Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

DISUSUN OLEH :

dr. Sukandrana Arya Penida

Pembimbing

dr. Kadek Sulyastuty

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD PATUT PATUH PATJU

TAHUN 2021/2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketoasidosis Diabetikum merupakan komplikasi akut yang paling serius yang
terjadi pada anak-anak pada DM tipe 1, dan merupakan kondisi gawat darurat yang
menimbulkan morbiditas dan mortalitas, walaupun telah banyak kemajuan yang
diketahui baik dari patogenesisnya maupun dalam hal diagnosis dan tatalaksananya.
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut dan relatif. Diagnosis KAD didapatkan sekitar 16-80 %
pada penderita anak baru dengan DM tipe1, tergantung lokasi geografi. Di Eropa dan
Amerika Utara angkanya berkisar 15-67 %,sedangkan di Indonesia dilaporkan antara
33-66 %.1
Prevalensi KAD di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 4,68 per 1000
penderita diabetes, dengan mortalitas kurang dari 5 % atau sekitar 2-5 %. KAD juga
merupakan penyebab kematian tersering pada anak dan remaka dengan DM tipe 1,
yang diperkirakan setengah dari penyebab kematian penderita DM di bawah usia 24
tahun. Namun demikian studi epidemiologi terbaru memperkirakan insiden total akan
mengalami peningkatan, terutama disebabkan oleh peningkatan kasus diabetes
mellitus tipe 2 (DMT2). Sementara itu di Indonesia belum didapatkan angka yang
pasti mengenai hal ini. Diagnosis dan tata laksana yang tepat sangat diperlukan dalam
pengelolaan kasus-kasus KAD untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Insidens
DMT2 sendiri di Indonesia, diperkirakan berkisar antara 6-8% dari total penduduk di
RS dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta, selama periode 5 bulan (Januari-Mei 2002)
terdapat 39 episod KAD dengan angka kematian 15%.1

2
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien yang sudah dikenal memiliki riwayat
DM. Gambaran klinik KAD dapat dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),
berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), dan
terkadang disertai hipovolemia dan syok. Derajat kesadaran pasien bisa beragam,
mulai dari kompos mentis, delirium, atau depresi hingga koma.1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Diabetes melitus adalah sindrom yang disebabkan ketidakseimbangan antara
tuntunan dan suplai insulin. Sindrom ditandai oleh hiperglikemi dan berkaitan dengan
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Abnormalitasmetabolik ini
mengarah pada perkembangan bentuk spesifik komplikasi ginjal, okular, neurologik
dan kardiovaskuler.1
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut dan relatif (Saksono, 2015). KAD merupakan salah satu
komplikasi akut DM yang ditandai dengan dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan
asidosis. Pasien KAD biasanya mengalami dehidrasi berat akibat diuresis osmotik
dan bahkan dapat menyebabkan syok sehingga membutuhkan pengelolaan gawat
darurat.2
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes melitus yang
serius, suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi. KAD memerlukan
pengelolaan yang cepat dan tepat, mengingat angka kematiannya yang tinggi.
Pencegahan merupakan upaya penting untuk menghindari terjadinya KAD.
Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai
gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini terkadang disebut
“akselerasi puasa” dan merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada
diabetes ketergantungan insulin. Ketoasidosis diabetikum adalah kasus kedaruratan
endokrinologi yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.
Ketoasidosis Diabetikum terjadi pada penderita IDDM (atau DM tipe II). 2

2.2. Epidemiologi

4
Insiden tahunan KAD pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) adalah 1-
5%, berdasarkan beberapa studi yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat dan
terlihat konstan dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara barat. Namun
demikian studi epidemiologi terbaru memperkirakan insiden total akan mengalami
peningkatan, terutama disebabkan oleh peningkatan kasus diabetes mellitus tipe 2
(DMT2). Laju insiden tahunan KAD diperkirakan antara 4,6 sampai 8 per 1000
pasien dengan diabetes. Sedangkan insidens DMT2 sendiri di Indonesia, diperkirakan
berkisar antara 6-8% dari total penduduk.3
Laporan insiden ketoasidosis diabetik di Indonesia umumnya berasal dari data
rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2 (Soewondo, 2009). Angka kematian
pasien dengan ketoasidosis diabetik di negara maju kurang dari 5% pada banyak
senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5-10%, 2-10%, atau 9-10%.1

2.3. Etiologi
Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung
insulin disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat proses autoimun.
Sedangkan non insulin dependen diabetik melitus (NIDDM) atau diabetes mellitus
tidak tergantung insulin disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa
oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya. Artinya
terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya
sekresi insulin pada perangsangan sekresi insulin, berarti sel B pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa.
Penyebab lainnya seperti : infeksi, kelainan vaskuler (infark miokard akut),
kelainan endokrin (hipertyroidisme, sindroma chusing), trauma, kehamilan, stres
emosional, peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin, kortisol, glukagon).

2.4. Patogenesis dan Patofisiologi

5
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan), sehingga semua keadaan tersebut
menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utililisasi glukosa oleh sel tubuh
menurun, dengan hasil akhir hiperglikemi.

Akibat dari defisiensi insulin absolut, pasien mengalami: (1) hiperglikemi dan
glukosuria berat, (2) penurunan lipogenesis, (3) peningkatan lipolisis dan peningkatan
oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat,
hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.
Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis
metabolik. Glukosuria dan ketonuria akan menyebabkan diuresis osmotik yang
menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium,
magnesium, fosfat dan klorida. Akibat dari kehilangan air yang banyak (poliuria)
akan menimbulkan uremia prarenal dan syok hipovolemi. Asidosis metabolik yang
hebat sebagian akan dikompensasi oleh tubuh dengan peningkatan pelepasan CO2 ke
luar tubuh melalui peningkatan ventilasi yang dalam (pernafasan kussmaul). Akibat
dari asidosis metabolik dan penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan

6
mengalami koma sampai meninggal. Muntah biasanya sering terjadi akibat dari
asidosis metabolik dengan perangsangan pusat muntah di otak sehingga akan
mempercepat kehilangan air dan elektrolit.3

2.5.1 Suplemen

Peranan utama insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dapat
dipahami paling jelas dengan memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin pada
manusia. Manifestasi utama penyakit diabetes melitus adalah hiperglikemia, yang
terjadi akibat (1) berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel, 2)
berkurangnya penggunaan glukosa oleh pelbagai jaringan, 3) peningkatan produksi
glukosa (glukoneogenesis) oleh hati. Masing-masing peristiwa ini akan dibicarakan
lebih rinci sebagai berikut:

Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalorinya


memadai, merupakan gejala utama defisiensi insulin. Pada manusia normal kadar
glukosa plasma jarang melampaui 120 mg / dL, kendati kadar yang jauh lebih tinggi
selalu dijumpai pada pasien defisiensi kerja insulin. Setelah kadar tertentu glukosa

7
plasma dicapai (pada manusia umumnya > 180 mg/dl), taraf maksimal reabsorbsi
glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam
urin (glikouria). Volume urin meningkat akibat terjadinya diuersis osmotik dan
kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang bersamaan (poliuria), kejadian
ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas), tubuh akan segera
memberikan sinyal kepusat rangsangan haus di hipotalamusa akibat dari poliuria dan
dehidrasi sehingga gejala yang ditimbulkan yaitu banyak minum (polidipsia).
Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4,1 kal bagi setiap
gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), kehilangan ini, kalau ditambah lagi
dengan deplesi jaringan otot dan adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat badan
yang hebat sehingga tubuh akan mengkompensasi dengan merangsang pusat lapar di
otak dengan peningkatan selera makan (polifagia).3

Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan ini
sebagian terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot (asam
amino berfungsi sebagai substrat glukoneogenik). Jadi, orang yang kekurangan
insulin berada dalam keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja antiinsulin hilang
seperti halnya efek lipogenik yang dimilikinya; dengan demikian kadar asam lemak
plasma akan meninggi. Kalau kemampuan hati untuk mengaoksidasi asam lemak
terlampaui, maka senyawa asam β hidroksibutirat dan asam asetoasetat akan
bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat mengimbangi pengumpulan asam
organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO2 lewat sistem respirasi, namun bila
keadaan ini tidak dikendalikan dengan peningkatan insulin, maka akan terjadi asidosi
metabolik dan pasien akan meninggal dalam keadaan koma diabetik.4

2.5.2 Efek Insulin Pada Penggunaan Glukosa

Insulin mempengaruhi penggunaan glukosa intrasel lewat sejumlah cara. Pada


orang yang normal, sekitar separuh dari glukosa yang dimakannya akan diubah
menjadi energi lewat lintasan glikolisis dan sekitar separuh lagi disimpan sebagai
lemak atau glikogen. Glikolisis akan menurun dalam keadaan tanpa insulin, dan
proses anabolik glikogenesis serta lipogenesis akan terhalang.4

8
Sebenarnya, hanya 5% dari jumlah glukosa yang dikonsumsi, diubah menjadi
lemak pada penderita diabetes yang kekurangan hormon insulin. Hormon insulin
meningkatkan glikolisis hepatik dengan menaikkan aktivitas dan jumlah beberapa
enzim yang penting termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase.
Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa dan dengan
demikian secara tidak langsung menurunkan pelepasan glukosa ke dalam plasma.
Insulin juga menurunkan aktivitas glukosa 6-fosfatase, yaitu suatu enzim yang
ditemukan dalam hati tetapi tidak terdapat pada otot. Karena glukosa 6 fosfat tidak
dapat keluar dari membran plasma, kerja insulin ini mengakibatkan retensi glukosa
dalam sel hati.3,4

Dalam otot skeletal, insulin meningkatkan aliran masuk glukosa lewat


pengangkut dan juga menaikkan kadar enzim heksokinase II yang melakukan
fosforilasi pada glukosa serta memulai metabolisme glukosa. Insulin merangsang
lipogenesis dalam jaringan adiposa dengan 1) menyediakan asetil KoA dan NADPH
yang diperlukan bagi sintesis asam lemak, 2) mempertahankan kadar normal enzim
asetil Ko-A karboksilase, yang mengkatalisasi konversi asetil-KoA menjadi malonil-
KOA, dan 3) menyediakan gliserol yang terlibat dalam sintesis triasilgliserol. Pada
keadaan defisiensi insulin, semua ini akan menurun, dengan demikian, lipogenesis
juga akan menurun. Sebab lain yang menimbulkan penurunan lipogensis pada
defisiensi insulin adalah pelepasan asam lemak dalam jumlah besar akibat pengaruh
beberapa hormon yang tidak dilawan oleh insulin, pelepasan asam lemak ini akan
menimbulkan hambatan umpan balik terhadap proses sintesisnya sendiri lewat
penghambatan enzim asetil KoA karboksilase.4

Dengan demikian efek netto insulin terhadap lemak bersifat anabolik. Kerja
akhir insulin terhadap penggunaan glukosa melibatkan proses anabolik lainnya.
Dalam hati dan otot, insulin meransang konversi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat
(masing-masing dengan kerja enzim gluokinase dan heksokinase II), yang kemudian
mengalami isomerisasi menjadi glukosa I-fosafat dan disatukan kedalam glikogen
oleh enzim glikogen sintase yang aktifitasnya dirangsang oleh insulin. Kerja ini

9
bersifat ganda dan tidak langsung. Insulin menurunkan kadar cAMP dengan
mengaktifkan fosfodiesterase. Karena fosforilasi yang tergantung pada cAMP
meniadakan keaktifan enzim glikogensintase, kadar nukleotida yang rendah ini
memungkinkan enzim tersebut untuk tetap berada dalam bentuk aktif. Insulin juga
mengaktifkan enzim fosfatase yang melaksanakan reaksi defoforilasi
glikogensintetase sehingga mengakibatkan aktivasi enzim ini. Akhirnya, insulin
menghambat fosforilase dengan suatu mekanisme yang melibatkan cAMP dan
fosfatase, dan hal ini mengurangi pembebasan glukosa dari glikogen. Efek netto
insulin terhadap metabolisme glikogen, juga bersifat anabolik.3

2.5.3 Efek Insulin Terhadap Glukoneogenesis

Kerja insulin terhadap pengangkutan glukosa, glikolisis dan glikogenesis


terjadi dalam waktu beberapa detik atau beberapa menit, karena semua peristiwa ini
terutama melibatkan akitavsi atau inaktivasi enzim lewat reaksi fosforilasi atau
defosforilasi. Efek yang berlangsung lebih lama terhadap glukosa plasma meliputi
inhibisi glukoneogenesis oleh insulin. Pembentukan glukosa dari prekursor
nonkarbohidrat melibatkan serangkaian tahap enzimatik yang banyak diantranya
dirangsang oleh preparat α serta β adrenergik, yaitu angiotensin II dan vasopresin.
Insulin menghambat tahap yang sama ini. Enzim glukoneogenik yang menjadi kunci
di dalam hati adalah phosfoenolpiruvat karboksikinase (PEPCK, phosphoenol
pyruvat carboxykinase) yang mengubah oksaloasetat menjadi phosfoenolpiruvat.
Insulin menurunkan jumlah enzim ini dengan menghambat secara selektif transkirpsi
gen yang mengkode mRAN bagi PPCK.3

2.5.4 Efek Insulin Terhadap Metabolisme Glukosa

Kerja lipogenik insulin telah dibicarakan dalam konteks mengenai


penggunaan glukosa. Insulin juga merupakan inhibitor kuat proses lipolisis dalam
hati serta jaringan adiposa dan dengan demikian memiliki efek anabolik tak langsung.
Hal ini sebagian disebabkan oleh kemampuan insulin untuk menurunkan kadar cAMP
(yang dalam jaringan ini ditingkatkan oleh homon lipolitik glukagon dan epinefrin)

10
tetapi juga oleh kenyataan bahwa insulin juga menghambat aktivitas enzim lipase.
Inhibisi ini disebabkan oleh akitvasi fosfatase yang melakukan reaksi defosforilasi
dan dengan demikian meniadakan keaktifan enzim lipase atau enzim protein kinase
yang bergantung pada cAMP. Karena itu, insulin menurunkan kadar asam lemak
bebas yang berbeda. Hal ini turut menghasilkan kerja insulin terhadap metabolisme
karbohidrat, mengingat asam lemak menghambat glikolisis pada beberapa tahap dan
menstimulasi glukoneogeneis. Jadi, pengaturan metabolik tidak dapat dibicarakan
dalam konteks suatu hormon atau metabolit yang tunggal. Proses pengaturan
merupakan proses yang kompleks dimana aliran suatu lintasan tertentu terjadi akibat
interaksi sejumlah hormon dan metabolit.5

Pada pasien defisiensi insulin akan terjadi peningkatan aktifitas enzim lipase
yang mengakibatkan penggalakan lipolisis dan peningkatan konsentrasi asam lemak
bebas dalam plasma serta hati. Kadar glukon juga meningkat pada pasien ini dan hal
ini menggiatkan pelepasan asam lemak bebas. Glukagon melawan sebagian besar
kerja insulin, dan keadaan metabolisme pada diri seorang penderita diabetes
merupakan pencerminan kadar relatif glukagon dan insulin. Sebagian asam lemak
bebas dimetabolisasi menjadi asetil KoA daan kemudian menjadi CO2 dn H2O lewat
siklus asam sitrat.4,5

2.5. Manifestasi Klinis


Sekitar 80% pasien ketoasidosis diabetik adalah pasien DM yang sudah
dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali ketoasidosis
diabetik sebagai komplikasi akut DM dan segera mengatasinya. Sesuai dengan
patofisiologi ketoasidosis diabetik, maka pada pasien ketoasidosis diabetik dijumpai
pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit
berkurang, lidah dan bibir kering), ketoasidosis diabetic yang disertai hipovolemia
sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium.1,5
Areateus menjelaskan gambaran klinis ketoasidosis diabetik sebagai keluhan
poliuri dan polidipsi sering kali mendahului ketoasidosis diabetik serta didapatkan
riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan

11
gejala yang sering dijumpai pada ketoasidosis diabetik anak. Dapat pula dijumpai
nyeri perut dan berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung.1
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai compos mentis, delirium,
depresi sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab
penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi
merupakan factor pencetus yang paling sering. Infeksi yang paling sering ditemukan
ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah
infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri
abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, appendicitis,
diverticulitis, atau perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukkan respon yang baik
terhadap pengobatan ketoasidosis diabetik, maka perlu dicari kemungkinan infeksi
tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal).1

2.6. Diagnosis
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa
hari, perubahan metabolik yang khas untuk ketoasidosis diabetik biasanya tampak
dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat
tampak atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi ketoasidosis
diabetik tanpa gejala atau tanda ketoasidosis diabetik sebelumnya.1,6,7

Klinis:
a. Keluhan poliuria, polidipsi
b. Riwayat berhenti menyuntik insulin

12
c. Demam/ infeksi
d. Muntah
e. Nyeri perut
f. Kesadaran: compos mentis, delirium, koma
g. Pernapasan cepat dan dalam (kussmaul)
h. Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering)
i. Dapat disertai syok hipovolemik
j. Nafas berbau keton

13
2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah
cairan hipotonis (1/2 N, 2A). Pemantauan kadar glukosa darah harus lebih ketat, dan
pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respon penurunan kadar glukosa
darah lebih baik.8
Penatalaksanaan HHNK memerlukan monitoring yang lebih ketat terhadap
kondisi dan responnya terhadap terapi yang diberikan. Pasien-pasien tersebut harus
dirawat, dan sebagian besar dari pasien-pasien tersebut sebaiknya di rawat di ruang
rawat intensif atau intermediate.8
Penatalaksanaan HHNK yaitu dengan pemberian oksigen 10 L/menit dan
meliputi lima pendekatan: 1) rehidrasi intravena yang agresif, 2) penggantian
elektrolit, 3) pemberian insulin intravena, 4) diagnosis dan manajemen faktor
pencetus dan penyakit penyerta, 5) pencegahan.8

1.9.1 Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK adalah
penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL perkg, atau
total rat-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik akan dapat menyebabkan overload
cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat

14
dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya
sebaiknya diberikan 1 L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok
hipovolemi, mungkin dibutuhkan plasma ekspander.9

1.9.2 Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui dengan pasti, karena
kadar kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang sebenarnya
akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum
masuk ke dalam sel. Kadar elektrolit harus dipantau terus menerus dan irama jantung
pasien juga harus dimonitor.9
Jika kadar kalium awal <3,3 mEq/L, pemberian insulin ditunda dan diberikan
kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai kadar kalium
setidaknya 3,3 mEq/L). Jika kadar kalium lebih besar dari 5 mEq/L, sebaiknya kadar
kalium harus diturunkan sampai di bawah 5,0 mEq/L dan sebaiknya kadar kalium
perlu dimonitor tiap 2 jam. Jika kadar awal kalium antara 3,3-5 mEq/L, maka 20-30
mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3
kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan kadar kalium antara 4
mEq/L dan 5 mEq/L.9

15
16
1.9.3 Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian cairan
yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka
cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi,
kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal
0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai
kadar glukosa darah turun antara 250 mg/dL sampai 300 mg/dL. Jika kadar glukosa
darah tidak turun 50-70 mg/dl per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan.
Ketika kadar glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan
dekstrose secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale  sampai
pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.9

2.8. Komplikasi

17
2.10.1 Hipoglikemia dan hypokalemia

Sebelum  penggunaan  protokol  insulin  dosis  rendah,  kedua  komplikasi 


ini  dapat  dijumpai pada  kurang  lebih  25%  pasien  yang  diterapi  dengan  insulin 
dosis  tinggi.  Kedua  komplikasi  ini diturunkan  secara  drastis  dengan 
digunakannya  terapi  insulin  dosis  rendah.  Namun, hipoglikemia tetap merupakan 
salah  satu  komplikasi  potensial  terapi  yang  insidensnya  kurang  dilaporkan 
secara baik. Penggunaan cairan infus menggunakan dekstrosa pada saat kadar glukosa
mencapai 250 mg/dL pada KAD dengan diikuti penurunan laju dosis insulin dapat
menurunkan insidens hipoglikemia lebih lanjut. Serupa dengan hipoglikemia,
penambahan kalium pada cairan hidrasi dan pemantauan kadar kalium serum ketat
selama fase-fase awal KAD dan KHH dapat menurunkan insidens hypokalemia.1,2

2.10.2 Edema Serebral

Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah


dikenal lebih dari 25 tahun. Penurunan ukurnan ventrikel lateral secara signifikan,
melalu pemeriksaan eko-ensefalogram, dapat  ditemukan  pada  9  dari  11  pasien 
KAD  selama  terapi.  Meskipun  demikian,  pada  penelitian lainnya, sembilan anak
dengan KAD diperbandingkan sebelum dan sesudah terapi, dan disimpulkan bahwa 
pembengkakan  otak  biasanya  dapat  ditemukan  pada  KAD  bahkan  sebelum 
terapi dimulai.3

Edema  serebral  simtomatik,  yang  jarang  ditemukan  pada  pasien  KAD 


dan  KHH  dewasa,  terutama ditemukan pada pasien anak dan lebih sering lagi pada
diabetes awitan pertama. Tidak ada faktor tunggal yang diidentifikasikan dapat
memprediksi kejadian edema serebral pada  pasien  dewasa.  Namun,  suatu  studi 
pada  61  anak  dengan  KAD  dan  serebral  edema  yang dibandingkan  dengan  355 
kasus  matching  KAD  tanpa  edema  serebral,  menemukan  bahwa penurunan 
kadar  CO2  arterial  dan  peningkatan  kadar  urea  nitrogen  darah  merupakan 
salah  satu faktor risiko untuk edema serebral. Untuk kadar CO2 arterial ditemukan

18
setiap penurunan 7,8 mmHg PCO2  meningkatkan  risiko  edema  serebral  sebesar 
3,4  kali  (OR  3,4;  95%  CI  1,9  –  6,3,  p<0,001).3

Sedangkan untuk kadar urea nitrogen darah setiap penurunan kadar sebesar 9
mg/dL meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali (OR 1,7; 95% CI 1,2 – 2,5, p=0,003).
(19) Suatu pengalaman lebih dari 20 tahun penanganan pasien KAD dengan edema
serebral pada sebuah  rumah  sakit  Australia  menyimpulkan  langkah  yang  dapat 
dilakukan  untuk  mencegah  KAD. Disarankan  protokol  yang  menggunakan 
hidrasi  lambat  dengan  cairan  isotonik  direkomendasikan untuk menangani pasien
dengan KAD. Beberapa studi lain juga menemukan hubungan antara edema serebral 
dengan  laju  pemberian  cairan  yang  tinggi,  terutama  pada  jam-jam  pertama 
resusitasi cairan. Rekomendasi terkini adalah membatasi pemberian cairan pada 4 jam
pertama terapi dengan <50 ml/kgBB cairan isotonik.3

Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)


Suatu  komplikasi  yang  jarang  ditemukan  namun  fatal  adalah  sindrom  distres 
napas  akut dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan  dan  elektrolit,
peningkatan tekanan koloid osmotik awal dapat diturunkan sampai kadar subnormal.
Perubahan ini disertai dengan penurunan progresif tekanan  oksigen  parsial  dan 
peningkatan  gradien  oksigen  arterial  alveolar  yang  biasanya  normal pada  pasien 
dengan  KAD  saat  presentasi.  Pada  beberapa  subset  pasien  keadaan  ini  dapat
berkembang  menjadi  ARDS.  Dengan  meningkatkan  tekanan  atrium  kiri  dan 
menurunkan  tekanan koloid  osmotik,  infus  kristaloid  yang  berlebihan  dapat 
menyebabkan  pembentukan  edema  paru (bahkan  dengan  fungsi  jantung  yang 
normal).  Pasien  dengan  peningkatan  gradien  AaO2  atau  yang mempunyai  rales 
paru  pada  pemeriksaan  fisis  dapat  merupakan  risiko  untuk  sindrom  ini.1

Pemantauan  PaO2  dengan  oksimetri  nadi  dan  pemantauan  gradien  AaO2 


dapat  membantu  pada penanganan pasien ini. Oleh karena infus kristaloid dapat
merupakan faktor utama, disarankan pada pasien-pasien  ini  diberikan  infus  cairan 

19
lebih  rendah  dengan  penambahan  koloid  untuk  terapi hipotensi yang tidak
responsif dengan penggantian kristaloid.1

2.10.3 Asidosis metabolik hiperkloremik

Asidosis  metabolik  hiperkloremik  dengan  gap  anion  normal  dapat 


ditemukan  pada  kurang lebih  10%  pasien  KAD;  meskipun  demikian  hampir 
semua  pasien  KAD  akan  mengalami  keadaan  ini setelah  resolusi  ketonemia. 
Asidosis  ini  tidak  mempunyai  efek  klinis  buruk  dan  biasanya  akan membaik
selama 24-48 jam dengan ekskresi ginjal yang baik. Derajat keberatan hiperkloremia
dapat diperberat dengan pemberian klorida berlebihan oleh karena NaCl normal
mengandung 154 mmol/L natrium dan klorida, 54 mmol/L lebih tinggi dari kadar
klorida serum sebesar 100 mmol/L. Sebab  lainnya  dari  asidosis  hiperkloremik  non 
gap  anion  adalah:  kehilangan  bikarbonat potensial oleh karena ekskresi ketoanion
sebagai garam natrium dan kalium; penurunan availabilitas bikarbonat  di  tubulus 
proksimal,  menyebabkan  reabsorpsi  klorida  lebih  besar;  penurunan  kadar
bikarbonat  dan  kapasitas  dapar  lainnya  pada  kompartemen-kompartemen  tubuh. 
Secara  umum, asidosis  metabolik  hiperkloremik  membaik  sendirinya  dengan 
reduksi  pemberian  klorida  dan pemberian cairan hidrasi secara hati-hati. Bikarbonat
serum yang tidak membaik dengan parameter metabolik  lainnya  harus  dicurigai 
sebagai  kebutuhan  terapi  insulin  lebih  agresif  dan  pemeriksaan lanjutan.10

2.10.4 Trombosis vascular

Banyak  karakter  pasien  dengan  KAD  dan  KHH  mempredisposisi  pasien 


terhadap  trombosis, seperti:  dehidrasi  dan  kontraksi  volume  vaskular,  keluaran 
jantung  rendah,  peningkatan viskositas darah  dan  seringnya  frekuensi 
aterosklerosis.  Sebagai  tambahan,  beberapa  perubahan  hemostatik dapat 
mengarahkan  kepada  trombosis.  Komplikasi  ini  lebih  sering  terjadi  pada  saat 
osmolalitas sangat  tinggi.  Heparin  dosis  rendah  dapat  dipertimbangkan  untuk 

20
profilaksis  pada  pasien  dengan risiko  tinggi  trombosis,  meskipun  demikian 
belum  ada  data  yang  mendukung  keamanan  dan efektivitasnya.10

2.9 Prognosis
Keterlambatan penanganan ketoasidosis diabetikum akan meningkatkan risiko
kematian. Oleh karena itu, diagnosis dini dan penanganan yang cepat dan tepat dalam
waktu 6 jam pertama sangat penting untuk menurunkan risiko kematian ini. penderita
dengan DKA meningkatkan risiko kematian.2
Angka kematian DKA adalah sekitar 0,2%-2%, nilai tertinggi pada negara
berkembang. Pasien yang datang dengan koma pada saat diagnosis, hipotermia, dan
oliguria prognosisnya buruk. Di sisi lain, pasien yang ditangani dengan cepat dan
tepat akan memiliki prognosis yang baik tanpa terjadi sekuela, khususnya pada pasien
muda tanpa infeksi.2
Terjadinya komplikasi edema serebral akan meningkatan morbiditas dan
mortalitas, terutama bila tidak tertangani dengan cepat dan benar. Prognosis juga akan
memburuk pada orang lanjut usia dengan komorbid seperti infark miokard, sepsis,
atau pneumonia, serta tidak tersedianya ICU.2,10

21
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Ny. IA
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Gerung
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT

3.1. Anamnesis
Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak ±3 jam SMRS.

22
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 3
jam SMRS, pasien menjadi tidak respon saat diajak berbicara(+), kelemahan
sesisi tubuh(-), kejang (-).
Sejak ± 2 minggu ini pasien juga mengeluhkan lemas, sering buang air
kecil, dan sering merasa haus. Pasien diketahui sakit kencing manis sejak ± 3
tahun  yang lalu. Sejak ± 3 tahun yang lalu pasien merasa sering lapar dan
haus walaupun sudah banyak makan dan minum, serta mengeluh badan sering
terasa lemas. Namun pasien tidak minum obat rutin dan hanya minum
ramuan-ramuan tradisonal.
Pasien juga mengeluhkan sesak napas, sesak yang dirasakan cepat dan
dalam. Keluhan tersebut tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca dan emosi.
Sesak tidak berkurang dengan istirahat. Tidak ada nyeri dada (-), sembab pada
tubuh (-), berdebar-debar (-), dan tidak ada batuk. Demam (+), demam turun
jika diberi obat penurun panas. mual (+), muntah (-) nyeri ulu hati (-). BAB(+)
normal, BAK sering > 10 kali perhari.

3.2 Anamnesa Tambahan


Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat pernah mengalami keluhan yang sama (-)

Riwayat trauma kepala tidak ada (+)

Riwayat diabetes mellitus tidak terkontrol ± 3 tahun lalu (+), hipertensi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan yang
sama

Riwayat diabetes mellitus pada keluarga disangkal

23
Riwayat Penggunaan Obat :

Pasien pernah mengkonsumsi obat DM, namun tidak rutin


dikomsumsi dan pasien lupa nama obatnya

Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan :

Pasien telah menikah dan sehari-harinya merupakan ibu rumah tangga.

3.3 Status Present


a. Keadaan Umum : tampak sakit berat

Kesadaran : delirium

GCS : E2 V4 M1

Status Gizi : TB : 159 cm

BB : 67 kg

b. Tanda Vital

Tekanan Darah : 139/84 mmHg

Nadi : 104 x/menit

Pernapasan : 36 x/menit, reguler, tipe pernafasan kussmaul

Suhu : 38,3˚C

3.4 Pemeriksaan Fisik


a. Status Internus
Kulit : Warna sawo matang, scar (-), ikterus pada kulit (-),
sianosis (-), pertumbuhan rambut normal

Kepala : Normochepali, tidak teraba benjolan maupun luka

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pupil

24
bulat isokor diameter (3 mm/ 3 mm), refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya langsung dan tidak
langsung (+/+), edema palpebral (-/-)

Telinga : Bentuk normal, simetris (+/+), deformitas (-/-), tanda

radang (-/-), pengeluaran sekret (-/-), nyeri tekan (-/-)

Hidung : Bentuk normal, pernapasan cuping hidung (-), simetris


(+), deviasi septum (-), rhinorrhea (-/-), epistaksis (-/-)

Mulut : Sianosis sentral (-), stomatitis (-), lidah bentuk

normal, atrofi papil lidah (-), lidah tremor (-), lidah


kotor (-), gigi utuh, gigi palsu (-), gusi berdarah (-),
tonsil (T1/T1), uvula di tengah, faring hiperemis (-)

Leher : Bentuk normal, simetris (+), teraba massa (-), deviasi


trakea (-), pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-), peningkatan TVJ (-) R-2cm H2O

Thoraks
Inspeksi : Bentuk simetris (+/+), pertinggalan pergerakan
pernapasan (-), jejas (-), massa (-), spider navi (-),
Barrel chest (-), retraksi dinding dada (-/-)

Palpasi : Stem fremitus kanan = stem fremitus kiri

Perkusi : Sonor (+/+) pada semua lapangan paru

Auskultasi : Suara pernapasan : Vesikuler (+/+), suara tambahan :


Wheezing (-/-) Rhonki (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

25
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikula
sinistra

Perkusi : Batas jantung : Atas : ICS III linea midklavikula


sinistra, Kanan : ICS IV linea parasternals dextra, Kiri :
ICS V linea aksilaris anterior sinistra

Auskultasi : A2>A1, P2>P1, M2>M1 reguler, murmur (-), gallop


(-), Bising (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris

Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-), organomegali (-)

Perkusi : Tympani (+)

Auskultasi : Peristaltik usus (+)

Ekstremitas
Ektremitas : akral hangat + + Edema - -
+ + - -
Turgor kembali lambat + + Hiperemis - -
+ + - -

 Gerakan
Tangan : Kanan (normal), Kiri (normal)

Kaki : Kanan (normal), Kiri (normal)

 Kekuatan Otot
Tangan : Kanan (4444), Kiri (4444)

Kaki : Kanan (4444), Kiri (4444)

 Tonus

26
Tangan : Kanan (normotoni), Kiri (normotoni)

Kaki : Kanan (normotoni), Kiri (normotoni)

 Trofi
Tangan : Kanan (normotrofi), Kiri (normotrofi)

Kaki : Kanan (normotrofi), Kiri (normotrofi)

Genetalia
Tidak dilakukan pemeriksaan

3.5 Pemeriksaan Penunjang :


1. Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap
Jenis pemeriksaan Hasil Normal

Darah Lengkap

Hemoglobin 14,8 g/dl L : 14,0 – 17,5 g/dl P : 12 ,3


– 15,3g/dl

RBC 5,72 + 106/ µL L : 4,5 – 5,9 P : 4,1 – 5,1

HCT 41,4 % L : 40,0–52,0 P : 34,0–47,0

MCV 72,4 - fL 80,0 – 97,0 fL

MCH 25,9 - pg 26,5 – 33,5 pg

MCHC 35,7 g/dl 31,5 – 35,0 g/dl

RDW-SD 35,0 - Fl 35–47

RDW-CV 13,2 % 11,5–14,5

WBC 16,18 + 103/uL 4–11

Eosinofil 0,2 % 2–4%

Basofil 0,5 % 0–1%

Neutrofi 71,2 % 50 – 70 %

Limfosit 21,0 % 25– 40 %

27
Monosit 7,1 % 2–8%

PLT 365 103/uL 150-450

2. Pemeriksaan GDS = 594 mg/dl


3. Pemeriksaan EKG
Irama sinus, HR: 120 x/m, gelomban P normal, PR interval 0,12 detik,
QRS kompleks 0,04 detik.

3.6 Diagnosa :
Penurunan Kesadaran ec KAD dd HONK

Rencana Pemeriksaan :

1. 4 jam kemudian cek ulang KGD


2. Pemeriksaan Darah Rutin
3. Pemeriksaan Elektrolit
4. Pemriksaan Urinalisis
5. Analisa Gas Darah
6. EEG

3.7 Penatalaksanaan :
 Non Farmakologis :
Tirah Baring

 Farmakologis :
O2 2-3 l/i

IVFD NaCl 0,9% guyur 2 liter → 20 tpm

SP Insulin 2 UI

Inj. Ceftriaxone 1gr/ 12 jam

28
KSR 2 x 600 mg

Ramipril 1 x 25 mg

3.8 Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak ±3 jam


SMRS. Penurunan kesadaran dapat terjadi dalam berbagai kondisi, seperti gangguan
sistem saraf pusat, syok, atau gangguan elektrolit dan metabolik. Pada kasus ini,
pasien mengalami penurunan kesadaran dengan kondisi tidak respon diajak bicara
atau kesadaran apatis. Tidak ditemukan adanya kelemahan sesisi tubuh atau bicara
pelo, hal ini menyingkirkan kemungkinan stroke. Pasien tidak mengalami demam,
tidak ada kejang dan tidak ada tanda-tanda defisit neurologis, menyingkirkan
kemungkinan penurunan kesadaran akibat infeksi saraf pusat seperti ensefalitis atau
meningoensefalitis. Tidak ada riwayat trauma, menyingkirkan kemungkinan
penurunan kesadaran karena lesi di otak akibat trauma seperti EDH, SDH, ataupun
SAH. Sehingga, penurunan kesadaran akibat gangguan di sistem saraf pusat untuk
sementara dapat disingkirkan.

29
Keadaan umum pasien saat datang tampak sakit berat, dengan tekanan darah
139/84 mmHg, dan nadi 104 x/menit, regular dengan isi dan tegangan nadi cukup,
laju pernafasan 36 x/menit, nafas cepat dan dalam. Tekanan darah yang tinggi dan
nadi dengan isi dan tegangan yang cukup pada pasien menyingkirkan kemungkinan
penurunan kesadaran akibat syok. Namun pada pernafasan didapatkan takipneu
dengan tipe pernafasan kussmaul. Hal ini mengarahkan pada kemungkinan kondisi
asidosis. Sehingga penurunan kesadaran akibat gangguan metabolik belum dapat
disingkirkan. Hal ini semakin diperkuat dari anamnesis bahwa pasien memiliki
riwayat diabetes mellitus sejak ± 3 tahun  yang lalu dan tidak rutin minum obat.
Pasien tidak memiliki riwayat sakit ginjal, sehingga kemungkinan penurunan
kesadaran akibat komplikasi penyakit ginjal dapat disingkirkan

Beberapa kondisi gangguan metabolik yang dapat menyebabkan penurunan


kesadaran terutama pada pasien diabetes melitus adalah hipoglikemia berat atau krisis
hiperglikemi (terdiri dari ketoasidosis diabetikum dan status hiperglikemi
hiperosmolar). Untuk dapat membedakan kondisi ini, maka dibutuhkan pemeriksaan
gula darah. Pada pasien didapatkan gula darah saat datang ke IGD adalah 594 mg/dL.
Kondisi gula darah yang tinggi ini menyingkirkan penyebab penurunan kesadaran
akibat hipoglikemi. Sedangkan kemungkinan ketoasidosis diabetikum dan status
hiperglikemi hiperosmolar belum dapat disingkirkan.

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang


ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut dan relative. Pada kasus didapatkan kadar gula sewaktu 594
mg/dl.

Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung


insulin disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat proses autoimun.
Sedangkan non insulin dependen diabetik melitus (NIDDM) atau diabetes mellitus
tidak tergantung insulin disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin.
Penyebab lainnya seperti : Infeksi, Kelainan vaskuler (infark miokard akut), Kelainan
endokrin (hipertyroidisme, sindroma chusing), Trauma, Kehamilan, Stres emosional,

30
Peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin, kortisol, glukagon). Pada kasus
didapatkan dari hasil alloanamnesa pasien memiliki riwayat diabetes mellitus dan
tidak ada riwayat keluarga menderita penyakit yang sama dengan pasien, pada hasil
laboratorium darah rutin didapatkan leukosit pasien 16,18 + 103/uL.
Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh tubuh
dengan peningkatan pelepasan CO2 ke luar tubuh melalui peningkatan ventilasi yang
dalam (pernafasan kussmaul). Akibat dari asidosis metabolik dan penurunan
penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma sampai meninggal. Pada
kasus didapatkan dari pemeriksaan vital sign TD : 139/84 mmHg, nadi : 104
kali/menit, frekuensi nafas : 36 kali/menit, temperatur : 38,30c.
Areateus menjelaskan gambaran klinis ketoasidosis diabetik sebagai keluhan
poliuri dan polidipsi sering kali mendahului ketoasidosis diabetik serta didapatkan
riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Derajat kesadaran pasien
dapat dijumpai mulai compos mentis, delirium, depresi sampai koma. Bila dijumpai
kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya
uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan factor pencetus yang
paling sering. Infeksi yang paling sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan
pneumonia. Pada kasus didapatkan dari hasil alloanamnesa pasien sering merasa
cepat haus dan sering kencing walaupun sering minum.
Setelah diagnosis ketoasidosis diabetikum ditegakkan, dilakukan tatalaksana
awal, yaitu rehidrasi. Tindakan rehidrasi didasarkan pada kondisi hiperglikemi yang
mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Perubahan
tersebut akan memicu lebih lanjut hormon stress sehingga akan terjadi perburukan
hiperglikemia dan ketonemia. Jika lingkaran setan tersebut tidak diinterupsi dengan
pemberian insulin dan cairan, maka akan terjadi dehidrasi berat dan asidosis
metabolik yang fatal. Pada kasus ketoasidosis diabetikum terjadi dehidrasi pada
tingkat sel sehingga harus dilakukan terapi cairan. Terapi cairan ini ditujukan untuk
ekspansi cairan intraseluler, intravaskular dan interstisial. Pada kasus ini, dari
pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda dehidrasi pada pasien, seperti turgor kulit
kembali lambat dan bibir tampak kering, yang menunjukkan adanya kondisi

31
dehidrasi. Sehingga harus dilakukan terapi cairan dengan atau rehidrasi dengan cairan
isotonis, pada kasus diberikan NaCl 2 Liter yang dihabiskan dalam waktu 4 jam.
Dilakukan pemantauan urin output, didapatkan urin output post rehidrasi 900 cc/4
jam.

Tatalaksana setelah dilakukan rehidrasi adalah terapi kausatif dengan


pemberian insulin. Algoritma pemberian insulin berdasarkan panduan praktik klinis
PAPDI adalah sebagai berikut:

Pada kasus ini, setelah terapi cairan, os diberi insulin bolus yang dilanjutkan
dengan drip insulin dalam 500 cc NaCl 0,9% dan dilakukan pemantauan gula darah.
Setelah target gula darah tercapai, dilakukan transisi dari drip insulin menjadi insulin
subcutan.

Setelah kondisi ketoasidosis diabetikum dalam perbaikan, hal yang penting


untuk dilakukan selanjutnya adalah mencari pencetus terjadinya ketoasidosis. Ada
banyak kondisi yang bisa mencetuskan terjadinya KAD seperti infeksi, infark
miokard, stroke, pankreatitis, dan obat-obatan. Pada pasien ini pencetus terjadinya
KAD adalah luka yang tak sembuh pada kelingking kaki kiri yang merupakan sumber
infeksi. Secara statistik juga menyebutkan bahwa infeksi merupakan pencetus paling
sering terjadinya KAD. Infeksi luka pada kaki yang terjadi pada os akan
meningkatkan konsentrasi hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol,
dan growth hormon), dan ditambah keadaan defisiensi insulin akan menyebabkan
produksi glukosa hati dan ginjal meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh
menurun sehingga terjadi hiperglikemi hiperosmolar. Peningkatan hormon
kontraregulasi juga pada akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benda
keton melalui aktivasi hormon lipase (terutama oleh epinefrin) sehingga terjadi
lipolisis dan ketogenesis yang hasilnya adalah ketonemia dan asidosis metabolik.
Keadaan hiperglikemi hiperosmolar dan ketonemia ini akan menyebabkan terjadinya
diuresis osmotik sehingga menimbulkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit yang
selanjutnya meningkatkan hormon stress dan sikuspun kembali berlanjut dan
memunculkan berbagai manifestasi klinis KAD (kussmaul, dehidrasi, penurunan

32
kesadaran) Oleh karena itu, selain mengatasi KAD, juga harus diberikan tatalaksana
yang adekuat terkait ulkus pada pedis yang merupakan awal dari patogenesis
terjadinya KAD pada kasus ini.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
a. Ketoasidosis diabetic merupakan suatu kondisi akut dan mengancam jiwa
akibat kekurangan insulin relatif atau absolut yang ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis, serta ketonemia/ketonuria.

b. Ketoasidosis diabetikum disebabkan oleh kekurangan pemberian


kebutuhan insulin eksogen atau karena peningkatan kebutuhan insulin
akibat keadaan atau stress tertentu. Manifestasi klinis KAD sangat
bervariasi dan seringkali menyerupai gejala klinis penyakit lain.

c. Tatalaksana KAD selanjutnya adalah koreksi cairan yang adekuat,


pemberian insulin yang tepat, koreksi asidosis dan elektrolit serta
pemantauan yang ketat.

33
d. Pengenalan tanda-tanda KAD dan tatalaksana yang cepat dan tepat dapat
menurunkan mortalitas, morbiditas dan menekan biaya rawat akibat KAD.
Pencegahan dengan suatu program yang komprehensif dan terintegrasi
merupakan suatu langkah terpenting untuk menghindari berulangnya KAD.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Seitiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 th
ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.p. 1896-9.
2. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2016. Hal 1157-1166
3. Bakta IM, Suastika IK. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta. 1999.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison- Prinsip-Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam. Vol 1. Jakarta.EGC.2015;p 243.
5. Gotera W, Budiyasa D G. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD). J Peny
Dalam. Mei 2010; 11 (2): 126-138
6. Charfen M A, Fernandez-Frackelton. Diabetic Ketoacidosis. Emerg Med Clin N
Am 2005; 23: 609-628

34
7. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA Fam Prac.
2008; 50: 39-49.
8. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. Jakarta.
2002. Guneysel O, Guralp I, Onur O. Bicarbonate Therapy in Diabetic
Ketoacidosis. Bratisl Lek Listy. 2009;109 (10): 453-4.
9. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.2015.p.10-15
10. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus. English, P and
Williams, G. Liverpool:s.n., October.2003.Postgrand Med. Vol. 80.
Pp.253-261.

35

Anda mungkin juga menyukai