Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN BELAJAR MANDIRI

MODUL 2 BLOK 2.1


Dosen Tutor : Prof. Dr. dr. Masrul, M.Sc, Sp.GK

Oleh

Rafiqah Azzahra
2210312022

Kelompok 1

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas

2023/2024
A. Penyakit Infeksi Tropik

1. DHF ( Dangue Hemoragik Fever)

1.1 Definisi dan Klasifikasi


Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) (dengue haemorrhagic fever
(DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam , limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/ syok.

1.2 Etiologi, Epidemiologi dan Faktor Resiko

1.2.1 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4×106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah denque. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotypeterbanyak.Terdapat reaksi
silanq antara serotipe denque dengan Flavivirus lain seperti Yellowfever, Japanese
encephalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus denque dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemilogi pada hewan ternak
didapatkan antibodi terhadap virus denque pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian
pada artropoda menunjukkan virus denguedapat bereplikasi padanyamuk genus Aedes
(Stegomyia) dan Toxorhynchites.

1.2.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifil barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah
air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga
1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000
penduduk pada tahun 1998, sedangkanmortalitas DBD cenderung menurun hingga
mencapai 2% pada
tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui
vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus
setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan b a g i nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kalenq
bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus
dengue yaitu: 1). vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2). pejamu :
terdapatnya penderitadi lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk,
usia dan jenis kelamin; 3). lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan
penduduk.

1.2.3 Faktor Resiko

1. Sanitasi Lingkungan yang kurang baik, misalnya : timbunan sampah, timbunan


barang bekas, genangan air yang seringkali di sertai di tempat tinggal pasien
sehari hari
2. Adanya jentik nyamuk Aedes aegypti di tempat tinggal pasien sehari hari
3. Adanya penderita demam berdarah dangue di sekitar pasien

1.3 Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis terjadinya demam berdarah denque hingga saat ini mash diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti vang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan
dalam terjadinyademam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a). respons
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis
yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitasyang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus
dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis in
disebut antibody dependent enhancement (ADE); b). limfosit Tbaik T-helper (CD4) dan T-
sitotoksik (CD8) berneran dalam respon imun selular terhadap virus dengue. Diferensiasi
Thelper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis
virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis in menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu aktivasi komplemen oleh
kompleks imun meyebabkan terbentukya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi l a n g virus dengue dengan tipeyang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi
kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus denque menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helperdan T-sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamin vang mengakibatkan teriadinva disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi sumsum
tulang, 2). destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase
awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah
keadaan nadir tercapai akan teriadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal i n menuniukkan teriadinva stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit teriadi melalui
pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan
petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium I dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah denque
teriadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi faktor Xla namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex).
1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam bedarah denque atau sindrom syok dengue
(SSD) dan sindrom dengue diperluas.
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,akan tetapi mempunvai
risiko untuk teriadi reniatan iika tidak mendapat pengobatan adekuat
Tanda dan gejala klinis sangat bervariasi dari ringan pada DD hingga berat pada DBD.
Gejala yang timbul antara lain:
- Demam bifasik yang muncul tiba-tiba:
- Mual muntah:
- Ruam kulit;
- Nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh atau terpusat
pada su- praorbita dan retroorbita. Nyeri otot terutama pada tendon dan otot perut apabila
ditekan:
- Gangguan pada mata: pembengkakan, inj eksi kon- jungtiva, lakrimasi, dan fotofobia:
Tanda bahaya: nyeri perut, muntah persisten, aku- mulasi cairan yang dapat terlihat pada
pemerik- saan fisis, perdarahan mukosa, letargi, pembesaran hepar >2cm, dan
peningkatan hematokrit bersa- maan dengan penurunan jumlah trombosit.

Perjalanan klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase febris, kritis, dan
pemulihan ;
1.5 Diagnosis
Berdasarkan panduan yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) pada tahun
2009 , demam dengue terbagi menjadi tiga bagian. yakni:

1. Dengue tanpa tanda-tanda bahaya


Kemungkinan dengue ; Tinggal atau bepergian ke area endemis dengue dengan demam,
ditambah dengan dua tanda gejala berikut ini:
- Nyeri kepala Malaise
- Mialgia
- Artralgia
- Nyeri retro-orbital
- Anoreksia
- Nausea
- Muntah
- Diare
- Flushed skin
- Ruam (petekie, Herman ·s sign)

Pemeriksaan laboratorium, paling tidak darah perifer lengkap (leukopenia dengan atau tanpa
trombositopenia) dan/atau tes antigen dengue NS I atau tes antibodi dengue IgM (opsional)

Diagnosis pasti dengue:


Isolasi kultur virus
Polymerase chain reaction (PCR)

2. Dengue dengan tanda-tanda bahaya


Tinggal atau bepergian ke area endemis dengue dengan demam amara 2 hingga 7 hari.
ditambah salah satu dari tanda gejala berikut ini:
- Nyeri atau nyeri tekan abdomen
- Muntah persisten
- Tanda klinis akumulasi cairan
- Perdarahan mukosa
- Letargi, lemah
- Pembesaran hati
- Laboratorium: peningkatan hematokrit dan/ atau penurunan trombosit

3. Dengue berat
Tinggal atau bepergian ke area endemis dengue dengan demam antara 2 - 7 hari dan dengan
mani· festasi klinis dengue di atas dengan atau tanpa tan· da-tanda bahaya, ditambah dengan:
- Kebocoran plasma berat. yang mengakibatkan:
o Syok
o Akumulasi cairan dengan gangguan pernapasan
- Perdarahan berat
o Epistaksis tak terkendali
o Hematemesis dan atau melena
o Perdarahan otak
o Hematuria grosmkaroskopik
o Hematoskezia
- Gangguan organ berat
o Hati : SGOT atau SGPT ≥ 1000
o System saraf pusat, misalnya kejang, gangguan kesadaran
o Jantung, misalnya miokarditis
o Ginjal, misalnya gagal ginjal

1.6 Tata Laksana


Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hinaga kurang dari 1%.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampudipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit
Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan
kriteria:
- penatalaksanaan vang tepat dengan rancangan tindakan yangdibuat sesuai atas indikasi.
- praktis dalam pelaksanaannya.
- mempertimbangkancost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :

Protokol 1 : Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersanaka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
- Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 - 150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau b e r o b a tjalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau
bila keadaan penderita memburuk segera kembali keUnit Gawat Darurat.
- Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
- Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di ruang
rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini : Volume cairan
kristaloid per harivang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 +(20 ×(BB dalam kg- 20))
Contoh volume rumatan untuk B 55 kg: 1500 + (20 X (55-20)]=2200 ml. Setelah pemberian
cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24jam:

- Bila Hb, Htmeningkat10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombodilakukantiap 12 jam.
- Bila Hb, Ht meningkat > 20% dantrombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%


Meningkatya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak
5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalahdenganmemberikan infus cairan
kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian
cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit t u r n , frekuensi
nadi t u r n , tekanan darah stabil, produksi urin meningkat m a k ajumlah cairan infus
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan
bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi meniadi
3ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan
dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dannadi meningkat, tekanan nadi menurun <20
mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus meniadi 10
ml/ kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila
keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah caira infus dinaikan meniadi 15
ml/kgBB/iam d a n bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan
tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuaidengan protokol tatalaksana sindrom svok
denque pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti
terapi pemberian cairan awal.

Protokol 4 :Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan hidung/
epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti in jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan dan jumlah
urin dilakukansesering mungkin dengan kewaspadaanHb, Ht, dan trombosis serta hemostasis
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6
jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinisdan laboratorisdidapatkantanda-tanda
koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan
aPTTyangmemanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID

Protokol 5 :Tatalaksana Sindrom Syok Denque pada dewasa


Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskular yanghilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tampa renjatan, danrenjatan dapat
teriadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan- pemeriksaan yang
harus dilakukan adalah pemeriksaan
darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan
klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB d a n dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100
mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis
0,5-1ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-
120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan meniadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu
60-120 menit kemudiankeadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/ jam. 3ila
24-48jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis
cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan
plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit,
cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema
paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan teriadinya reniatan berulang harus dilakukan terutama
dalam waktu 48 jam pertama seiak teriadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit
mash berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam
pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah
renatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2
ml/kgBB/jam. Pemantauan kadarhemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perialanan penya<it.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternvata renjatan belum teratasi, maka
pemberiancairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB,dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma m a s h berlangsung
maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun,
berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah
segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaikva kita harus mengetahui sifat-sifat cairan
tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-muladiberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB
dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau
kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat
ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 m/hari) dengan sasaran
tekanan vena sentral 15-18 cmH20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID,
infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentralpenderita sudah sesuai dengan target tetapi
renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

1.7 Prognosis dan Kompikasi

1.7.1 Prognosis
Mortalitas demam dengue relatif rendah. Namun, pada DBD/ DSS mortalitas cukup tinggi. Pada
usia dewasa, prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dibandingkan anak-anak.

1.7.2 Komplikasi
Dangue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, gagal ginjal, gagal hati
1.8 Indikasi Rujukan
1. DBD dengan syok (terdapat kegagalan sirkulasi).
2. Bila anak tidak dapat minum dengan adekuat, asupan sulit, walaupun tidak ada kegagalan
sirkulasi.
3. Bila keluarga tidak mampu melakukan perawatan di rumah dengan adekuat, walaupun DBD
tanpa syok

2. Malaria
2.1 Definisi dan Klasifikasi
Infeksi malaria disebabkan olehadanya parasit plasmodium didalam darah atau jaringan
yanq dibuktikan dengan pemeriksaan mikroskopik yang positif, adanya antigen malaria dengan
tes cepat, ditemukan DNA/ RNA parasit pada pemeriksaan PCR.3 Infeksi malaria dapat
memberikan gejala berupa demam, mengqigil, anemia dan splenomegali. Pada individu yang
imun dapat berlangsung tanpa gejala (asimtomatis)

Penyakit Malaria (malaria disease) : ialah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
plasmodium didalam eritrosit dan biasanya disertai dengan gejala demam.Dapat berlangsung
akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tapa komplikasi ataupun mengalami
komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasit yang menyerupai
malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis.

2.2 Etiologi, Epidemiologi, dan Faktor Resiko

2.2.1 Etiologi

Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain


menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil dan mamalia.
Termasuk genus plasmodium dari famili plasmodidae, ordo Eucoccidiorida, klas Sporozoasida,
dan phyllum Apicomplexa.

Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan mengalami
pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh
nyamuk anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang menqinfeksi
binatang (82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada binatang primata)

Sementara itu terdapat empat plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, vanq sering
diumpai ialah plasmodium viva yang menyebabkan malaria tertiana dan plasmodium falciparum
vanq menyebabkan malaria tropika. Plasmodium malaria pernah juga dijumpai pada kasus di
Indonesia tetapi sangat jarang. Plasmodium ovale pernah dilaporkan dijumpai di Iran Jaya, pulau
Timor, dan pulau Owi (utara Iran Jaya). Seiak tahun 2004 telah dilaporkan munculnva malaria b
a r dikenal sebagai malaria ke-5 (the fifth malaria) yang disebabkan oleh Plasmodium knowlesi
yang sebelumnya hanya menginfeksi monyet berekor panjang, namun sekarang dapat pula
menginfeksi manusia.

2.2.2 Epidemiologi
Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika
(bagian Selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Caribia. Lebih dari 1.6 triliun manusia
terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1juta
pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada, negara di Eropa
(kecuali Risia), Israel, Singapura, Hongkong, Japan,Taiwan, Korea,Brunei dan Australia. Negara
tersebut ter-hindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik; walaupun demikian di
negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria vang di impor karena pendatangdari
negara malaria atau penduduknyamengunjungi daerah-daerah malaria

P. falciparum dan P. malariae ummumnya di jumpai pada semua negara dengan malaria;
di Afrika, Haiti dan Papua Nugini umumnya P. falciparum; P. vivax banyak di
Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tanggara, negara Oceania dan India umumnya P
falciparum dan P. vivax. P. ovale biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur
mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Iran Jaya dan dari Lombok
sampai Nusatenggara Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria dengan P.
falciparum d a n P. vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan
Batam kasus malaria cenderung meningkat. Populasi yang berisiko terhadap malaria ialah 113
juta dari 218 juta masyarakat Indonesia. Walaupun demikian jumlah kasus malaria telah
menurun dari 2.8juta tahun 2001 menjadi
1.2juta kasus pada tahun 2008.

Daur Hidup Parasit Malaria


Infeksi parasit malaria pada manusia mulai sat nyamuk anopheles betina menggigit
manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana sebagian
besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah.
Di dalam sel parenkim hat mulaila perkembangan bentuk aseksual skizon intrahepatik atau
skizon pre eritrosit. Perkembangan in memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium falciparum
dan 15 hari untuk plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk skizon
hati yang apabila pecah akan dapat mengeluarkan 10.000- 30.000 merozoit ke sirkulasi darah.
Pada P. vivax dan ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit yang dapat
bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan menyebabkan terjadinya relaps
padamalaria.

Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit danm a s
kmelalui reseptorpermukaan eritrosit. Pada P. vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor
antigen Duffy Fya atau Fyb. Hal in menyebabkan individudengan golongan darahDuffy negatif
tidak dapat terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P. falciparum diduga suatu glycophorins,
sedangkan pada P malaria dan P. ovale belum diketahui. Dalam waktu kurang dari
12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P . falciparum menjadi bentuk stereo -
headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh
setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolisme-nva membentuk pigmen yang disebut
hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebihelastik
dan dinding berubah lonjong, pada P. falciparum dinding eritrosit membentuk tonjolan yang
disebut knob yang nantinya penting dalam proses sitoaderens dan rosetting. Setelah
36 iam invasi kedalam eritrosit, parasit berubah meniadi skizon, dan bila skizon pecah akan
mengeluarkan 6 - 36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P
falciparum, P. vivax dan P. ovale ialah 48 jam dan pada P. malariae adalah 72 jam.
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila nyamuk
menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah
terjadi perkawinan akanterbentuk zigot dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet yang
menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk oocyst yang akan menjadi masak
dan mengeluarkan sporozoit yang akanbermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap
menginfeksi manusia.
Pada surveilens malaria di masyarakat, tingginya slide positive rate (SPR) menentukan
endemisitas suatu daerah
dan pola klinis penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi :
- HIPOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 0 - 10%
- MESOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
- HIPERENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 50- 75%
- HOLOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate › 75%

Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2 - 9 tahun. Pada daerah
holoendemik banyak penderitaanak-anak dengan anemia berat, pada daerah hiperendemik dan
mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-kanak (2 - 10tahun), sedangkan
pada daerah hipoendemik/daerah tidak stabil banyak dijumpai malaria serebral, malaria dengan
gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa.

2.3 Patogenesis dan Patofisologi


Setelah melaluijaringan hati P. falciparum melepaskan 18- 24 merozoit ke dalam sirkulasi.
Merozoit yang di lepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta
filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit.
Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit
dalam eritrosit yang berpotensi (EP) inilahyangbertanggung jawab dalam patogenesis terjadinya
malaria pada manusia. Patogenesis malaria yang banyak diteliti adalah patogenesis malaria yang
disebabkan oleh P. falciparum.

Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor peiamu (host).
Termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit.
Sedangkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal,
genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. EP secara garis besar mengalami 2 stadium,
yaitu stadium cincin pada 2 4jam Idan stadium matur pada 24jam ke II. Permukaan EP stadium
cincin akan menampilkan antigen RESA (Rinq-erythrocytesurgace antigen) yang menghilang
setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan meng-alami
penonjolan dan membentuk knob dengan HistidinRich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen
utamanya.Selanjutnya bila EP tersebut berubah menjadi merozoid, akan dilepaskan toksin
malaria berupa GPI atau glikosifosfatidilinositol yang merangsang pelepasanTNF-a dan
interleukin- 1LI(- 1) dari makrofag.

Sitoaderensi. Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel
vaskular.Perlekatan terjadi molekul adhesif yang terletak dipermukaan knob EP melekat dengan
molekul-molekul adhesif yang terletak dipermukaan endotel vaskular. Molekul adhesif di
permukaan knob EP secara kolektif disebut PfEMP-1, (P.falciparum erythrocyte membrane
protein-1). Molekul adhesif dipermukaan sel endotel vaskular adalah CD36, trombospondin,
intercellular- adhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule - 1 (VCAM),
endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1) dan qlycosaminoglycan chondroitin sulfate
A. PfEMP-1 merupakan protein-protein hasil ekspresi genetik oleh sekelompok gen yang berada
dipermukaan knob. Kelompok gen ini disebut gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi
antigenik yang sangat besar

Sekuestrasi. Sitoaderen menvebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit
dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang
mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada
plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada
organ-organ vital dan hampir semuajaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak,
dikuti dengan hear dan ginjal, paru jantung, usus dankulit.Sekuestrasi inididuga memegang
peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.

Rosetting ialahberkelompoknya EP matur yang diselubungi10 atau lebih eritrosit yang tidak
mengandung parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoaderensi juga yang dapat
melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan
sehingga mempermudah teriadinva sitoadheren.

Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari
malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-a (tumor necrosis factor-alpha),
interleukin-1 (IL -1), interleukin-6 (IL -6), interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan
interferon- gamma (INF-g). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria
serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoqlikemia mempunyai kadar
TNF-a yang tinggi. Demikianjuga malaria tapa komplikasi kadar TNF-a, IL-1, IL-6 lebih rendah
dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil in tidak konsisten karena juga dijumpai penderita
malaria yang mati dengan TN normal/ rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan
sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmitter yang lain s e b a g
a ifree-radical dalam kaskade in seperti nitrit-oksida sebagai faktor yang
penting dalam patogenesis malaria berat.

Nitrit Oksida. Akhir-akhir in banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam
menimbulkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru
memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan ekspresi
molekuladesi. Diduga produksi NO lokal di organ terutama otak yang berlebihandapat
mengganggu fungsi organ tersebut. Sebalikya pendapat lain menyatakan kadar NO tertentu,
memberikan perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin
menimbulkan malaria berat, dituniukkan dari rendahnva kadar nitrat dan nitrittotal pada cairan
serebrospiral. Anak- anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunvai kadar arginine yang
rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada patogenesis malaria berat m a s h
kontroversial, banyak hipotesis vang belum dapat dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai
penelitian sering saling bertentangan.
2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, dan tingginya transmissi infeksi
malaria. Berat/ ringannya infeksi dipengaruhi oleh ienis plasmodium (P. Falciparum sering
memberikan komplikasi), daerah asal infe‹si (pola resistensi terhadap pengobatan), umur (usia
lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi,
kemoprofilaksis dan pengobatan sebelumnya

Manifestasi Malaria Tanpa Komplikasi

Dikenal 5 jenis plasmodium (P) yang mengineksi manusia yaitu P. vivax, yang merupakan
infeksi yang paling sering dan menyebabkan malaria tertiana/ vivaks, P. falciparum, memberikan
banyak komplikasi dan mempunyai perjalanan klinis yang cukup serius, mudah resisten dengan
pengobatan dan menyebabkan malaria tropika/ falsiparum, P. malariae, cukup jarang namun
dapat menimbulkan sindroma nefrotik dan menyebaokan malaria quartana/ malariae, P.
ovaledijumpai pada deerah Afrika danPasifik Barat, memberikan infeksi yang paling ringan dan
sering sembuh spontan tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale, dan Plasmodium ke-5
ialah P. Knowles yang dilaporkan pertama kalidi Serawak sering didiagnosa sebagai P. malariae
dan dapat menyebakan malaria berat.

Manifestasi Umum Malaria


Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan splenomegali. Masa
inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum
terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit punggung, merasa dingin di
punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, sakit perut, diare ringan dan
kadang-kadang dingin. Keluhan prodromal sering teriadi pada P. viva dan ovale, sedang pada P.
falciparum dan malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala
dapat mendadak

Gejala yang klasik vaitu teriadinva " Trias Malaria "


secara berurutan: periode dingin (15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus
diri dengan selimut atau sarung dan pada s a t menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-
geligi saling terantuk, diikuti dengan meningkatya temperatur; diikuti dengan periode
panas:penderita muka merah, nadi cepat, dan suhu badan tetap tinggi beberapa jam, dikuti
dengan keadaan berkeringat; kemudian periode berkeringat : penderita berkeringat banyak dan
temperatur turun, dan penderita merasa sehat. Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi P.
vivax, pada P. falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak
panas berlangsung 12 jam pada P. falciparum, 36 jam pada P. vivax dan ovale, 60jam pada P.
malaria. Timbulnya gejala trias malaria ini jugadipengaruhi tingginya kadar TN- alfa.

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme
terjadinya anemia ialah : pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan sementara eritropoiesis,
hemolisis oleh karena kompleks imun yang diperantarai komplemen, eritrofagositosis,
penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Pembesaran limpa (splenomegali)
sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah -3 hari dari serangan infeksi
akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam
pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian pada binatang percobaan memperlihatkan
limpa memfagosit eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolisme, antigenik dan
rheological dari eritrosit yang terinfeksi.

Beberapa keadaan klinik dalam perialanan infeksi malaria ialah


Serangan primer : yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai teriadi serangan
paroksismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan paroksismal ini
dapat pendek atau panjang tergantung dari jumlah parasit dan keadaan immunitas penderita.
Periode latent: vaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi
malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
Rekrudesensi: berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah
berakhirnya serangan primer. Rekrudesensi dapat terjadi berupa berulangnya gejala klinik
sesudah periode laten dari serangan primer. Sering disebut relaps waktu panjang.
Rekurens:yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya
serangan primer.
Relaps atau Rechute: yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia y a n g lebih lama dari
waktu diantara serangan periodik dari infeksi primer atau setelah periode yang lama dari masa
laten (sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk diluar
eritrosit(hati) pada malaria vivaks atau ovale.

Manifestasi Klinis Malaria Tertiana/ M.Vivax/ M.Benigna.


Secara epidemiologi pada tahun 1999 diperkirakan terdapat 72-80 juta penderita malaria
vivaksdi dunia dan 52 % ada di Asia. Saat ini terjadi peningkatan 2.5 kali lipat jumlah penderita
dan secara global beban malaria vivaks adalah 132-391 juta orang per tahun.

Inkubasi 12-17 hari, bisa lebih panjang 12 - 20 hari. Pada hari-hari pertama panas regular,
kadang-kadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut perasaan dingin atau menggigil jarang
terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermiten dan periodik setiap 48 jam dengan
gejala klasik trias malaria. Serangan paroksismal biasanya teriadi waktu sore hari. Kepadatan
parasit mencapai maksimal dalam waktu 7-14 hari.

Pada minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14 hari, limpa masih
dapat membesar dan panas masih berlangsung. Pada akhir minggu kelima panas mulai turun.
Pada malaria vivaks, limpa dapat membesar sampai derajat 4 atau 5 (ukuran Hackett). Malaria
serebral jarang teriadi. Edema tunqkai disebabkan karena hipoalbuminemia. Malaria vivaks
sering menyebabkan relaps. Pada penderita yang semi- imun infeksi malaria vivaks tidak spesifik
dan ringan saja; parasitemia hanya rendah; serangan demam hanva pendek dan penyembuhan
lebih cepat. Resistensi terhadap kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya dan
di daerah lainnya (Sumatra). 22-24. Relaps sering teriadi arena keluarnya bentuk hipnozoit yang
tertinggal di hati pada saat status imun tubuh menurun. Malaria vivaks saat ini dapat juga
berkembang menjadi malaria b e r a tdan memberikan komplikasi seperti gagal pernapasan,
malaria serebral, disfunqsi hati dan anemia berat.

Manifestasi Klinis Malaria Malariae/M. Quartana


M. malariae banyak dijumpai didaerah Afrika, Amerika latin, sebagian Asia. Penyebarannya
tidak seluas P.vivax dan P.falciparum. Masa inkubasi 18 - 40 hari. Manifestasi klinik seperti
pada malaria vivaks hanya berlangsung lebih ringan, anemia jarang terjadi, splenomegali sering
dijumpai walaupun ringan. Serangan paroksismal teriadi tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore
dan parasitemia sangat rendah < 1%.
Komplikasijarang terjadi, sindroma nefrotik dilaporkan padainfeksi plasmodium malariae pada
anak-anak Afrika. Diduga komplikasi ginjal disebabkan oleh karenadeposit kompleks imun pada
glomerulus ginial. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan lq M bersama peningkatan titer
anti-bodinya. Pada pemeriksaan dapat dijumpai ede na, asites, proteinuria yang banyak,
hipoproteinaemia, tampa uremia dan hipertensi. Keadaan ini prognosisnya
jelek, respons terhadap pengobatan anti malaria tidak menolong, diet dengan kurang garam dan
tinggi
protein, dan diuretik boleh dicoba, steroid tidak berguna. Pengobatan dengan azatioprin dengan
dosis 2-2,5 mg/ kg B.B selama 12 bulan tampaknya memberikan hasil yang baik; siklofosfamid
lebih sering memberikan efek toksik. Rekrudesensi sering teriadi pada plasmodium malariae,
parasit dapat bertahan lama dalam darah perifer, sedangkan bentuk diluar eritrosit (di hati) tidak
teriadi pada P. malariae

Manifestasi Klinis Malaria ovale


Merupakan bentuk yang paling ringan dari semua jenis malaria. Masa inkubasi 11-16 hari,
serangan paroksismal 3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali walaupun tanpa
terapi. Apabila terjadi infeksi campuran dengan plasmodium lain, maka P.ovale tidaka k a n tarr
pak didarah tepi, tetapi plasmodium yang lain yang akan ditemukan. Gejala klinis hampir sama
dengan malaria vivaks, lebih ringan, puncak panas lebih rendah dan perlangsungan lebih pendek,
dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Serangan menggigil jaranqteriadi dan splenomegali
jarang sampai dapat diraba.
Manifestasi Klinis Malaria Tropika/M. falsiparum
Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yangireguler,
anemia, splenomegali, parasitemiasering dijumpai, dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi
9-14 hari. Malaria tropika mempunyai perjalanan klinis yang cepat, dan parasitemia yang tinggi
dan menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala prodromal yang sering dijumpai yaitu sakit kepala,
nyeri punggung/ nyeri tungkai, lesu, perasaan dingin, mual, muntah, dan diare. Parasit sulit
itemui pada penderita der gan pengobatan imunosupresan. Panas biasanya ireguler dan tidak
periodik, sering terjadi hiperpireksia dengan temperatur di atas 40°C. Gejala lain berupa
konvulsi, pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun temperatur normal. Apabila infeksi
memberat nadi cepat, nausea, muntah, diarea menjadi berat dan dikuti kelainan paru (batuk).
Splenomegali dijumpai lebih sering. dari hepatomegali dan nyeri pada perabaan; dapat disertai
timbulnya ikterus. Kelainan urn dapatberupaalbuminuria, hialin dan kristal yang granuler.
Anemia lebih menonjol dengan leukopenia dan monositosis.
Manifestasi klinik P. Knowlesi
Sejak dipublikasikan tahun 2004 sebagai hasil studi retrospektif terhadap adanya kasus di Kapit-
Serawak dimana dilaporkan sebagai P. Malaria yang tidak klasik. Malaria ini dikenal sebagai
Simian malaria vang menginfeksi kera ber-ekor panjang dikenal sebagai Maccaca fascicularis,
M. nemestrina dan juga Presbytis femoralis. Dalam retrospektif analisis kasus malaria di
Serawak-Sabak tahun 2001-2006, dari 960 kasus, P. knowlesi ditemukan pada 266 (27.7%). 81
Selain di serawak Malaysia, P. knowlesijuga dilaporkan di Filipine, Singapore, Thailand dan
Myanmar. Di Indonesia juga pernah dilaporkan penderita dari Kalimantan. Setagai vektor utama
ialah Anopheles cracens, An. Latens, An. Balabacencis. Malaria in sering didiagnosa sebacai P.
malariae yang tidak klasik karena gejala panas lebih dominan, dengan puncak panas tiap hari,
kadang dengan 2 puncak.mempunyai siklus aseksual tiap 24 jam dan masa inkubasi
eksperimental 9-12 hari. Sering dijumpai gejala nyeri abdomen dengan diarea. Parasitemia lebih
tinggi dibandingkan oleh P. malariae. Komplikasi malaria beratdapat terjadi berupa penurunan
kesadaran, hipotensi, gagal ginjal, ikterik, gagal pernapasan dan menyebabkan
kematian. Diagnosa pasti malaria knowlesi saat ini hanya dengan pemeriksaan analysis DNA
dengan pemeriksaan PCR

2.5 Diagnosis
Diagnosa malaria ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopik. Gejala
klinis saja sering bervariasi dan tidak spesifik sehingga penegakkan diagnosa berdasar gejala
klinis mempunyai spesifitas yang rendah. Adanya riwayat/ anamnesa penderita tentang asal
apakahdaridaerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria sangat membantu
dalam memperkirakan adanva infeksi malaria. WHOmerekomendasikan diagnosis berdasar
gejala klinis dengan 2 petunjuk
1. Bila risiko infeksi malaria rendah, kemungkinan transmisi malaria minimal, diagnosa
berdasar adanya demam selama 3 hari dan tidak ditemukan penvebab infeksi lainnya.
2. Bila penderita risiko malaria tinggi, dan transmisi
malaria sangat tinggi, diagnosa berdasar adanya demam saat hari disertai adanya anemia, pada
anak sering ditandai dengan pucat di telapaktangan.

Diagnosis pasti dengan menemukan adanya parasit malaria ditegakkan dengan pemeriksaan
mikroskopik sebagai standar baku dan bila tidak dimungkinkan dibantu dengan tes diagnosa
cepat (Rapid Diagnosis Test =RDT)

Pemeriksaan Tetes Darah untuk Malaria


Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting
untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan satu kalidengan hasil negatiftidak menyingkirkan
diagnosis malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali danhasil negatif dapat menyingkirkan
kemungkinan malaria. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga laboratorik yang
berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan pada saat penderita demam
atau panas dapat meninqkatkan kemungkinan ditemukannya parasit. Pemeriksaan dengan
stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas manfaatnya dan sering membahayakan terutama penderita
dengan hipertensi. Pemeriksaan parasit malaria melalui aspirasi sumsum tulang hanya untuk
tujuan penelitian dan tidak sebagai cara diagnosis yang rutin. Adapun pemeriksaan darah tepi
dapat dilakukan melalui :
Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria
karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat
khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan
identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang
pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negatip bila setelah diperiksa 200
lapang pandangan dengan pembesaran kuat (700-1000) kali tidak ditemukan parasit. Hitung
parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila
leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasitdikalikan 50 merupakan jumlah
parasit per mikro-liter darah.
Hapusan darah Tipis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat
darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasite count),
dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah.
Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting
untuk menentukan prognosis penderitamalaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan
jumlah parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman's, atau
Field's dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang m u m dipakai pada beberapa
laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik.
Tes Antigen :
Ada 2 jenis antigen yaitu Histidine Rich Protein I/ mendeteksi antigen dari P.Falciparum dan
antigen terhadap LDH (Laktate Dehydrogenase) yang ter-dapat pada plasmodium lainnya.
Deteksi sangat cepat hanya 3 - 5 menit, tidak memerlukan latihan khusus,sensitivitasya baik,
tidak memerlukan alat khusus. Ada 86 tes RDT dari 28 perusahaan. Beberapa tes mendeteksi
antigen spesifik terhdap P. Falciparum sedang yanq lain deteksi pan-spesifik antigen (aldolase
atau pan-malaria pLDH). Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif palsu lebih rendah dari tes
deteksi HRP-2. Tes in sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid Test). Karena sensitivitas dan
spesivitasnya tinggi tes ini sangat bermanfaat untuk tes penyaring dan dapat dipakai sebagai tes
deteksi parasite untuk pemberian obat malaria ACT. Tes ini tidak dapat dipakai untuk monitoring
maupun mendeteksi adanya hiperparasitemia
Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai teknik immuno fluorescent
antibody (IFA). Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada
keadaan dimana parasit sangat sedikit jumlahnya. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat
diagnostik sebab antibodi b a r teriadi setelah 2 minggu teriadinya infeksi dan menetap3 - 6
bulan. Tes ini sangat spesifik dan sensitif, manfaat tes serologi terutama untuk digunakan pada
penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi
baru; dan test > 1: 20 dinvatakan positif terinfeksi. Metode tesserologi lain adalah
indirecthaemagglutination test, immuno-precipitation techniques, ELISA test, radioimmunoassay
Tes Diagnosis Molekular
Pemeriksaan in dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup
cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit
sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan
belum untuk pemeriksaan rutin. Termasuk dalam tes ini: PCR (Polymerase Chain Reaction),
LAMP (Loop-mediated Isothermal Amplification), Microarray, Mass Spectrometry (MS), flow
cytometric assay (FCM)

Diagnosis Banding Malaria


Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga dijumpai pada hampir
semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistem respiratorius, influenza, bruselosis,
demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bakterial lainnya seperti pneumonia, infeksi saluran
kemih, dan tuberkulosis. Pada daerah hiper-endemik sering dijumpai penderita dengan imunitas
yang tinggi sehingga penderita dengan infeksi malaria tetapi tidak menunjukkan gejala klinis
malaria. Pada malaria berat diagnosis banding tergantung manifestasi malaria beratnya. Pada
malaria dengan ikterus, diagnosis banding ialah demam tifoid dengan hepatitis, kolesistitis, abses
hati, dan leptospirosis. Hepatitis pada saat timbul ikterus biasanya tidak dijumpai d e m a m laqi.
Pada malaria serebral harus dibedakan dengan infeksi pada otak lainnya seperti meningitis,
ensefalitis, tifoid ensefalopati, tripanososmiasis. Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi
pada gangguan metabolik (diabetes, atau uremi), gangguan serebro-vaskular (stroke), eklampsia,
epilepsi, dan tumor otak.

Klasifikasi Malaria:
1. Malaria asimptomatik
2. Malaria tanpa komplikasi
3. Malaria berat
4. Malaria bentuk khusus

Malaria asimptomatik: ialah penderita malaria dengan ditemukannva parasit malaria pada
pemeriksaan darah dan penderita tidak ada gejala/ keluhan. Penderita ini biasanya ditemukan
pada waktu survailens dan diumpai pada orang yang tinggaldi daerah hiper/holo endemik.
Penderita in dengan imunitas vana tingqi sehingga adanya parasitdalam darahnyatidak memberi
gejala. Bila diumpai kasus seperti in penderita harus tetap diberikan obat anti-malaria.
Malaria tanpa komplikasi:ialahditemukannyaparasitbentuk aseksual dari seorang
penderitadisertaidengan gejala-gejala klinis malaria. Geiala dapat klasik maupun tidak klasik.
Pada penderitainitidak ditemukan tanda-tanda komplikasi.
Malaria berat: Komplikasi malaria umumnyadisebabkan karena P. falciparum dan sering di sebut
pernicious manifestations. Sekarang komplikasi malaria dapat juga disebabkan karena P. vivax
dan P. knowlesi. Sering teriadi mendadak tapa gejala-gejala sebelumnya, dan sering
teriadi pada penderita vang tidak imun seperti pada pendatang dan ibu hamil. Komplikasi terjadi
5-10% pada seluruh penderita malariayang dirawatdi RS dan 20% nya merupakan kasus yang
fatal . Data di Minahasa insiden malaria berat ialah 6 % dari kasus yang dirawat di RS dengan
mortalitas 10 - 20 %.

Penderita berat malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.
falciparum dengan satu atau lebih komplikasi berikut:
1. Malaria cerebral : penurunan kesadaran (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau
lebih dari 30 menit setelah serangan kejang; derajat penurunan kesadaran harus dilakukan
penilaian berdasar GCS (Glasgow Coma Scale).
2. Acidemia/ acidosis: pH darah < 7.25 atau plasma bikarbonat < 15 mol/L, kadar laktatvena >5
mmol/L, klinis pernapasan dalam/respiratory distress.
3. Anemia berat normositik ( Hb < 5 gr% atau hematokrit ≤15 %)
4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 ml/ 24 jam pada orang dewasa atau 12 ml/kg B pada
anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mg%.
5. Edema paru (berdasarkan temuan foto toraks)
6. Ketidak mampuan untuk makan ( failure to feed) .7 Hipoglikemi: gula darah < 40 mg%
8. Gagal sirkulasi atau Syok : tekanansistolik < 70 mmHg (anak 1- 5 tahun < 50 m H q ) ;disertai
keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa > 1derajat c.
9. Perdarahan spontan
10. Keiang berulang lebih dari 2 kali/ 24 jam. 11. Hiperlaktemia > 5 mmol/L
12. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat
antimalaria / kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD).
13. Diagnosa post-mortem denganditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler di
jaringan otak/ jaringan lain.

Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran
klinik daerah setempat ialah :
1. Gangguan kesadaran ringan (GCS <15) di Indonesia sering dalam keadaan delirium
2. Prostation- Kelemahan otot (tak bisaduduk/ berialan, tanpa bantuan)
3. Hiperparasitemia > 2 % >( 100.000 parasit/uL) pada daerahtransmisi rendah atau
>5%(250.000/uL)pada daerah transmisi tinggi/stabil malaria
4. Ikterik (bilirubin > 3mg%) biladisertai gagal organ lain .5 Hiperpireksia (temperatur rektal >
40 ° c) pada orang dewasa/anak.

Malaria Kondisi Khusus:


A. Malaria pada Kehamilan
Malaria lebih sering dijumpai pada kehamilan trimester I dan Idibandingkan padawanita
yang tidak hamil. Malaria berat juga lebih sering pada wanita hamil dan masa puerperium di
daerah mesoendemik dan hipoendemik. Hal ini disebabkan karena penurunan imunitas selama
kehamilan. Beberapa faktor vang menyebabkan turunnva respons imun pada kehamilan seperti :
peningkatan hormon steroid dan gonodotropin, alfa foetoprotein dan penurunan limfosit
menyebabkan mudahnya terjadi infeksi malaria. Ibu hamil dengan infeksi HIV lebih mudah
terkena infeksi malaria dan sering didapatkan malaria kongenital pada bayinya dan berat bayi
lahir rendah.
Komplikasi pada kehamilan karena infeksi malaria ialah abortus, penyulit pada partus
(anemia, hepatosplenomegali), bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia, gangguan fungsi
ginjal, edema paru, hipoglikemia dan malaria kongenital. Oleh karenanya perlu pemberian obat
pencegahanterhadapmalaria pada wanita hamil di daerah endemik. Pencegahan terhadap malaria
pada ibu hamil dengan pemberian klorokuin 250 mg tiap minggu mulai dari kehamilan trimester
I sampai satu bulan post-partum.

B. Malaria dengan HIV/AIDS


Secara geographis infeksi Malaria dan infeksi HIV menempati area yang sama misalnya
daerah Afrika, Papua dsb. Penderita HIV bila mengalami infeksi malaria akan cenderung
menjadi berat. Juga penderita HIV yang hamil bila terinfeksi malaria akan cenderung menjadi
berat dan mortalitasnya tinggi. Pengaruh obat malaria seperti ACT terhadap infeksi HIV masih
kurang dilaporkan. Laporan pendahuluan yang diketahui bahwa malaria pada penderita HIV
menurunkan respon pengobatan, menurunkan imunitas dan meninqkatkan beban parasitemia.
Masih kurang informasi tentang interaksi obat antiretroviral dengan obat anti malaria, Laporan
awal pengobatan ACT pada penderita malaria masih cukup efektif, hanya saja ditemukan 7-8
kali lipat lebih banyak kejadian neutropenia pada penderita HIV dibandingkan non-HIV.
Kejadian neutropenia lebih banyak dijumpai pada pemakai zidovudine. Keiadian hepatotoksisitas
lebih banyak dijumpai pada pemakai efaviren dengan artesunate + amodiakuin. Sebaiknya
penderita HIV yang memakai zidovudine atau efavirens bila menderita malaria sebaiknya tidak
memakai ACT yang memakai amodiakuin sebagai kombinasinya.

C. Pengobatan malaria pada pelancong (traveller)


Umumnyapelancong ialah kelompok yangnon-imun dari negara tidak ada infeksi malaria
ataupun kelompok dengan imunitas renda dari daerah endemik vanq transmisinva rendah.
Kelompok ini berisiko terinfeksi malaria dan bila kembali k edaerah asalnya sering tidak
terdeteksi karena tenaga dokter sering tidak terbiasa/ berpengalaman dalam deteksi malaria
sehingga sering terlambat diagnosis ataupun tidak tersedianya sarana ataupun sumberdaya
marusia untuk deteksi parasit malaria dan kesulitan dalam ketersediaan obat-obat antimalaria.
Pengobatan yang dianjurkan ialah kombinasi artemether-lumefantrine, atovaquon-proguanil atau
kina+doksisiklin/ tetrasiklin/ clindamycin. Penderita malaria berat pada pelancong diobati
dengan artesunate i.v, artemeter i.m, atau kina parenteral

D. Malaria oleh karena Trasfusi Darah


Malaria karena transfusi darah dari donor yang terinfeksi malaria cukup sering terutama pada
daerah yang menggunakan donor komersial. Dilaporkan 3500 kasus malaria oleh karena
transfusi darah dalam 65 tahun terakhir. Parasit malaria tetap hidup dalam darah donor kira-kira
satu minggu bila dipakai anti-koagulan yang mengandung dekstrose dapat sampai 10 hari. Bila
komponen darah dilakukan cryopreserved, parasit dapat hidup sampai 2 tahun. Inkubasi
tergantung banyak faktor, asal darah, berapa banyak darahdipakai, apa darah yang disimpan di
Bank Darah, dan sensitivitas dari penerima darah. Umumnya inkubasi berkisar 16- 23 hari
(bervariasi P. falciparum 8 - 29 hari, P. vivax 8 - 30 hari).
Bila seseorang pernah mendapat transfusidarah,dan setelah 3 bulan terjadi demam yang takjelas
penyebabnya, harus dibuktikan terhadap infeksi malaria dengan pemeriksaan darah tepi berkali-
kali tiap 6-8 jam.

Pencegahan terhadap malaria akibat transfusi :


- Deteksi darah donor dengan pemeriksaan tetes tebal :biasanya sulit karena parasit malaria
biasanya hanya sedikit.
- Pemeriksaan serologis donor dengan metode indirect fluorescent antibody (IFA), bila
negatif boleh sebagai donor, bila hasil 1: 256 tidak boleh sebagai donor (infeksi baru).
- Pengobatan pencegahan untuk semua donor darah rutin. Pengobatan terhadap donor
segera, 48 jam sebelum darah diambil.
- Pengobatan terhadap recipient (penerima darah)

2.6 Tata Laksana


Penanganan Malaria Tanpa Komplikasi
Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya plasmodium aseksual
di dalam darahnya, baik dengan gejala klinis maupun tapa gejala klinis perlu diobati.
Prinsip pengobatan malaria :
1. Penderita tergolong malaria tanpa komplikasi dengan ACT (Artemisinin base Combination
Therapy)
2. Penderita malaria berat diobati dengan Artesunate intra venous,
3. Pemberian pengobatan dengan ACTh a r u sberdasarkan masil pemeriksaan darah
mikroskopik positif atau RDT yang positif
4. Pengobatan harus radial dengan penambahan primakuin
Pengobatan Malaria
Secara global WHO telah menetapkan pengobatan malaria tanpa komplikasi dengan
memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART) telah
dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan
pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekeria membunuh plasmodium dalam semua stadium
termasuk gametosit. Juga efektif terhadap semua spesies, P. falciparum, P.vivax maupun lainnya.
Kegagalan dini terhadap ART belum dilaporkan saat ini.

Golongan Artemisinin: Berasaldari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam


bahasa Cina sebagai Oinqhaosu. Obat ini termasuk kelompok seskusterpen
lakton mempunyai beberapa formula seperti: artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam
artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2
jam, larut dalam air, bekerja sebagai obat sizontocidal darah.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemakaian artemisinin sebagaiobattunggal


menimbul-kan terjadinya rekrudensi, maka di rekomendasikan untuk dipakai dengan kombinasi
obat lain,. Dengan demikian juga akan memperpendek lama pemakaian obat. Obat ini cepat
diubah dalam bentuk aktifnya (dihidroartemisinin) dan penyediaan ada yang oral, parenteral/
injeksi dan suppositoria.

PENGOBATAN ACT (ARTEMISININ BASE COMBINATION THERAPY )


Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi mudah mengakibatkan terjadinya
rekrudensi. Karenanya WHO memberikan petuniuk penggunaan artemisinin dengan
mengkombinasikan dengan obat anti malaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base
Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap (fixed dose
combination = FDC) atau kombinasiridak tetap (non-fixed dose combination). Sampai dengan
tahun 2010 WHO telah merekomendasikan 5 jenis ACT yaitu :
1. Artemether +Lumefantrine (FDC)
2. Artesunate + Mefloquine
3. Artesunate + Amodiaqine
4. Artesunate + sulfadoksin-pirimetamine
5. Dihidroartemisinin+ Piperakuine (FDC) ACT merupakan kombinasi pengobatan yang unik.
karena artemisinin memiliki kemampuan
- Menurunkan biomass parasite dengan cepat
- Menghilangkan simptom dengan cepat
- Efectif terhadap parasit multi-drug resisten, semua bentuk/stadium parasit dari bentuk
muda sampai tua yang berkuestrasi pada pembuluh kapiler.
- Menurunkan pembawa gamet, menghambat transmisi
- Belum ada resistensi terhadap artemisinin
- Efek samping yang minimal

Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesiasaat ini ialah kombinasi artesunate +
amodiakuin dengan nama dagang " Artesdiaquine" atau " Arsuamoon ", tiap tablet artesunate
berisi 50mg dan tiap tablet amodiakuin berisi 200mg. Didalam kemasan blister terdiri dari 4
tablet artesunate(warna putih) dan 4 tablet amodiakuin (warna kuning). Pada dosis orang dewasa
dengan BB diatas 50 kg diberikan dosis peng-obatan hari Isampaidengan hari ketiga masing
minum 8 tablet yang terdiri dari 4 tablet artesunate dan 4 tablet amodiakuin. Pengobatan ACT
saat ini memakai dosis pemberian selama 3 hari.

ACT yang ke-2 ialah kombinasi dihydroartemisinin + piperakuin (DHP), dengan nama dagang "
Arterekin" atau "Darplex" atau "Artekin" atau "Artep", merupakan kombinasi dosis tetap (FDC)
dimana tiap tablet terdiri dari dihidroartemisinin 40mg dan piperakuin 320mg. Pada orang
dewasa diatas 50 Kg diberikan dosis 4 tablet/ hari selama 3 hari. Kedua kombinasi ACT ini
tersedia disemua fasilitas kesehatan pemerintah karena merupakan obat program pada eliminasi
malaria.
ACT yang ke-3 ialah kombinasi dosis tetap (FDC) dimana tiap tablet terdiri dari artemeter 20mg
dan lumefantrine 120mg, nama dagangnya ialah " Coartem". Dosis orang dewasa diatas 50 Kg
ialah 4tablet, 2 × sehari selama 3 hari. Kombinasi ini tersedia di Indonesia bukan sebagai obat
program tetapitersedia untuk fasilitas swasta (tersedia di Apotek) dan juga termasuk obat dalam
daftar ASKES
PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI MENURUT PEDOMAN
DEPARTEMEN KESEHATAN R I
Departemen Kesehatan RI, melalui komisi ahli malaria telah merekomendasikan
pedoman pengobatan malaria di Indonesia sebagai berikut :
1. Pengobatan Malariadi Indonesia sebagai line pertama baik untuk malaria falsiparum dan
malaria vivax telah menggunakan obat ACT dengan primakuin sesuai dengan jenis
plasmodiumnya.
2. Untuk penggunaan ACT harus dipastikan bahwa infeksi malaria memang terbukti dengan
pemeriksaan mikroskopik malaria atau dengan t e scepat (RDT =Rapid Diagnosis Test)
3. Para dokter diminta untuk tidak menggunakan pengobatan monoterapi untuk mencegah
timbulnya resitensi/ kegagalan pengobatan
4. Untuk malaria berat memakai derivat artemisinin dan yang disiapkan ialah obat injeksi
artesunate dan artemeter, apabila tidak tersedia obat tersebut dapat menggunakan kina HCI
injeksi.

MONITORING RESPON PENGOBATAN


Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring terhadap respon
pengobatan sebab perkembangan resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan meluas.
Untuk itu semua pengobatan malaria harus dilakukan monitoring sesuai dengan pedoman WHO
2001, 2003, dan 2009 sebagai berikut:
Dalam pedoman WHO 2010, dituliskan bahwa sejak digunakannya ACT sebagai pengobatan
malaria belum pernah ditemukan kegagalan obat dini (dalam 3 hari pertama). Majoritas
kegagalan pengobatan dengan ACT terjadi setelah 14 hari. Dari 39 trial pengobatan dengan
artemisinin, yang melibatkan 6124 penderita,pada 32 trial dengan 4917 penderita tidak pernah
teriadi kegagalan pengobatansampai hari ke- 14, sisanya pada7 trialterjadi kegagalan pada hari
ke- 14 sekitar 1-7%. Kegagalanyang teriadi dalam waktu 14 hari harus diobati dengan obatlini ke
-2, yang berdasarkan WHO ada 3 pilihan yaitu :
1. ACT lain yang diketahui lebih efektif
2. Artesunate dengan kombinasi doksisiklin, terasiklin atau klindamisin selama 7 hari
3. Kina tablet dengan kombinasi doksisiklin, terasiklin atau klindamisin selama 7 hari.

Apabila terjadi kegagalan sesudah 14 hari dari mulai pengobatanACT, timbulnya parasit
ini dapat disebabkan oleh re-infeksi (digigit kembali oleh nyamuk dan terjadi
infeksi) atau rekrudensi. Keadaan i n hanya dapat dibedakan dengan P C (Polymerase Chain
Reaction) yang tidak tersedia di laboratorium klinik biasa.

PENCEGAHAN DAN VAKSIN MALARIA


Lebih dari 100 negara di dunia merupakan daerah yang memberikan transmisi infeksi
malaria dan u m u m n a atau sebagian besar adalah daerah dengan resistensi obat malaria.
Pencegahan terhadap infeksi malaria diperlukan untuk melindungi pendatang dalam arti turis
domestik/ international ataupun pelaku bisnis yang umumnya ialah pendatang yang tinggal
dalam waktu pendek. Sebagian lain ialah pendatang sebagai pekerja ataupun pendatang yang
akan tinggal tetap baik berupa migrasi spontan maupun program transmigrasi. Tindakan
pencegahan umumnya diperlukan karena untuk menghindari infeksi dari kelompok yang rentan
terhadap infeksimalariadimana umumnva tidak memiliki kekebalan sehingga manifestasi malaria
sangat mungkin berlaku berat dan dapat menyebabkan kematian.
Kemungkinan terjangkitan infeksi malaria pada pendatang tergantung risiko transmisi di suatu
daerah, dari studi terbaru didapatkan relative risk di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) ialah
11.5 (8.3 - 15.8), di Asia Selatan 53.8 (37.4-77.4) dan tertinggi di Afrika 207.6 (164.7 - 261.8).
Umumnya gejala klinis malaria pada pelancong timbul 30hari setelah kembali dari perjalanan
(95%); akan tetapi dapat terjadi pada kurun waktu 12 hari sampai berbulan bulan.

Manajemen pencegahan terdiri dari:


1. Tingkah laku dan intervensi non-obat : ini meliputi pengetahuan tentang transmisi malaria di
daerah kunjungan, pengetahuan tentang infeksi malaria, menghindarkan dari gigitan nyamuk.
2. Pemilihan obat kemoprofilaktis tergantung dari pola resistensi daerah kunjungan, usia
pelancong, lama kunjungan, kehamilan, kondisi penyakit tertentu penderita, tolerensi obat dan
faktor ekonomi
3. Obat kemoprofilaktis :yang dapatdipakai sebagai obat pencegahan ialah atovaguone-
proguanil(Malarone), doksisiklin, kloroquine dan mefloquine. Obat yang ideal ialah Malarone
karena berefek pada parasit yangberedar didarah dan juga yang di hati karenanya boleh
dihentikan 1minggu setelah selesaiperjalanan, Sedang obat yang lain doksisiklin, kloroquine dan
mefloquine harus diteruskan sampai 4 minggu selesai perialanan. Malarone dan doksisiklin dapat
dimulai 1- 2 hari sebelum perjalanan sedangkan untuk klorokuin harus mulai 1minggu sebelum
mulai perjalanan, sedangkan mefloquine harus mulai 2- 3 minggu sebelum perjalanan. Primakuin
merupakan obat yang dapat digunakan untuk profilaksis dengan risiko terjadinya hemolisis
karenanya dianjurkan pemeriksaan enzim G-6-PD sebelum memakai profilaksis primakuin.
Dapat dimulai 1 hari sebelum berangkat dan 7 hari setelah selesai perjalanan (minimal 14 hari).

Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100 mg/hari atau
mefloquin 250 mg/ minggu atau klorokuin 2 tablet/ minggu ditambah proguanil 200 mg/hari.
Obat lain yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5 mg/kg BB/ hari;Etaquin,
Atovaquone/ Proguanil (Malarone) dan Azitromisin.
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang menyulitkan
ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada masing-masing bentuk
stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah P.falciparum sekarang baru
ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi tehadap P.falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis
vaksin yang dikembangkan yaitu vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin terhadap bentuk
aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit. Vaksin bentuk
aseksual yang pernah dicoba ialah SPF- 66 atau yang dikenal sebagai vaksin Patarroyo, yang
pada penelitian akhir-akhir ini tidak dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit bertujuan
mencegah sporozoit menginfeksi sel sehat sehingga diharapkan infeksi tidak teriadi. Vaksin ini
dikembangkan melalui ditemukannya antigen circumsporozoit. Uji coba pada manusia tampakya
memberikan perlindungan yang bermanfaat, walaupun demikian uji lapangan sedang dalam
persiapkan. HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yanq ideal ialah vaksin yang multi-stage
(sporozoit, aseksual), multivalent (terdiri beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-
imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan diharapkan memberikan respons terbaik dan
harga yang kurang mahal.

2.7 Prognosis dan Komplikasi


2.7.1 Prognosis
Prognosis bergantung pada derajat beratnya malaria. Secara umum, prognosisnya adalah dubia
ad bonam. Penyakit ini dapat terjadi kembali apabila daya tahan tubuh menurun
2.7.2 Komplikasi
1. Malaria Serebral
2. Anemia Berat
3. Edema Paru atau ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
4. Hipoglikemia
5. Gagal sirkulasi atau syok
6. Gagal ginjal akut
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan atau disertai kelainan laboratorik
adanya gangguan intravaskuler
8. Kejang berulang >2 kali per 24 jam pendinginan pada hipertermia
9. Asidemia (pH darah < 7,25) atau asidosis (biknat plasma <15 mmol/L)
10.Makroskopik hemoglobinuria karena infeksi malaria akut

2.8 Indikasi Rujukan


1. Malaria dengan komplikasi
2. Malaria berat, namun pasien harus terlebih dahulu diberi dosis awal Artemisin Artesunat per
Intra muscular atau intra vena dengan dosis awal 3,2 mg /kg BB

3. Leptospirosis
3.1 Definisi dan Klasifikasi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro organisme
Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit in pertama sekali
dikemukakan olehWeil pada tahun 1886 yanq membedakan penyakit yang disertaidengan ikterus
ini dengan penyakit lain yang jugamenyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya dikenal sebagai
Weil's disease. Penyakit in dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp
fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain.
Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit
dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam
dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit
yang termasuk the emerging infectious diseases.

3.2 Etiologi, Epidemiolodi dan Faktor Resiko


3.2.1 Etiologi
Leptospirosis disebabkan o l e genus leptospira, famili treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel,
panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1 - 0,2 um (Gambar 1).
Salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat gerak
rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus
sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus
kecil- kecil. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop bias morfologi
leptospira secara umumdapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira
digunakan mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope). Leptospiramembutuhkan
media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu
berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium Fletcher's dapat
tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L.interrogans yang
patogen dan .L biflexa yang non patogen/ saprofit. Tujuh spesies dari leptospira patogen
sekarang in telah diketahui dasar ikatan DNA-nya, namun lebih praktis dalam klinik dan
epidemiologi menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas perbedaan serologis
Spesies .L interrogans dibagi menjadibeberapa serogrup dan serogrupini dibagi menjadi
banyak serovar menurut komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250
serovar yang tergabung dalam 23 serogrup. Beberapa serovar .L interrogans yang dapat
menginfeksi manusia di antaranya adalah: .L icterohaemorrhagiae, .L canicola, .L
pomona, .L grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L.
automnalis, .L hebdomadis, .L bataviae, L. tarassovi, L. panama, L.andamana, L.
shermani, .L ranarum, .L bufonis, .L copenhageni, L. australis, .L cynopteri dan lain-lain.
Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia ialah L.
icterohaemorrhagica dengan reservoar tikus, L. canicola dengan reservoar anjing dan .L
pomona dengan reservoar sapi dan babi

3.2.2 Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua Antartika,
namun terbanyak didapati didaerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan
seperti anjing,babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau binatang-binatang pengerat lainnya
seperti tupai, musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut,
leptospira hidup di dalam ginjal/ air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang utama dari
L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus,
leptospira akan menetap dan membentuk koloni s e t a berkembang biak di dalam epitel
tubulus qinjal tikus dan secara terus menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urine.
Penyakit ini bersifat musiman, di daerahberiklim sedang masa puncakinsidens dijumpai
pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang
mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens
tertinggi teriadi selama musim huian.
Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai jenis
pejamu dari leptospira, mulai dari mamalia yang berukuran kecil di mana manusia dapat
kontak dengannya, misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang,
sampai dengan reptil (berbagai jenis katak dan ular), babi, sapi, kucing,dan anjing.
Binatang pengerat terutama tikus merupakan reservoar paling banyak. Leptospira
membentuk hubungan simbiosis dengan pejamunya dan dapat menetap dalam tubulus
renalis selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Beberapa serovar berhubungan
dengan binatang tertentu, seperti .L icterohaemoragiae/ copenhageni dengan tikus, .L
grippotyphosa dengan voles (sejenis tikus), .L hardjo dengan sapi, .L canicola dengan
anjing dan .L pomona dengan babi.
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas.
Di Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Benakulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Barat. Pada keiadian banir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus
kasus leptospirosis dengan 20 kematian.
Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam
melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai
mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakanleptospira dalam urine. Diagnostik pasti
ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada darah atau urine atau ditemukannya
hasil serologi positip. Untuk dapat berkembang biaknya leptospira memerlukan
lingkunganoptimal sertatergantung pada suhu yang lembab, hangat, PH air/tanah yang
netral, dimana kondisi ini ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.
3.3 Patogenesis dan Patofisiologi
3.3.1 Patogenesis
Leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki
aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas kejaringantubuh. Kemudian
terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehinggainfeksi ini dapat
ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. walaupun demikian beberapa organismeini masih
bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal di mana
sebagian mikro organisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan
dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai
beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun
kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral.
Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentukya agglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalamjaringan qinjal dan
okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu

Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis: invasi bakeri


langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi.

3.3.2 Patofisiologi
Dalam perialanan pada fase leptospiremia, leptospira
melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologipada
beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler.
Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologis vang ringan ditemukan
pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut.
Perbedaan in menunjukkan bahwa kerusakan bukan padastruktur organ. Lesi inflamasi
menuniukkan e d e m adan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus
vanq berat teriadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoselular dengan retensi bilier. Selain di ginial leptospira jugadapat bertahan pada
otak dan mata. Leptospira dapat masuk kedalam cairan serebrospinalis pada fase
leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan
neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang
sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik
pada organ :
Ginjal. Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lei pada
leptospirosis vana dapat terjadi tanpa gangguan fungi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginial,
hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan
ginjal.
Hati. Hatimenuniukkan nekrosissentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
Jantung. Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium
dapat fokal atau difus berupa intersitital edema dengan infiltrasi sel mononuklear dan
plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat teriadi perdarahan fokal
pada miokardium dan endokardium
Otot rangka. Pada otot rangka, terjadi perubahan- perubahan berupa lokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehi angan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
Mata. Leptospira dapat mask rang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan
menyebabkan uveitis.
Pembuluh darah. Terjadi perobahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan percarahan. Sering ditemukan perdarahan/peteki pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan percarahan bawah kulit.
Susunan saraf pusat. Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS)dan
dikaitkandengan teriadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibodi, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit
peningkatan sel mononuklear araknoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis
aseptik, biasanya paling sering diserabkan oleh L. canicola.
Weil Disease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe
kontinua. Penvakit Weil ini biasanva terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab Weil disease adalah serotipe icterohaemorragica pernah juga dilaporkan o l e
serotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatik atau disfungsi vaskular.

3.4 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi 2 -26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.

Fase Leptospiraemia
Fase ini ditandai dengan adanva leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada
otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat
diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil,juga didapati mual dengan
atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari
ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai
rash yang berbentuk makular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Faseini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat
ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang
terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih
berat demam t u r n setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu teriadi
demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.

Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbuldemam yangmencapai
suhu 400 Cdisertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakityang menyeluruh pada
leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala
kerusakan padaginjal danhati, uremia, ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik,
purpura, petechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling
sering. Conjunctiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomosis untuk leptospirosis.
Teriadinya meningitis merupakan tanda pada faseini, walaupun hanya 50% geiala dan
tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda- tanda
meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanva menghilanq setelah 1-2 hari.
Pada fase ini leptospiradapat dijumpai dalam urin.

3.5 Diagnosis

Pada umumnva diagnosi awal leptosirosis sulit, karena pasien biasanya datang dengan
meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma syok toksik, demam yang tidak
diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitis.
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok
risiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demamyang muncul mendadak, sakit kepala terutama di
bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan
laboratorium darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai
gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai protein uria,
leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkatt a n apeninqkatan
transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila teriadi komplikasi pada
ginjal.Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari
cairan tubuh dan serologi.

Kultur. Dengan mengambil spesimen dari darah atau CCS segera pada awal gejala. Dianjurkan
untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum
diberi antibiotik. Kultur urine diambil setelah 2-4 mingqu onsetpenvakit. Pada spesimen yang
terkontaminasi, inokulasi hewan dapatdigunakan.

Serologi. Pemeriksaan untuk mendeteksi adanva leptospira dengan cepat adalah dengan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver stain atau fluroscent antibody stain, dan
mikroskop lapangan gelap.
Diagnosis Banding
1. Demam Dangue
2. Malaria
3. Hepatitis Virus
4. Penyakit rickettsia

3.6 Tata Laksana


Pada umumnva diagnosi awal leptosirosis sulit, karena pasien biasanya datang dengan
meningitis, hepatitis, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan
fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari
setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penisilin G,
amoksisliin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan
dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun
sefalosforin.

Sampai saat in penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diinagt
bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiraemia). Pada
pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian
intra vena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan
sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit
dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi
azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.

Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospes
perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan. Bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi
untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat
melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasidengan air kemih
binatang reservoar. Pemoerian doksisiklin 200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk
mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi dan terpapar
dalam waktu singkat. Penelitian terhadap tentara Amerika di hutan Panama selama 3 minggu,
ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4-2% menjadi 0,2%, dan efikasi
pencegahan 95%.
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoar sudah lama direkomendasikan,
tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan, masih memerlukan penelitian lebih
laniut.

3.7 Prognosis dan Komplikasi

3.7.1 Prognosis
Prognosis tergantung pada keadan umum pasien. usia. virulensi leptospira, adanya kekebalan
didapat. Kematian dapat terjadi sebagai komplikasi faktor pemberat seperti gagal ginjal atau
perdarahan. dan terlambatnya tata laksana pasien .Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal.
Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia
laniut mencapai 30-40%.

3.7.2 Komplikasi
1. Meningitis
2. Distress Respirasi
3. Gagal ginjal karena renal interstitial tubular necrosis
4. Gagal hati
5. Gagal ginjal

3.8 Indikasi Rujukan


Kasus harus dilaporkan ke dinas kesehatan setempat. Kriteria rujukan
Pasien segera dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder ( spesialis penyakit dalam) yang
memiliki fasilitas hemodialisa setelah penegakan diagnosis dan terapi awal

B. Penyakit Infeksi Emerging


1. HIV/ AIDS

1.1 Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan patogen yang menyerang sistem imun
manusia, teruta- ma semua sel yang memiliki penanda CD4+ di permu- kaannya seperti
makrofag dan limfosit T, sementara ac- quired-immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan
suatu kondisi (sindrom) imunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologik tertentu akibat infeksi HIV.

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala


atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.

1.2 Etiologi, Epidemiologi dan Faktor Resiko


1.2.1 Etiologi
HIV merupakan virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk dalam subfamili
Lentivirus dari famili Retro- virus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe: HIV-
I yang menyebar luas ke seluruh dunia; dan HIV-2 yang hanya ada di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa.
- Sumber Penularan Infeksi HIV
- Kontak seksual (heteroseksual, homoseksual), melalui mukosa genital;
- Darah, produk darah (langsung menyebar hema- togen) , jaringan transplantasi,
jarum suntik, spuit;
- Vertikal dari ibu ke janin/ bayi lewat infeksi intra- partum, perinatal, atau air susu
ibu.

1.2.2 Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS teriadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hukungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual. jarum
suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena i t kelompok risiko tinggi terhadap
HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta
narapidana.
Namun, infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan
masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya,
sebagian besar odha berasaldari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi
pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika
semakin meningkat. Beberapa bayiyang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan
tahap yang lebih lanjut dar tahap penularan heteroseksual.
Sejak 1985 sampaitahun 1996 kasus AIDS mash amat jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian besar odha pada periode i t berasal dari kelompok homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun
1999 mulai terlihat peningkatan tajam yangterutama disebabkan akibat penularan melalui
narkotika suntik. Sampaidengan akhir M a r t 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan.Jumlah itu tentu m a s h sangat jauh d a r ijumlah sebenarnya. Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia vanq
terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Sebuah survey yang
dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks
komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 1995/1996 meniadi lebih
dari 8,38% pada tahun 2000. Sementara i t survey vang dilakukan pada tahun 2000
menuniukkan angka infeksi HIV yanq cukup tinggi di lingkungan PSK di Merauke yaitu
5-26,5%, 3,36% di Jakarta Utara, dan 5.5% di Jawa Barat.
Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang
semakinnyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar odha yang merupakan
pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia
produktif. Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari keluarga broken
home dan kayajuga tampakya semakin luntur. Pengaruh teman sebaya (peer group)
tampakya lebih menonjol.
Pengguna narkotika suntik mempunyai risiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV
atau bibit-bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah
penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh
sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai
lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey sentinel yang dilakukan di RS
Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada
pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999,
meningkat cepat menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan
suatu survei di sebuah kelurahandi Jakarta Pusat yang dilakukan oleh Yayasan Pelita
Ilmu menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV.
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indikator
untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDSpada masyarakat umum. Jika pada tahun 1990
belum ditemukan darah donor di Palang Merah Indonesia (PMI) yang tercemar HIV,
maka pada periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yangjumlahnya makin lama makin
meningkat. Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002% pada
periode 1992/1993, 0,003% pada periode 1994/1995, 0,004% pada periode 1998/1999
dan 0,016% pada tahun 2000.
Prevalensi ini tentu perlu ditafsirkan dengan hati-hati, karena sebagian donor
darah berasal tahanan di lembaga pemasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS
di rumahsakit yang belum mempunyai fasilitas laboratorium untuk tes HIV. Saat ini,
tidak ada lagi darah donor yang berasal dari penjara.
Pada narapidana, suatu survey cross sectional di penjaranarkotikadi Bandung,
memperlihatkan prevalensi HIV pada warga binaan yang 10 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan angka nasional.
Survey yang dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB,
puskesmas dan rumah sakit di Jakarta yang dipilih secara acakmenemukan bahwa 6
(1,12%) ibu hamil dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata positif
terinfeksi HIV.

1.2.3 Faktor Resiko


1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
2. Pengguna NAPZA suntik
3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan transgender
4. Hubungan seksual yang berisiko atau tidak aman
5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
6. Pernah mendapatkan transfusi darah
7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alattajam yang tercemar HIV
8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
9. Pasangan serodiskordan – salah satu pasangan positif HIV

1. 3 Patogenesis dan Patofisiologi


1.3.1 Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utamainfeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap
molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang
progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency
Virus (SIV). SIV dapat menqinfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus
dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus
dideteksi pada kelenjar getah bening makaka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di
keleniar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ
dalam 7 sampi 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak
jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak
antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian
menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons
imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8.
Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan
kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan 'steady-state'
beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa tahun,
namunlamanva sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut,
dengan demikan juga perjalanankekebalan tubuh pejamu, adalah heterogeneitas kapasitas
replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat
dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level 'steady- state'.
Walaupun antibodi ini umumnva memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus,
namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh
antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs
glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang
diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.
1.3.2 Patofisiologi
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV, sebagian berkembanq masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yanq terinfeksi HIV menuniukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit
tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem
kekebalan tubuh yang juga bertahap
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala
yang terjadi adalahdemam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik ( tanpa gejala). Masa
tanpa gejala ini umumiya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecilorang
yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat (non-progressor).
Seiring dengan makin memburukya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-
geiala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama,
rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan
lain-lain.Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS.jadi
yang disebut laten secaraklinik ( tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditiniau dari sudut
penvakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan
mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid,
yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV teriadi di
kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV mash merasa
sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10
partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul
HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang
tinggi, untungnya tubuh mash bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar
10 sel setiap hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narko:ika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katupjantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular
dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan dengan infeksi
pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin
mudah a terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan in akan menimbulkan
efek yanq buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah
dengan lebih cepat sehinggajumlahnya akan meningkat pesat Selain itu juga dapat menvebabkan
reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perialanan penyakitnva biasanya lebih progresif.
Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini juga
tercermindari hasil penelitian di RS dr. Cipto Mangunkusumo pada 57 pasien HIVasimptomatik
yang berasal dari pengguna narkotika, dengan kadar CD4 lebih dari 200sel/mm. Ternyata 56,
14% mempunyai jumlah virus dalam darah (viral oad) yang melebihi 55.000kopi/ml, artinya
penyakit infeksi HIV nya progresif, walaupun kadar CD4 relatif mash cukup baik.

1.6 Diagnostis
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti
terinfeksi HIV, baik dengan meteode pemeriksaan antibodiatau pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya virus dalam tubuh.
Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik (Tabel 2) atau limfosit CD4+ kuranq dari 350 sel/mm3.
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi
HIV sangatlah penting,karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah
bertahun-tahun lamanya.
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeks
HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksan serologik untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi
adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi an:igen,
dan deteksi materi genetik dalam darah pasien.
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV.
Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme- linked immunosorbent assay),
aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia
adalahdengan ELISA.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV in vaitu adanya
masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya
antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentu‹ pada 4-8 minggu
setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes
HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang
negatif. Untuk itu lika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, p e r l dilakukan
pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.
World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi
pemeriksaan antibodi terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan
populasi dan keadaan pasien

Pada keadaan yang memenuhidilakukannya Strategi I, hanya dilakukan 1 kali


pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan
bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV.
Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas
yang tingqi (> 99%).
Strategi l menggunakan 2kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama
memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non-reaktif, maka dilaporkan
h a i l tesnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi
dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen
atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil pemeriksaan kedua juga
reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua
adalah non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap tidak
sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate.
Strategi I menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama, kedua, dan
ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil
pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, kedua reaktif dan ketiga non- reaktif
atau pertama reaktif, kedua dan ketiga non- reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai equivocal
atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIVatau
berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hail seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada
orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil
pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan
ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifisitas
yang lebih tinggi.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasiuntuk memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang
paling sering dipakai saat ini adalah tehnik Western Blot (WB).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan
konseling pra tes. Hal in harus dilakukan agar ia dapat mendapat informasi yang sejelas-jelasnya
mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya
serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan
konseling pra tes karena orang yang di tes tidak akan diberitahu hasil tesnya.
Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hail tes positif
maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk
memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negative
konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan
perilaku yang tidak berisiko.
1.6 Tatalaksana
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun, data
selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan
kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral, disingkat obat ARV) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV/AIDS
menjadi lebihsehat, dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya
sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik.
Secara umum , penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: a). pengobatan
untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), b). pengobatan untuk
mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti
jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, c).
pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan
pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup
dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat
ditekan, harapan hidup lebih baik dan keiadian infeksi oportunistik amat berkurang.
TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV)
Manfaat pemberian ARV, yaitu:
1. Menurunkan angka kematian. Sejak dilaksanakan terapi ARV clengan subsidi penuh di
Indonesia tahun 2004teriadi, penurunan angka kematian di masyarakat secara nyata yaitu pada
tahun 2006 sebesar 48% dan tahun 2008 sebesar 17%.
2. Meriurunkan risiko perawatan di Rumah Sakit. Biaya untuk perawatan di Rumah Sakit amat
besar karena obat-obat untuk infeksi oportunistik sebagian malhal dan penderita u m u m n a
memerlukan waktu perawatan yang lama.
3. Menekan viral load. Dalam vaktu sekitar 6 bulan, terdapat 80% ODHA yang brobat di RSCM
hasil pemeriksaan viral loadnya nenuniukkan tidak terdeteksi.
4. Memulihkan kekebalan. Penberian ARV akan meningkatkan CD4 sehingga ubuh ODHA pulih
kekebalannya.
5.Menurunkan risiko penularan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberiar ARV secara
dini pada pasien di Scotlandia (pasien yang salah satunya erinfeksi HIV) mampu menurunkan
risiko penularan sebesar 96% karenaitulah timbul remahaman bahwa pengobatan ARV
merupakan fencegahan juga (treatment as prevention).

Pemberian ARV telahmenyebabkan kondisi kesehatan odha menjadijauh lebih baik.


Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih nudah ditangani. Infeksi
penyakit oportunistik lain yang bert, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium
atipikal,
dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumoystis carini pada odha yang hilang timbul, biasanya
mengharuskan odha minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang dengan minum
obat ARV teratur, banyak odha yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap
pneumonia.
Terdapat penurunankasuskanker yang terkait dengan HIV seperti Sarkoma Kaposi dan
limfoma dikarenakan pemberian obat-obat antiretroviral tersebut. Sarkoma Kaposi dapat spontan
membaik tanpa pengobatan khusus. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan
produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan Sarkoma Kaposi.
Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat membentuk respons imun yang
efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHV-8) yang dihubungkan dengan kejadian sarkoma
kaposi.
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleosidereverse transcriptase
inhibitor, nucleotidereverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reversetranscriptase inhibitor,
dan inhibitor protease. Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia (Tabel 3).
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV
akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang
memiliki HIV +, t e l a menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau
menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga
direkomendasikan pada pasien dengan limfosit CD4 kurang dari 350 sel/mm3. Pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4 + 200- 350 sel/mm? dapat ditawarkan untuk memulai terapi.
Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm? dan viral load lebih dari
100.000 kopi/ ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak
dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4 +lebih dari 350 sel/mm°dan viral load
kurang dari 100.000 kopi/ml.
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3obat ARV.
Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan (Tabel 4), dengan
keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang
umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV)/lamivudine (3TC),
nevirapin (NVP), stavudin (d4T), dan Efavirenz (EFV). Penggunaan d4T (stavudin) dim waktu
tidak terlalu lama karena efek samping jangka panjang yaitu lipodisatropi dan efekmetabolik.
Pada pengobatan ARVini 2 digunakan Tenofovir, Lopi/Ritonavir. Efek samping tenofovir yaitu
gangguan fungi ginjal, osteoporosis, sedangkan efek samping PI adalah gangguan metabolik

Selain interaksi ARV dengan OAT, terdapat juga interaksi ARV dengan obat lain, yaitu
Tenofovir dengan ddl (videx), dan PI dengan statin
Interaksi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV
merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada
odha tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek
hepatotoksisitasya, harus sangat diperhatikan. Pada odha yang telah mendapat obat ARV
sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih
ketat. Pada odha yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan
kondisinya

Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali ddl yang
harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.
Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan inhibitor
protease. Obat ARV yang dianjurkan digunakan Pla odha dengan TB pada kolom B(Tabel 4)
adalah evafirtz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sami 82% dan dapat menurunkan
kadar nevirapin sampai7%. Namun, jika evaf renz tidak memungkinkan diberikaloada pemberian
bersama rifampisin dan nevirapin, dosinevirapin tidak perlu dinaikkan.

EVALUASI PENGOBATAN
Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah rupakan indikator yang dapat dipercaya
untuk memantau pratnva kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan memughkan kita untuk
mengambil keputusan memberkan pengGatan ARV Jika tidak terdapat sarana pemerikaan CD4,
maka jumlah CD4 dapat diperkirakan dari jumlah limfosit toti yang sudah dapat dikerjakan di
banyak laboratorium pada umumnya.
Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati, menentukan prognosis dan menduga staging
pasien, berdasarkan gambaran klinik pasien dan umlah limfosit CD4. Sekarang in sudah ada
tambahan parameter baru yaitu hitung virus HIV dalam darah (viral lond) sehingga upava
tersebut meniadi lebih tepat.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral load, kita dapat
memperkirakan risiko kecepatan perialanan penyakit dan kematian akibat HIV. Pemeriksaan
viralload memudahkan untuk memantau efektivitas obat ARV.
Sejak awal pengobat.an ARV, masalah kegagalanterapi
ARV lini pertamamenja di hal yang banyak dieliti. Definisi kegagalan terapi dapait
dilihat pada tabel 5.
Obat-obat golongan protease inhibitor (Pls) seperti lopinavir/ ritonavir, ataza navir,
saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memiliki biarier genetik yang tinggi terhadap
resistensi. Obat golonga n lain memiliki barier yang rendah. Walau demikian, keban'yakan
pasien yang mendapatkan Pls- terkait HAART (highly active anti-retroviral therapy) yang
mengalarni kegacjalan virologis biasanya memiliki strain virus HIV yang mash sensitif, kecuali
bila digunakan jangka panjang. Obat golangan lain biasanya menjadi resisten dalam wakt:u yang
lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologis.
Indikasi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi penyakit secara
klinisdimulai setelah > 6 bulan memakai ARV
Pada WHO staclium :3 penurunan B > 10 %, diare 'atau demam > 1 bulan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya, oral hairy leukoplakia terdapat infeksi bakterial yang berat atau
"bedridden" lebihdari 50% dari satu bulan terakhir
Tes resistensi seharusnva dilakukan selama teraci atau dalam 4 minggu penghentian
regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes resistensi merupakan hal yang komplelks, bahkan
terkadang lebih baik dikerjakan oleh ahlinya.

TERAPI ARV PADA KEADAAN KHUSUS


Terapi ARV untuk Koinfeksi HIV/Tuberkulosis Terapi ARV direkomendasikan pada semua
pasien koinfeksi HIV/TB berapapun jumlahCD4 nya.Namun bagaimanapun terapi TB sendiri
yaitu OAT (obat anti tuberkulosis) tetap meniadi prioritas utama. Sehingga untuk memulai
erapinya, OAT diberikanterlebih dahulu, kemudian dikuti dengan ARV dalam waktu delapan
minggu pertama. Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran 2011,rekomendasi
terapi ARV untuk pasien koinfeksi HIV/ TB
Terapi ARV untuk Hepatitis
Pemeriksaan Hepatitis B dan C pada infeksi HIV amatlah penting mengingat ko-infeksi Hepatitis
C/HIV sebesar 70%, sedangkan ko-infeksi Hepatitis B/HIV sebesar 16% dan ko-infeksi Hepatitis
B dan C/HIV sebesar 9%. Sama seperti pada keadaan khusus HIV/TB, pada keadaan
di mana pasien HIV memiliki Hepatitis kronik aktif, haruslah dimulai terapi ARV berapapun
jumlah CD4 nya. Pengobatan ARV berhasil menurunkan angka kematian jangkapendek namun
Hepatitis Bdan Ckronik merupakan ancaman jangka panjang. Berdasarkan Pedoman Nasionan
Pelayanan Kedokteran 2011, regimen terapi ARV yang direkomendasikan yaitu TDF + 3 TC
atau FTC untuk HBV. Untuk HCV menggunakan kombinasi terapi interferon alpha dan ribavirin
(RBV). Selain itu vaksinasi Hepatitis A dan Bjuga diperlukan untuk mencegah hepatitis akut.
Terapi ARV untuk pengguna Metadon
Terdapat mitos bahwa ARV tak perlu diberikan kepada pengguna NAPZA/mantan pengguna
NAPZA dan ARV tak b o l e digunakan bersama Metadon. Namun, faktanya adalah interaksi
Metadon dan A V (Nevirapin dan Efavirenz) menurunkan kadar Metadon sekitar 20%. Jadi tak
ada alasan untuk tak menggunakan ARV bersama Metadon. Bahkan pengguna metadon sangat
dianjurkan untuk memulai terapi ARV. Berdasarkan Pedoman Nasionan Pelayanan Kedokteran
2011, regimen yang direkomendasikan adalah AZT atau TDF atau d4T+ 3TC +EFV atau NVP.

PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU HAMIL KE BAYI


Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis
pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (post- exposure
prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Menurut Pedoman Nasionan Pelayanan
Kedokteran 2012, regimen yang direkomendasikan adalah AZT + 3TC + EFV, AZT + 3TC +
NVP , TDF + 3TC atau FTC + EFV, dan TDF + 3TC atau FTC + NVP. Evafirenz (EFV)
sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester .1 Pemberian ARV pada bay yang lahir dari
ibu HIV adalah AZT 2x/hari sejak lahir hingga usia 4-6 minggu, dosis 4 mg/kgBB/kali.
Program pencegahan penularan HIVdari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV
penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di Indonesia
yang tertular HIV dari ibunya. Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10-
30%. Artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang akan tertular.
Sebagian besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan sebagian kecil melalui plasenta
selama kehamilan dan sebagian lagi melalui air susu ibu.
Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV. Obat A V yang
dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau nevirapin. Pemberian nevirapin dosis
tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan ekonomis. Sebetulnva
pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang dikombinasikan dengan operasi caesar, karena
dapat menekan penularan sampai 1%. Namun sayangnya di negara berkembangseperti Indonesia
tidak mudah untuk melakukanoperasi sectio caesaria yang murah dan aman. Kemudian
pemberian ASI oleh wanita dengan HIV tidak direkomendasikan karena memiliki risiko
transmisisebesar 5-20%. Alternatif pemberiansusu pada bayi adalah dengan
susu formula. Namun, kendala pemberian susu formula masih dialami oleh Negara berkembang
dikarenakan factor kultur dan ekonomi.

PENGOBATAN SEBAGAI PENCEGAHAN


Berbagai upaya pencegahan dapat dilakukan untuk mengendalikan infeksi HIV.
Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan, didapatkan bahwa peran pengobatan sebagai
pecegahan amat besar seperti yang ditunjukkan pada tabel 8.

Berbagai upaya pencegahan ini harus diikuti dengan kepatuhan berobat yang tinggi.
Seperti yang pernah diteliti sebelumnya, terdapat nilai keberhasilan pengobatan yang tinggi
sesuai dengan tingginya tingkat kepatuhan berobat pasien. Pada pasien dengan tingkat kepatuhan
berobat 95%, maka tingkat keberhasilan pengobatannya sebesar 80%, sedangkan pada pasien
dengan tingkat kepatuhan berobatkurang dari 70% akan didapatkan nilai
keberhasilan pengobatan sebesar 5%.

1.7 Prognosis dan Komplikasi


Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi hingga saat ini
adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan terapi definitif, sehingga prognosis
pada umumnya dubia ad malam

1.8 Indikasi Rujukan


1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan Dukungan
Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis,
penilaian imunologis dan penilaian virologi.
2. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi

Anda mungkin juga menyukai