Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

DEMAM BERDARAH DENGUE GRADE II

DISUSUN OLEH :

dr. Sukandrana Arya Penida

Pembimbing

dr. Kadek Sulyastuty

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD PATUT PATUH PATJU
TAHUN 2021/2022
BAB I PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD)/ dengue hemorrhagic fever adalah penyakit


infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue masuk ke dalam tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus dengan
manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot (myalgia) dan/ atau nyeri sendi (arthralgia)
yang disertai leukopenia, ruam (maculopapular skin rush), limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik.1,2
Demam berdarah dengue secara internasional dianggap sebagai penyakit yang
disebabkan virus dan di transmisikan oleh nyamuk yang paling signifikan. DHF
endemik lebih dari 100 negara di seluruh dunia, terutama daerah tropis dan sub-tropis.
WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya.3 Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 50 sampai 100 juta infeksi demam
berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus ini 500.000 kasus DHF mengakibatkan
22.000 kematian yang kebanyakan terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data resmi
yang disampaikan ke WHO, kasus DB di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik
Barat melampaui 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013. 3
DHFmerupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Asia tropik termasuk
Indonesia.4
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air.Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DHF tahun 2010 di Asean,
dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang. Pada tahun 2015, tercatat
terdapat 126.675 penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang
diantaranya meninggal dunia. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perubahan iklim dan
rendahnya kesadaran masyararakat untuk menjaga kebersihan lingkungan. 4 Faktor
kepadatan penduduk juga berperan memicu tingginya kasus DHF, karena tempat hidup
nyamuk hampir seluruhnya adalah buatan manusia seperti dari kaleng bekas, ban
bekas hingga bak mandi. Dengan tingginya jumlah kasus DHF yang terjadi,
pemahaman mengenai DHF dan penatalaksanaan yang tepat diperlukan guna
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas di masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis berupa demam yang terjadi secara mendadak 2-7
hari. Dapat disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa adanya syok, dengan hasil
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya trombositopenia (trombosit kurang dari
100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal. 1,4,5 Infeksi virus dengue
dapat disertai dengan terjadinya kebocoran plasma. Perubahan patofisiologi pada infeksi virus
dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit antara DHF dengan dengue fever (DF).
Perubahan patofisiologis tersebut dapat berupa kelainan hemostasis dan perembesan plasma.
Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan terjadinya trombositopenia dan peningkatan
hematokrit.1 Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypty dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot (myalgia)
dan/ atau nyeri sendi (arthralgia) yang disertai leukopenia, ruam (maculopapular skin rush),
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. 1,3,5

2.2 Epidemiologi
DHF secara internasional dianggap sebagai penyakit yang disebabkan virus dan di
transmisikan oleh nyamuk yang paling signifikan.DHF endemik lebih dari 100 negara di
seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan sub-tropis. Di Amerika Serikat, DHF yang
disebabkan oleh spesies Aedes aegypti dapat ditemukan secara musiman di Louisiana, Florida
bagian selatan, New Mexico, Arizona, Texas, Georgia, Alabama, Mississippi, North dan South
Carolina, Kentucky, Oklahoma, dan Tennessee. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian DF telah
meningkat 30 kali lipat.3
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 50 sampai 100 juta infeksi
demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus ini 500.000 kasus DHF mengakibatkan
22.000 kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data resmi yang
disampaikan ke WHO, kasus demam berdarah di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik
Barat melampaui 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013. Pada tahun
2013, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan terjadi di Amerika saja, dimana 37, 687
kasus merupakan DHF berat. Setelah epidemi DHF yang pertama diketahui pada tahun 1953
sampai 1954 di Filipina, penyakit ini terus menyebar ke seluruh penjuru dunia. 3
Indonesia pada tahun 2010 menempati urutan tertinggi kasus DHF di Asia Tenggara,
dengan jumlah kasus sebanyak 156.086 dan jumlah kematian sebanyak 1.358 orang. Data
menunjukkan Indonesia endemis DHF sejak tahun 1968 sampai dengan saat ini. Indonesia
terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun 1968 sampai tahun 2015, tercatat terdapat 126.675
penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. 6
2.3 Etiologi dan Transmisi

3
a. Virus
DHF disebabkan oleh virus dengue.Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Virus ini mengandung single-strand RNA sebagai genom.8 Genom virus
dengue mengandung sekitar 11000 basis nukleotida, yang merupakan kode untuk satu
polyprotein tunggal yang dipecah secara pos menjadi 3 molekul protein struktural (C, prM, dan
E) yang membentuk partikel virus dan 7 protein nonstruktural ( NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a,
NS4b, dan NS5) yang hanya ditemukan pada sel inang yang terinfeksi dan diperlukan untuk
replikasi virus.9Di antara protein nonstruktural, glikoprotein envelope yaitu NS1, bersifat
diagnostik dan patologis.Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm, yang terdiri dari
asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x10 6.Terdapat 4 serotipe virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.Genotipeataugaris keturunanyang berbeda (virus yang
sangatterkait dalamurutan nukleotida) telah diidentifikasi dalam setiapserotipe,
menyorotikeragaman genetikyang luasdariserotipedengue.Di antara mereka,genotipe"Asia"
DEN-2 danDEN-3 sering dikaitkan denganinfeksi berat penyakit yang disertai dengan
denguesekunder. Infeksi dengan serotipe manapun akanmemberi kekebalan seumur hidup
terhadap serotipe virus tersebut. 8Di Indonesia keempat serotipe ini ditemukan, dengan DEN-3
merupakan serotipe terbanyak. Penelitian terbaru menemukan adanya serotipe DEN-5 yang
pertama kali diumumkan pada tahun 2013.9

b. Vektor
Virus dengue ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus yang terinfeksi ke tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-10 hari.Infeksi bisa
didapat melalui satu gigitan saja. Nyamuk Aedes aegypty biasanya mengigit pada siang hari.
Nyamuk ini merupakan spesies tropis dan subtropis yang terdistribusi secara luas di seluruh
dunia yang hidup diantara antara garis lintang 35° LU dan 35 ° LS di bawah ketinggian 1000 m
(3.300 kaki). Tahapan nyamuk yang belum matang sering ditemukan di habitat air, terutama
pada penampungan dengan air yang tenang dan menggenang seperti ember, bak mandi, ban
bekas, dan yang lainnya. 1,4,10
Wabah DHF juga dikaitkan dengan Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies kompleks Aedes scutellaris. Masing-masing spesies ini
memiliki ekologi, perilaku dan distribusi geografis yang tertentu. Dalam beberapa dekade
terakhir, nyamuk Aedes albopictus ini telah menyebar dari Asia ke Afrika, Amerika dan Eropa,
yang dibantu oleh perdagangan internasional ban bekas, dimana telur nyamuk disimpan ketika
bannya menggenangkan air hujan. Telur tersebut dapat pula bertahan hidup selama berbulan-
bulan tanpa adanya air.8

c. Host
Setelah masa inkubasi yang terjadi sekitar 4-10 hari, infeksi oleh salah satu dari
empat serotipe virus dapat menghasilkan spektrum yang luas dari penyakit ini, walaupun

4
sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala atau subklinis. Infeksi primer diduga
menginduksi munculnya kekebalan protektif seumur hidup dengan serotipe yang terinfeksi. 8
Individu yang menderita infeksi dilindungi dari penyakit klinis dengan serotipe yang berbeda
dalam 2-3 bulan dari infeksi primer, tetapi tanpa kekebalan lintas pelindung jangka panjang.
Anak-anak muda khususnya mungkin kurang mampu jika dibandingkan dengan orang dewasa
untuk mengimbangi kebocoran kapiler dan akibatnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami dengue shock.
Dalam proses transmisi, nyamuk menggigit penderita yang terinfeksi virus dengue,
dimana virus dengue banyak terdapat di dalam darah penderita terutama pada hari ke 5.
Beberapa penderita tidak menunjukkan gejala yang signifikan namun dapat mentransmisikan
virus ke dalam nyamuk yang menggigitnya. Setelah virus masuk ke dalam nyamuk, virus
tersebut akan memerlukan tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum dapat ditularkan ke manusia
lain. Nyamuk tersebut tetap terinfeksi selama sisa hidupnya, yang mungkin dari beberapa hari
hingga beberapaminggu.8
Data terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel endotel bisa memediasi terjadinya
kebocoran plasma. Kebocoran plasma diduga berhubungan dengan efek fungsional daripada
merusak sel-sel endotel. Trombositopenia mungkin berhubungan dengan terjadinya perubahan
dalam megakaryocytopoieses oleh infeksi sel hematopoietik manusia dan gangguan
pertumbuhan sel progenitor, disfungsi platelet (aktivasi platelet dan agregasi)serta terjadi
peningkatan penghancuran atau konsumsi. Perdarahan mengakibatkan trombositopenia dan
disfungsi trombosit yang terkait atau disseminated intravascular coagulation. Kesimpulannya,
ketidakseimbangan sementara antara mediator inflamasi, sitokin dan kemokin terjadi selama
perjalanan dengue yang parah, didorong oleh beban virus pada fase awal yang tinggi sehingga
menyebabkan terjadinya disfungsi sel endotel vaskular dan kekacauan sistem hemokoagulasi
yang menyebabkan kebocoran plasma dan syok.

2.4. Patofisiologi dan Patogenesis


DHF merupakan mosquito-borne viral disease yang disebabkan oleh virus dengue
dengan tipe antigen yang berbeda, yaitu tipe 1-4. 1,4 Walaupun DF dan DHF disebabkan oleh
virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan
perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DHF yang
bisa mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang
diduga karena proses imunologi.11 Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis
demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang
di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2
hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Respon imun
yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon imun humoral berupa

5
pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus dan proses sitolisis. Peran
limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T-sitotoksis (CD8) juga berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus namun
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya
sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit
lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag
yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, dan
antibodi fiksasi komplemen.1,8
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya
gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifestasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. 5 Imunopatogenesis DHF merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis DHF dan
DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory).1
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyaipotensiuntuk menimbulkan wabah.
Renjatan yang dapat menyebabkan
kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen. 11
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection
yang menyatakan DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi
tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh
merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit
yang berat.1
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan
dengan reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Sebagai respon terhadap
infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.1,11

6
Patogenesis terjadinya kebocoran plasma pada DHF dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada gambar 1 digambarkan bahwa terjadi konsentrasi kompleks imun yang tinggi akibat
reinfeksi yang mengakibatkan reaksi amnestik antibodi. Infeksi virus dengue menyebabkan
aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi sehingga virus berkembang
di makrofag. Infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-
sitotoksis sehingga diproduksilah limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan
mengaktivasi monosit sehingga disekresikanlah berbagai mediator inflamasi, seperti TNF-α,
IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan histamin yang megakibatkan terjadinya
disfungsi sel endotel dan terjadilah kebocoran plasma.

Gambar 2.Imunopatogenesis DHF1


Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagai akibat infeksi
sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi
anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler
ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang
sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang
erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti
Gambar 3. Patogenesis Terjadinya Syok Pada DHF.11
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut

7
akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia (degranulasi trombosit).
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product )
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. 1,11
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi
lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DHF diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.1

2.5 Manifestasi Klinis


Infeksi dengan hanya salah satu dari empat serotipe dengue dapat menghasilkan
spektrum penuh dan beratnya penyakit. Spektrum penyakit dapat berkisar dari, sindrom
demam non-spesifik ringan, demam berdarah klasik (DF), dengan bentuk parah dari
penyakit, DHF dan demam berdarah shock syndrome (DSS). Bentuk parah biasanya
terwujud setelah hari 2-7 fase demam dan sering ditandai dengan tanda-tanda peringatan
klinis dan laboratorium. Walaupun tidak ada agen terapeutik untuk infeksi dengue, kunci
keberhasilan penanganan adalah penggunaan waktu yang tepat dan kebijaksanaan
perawatan suportif, termasuk pemberian cairan isotonik intravena atau koloid, serta
pemantauan ketat tanda-tanda vital dan status hemodinamik, keseimbangan cairan, dan
parameter hematologi.8

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari


interaksi antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi
virus dengue dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun
bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa penyebab yang jelas, dengue fever
(DF) dan bermanifestasi berat dengan dengue hemorrhagic fever(DHF) tanpa
syok atau dengue shock syndrome (DSS).8Manifestasi klinis bergantung pada
strain virus, faktor host misalnya umur, dan status imun. Berikut ini adalah bagan
manifestasi klinis dari infeksi virus dengue.8

8
Gambar 5. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue8
Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti
oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,
akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan yang adekuat. Gejala lain seperti mual muntah, diare, ruam kulit,
nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh atau
terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot terutama pada tendon.1,2,10
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis
dan fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi pada hari 1 – 3
hari mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh,
mialgia, artralgia dan sakit kepala.Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok,
injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat
pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.Fase kritis, terjadi
pada hari 3 – 6 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan
permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama
24 – 48 jam.Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit.Pada fase ini dapat terjadi syok. Fase pemulihan, bila fase
kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler
secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu
makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik. 10

2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun
2011 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis berdasarkan WHO 2011: 8

9
1. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit,
nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
- Uji tourniket positif (yang palinng umum)
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan/atau melena
3. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk ditandai
dengan nadi lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah.
Kriteria Laboratoris:
- Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma atau tanda
hemokonsentrasi sebagai berikut: o Peningkatan hematokrit > 20%
dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. o
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoalbuminemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan
hematokrit, cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Adanya
pembesaran hati selain dua kriteria klinis pertama adalah dugaan terjadinya demam
berdarah dengue sebelum onset kebocoran plasma. Efusi pleura (X-ray dada atau
ultrasonografi) adalah bukti objektif terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya
hipoalbumin dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia, perdarahan berat,
kondisi ketika tidak adanya hematocrit dasar, dan peningkatan hematocrit kurang dari
20% akibat pemberian terapi intravena secara dini. Pada kasus syok, peningkatan
hematokrit dan adanya trombositopenia, mendukung diagnosa demam berdarah dengue.
ESR yang rendah (kurang dari 10 mm/satu jam pertama) selama syok membedakan DSS
dari syok septik.1,8,9,

Berdasarkan tingkat keparahan, WHO (2004) membagi demam berdarah dengue


menjadi 4 derajat, yaitu: 8,11

1. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Derajat 1, disertai perdarahan terjadinya spontan di kulit dan
perdarahan lainnya.

10
3. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di daerah sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, dan tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menunjang diagnosis DHF
adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Pemeriksaan yang
umumya dan signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap. Diagnosis DHF
secara definitif dapat dilakukan dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis. 11
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
DBD adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang signifikan
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis DBD secara
definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis. 8
Pemeriksaan Darah Lengkap:
Pemeriksaan darah yang dilakukaan secara rutin adalah kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit. Meningkatnya hematokrit yang pada pasien DHF
merupakan penanda terjadinya perembesan plasma. Selain itu dapat juga
ditemukantrombositopenia dan leukopenia.8Pada pemeriksaan darah lengkap parameter
yang diamati adalah terdapat trombositopenia (<100.000) di hari ke 3-8, kebocoran
plasma ditandai dengan peningkatan hematokrit ≥20% dari hematokrit awal yang
biasanya terjadi mulai dari hari ke-3 demam, leukosit dapat normal atau menurun dan
mulai demam hari ke 3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% total leukosit).
Pemeriksaan Faal Pembekuan Darah
Pemeriksaan faal pembekuan darah dapat digunakan sebagai acuan untuk
memandu terapi pada pasien dengan adanya manifestasi perdarahan yang parah. Pada
pemeriksaan faal pembekuan darah biasanya ditemukan protrombin time memanjang,
activated partial thromboplastin time memanjang, dan fibrinogen rendah dan tingkat
degradasi produk fibrin yang tinggi merupakan tanda DIC.

Deteksi Antigen
Perkembangan baru dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke amplop /
membran (E / M) antigen dan protein non-struktural 1 (NS1) yang menunjukkan bahwa
konsentrasi tinggi antigen tersebut dalam bentuk kompleks imun dapat dideteksi pada
pasien dengan infeksi dengue primer dan sekunder sampai sembilan hari setelah onset
penyakit. NS1 glikoprotein dihasilkan oleh semua flaviviruses dan dikeluarkan dari sel

11
mamalia. NS1 menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Banyak penelitian telah
diarahkan menggunakan deteksi NS1 untuk membuat diagnosis awal infeksi virus
dengue. Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke
delapan dengan sensitivitas 63%-93,4% dan spesifisitas 100%. 8

b. Tes Serologi IgG/IgM


Respon antibodi terhadap infeksi terdiri dari munculnya berbagai jenis
immunoglobulin.Isotipe imunoglobulin IgM dan IgG memiliki nilai diagnostik pada
demam berdarah.Antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari ke-3-5 setelah onset penyakit,
meningkat dengan cepat sekitar dua minggu dan menurun sampai tingkat yang tidak
terdeteksi setelah 2-3 bulan. Karena kemunculan antibodi IgM yang terlambat, yaitu
setelah lima hari demam, tes serologis berdasarkan antibodi ini yang dilakukan selama
lima hari pertama penyakit klinis biasanya akan menunjukkan hasil yang negatif.
Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat yang rendah pada akhir minggu
pertama, yang kemudian akan meningkat dan tetap untuk periode yang lebih lama (selama
bertahun-tahun). IgG terdeteksi mulai hari ke 3-5 demam. Meningkat hingga minggu ke-3
dan dapat menghilang setelah 60-90 hari.Pada infeksi primer IgG mulai terdeteksi pada
hari ke-14 dan pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke2.dapat terdeteksi
selama lebih dari 60 tahun dan jika tidak ada gejala. Setelah infeksi primer, IgG mencapai
tingkat puncak dalam darah setelah 14-21 hari.Selama infeksi berikutnya, tingkat
puncaknya lebih awal dan titer biasanya lebih tinggi.Selama infeksi dengue sekunder
(ketika host sebelumnya telah terinfeksi virus dengue), titer antibodi meningkat dengan
cepat.Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan pada tahap awal, dan
bertahan dari beberapa bulan sampai periode seumur hidup.
Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus infeksi
sekunder.Oleh karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan antara
infeksi dengue primer dan sekunder.Trombositopenia biasanya diamati antara hari ketiga
dan kedelapan penyakit yang diikuti oleh perubahan hematokrit lainnya. Baik IgG dan
IgM memberikan kekebalan protektif terhadap serotipe virus yang menginfeksi. 8,12

12
Gambar 6. Keadaan IgG dan IgM berdasarkan onset gejala 8,12

c. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dilakukan dengan tujuan melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks.Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
ultrasonografi.Kelainan yang bisa didapatkan antara lain dilatasi pembuluh darah paru,
kardiomegali atau efusi perikard, dan hepatomegaly. 1

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan apabila terdapat kesesuaian klinis
dengan demam tifoid, chikungunya, dan campak. Pada awal perjalanan penyakit yaitu
pada fase demam, diagnosis banding dapat mencakup infeksi bakteri, virus, atau infeksi
parasit yang mirip dengan infeksi dengue seperti demam tifoid, campak, malaria dan
demam chikungunya.10
Demam berdarah dengue berbeda dengan demam tifoid, dimana jenis demam
tifoid yang lama dan suhu tubuh lebih meningkat biasanya pada sore hari dan menurun
pada pagi hari.Pola demam berperti anak tangga. Gejala lain sama dengan DHF seperti
sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan uji widal. 10

Demam berdarah dengue dengan demam chikungunya berbeda. Pada demam


chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan cara penularannya
mirip dengan penularan influenza. Pada demam chikungunya, serangan demam mendadak

13
lebih mendadak dibandingkan dengan demam berdarah dengue, masa demam lebih
pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, adanya injeksi
konjungtiva dan lebih sering disertai dengan nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif,
petekie dan epistaksis hampir sama dengan demam berdarah dengue. Pada demam
chikungunya tidak ditemukan adanya perdarahan gastrointestinal, syok, dan tidak
terjadinya peningkatan.1
Pada penyakit malaria, gejala klinis yang muncul yaitu biasanya demam
menggigil secara berkala dan biasanya terjadi sakit kepala secara bersamaan, suhu badan
menurun, terdapat anemia, splenomegali (pembesaran limpa), dan terjadi ikterus
(hemolisis dan gangguan hepar). Namun pada demam berdarah dengue, demam terjadi
secara mendadak, suhu dapat mencapai 38 0C - 400C yang terjadi 2 hingga 7 hari, terdapat
manifestasi perdarahan, hepatomegali, terdapat tanda-tanda syok, lemah, mual, muntah,
sakit kepala, diare, dan ruam merah dan sakit pada otot dan persendian. Pada tes
laboratorium demam berdarah dengue biasanya dilakukan uji serologi IgM, IgG, dan
ELISA, dan mendeteksi antigen viral dengan metode PCR serta dengan cara fluorosensi
imunoglobulin. Sedangkan pada malaria, tes laboratorium bisanya ditemukan parasit
dalam darah yang dipulas dengan Giemsa.8
Campak biasanya muncul dengan gejala klinis berupa adanya bercak merah yang
dapat hilang apabila di tekan. Bercak merah timbul pada hari ke-3 sampai dengan hari ke
5, yang kemudian akan berkurang pada minggu kedua dan menimbulkan bekas terkelupas
dan bercak kehitaman. Bercak merah muncul diawali dengan adanya keluhan pilek dan
batuk ketika munculnya demam pada hari pertama.Sedangkan bercak yang timbul pada
demam berdarah dengue muncul pada hari ke-2 sampai 3. Pada hari ke-4 dan 5 bercak
menghilang tanpa diikuti proses terkelupas dan bercak kehitaman pada kulit. Selain gejala
klinis tersebut yang membedakan penyakit demam berdarah dengue dengan campak
adalah pada demam berdarah dengue terjadi penurunan trombosit/trombositopenia
(<100.000/uL) dan terjadi hemokonsentrasi lebih dari 20%. Selain itu pada DHF akan
tampak hasil positif pada pemeriksaan antibodi IgG dan IgM. 8
Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DHF, oleh karena
didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis
ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang,
tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosi lebih
cepat kembali normal daripada ITP.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan

14
darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia
aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder. 3

2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma
dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam
pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik
secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya
trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam
berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan
kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah
cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta
terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi
nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat)
dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis,
dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia.Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut: 14,15

1. Penanganan suspek DHF tanpa syok


Potokol ini sebagai pedoman dalam memberikan pertolongan pertama pada pasien
yang menderita DHF atau yang dicurigai menderita DHF di Instalasi Gawat
Darurat.Protokol ini juga digunakan sebagai sebagai petunjuk dalam memutuskan apakah
pasien harus dirawat tau tidak.
Seseorang yang menderita DHF di IGD dilakukan pemeriksaan Hemoglobin (Hb),
hematoktrit dan trombosit apabila didapatkan :

a. Hb, Ht dan trombosit dalam batas normal atau jumlah trombosit antara 100.000 –
150.000, pasien dapat dipulangkan dan dilakukan observasi dengan anjuran
kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya untuk
dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit setiap 24 jam. Apabila
keaadaan pasien memburuk, pasien segera dibawa kembali ke Instansi Gawat

15
Darurat.
b. Hb, Ht normal tetapijumlah trombosit<100.000 pasien dianjurkan untuk dirawat
inap di rumah sakit.
c. Hb, Ht meningkat dan jumlah trombosit normal atau turun pasien juga dianjurkan
untuk dirawat inap di rumah sakit.

Gambar 7. Penanganan pasien DHF tanpa syok

2. Pemberian cairan pada suspek DHF dewasa di ruang rawat

Pasien yang menderita DHF tanpa adanya perdarahan spontan dan masif dan tanpa
adanya syok maka diberikan cairan infus kristaloid di ruang rawat dengan jumlah seperti
rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan
Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (BB dalam kg – 20)
(Sumber : Pan American Health Orgabization : Dengue and dengue hemorrhagic Fever :
Guidlines for Prevention and Control : PAHO : Washington D.C, 1994:67)

Setelah dilakukan pemberian cairan pasien dilakukan pemeriksaan HB, Ht setiap 24 jam
a. Apabila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit
dilakukan tian 12 jam.
b. Apabila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %.

16
Gambar 8. Pemberian cairan pada pasien DHF dewasa di ruang rawat inap

3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%.

Tubuh akan mengalami defisit sebanyak 5% ketika terjadinya peningkatan Ht >


20 %. Terapi awal yang dilakukan adalah dengan pemberian infus cairan kristaloid
sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam.Pasien kemudian dievaluasi kondisi pasien setelah 3-4
jam pemberian cairan.Apabila terjadinya perbaikan kondisi yang ditandai dengan
adanya Ht turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat
maka jumlah cairan yang diberikan harus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam.Setelah
itu 2 kemudian dilakukan pemantauan kembali, apabila kondisi pasien tetap membaik
maka pemberian cairan dapat dihentikan dalam waktu 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah dilakukan pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam tadi
keadaan pasien tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infus yang diberikan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan evaluasi kembali. Apabila keadaan pasien menunjukkan adanya
perbaikan maka jumlah cairan yang diberikan dapat dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Apabila keaadaan pasien tidak menunjukkan adanya perbaikan maka
jumlah cairan infus yang diberikan dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam. Dilakukan
pemantaun terhadap kondisi pasien, apabila dalam perkembangannya kondisi menjadi
memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan
protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada pasien dewasa.Bila syok telah teratasi
maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi cairan awal.

17
Gambar 9.Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%.

4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHFdewasa


Perdarahan maksud adalah yang pada hidung/epistaksis yang tidak terkendali
walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis
dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan
otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
cc/kgBB/jam. Pada keadaan ini jumlah cairan yang diberikandan kecepatan
pemberian cairan tetap seperti keadaan DHF tanpa syok lainnya. Pemeriksaan
tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan
kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostasis harus segera dilakukan dan
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin dapat diberikan apabila secara klinis dan laboratoris


ditemukan adanya tanda-tanda KID.Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi.FFP dapat diberikan apabila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan
(PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g
%.Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DHF dengan perdarahan spontan

18
dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID dan Hb
<10g/dL.

Gambar 10. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD

5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa.

Pasien dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian
cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom
syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan,
dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan
pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda – tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan
yang tidak adekuat.
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan SSD yaitu jenis cairan dan jumlah serta kecepatan cairan yang akan
diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di
ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan
salin) maupun koloid dapat diberikan.Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan SSD antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem
koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.WHO menganjurkan terapi

19
kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan
koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Keuntungan lainnya
penggunaan kristaloid antara lain komposisi yang menyerupai komposisi plasma,
mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi
anafilaktik. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DHF aman dan
efektif. Selain pemberian cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD sistolik
100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100
kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat
serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam.
Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi
5ml/kgBB/jam.Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian
caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda
vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus
harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi
telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka
keadaan hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan ( karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar
20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan
pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium
kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/kam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit.
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan
kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti
perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan
pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal
bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat
diulang sesuai kebutuhan.

20
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut.Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan dengantetesan cepat
10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
(maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor. Pemeriksaan – pemeriksaan
yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis,
AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.

21
Gambar 11. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

2.10 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan melakukan memberantas terhadap
jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN
(Pembersihan Sarang Nyamuk). Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah,
mudah dan dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat, yaitu16:
1. Membersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti: bak mandi / WC, drum,
dan lain-lain) sekurang-kurangnya 1 kali seminggu. Rutin mengganti air di vas
bunga, tempat minum burung dan lain-lain sekurang-kurangnya satu kali
seminggu.

22
2. Menutup dengan rapat tempat penampungan air, seperti ember, drum, dan
lainlain agar tidak menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk di tempat
tersebut.Taburkan bubuk ABATE pada tempat-tempat air yang tidak mungkin
atau sulit dikuras untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-
3 bulan sekali
3. Buang sampah pada tempatnya dan mengubur barang-barang bekas, seperti
kaleng bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung
air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Menutup
lubanglubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen.
4. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap di dalam pakaian.

23
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : INB
Umur : 44 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Bangsa : Indonesia
Alamat : Gerung
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal MRS : 24 September 2021

II. ANAMNESIS Keluhan Utama: Demam Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Patut Patuh Patju dengan keluhan demam
sejak 4 hari SMRS. Demam dirasakan mendadak dan demam dikatakan tidak
pernah turun. Demam dikatakan memburuk baik saat pagi hari maupun malam
hari. Pasien minum obat tablet dari bidan untuk meringankan keluhannya,
namun demam dikatakan tidak kunjung membaik dan tetap tinggi. Demam
dikatakan menganggu aktivitas dan tidur pasien. Saat dilakukan pemeriksaan,
demam dikatakan sudah membaik dimana pasien sudah tidak merasa demam
dalam 2 hari terakhir.
Pasien juga mengeluh nyeri kepala sejak 2 hari SMRS. Sakit kepala
dikatakan berlokasi di bagian atas kepala hingga ke bagian belakang leher.
Sakit kepala dikatakan muncul pada saat terjadinya demam. Sakit kepala
dirasakan seperti tertekan benda berat. Sakit kepala dirasakan sepanjang hari
dan terasa memberat ketika suhu tubuh meningkat.Sakit kepala tidak membaik
dengan beristirahat. Saat pemeriksaan dilakukan pasien sudah tidak mengeluh
sakit kepala lagi.

Pasien mengeluh perdarahan dari hidung sejak 1 hari SMRS.


Perdarahan dari hidung dikatakan muncul mendadak sebanyak 2 kali yakni
pada siang hari dan berulang di sore hari dengan volume ¼ gelas aqua setiap
kali perdarahan. Perdarahan dari hidung membaik 5-10 menit setelah dilakukan
penekanan dengan kapas dan kain. Riwayat trauma sebelum terjadi perdarahan

24
dari hidung disangkal oleh pasien. Riwayat perdarahan di gusi disangkal oleh
pasien.
Pasien juga mengeluh mual sejak 2 hari SMRS. Mual dirasakan hilang
timbul dan mulai memberat sejak 1 hari SMRS. Keluhan mual tidak disertai
dengan muntah. Saat pemeriksaan dilakukan, pasien masih mengeluh mual.
Tidak ada riwayat keluhan lain seperti nyeri ulu hati, nyeri perut, sesak nafas, batuk,
bintik-bintik merah di kulit, penglihatan kabur sejak pasien demam pertama kali
hingga pemeriksaan ini dilakukan. BAB dan BAK dikatakan normal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien
menyangkal sempat bepergian ke daerah endemis malaria sebelumnya. Riwayat pernah
mengalami demam berdarah, demam tifoid disangkal oleh pasien. Pasien mengaku tidak
memiliki riwayat penyakit seperti Diabetes Mellitus, hipertensi, maupun penyakit ginjal.
Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat maupun makanan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit DM, hipertensi, penyakit
ginjal, penyakit jantung, dan asma.

Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien adalah buruh bangunan salah satu villa di daerah Kuta. Saat ini
pasien tinggal disebuah rumah kost dengan istri dan anaknya. Menurut pasien,
di dekat tempat tinggal pasien terdapat salah satu tetangga yang sering
mengumpulkan barang rongsokan dimana banyak terdapat sumber genangan
air. Pasien mengatakan limbah rumah tangga dibuang melalui pipa yang
disalurkan ke selokan di depan rumah dan selokan tampak kotor. Beberapa
tetangga pasien dikatakan mengalami gejala yang sama dengan pasien, dan
salah satunya dikatakan mengalami demam berdarah dan sempat rawat inap di
rumah sakit. Pasien mengaku merokok sejak usia muda dan biasa
menghabiskan 1 bungkus perhari. Riwayat mengkonsumsi alkohol disangkal
oleh pasien

25
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit reguler, lemah
Respirasi : 20 x/menit tipe pernafasan torakoabdominal reguler
Suhu aksila : 38,5 °C
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 18,32 kg/m2
VAS : 2/10
Status General
Mata : anemia -/-, ikterus-/-, odem palpebra -/-, refleks pupil +/+
isokor, lakrimasi -/-, conjunctival bleeding -/-

THT : tonsil T1 T1, faring hiperemis (-), lidah typhoid (-)


Telinga :bentuk normal, sekret tidak ada
Hidung : sekret darah mengering, malar rash (-)
Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Lidah : ulkus (-), papil lidah atrofi (-), lidah kotor (-)
Mukosa mulut : basah, stomatitis angularis (-),ulkus (-),
Leher : JVP PR + 0 cmH20, pembesaran kelenjar (-)
Thoraks : Simetris
Cor: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas: setinggi ICS II
Batas bawah: setinggi ICS V
Batas kanan: PSL dekstra
Batas kiri: MCL sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo: Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal fremitus nnormal normal
normal normal
normal normal
Perkusi :
sonor sonor

ssonor sonor
ssonor sonor
Auskultasi :

26
Abdomen
Inspeksi : simetris (+), distensi (-), meteorismus (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : timpani, asites (-)
Ekstrimitas : Edema
Kulit : Rumple leed test (+)

IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah Lengkap

V. DIAGNOSIS
 Observasi Febris hari ke 4 et causa Dengue Hemorhagic Fever Grade II

VI. PENATALAKSANAAN
• Masuk rumah sakit (MRS)

• Infus RL 30 tpm

• Paracetamol 500 mg @8 jam IO (jika t.ax ≥37,5oc)

• Omeprazole 1 x 40 mg

27
• KIE Minum 1,5 – 2 liter / hari

VII. MONITORING
- Vital sign dan keluhan - Fluid Balance
- Darah Lengkap tiap 12 jam

28
BAB V
SIMPULAN

Demam Dengue dan Demam berdarah Dengue (DBD) didefinisikan


sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi satu dari empat virus dengue,
yaitu DENV1, DENV2, DENV3, dan DENV4, engan nyamuk dari genus Aedes
sebagai vektor utama penyakit ini. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh
Demam Dengue adalah adanya demam mendadak tinggi (390C-400C) terus
menerus, pola bifasik, selama 2-7 hari, disertai nyeri kepala, nyeri otot (myalgia)
dan sendi (atralgia), nyeri retro-orbital, fotofobia, gangguan pencernaan (diare
atau konstipasi), nyeri perut, sakit dan tenggorokan. Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue dapat dibedakan dengan ada atau tidaknya kebocoran plasma.
Diagnosis Demam Dengue memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk
menegakkan diagnosis ini. Demam Dengue ditangani dengan pasien dianjurkan
untuk bed rest selama fase akut, menjaga suhu tubuh pasien tetap < 38,0 0C,
pemberian antipiretik jika suhu > 38,00C serta memenuhi kebutuhan cairan pasien
dengan minum yang cukup.
Pasien INB 44 tahun laki-laki, terdiagnosis dengan demam dengue dd
demam berdarah dengue grade II. Pemberian anti piretik berupa parasetamol pada
penanganan awal dan pemantuan hematocrit dan trombosit selama masa
perawatan. Saat ini kondisi demam sudah tidak ada dan keluarga sudah
mendapatkan informasi mengenai etiologi dan cara pencegahan terjadinya demam
dengue.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.


Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW
dkk. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : 2007.
2. Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan; 2004.
3. Sanyaolu, et al. 2017. Global epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever:
An
Update. Journal of Human Virology & Retrovirology. 5(6);00179
4. Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM
UI. 2009.
5. Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di
Indonesia.
Farmaka. 2007; 5:12-29.
6. Kemenkes RI. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI: Situasi Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: 2014.

7. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Bali. Hal :
27-28; 54-55

8. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue


haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2011.p.5-45
9. Heilman, JM., wolff, JD., Beards GM., Basden, BJ. 2014.Dengue fever: a
Wikipedia clinical review. Open Medicine. 8(4)e105
10. Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media Aesculapius.
Jakarta: 2014.

11. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics
Problem. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
12. Suzanne Moore Shepherd. 2014. Dengue. Pennsylvania. Hospital of
University of Pennsylvania.

13. Falconar AK, de Plata E, Romero-Vivas CM. Altered enzyme-linked


immunosorbent assay immunoglobulin M (IgM)/IgG optical density ratios
can correctly classify all primary or secondary dengue virus infections 1 day
after the onset of symptoms, when all of the viruses can be isolated. Clinical
and Vaccine Immunology, 2006, 13:1044–1051.

14. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di


sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34

15. Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus. 2009; 22 (1)

16. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II.
Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
2

Anda mungkin juga menyukai