PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
2.2 Epidemiologi
Demam dengue merupakan penyakit infeksi virus mosquito-borne
yang tersebar paling cepat di dunia. Dalam 50 tahun terakhir kejadiannya
meningkat 30 kali lipat dengan penyebaran yang meluas ke berbagai negara
baru dengan karakteristik geografis yang beragam dari area pemukiman ke
perkotaan. Sekitar 70% populasi yang berada dalam resiko terinfeksi dengue
berada di kawasan asia tenggara dan pasifik bagian barat. Semenjak tahun
2000 angka kematian akibat dengue mencapai rata rata 1% di area ini, namun
3
di Indonesia, India dan myanmar angka kematian mencapai 3-5%.
Gambar 1. Negara-negara/area-area dengan risiko transmisi dengue.
2.3 Etiologi
Etiologi penyakit DHF adalah virus dangue termasuk famili
Flaviviridae, genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Indonesia memiliki keempat serotipe virus
dengue ini. Virus dengue termasuk dalam kelompok virus yang relatif labil
terhadap suhu dan faktor kimiawi lain serta memiliki masa viremia yang
pendek. Virion virus dengue tersusun oleh genom RNA yang dikelilingi oleh
nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung
dua protein yaitu selubung protein E dan protein membran M.3,4
Jika seseorang terinfeksi pertama kali (primer) dengan satu serotipe
maka orang tersebut akan mendapatkan kekebalan seumur hidup terhadap
serotipe tersebut, tetapi pada infeksi sekunder dengan serotipe virus yang
berbeda (secondary heterologous infection) pada umumnya memberikan
manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi primer.2
2.4 Klasifikasi
WHO mengklasifikasikan infeksi dengue menjadi 3 besar yaitu
demam yang tidak terklasifikasikan, demam dengue, dan Dengue
haemorrhagic Fever (DHF). DHF memiliki 4 derajat menurut keparahan
penyakitnya, derajat 3 dan 4 merupakan dengue shock syndrome (DSS).5
2.5 Patofisiologi
a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara demam dengue (DD) dengan demam berdarah dengue
(DHF) ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan
volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, disertai diathesis
hemoragik. Plasma akan merembes selama perjalanan penyakit mulai dari
awal masa demam dan mencapai puncak pada masa syok. Pada kasus berat,
syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat secara bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Bukti
adanya kebocoran plasma ialah meningkatnya berat badan, ditemukan cairan
yang tertimbun dalam rongga serosa seperti peritoneum, pleura, dan
perikardium.6
b. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Trombositopenia diduga
disebabkan oleh depresi fungsi megakariosit dan peningkatan destruksi
trombosit. Peningkatan destruksi trombosit disebabkan oleh virus dengue,
komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi
sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut
fungsi trombosit pada DHF terbukti menurun mungkin disebabkan proses
imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab
utama terjadinya perdarahan pada DHF. 6
c. Sistem Komplemen
Aktivasi sistem komplemen oleh virus dengue akan menghasilkan
anafilaktoksin C3 dan C5 yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel
mast untuk melepaskan histamine yang merupakan mediator kuat untuk
menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume
plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop
virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang
mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok
dan perdarahan.6
2.6 Patogenesis
Patogenesis dengue haemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock
syndrome (DSS) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang banyak dianut adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) dan hipotesis immune enhancement. Halstead
menyatakan mengenai hipotesis secondary heterologous infection. Pasien
yang mengalami infeksi berulang dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DHF
atau DSS. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai
virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Sifat antibodi yang heterolog menyebabkan virus tidak
dinetralisirkan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag (respon antibodi anamnestik).6,7
Dalam waktu beberapa hari terjadi proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi mengaktifkan sistem
komplemen (C3 dan C5), melepaskan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga plasma
merembes ke ruang ekstravaskular. Volume plasma intravaskular menurun
6,7
hingga menyebabkan hipovolemia hingga syok.
Hipotesis kedua antibody dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan perembesan plasma
kemudian hipovolemia dan syok. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan
terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Virus dengue
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi
6,7
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah.
Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen,
juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DHF. Agregasi trombosit terjadi sebagai
akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit
melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan
oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.
Kadar trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan sebagai mekanisme kompensasi stimulasi
trombopoesis saat keadaan trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular diseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi
6,7
penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi
trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak
berfungsi baik. Disisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi
faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok.
Jadi, perdarahan masif pada DHF diakibatkan oleh trombositopenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan
kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat
6,7
syok yang terjadi.
ptekie dalam area 2,8 x 2,8 cm) atau beberapa ptekie spontan.2
Syok Terkompensasi
9
Tanda dan gejala syok terkompensasi :
1. Takikardi
2. Takipnea
3. Tekanan nadi < 20 mmHg
4. CRT > 2 detik
5. Kulit dingin
6. Produksi urin menurun < 1 mL/kgBB/jam
7. Gelisah
Syok Dekompensasi
9
Tanda dan gejala syok dekompensasi :
1. Takikardi
2. Hipotensi
3. Nadi cepat dan kecil
4. Pernafasan kusmaull
5. Sianosis
6. Kulit lembab dan dingin
7. Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam menunjang
penegakan diagnosis infeksi dengue. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah (1) isolasi virus, (2) deteksi RNA virus dengan menggunakan
pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT- PCR), (3)
deteksi antigen virus dengan pemeriksaan NS-1 antigen virus dengue, (4)
deteksi respon imun serum berupa pemeriksaan serologi IgG dan IgM anti
dengue, (5) analisis parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung
leukosit, nilai hematokrit, dan jumlah trombosit.2
Pada awal fase demam, leukosit dapat normal selanjutnya diikuti
penurunan jumlah leukosit yang mencapai titik terendah pada akhir fase
demam. Perubahan jumlah leukosit (< 5.00 sel/mm3) dan rasio antara
neutrophil dan limfosit (neutrophil < limfosit) berguna dalam memprediksi
masa kritis perembesan plasma. PAda awal fase demam juga jumlah trombosit
normal, kemudian diikuti oleh penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000
/mm3 dapat ditemukan pada DD, namun selalu ditemukan pada DHF.
Penurunan trombosit yang mendadak di bwah 100.000/mm3 terjadi pada akhir
fase demam memasuki fase kritis atau saat penurunan suhu. Trombositopenia
pada umumnya ditemukan pada hari sakit ketiga sampai kedelapan, dan sering
mendahului peningkatan hematocrit. Jumlah trombosit berhubungan dengan
derajat penyakit DHF. Pada awal demam juga ditemukan nilai hematocrit
masih normal. Peningkatan ringan pada umumnya disebabkan oleh demam
tinggi, anoreksia, dan muntah. Peningkatan hematocrit lebih dari 20%
merupakan tanda dari adanya kebocoran plasma. Trombositopenia di bawah
100.000/mm3 dan peningkatan heamtokrit lebih dari 20% merupakan bagian
dari diagnosis klinis DHF.2 Pemeriksaan radiologi juga dilakukan untuk
menunjang diagnosis. Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral
decubitus dilakukan atas indikasi:
Distres pernafasan/ sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah
mencapai 20%-40%
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk
menilai edema paru karena overload pemberian cairan.
Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada
kanan, dan efusi pleura.
Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan
dinding vesika felea, dan dinding buli-buli.
2.9 Tatalaksana
Tatalaksana DHF secara umum adalah tirah baring, pemberian cairan,
medikamentosa simptomatik, dan antibiotic jika terdapat infeksi sekunder.
Selanjutnya tatalaksana DBD dibagi menjadi 5 protokol menurut PAPDI.
Gambar 4. Tatalaksana pasien dewasa dengan kecurigaan DBD tanpa syok.
Gambar 5. Tatalaksana cairan pada pasien dewasa dengan kecurigaan DBD tanpa syok
Gambar 6. Tatalaksana DBD pada pasien dengan peningkatan Ht > 20%
Gambar 7. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD dewasa
Gambar 8. Tatalaksana DSS pada pasien dewasa
Kriteria Pulang Rawat:
1. Tidak demam minimal 24 jam tanpa terapi antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Perbaikan klinis yang jelas
4. Jumlah urin cukup
5. Minimal 2-3 hari setelah syok teratasi
6. Tidak tampak distress pernafasan yang disebabkan efusi pleura atau asites
36
7. Jumlah trombosit >50.000/mm .
Apabila masih rendah namun klinis baik, pasien boleh pulang dengan nasihat jangan
melakukan aktvitas yang memudahkan untuk mengalami trauma selama 1-2 minggu
(sampa trombosit normal). Pada umumnya apabila tidak ada penyulit atau penyakit lain
yang menyertai (misalnya ITP), trombosit akan kembali ke kadar normal dalam waktu 3-
5 hari.2
2.10 Komplikasi
1. Demam Dengue :
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat,
2
dan trauma.
2. Demam Berdarah Dengue :
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
2. Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal akut.
3. Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading
pemberian cairan
4. pada masa perembesan plasma
5. Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan
hebat (DIC,
6. kegagalan organ multipel)
7. Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok
berkepanjangan dan
2
8. Terapi cairan yang tidak sesuai.