Oleh
Rafiqah Azzahra
2210312022
Kelompok 1
Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
2023/2024
A. Penyakit Infeksi Tropik
1.2.1 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4×106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah denque. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotypeterbanyak.Terdapat reaksi
silanq antara serotipe denque dengan Flavivirus lain seperti Yellowfever, Japanese
encephalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus denque dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemilogi pada hewan ternak
didapatkan antibodi terhadap virus denque pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian
pada artropoda menunjukkan virus denguedapat bereplikasi padanyamuk genus Aedes
(Stegomyia) dan Toxorhynchites.
1.2.2 Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifil barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah
air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga
1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000
penduduk pada tahun 1998, sedangkanmortalitas DBD cenderung menurun hingga
mencapai 2% pada
tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui
vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus
setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan b a g i nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kalenq
bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus
dengue yaitu: 1). vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2). pejamu :
terdapatnya penderitadi lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk,
usia dan jenis kelamin; 3). lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan
penduduk.
Patogenesis terjadinya demam berdarah denque hingga saat ini mash diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti vang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan
dalam terjadinyademam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a). respons
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis
yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitasyang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus
dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis in
disebut antibody dependent enhancement (ADE); b). limfosit Tbaik T-helper (CD4) dan T-
sitotoksik (CD8) berneran dalam respon imun selular terhadap virus dengue. Diferensiasi
Thelper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis
virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis in menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu aktivasi komplemen oleh
kompleks imun meyebabkan terbentukya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi l a n g virus dengue dengan tipeyang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi
kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus denque menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helperdan T-sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamin vang mengakibatkan teriadinva disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi sumsum
tulang, 2). destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase
awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah
keadaan nadir tercapai akan teriadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal i n menuniukkan teriadinva stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit teriadi melalui
pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan
petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium I dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah denque
teriadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi faktor Xla namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex).
1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam bedarah denque atau sindrom syok dengue
(SSD) dan sindrom dengue diperluas.
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,akan tetapi mempunvai
risiko untuk teriadi reniatan iika tidak mendapat pengobatan adekuat
Tanda dan gejala klinis sangat bervariasi dari ringan pada DD hingga berat pada DBD.
Gejala yang timbul antara lain:
- Demam bifasik yang muncul tiba-tiba:
- Mual muntah:
- Ruam kulit;
- Nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh atau terpusat
pada su- praorbita dan retroorbita. Nyeri otot terutama pada tendon dan otot perut apabila
ditekan:
- Gangguan pada mata: pembengkakan, inj eksi kon- jungtiva, lakrimasi, dan fotofobia:
Tanda bahaya: nyeri perut, muntah persisten, aku- mulasi cairan yang dapat terlihat pada
pemerik- saan fisis, perdarahan mukosa, letargi, pembesaran hepar >2cm, dan
peningkatan hematokrit bersa- maan dengan penurunan jumlah trombosit.
Perjalanan klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase febris, kritis, dan
pemulihan ;
1.5 Diagnosis
Berdasarkan panduan yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) pada tahun
2009 , demam dengue terbagi menjadi tiga bagian. yakni:
Pemeriksaan laboratorium, paling tidak darah perifer lengkap (leukopenia dengan atau tanpa
trombositopenia) dan/atau tes antigen dengue NS I atau tes antibodi dengue IgM (opsional)
3. Dengue berat
Tinggal atau bepergian ke area endemis dengue dengan demam antara 2 - 7 hari dan dengan
mani· festasi klinis dengue di atas dengan atau tanpa tan· da-tanda bahaya, ditambah dengan:
- Kebocoran plasma berat. yang mengakibatkan:
o Syok
o Akumulasi cairan dengan gangguan pernapasan
- Perdarahan berat
o Epistaksis tak terkendali
o Hematemesis dan atau melena
o Perdarahan otak
o Hematuria grosmkaroskopik
o Hematoskezia
- Gangguan organ berat
o Hati : SGOT atau SGPT ≥ 1000
o System saraf pusat, misalnya kejang, gangguan kesadaran
o Jantung, misalnya miokarditis
o Ginjal, misalnya gagal ginjal
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersanaka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:
- Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 - 150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau b e r o b a tjalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau
bila keadaan penderita memburuk segera kembali keUnit Gawat Darurat.
- Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
- Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di ruang
rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini : Volume cairan
kristaloid per harivang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 +(20 ×(BB dalam kg- 20))
Contoh volume rumatan untuk B 55 kg: 1500 + (20 X (55-20)]=2200 ml. Setelah pemberian
cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24jam:
- Bila Hb, Htmeningkat10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombodilakukantiap 12 jam.
- Bila Hb, Ht meningkat > 20% dantrombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan hidung/
epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti in jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernapasan dan jumlah
urin dilakukansesering mungkin dengan kewaspadaanHb, Ht, dan trombosis serta hemostasis
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6
jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinisdan laboratorisdidapatkantanda-tanda
koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan
aPTTyangmemanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID
1.7.1 Prognosis
Mortalitas demam dengue relatif rendah. Namun, pada DBD/ DSS mortalitas cukup tinggi. Pada
usia dewasa, prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dibandingkan anak-anak.
1.7.2 Komplikasi
Dangue Shock Syndrome (DSS), ensefalopati, gagal ginjal, gagal hati
1.8 Indikasi Rujukan
1. DBD dengan syok (terdapat kegagalan sirkulasi).
2. Bila anak tidak dapat minum dengan adekuat, asupan sulit, walaupun tidak ada kegagalan
sirkulasi.
3. Bila keluarga tidak mampu melakukan perawatan di rumah dengan adekuat, walaupun DBD
tanpa syok
2. Malaria
2.1 Definisi dan Klasifikasi
Infeksi malaria disebabkan olehadanya parasit plasmodium didalam darah atau jaringan
yanq dibuktikan dengan pemeriksaan mikroskopik yang positif, adanya antigen malaria dengan
tes cepat, ditemukan DNA/ RNA parasit pada pemeriksaan PCR.3 Infeksi malaria dapat
memberikan gejala berupa demam, mengqigil, anemia dan splenomegali. Pada individu yang
imun dapat berlangsung tanpa gejala (asimtomatis)
Penyakit Malaria (malaria disease) : ialah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
plasmodium didalam eritrosit dan biasanya disertai dengan gejala demam.Dapat berlangsung
akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tapa komplikasi ataupun mengalami
komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi parasit yang menyerupai
malaria ialah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis.
2.2.1 Etiologi
Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan mengalami
pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh
nyamuk anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang menqinfeksi
binatang (82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada binatang primata)
Sementara itu terdapat empat plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, vanq sering
diumpai ialah plasmodium viva yang menyebabkan malaria tertiana dan plasmodium falciparum
vanq menyebabkan malaria tropika. Plasmodium malaria pernah juga dijumpai pada kasus di
Indonesia tetapi sangat jarang. Plasmodium ovale pernah dilaporkan dijumpai di Iran Jaya, pulau
Timor, dan pulau Owi (utara Iran Jaya). Seiak tahun 2004 telah dilaporkan munculnva malaria b
a r dikenal sebagai malaria ke-5 (the fifth malaria) yang disebabkan oleh Plasmodium knowlesi
yang sebelumnya hanya menginfeksi monyet berekor panjang, namun sekarang dapat pula
menginfeksi manusia.
2.2.2 Epidemiologi
Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika
(bagian Selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan Caribia. Lebih dari 1.6 triliun manusia
terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1juta
pertahun. Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada, negara di Eropa
(kecuali Risia), Israel, Singapura, Hongkong, Japan,Taiwan, Korea,Brunei dan Australia. Negara
tersebut ter-hindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik; walaupun demikian di
negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria vang di impor karena pendatangdari
negara malaria atau penduduknyamengunjungi daerah-daerah malaria
P. falciparum dan P. malariae ummumnya di jumpai pada semua negara dengan malaria;
di Afrika, Haiti dan Papua Nugini umumnya P. falciparum; P. vivax banyak di
Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tanggara, negara Oceania dan India umumnya P
falciparum dan P. vivax. P. ovale biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur
mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Iran Jaya dan dari Lombok
sampai Nusatenggara Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria dengan P.
falciparum d a n P. vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan
Batam kasus malaria cenderung meningkat. Populasi yang berisiko terhadap malaria ialah 113
juta dari 218 juta masyarakat Indonesia. Walaupun demikian jumlah kasus malaria telah
menurun dari 2.8juta tahun 2001 menjadi
1.2juta kasus pada tahun 2008.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit danm a s
kmelalui reseptorpermukaan eritrosit. Pada P. vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor
antigen Duffy Fya atau Fyb. Hal in menyebabkan individudengan golongan darahDuffy negatif
tidak dapat terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P. falciparum diduga suatu glycophorins,
sedangkan pada P malaria dan P. ovale belum diketahui. Dalam waktu kurang dari
12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P . falciparum menjadi bentuk stereo -
headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh
setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolisme-nva membentuk pigmen yang disebut
hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebihelastik
dan dinding berubah lonjong, pada P. falciparum dinding eritrosit membentuk tonjolan yang
disebut knob yang nantinya penting dalam proses sitoaderens dan rosetting. Setelah
36 iam invasi kedalam eritrosit, parasit berubah meniadi skizon, dan bila skizon pecah akan
mengeluarkan 6 - 36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P
falciparum, P. vivax dan P. ovale ialah 48 jam dan pada P. malariae adalah 72 jam.
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina, dan bila nyamuk
menghisap darah manusia yang sakit akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah
terjadi perkawinan akanterbentuk zigot dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet yang
menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk oocyst yang akan menjadi masak
dan mengeluarkan sporozoit yang akanbermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap
menginfeksi manusia.
Pada surveilens malaria di masyarakat, tingginya slide positive rate (SPR) menentukan
endemisitas suatu daerah
dan pola klinis penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi :
- HIPOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 0 - 10%
- MESOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
- HIPERENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate 50- 75%
- HOLOENDEMIK: bila parasit rate atau spleen rate › 75%
Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2 - 9 tahun. Pada daerah
holoendemik banyak penderitaanak-anak dengan anemia berat, pada daerah hiperendemik dan
mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-kanak (2 - 10tahun), sedangkan
pada daerah hipoendemik/daerah tidak stabil banyak dijumpai malaria serebral, malaria dengan
gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor peiamu (host).
Termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit.
Sedangkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal,
genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. EP secara garis besar mengalami 2 stadium,
yaitu stadium cincin pada 2 4jam Idan stadium matur pada 24jam ke II. Permukaan EP stadium
cincin akan menampilkan antigen RESA (Rinq-erythrocytesurgace antigen) yang menghilang
setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan meng-alami
penonjolan dan membentuk knob dengan HistidinRich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen
utamanya.Selanjutnya bila EP tersebut berubah menjadi merozoid, akan dilepaskan toksin
malaria berupa GPI atau glikosifosfatidilinositol yang merangsang pelepasanTNF-a dan
interleukin- 1LI(- 1) dari makrofag.
Sitoaderensi. Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan endotel
vaskular.Perlekatan terjadi molekul adhesif yang terletak dipermukaan knob EP melekat dengan
molekul-molekul adhesif yang terletak dipermukaan endotel vaskular. Molekul adhesif di
permukaan knob EP secara kolektif disebut PfEMP-1, (P.falciparum erythrocyte membrane
protein-1). Molekul adhesif dipermukaan sel endotel vaskular adalah CD36, trombospondin,
intercellular- adhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule - 1 (VCAM),
endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1) dan qlycosaminoglycan chondroitin sulfate
A. PfEMP-1 merupakan protein-protein hasil ekspresi genetik oleh sekelompok gen yang berada
dipermukaan knob. Kelompok gen ini disebut gen VAR. Gen VAR mempunyai kapasitas variasi
antigenik yang sangat besar
Sekuestrasi. Sitoaderen menvebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit
dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang
mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada
plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada
organ-organ vital dan hampir semuajaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak,
dikuti dengan hear dan ginjal, paru jantung, usus dankulit.Sekuestrasi inididuga memegang
peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.
Rosetting ialahberkelompoknya EP matur yang diselubungi10 atau lebih eritrosit yang tidak
mengandung parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoaderensi juga yang dapat
melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan
sehingga mempermudah teriadinva sitoadheren.
Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari
malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-a (tumor necrosis factor-alpha),
interleukin-1 (IL -1), interleukin-6 (IL -6), interleukin-3 (IL-3), LT (lymphotoxin) dan
interferon- gamma (INF-g). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria
serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoqlikemia mempunyai kadar
TNF-a yang tinggi. Demikianjuga malaria tapa komplikasi kadar TNF-a, IL-1, IL-6 lebih rendah
dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil in tidak konsisten karena juga dijumpai penderita
malaria yang mati dengan TN normal/ rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan
sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmitter yang lain s e b a g
a ifree-radical dalam kaskade in seperti nitrit-oksida sebagai faktor yang
penting dalam patogenesis malaria berat.
Nitrit Oksida. Akhir-akhir in banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam
menimbulkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru
memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan ekspresi
molekuladesi. Diduga produksi NO lokal di organ terutama otak yang berlebihandapat
mengganggu fungsi organ tersebut. Sebalikya pendapat lain menyatakan kadar NO tertentu,
memberikan perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin
menimbulkan malaria berat, dituniukkan dari rendahnva kadar nitrat dan nitrittotal pada cairan
serebrospiral. Anak- anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunvai kadar arginine yang
rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada patogenesis malaria berat m a s h
kontroversial, banyak hipotesis vang belum dapat dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai
penelitian sering saling bertentangan.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, dan tingginya transmissi infeksi
malaria. Berat/ ringannya infeksi dipengaruhi oleh ienis plasmodium (P. Falciparum sering
memberikan komplikasi), daerah asal infe‹si (pola resistensi terhadap pengobatan), umur (usia
lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi,
kemoprofilaksis dan pengobatan sebelumnya
Dikenal 5 jenis plasmodium (P) yang mengineksi manusia yaitu P. vivax, yang merupakan
infeksi yang paling sering dan menyebabkan malaria tertiana/ vivaks, P. falciparum, memberikan
banyak komplikasi dan mempunyai perjalanan klinis yang cukup serius, mudah resisten dengan
pengobatan dan menyebabkan malaria tropika/ falsiparum, P. malariae, cukup jarang namun
dapat menimbulkan sindroma nefrotik dan menyebaokan malaria quartana/ malariae, P.
ovaledijumpai pada deerah Afrika danPasifik Barat, memberikan infeksi yang paling ringan dan
sering sembuh spontan tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale, dan Plasmodium ke-5
ialah P. Knowles yang dilaporkan pertama kalidi Serawak sering didiagnosa sebagai P. malariae
dan dapat menyebakan malaria berat.
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme
terjadinya anemia ialah : pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan sementara eritropoiesis,
hemolisis oleh karena kompleks imun yang diperantarai komplemen, eritrofagositosis,
penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Pembesaran limpa (splenomegali)
sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah -3 hari dari serangan infeksi
akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam
pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian pada binatang percobaan memperlihatkan
limpa memfagosit eritrosit yang terinfeksi melalui perubahan metabolisme, antigenik dan
rheological dari eritrosit yang terinfeksi.
Inkubasi 12-17 hari, bisa lebih panjang 12 - 20 hari. Pada hari-hari pertama panas regular,
kadang-kadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut perasaan dingin atau menggigil jarang
terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermiten dan periodik setiap 48 jam dengan
gejala klasik trias malaria. Serangan paroksismal biasanya teriadi waktu sore hari. Kepadatan
parasit mencapai maksimal dalam waktu 7-14 hari.
Pada minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14 hari, limpa masih
dapat membesar dan panas masih berlangsung. Pada akhir minggu kelima panas mulai turun.
Pada malaria vivaks, limpa dapat membesar sampai derajat 4 atau 5 (ukuran Hackett). Malaria
serebral jarang teriadi. Edema tunqkai disebabkan karena hipoalbuminemia. Malaria vivaks
sering menyebabkan relaps. Pada penderita yang semi- imun infeksi malaria vivaks tidak spesifik
dan ringan saja; parasitemia hanya rendah; serangan demam hanva pendek dan penyembuhan
lebih cepat. Resistensi terhadap kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya dan
di daerah lainnya (Sumatra). 22-24. Relaps sering teriadi arena keluarnya bentuk hipnozoit yang
tertinggal di hati pada saat status imun tubuh menurun. Malaria vivaks saat ini dapat juga
berkembang menjadi malaria b e r a tdan memberikan komplikasi seperti gagal pernapasan,
malaria serebral, disfunqsi hati dan anemia berat.
2.5 Diagnosis
Diagnosa malaria ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopik. Gejala
klinis saja sering bervariasi dan tidak spesifik sehingga penegakkan diagnosa berdasar gejala
klinis mempunyai spesifitas yang rendah. Adanya riwayat/ anamnesa penderita tentang asal
apakahdaridaerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria sangat membantu
dalam memperkirakan adanva infeksi malaria. WHOmerekomendasikan diagnosis berdasar
gejala klinis dengan 2 petunjuk
1. Bila risiko infeksi malaria rendah, kemungkinan transmisi malaria minimal, diagnosa
berdasar adanya demam selama 3 hari dan tidak ditemukan penvebab infeksi lainnya.
2. Bila penderita risiko malaria tinggi, dan transmisi
malaria sangat tinggi, diagnosa berdasar adanya demam saat hari disertai adanya anemia, pada
anak sering ditandai dengan pucat di telapaktangan.
Diagnosis pasti dengan menemukan adanya parasit malaria ditegakkan dengan pemeriksaan
mikroskopik sebagai standar baku dan bila tidak dimungkinkan dibantu dengan tes diagnosa
cepat (Rapid Diagnosis Test =RDT)
Klasifikasi Malaria:
1. Malaria asimptomatik
2. Malaria tanpa komplikasi
3. Malaria berat
4. Malaria bentuk khusus
Malaria asimptomatik: ialah penderita malaria dengan ditemukannva parasit malaria pada
pemeriksaan darah dan penderita tidak ada gejala/ keluhan. Penderita ini biasanya ditemukan
pada waktu survailens dan diumpai pada orang yang tinggaldi daerah hiper/holo endemik.
Penderita in dengan imunitas vana tingqi sehingga adanya parasitdalam darahnyatidak memberi
gejala. Bila diumpai kasus seperti in penderita harus tetap diberikan obat anti-malaria.
Malaria tanpa komplikasi:ialahditemukannyaparasitbentuk aseksual dari seorang
penderitadisertaidengan gejala-gejala klinis malaria. Geiala dapat klasik maupun tidak klasik.
Pada penderitainitidak ditemukan tanda-tanda komplikasi.
Malaria berat: Komplikasi malaria umumnyadisebabkan karena P. falciparum dan sering di sebut
pernicious manifestations. Sekarang komplikasi malaria dapat juga disebabkan karena P. vivax
dan P. knowlesi. Sering teriadi mendadak tapa gejala-gejala sebelumnya, dan sering
teriadi pada penderita vang tidak imun seperti pada pendatang dan ibu hamil. Komplikasi terjadi
5-10% pada seluruh penderita malariayang dirawatdi RS dan 20% nya merupakan kasus yang
fatal . Data di Minahasa insiden malaria berat ialah 6 % dari kasus yang dirawat di RS dengan
mortalitas 10 - 20 %.
Penderita berat malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.
falciparum dengan satu atau lebih komplikasi berikut:
1. Malaria cerebral : penurunan kesadaran (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau
lebih dari 30 menit setelah serangan kejang; derajat penurunan kesadaran harus dilakukan
penilaian berdasar GCS (Glasgow Coma Scale).
2. Acidemia/ acidosis: pH darah < 7.25 atau plasma bikarbonat < 15 mol/L, kadar laktatvena >5
mmol/L, klinis pernapasan dalam/respiratory distress.
3. Anemia berat normositik ( Hb < 5 gr% atau hematokrit ≤15 %)
4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 ml/ 24 jam pada orang dewasa atau 12 ml/kg B pada
anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mg%.
5. Edema paru (berdasarkan temuan foto toraks)
6. Ketidak mampuan untuk makan ( failure to feed) .7 Hipoglikemi: gula darah < 40 mg%
8. Gagal sirkulasi atau Syok : tekanansistolik < 70 mmHg (anak 1- 5 tahun < 50 m H q ) ;disertai
keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa > 1derajat c.
9. Perdarahan spontan
10. Keiang berulang lebih dari 2 kali/ 24 jam. 11. Hiperlaktemia > 5 mmol/L
12. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat
antimalaria / kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD).
13. Diagnosa post-mortem denganditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler di
jaringan otak/ jaringan lain.
Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran
klinik daerah setempat ialah :
1. Gangguan kesadaran ringan (GCS <15) di Indonesia sering dalam keadaan delirium
2. Prostation- Kelemahan otot (tak bisaduduk/ berialan, tanpa bantuan)
3. Hiperparasitemia > 2 % >( 100.000 parasit/uL) pada daerahtransmisi rendah atau
>5%(250.000/uL)pada daerah transmisi tinggi/stabil malaria
4. Ikterik (bilirubin > 3mg%) biladisertai gagal organ lain .5 Hiperpireksia (temperatur rektal >
40 ° c) pada orang dewasa/anak.
Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesiasaat ini ialah kombinasi artesunate +
amodiakuin dengan nama dagang " Artesdiaquine" atau " Arsuamoon ", tiap tablet artesunate
berisi 50mg dan tiap tablet amodiakuin berisi 200mg. Didalam kemasan blister terdiri dari 4
tablet artesunate(warna putih) dan 4 tablet amodiakuin (warna kuning). Pada dosis orang dewasa
dengan BB diatas 50 kg diberikan dosis peng-obatan hari Isampaidengan hari ketiga masing
minum 8 tablet yang terdiri dari 4 tablet artesunate dan 4 tablet amodiakuin. Pengobatan ACT
saat ini memakai dosis pemberian selama 3 hari.
ACT yang ke-2 ialah kombinasi dihydroartemisinin + piperakuin (DHP), dengan nama dagang "
Arterekin" atau "Darplex" atau "Artekin" atau "Artep", merupakan kombinasi dosis tetap (FDC)
dimana tiap tablet terdiri dari dihidroartemisinin 40mg dan piperakuin 320mg. Pada orang
dewasa diatas 50 Kg diberikan dosis 4 tablet/ hari selama 3 hari. Kedua kombinasi ACT ini
tersedia disemua fasilitas kesehatan pemerintah karena merupakan obat program pada eliminasi
malaria.
ACT yang ke-3 ialah kombinasi dosis tetap (FDC) dimana tiap tablet terdiri dari artemeter 20mg
dan lumefantrine 120mg, nama dagangnya ialah " Coartem". Dosis orang dewasa diatas 50 Kg
ialah 4tablet, 2 × sehari selama 3 hari. Kombinasi ini tersedia di Indonesia bukan sebagai obat
program tetapitersedia untuk fasilitas swasta (tersedia di Apotek) dan juga termasuk obat dalam
daftar ASKES
PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI MENURUT PEDOMAN
DEPARTEMEN KESEHATAN R I
Departemen Kesehatan RI, melalui komisi ahli malaria telah merekomendasikan
pedoman pengobatan malaria di Indonesia sebagai berikut :
1. Pengobatan Malariadi Indonesia sebagai line pertama baik untuk malaria falsiparum dan
malaria vivax telah menggunakan obat ACT dengan primakuin sesuai dengan jenis
plasmodiumnya.
2. Untuk penggunaan ACT harus dipastikan bahwa infeksi malaria memang terbukti dengan
pemeriksaan mikroskopik malaria atau dengan t e scepat (RDT =Rapid Diagnosis Test)
3. Para dokter diminta untuk tidak menggunakan pengobatan monoterapi untuk mencegah
timbulnya resitensi/ kegagalan pengobatan
4. Untuk malaria berat memakai derivat artemisinin dan yang disiapkan ialah obat injeksi
artesunate dan artemeter, apabila tidak tersedia obat tersebut dapat menggunakan kina HCI
injeksi.
Apabila terjadi kegagalan sesudah 14 hari dari mulai pengobatanACT, timbulnya parasit
ini dapat disebabkan oleh re-infeksi (digigit kembali oleh nyamuk dan terjadi
infeksi) atau rekrudensi. Keadaan i n hanya dapat dibedakan dengan P C (Polymerase Chain
Reaction) yang tidak tersedia di laboratorium klinik biasa.
Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100 mg/hari atau
mefloquin 250 mg/ minggu atau klorokuin 2 tablet/ minggu ditambah proguanil 200 mg/hari.
Obat lain yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5 mg/kg BB/ hari;Etaquin,
Atovaquone/ Proguanil (Malarone) dan Azitromisin.
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang menyulitkan
ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada masing-masing bentuk
stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah P.falciparum sekarang baru
ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi tehadap P.falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis
vaksin yang dikembangkan yaitu vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin terhadap bentuk
aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit. Vaksin bentuk
aseksual yang pernah dicoba ialah SPF- 66 atau yang dikenal sebagai vaksin Patarroyo, yang
pada penelitian akhir-akhir ini tidak dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit bertujuan
mencegah sporozoit menginfeksi sel sehat sehingga diharapkan infeksi tidak teriadi. Vaksin ini
dikembangkan melalui ditemukannya antigen circumsporozoit. Uji coba pada manusia tampakya
memberikan perlindungan yang bermanfaat, walaupun demikian uji lapangan sedang dalam
persiapkan. HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yanq ideal ialah vaksin yang multi-stage
(sporozoit, aseksual), multivalent (terdiri beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-
imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan diharapkan memberikan respons terbaik dan
harga yang kurang mahal.
3. Leptospirosis
3.1 Definisi dan Klasifikasi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro organisme
Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit in pertama sekali
dikemukakan olehWeil pada tahun 1886 yanq membedakan penyakit yang disertaidengan ikterus
ini dengan penyakit lain yang jugamenyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya dikenal sebagai
Weil's disease. Penyakit in dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp
fever, autumnal fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain.
Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit
dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam
dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit
yang termasuk the emerging infectious diseases.
3.2.2 Epidemiologi
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua Antartika,
namun terbanyak didapati didaerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan
seperti anjing,babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau binatang-binatang pengerat lainnya
seperti tupai, musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut,
leptospira hidup di dalam ginjal/ air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang utama dari
L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus,
leptospira akan menetap dan membentuk koloni s e t a berkembang biak di dalam epitel
tubulus qinjal tikus dan secara terus menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urine.
Penyakit ini bersifat musiman, di daerahberiklim sedang masa puncakinsidens dijumpai
pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang
mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens
tertinggi teriadi selama musim huian.
Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai jenis
pejamu dari leptospira, mulai dari mamalia yang berukuran kecil di mana manusia dapat
kontak dengannya, misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang,
sampai dengan reptil (berbagai jenis katak dan ular), babi, sapi, kucing,dan anjing.
Binatang pengerat terutama tikus merupakan reservoar paling banyak. Leptospira
membentuk hubungan simbiosis dengan pejamunya dan dapat menetap dalam tubulus
renalis selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Beberapa serovar berhubungan
dengan binatang tertentu, seperti .L icterohaemoragiae/ copenhageni dengan tikus, .L
grippotyphosa dengan voles (sejenis tikus), .L hardjo dengan sapi, .L canicola dengan
anjing dan .L pomona dengan babi.
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas.
Di Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Benakulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Barat. Pada keiadian banir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus
kasus leptospirosis dengan 20 kematian.
Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam
melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai
mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakanleptospira dalam urine. Diagnostik pasti
ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada darah atau urine atau ditemukannya
hasil serologi positip. Untuk dapat berkembang biaknya leptospira memerlukan
lingkunganoptimal sertatergantung pada suhu yang lembab, hangat, PH air/tanah yang
netral, dimana kondisi ini ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.
3.3 Patogenesis dan Patofisiologi
3.3.1 Patogenesis
Leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki
aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas kejaringantubuh. Kemudian
terjadi respon imunologi baik secara selular maupun humoral sehinggainfeksi ini dapat
ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. walaupun demikian beberapa organismeini masih
bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal di mana
sebagian mikro organisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan
dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai
beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun- tahun
kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral.
Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentukya agglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalamjaringan qinjal dan
okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu
3.3.2 Patofisiologi
Dalam perialanan pada fase leptospiremia, leptospira
melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologipada
beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler.
Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologis vang ringan ditemukan
pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut.
Perbedaan in menunjukkan bahwa kerusakan bukan padastruktur organ. Lesi inflamasi
menuniukkan e d e m adan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus
vanq berat teriadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoselular dengan retensi bilier. Selain di ginial leptospira jugadapat bertahan pada
otak dan mata. Leptospira dapat masuk kedalam cairan serebrospinalis pada fase
leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan
neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang
sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik
pada organ :
Ginjal. Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lei pada
leptospirosis vana dapat terjadi tanpa gangguan fungi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginial,
hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan
ginjal.
Hati. Hatimenuniukkan nekrosissentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
Jantung. Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium
dapat fokal atau difus berupa intersitital edema dengan infiltrasi sel mononuklear dan
plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat teriadi perdarahan fokal
pada miokardium dan endokardium
Otot rangka. Pada otot rangka, terjadi perubahan- perubahan berupa lokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehi angan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan
invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
Mata. Leptospira dapat mask rang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan
menyebabkan uveitis.
Pembuluh darah. Terjadi perobahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis
yang akan menimbulkan percarahan. Sering ditemukan perdarahan/peteki pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan percarahan bawah kulit.
Susunan saraf pusat. Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS)dan
dikaitkandengan teriadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibodi, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit
peningkatan sel mononuklear araknoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis
aseptik, biasanya paling sering diserabkan oleh L. canicola.
Weil Disease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe
kontinua. Penvakit Weil ini biasanva terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab Weil disease adalah serotipe icterohaemorragica pernah juga dilaporkan o l e
serotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatik atau disfungsi vaskular.
Fase Leptospiraemia
Fase ini ditandai dengan adanva leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada
otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat
diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil,juga didapati mual dengan
atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari
ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai
rash yang berbentuk makular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Faseini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat
ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang
terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih
berat demam t u r n setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu teriadi
demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbuldemam yangmencapai
suhu 400 Cdisertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakityang menyeluruh pada
leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala
kerusakan padaginjal danhati, uremia, ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik,
purpura, petechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling
sering. Conjunctiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomosis untuk leptospirosis.
Teriadinya meningitis merupakan tanda pada faseini, walaupun hanya 50% geiala dan
tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda- tanda
meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanva menghilanq setelah 1-2 hari.
Pada fase ini leptospiradapat dijumpai dalam urin.
3.5 Diagnosis
Pada umumnva diagnosi awal leptosirosis sulit, karena pasien biasanya datang dengan
meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma syok toksik, demam yang tidak
diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitis.
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok
risiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demamyang muncul mendadak, sakit kepala terutama di
bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan
laboratorium darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai
gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai protein uria,
leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkatt a n apeninqkatan
transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila teriadi komplikasi pada
ginjal.Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari
cairan tubuh dan serologi.
Kultur. Dengan mengambil spesimen dari darah atau CCS segera pada awal gejala. Dianjurkan
untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum
diberi antibiotik. Kultur urine diambil setelah 2-4 mingqu onsetpenvakit. Pada spesimen yang
terkontaminasi, inokulasi hewan dapatdigunakan.
Serologi. Pemeriksaan untuk mendeteksi adanva leptospira dengan cepat adalah dengan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver stain atau fluroscent antibody stain, dan
mikroskop lapangan gelap.
Diagnosis Banding
1. Demam Dangue
2. Malaria
3. Hepatitis Virus
4. Penyakit rickettsia
Sampai saat in penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diinagt
bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiraemia). Pada
pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian
intra vena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan
sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit
dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi
azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.
Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospes
perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan. Bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi
untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat
melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasidengan air kemih
binatang reservoar. Pemoerian doksisiklin 200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk
mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi dan terpapar
dalam waktu singkat. Penelitian terhadap tentara Amerika di hutan Panama selama 3 minggu,
ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4-2% menjadi 0,2%, dan efikasi
pencegahan 95%.
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoar sudah lama direkomendasikan,
tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan, masih memerlukan penelitian lebih
laniut.
3.7.1 Prognosis
Prognosis tergantung pada keadan umum pasien. usia. virulensi leptospira, adanya kekebalan
didapat. Kematian dapat terjadi sebagai komplikasi faktor pemberat seperti gagal ginjal atau
perdarahan. dan terlambatnya tata laksana pasien .Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal.
Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia
laniut mencapai 30-40%.
3.7.2 Komplikasi
1. Meningitis
2. Distress Respirasi
3. Gagal ginjal karena renal interstitial tubular necrosis
4. Gagal hati
5. Gagal ginjal
1.1 Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan patogen yang menyerang sistem imun
manusia, teruta- ma semua sel yang memiliki penanda CD4+ di permu- kaannya seperti
makrofag dan limfosit T, sementara ac- quired-immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan
suatu kondisi (sindrom) imunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder, serta manifestasi neurologik tertentu akibat infeksi HIV.
1.2.2 Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS teriadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hukungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual. jarum
suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi
HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena i t kelompok risiko tinggi terhadap
HIV/AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta
narapidana.
Namun, infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan
masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya,
sebagian besar odha berasaldari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi
pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika
semakin meningkat. Beberapa bayiyang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan
tahap yang lebih lanjut dar tahap penularan heteroseksual.
Sejak 1985 sampaitahun 1996 kasus AIDS mash amat jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian besar odha pada periode i t berasal dari kelompok homoseksual.
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun
1999 mulai terlihat peningkatan tajam yangterutama disebabkan akibat penularan melalui
narkotika suntik. Sampaidengan akhir M a r t 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan.Jumlah itu tentu m a s h sangat jauh d a r ijumlah sebenarnya. Departemen
Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia vanq
terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Sebuah survey yang
dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks
komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 1995/1996 meniadi lebih
dari 8,38% pada tahun 2000. Sementara i t survey vang dilakukan pada tahun 2000
menuniukkan angka infeksi HIV yanq cukup tinggi di lingkungan PSK di Merauke yaitu
5-26,5%, 3,36% di Jakarta Utara, dan 5.5% di Jawa Barat.
Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang
semakinnyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar odha yang merupakan
pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia
produktif. Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari keluarga broken
home dan kayajuga tampakya semakin luntur. Pengaruh teman sebaya (peer group)
tampakya lebih menonjol.
Pengguna narkotika suntik mempunyai risiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV
atau bibit-bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah
penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh
sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai
lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey sentinel yang dilakukan di RS
Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada
pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999,
meningkat cepat menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan
suatu survei di sebuah kelurahandi Jakarta Pusat yang dilakukan oleh Yayasan Pelita
Ilmu menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV.
Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indikator
untuk menggambarkan infeksi HIV/AIDSpada masyarakat umum. Jika pada tahun 1990
belum ditemukan darah donor di Palang Merah Indonesia (PMI) yang tercemar HIV,
maka pada periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yangjumlahnya makin lama makin
meningkat. Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002% pada
periode 1992/1993, 0,003% pada periode 1994/1995, 0,004% pada periode 1998/1999
dan 0,016% pada tahun 2000.
Prevalensi ini tentu perlu ditafsirkan dengan hati-hati, karena sebagian donor
darah berasal tahanan di lembaga pemasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS
di rumahsakit yang belum mempunyai fasilitas laboratorium untuk tes HIV. Saat ini,
tidak ada lagi darah donor yang berasal dari penjara.
Pada narapidana, suatu survey cross sectional di penjaranarkotikadi Bandung,
memperlihatkan prevalensi HIV pada warga binaan yang 10 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan angka nasional.
Survey yang dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB,
puskesmas dan rumah sakit di Jakarta yang dipilih secara acakmenemukan bahwa 6
(1,12%) ibu hamil dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata positif
terinfeksi HIV.
1.6 Diagnostis
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti
terinfeksi HIV, baik dengan meteode pemeriksaan antibodiatau pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya virus dalam tubuh.
Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik (Tabel 2) atau limfosit CD4+ kuranq dari 350 sel/mm3.
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi
HIV sangatlah penting,karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah
bertahun-tahun lamanya.
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeks
HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksan serologik untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi
adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi an:igen,
dan deteksi materi genetik dalam darah pasien.
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV.
Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme- linked immunosorbent assay),
aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia
adalahdengan ELISA.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV in vaitu adanya
masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya
antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentu‹ pada 4-8 minggu
setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes
HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang
negatif. Untuk itu lika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, p e r l dilakukan
pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.
World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi
pemeriksaan antibodi terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan
populasi dan keadaan pasien
Selain interaksi ARV dengan OAT, terdapat juga interaksi ARV dengan obat lain, yaitu
Tenofovir dengan ddl (videx), dan PI dengan statin
Interaksi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV
merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada
odha tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek
hepatotoksisitasya, harus sangat diperhatikan. Pada odha yang telah mendapat obat ARV
sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih
ketat. Pada odha yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan
kondisinya
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali ddl yang
harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.
Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan inhibitor
protease. Obat ARV yang dianjurkan digunakan Pla odha dengan TB pada kolom B(Tabel 4)
adalah evafirtz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sami 82% dan dapat menurunkan
kadar nevirapin sampai7%. Namun, jika evaf renz tidak memungkinkan diberikaloada pemberian
bersama rifampisin dan nevirapin, dosinevirapin tidak perlu dinaikkan.
EVALUASI PENGOBATAN
Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah rupakan indikator yang dapat dipercaya
untuk memantau pratnva kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan memughkan kita untuk
mengambil keputusan memberkan pengGatan ARV Jika tidak terdapat sarana pemerikaan CD4,
maka jumlah CD4 dapat diperkirakan dari jumlah limfosit toti yang sudah dapat dikerjakan di
banyak laboratorium pada umumnya.
Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati, menentukan prognosis dan menduga staging
pasien, berdasarkan gambaran klinik pasien dan umlah limfosit CD4. Sekarang in sudah ada
tambahan parameter baru yaitu hitung virus HIV dalam darah (viral lond) sehingga upava
tersebut meniadi lebih tepat.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral load, kita dapat
memperkirakan risiko kecepatan perialanan penyakit dan kematian akibat HIV. Pemeriksaan
viralload memudahkan untuk memantau efektivitas obat ARV.
Sejak awal pengobat.an ARV, masalah kegagalanterapi
ARV lini pertamamenja di hal yang banyak dieliti. Definisi kegagalan terapi dapait
dilihat pada tabel 5.
Obat-obat golongan protease inhibitor (Pls) seperti lopinavir/ ritonavir, ataza navir,
saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memiliki biarier genetik yang tinggi terhadap
resistensi. Obat golonga n lain memiliki barier yang rendah. Walau demikian, keban'yakan
pasien yang mendapatkan Pls- terkait HAART (highly active anti-retroviral therapy) yang
mengalarni kegacjalan virologis biasanya memiliki strain virus HIV yang mash sensitif, kecuali
bila digunakan jangka panjang. Obat golangan lain biasanya menjadi resisten dalam wakt:u yang
lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologis.
Indikasi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi penyakit secara
klinisdimulai setelah > 6 bulan memakai ARV
Pada WHO staclium :3 penurunan B > 10 %, diare 'atau demam > 1 bulan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya, oral hairy leukoplakia terdapat infeksi bakterial yang berat atau
"bedridden" lebihdari 50% dari satu bulan terakhir
Tes resistensi seharusnva dilakukan selama teraci atau dalam 4 minggu penghentian
regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes resistensi merupakan hal yang komplelks, bahkan
terkadang lebih baik dikerjakan oleh ahlinya.
Berbagai upaya pencegahan ini harus diikuti dengan kepatuhan berobat yang tinggi.
Seperti yang pernah diteliti sebelumnya, terdapat nilai keberhasilan pengobatan yang tinggi
sesuai dengan tingginya tingkat kepatuhan berobat pasien. Pada pasien dengan tingkat kepatuhan
berobat 95%, maka tingkat keberhasilan pengobatannya sebesar 80%, sedangkan pada pasien
dengan tingkat kepatuhan berobatkurang dari 70% akan didapatkan nilai
keberhasilan pengobatan sebesar 5%.