis, ensefalopati uremik dan
toksik.
Patofisiologi ensefalopati hipertensi
Pada keadaan normal peredaran darah serebral senantiasa dijaga dalam batas
tertentu oleh suatu sistem yang disebut autoregulasi. Bila terjadi penurunan tekanan darah
sistemik akan terjadi vasodilatasi, sedangkan sebaliknya akan terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah serebral. Hal ini diatur oleh aktivitas saraf simpatis untuk melindungi
kerusakan jaringan otak. Sirkulasi darah otak (cerebral blood flow = CBF) akan konstan
pada level Mean Arterial Pressure (MAP) antara 60 dan 120 mmHg.
Bila tekanan darah sistemik meningkat terus sampai mencapai MAP 180 mmHg maka
kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah otak tidak dapat dipertahankan lagi, dan
terjadilah peregangan serta vasodilatasi (lihat gambar 1). Keadaan ini disebut
breakthrough CBF sehingga terjadi hiperperfusi jaringan otak dan perembesan cairan ke
jaringan perivaskular. Akibatnya terjadi edema serebri dengan gejala ensefalopati
hipertensi.

Pada penderita hipertensi kronik, pembuluh darah serebral mengalami adaptasi yaitu
dengan melakukan penebalan dinding pembuluh darah. Kurva autoregulasi akan bergeser
ke kanan (gambar 1)

Gambar 1. Autoregulasi sirkulasi darah otak


Sehingga breakthrough vasodilatasi CBF terjadi pada tensi yang lebih tinggi dari 180
mmHg MAP. Hal ini yang menerangkan mengapa ensefalopati hipertensi pada hipertensi
akut seperti pada GNAPS terjadi pada tensi yang lebih rendah, sedangkan pada hipertensi
kronik terjadi pada tensi yang lebih tinggi. Penurunan tekanan darah yang cepat pada fase
edema otak akan menyebabkan hilangnya gejala klinis dengan cepat tanpa sekuele.

Pada hipertensi kronik bila penurunan tekanan darah dilakukan terlalu cepat
maka akan terjadi hipoperfusi dan iskemia serebral yang lebih cepat daripada hipertensi
akut dengan gejala awal lemas dan pusing dan dapat berlanjut menjadi koma, bahkan
kematian. Jadi akibat pergeseran ke kanan (gambar 3) pada hipertensi kronik cerebral
blood flow sudah menurun pada level MAP 150-120 mmHg, sedangkan pada hipertensi
akut hipoperfusi CBF baru terjadi pada MAP 50-60 mmHg. Oleh karena itu terutama
pada ensefalopati yang terjadi pada hipertensi kronik penurunan tekanan darah tidak
boleh terlalu cepat.

3.6 Tatalaksana
Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek
maupun panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Selain
menurunkan tekanan darah dan meredakan gejala klinis, juga harus diperhatikan faktor lain
seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas, hiperlipidemia, kebiasaan
merokok, dan intoleransi glukosa. Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan
tekanan darah hingga di bawah persentil ke-95 berdasarkan usia dan tinggi badan anak.
Pengobatan yang dilakukan secara tepat sejak awal pada anak yang menderita hipertensi
ringan-sedang akan menurunkan risiko terjadinya stroke dan penyakit jantung koroner di
kemudian hari.15
1. Terapi non-farmakologis
Pada anak dengan kondisi prahipertensi atau hipertensi tingkat 1 dianjurkan terapi
berupa perubahan gaya hidup. Terapi ini meliputi pengendalian berat badan, olahraga
yang teratur, diet rendah lemak dan garam, pengurangan kebiasaan merokok pada anak
remaja yang merokok, dan tidak mengkonsumsi alkohol. Korelasi yang kuat terdapat
pada anak yang berat badannya berlebih dengan peningkatan tekanan darah. Pengurangan
berat badan telah terbukti efektif pada anak obese disertai hipertensi. Pengendalian berat
badan tidak hanya menurunkan tekanan darah, tetapi juga menurunkan sensitivitas
tekanan darah terhadap garam, menurunkan risiko kardiovaskular lain seperti
dislipidemia dan tahanan insulin. Aktivitas fisik tersebut minimal dilakukan selama 30-
60 menit per hari. Intervensi diet pada anak dapat berupa ditingkatkannya diet berupa
sayuran segar, buah segar, serat, dan makanan rendah lemak, serta konsumsi garam yang
adekuat hanya 1,2 g/hari (anak 4-8 tahun) dan 1,5 g/ hari untuk anak yang lebih besar
membantu dalam manajemen hipertensi.13,18
2. Terapi farmakologis
Hipertensi pada anak yang merupakan indikasi pemberian anti hipertensi yaitu
hipertensi simtomatik, adanya kerusakan organ target (retinopati, hipertrofi ventrikel kiri
dan proteinuria), hipertensi sekunder, diabetes melitus, hipertensi tingkat 1 yang tidak
menunjukkan respons dengan perubahan gaya hidup, dan hipertensi tingkat 2.15
Pemberian antihipertensi harus mengikuti aturan berjenjang, dimulai dengan satu
macam obat pada dosis terendah, kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga
mencapai efek terapetik atau munculnya efek samping atau bila dosis maksimal telah
tercapai. Obat kedua boleh diberikan dengan menggunakan obat yang memiliki
mekanisme kerja yang berbeda.15.19
Golongan diuretik dan β-blocker merupakan obat yang dianggap aman dan efektif
untuk diberikan kepada anak. Golongan obat lain yang perlu dipertimbangkan untuk
diberikan kepada anak hipertensi bila ada penyakit penyerta adalah penghambat ACE
(angiotensin converting enzyme) pada anak yang menderita diabetes mellitus atau
terdapat proteinuria, serta β-adrenergic atau penghambat calcium-channel pada anak-
anak yang mengalami migrain. Selain itu pemilihan obat antihipertensi juga tergantung
dari penyebabnya, misalnya pada glomerulonefritis akut pascastreptokokus pemberian
diuretik merupakan pilihan utama, karena hipertensi pada penyakit ini disebabkan oleh
retensi natrium dan air. Golongan penghambat ACE dan reseptor angiotensin semakin
banyak digunakan karena memiliki keuntungan mengurangi proteinuria. Penggunaan
obat penghambat ACE harus hati-hati pada anak yang mengalami penurunan fungsi
ginjal.
The Fourth Report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood
pressure in children and adolescents mendefinisikan hipertensi berat bila tekanan darah
melebihi 5 mmHg di atas persentil 99 menurut usia. Krisis hipertensi yaitu rerata TDS
atau TDD >5 mmHg di atas persentil 99 disertai gejala dan tanda klinis. Pendapat lain
menyebutkan bahwa hipertensi krisis dapat bersifat emergensi yaitu peningkatan TDS
atau TDD yang telah atau dalam proses menimbulkan kerusakan organ dalam beberapa
menit-jam atau urgensi yang perlu diturunkan dalam 12-24 jam karena sewaktu-waktu
dapat progresif menjadi hipertensi emergensi (TDS >180 mmHg dan TDD >120 mmHg).
Krisis hipertensi yang disertai gejala ensefalopati hipertensif memerlukan pengobatan
dengan antihipertensi intravena untuk mengendalikan penurunan tekanan darah dengan
tujuan terapi menurunkan tekanan darah >25% selama 8 jam pertama setelah krisis dan
secara perlahan-lahan menormalkan tekanan darah dalam 26 sampai 48 jam. Krisis
hipertensi dengan gejala lain yang lebih ringan seperti sakit kepala berat atau muntah
dapat diobati dengan antihipertensi oral atau intravena. Sodium nitroprusid, nikardipin,
dan labetalol dianjurkan sebagai obat intravena yang aman dan efektif karena mudah
dititrasi dan dengan toksisitas yang rendah. Obat lain yang dianjurkan adalah hidralazin,
klonidin, esmolol, enalaprilat.
S. RESUME
Pasien anak perempuan usia 6 tahun rujukan Puskesmas Kramat datang ke UGD
RSU Kardinah pada hari Rabu, 8 November 2017 pukul 13.45 dengan keluhan BAK
berwarna kemerahan sejak 1 hari SMRS. Keluhan lain kedua kelopak mata bengkak (+),
demam 2 hari SMRS, demam naik turun, mual, muntah (+) 1x isi makanan, batuk (-) dahak
(-) pilek (-), pusing (+), nafsu makan turun, BAB dbn. Kemudian dilakukan pemeriksaan
penunjang di Puskesmas Kramat yaitu pemeriksaan darah rutin dengan hasil dalam batas
normal, hasil urin makroskopis berupa warna urin kuning orange, keruh, protein (+) 1,
reduksi urin (-), PH 6.0, hasil mikroskopis berupa eritrosit penuh/LPB. Keluhan lain seperti
ruam-ruam pada kulit, nyeri sendi, nyeri saat BAK, nyeri pinggang, nyeri perut bagian
bawah, perdarahan gusi, mimisan, bengkak kedua kaki dan perut disangkal.
Pemeriksaan fisik di Ruang UGD RSU Kardinah Tegal. Kesadaran E4 M6 V5 
GCS 15. TD: 90/60, HR: 120x/m, RR: 20x/m, S: 38,5°, oedem palpebra (+/+). Riwayat
demam (+), sakit tenggorokan (+), pilek (+) 2 minggu SMRS dan infeksi kulit (+) ± 3-4
minggu SMRS.
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 10 November 2017, didapatkan hasil
Kesadaran: E4 M5 V6  GCS 15 (compos mentis). Pasien tampak lemas, kurus, bengkak
kedua kelopak mata, lesi kulit (+) bagian bawah mata kanan, terpasang infus RL dan DC (+),
sesak (-), ikterik (-), sianosis (-).Tekanan darah 100/80 mmHg, Nadi 94 x/menit reguler,
kuat, isi cukup, RR 22 x/menit reguler, suhu 37, 3 oC, Axilla. Data antopometri BB : 12,5 kg,
TB 97 cm, kesan status gizi kurang (BB/TB 83,3%). Status internus oedem palpebral (+/+),
lesi kulit (+) bagian bawah mata kanan dan leher bagian belakang. Lingkar kepala
normosefali. Pemeriksaan penunjang ASTO (+) 200, hasil urinalisis makroskopis warna
kuning keruh, proteinuria (-), eritrosit (+) 3 .

T. DAFTAR MASALAH
 BAK kemerahan
 Edema palpebra
 Hipertensi
 Gizi kurang
 Hasil Pemeriksaan penunjang : ASTO (+), hematuria mikroskopik

U. DIAGNOSIS BANDING
Observasi edema palpebra, hipertensi,  Edema renal : GNA, SN
hematuria  Edema Cardial : gagal jantung
 Edema Hepatal : Sirosis hepatis
 Edema Nutrisional : Kwarshiorkor
 Edema Angioneuritik : Gigitan
serangga
Status Gizi  Gizi kurang
 Gizi buruk
 Gizi normal

V. DIAGNOSIS KERJA
 Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptococcus (GNAPS)
 Faringitis
 Gizi Kurang
W. PEMERIKSAAN ANJURAN
 Urinalisis
 Laboratorium :
 Sero Imunologi (ASTO)
 Kadar komplemen (C3)
 Fungsi ginjal (Ureum, Kreatinin)
 Darah rutin
 Protein
 Kolesterol
 Radiologi : Foto Thorax

X. PENATALAKSANAAN

d. Non medikamentosa
 Rawat inap untuk monitoring gejala  ruang pengawasan (HCU)
 Tirah baring
 Diet rendah garam, restriksi cairan, dan diet tinggi kalori
 Monitor KU, TV, TD dan diuresis tiap 12 jam
 Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit, komplikasi, dan prodesur terapi yang
akan diberikan
 Pasang DC

e. Medikamentosa
 IVFD RL 15 tpm
 Inj. Ceftriaxon 2x500mg
 Inj. Lasix 2x8 mg
 Inj. PCT 4x125 mg bila demam
Y. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : ad bonam

KEJANG DEMAM

A. Definisi
Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38 oC)
yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

B. Epidemiologi
Kejang demam paling sering dijumpai pada anak, terutama pada kelompok usia 6
bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% daripada anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah
mengalami kejang demam. Lennox-Butchal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap
bangkitan kejang demam diturunkan oleh suatu gen dominan dengan penetrasi yang tidak
sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai
riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.

C. Klasifikasi
ILAE (1993) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu :
a. Kejang demam kompleks
 Kejang lama yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang bewrulang lebih
dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
 Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
 Berulang dalam 24 jam

b. Kejang demam sederhana


 Berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri
 Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal,
 Kejang tidak berulang dalam 24 jam
D. Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1o C akan meningkatkan metabolisme basal
10 % – 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup
sebuah sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan
baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi
dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak
melalui sistem kardiovaskular. Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari
permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na +) dan elektrolit lainnya, kecuali
klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na + rendah,
sedangkan diluar sel neuron terdapat konsentrasi K+ rendah dan konsentrasi Na+ tinggi.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase
yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dapat dirubah
oleh adanya :

 Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler


 Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya ; mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya
 Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada seorang anak 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
sehingga pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium
melalui membran sel neuron sehingga terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik yang
besar dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan
neurotransmitter, hal ini yang menyebabkan kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu
38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada
suhu 40oC atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah.
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan sequel. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) dapat
menimbulkan kerusakan neuron otak karena pada kejang lama disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energy untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolism anaerobic,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
disebabkan akibat aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang dapat mengakibatkan hipoksia
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan sel neuron otak.

E. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan manifestasi klinis berupa demam tinggi
dengan peningkatan suhu yang cepat, disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf
pusat. Serangan kejang terjadi pada 24 jam pertama demam, berlangsung singkat
dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik – klonik, tonik, klonik atau akinetik.
Kejang dapat berhenti sendiri lalu anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sementara, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan saraf.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum, sifat kejang, tonik, klonik,
fokal maupun umum. Tanda – tanda vital anak, status generalis dan status lokalis,
pemeriksaan neurologi untuk mengetahui penyebab kejang berasal dari susunan saraf
pusat atau ekstrakranial.
3. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang


demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam
atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
yang dilakukan ialah darah perifer, elektrolit dan gula darah.

• Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakan atau


menyingkirkan kemugkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adala
0,6 – 6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan
pada :

– Bayi usia kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan


– Bayi antara usia 12 – 18 bulan dianjurkan
– Bayi usia lebih dari 18 bulan selektif

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.

• Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi


berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsy pada pasien
kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG dapat
dilakukan bila keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.

• Pencitraan

Foto X-ray kepala, CT-scan dan MRI jarang dilakukan, hanya untuk
indikasi seperti5 ;

– Kelainan neurologic fokal menetap (hemiparesis)


– Parese nervus VI
– Papiledema

F. Diagnosis Banding
Evaluasi penyebab kejang, dari dalam atau luar susunan saraf pusat. Kelaian
dalam susunan saraf pusat berupa infeksi (meningitis, ensefalitis, abses otak dan lainnya).

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan saat kejang
Pada pasien dengan status konvulsi diberikan diazepam intravena 0,3 – 0,5
mg/kgBB perlahan – lahan dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam waktu 3 – 5
menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat praktis yang dapat diberikan oleh
orangtua dirumah adala diazepam per retal dengan dosis 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg
untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam per rectal dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak usia diatas 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam per rectal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam per rectal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/kgBB.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10 – 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau
kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4 – 8
mg/kgBB/hari dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasie harus dirawat di
ruang rawat intensif. Bila kejang berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung
jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya.
2. Pemberian obat pada saat demam
Antipiretik (paracetamol) diberikan dengan dosis 10 – 15 mg/kgBB/kali
diberikan 4 kali per hari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10
mg/kgBB/kali dibagi 3 – 4 dosis. Meskipun jarang asam asetilsalisilat dpat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan..
Pemberian diazepam sebagai antikonvulsan dengan dosis 0,3 mg/kgBB
setiap 8 jam per oral pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada
30 – 60 % kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam
pada suhu > 38,5oC.
3. Pengobatan obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat diberikan bila kejang demam menunjukan
ciri – ciri sebagai berikut :
- Kejang lebih dari 15 menit
- Adanya kelaianan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
- Kejang fokal
- Pengobatan rumat dipertimbangkan bila
 Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
 Kejang demam > 4 kali per tahun
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumatan berupa fenobarbital atau
asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.
Karena pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan
dalam jangka pendek.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat, pada sebagian kecil kasus
terutama pada anak kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan
fungsi hati. Dosis asam valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 – 3 dosis dan
fenobarbital 3 – 4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 – 2 dosis. Lama pengobatan rumat
diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama
1 – 2 bulan.

4. Mencari dan mengobati penyebab.


5. Edukasi keluarga pasien
Edukasi dengan meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumnya
mempunyai prognosis baik, memberitahukan cara penanganan kejang, memberikan
informasi mengenai kemungkinan kejang kembali, dan pemberian obat untuk
mencegah rekurensi memang efektif tetapi herus diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua bila anak kembali kejang ialah ;
 Orangtua harus mengetahui pada suhu berapa anak mengalami kejang
 Sediakan termometer dan ukur suhu tubuh setiap anak demam
 Sediakan diazepam oral (puyer, sirup). Berikan pada suhu di atas 38,5oC
 Sediakan diazepam rektal. Berikan bila suhu > 39 oC atau pada suhu anak
dapat kejang
 Bila anak kejang :
– Miringkan posisi anak
– Longgarkan pakaian
– Perhatikan jalan napas
– Berikan diazepam rectal
– Bawa segera ke dokter bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

6. Indikasi Rawat
• Kejang demam pertama kali
• Kejang demam pada usia < 1 tahun
• Kejang demam kompleks
• Hiperpiraksia ( suhu di atas 40 0C)
• Pasca kejang anak tidak sadar atau lumpuh (Tod’s paresisi)
• Permintaan orangtua

H. Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kecil kasus dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
berulang baik umum atau fokal.
Kematian karena kejang tidak pernah dilaporkan. Menurut Berg dkk, (1992) 80 %
kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang
demam adalah :

• Riwayat kejang demam dalam keluarga


• Usia kurang dari 12 bulan
• Temperatur yang rendah saat kejang
• Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80% , sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang 10
– 15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada tahun pertama.

Menurut Ellenberg dan Nelson KB (1998) faktor risiko terjadinya epilepsy


dikemudian hari adalah5 :

• Perkembangan saraf terganggu


• Kejang demam kompleks
• Riwayat epilepsi dalam keluarga
• Lamanya demam

Masing – masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsy


sampai 4 – 6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan
kejadian epilepsy menjadi 10 – 49%. Kemungkinan menjadi epilepsy tidak dapat dicegah
dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.
A. CYTOMEGALOVIRUS
Cytomegalovirus (CMV) merupakan kelompok agen dalam family herpes virus

yang dikenal penyebarannya yang luas pada manusia dan hewan. Infeksi Cytomegalovirus

(CMV) biasanya dikelompokkan dalam infeksi TORCH yang merupakan singkatan dari

Toxoplasma, Rubella, Citomegalovirus, dan Herpes.

CMV merupakan human herpesvirus 5, anggota family dari 8 virus herpes

manusia, subgrup beta-herpesvirus. Cytomegalo berarti sel yang besar. Sel yang terinfeksi

akan membesar lebih dari atau sama dengan 2x sel yang tidak terinfeksi. (Samik Wahab,

2000).

B. Epidemiologi

Infeksi CMV tersebar luas di seluruh dunia, dan terjadi endemik tanpa tergantung

musim. Iklim tidak mempengaruhi prevalensi. Pada populasi dengan keadaan sosial

ekonomi yang baik, kurang lebih 60 - 70% orang dewasa, menunjukkan hasil pemeriksaan

laboratorium positif terhadap infeksi CMV. Keadaan ini meningkat kurang lebih 1% setiap

tahun. Di Amerika Serikat , CMV menyebabkan infeksi pada 0,2-2.4% dari seluruh bayi

lahir hidup. CMV merupakan penyebab infeksi kongenital dan perinatal yang paling umum

di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV kongenital bervariasi luas di antara populasi yang

berbeda, ada yang melaporkan sebesar 0,2 –3%, ada pula sebesar 0,7 sampai 4,1%. Peneliti

lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh kehamilan (Lipitz S, 1997; Numazaki,

2004).

Kebanyakan bayi yang terinfeksi CMV kongenital tidak menunjukkan gejala saat

lahir, tetapi pada pemeriksaan selanjutnya 5-5% dari bayi tersebut menunjukkan gejala

penyulit seperti tuli sensoris dan retardasi mental. Beberapa peneliti menyatakan bahwa
CMV merupakan virus tersering yang menyebabkan retardasi mental. Di Indonesia belum

banyak diketahui angka kejadian infeksi yang disebabkan oleh CMV.

C. Transmisi

Transmisi infeksi CMV bisa melalui intrauterus, prenatal, dan post natal, lalu

penyebaran endogen.

1. Transmisi intrauterus terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu

menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5 – 1% dari

kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren. Viremia pada ibu hamil dapat menyebar

melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada

infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin

akan menimbulkan risiko tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang serius. Risiko

pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi.

Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena sel terinfeksi membawa virus dengan

muatan tinggi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun

infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih

berat (Stagno, 1994; Landini, 1999).

2. Transmisi perinatal terjadi karena sekresi melalui saluran genital atau air susu ibu. Kira-

kira 2% – 28% wanita hamil dengan CMV seropositif, melepaskan CMV ke sekret

serviks uteri dan vagina saat melahirkan, sehingga menyebabkan kurang lebih 50%

kejadian infeksi perinatal. Transmisi melalui air susu ibu dapat terjadi, karena 9% - 88%

wanita seropositive yang mengalami reaktivasi biasanya melepaskan CMV ke ASI.

Kurang lebih 50% - 60% bayi yang menyusu terinfeksi asimtomatik, bila selama

kehidupan fetus telah cukup memperoleh imunitas IgG spesifik dari ibu melalui plasenta.
Kondisi yang jelek mungkin dijumpai pada neonatus yang lahir prematur atau dengan

berat badan lahir rendah (Stagno, 1994; Landini, 1999).

3. Transmisi postnatal dapat terjadi melalui saliva, mainan anak-anak misalnya karena

terkontaminasi dari vomitus. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontak langsung atau

tidak langsung, kontak seksual, transfusi darah, transplantasi organ (Stagno, 1994;

Landini, 1999).

4. Penyebaran endogen di dalam diri individu dapat terjadi dari sel ke sel melalui desmosom

yaitu celah di antara 2 membran atau dinding sel yang berdekatan. Di samping itu,

apabila terdapat pelepasan virus dari sel terinfeksi, maka virus akan beredar dalam

sirkulasi (viremia), dan terjadi penyebaran per hematogen ke sel lain yang berjauhan, atau

dari satu organ ke organ lainnya (Stagno, 1994; Landini, 1999).

D. Struktur dan alur masuk sel

Cytomegalovirus merupakan parasit yang hidup di dalam sel atau intrasel yang

sepenuhnya tergantung pada sel normal untuk perbanyakan diri (replikasi). Virus tidak

memiliki organel metabolik seperti yang dijumpai pada prokariot misalnya bakteri atau

eukariot misalnya sel manusia. Replikasi virus tergantung dari kemampuan untuk

menginfeksi sel normal yang permissive, yaitu yang merupakan sel yang tidak dapat

melawan atau merintangi invasi dan replikasi virus. Virus tidak memproduksi baik

eksotoksin maupun endotoksin (Rote NS, 2006).


CMV terdiri dari bagian envelope ( mengandung lipid ), tegument, capsid dan

memiliki genom DNA (deoxyribonucleic acid) untai ganda berukuran besar yang mampu

mengkode lebih dari 227 macam protein dengan 35 macam protein struktural dan lain-lain

protein nonstruktural yang tidak jelas fungsinya. Genom DNA dibagi menjadi 2 bagian unik

yang dikenal dengan istilah unique short (Us) dan unique long (Ul). CMV terdiri dari

bermacam strain yang dapat dibedakan dengan cara melakukan pencernaaan tertentu

terhadap genom ini. Protein CMV disebut dengan singkatan p untuk protein, gp atau g untuk

glikoprotein, pp untuk phosphoprotein. Protein-protein tersebut dapat dijumpai pada bagian-

bagian CMV seperti envelope sekurang-kurangnya ada 5 macam, tegument juga 5 macam

yang paling imunogenik serta paling banyak diproduksi, capsid ada 5 macam pula yang

bersifat imunogenik. Glikoprotein paling imunogenik pada envelope ialah glikoprotein B

(gB). Semua antibodi yang terbentuk bersifat neutralisasi terhadap semua protein imunogen

ini, kecuali terhadap glikoprotein 48 dari envelope yang terbentuk awal (Stagno S, 1994;

Tabi Z, 2001).

CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di permukaan sel

normal, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam vakuole di sitoplasma, lalu

selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat menuju ke nukleus sel normal. Dalam waktu
cepat setelah itu, ekspresi gen immediate early (IE) spesifik RNA (ribonucleic acid) atau

transkrip gen alfa (α) dapat dijumpai tanpa ada sintesis protein virus de novo atau replikasi

DNA virus. Ekspresi protein ini adalah esensial untuk ekspresi gen virus berikutnya yaitu

gen early atau gen β yang menunjukkan transkripsi kedua dari RNA. CMV tidak

menghentikan sintesis protein normal, bahkan pada awalnya meningkatkan sintesis protein

normal. Hal ini menunjukkan bahwa replikasi dan perakitan CMV, tergantung dari beberapa

enzim normal (Stagno, 1994).

E. Gejala dan Manifestasi klinis

Gejala yang mungkin timbul pada anak dengna infeksi CMV diantaranya:
1. BBLR
2. Hepatosplenomegali
3. Ikterus
4. Kejang
5. Pneumonitis
6. Ptekie
7. Trombositopeni
8. Ruam morbiliform
Pada 80-90% bayi yang tidak menunjukan gejala saat lahir maka pada masa yang
akan dating dapat menyebabkan:
1. Gangguan pendengaran atau tuli
2. Retardasi mental
3. Gangguan visual
4. Infeksi ginjal
5. Hepatitis CMV
6. Infeksi dan inflamasi mukosa saluran cerna
7. Kelelahan
8. Malaise
9. Myalgia
Manifestasi klinis infeksi CMV
1. Infeksi kongenital CMV
Ptekie, hepatosplenomegali, ikterik pada 60-80% kasus. Mikrocephalus,
retardasi pertumbuhan intrauteri, prematur pada 30-50% kasus, pada kasus jarang
bisa timbul hernia inguinal dan chorioretinitis. Pada pemeriksaan lab didapatkan
peningkatan serum transaminase, trombositopeni, hiperbilirubinemia, hemolitik,
peningkatan protein LCS. Pada kasus berat 20-30% meninggal, yang hidup bisa
terjadi gangguan intelektual dan pendengaran. Sebagian besar kelainan belum
manifes saat lahir, beberapa tahun kemudian 5-25% muncul gangguan psikomotor,
pendengaran, mata, gigi.
2. Infeksi perinatal CMV
Kasus perinatal CMV pada 40-60% bayi yang disusui ibu positif CMV lebih 1
bulan akan terinfeksi. Gejala yang muncul antara lain : interstisiel pneumonitis,
BBLR, adenopathy, rash, hepatitis, anemia, atipical limfositosis.

3. Mononucleosis CMV
Terjadi pada immunocompeten host. Berupa monnucleosis sindrom dengan
antibodi heteropil negatif. Masa inkubasi 20-60 hari, lama gejala 2-6 minggu.
Gejala :
panas lama, menggigil, malaise, myalgia, headache, splenomegali, pharingitis
eksudativa, limfadenopati leher jarang. Gejala yang jarang meliputi : rash rubelliform,
pneumonia, miokarditis, pleuritis, arthritis, encephalitis.
Hasil pemeriksaan lab bisa menunjukan:
Limfositosis relatif, alkaifosfatase meningkat, aminotransferase meningkat, anemia
hemolitik, trombositopenia, granulocytopenia. heterophil antibodi (-), cryoglobulin
(+), Rheumatoid factor (+), cold agglutinins (+), ANA(+)
4. Infeksi pada Imunocompromised Host
Gejala pada recipients transplant dapat berupa demam, leukopeni, hepatitis,
pneumonitis, esophagitis, gastritis, colitis, retinitis.
Pada penderita AIDS CD4 <100/miL bisa terjadi retinitis bahkan gejala yang berat
diantaranya : demam lama, malaise, anorexia, fatigue, keringat malam, atralgia,
mialgia. Pada pemeriksaan lab didapatkan: Limfosit abnormal, leukopeni,
trombositopeni, atypical lymphocytosis. Pneumoni, ulcer pada GIT dengan
hematocesia dan perforasi, hepatitis, cholesistitis, adrenalitis, retinitis (buta). Bisa
fatal bila viremia dengan gangguan multi organ.
F. Diagnosis

Diagnosis pada bayi baru lahir dibuat dengan isolasi virus atau dengan PCR,

biasanya dari sampel urin. Diagnosis infeksi CMV pada orang dewasa menjadi sulit karena

tingginya frekuensi penyakit tanpa gejala dan relaps. Untuk menegakkan diagnosis

sebaiknya dilakukan berbagai cara pemeriksaan bila memungkinkan. Isolasi virus, deteksi

antigen CMV (bisa dilakukan dalam waktu 24 jam), deteksi DNA CMV dengan PCR atau

hibridisasi in situ dapat dilakukan untuk melihat adanya virus pada organ, darah, sekret

saluran pernafasan dan urin. Studi serologis sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya

antibodi spesifik IgM dari CMV atau adanya kenaikan 4 kali lipat titer antibodi. Interpretasi

hasil pemeriksaan ini membutuhkan pengetahuan tentang latar belakang epidemiologis dan

klinis dari penderita. Virus dapat di isolasi dari biakan urine atau biakan berbagai cairan atau

jaringan tubuh lain. Tes serologis mungkin terjadi peningkatan IgM yang mencapai kadar

puncak 3 – 6 bulan pasca infeksi dan bertahan sampai 1– 2 tahun kemudian. IgG meningkat

secara cepat dan bertahan seumur hidup. Masalah dari interpretasi tes serologi adalah

(Samik Wahab, 2000; Munira, 2010):

1. Kenaikan IgM yang membutuhkan waktu lama menyulitkan penentuan saat infeksi yang

tepat

2. Angka negatif palsu yang mencapai 20%

3. Adanya IgG tidak menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi yang persisten

G. Pengobatan dan Pencegahan

1. Pengobatan:
Obat-obat infeksi virus yaitu acyclovir, gancyclovir, dapat diberikan untuk infeksi

CMV. Pemberian imunisasi dengan plasma hiperimun dan globulin dikemukakan telah

memberi beberapa keberhasilan untuk mencegah infeksi primer dan dapat diberikan

kepada penderita yang akan menjalani cangkok organ. Namun demikian, program

imunisasi terhadap infeksi CMV, belum lazim dijalankan di negeri kita. Pada pemberian

transfusi darah, resipien dengan CMV negatif idealnya harus mendapat darah dari donor

dengan CMV negatif pula. Deteksi laboratorik untuk infeksi CMV, idealnya dilakukan

pada setiap donor maupun resipien yang akan mendapat transfusi darah atau cangkok

organ. Apabila terdapat peningkatan kadar IgG anti- CMV pada pemeriksaan serial yang

dilakukan 2x dengan selang waktu 2-3 minggu, maka darah donor seharusnya tidak

diberikan kepada resipien mengingat dalam kondisi tersebut infeksi atau reinfeksi masih

berlangsung. Seorang calon ibu, hendaknya menunda untuk hamil apabila secara

laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari ibu yang

menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk mengetahui infeksi

kongenital (Samik Wahab, 2000).

2. Pencegahan

Waspada dan hati-hati pada waktu mengganti popok bayi, cuci tangan dengan

baik sesudah mengganti popok bayi dan buanglah kotoran bayi di jamban yang saniter.

Hindari melakukan transfusi kepada bayi baru lahir dari ibu yang seronegatif dengan

darah donor dengan seropositif CMV.

H. Komplikasi

a. Radang hati
Radang hati atau Hepatitis CMV dapat terjadi disertai dengan atau tanpa ikterus.

Sel hepar yang terinfeksi CMV dan sel epitel saluran empedu juga seringkali

mengandung inklusi intranukleus seperti yang dijumpai pada sel epitel tubulus ginjal.

Hepatitis CMV kongenital akibat infeksi yang terjadi intrauterus dapat timbul berat,

sering disertai asites berulang. Infeksi perinatal juga seringkali menunjukkan sirosis

progresif, sedangkan pada anak yang lebih tua, infeksi seringkali berjalan asimtomatik,

walaupun dapat berjalan simtomatik dengan febris yang berlangsung lama, faringitis

eksudatif, limfadenopati dan hepatoslenomegali

b. Infeksi saluran gastrointestinal

Penyakit CMV pada saluran gastrointestinal merupakan suatu proses erosif dan

ulseratif yang dapat terjadi pada setiap lokasi di saluran gastrointestinal mulai dari mulut

sampai dengan rektum. Faktor pencetus tidak diketahui. Patogenesis lesi intestinum

merupakan proses kompleks, meliputi infeksi CMV pada mukosa disertai dengan

inflamasi dan nekrosis jaringan serta keterlibatan endotel vaskuler yang menyebabkan

kerusakan mukosa iskemik dan oklusi vaskuler. Dengan demikian berarti infeksi CMV

melibatkan sel epitel kolumner, endotel, miosit, fibroblas, dan menyebabkan destruksi

jaringan dan ulserasi. Colitis CMV yang mirip dengan colitis ulserosa juga dapat

dijumpai. Supresi imun lokal atau faktor autoimun memegang peran dalam patogenesis

penyakit CMV gastrointestinal. Gejala dan tanda tergantung dari bagian mana dari

saluran gastrointestinal yang terlibat serta keparahan lesi mukosa. Bukti-bukti kuat

menunjukkan bahwa infeksi CMV di saluran gastrointestinal dapat dijumpai tanpa

keikutsertaan patogen lain seperti Helicobacter pylori, Candida. Dilaporkan pula bahwa

penyakit CMV gastrointestinal dapat dijumpai pada penderita tanpa keadaan


imunodefisiensi, dan pada penderita lanjut usia lebih dari 60 tahun tanpa penyakit lain

yang menyertai. Di samping itu keterlibatan infeksi CMV perlu dipikirkan apabila

dijumpai suatu masa jinak di nasofaring individu imunokompeten.

c. Radang mata dan tuli

Masih banyak lagi infeksi organ yang disebabkan karena CMV, antara lain

menyerang mata , yaitu retinitis atau chorioretinitis yang dapat menyebabkan juling

(strabismus), katarak, gangguan visus, dapat pula sampai timbul kebutaan. CMV juga

dapat menyerang telinga, umumnya disebabkan karena infeksi kongenital dengan gejala

klinik nyata sampai terjadi ketulian ( sensorineural deafness) yang timbul di kemudian

hari.

I. Prognosis

Pada bayi yang telah terinfeksi CMV pada saat lahir lebih dari 90 % bayi yang

mempunya gejala infeksi CMV akan dapat mengalami gangguan hati, gangguan

pertumbuhan, gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan mentaldan abnormalitas

atau gangguan neurologis dikemudian hari dibandingkan dengan bayi tanpa gejala infeksi

CMV yang memiliki kemungkinan 5-10%. Kematian bisa terjadi dan bila tidak maka pasien

akan mengalami kecacatan secara mental (Rusepno, 2005)


Z. ANALISA KASUS
Pasien dengan keluhan kejang berulang dan demam yang sering di rasakan naik turun
mulai dari bulan agustus 2017 hingga saat ini. Dari keterangan orang tua, kejang berulang
sering terjadi di setai dengan demam, setiap kali kejang ± 5 kali dengan durasi setiap
kejang ± 3 menit. Kejang yang di alami oleh pasien tanpa di sertai penurunan kesadaran
setelah kejang, sehingga dapat di simpulkan bahwa kejang bukan di sebabkan karena
etiologi intrakranial. Diagnosa kejang pada pasien ini mengarah pada kejang demam
komplek. Akan tetapi dari keterangan orang tua pasien juga di dapat kan bahwa ada di
mana episode pasein kejang tanpa di sertai dengan adanya demam, den kejang dengan
durasi yang tidak terlalu lama serta tanpa adanya penurunan kesadaran, patut di curigai
adanya suatu epilepsi. Untuk memasitikan apakah ada kelainan terhadap glombang
epilepsi masih perlu di lakukan pemeriksaan penunjang berupa EEG, selain itu CT –Scan
juga perlu di lakukan untuk menyingkirkan adanya suatu kelainan intrakranial. Selain itu
pasienjuga mengalami demam lama yang tidak kunjung turun yang mengarahkan
kecurigaan pasien mengalami infeksi cytomegalo virus.
Prognosis pada pasien dengan infeksi CMV umumnya kurang baik, di karnakan berbagai
macam manifestasi klinis yang akan di timbilkan di masa yang akan datang.

AA. DAFTAR MASALAH


- Kejang berulang
- Demam yang tidak turun – turun

BB. DIAGNOSIS BANDING

Kejang  Infeksi
 Ekstrakranial:
- Kejang demam kompleks
- Kejang demam simpleks
 Intrakranial:
- Meningitis
- Meningoensefalitis
 Gangguan elektrolit/metabolic
 Gangguan Perdarahan Intracranial
 SOL

Demam  Autoimun
 Demam reumatik
 CMV
 Infeksi Tuberkulosis
 Isk
 Malaria

CC. DIAGNOSIS KERJA:


- KDK dd Epilepsi
- Susp CMV

DD. PEMERIKSAAN ANJURAN


 EEG
 CT – Scan
 Elektrolit
 PCR
 Mantoux Test

EE. PENATALAKSANAAN
e. Non medikamentosa
- Rawat inap untuk monitoring gejala
- Tirah baring (bed rest).

- Memperbaiki keadaan umum penderita

f. Medikamentosa
- Infus RL 10 tpm
- Asam Valproat 2 x 3 ml
- Luminal 3 x 12 mg
- Diazepam 3 x 1,5 mg
- Vit B 6 1 x ½ tablet
- Paracetamol 4 x 1 cth
- HRZ 1 X 180 mg/ 120 mg/ 160 mg
FF. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

Anda mungkin juga menyukai