Anda di halaman 1dari 34

MATA KULIAH METODE PENGENDALIAN PENYAKIT

MODUL

METODE PENGENDALIAN PENYAKIT


MENULAR

PENYAKIT YANG DITULARKAN MELALUI VEKTOR

NI WAYAN SEPTARINI

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017

  i  
 
DEMAM BERDARAH DANGUE…………………………………….. 2
JAPANESE ENCEPHALITIS………………………………………… 15
MALARIA………………………………………………………………. 27

i  
 
 

PENDAHULUAN

A. Definisi
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang cenderung meningkat jumlah penderita dan menyebar luas seiring
peningakatan mobilitas dan kepadatan penduduk.
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti
dan Aedes Albopictus. Aedes Aegepti lebih berperan dalam penularan penyakit ini, karena
hidupnya di dalam dan di sekitar rumah, sedangkan Aedes albopictus cenderung hidup di
perkebunan sehingga lebih jarang kontak dengan manusia. Kedua jenis nyamuk ini terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari
1000 meter diatas permukaan laut. Masa inkubasi penyakit ini diperkirakan kurang lebih 7 hari
(Depkes RI, 1992).
Penyakit Demam Berdarah Dengue dapat menyerang semua golongan umur. Sampai saat
ini penyakit Demam Berdarah Dengue lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam
dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita Demam
Berdarah Dengue pada orang dewasa.
Indonesia termasuk daerah endemik untuk penyakit Demam Berdarah Dengue. Serangan
wabah umumnya muncul sekali dalam 4-5 tahun. Faktor lingkungan memainkan peranan
penting bagi terjadinya wabah. Lingkungan dimana terdapat banyak air tergenang dan barang-
barang yang memungkinkan air tergenang merupakan tempat ideal bagi vektor penyakit
tersebut. (Depkes RI, 1992)

  2  
 
 

B. Perjalanan Ilmiah Penyakit


Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14
hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ke-
7, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10
hari.
Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD,
ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji
tourniquet positif, trom- bositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran
plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah.(WHO, 2003)
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan pemulihan. Tahap
beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling kritis, dengan kebocoran plasma
cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah. Terdapat 4 tahapan derajat keparahan
DBD, yaitu derajat I dengan tanda terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket
positif; derajat II yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan
lain, derajat III yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta
penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg),
sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah; serta derajat IV
yang ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur. (Hadinegoro, 2001)

  3  
 
 

Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme
patofisiologisnya berbeda dan menyebab- kan perbedaan klinis. Perbedaan utama adalah
adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran plasma yang diduga karena
proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis DD timbul
akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang berkembang di dalam peredaran darah dan
ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan
berakhir setelah lima hari tim- bul gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting cell
(APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih ban-
yak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah
memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi
yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi, dan antibodi fiksasi
komplemen. Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala
lainnya. (Soegijanto, 2002)
Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah peningkatan akut
permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus berat,
volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung penemuan post mortem meliputi
efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. (Novriani, 2002)
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat
infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-
hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM,
pada infeksi dengue primer antibodi mulai ter- bentuk, dan pada infeksi sekunder kadar
antibodi yang telah ada jadi meningkat. (Soegijanto, 2002)

  4  
 
 

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5,
meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari.
Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi
IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG
meningkat sekitar demam hari ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat
pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat
ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat. (Novriani,
2002)

C. Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling
ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue
shock syndrome (DSS), ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terinfeksi
(Supartha, 2008). Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang
termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1,
Den-2, Den3 dan Den-4.1 Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan
peningkatan ekspansi geografis ke negara-   negara baru dan dalam dekade ini, dari kota ke
lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan
subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia. (Kurane, 2007)
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah
perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan,
Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai
100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap
tahun; diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah
endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nya- muk setempat.
(Knowlton, 2009)

  5  
 
 

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan
cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di antaranya
menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di be-
berapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480
orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus
terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya
jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case
fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian
1.384 orang atau CFR 0,89%. (Depkes RI, 2010)
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk subgenus Stegomya
yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis,
Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi
penularan transexsual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta
penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue
melalui transfusi darah seperti kasus di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari penderita
asimptomatik. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan
melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk)
berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar
antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon imun. (Tri Djoko Wahono, 2004)
Provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit demam berdarah dengue (DBD) tertinggi di
Indonesia tercatat 337 per 100.000 penduduk di atas rata-rata nasional 65,57 per 100.000
penduduk. Pada tahun 2010 angka penderita tercatat sebesar 12.490 kasus, case fatality rate
(CFR) sebesar 0,28 dengan incidence rate (IR) 320,96 per 100.000 penduduk Bali. ((Dinas
Kesehatan Provinsi Bali, 2010)
Pada tahun 2015 , jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 10.759 kasus dengan
jumlah kematian 29 orang (Incidence Rate/Angka Kesakitan: 259,1 per 100.000 penduduk dan
CFR/angka kematian : 0,3%), meningkat dibandingkan tahun 2014 dengan jumlah penderita
DBD yang dilaporkan sebanyak 8.629 kasus dengan jumlah kematian 17 orang (Incidence

  6  
 
 

Rate/Angka Kesakitan: 210,2 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian : 0,2%). Berikut
ini gambaran IR dan CFR DBD tahun 2005-2015. (Dinkes Provinsi Bali, 2015)

Berdasarkan Gambar 3.21 diatas situasi IR tahun 2015 lebih tinggi dibandingkan dengan 4
tahun sebelumnya. IR tertinggi terjadi pada tahun 2010. Target nasional Angka Kesakitan (IR)
DBD tahun 2015 yaitu < 49 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kesakitan DBD di
Provinsi Bali tahun 2015 adalah 259,1 per 100.000 penduduk jauh diatas target nasional.
Meningkatnya IR tahun 2015 dipengaruhi oleh rendahnya ABJ Provinsi Bali yang < 90%,
perubahan iklim, pembukaan pemukiman baru, mobilisasi penduduk; standar diagnosis yang
belum seragam dimana masih memakai kriteria WHO tahun 2009 (belum menggunakan
pemeriksaan serologis terutama di RSUD Kabupaten/Kota); serta belum adanya pemilahan
kasus antara kasus yang didiagnosis sebagai kasus demam dengue dan demam berdarah
dengue.

  7  
 
 

Pada tahun 2014 jumlah kasus terbanyak adalah di Kota Denpasar yaitu 1.837 kasus,
Kabupaten Gianyar sebanyak 1.785 kasus, Kabupaten Badung sebanyak 1.770 kasus, dan
Kabupaten Buleleng sebanyak 1.721 kasus. Daerah-daerah tersebut memiliki jumlah penduduk
yang besar dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi sehingga merupakan salah satu
faktor resiko penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD).
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya kesakitan
karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang
rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes.
Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk,
kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur,
suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya. (Sari CIN, 2005)

  8  
 
 

PENCEGAHAN DBD

Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier (Depkes RI, 2012)

A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah tahap awal dari ketiga tahap pencegahan suatu penyakit. Pada
tahap ini dilakukan penyuluhan dan proteksi spesifik untuk mengendalikan penyakit yang
bersangkutan..
Indonesia adalah Negara yang mempunyai program tersendiri untuk mengendalikan
penyakit Demam Berdarah Dengue. Program itu bernama Gerttak PSN (Gerakan Seretak
Pembasmian Sarang Nyamuk). Mengingat keterbatasan dana dan sarana yang dimiliki oleh
Negara, maka kegiatan penyuluhan dan penggerakkan masyarakat dalam PSN Demam
Berdarah Dengue dilaksanakan melalui kerja sama lintas sektor serta lintas program, termasuk
LSM yang terkait penyuluhan, bimbingan dan motivasi kepada masyarakat. Kegiatan ini
bertujuan untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dalam mencegah penyakit demam
berdarah dengue.
Dalam rangka peningkatan penggerakkan masyarakat dalam PSN Demam Berdarah
Dengue secara intensif, pemerintah juga melakukan pembinaan dan pemantapan terhadap
Pokjanal/Pokja Demarn Berdarah Dengue melalui orientasi secara berjenjang, dengan
memperioritaskan Kecamatan endemis Demam Berdarah Dengue.
Tidak hanya PSN, pemerintah melalui Dinas Kesehatan juga mempunyai tim khusus dalam
bidang Surveilans DBD. Tim dengan lambing sepatu bolong ini akan selalu siap untuk turun ke
lapangan untuk memperoleh data yang diinginkan. Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti ini
sangat penting untuk menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor
resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat
kerentanan atau kekebalan insektisida yang dipakai untuk memprioritaskan wilayah dan musim
untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan
  9  
 
 

penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau
keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.

Selain penyuluhan dan surveilans, pemerintah juga mempunyai satu program yang diberi nama
fogging. Fogging atau pengasapan ini dilakukan untuk memberantas nyamuk dewasa.
Penyemprotan ini dilakukan dengan manggunakan zat kimia berupa pestisida. Untuk membasmi
penularan virus dengue, penyemprotan dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Pada
penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus dengue dan nyamuk-
nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang diantaranya
akan menghisap darah pada penderita viremia (pasien yang positif terinfeksi DBD) yang masih
dapat menimbulkan terjadinya penularan kembali, oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan
yang kedua agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan
pada orang lain. Tindakan penyemprotan dapat membasmi penularan akan tetapi tindakan ini harus
diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat
diminimalisir.

B. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini murupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang sakit
agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan komplikasi dan mengurangi
ketidakmampuan. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit
secara dini dan pengadaan pengobatan yang cepat dan tepat.
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas
kesehatan dan masyarakat dengan cara :
1) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan
pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat
penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter
atau unit pelayanan kesehatan.
2) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut
kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera
melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi penderita

  10  
 
 

dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih


lanjut.
3) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadianluar
biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan
cara penanggulangan seperlunya diagnosis laboratorium.

C. Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan


rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan :

1) Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena
diindikasikan untuk mendapatkan transfusi darah secepatnya.
2) Stratifikasi Daerah Rawan DBD
Menurut Kemenkes RI, adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan
stratifikasi daerah rawan seperti :
• Endemis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus
DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan
(SMP), Abatisasi selektif, dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
• Sporadis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD.
Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN
(Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M, penyuluhan tetap dilakukan.

  11  
 
 

• Potensial
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus
DBD. Tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi dengan
wilayah lain dan persentase rumah yang ditemukan jentik > 5%. Kegiatan
yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.

• Bebas
Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian
dari permukaan air laut > 1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan
jentik ≤ 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan
penyuluhan.

  12  
 
 

PENUTUP

Kesimpulan
Sarnpai saat ini obat untuk membasmi virus dan vaksin untuk mencegah penyakit Demam
Berdarah Dengue belum tersedia. Cara yang tepat guna untuk menanggulangi penyakit ini
secara tuntas adalah dengan memberantas vektor/nyamuk penularannya. Pengendalian vektor
dilaksanakan dengan memberantas sarang nyamuk untuk membasmi jentik nyamuk Aedes
Aegypti. Mengingat nyamuk Aedes Aegypti tersebar luas di seluruh tanah air baik di rumah
maupun tempat-tempat umum maka untuk memberantasnya diperlukan peran serta keseluruhan
masyarakat. Denga melibatkan seluruh komponen masyarakat, pencegahan primer tersebut
akan terlaksana dengan maksimal sehingga penyakit DBD kemungkinan besar tidak akan
mewabah kembali.

  13  
 
 

DAFTAR PUSTAKA
1. Gubler DJ. A Program for Prevention and Control of Epidemic Dengue and Dengue
Hemorrhagic Fever in Puerto Rico and U.S. Virgin Island. Bulletin of PAHO, 1991
2. Halstead, Scoot. Dengue Hemorrhagic Fever in Inflants: Research Opportunities
Ignored. USA, December 2002.
3. Siregar, Faizah. Epidemiologi & Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di
Indonesia. Universitas Sumatera Utara, 2004.
4. Candra, Aryu. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan.UNDIP, 2010.
5. Yudhastuti, Ririn & Vidiyani, Anny. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, &
Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Di Daerah
Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. UNDIP, 2005.
6. Depkes RI. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Jakarta: Depkes RI; 2005.
7. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F . Mosquito-Borne Dengue Fever
Threat Spreading in the Americas. New York: Natural Resources Defense Council Issue
Paper; 2009.
8. Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on Immunopathogenesis.
Comprarative Immunology. Microbiology & Infectious Disease. 2007.

  14  
 
 

PENDAHULUAN
 

1.1. Definisi Japanese Encephalitis


Japanese Encephalitis (JE) adalah penyakit zoonosis yang diperantarai oleh nyamuk
yang disebabkan oleh virus yang disebut dengan arbovirus (flavirus), yang melibatkan
Sistem Saraf Pusat (NCDC,2006). Virus Japanese Encephalitis (JEV) merupakan virus
yang berasal dari family flaviviridae dan genus flavivirus (Sarika Tiwari, 2012). Virus ini
merupakan virus berantai tunggal, memiliki hubungan positif terhadap polaritas RNA
sekitar 11 kb pada panjangnya. Virion dari JEV memiliki tiga protein struktural
nukleokapsid (C), non- glikosilasi protein (M), protein membran glikosilasi (M) protein
sampul glikosilasi (E). Serta tujuh protein non struktural (NS) yakni NS1, NS2A, NS2B,
NS3, NS4A, NS4B, dan NS (Sarika Tiwari, 2012).
Infeksi ditularkan melalui gigitan infektif dari nyamuk yang dimana siklus penularan
terjadi di hewan dan burung. Siklus penyakit Japanese Encephalitis ini hanya sampai di
manusia. Penularan dari manusia ke manusia tidak tercatat (NCDC,2006). Nyamuk yang
dapat menyebarkan virus Japanese Encephalitis adalah gigitan nyamuk Culex
Tritaeniorhynchus dan Culex Gelidus serta beberapa jenis nyamuk lainnya seperti Culex
vishnui, Culex Pseudovishnui, dan Culek Fuscocephala (Nur Ika, 2013). Masa inkubasi
nyamuk yang menularkan yakni 9-12 hari dan nyamuk yang telah terinfeksi virus
Japanese Encephalitis akan selamanya dapat menularkan ke hewan maupun kemanusia
(Winarno,2005 dalam Indrawati, dkk, 2005). Pada babi, viraemia teradi selama 2-4 hari
dan diikuti dengan pembentukan antibodi dalam waktu 1-4 minggu (Winarno,2005
dalam Indrawati, dkk, 2005). Ternak babi merupakan indikator infeksi penyakit
Japanese Encephalitis pada suatu wilayah (Santhia et al, 2003 dalam Andryan, 2013)
Gejala awal yang dialami oleh penderita yang dicurigai terinfeksi penyakit Japanese
Encephalitis adalah demam, nyeri kepala, kuduk kaku, kesadaran menurun, gerakan

  15  
 
 

abnormal seperti tremor dan kejang (Nur Ika, 2013). Pada hari ke 3-5 akan muncul gejala
lain seperti kekakuan otot, koma, pernapasan yang abnormal, dehidrasi, dan penurunan
berat badan serta keluhan yang mungkin akan muncul adalah reflex tendon meningkat,
paresis, suara pelan dan parau (Nur Ika, 2013). Penyakit Japanese Encephalitis memiliki
tingkat kematian kurang lebih 25% sampai 30%. Jika seseorang telah terinfeksi oleh
virus Japanese Encephalitis ini dirawat dengan perawatan yang intensive dapat
mengurang tingginya kematian sehingga pasien dapat seringkali menderita kesakitan
sangat lama. Efek yang terjadi jika seseorang sembuh dari penyakit Japanese
Encephalitis yakni adalah kesulitan belajar dan masalah dalam berperilaku, dimana 50%
dari mereka yang sembuh menderita defisit saraf (Sarika Tiwari, 2012).

1.2. Perjalanan Alamiah Penyakit Japanese Encephalitis


Penyakit Japanese Encephalitis memiliki masa inkubasi selama 6-16 hari. Setelah
mengalami gigitan nyamuk, virus akan mereplikasi ke dalam kulit dan akan dibawa ke
limpa. Kebanyakan Flavivivirus yang sudah masuk ke kulit akan memerintahkan sel
dendritiklangerhans untuk membantu replika virus. Kemudian perifer akan menguat
karena verima sementara sebelum invasi di Sistem Saraf Pusat. Selama viremia primer,
partikel viral berbenih di jaringan ektraneural. Replikasi dari mayor ekstraneural termsuk
keneksi jaringan, otot rangka, miokardium, otot halus, jaringan retikular limfa,
andendokrin dan kelenjar eksokrin. Sebelum ke darah, virus berpenetrasi ke sistem saraf
pusat. Manifestasi klinis yang terjadi tergantung dari banyaknya infeksi dari apakah virus
tidak mengalami kemajuan akses ke sel yang rentan di sistem saraf pusat. Gejala akan
muncul sekitar 6-14 hari yang dimulai dengan demam diats 38°C, panas dingin, sakit
otot, dakit kepala tipe meningitis yang disertai dengan muntah. Patologi penyakit
Japanese Encephalitis adalah perubahan yang signifikan pada sistem saraf (Sarika
Tiwari, 2012).

  16  
 
 

1.3. Epidemiologi Penyakit Japanese Encepalitis


Japanese Encephalitis adalah salah satu penyakit encephalitis yang epidemi dan
sporadic di wilayah tropis seperti Jepang, Cina, Taiwan, Korea, Philipina, semua daerah
di Asia Selatan dan India. Negara yang merupakan epidemi dari Japanese Encephalitis
adalah India, Pakistan, Nepal, Srilangka, Burmam Laos, Vietnam, Malaysia, Singapura,
Philipina, Indonesia, Cina, terkadang di Siberia, Korea, dan Jepang (Sarika Tiwari,
2012). Penyakit Encephalitis yang disebabkan oleh virus Japanese Encephalitis akan
mucul dan terulang pada musim panas dan akan mengakibatkan wabah (Tobias, 2009).
Japanese Encephalitis memiliki 2 pola epidemilogi yakni di iklik tropis dan di
bagian utara dari batas tropis seperti pada tabel dibawah ini (T.Umenai et al, 1985).

Dilihat dari tabel di atas bahwa ada yang menarik terdapat kontras yang sangat
signifikan dimana Thailand Utara merupakan daerah epidemi sedangkan di daerah
Thailand selatan jarang ditemui penyakit Japanese Encephalits. Terdapat 2 pola
karakteristik epidemiologi yang berkaitan dengan iklim dan kondisi musim. Jika dilihat
dari iklim tropis kasus kejadian penyakitnya jarang yang seluruh tahun tidak mengikuti
pola musim. Pola epidemiologi ini terjadi di India bagian Selatar, Indonesia, Malaysia,
Singapura, dan Thailand bagian Selatan. Berbeda dengan di Utara daerah tropis sering
terjadi wabah.

  17  
 
 

Tabel 2 diatas merupakan karakteristik epidemiologi dari Japanese Encephalitis di


negara Asia.
Negara Burma pertama kali mengalami wabah tahun 1974 dan kasus yang tercatat
setiap tahun sampai 1980 di Negara Shin. Pada tahun 1977 dilaporkan Japanese
Encephalitis pertama kali keluar dari negara, 5-43 kasus dilaporkan di negara tersebut
setiap tahunnya dengan case fatality rate sebesar 15-21%, setelah itu tidak ada kasus lagi
dilaporkan sejak tahun 1980. Di Negara Cina, prevalen dari penyakit Japanese
Encephalitis di seluruh provinsi seperti Xinjiang (Sinkiang), Shanghai, Xizang (Tibet).
Sangat luar biasa lebih dari 10.000 kasus terlaporkan dengan case fatality ratenya 10%.
Di dekade sebelumnya infeksi berpindah ke daerah epidemic baru di utara dengan lintang
45° N di Mongolia. Pada tahun 1974 penyakit ini menjadi epidemic di populasi manusia
yang sebelumnya tidak mempunyai antibodi Japanese Encephalitis.

  18  
 
 

Bukan hanya di Cina tetapi Japanese Encephalitis juga terjadi di India. India bagan
selatan merupakan daerah endemic dari Japanese Encephalitis, dimana negara-negara
tersebut antara lain Karnataka dan Andhra Pradesh. Sebelum tahun 1970, kasus Japanese
Encephalitis hanya dilaporkan dari daerah tersebut, namun pada tahun 1973 kasus
Japanese Encephalitis menyebabkan wabah yang besar di Bengal Barat. Setelah tahun
1973, diakhir tahun 1977 dan di tahun 1978 kejadian Japanese Encephalitis mempunyai
karakter wabah yang luas di timur laut India dengan 7463 kasus yang terlaporkan. Di
utara, Uttar Prasesg mengalami pengalaman yakni epidemi pertama di tahun 1979 dan
penyakit tersebut terus berkelanjutan dengan 1716-3894 kasus pertahun. Tahun 1982
Goa mengalami kejadian penyakit untuk pertama kalinya. Kasus Japanese Encephalitis
pertama kali dikenal di Jepang tahun 1871 dan terjadi wabah pada tahun 1924 yang
mengakibatkan kurang lebih 6.125 jiwa dan lebih dari 50% penderita meninggal dunia
sebanyak 3.977 orang (Elderidge et al,2005 dalam Mara Ipa, 2007). Japanese
Encephalitis juga pernah meninfeksi masyarakat di Jepang sejak tahun 1967 dimana
kasus penyakit rata-rata lebih dari 100 kasus per tahun. Kasus Japanese Encephalitis
yang terjadi di Jepang bermula dari kelompok yang berusia lebih tua sehingga case
fatality rate nya lebih besar pada orang tua.
Negara Asia yang juga tidak terlepas dari infeksi Japanese Encephalitis adalah Kore
yang dimana sebelum tahun 1969 tejadi 1000 kasus pertahun dengan case fatality rate
lebih dari 40%. Selama tahun 1970 terjadi penurunan jumlah yakni rata-rata 86 kasus
per tahun. Terjadi juga wabah di Nepal yang pertama diakui pada tahun 1978 di negara
yang mengaanggap kesehatan adalah hal terpenting. Sejak itu dari 55 sampai 843 kasus
telah terlaporkan setiap tahunnya yang terjadi di semua umur. Sri lanka merupakan
negara yang juga pernah mengisolasi virus Japanese Encephalitis tahun 1968 dan sejak
saat itu dilaporkan setiap tahunnya dari babi dan area sawah yang luas. Encephalitis akut
terhitung lebih dari 1000 catatan ruma sakit setiap tahun, tetapi hanya 30 kasus di 10
tahun terakhir yang terkonfirmasi dari hasil serologik. Thailand juga pernah mengalami
wabah Japanese Encephalitis di tahun 1969 yang dimana sejak saat itu mulai terus
terlaporkan. Wabah yang terlaporkan sering terjadi di bagian utara dan timur laut dari
daerah Thailand yang sangat tinggi tingkat kesakitannya.

  19  
 
 

Isolat virus Japanese Encephalitis ditemukan pada saat wabah pertama Japanese
Encephalitis di Australia bagian Utara, yaitu di Torres Strait yang dimana berdasarkan
genomnya sama dengan isolat virus yang diisolasi dari Malaysia, Thailand, dan
Indonesia yaitu termasuk dalam kelompok genotipe 3 (Mackenze, 1998 dalam Indrawati
Sendow, 2005). Di Indonesia kasus Japanese Encephalitis ditemukan menginfeksi
manusia pada tahun 1960 namun kasus ini tidak dilaporkan lebih lanjut. Pada tahun 1972
Kho et al mengumumkan secara resmi penemuan kasus Japanese Encephalitis
menginfeksi manusia. Berdasarkan hasil klinis rumah sakit menyatakan bahwa pada
tahun 1979 sampai 1986 melaporkan 7.933 kasus Encephalitis yang dimana 2.882 kasus
(36,3%) dilaporkan meninggal dunia ( Triwibowo et al, 2014).
Di Bali telah banyak dilakukan penelitin virus Japanese Encephalitis pada peternak
babi. Peternakan babi di Bali yang pernah dilaporkan positif Japanese Encephalitis
antara lain Badung dengan 80%, Bangli 64%, Mengwi-Badung 49%, dan Denpasar 90%
(Andryan, 2013)

  20  
 
 

PENCEGAHAN
 

2.1. Pencegahan Primordial


Pencegahan premordial yang dapat dilakukan adalah melakukan surveilans. Surveilans
peyakit Japanese Encephalitis ini terdiri dari : surveilans gejala yang terjadi di Pelayanan
Kesehatan Primer sehingga mampu mendeteksi secara dini dan menyediakan layanan yang
sesuai jika terdapat pasien Japanese Encephalitis, surveilans vektor yakni memonitoring
perilaku vektor, zero surveilans untuk menggambarkan kelompok populasi yang memiliki
risiko tinggi dan memonitoring antibodi penyakit Japanese Encephalitis di hewan atau
unggas yang terindikasi memiliki peningkatan aktivitas karena kuman (NCDC,2006).
2.2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yang dapat dilakukan untuk pengendalian penyakit Japanese
Encephalitis adalah sebagai berikut:
a. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Dengan adanya promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat terutama
masyarakat pedesanan sehingga mampu membantu menyadarkan mereka agar segera
melaporkan kejadian kesakitan akibat penyakit Japanese Encephalitis dan dengan
diadakannnya promosi kesehatan dapat membantu meyakinkan masyarakat untuk
melindungi dirinya sendiri (NCDC,2006).
b. Menghentikan Siklus Transmisi
Pencegahan yang mungkin dilakukan untuk memutus rantai penularan penyakit
Japanese Encephalitis adalah dengan mengontrol vektornya. Agar pengendalian vektor
efektif sisa seprotan pestisida harus disemprotkan semua kandang hewan dengan
insektisida yang tepat sebelum musim penularan (NCDC,2006). Penanggulangan vektor
juga bisa dengan cara memanipulasi sawah yakni dengan model sawah basah dan sawah
kering secara bergantian dan sebaiknya tidak berternak babi di sekitar sawah.
Penggunaan alat pelindung diri seperti lotion anti nyamuk atau kelambu juga bisa
dilakukan untuk mencegah penularan (Nur Ika, 2013).
c. Imunisasi
Japanese Encephalitis merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Vaksin Japanese Encephalitis berisi virus yang telah dimatikan. Vaksin ini memerlukan
satu kali vaksinasi primer dan memerlukan dua kali booster (Nur Ika, 2013).

  21  
 
 

2.3. Pencegahan Sekunder


Deteksi dini dan pelolaan yang baik untuk penyakit Japanese Encephalitis dapat
ngurangi kasus kematian akibat Japanese Encephalitis. Salah satu caranya adalah
menguatkan manajemen diagnostik dan klinis dari kasus Japanese Encephalitis di Puskesmas
dan Rumah Sakit (NCDC,2006)

2.4. Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier yang dapat dilakukan adalah memberikan dukungan moral kepada
orang-orang yang mengalami sembuh dengan kecacatan serta tidak mengucilkan orang
tersebut sehingga orang yang sembuh dengan kecatatan mampu bersosialisasi di masyarakat
sama seperti sebelum mengalami sakit.

  22  
 
 

PENUTUP
 

Japanese Encephalitis merupakan penyakit zoonosis yang sangat berbahaya bagi


masyarakat. Penyakit Japanese Encephalitis ini dapat mengakibatkan seseoarang yang
sembuh mengalami kecatatan. Buruknya dampak yang diakibatkan oleh penyakit Japanese
Encephalitis maka perlu dilakukan pencegahan dan penanggulangan. Pencegahan dan
penanggulangan yang paling efektif adalah dengan imunisasi karena dengan imunisasi
mampu meningkatkan kekebalan tubuh sehingga tubuh dapat bertahan dari virus Japanese
Encephalitis. Pencegahan terhadap cara penularan yang paling efektif adalah dengan
memasang kelambu atau mengoleskan lotion anti nyamuk sehingga terhindar dari gigitan
nyamuk.

  23  
 
 

DAFTAR PUSTAKA
 

Erlanger, T. E. (2009). Past, Present, and Future of Japanese Encephalitis-Volume 15, Number
1—January 2009-Emerging Infectious Disease journal-CDC.
Garjito, T. A., Handayani, F., & Joharina, A. S. (2014). Virus Japanese Encephalitis dan
Masalahnya di Indonesia.
Hariastuti, N. I. (2013). Japanese Encephalitis.
Ipa, M. (2007). Mengenal Jati Diri Vektor Japanese Encephalitis. Inside.
Kumara, W. B., Adi, A. M., & Mahardika, G. N. (2013). Deteksi antibodi terhadap virus Japanese
Encephalitis pada ternak babi di Wilayah Jembrana dan Klungkung. Indonesia Medicus
Veterinus, 2, 76-84.
NCDC. (2006). Guidelines for Prevention and Control of Japanese Encephalitis. Bulletin of the
Worls Health Organization.
Sendow, I. N. D. R. A. W. A. T. I., & Bahri, S. (2005). Perkembangan Japanese Encephalitis di
Indonesia. JITV, 19(3).
Tiwari, S., Singh, R. K., Tiwari, R., & Dhole, T. N. (2012). Japanese Encephalitis: a review of the
Indian perspective. The Brazilian Journal of Infectious Diseases, 16(6), 564-573.
Umenai, T., Krzysko, R., Bektimirov, T. A., & Assaad, F. A. (1985). Japanese Encephalitis:
current worldwide status. Bulletin of the World Health Organization, 63(4), 625.

  24  
 
PENDAHULUAN
1. Malaria

1.1. Pengertian Malaria


Penyakit Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit plasmodium
antara lain plasmodium malariae, plasmodium vivax, plasmodium falciparum, plasmodium
ovale yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop yang ditularkan oleh nyamuk malaria
(anopheles). penyakit malaria dapat menyerang semua orang baik laki-laki maupun
perempuan, pada semua golongan umur (dari bayi, anak-anak, sampai dewasa), apapun
pekerjaannya, penyakit malaria biasanya menyerang yang tinggal di daerah yang mempunyai
banyak genangan air yang sesuai untuk tempat perkembangbiakan nyamuk malaria seperti
persawahan, pantai, perbukitan dan pinggiran hutan (Depkes RI, 2004). Malaria adalah
penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (plasmodium) bentuk aseksual yang masuk
kedalam tubuh manusia yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit ini
mengancam keluarga miskin dan dapat menjadi salah satu penyebab penurunan kehadiaran di
sekolah dan tempat kerja (WHO, 2010).
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus
plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Istilah malaria diambil
dari dua kata bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau udara buruk karena dahulu
banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga
mempunyai nama lain, seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai,
demam charges, demam kura dan paludisme (Prabowo, 2008).

25  
 
 

1.2 Perjalanan Alamiah Penyakit


Secara umum penyebaran penyakit malaria sangat dipengaruhi oleh tiga faktor
yang saling mendukung yaitu host, agent dan environment.

1.2.1 Faktor Host


Host pada penyakit malaria terbagi atas dua yaitu Host Intermediate (manusia) dan
Host Definitif (nyamuk). Manusia disebut sebagai Host Intermediate (penjamu sementara)
karena di dalam tubuhnya terjadi siklus aseksual parasit malaria. Sedangkan nyamuk
Anopheles spp disebut sebagai Host Definitif (penjamu tetap) karena di dalam tubuh
nyamuk terjadi siklus seksual parasit malaria.

a. Host Intermediate
Pada dasarnya setiap orang dapat terinfeksi oleh agent biologis (Plasmodium),
tetapi ada beberapa faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan host
terhadap agent yaitu usia, jenis kelamin, ras, riwayat malaria sebelumnya, gaya hidup,
sosial ekonomi, status gizi dan tingkat imunisasi.

b. Host Definitif
Host definitif yang paling berperan dalam penularan penyakit malaria dari orang
yang sakit malaria kepada orang yang sehat adalah nyamuk Anopheles spp betina.
Hanya nyamuk Anopheles spp betina yang menghisap darah untuk pertumbuhan
telurnya. Host definitif ini sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: perilaku nyamuk
(Perilaku nyamuk, pada prinsipnya perilaku nyamuk dapat dibagi menjadi empat
kategori, yaitu perilaku hidup, perilaku berkembangbiak, perilaku mencari darah dan
perilaku beristirahat), dan faktor-faktor lain yang mendukung (Semakin panjang umur
nyamuk semakin besar kemungkinan untuk menjadi vektor penular, Kerentanan
nyamuk terhadap infeksi gametosit, Siklus gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan
untuk mematangkan sel telur sebagai indikator untuk mengukur interfal menggigit
nyamuk pada objek yang digigit (manusia).

  26  
 
 

1.2.2 Faktor Agent


Parasit malaria yang terdapat pada manusia ada empat spesies yaitu: Plasmodium
falciparum penyebab malaria tropika yang menyebabkan malaria berat, Plasmodium
vivax penyebab malaria tertiana, Plasmodium malariae penyebab malaria quartana,
Plasmodium ovale spesies ini banyak dijumpai di Afrika dan Pasifik Barat (Depkes,
1999).

1.2.3 Faktor Environment (Lingkungan)


Faktor lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dimana manusia dan nyamuk
berada yang memungkinkan terjadinya penularan malaria setempat (indigenous),
lingkungan tersebut terbagi atas lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan biologik
dan lingkungan sosial budaya.
ü Lingkungan fisik: meliputi suhu, kelembaban, hujan, ketinggian, angin, sinar
matahari dan arus air.
ü Lingkungan kimia: meliputi kadar garam yang cocok untuk berkembangbiaknya
nyamuk Anopheles Sundaicus.

1.3 Epidemiologi
Secara global, penyebaran penyakit malaria sangat luas yaitu di wilayah garis bujur
60° di utara dan 40° di selatan, meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis dan
subtropis. Penduduk yang berisiko terkena malaria berjumlah sckitar 2,3 miliar atau 41%
dari penduduk dunia. Setiap tahun jumlah kasus malaria berjumlah 300-500 juta dan
mengakibatkan 1,5 s/d 2,7 juta kematian, terutama di Afrika sub Sahara. Asia Selatan dan
Asia Tenggara serta Amerika Tengah. Wilayah yang kini sudah bebas malaria adalah
Eropa, Amerika Utara, sebagian besar Timur Tengah, sebagian besar Karibia, sebagian
Amerika Selatan. Australia dan Cina.

  27  
 
 

Pada tahun 2006 di Indonesia terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan
tahun 2007 menjadi 1,75 juta kasus. Jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan
mikroskop positif terdapat kuman malaria) tahun 2006 sekitar 350 ribu kasus, dan pada
tahun 2007 sekitar 311 ribu kasus. Di Jawa dan Bali insiden malaria pada tahun 2000
adalah 81 per 100.000 penduduk, daerah selain Bali dan Jawa insiden malaria klinis pada
tahun 2000 jauh lebih banyak yaitu 31 per 1.000 penduduk dan angka kematian spesifik
akibat malaria sebesar 11 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk
perempuan.

Berdasarkan The World Malaria Report 2012, tercatat 219 juta kasus malaria dengan
660.000 kematian di dunia yang terjadi pada tahun 2010 dan Indonesia merupakan salah
satu dari 104 negara yang termasuk negara endemis malaria. Di Indonesia menurut WHO
pada tahun 2006, lebih dari 90 juta penduduk tinggal di daerah endemis dengan kasus
sekitar 30 juta setiap tahun. Pada tahun 2010 diperkirakan 60% penduduk tinggal di
daerah endemis malaria yang tingkat endemisitasnya beragam.

  28  
 
 

PENCEGAHAN
2.1 Pencegahan Primer

2.1.1 Promosi Kesehatan


Promosi Kesehatan adalah suatu alat untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada
masyarakat, kelompok dan individu. Dengan harapan adanya pesan tersebut
masyarakat, kelompok dan individu dapat memperoleh informasi tentang kesehatan
yang lebih baik. Dengan kata lain, adanya promosi kesehatan ini dapat merubah
perilaku atau gaya hidup masyarakat, kelompok, dan individu menjadi lebih baik.
Dengan memberikan brosur, pamflet, dan poster kepada masyarakat, kelompok dan
individu oleh tenaga kesehatan ataupun yang ahli dibidang promosi kesehatan,
harapannya supaya masyarakat mengerti tentang adanya gejala, tanda malaria, cara
penularan, pengobatan penyakit malariadan tentunya memberikan informasi tentang
cara menghilangkan perindukan nyamuk malaria. Memberikan informasi kepada
setiap pelancong atau petugas yang akan bekerja di daerah endemis.

2.1.2 Proteksi Spesifik


Seseorang seharusnya menghindari dari gigitan nyamuk dengan menggunakan
pakaian lengkap, tidur juga harus memakai kelambu, memakai obat nyamuk (seperti
autan) dan menghindari untuk mengunjungi lokasi yang rawan terdapat penyakit
malaria.

  29  
 
 

2.2 Pencegahan Sekuder

2.2.1 Deteksi Dini


Deteksi Malaria sering melakukan tindakan yang tepat dari penderita yang
mengalami penyakit malaria tentang keluhan utama (demam, menggigil, berkeringat
dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, dan nyeri obat atau pegal-pegal),
riwayat berkunjung dan bertempat tinggal di daerah endemis malaria sekitar 1-4
minggu yang lalu, riwayat sakit malaria, riwayat minum obat malaria 1 bulan terakhir,
dan riwayat mendapatkan transfusi darah.

2.2.2 Pengobatan Tepat


Pengobatan untuk mereka yang terinfeksi malaria adalah dengan menggunakan
chloroquine terhadap P. Falciparum, P. Vivax, P. Malariae dan P. Ovale yang masih
sensitif terhadap obat tersebut. Untuk pengobatan darurat bagi orang dewasa yang
terinfeksi malaria dengan komplikasi berat atau untuk orang yang tidak
memungkinkan diberikan obat peroral dapat diberikan obat Quinine dihydrochloride.
Untuk infeksi malaria P.Falciparum yang didapat di daerah dimana ditemukan strain
yang resisten terhadap chloroquine, pengobatan dilakukan dengan quinine. Untuk
mencegah adanya infeksi ulang karena digigit nyamuk yang mengandung malaria
P.Vivax dan P.Ovale berikan pengobata dengan primaquine. Primaquine tidak
dianjurkan pemberiannya bagi orang yang terkena infeksi malaria bukan olh gigitan
nyamuk (sebagai contoh karena transfusi darah) oleh karena dengan cara penularan
infeksi malaria sepertiini tidak ada fase hati.

  30  
 
 

2.3 Pencegahan Tersier

2.3.1 Pencegahan Ketidakmampuan


Berbeda dengan penyakit-penyakit yang lain, malaria tidak dapat disembuhkan
meskipun dapat diobati untuk menghilangkan gejala-gejala penyakit. Malaria menjadi
penyakit yang sangat berbahaya karena parasit dapat tinggal dalam tubuh manusia
seumur hidup.

2.3.2 Rehabilitasi
Pemulihan kondisi malaria, memberikan dukungan secara langsung kepada
penderita dan keluarga di dalam pemulihan dari penyakit malaria, dan melakukan
rujukan pada penderita yang memerlukan pelayanan rujukan ke rumah sakit.

  31  
 
 

PENUTUP
Kesimpulan

Penyakit Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit plasmodium
antara lain plasmodium malariae, plasmodium vivax, plasmodium falciparum, plasmodium
ovale yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop yang ditularkan oleh nyamuk malaria
(anopheles). Penyakit malaria dapat menyerang semua orang baik laki-laki maupun
perempuan, pada semua golongan umur (dari bayi, anak-anak, sampai dewasa), apapun
pekerjaannya, penyakit malaria biasanya menyerang yang tinggal di daerah yang mempunyai
banyak genangan air yang sesuai untuk tempat perkembangbiakan nyamuk malaria seperti
persawahan, pantai, perbukitan dan pinggiran hutan (Depkes RI, 2004). Secara umum
penyebaran penyakit malaria sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling mendukung yaitu
host, agent dan environment.

Secara global, penyebaran penyakit malaria sangat luas yaitu di wilayah garis bujur 60°
di utara dan 40° di selatan, meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis dan subtropis.
Penduduk yang berisiko terkena malaria berjumlah sckitar 2,3 miliar atau 41% dari penduduk
dunia. Pada tahun 2006 di Indonesia jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan
mikroskop positif terdapat kuman malaria) tahun 2006 sekitar 350 ribu kasus, dan pada tahun
2007 sekitar 311 ribu kasus. Di Jawa dan Bali insiden malaria pada tahun 2000 adalah 81 per
100.000 penduduk, daerah selain Bali dan Jawa insiden malaria klinis pada tahun 2000 jauh
lebih banyak yaitu 31 per 1.000 penduduk dan angka kematian spesifik akibat malaria
sebesar 11 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan.
Pencegahan yang paling efektif dengan penjelasan diatas adalah dengan melakukan
promosi kesehatan secara langsung kepada masyarakat, individu maupun kelompok karena
dengan memberikan informasi, masyarakat lebih mudah mengerti dengan apa yang akan
tenaga kesehatan atau ahli dibidang promosi kesehatan sampaikan nantinya tentang adanya
gejala, tanda malaria, cara penularan, pengobatan penyakit malariadan tentunya memberikan
informasi tentang cara menghilangkan perindukan nyamuk malaria dan juga memberikan
informasi kepada setiap pelancong atau petugas yang akan bekerja di daerah endemis.

  32  
 
 

DAFTAR PUSTAKA
 

Depkes RI. 2008. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria.


http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Pedoman_Penatalaksana_Kasus_Malaria_di_In
donesia.pdf. Diakses pada tanggal 22 Maret 2017

Malaria. 2012. Management of severe malaria: a practical handbook, third edition. Geneva,
World Health Organization. http://www.who.int/ith/ITH_chapter_7.pdf. Diakses pada tanggal 22
Maret 2017

Congenital malaria. 2007. The least known consequence of malaria in pregnancy.


http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1744165X07000194. Diakses pada tanggal 23
Maret 2017

  33  
 

Anda mungkin juga menyukai