LATAR BELAKANG
Epidemiologi
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai telah terjadi di Surabaya pada tahun 1968,
tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama
dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan
Jogjakarta (1972). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2020, kasus DBD sampai
dengan pekan ke-49 mencapai sebanyak 95.893, dengan kasus kematian sebanyak 661. Kasus
tersebut tersebar di 472 kabupaten/kota di 34 Provinsi. Dengan kematian akibat DBD terjadi
di 219 kabupaten/kota.
Pada fase awal DBD, gejala dan tanda tidak spesifik. Oleh karenanya, patut waspada
jika terdapat gejala dan tanda mengarah pada demam berdarah. Beberapa gejala DBD
termasuk muncul bintik-bintik merah, demam tinggi mendadak berlangsung sepanjang hari
(biasanya ≥ 39º C), badan terasa lemah dan lesu, ujung tangan dan kaki dingin, nyeri kepala,
nyeri punggung, mual dan muntah.
Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 telah berhasil diisolasi dari
darah penderita. Di Jakarta daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita DBD derajat
berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus DEN-3. Survei virologis penderita DBD
telah dilekukan di beberapa rumah sakit di Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun
1995. Keempat serotipe virus dengue berhasil diisolasi baik dari penderita DBD derajat
ringan maupun berat. Selama 17 tahun, serotipe yang berdominasi adalah virus dengue
serotipe DEN-2 atau DEN-3
Laporan kepustakaan mengenai demam berdarah dengue dalam kehamilan dan
persalinan masih sangat sedikit. Penelitian di Haiti dan Republik Dominika melaporkan
bahwa setengah dari anak yang telah mencapai usia 2 tahun di negara tersebut mempunyai
antibodi terhadap dengue. Pada saat periode non epidemik, surveilens di Republik Dominika
terhadap darah dari 54 ibu hamil dan darah tali pusat bayi yang dilahirkannya menunjukkan
attack rate adalah 6%. Dilaporkan pula bahwa kadar antibodi di dalam darah tali pusat lebih
tinggi daripada di dalam darah ibu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam kehamilan
telah terjadi imunisasi pasif transplasental.
BAB II
PEMBAHASAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegepty dan Aedes albopictus dengan empat manifestasi klinis utama berupa demam
tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan pada kasus yang berat ditandai dengan
kegagalan sirkulasi. Pasien dengan keadaan ini dapat berkembang menjadi syok hipovolemik
karena adanya kebocoran plasma, yang dikenal dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) yang
berakibat fatal.
Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, yang memiliki 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe
yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang lain sangat
kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai.
Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler
yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
meningmbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasme menurun
lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung oleh penemuan post-mortem
meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia.
Tidak terjadi lesi destruktif yang nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan
sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita sudah
stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diarborbsi dengan cepat, menimbulkan
penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor yaitu
perubahan vaskuler, trombositopenia, dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD
mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopenia, dan banyak di antaranya
penderita menunjukkan hasil pemeriksaan koagulasi yang abnormal.
Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegepty
atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus limfaticus,
sumsum tulang serta paru-paru. Data dari perbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah,
virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut.
Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan
bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik
komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit,
virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma
sel.
Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan reaksi silang pada uji serologis. Hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan
uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi di antara keempat serotipe virus DEN.
Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus
tersebut, tetapi tidak ada proteksi silang terhadap serotipe virus yang lain.
Patogenesa DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary
heterologous infection theory) atau hipotesis immune enchancement. Hipotesis ini
menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya
dengan serotipe virus dengue yang heterolog, mempunyai risiko yang lebih besar untuk
menderita DBD atau DSS. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai
virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan faktor reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag.
Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan
bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody
dependent enchancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection theory yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder
oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang
akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di samping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang
ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih
dari 30% dan berlangsung selama 24-43 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, ascites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan
syok sangat penting guna mencegah kematian.
Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus
dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimptomatik), demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, atau bentuk yang lebih
berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).
1.Demam Berdarah Dengue (DBD)
Bentuk klasik DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka
kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan
muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings
hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Nyeri
epigastrium dan di bawah tulang iga kanan, serta nyeri di daerah perut yang bersifat umum,
biasa ditemukan. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.
Bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan adalah uji tourniquet (rumple leed) positif,
kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas
pengambilan darah. Pada kebanyakan kasus petekia halus ditemukan tersebar di daerah
ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna
ringan dapat ditemukan pada fase demam. Keadaan hepatomegali juga dapat ditemukan.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada fase akhir demam, pada saat ini penurunan suhu yang
tiba-tiba sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya.
Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan, perubahan yang terjadi minimal dan
sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
DBD dibedakan dari DD dengan adanya kebocoran plasma yang bermanifestasi sebagai
peningkatan nilai hematokrit, efusi pada rongga pleura atau rongga peritoneum, atau
hipoproteinemia. Perjalanan penyakit dapat dipengaruhi oleh diagnosis dini dan pemberian
cairan.
Berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan, DBD dibagi atas 4 derajat, yaitu:
Derajat I :Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah
uji tourniquet.
Derajat II :Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau
perdarahan lain.
Derajat III :Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang), atau hipotensi,
ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah.
Derajat IV :Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.
Diagnosis
100Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan
penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah kelainan
hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya
trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu, trombositopenia dan
hemokonsentrasi merupakan kejadian yang selalui dijumpai.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 yang
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
Kriteria klinis:
1. Demam tinggi mendadak tanpa diketahui penyebab yang jelas dan berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
a. Uji tourniquet positif
b. Ptekie, ekimosis, purpura
c. Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
d. Hematemesis dan atau melena
3.Pembesaran hati
4.Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, kaki dan tangan
dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris adalah:
1. Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
2. Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan
hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan atau
hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia dan atau terjadi
perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia
mendukung diagnosis DBD.
Diagnosis Laboratoris
Diagnosis defenitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara
isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh, dan deteksi
antibodi spesifik dalam serum pasien.
Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus
dengue, yaitu:
1. Uji hemaglutinasi inhibisi
Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling sering dipakai dan
dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.
1. Uji komplemen
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh karena
selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan
beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
1. Uji neutralisasi
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.
Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test
(PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi
dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari
antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
1. IgM Elisa
Uji ini pada tahun terakhir merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Uji ini mempunyai
sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan yaitu hanya memerlukan satu serum
akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI.
1. IgG Elisa
Uji IgG Elisa sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik.
Diagnosis banding
Etiologi demam pada awal penyakit umumnya sulit diketahui, karenanya perlu ditelit
infeksi pada alat-alat tubuh baik yang disebabkan bakteri maupun virus, seperti
bronkopneumonia, kolesistitis, pielonefritis, demam tifoid, malaria dan sebagainya. Adanya
ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan DBD. Biasanya pada morbili
ruamnya lebih banyak, adanya bintik-bintik koplik pada selaput lendir mulut dan selalu
ditemukan koriza. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan
leptospirosis. Pada hari ke 3-4 demam dengan adanya manifestasi perdarahan, kemungkinan
diagnosis DBD akan lebih besar.
Perdarahan di kulit seperti petekie dan kimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis, meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak
sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas
terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear. Pemeriksaan laju endap darah
(LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis
meningokokus jelas terdapat tanda rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan
cairan serebrospinalis.
Penyakit-penyakit darah seperti idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), leukemia
pada stadium lanjut dan anemia aplastik dapat pula memberikan gejala-gejala yang mirip
DBD. Pemeriksaan sumsum tulang akan dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.
Renjatan endotoksik dan renjatan karena dengue sulit dibedakan. Umur, faktor
predisposisi dan perjalanan klinisnya dapat membantu membedakannya.
Gejala penyakit yang disebabkan virus Chikungunya (juga suatu arbovirus) mirip
sekali dengan dengue, terutama mengenai lama demam dan manifestasi perdarahan, tetapi
tidak pernah menyebabkan renjatan dan gangguan kesadaran.
Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik
seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya
ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga
disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi
intravaskular diseminata (KID).
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik.
3. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan pemberian
cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan,
biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi.
Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstra, apabila cairan
masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan
hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami distres pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto
dada.
Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD atau DSS
mortalitasnya cukup tinggi.
Pencegahan
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara paling
memadai saat ini. Vektor dengue khususnya A.aegypti sebenarnya mudah diberantas karena
sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak terbangnya maksimum
100 meter. Tetapi karena vektor terbesar luas, untuk keberhasilan pemberantasan diperlukan
total coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak dapat berkembang biak lagi.
I.PENGUMPULAN DATA
A. IDENTITAS
Nama Ibu : Ny. Mona Nama suami : Tn. David
Umur : 25 tahun Umur : 28 tahun
Suku/Kebangsaan : Batak/Indonesia Suku/Kebangsaan : Batak/Indone
Agama : Kristen Agama : Kristen
Pendidikan : DIII Pendidikan : DIII
Pekerjaan : guru Pekerjaan : Pegawai
Alamat : Jl. Karang anom Alamat : Jl. Karang an
B. DATA SUBJEKTIF
Pada tanggal : 15 September 2013 Pukul :08.00 wib
Alasan kunjungan ini : Ada keluhan
Keluhan utama : Ibu mengeluh demam,menggigil, nyeri kepala, pusing, nyeri
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis
Riwayat menstruasi
a. Haid pertama : 14 tahun
b. Siklus : 28 hari
c. Banyaknya : 3 x ganti doek/hari
d. Dismenorhoe : Ada
Riwayat kehamilan sekarang
a. HPHT :01 januari 2013
b. TTP :8 oktober 2013
c. Pergerakan janin pertama kali : 16 minggu
d. Keluhan-keluhan pada trimester I : Mual, muntah, pusing,demam,batuk
II : Demam,kurang nafsu makan,diare,mual.
III : Cepat lelah,batuk.
Keluhan yang dirasakan sekarang
d. Panas/menggigil : ada
e .Sakit kepala berat : Tidak ada
f.Penglihatan kabur : Tidak ada
g.Pengeluaran cairan pervaginam : Tidak ada
h.Oedma : Tidak ada
Tanda-tanda bahaya/penyulit
Perdarahan : Tidak ada
Obat-obat yang dikomsumsi
Antibiotik : Tidak ada
Tablet ferum : Ada
Jamu : Tidak ada
Status emosional : Stabil
Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas lalu :
N Tgl Usia Jenis Tempat Komplik Penol Bayi Nifas
o lahir kehamila persalinan persalinan asi ong
n
Umur Ibu Bayi PB/BB Keada Keadaan Lakt
Jenis an asi
1. K E H A M I L A N S E K A R A N G
2.
3.
g. Pola eliminasi
BAB : 4x sehari
BAK : kurang lebih 5x sehari
h. Aktivitas sehari-hari
Pekerjaan : Terganggu
Pola istirahat/tidur : tidak Cukup
Seksulitas : Tidak terganggu
i. Kebiasaan yang merugikan kesehatan
Merokok : Tidak ada
Minuman keras : Tidak ada
Obat-obatan terlarang : Tidak ada
j. Tempat mendapatkan pelayanan kesehatan
Rencana penolong persalinan : Bidan
Rencana tempat persalinan : Klinik bidan
Imunisasi TT1 tanggal : 13 maret 2013 TT2 tanggal:13 april 2013
Palpasi leopold
Leopold I : TFU 2 jari dibawah px (32cm).
Leopold II : Punggung kanan.
Leopold III : Presentase bokong.
Leopold IV :Sudah masuk PAP
Auskultasi DJJ
Punctum maksimum : Kuadran bawah abdomen ibu
Frekuensi : 144x/menit
Pelvimetri
Distansia spinarum : 25 cm
Distansia kristarum : 27 cm
Konjugata eksterna : 18 cm
Lingkar panggul : 82 cm
Ekstremitas
Varices : Tidak ada
Reflek patela : Ka (+) ki(+)
Oedema : Tidak ada
D. UJI DIAGNOSTIK
HB : 10 gr%
Urine : Glukosa :-
Protein :-
Uji tourniquet positif
Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demam berdarah adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah tropis
yang mirip dengan malaria. Demam berdarah oleh nyamuk Aedes Aegypti yang ditandai
dengan munculnya demam secara tiba-tiba disertai dengan sakit kepala berat, sakit pada
sendi dan otot (myalgia dan atfhralgia) dan ruam. Penyebab demam berdarah
menunjukkan demam yang lebih tinggi, satu perdarahan (trombositopenia) dan
nemokonsentrasi sejumlah kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang
mempunyai tingkat kematian tinggi.
Pengobatannya adalah terapi suportif dan alternatif lain seperti meminum jus
jambu biji bangkok, namun khasiatnya belum pernah dibuktikan secara medik. Dengan
penderita yang banyak, dinas kesehatan mengaku telah mengalokasikan dana sebesar Rp.
3,3 milyar untuk keluarga miskin.
B. Saran
Sebaiknya pemerintahh lebih memperhatikan kebersihan lingkungan agar tidak
menimbulkan beberapa penyakit dan penyakit yang cepat terjangkit pada diri manusia
apabila tidak menjaga lingkungan dengan baik yaitu penyakit demam berdarah.
Pada zaman sekarang ini seseorang sangat mudah terkena penyakit, maka dari itu
diperlukan perhatian yang ketat untuk masalah lingkungan bersih oleh pemerintah. Kami
harapkan agar pembaca memperhatikan lingkungan yang ada disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dengue Haemorrhagic Fever. Diakses dari:
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/012-23.pdf
2. Hadinagoro SR. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah dengue. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Rektorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular Dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999
3. Satari HI. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Dokter Spesialis
Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta, 1999
4. Prawirohardjo S. Penyakit Menular. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta, 1999: 567-560
5. Sumarmo S.P.S. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis.
Hipokrates. Jakarta, 1999: 177-205