DISUSUN OLEH :
Pembimbing
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis berupa demam yang terjadi secara mendadak 2-7
hari. Dapat disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa adanya syok, dengan hasil
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya trombositopenia (trombosit kurang dari
100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal. 1,4,5 Infeksi virus dengue
dapat disertai dengan terjadinya kebocoran plasma. Perubahan patofisiologi pada infeksi virus
dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit antara DHF dengan dengue fever (DF).
Perubahan patofisiologis tersebut dapat berupa kelainan hemostasis dan perembesan plasma.
Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan terjadinya trombositopenia dan peningkatan
hematokrit.1 Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypty dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot (myalgia)
dan/ atau nyeri sendi (arthralgia) yang disertai leukopenia, ruam (maculopapular skin rush),
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. 1,3,5
2.2 Epidemiologi
DHF secara internasional dianggap sebagai penyakit yang disebabkan virus dan di
transmisikan oleh nyamuk yang paling signifikan.DHF endemik lebih dari 100 negara di
seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan sub-tropis. Di Amerika Serikat, DHF yang
disebabkan oleh spesies Aedes aegypti dapat ditemukan secara musiman di Louisiana, Florida
bagian selatan, New Mexico, Arizona, Texas, Georgia, Alabama, Mississippi, North dan South
Carolina, Kentucky, Oklahoma, dan Tennessee. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian DF telah
meningkat 30 kali lipat.3
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 50 sampai 100 juta infeksi
demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus ini 500.000 kasus DHF mengakibatkan
22.000 kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data resmi yang
disampaikan ke WHO, kasus demam berdarah di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik
Barat melampaui 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013. Pada tahun
2013, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan terjadi di Amerika saja, dimana 37, 687
kasus merupakan DHF berat. Setelah epidemi DHF yang pertama diketahui pada tahun 1953
sampai 1954 di Filipina, penyakit ini terus menyebar ke seluruh penjuru dunia. 3
Indonesia pada tahun 2010 menempati urutan tertinggi kasus DHF di Asia Tenggara,
dengan jumlah kasus sebanyak 156.086 dan jumlah kematian sebanyak 1.358 orang. Data
menunjukkan Indonesia endemis DHF sejak tahun 1968 sampai dengan saat ini. Indonesia
terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun 1968 sampai tahun 2015, tercatat terdapat 126.675
penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. 6
2.3 Etiologi dan Transmisi
3
a. Virus
DHF disebabkan oleh virus dengue.Virus dengue termasuk dalam genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Virus ini mengandung single-strand RNA sebagai genom.8 Genom virus
dengue mengandung sekitar 11000 basis nukleotida, yang merupakan kode untuk satu
polyprotein tunggal yang dipecah secara pos menjadi 3 molekul protein struktural (C, prM, dan
E) yang membentuk partikel virus dan 7 protein nonstruktural ( NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a,
NS4b, dan NS5) yang hanya ditemukan pada sel inang yang terinfeksi dan diperlukan untuk
replikasi virus.9Di antara protein nonstruktural, glikoprotein envelope yaitu NS1, bersifat
diagnostik dan patologis.Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm, yang terdiri dari
asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x10 6.Terdapat 4 serotipe virus yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.Genotipeataugaris keturunanyang berbeda (virus yang
sangatterkait dalamurutan nukleotida) telah diidentifikasi dalam setiapserotipe,
menyorotikeragaman genetikyang luasdariserotipedengue.Di antara mereka,genotipe"Asia"
DEN-2 danDEN-3 sering dikaitkan denganinfeksi berat penyakit yang disertai dengan
denguesekunder. Infeksi dengan serotipe manapun akanmemberi kekebalan seumur hidup
terhadap serotipe virus tersebut. 8Di Indonesia keempat serotipe ini ditemukan, dengan DEN-3
merupakan serotipe terbanyak. Penelitian terbaru menemukan adanya serotipe DEN-5 yang
pertama kali diumumkan pada tahun 2013.9
b. Vektor
Virus dengue ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus yang terinfeksi ke tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-10 hari.Infeksi bisa
didapat melalui satu gigitan saja. Nyamuk Aedes aegypty biasanya mengigit pada siang hari.
Nyamuk ini merupakan spesies tropis dan subtropis yang terdistribusi secara luas di seluruh
dunia yang hidup diantara antara garis lintang 35° LU dan 35 ° LS di bawah ketinggian 1000 m
(3.300 kaki). Tahapan nyamuk yang belum matang sering ditemukan di habitat air, terutama
pada penampungan dengan air yang tenang dan menggenang seperti ember, bak mandi, ban
bekas, dan yang lainnya. 1,4,10
Wabah DHF juga dikaitkan dengan Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies kompleks Aedes scutellaris. Masing-masing spesies ini
memiliki ekologi, perilaku dan distribusi geografis yang tertentu. Dalam beberapa dekade
terakhir, nyamuk Aedes albopictus ini telah menyebar dari Asia ke Afrika, Amerika dan Eropa,
yang dibantu oleh perdagangan internasional ban bekas, dimana telur nyamuk disimpan ketika
bannya menggenangkan air hujan. Telur tersebut dapat pula bertahan hidup selama berbulan-
bulan tanpa adanya air.8
c. Host
Setelah masa inkubasi yang terjadi sekitar 4-10 hari, infeksi oleh salah satu dari
empat serotipe virus dapat menghasilkan spektrum yang luas dari penyakit ini, walaupun
4
sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala atau subklinis. Infeksi primer diduga
menginduksi munculnya kekebalan protektif seumur hidup dengan serotipe yang terinfeksi. 8
Individu yang menderita infeksi dilindungi dari penyakit klinis dengan serotipe yang berbeda
dalam 2-3 bulan dari infeksi primer, tetapi tanpa kekebalan lintas pelindung jangka panjang.
Anak-anak muda khususnya mungkin kurang mampu jika dibandingkan dengan orang dewasa
untuk mengimbangi kebocoran kapiler dan akibatnya memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami dengue shock.
Dalam proses transmisi, nyamuk menggigit penderita yang terinfeksi virus dengue,
dimana virus dengue banyak terdapat di dalam darah penderita terutama pada hari ke 5.
Beberapa penderita tidak menunjukkan gejala yang signifikan namun dapat mentransmisikan
virus ke dalam nyamuk yang menggigitnya. Setelah virus masuk ke dalam nyamuk, virus
tersebut akan memerlukan tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum dapat ditularkan ke manusia
lain. Nyamuk tersebut tetap terinfeksi selama sisa hidupnya, yang mungkin dari beberapa hari
hingga beberapaminggu.8
Data terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel endotel bisa memediasi terjadinya
kebocoran plasma. Kebocoran plasma diduga berhubungan dengan efek fungsional daripada
merusak sel-sel endotel. Trombositopenia mungkin berhubungan dengan terjadinya perubahan
dalam megakaryocytopoieses oleh infeksi sel hematopoietik manusia dan gangguan
pertumbuhan sel progenitor, disfungsi platelet (aktivasi platelet dan agregasi)serta terjadi
peningkatan penghancuran atau konsumsi. Perdarahan mengakibatkan trombositopenia dan
disfungsi trombosit yang terkait atau disseminated intravascular coagulation. Kesimpulannya,
ketidakseimbangan sementara antara mediator inflamasi, sitokin dan kemokin terjadi selama
perjalanan dengue yang parah, didorong oleh beban virus pada fase awal yang tinggi sehingga
menyebabkan terjadinya disfungsi sel endotel vaskular dan kekacauan sistem hemokoagulasi
yang menyebabkan kebocoran plasma dan syok.
5
pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus dan proses sitolisis. Peran
limfosit T baik T-helper (CD4) maupun T-sitotoksis (CD8) juga berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus namun
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya
sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di
makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit
lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag
yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3
jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, dan
antibodi fiksasi komplemen.1,8
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya
gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifestasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. 5 Imunopatogenesis DHF merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis DHF dan
DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory).1
Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyaipotensiuntuk menimbulkan wabah.
Renjatan yang dapat menyebabkan
kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen. 11
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection
yang menyatakan DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi
tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh
merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit
yang berat.1
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan
dengan reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Sebagai respon terhadap
infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.1,11
6
Patogenesis terjadinya kebocoran plasma pada DHF dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada gambar 1 digambarkan bahwa terjadi konsentrasi kompleks imun yang tinggi akibat
reinfeksi yang mengakibatkan reaksi amnestik antibodi. Infeksi virus dengue menyebabkan
aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi sehingga virus berkembang
di makrofag. Infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-
sitotoksis sehingga diproduksilah limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan
mengaktivasi monosit sehingga disekresikanlah berbagai mediator inflamasi, seperti TNF-α,
IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan histamin yang megakibatkan terjadinya
disfungsi sel endotel dan terjadilah kebocoran plasma.
7
akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia (degranulasi trombosit).
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product )
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. 1,11
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi
lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang
dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DHF diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.1
8
Gambar 5. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue8
Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti
oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,
akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan yang adekuat. Gejala lain seperti mual muntah, diare, ruam kulit,
nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh atau
terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot terutama pada tendon.1,2,10
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis
dan fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi pada hari 1 – 3
hari mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh,
mialgia, artralgia dan sakit kepala.Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok,
injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat
pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.Fase kritis, terjadi
pada hari 3 – 6 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan
permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama
24 – 48 jam.Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit.Pada fase ini dapat terjadi syok. Fase pemulihan, bila fase
kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler
secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu
makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik. 10
2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun
2011 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis berdasarkan WHO 2011: 8
9
1. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit,
nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
- Uji tourniket positif (yang palinng umum)
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan/atau melena
3. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk ditandai
dengan nadi lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah.
Kriteria Laboratoris:
- Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma atau tanda
hemokonsentrasi sebagai berikut: o Peningkatan hematokrit > 20%
dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. o
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoalbuminemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau peningkatan
hematokrit, cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Adanya
pembesaran hati selain dua kriteria klinis pertama adalah dugaan terjadinya demam
berdarah dengue sebelum onset kebocoran plasma. Efusi pleura (X-ray dada atau
ultrasonografi) adalah bukti objektif terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya
hipoalbumin dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia, perdarahan berat,
kondisi ketika tidak adanya hematocrit dasar, dan peningkatan hematocrit kurang dari
20% akibat pemberian terapi intravena secara dini. Pada kasus syok, peningkatan
hematokrit dan adanya trombositopenia, mendukung diagnosa demam berdarah dengue.
ESR yang rendah (kurang dari 10 mm/satu jam pertama) selama syok membedakan DSS
dari syok septik.1,8,9,
1. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Derajat 1, disertai perdarahan terjadinya spontan di kulit dan
perdarahan lainnya.
10
3. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di daerah sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, dan tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.
Deteksi Antigen
Perkembangan baru dalam ELISA dan tes dot blot diarahkan ke amplop /
membran (E / M) antigen dan protein non-struktural 1 (NS1) yang menunjukkan bahwa
konsentrasi tinggi antigen tersebut dalam bentuk kompleks imun dapat dideteksi pada
pasien dengan infeksi dengue primer dan sekunder sampai sembilan hari setelah onset
penyakit. NS1 glikoprotein dihasilkan oleh semua flaviviruses dan dikeluarkan dari sel
11
mamalia. NS1 menghasilkan respon humoral yang sangat kuat. Banyak penelitian telah
diarahkan menggunakan deteksi NS1 untuk membuat diagnosis awal infeksi virus
dengue. Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke
delapan dengan sensitivitas 63%-93,4% dan spesifisitas 100%. 8
12
Gambar 6. Keadaan IgG dan IgM berdasarkan onset gejala 8,12
c. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dilakukan dengan tujuan melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua
hemitoraks.Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
ultrasonografi.Kelainan yang bisa didapatkan antara lain dilatasi pembuluh darah paru,
kardiomegali atau efusi perikard, dan hepatomegaly. 1
13
lebih mendadak dibandingkan dengan demam berdarah dengue, masa demam lebih
pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, adanya injeksi
konjungtiva dan lebih sering disertai dengan nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif,
petekie dan epistaksis hampir sama dengan demam berdarah dengue. Pada demam
chikungunya tidak ditemukan adanya perdarahan gastrointestinal, syok, dan tidak
terjadinya peningkatan.1
Pada penyakit malaria, gejala klinis yang muncul yaitu biasanya demam
menggigil secara berkala dan biasanya terjadi sakit kepala secara bersamaan, suhu badan
menurun, terdapat anemia, splenomegali (pembesaran limpa), dan terjadi ikterus
(hemolisis dan gangguan hepar). Namun pada demam berdarah dengue, demam terjadi
secara mendadak, suhu dapat mencapai 38 0C - 400C yang terjadi 2 hingga 7 hari, terdapat
manifestasi perdarahan, hepatomegali, terdapat tanda-tanda syok, lemah, mual, muntah,
sakit kepala, diare, dan ruam merah dan sakit pada otot dan persendian. Pada tes
laboratorium demam berdarah dengue biasanya dilakukan uji serologi IgM, IgG, dan
ELISA, dan mendeteksi antigen viral dengan metode PCR serta dengan cara fluorosensi
imunoglobulin. Sedangkan pada malaria, tes laboratorium bisanya ditemukan parasit
dalam darah yang dipulas dengan Giemsa.8
Campak biasanya muncul dengan gejala klinis berupa adanya bercak merah yang
dapat hilang apabila di tekan. Bercak merah timbul pada hari ke-3 sampai dengan hari ke
5, yang kemudian akan berkurang pada minggu kedua dan menimbulkan bekas terkelupas
dan bercak kehitaman. Bercak merah muncul diawali dengan adanya keluhan pilek dan
batuk ketika munculnya demam pada hari pertama.Sedangkan bercak yang timbul pada
demam berdarah dengue muncul pada hari ke-2 sampai 3. Pada hari ke-4 dan 5 bercak
menghilang tanpa diikuti proses terkelupas dan bercak kehitaman pada kulit. Selain gejala
klinis tersebut yang membedakan penyakit demam berdarah dengue dengan campak
adalah pada demam berdarah dengue terjadi penurunan trombosit/trombositopenia
(<100.000/uL) dan terjadi hemokonsentrasi lebih dari 20%. Selain itu pada DHF akan
tampak hasil positif pada pemeriksaan antibodi IgG dan IgM. 8
Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DHF, oleh karena
didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis
ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang,
tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosi lebih
cepat kembali normal daripada ITP.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia
demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan
14
darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia
aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder. 3
2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma
dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam
pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik
secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya
trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam
berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan
kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah
cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta
terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi
nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat)
dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak
mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis,
dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia.Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya
dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut: 14,15
a. Hb, Ht dan trombosit dalam batas normal atau jumlah trombosit antara 100.000 –
150.000, pasien dapat dipulangkan dan dilakukan observasi dengan anjuran
kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya untuk
dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit setiap 24 jam. Apabila
keaadaan pasien memburuk, pasien segera dibawa kembali ke Instansi Gawat
15
Darurat.
b. Hb, Ht normal tetapijumlah trombosit<100.000 pasien dianjurkan untuk dirawat
inap di rumah sakit.
c. Hb, Ht meningkat dan jumlah trombosit normal atau turun pasien juga dianjurkan
untuk dirawat inap di rumah sakit.
Pasien yang menderita DHF tanpa adanya perdarahan spontan dan masif dan tanpa
adanya syok maka diberikan cairan infus kristaloid di ruang rawat dengan jumlah seperti
rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan
Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (BB dalam kg – 20)
(Sumber : Pan American Health Orgabization : Dengue and dengue hemorrhagic Fever :
Guidlines for Prevention and Control : PAHO : Washington D.C, 1994:67)
Setelah dilakukan pemberian cairan pasien dilakukan pemeriksaan HB, Ht setiap 24 jam
a. Apabila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit
dilakukan tian 12 jam.
b. Apabila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %.
16
Gambar 8. Pemberian cairan pada pasien DHF dewasa di ruang rawat inap
17
Gambar 9.Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%.
18
dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID dan Hb
<10g/dL.
Pasien dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian
cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom
syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan,
dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan
pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda – tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan
yang tidak adekuat.
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan SSD yaitu jenis cairan dan jumlah serta kecepatan cairan yang akan
diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di
ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan
salin) maupun koloid dapat diberikan.Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan SSD antara lain memiliki sifat bertahan lama di
intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem
koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.WHO menganjurkan terapi
19
kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan
koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Keuntungan lainnya
penggunaan kristaloid antara lain komposisi yang menyerupai komposisi plasma,
mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi
anafilaktik. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DHF aman dan
efektif. Selain pemberian cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD sistolik
100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100
kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat
serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam.
Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi
5ml/kgBB/jam.Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian
caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda
vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus
harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi
telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka
keadaan hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan ( karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar
20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan
pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium
kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/kam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit.
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan
kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti
perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan
pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal
bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat
diulang sesuai kebutuhan.
20
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut.Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan dengantetesan cepat
10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum
teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena
sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
(maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila
keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap
gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila
tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor. Pemeriksaan – pemeriksaan
yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis,
AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.
21
Gambar 11. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
2.10 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan melakukan memberantas terhadap
jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN
(Pembersihan Sarang Nyamuk). Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah,
mudah dan dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat, yaitu16:
1. Membersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti: bak mandi / WC, drum,
dan lain-lain) sekurang-kurangnya 1 kali seminggu. Rutin mengganti air di vas
bunga, tempat minum burung dan lain-lain sekurang-kurangnya satu kali
seminggu.
22
2. Menutup dengan rapat tempat penampungan air, seperti ember, drum, dan
lainlain agar tidak menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk di tempat
tersebut.Taburkan bubuk ABATE pada tempat-tempat air yang tidak mungkin
atau sulit dikuras untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-
3 bulan sekali
3. Buang sampah pada tempatnya dan mengubur barang-barang bekas, seperti
kaleng bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung
air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Menutup
lubanglubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen.
4. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap di dalam pakaian.
23
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : INB
Umur : 44 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Bangsa : Indonesia
Alamat : Gerung
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal MRS : 24 September 2021
24
dari hidung disangkal oleh pasien. Riwayat perdarahan di gusi disangkal oleh
pasien.
Pasien juga mengeluh mual sejak 2 hari SMRS. Mual dirasakan hilang
timbul dan mulai memberat sejak 1 hari SMRS. Keluhan mual tidak disertai
dengan muntah. Saat pemeriksaan dilakukan, pasien masih mengeluh mual.
Tidak ada riwayat keluhan lain seperti nyeri ulu hati, nyeri perut, sesak nafas, batuk,
bintik-bintik merah di kulit, penglihatan kabur sejak pasien demam pertama kali
hingga pemeriksaan ini dilakukan. BAB dan BAK dikatakan normal oleh pasien.
25
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit reguler, lemah
Respirasi : 20 x/menit tipe pernafasan torakoabdominal reguler
Suhu aksila : 38,5 °C
Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 18,32 kg/m2
VAS : 2/10
Status General
Mata : anemia -/-, ikterus-/-, odem palpebra -/-, refleks pupil +/+
isokor, lakrimasi -/-, conjunctival bleeding -/-
ssonor sonor
ssonor sonor
Auskultasi :
26
Abdomen
Inspeksi : simetris (+), distensi (-), meteorismus (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : timpani, asites (-)
Ekstrimitas : Edema
Kulit : Rumple leed test (+)
V. DIAGNOSIS
Observasi Febris hari ke 4 et causa Dengue Hemorhagic Fever Grade II
VI. PENATALAKSANAAN
• Masuk rumah sakit (MRS)
• Infus RL 30 tpm
• Omeprazole 1 x 40 mg
27
• KIE Minum 1,5 – 2 liter / hari
VII. MONITORING
- Vital sign dan keluhan - Fluid Balance
- Darah Lengkap tiap 12 jam
28
BAB V
SIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
7. Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Bali. Hal :
27-28; 54-55
11. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics
Problem. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
12. Suzanne Moore Shepherd. 2014. Dengue. Pennsylvania. Hospital of
University of Pennsylvania.
15. Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus. 2009; 22 (1)
16. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II.
Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
2