Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM MEI 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

OLEH :

Oleh:
Sitti Nur Misla AK
11120192110

PEMBIMBING : dr.Hasan Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Sitti Nur Misla AK
NIM : 111 2019 2110
Judul Laporan Kasus : Dengue Haemorrhagic Fever
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Mei 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr.Hasan Sp.PD

2
BAB I
PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat


dan karibia.1 Virus dengue ditemukan di daerah tropik dan sub tropik kebanyakan
di wilayah perkotaan dan pinggiran kota di dunia ini. Untuk Indonesia dengan
iklim tropis yang sangat cocok untuk pertumbuhan hewan ataupun tumbuhan serta
baik bagi tempat berkemabngnya beragam penyakit yang dibawa oleh vector,
yakni organisme penyebar agen pathogen dari inang ke inang, seperti nyamuk
yang banyak menularkan penyakit. Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue
Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh
nyamuk spesie Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vector primer serta
Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris serta Ae(Finlaya) niveus sebagai vektor
sekunder.2

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah


kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya semakin meningkat
dan penyebarannya semakin luas. Pada tahun 2017 jumlah kasus DBD yang
dilaporkan sebanyak 68.407 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 493
orang dan IR 26,12 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 2016 dengan kasus
sebanyak 204.171 serta IR 78,85 per 100.000 penduduk terjadi penurunan kasus
pada tahun 2017. Tahun 2017 terdapat 30 provinsi dengan angka kesakitan kurang
dari 49 per 100.000 penduduk yang mengalami peningkatan jumlahnya jika
dibandigkan tahun 2016 terdapat 10 provinsi dengan angka kesakitan kurang dari
49 per 100.000 penduduk.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
A. Definisi
Dengue dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) (dengue
haermorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dana tau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
dengan hemokonsentrasi (peningkatan hemarokrit) atau penumpukan cairan
di rongga tubuh.1 Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue yang mengakibatkan demam akut. 4
B. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang di kenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotype. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30
nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.1
Adapun 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-4, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. 1
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadapt
serotipe yang lain.3
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi
virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue
ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. 4
C. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah
dengue dan sindrom renjatan dengue.1
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DHF adalah:1

4
a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Sel target virus ini adalah sel
monosit terutama dan sel makrofag sebagai tempat replikasi.
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5,IL-6,dan IL-10.
c) Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibody. Namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d) Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebebkan
terbentuknya C3a dan C5a
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi virus
dengue dengan tipe berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestic
antibody sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.1
Peningkatan C3a dan C5a terhadi melalui aktivas oleh kompleks virus-
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.1
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :1
a. Supresi sumsum tulang
b. Destruksi dan pemendekan masa hidup
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari)
menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan
nadir tercapai akan terjadi peningkatan hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi
trombositopenia justru menunjukkan kenaikan. Hal ini menunjukkan
terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen
C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati
dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui

5
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin
dan PF4 yang merupakan pertanda degranulasi trombosit.1
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV.
Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur
intrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi
faktor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex).1
D. Manifestasi Klinis.
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, atau sindrom syok
dengue (SSD) dan sindrom dengue diperluas.1
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari yang
diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan adekuat.1
Demam berdarah dimulai secara tiba-tiba setelah periode inkubasi khas
5-7 hari, terdapat 3 fase: Fase demam, Fase kritis, dan fase pemulihan.5
a) Fase Febris :
Pasien biasanya mengalami demam tingkat tinggi secara tiba-tiba. Fase
demam akut ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan
eritema kulit, nyeri tubuh menyeluruh, mialgia, artralgia, dan sakit kepala.
Anoreksia, mual dan muntah sering terjadi. Tes tourniquet positif dalam fase
ini meningkatkan kemungkinan demam berdarah. Manifestasi hemoragik
ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa (mis. Hidung dan gusi)
dapat terlihat, pendarahan vagina masif (pada wanita usia subur) dan
perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama fase ini tetapi tidak umum.5

b) Fase Kritis :

6
Biasanya pada hari ke 3–7 penyakit, peningkatan permeabilitas kapiler
secara paralel dengan peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi . Ini
menandai awal dari fase kritis. Periode kebocoran plasma yang signifikan
secara klinis biasanya berlangsung 24-48 jam.5
Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan jumlah trombosit yang
cepat biasanya mendahului kebocoran plasma. Pada titik ini pasien tanpa
peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik, sementara mereka dengan
permeabilitas kapiler yang meningkat dapat menjadi lebih buruk sebagai akibat
dari kehilangan volume plasma. Tingkat peningkatan di atas hematokrit awal
sering mencerminkan tingkat keparahan kebocoran plasma.Syok terjadi ketika
volume kritis plasma hilang karena kebocoran. Ini sering didahului dengan
warning sign. Suhu tubuh mungkin di bawah normal ketika terjadi syok.5
c) Fase Pemulihan :
Jika pasien selamat dari fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi bertahap
cairan kompartemen ekstravaskuler terjadi dalam 48-72 jam berikutnya.
Keadaan umum membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal
membaik, status hemodinamik stabil dan diuresis membaik.5
Menurut manifestasi kliniknya DHF sangat bervariasi, WHO (1997)
membagi menjadi 4 derajat :4
Derajat I : Demam disertai uji tourniquet positif.
Derajat II : Demam disertai uji tourniquet positif disertai manifestasi
perdarahan (seperti : Epistaksis, perdarahan gusi )
Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah,
tekanan nadi menyempit (<20 mmhg), hipotensi, sianosis,
disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound syok), nadi tidak teraba, dan tekanan
darah tidak terukur.

E. Diagnosis
a) DBD ditegakkan berdasarkan Diagnosis kriteria (WHO, 1997):4

7
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa;
hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
1. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai
umur dan jenis kelamin.
2. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
3. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, hiponatremia.
b) Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat
adanya Iimfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR
(Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena
teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya
antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.
Lebih banyak parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:1
- Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
Iimfositosis relatif (>45 % dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase
syok akan meningkat.
- Trombosit: umumnya terdapat trornbositopenia pada hari ke 3-8.
- Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam.

8
- Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau
kelainan pembekuan darah.
- Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma.
- SGOT/SGPT dapat meningkat.
- Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
- Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
- Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan
diberikan transfusi darah atau komponen darah.
- Imunoserologi dilakukan pemeriksaan lgM dan IgG terhadap dengue.
- lgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
- Uji HI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat
pulang clari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan
surveilans.
- NS1 antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama
sampai hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% -
93.4% dengan spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas
gold standard kultur virus. Hasil negative antigen NS1 tidak
menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
c) Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesaran plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi
badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG. Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari
(rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti: nyeri

9
kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah. Demam Dengue (DD)
probable dengue.1
F. Penatalaksanaan
Penanganan Tersangka DHF tanpa syok:1
Seorang yang tersangka menderita DHF dilakukan pemeriksaan haemoglobin,
hematokrit, dan trombosit, bila :
 Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan Hb,
Ht, lekosit dan trombosit tiap 24 jam ) atau bila keadaan penderita
memburuk segera kembali ke instalansi gawat darurat.
 Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
dirawat.

Gambar 1. Penanganan tersangka DHF tanpa syok

Pemberian Cairan pada Tersangka DHF di Ruang Rawat:1


Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka diruang rawat diberikan cairan infus kristaloid. Setelah pemberian
cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam

10
 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus di bawah tetapi pemantauan Hb,Ht,
Trombo dilakukan tiap 12 jam.
 Bila Hb,Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan prokotol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan
Ht>20%

Gambar 2. Penanganan tersangka DHF di Ruang Rawat

Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%:1


Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami
defisit sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebnayal 6-7 ml/kgBB/jam.
Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda Ht turun, frekuensi nadi
turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan
harus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan
pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam
tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi
meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun,
maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam.

11
2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam tetapi bila keaadaan tidak menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam dan bila dalam
perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda
syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom
syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan
dimulai lagi seperti terapi cairan awal.
Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD deawasa:1
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa
adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam. Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan
pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan
sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta
hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit
sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan
(PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari
10g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul
disertai atau tanpa KID.
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa:1
Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka
hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera
diatasi oleh karena itu penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus

12
segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan /
pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda – tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang
diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4
liter/menit. Pemeriksaan – pemeriksaan yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD, kadar
natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB
dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai
dengan TD sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg,
frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup,
akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam)
jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 –
120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam.
Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian caira
menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-
tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka
pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan
plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan
hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan
( karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata
cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh
darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui
apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda

13
vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi
jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium
kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan
2ml/kgBB/kam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah
trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit.
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum
teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-
30 ml/kgBB dan kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai
hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung
maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal bleeding) maka
pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat
diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus
mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mulu-mula
diberikan dengantetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-
30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau
kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
(maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18
smH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah
sesuai dengan target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan
obat inotropik/vasopresor.
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian
klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan
leptospirosis.1 Perdarahan seperti petechie dan ekimosis ditemukan pada
beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada
sepsis, sejak semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan

14
ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu, jelas terdapat leukositosis
disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran kekiri pada hitung jenis)
Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan
infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat
gejala rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan
serebrospinalis. 4
Idiopathic Trombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit.
Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD,
tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai leukopeni, tidak
dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung
jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali
normal dari pada ITP.4
H. Komplikasi
a) Ensefalopati dengue , pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai
komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat
juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.4
b) Kelainan ginjal , Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase
terminal sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik.4
c) Edema paru.4

BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. X
Usia : 53 Tahun

15
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Perkawinan :-
Agama :-
Pekerjaan :-
Alamat : Sri Lanka

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Demam
Anamnesis Terpimpin :
Dilaporkan Seorang laki-laki sri lanka usia 53 tahun dari kandy
dating ke rumah sakit Pendidikan, Peradeniya dengan demam selama 4
hari. Dia sebelumnya tampak baik. Tidak ada riwayat merokok dan
konsumsi alcohol. DIa datang pada hari ke-4 dengan demam akut disertai
artalgia, mialgia, nyeri retro-orbital dan sakit kepala. Saat masuk ia
mengalami pusing postural, mual, muntah dan nyeri perut kanan atas
dengan anoreksia berat. Pasien tampak dehidrasi.. Pasien membantah
mengkonsumsi paracetamol atau obat hepatotoksik lainnya. Dia juga tidak
pernah melakukan pengobatan herbal untuk mengatasi demamnya.

C. PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan Umum
Sakit sedang/gizi cukup/ Compos mentis (E4M6V4)

Tanda vital
 Tekanan darah : Pada saat baring 120/80 mmHg,
Pada saat berdiri 110/90 mmHg
 Nadi : 96x/I, penyempitan tekanan nadi.
 Frekuensi Pernapasan : Tidak dijelaskan di dalam jurnal
 Suhu : Tidak dijelaskan di dalam jurnal

16
Pemeriksaan kepala dan leher
 Mata : anemis ( -/- ) ikterus ( + /+ )
: pupil bulat isokor
 Bibir : sianosis ( - )
 Tonsil : Tidak dijelaskan di dalam jurnal
 Faring : Tidak dijelaskan di dalam jurnal
Pemeriksaan thoraks
 Inspeksi : simetris kiri dan kanan
 Palpasi : masa tumor ( - ), nyeri tekan ( - )
 Perkusi : paru kiri : sonor
: paru kanan : sonor
: batas paru hepar : ICS IV dekstra
: batas paru belakang kanan : CV Th VIII dekstra
: batas paru belakang kiri : CV Th IX sinistra
 Auskultasi : Ronkhi ( -/- ), wheezing ( -/- )
 Suara nafas yang berkurang pada paru kanan bawah.
Pemeriksaan jantung (dalam batas normal)
 Inspeksi : apeks jantung tidak tampak
 Palpasi : apeks jantung tidak teraba
 Perkusi :Batas jantung :
- batas kanan atas : ICS II linea parastrenalis dextra
- batas kiri atas : ICS II linea parastrenalis sinistra
- batas kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
- batas kiri bawah : ICS IV linea midclavicula
 Auskultasi : bunyi jantung S I/II regular, murmur ( - )
Pemeriksaan abdomen
 Inspeksi : datar, ikut gerak nafas
 Auskultasi : peristaltic (+) kesan normal
 Palpasi : Hepar teraba dengan ukuran 4cm dibawah kosta
 Perkusi : timpani (-), ascites (-)

17
Pemeriksaan ekstremitas
 Akral hangat : +/+ +/+
 Pengisian kapiler perifer kurang dari 2 detik
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Penunjang Pada Saat Masuk Rumah Sakit
Parameter Hasil Satuan

Hb 12.6 g/dl

WBC 1.85 106

PLT 36 103

AST 27.220 U/L

ALT 11.100 U/L

PT 17.1 Detik

APTT 142.7 Detik

Kreatinin 88 mmol/L

Albumin 30 g/dl

Ionized Kalsium 1.7 mmol/L

HCO3 15

PCO2 20

VBG Lactate 5.8

Amilase 145

Pemeriksaan Urinalisis

Parameter Hasil

Protein ++

18
 Pemeriksaan USG : didapatkan cairan bebas di perihepatic , subhepatic
dan pericholycystic dengan edema dinding kandung empedu dan efusi
pleura sisi kanan yang kecil.
 Pemeriksaan NS1 (+) dan serotipe yang teridenfikasi yaitu DEN2.
 IgM(+) dan IgG dengue (+) , menunjukkan infeksi sekunder DENV

Karena keterlibatan hati yang berat, penyebab alternative dicari.


 Tes serologi :
- Hepatitis A IgM(-) , HBsAg (-), Hepatitis C IgM (-)
- Leptospira(-) dan Rickettsia (-)
- Epstein-Barr virus dan Cytomegalovirus tidak tersedia di
rumah sakit.

E. DIAGNOSA
Dengue hemorrhagic fever komplikasi dengan gagal hati akut.

F. PENATALAKSANAAN
1. Pasien dipindahkan ke ICU dan dilakukan katerisasi.
2. Resusitasi cairan dengan Kristaloid bolus 7ml/kg dikarenakan tekanan
nadi yang sempit dan cairan di titrasi sesuai tekanan darah, output urin
dan packed cell volume (PCV)
3. Dimulai dengan pemberian generasi ketiga Cephalosporin dan PPI
intravena.
Dia menunjukkan kebingungan ringan dan mengubah siklus tidur.
Mengingat fungsi hati , tanda koagulopati , kemungkinan gagal hati
akut dengan enselopati dini dipertimbangkan .
4. Pasien mulai dimengkonsumsi metronidazole oral dan lactulose.
5. Vitamin K intravena 5 mg juga diberikan

G. PLAN

19
 Gula darah diperiksa setiap 4 jam dan dikoreksi. Kadar Serum
kalsium dipantau dan dikoreksi dengan Kalsium glukonat intravena
 PCV pasien dipertahankan sekitar 40% dan mempertahankan lebih
dari 0,5 ml/kg urin output.

H. FOLLOW UP
 Dalam 12 jam berikutnya, Terjadi peningkatan transaminase (AST
47.220 U / L, ALT 27.688 U / L) dan VGB lactate meningkat
menjadi 7,8 mmol / L
 Pasien mulai diberikan IVFD N-acetylcysteine(NAC) 100 mg/jam.
 Diputuskan untuk melakukan transfusi packed cells untuk
meningkatkan Hematokrit untuk meningkatkan kapasitas oksigen
dari darah untuk meringankan kemungkinan hipoksia tingkat
jaringan dan meningkatkan oksigenasi pada tingkat jaringan.
 Pasien diberikan packed cells 100 ml/menit. Untuk mencapai dan
mempertahankan hematokrit 45% selama 8 jam.
 Pengurangan yang dramatis dari venous lactate diobservasi setelah
dilakukan transfusi packed cell.
 Waktu yang dipastikan untuk terjadi kebocoran plasma (36-48 jam)
telah berakhir pada hari berikutnya.
 Penurunan AST dan ALT secara bertahap dicatat.
 PT dan APTT menjadi normal.
Pada Hari ke -5 :
 AST dan ALT <200 U/L
 IVFD NAC dihentikan dan pasien dipulangkan.
 Pasien dalam kondisi sehat dengan enzim hati normal,
pemeriksaan darah dan albumin pada followup hari ke 7 dan 2
minggu kemudian.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 7 Hari 14

20
Hb (g/dl) 13 14 16 14.4 14.1 13.3 13.5

WBC (106 /ml) 2.06 2.66 4.37 8.25 12.4 10.6 8.9

PLT (103/ml) 21 13 9 17 101 334 387

AST (U/L) 47.220 27.220 12.004 1732 108 88 40

ALT (U/L) 27.688 11.550 4590 1001 223 56 28

PT(seconds) - 17.5 - 15.5 - - 12

APTT(seconds) - - - 56 - - 25

Kreatinin (mmol/L) - - - 84 - - 68

Albumin (g/dl) - 31 - 35 - - 42

Ionized Kalsium (mmol/L) - 1.94 - 2.05 - - 23

HCO3 12 15.9 17 20 - - -

PCO2 18 24 26 28 - - -

VBG Lactate 7.8 4.8 2.5 2.2 - - -

Amilase - - - - - - -

BAB IV
KESIMPULAN

21
Dengue adalah dapat hadir dengan manifestasi klinis yang beragam mulai
dari infeksi tanpa gejala atau demam sederhana yang tidak berdiferensiasi hingga
DBD dengan kegagalan multiorgan. Disfungsi hati dapat dikenali pada demam
berdarah dan DBD. Terkait disfungsi hati dalam infeksi dengue dapat dicurigai
pada pasien dengan demam berdarah sakit perut, mual, muntah dan anoreksia.
Hepatomegali dapat terlihat pada demam dengue dan DBD tetapi lebih sering
terjadi pada demam dengue. Patogenesis liver yang terluka pada infeksi dengue
belum sepenuhnya dijelaskan. Hipotesis yang mungkin termasuk adalah efek
langsung dari virus atau respon imun inang pada sel-sel hati, gangguan sirkulasi,
asidosis metabolik dan / atau hipoksia yang disebabkan oleh hipotensi atau
kebocoran vaskular lokal di dalam hati.6
Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci
keberhasilan pengobatan. Penegakkan diagnosis DBD secara dini dan
pengobatan yang tepat dan cepat akan menurunkan angka kematian DBD.4

DAFTAR PUSTAKA

22
1. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK-UI, Jakarta, 2006, Ed.4, (III) 1709-1713
2. Kementerian Kesehatan RI. 2018. Infodatin Situas Demam Berdarah
Dengue. In Journal Of Vector Ecology (Vol. 31, Issue 1, Pp. 71–78).
3. Soedarmo, S. S. P., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S., Satari, H. I., Dokter,
I., & Indonesia, A. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
4. Arsin, A. A.2013. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Indonesia.

5. WHO. Dengue. Guidlines For Diagnosis,Treatment, Prevention And


Control New Edition. Geneva: WHO. 2009.
6. Dalugama, C., & Gawarammana, I. B. 2017. Dengue hemorrhagic fever
complicated with acute liver failure : a case report. 1–5.

23

Anda mungkin juga menyukai