Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai telah terjadi di Surabaya pada tahun 1968,
tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus
pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di
Bandung dan Jogjakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada
tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan
Bali (1973). Pada tahun 1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa
Tenggara Barat. Pada tahun 1994 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di
Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak
tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di pedesaan.
Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 telah berhasil diisolasi dari
darah penderita. Di Jakarta daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita
DBD derajat berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus DEN-3. Survei
virologis penderita DBD telah dilekukan di beberapa rumah sakit di Indonesia sejak
tahun 1972 sampai dengan tahun 1995. Keempat serotipe virus dengue berhasil
diisolasi baik dari penderita DBD derajat ringan maupun berat. Selama 17 tahun,
serotipe yang berdominasi adalah virus dengue serotipe DEN-2 atau DEN-3
Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, yang memiliki 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3, dan DEN-4. Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap
serotipe yang lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan
yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler
yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
meningmbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasme
menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung oleh penemuan
post-mortem meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan
hipoproteinemia.
Tidak terjadi lesi destruktif yang nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa
perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika
penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diarborbsi dengan
cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD dan
DSS melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopenia, dan kelainan
koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler
dan trombositopenia, dan banyak di antaranya penderita menunjukkan hasil
pemeriksaan koagulasi yang abnormal.
Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegepty
atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus
limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari perbagai penelitian
menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada
infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit
perifer.
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus genomnya masuk
ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural
virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Patogenesa DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder
(secondary heterologous infection theory) atau hipotesis immune enchancement.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog,
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD atau DSS. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan faktor reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh
karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga
akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibody dependent enchancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain,
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik
dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data
epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phospat)
sehingga trombosit mekekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID=koagulasi
intravaskuler diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation
product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan
terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit
terjadi melalui pengikatan frogmen C3g, karena terdapatnya antibodi VD, konsumsi
trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi
trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar
B-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi pada berbagai infeksi virus dan bakteri termasuk infeksi
virus dengue. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue derajat III dan IV. Terjadi
pemanjangan masa protombin (PT), masa tromboplasin parsial teraktivasi (APTT),
penurunan fibrinogen dan peningkatan D-Dimer atau FDP, serta penurunan
berbagai faktor koagulasi (11, V, VII, VIII, IX, X dan XII). Aktivasi koagulasi pada
demam berdarah dengue seperti juga pada sepsis diperkirakan melalui jalur
ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor
XIa namun tidak melalui, aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex). Aktivitas
antitrombin III pada demam berdarah dengue menurun terutama pada DSS dan
berkorelasi dengan PT, APTT, kadar albumin dan fibrinogen. Proses koagulopati
yang berlangsung di luar batas kompensasi menyebabkan terjadinya penumpukan
fibrin, KID dan kegagalan organ multipel.
Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi
virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari
tanpa gejala (asimptomatik), demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue,
atau bentuk yang lebih berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan Dengue
Shock Syndrome (DSS).
Bentuk klasik demam dengue adalah gejala demam tinggi mendadak, kadang-
kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata,
nyeri otot, tulang atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam-ruam di kulit. Ruam
berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit dapat menghilang
namun timbul kembali pada hari ke 6 atau ke 7 terutama di daerah kaki, tangan, dan
telapak kaki atau tangan. Kadang-kadang ditemui keadaan trombositopenia dan
leukopenia. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan.
Bentuk klasik DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai
dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang,
sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri
menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang
ditemukan batuk pilek. Nyeri epigastrium dan di bawah tulang iga kanan, serta nyeri
di daerah perut yang bersifat umum, biasa ditemukan. Demam tinggi dapat
menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.
Bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan adalah uji tourniquet (rumple leed)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
bekas pengambilan darah. Pada kebanyakan kasus petekia halus ditemukan
tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya
ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang
ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam.
Keadaan hepatomegali juga dapat ditemukan.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada fase akhir demam, pada saat ini penurunan
suhu yang tiba-tiba sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam
berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan, perubahan yang
terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
Berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan, DBD dibagi atas 4 derajat, yaitu:
Derajat III :Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat
dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang), atau
hipotensi, ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta pasien
menjadi gelisah.
Derajat IV :Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.
Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
Kriteria klinis:
1. Demam tinggi mendadak tanpa diketahui penyebab yang jelas dan berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
1. Pembesaran hati
2. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, kaki dan tangan
dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Diagnosis Laboratoris
Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi
virus dengue, yaitu:
1. Uji hemaglutinasi inhibisi
Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling sering
dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.
1. Uji komplemen
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh
karena selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga memerlukan tenaga
pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen
fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
1. Uji neutralisasi
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction
Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang
terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan
dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan
lama (>4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
1. IgM Elisa
Uji ini pada tahun terakhir merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Uji ini
mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan yaitu hanya
memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI.
1. IgG Elisa
Uji IgG Elisa sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik.
Diagnosis banding
Etiologi demam pada awal penyakit umumnya sulit diketahui, karenanya perlu
ditelit infeksi pada alat-alat tubuh baik yang disebabkan bakteri maupun virus,
seperti bronkopneumonia, kolesistitis, pielonefritis, demam tifoid, malaria dan
sebagainya. Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan
DBD. Biasanya pada morbili ruamnya lebih banyak, adanya bintik-bintik koplik pada
selaput lendir mulut dan selalu ditemukan koriza. Adanya pembesaran hati perlu
dibedakan dengan hepatitis akut dan leptospirosis. Pada hari ke 3-4 demam dengan
adanya manifestasi perdarahan, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar.
Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue
2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik.
3. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan
pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi
plasma dari ruang ekstra, apabila cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila
hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan
hari sakit) pasien akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak
mata, dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto dada.
Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD atau
DSS mortalitasnya cukup tinggi.
Pencegahan
1. Menggunakan insektisida.
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah dengue
adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultisida) dan temephos
(abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah
dengan pengasapan (thermal fogging) atau pengabutan (cold fogging). Untuk
pemakaian rumah tangga dapat digunakan berbagai jenis insektisida yang
disemprotkan di dalam kamar/ruangan, misalnya golongan organofosfat,
karbamat atau pyrethroid. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan
pasir abate (sand granules) ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes, yaitu
bejana tempat penampungan air bersih. Dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau
1 gram Abate SG 1 % per 10 liter air.
2. Tanpa insektisida
Caranya adalah:
Isolasi pasien agar pasien tidak digigit vektor untuk ditularkan kepada orang
lain sulit dilaksanakan lebih awal dari perawatan di rumah sakit karena kesulitan
praktis. Mencegah gigitan nyamuk dengan cara memakai obat gosok maupun
pemakaian kelambu memang dapat mencegah gigitan nyamuk, tetapi cara ini
dianggap kurang praktis. Imunisasi maupun pemberian anti-virus dalam usaha
memutuskan rantai penularan, saat ini baru dalam taraf penelitian.
Wanita hamil harus berhati-hati pada infeksi virus dengue, karena infeksi yang
terjadi mungkin dapat mempengaruhi janin. Demam dengue pada wanita hamil tidak
menyebabkan abnormalitas pada janin tetapi dapat berisiko terjadi kematian janin.
Janin yang dilahirkan dapat menderita kegagalan multiorgan pada saat lahir.
Ada beberapa laporan kasus transmisi vertikal virus dengue. Salah satunya pada
wanita Thailand dengan sakit panas yang melahirkan bayinya melalui seksio
sesarea. Meski virus dengue tidak dapat diisolasi dari si ibu, namun data serologi
menunjukkan dengue sebagai penyebab panas pada ibu tersebut. Bayi yang
dilahirkan menderita pireksia pada umur 6 hari dan hal ini mungkin dikarenakan si
bayi mendapat infeksi virus dengue dari ibunya, meskipun ada kemungkinan si bayi
digigit nyamuk pada umur 1 atau 2 hari. Selain itu, pada kasus yang lain dilaporkan
bayi yang dilahirkan dari seorang wanita yang menderita DBD pada waktu hamil
menderita panas pada umur 48 jam. Bayi ini menderita panas selama 2 hari,
hepatomegali, trombositopenia, dan efusi pleura. Dengan menggunakan PCR
(polymerase chain reaction) terdeteksi virus dengue tipe 1 di serumnya.
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk DD dan DBD karena infeksi virus
ini adalah self limited. Pengobatan dengue fever tanpa komplikasi mencakup terapi
suportif dan meliputi penghilangan rasa nyeri, penurunan temperatur tubuh, tirah
baring, dan pemberian cairan.
1.
a. Hb, Ht normal dengan trombositopenia < 100.000/µl
b. Hb, Ht yang meningkat dengan trombositopenia < 150.000/µl
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil pemeriksaan Hb, Ht, dan
trombosit dalam batas normal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke
poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya atau apabila keadaan pasien memburuk.
Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien mengalami
dehidrasi sedang, maka pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kg diberikan
Ringer Laktat perinfus sebanyak 3.000 cc/24 jam. Pada pasien dengan berat badan
lebih dari 70 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/24 jam. Jumlah
ini harus diperhitungkan kembali dengan cermat terutama pada usia kehamilan 28-
32 minggu.
Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap harinya
tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu
tubuh mulai menurun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar 2
liter/24 jam) dan tidak didapatkan tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah
trombosit mulai meningkat lebih dari 50.000/ul, maka jumlah cairan infus selanjutnya
dapat mulai dikurangi.
Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa tanpa
perdarahan masif dan tanpa syok tersebut sudah memadai, maka pemeriksaan Hb,
Ht, dan trombosit dilakukan setiap 12 jam untuk pasien dengan jumlah trombosit
kurang dari 100.000/ul, sedangkan untuk pasien dengan jumlah trombosit berkisar
100.000-150.000/ul, pemeriksaan dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan darah,
frekuensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila
keadaan pasien makin memburuk dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka
pemeriksaan tanda-tana vital harus diawasi dengan ketat.
b. Pada umum Hb, Ht dan jumlah trombosit dalam batas normal serta stabil 24 jam,
tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit belum mencapai
normal, pasien sudah dapat dipulangkan.
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD misalnya epistaksis, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran
kencing (hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan Ringer Laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa
renjatan lainnya yaitu 500 ml/4 jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan,
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-
tanda syok sedini mungkin. Pemeriksaan Hb. Ht dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam.
Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID.
Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma diberikan
bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang).
Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan yang masif
dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000 µl, disertai dengan KID.
3. Penatalaksanaan DBD dengan syok dan perdarahan spontan
Pada kasus DBD dengan syok (DSS), cairan yang diberikan adalah Ringer Laktat
sebagai cairan kristaloid pertama karena mengandung Na laktat sebagai korektor
basa. Pilihan lainnya adalah NaCL 0,9%. Selain resusitasi cairan, pasien juga diberi
oksigen 2-4 liter/menit, dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan
darah perifer lengkap, pemeriksaan hemostasis, analisis gas darah, kadar elektrolit
natrium, kalium, klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal Ringer Laktat diberikan sebanyak 20 ml.kgBB/jam dan kemudian
dievaluasi selama 30-120 menit. Syok harus dapat diatasi segera dalam 30 menit
pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien membaik,
kesadaran/keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau lebih
dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100/menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis
0,5-1 ml/kgBB/jam.
Apabila syok sudah dapat diatasi, pemberian Ringer Laktat selanjutnya dapat
dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dan dievaluasi selama 60-120 menit berikutnya.
Bila keadaan klinis stabil, maka pemberian cairan Ringer Laktat selanjutnya
sebanyak 500 cc/4 jam. Pengawasan dini terhadap kemungkinan terjadinya syok
berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadinya
syok, oleh karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, juga
karena sifat cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh
darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu apabila hemodinamik
masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30 vol%, dianjurkan untuk memakai
kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1, sedangkan bila
nilai Ht kurang dari 30 vol% hendaknya diberikan transfusi sel darah merah (PRC).
DAFTAR PUSTAKA