KETOASIDOSIS DIABETIKUM
DISUSUN OLEH :
Pembimbing
TAHUN 2021/2022
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien yang sudah dikenal memiliki riwayat
DM. Gambaran klinik KAD dapat dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),
berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), dan
terkadang disertai hipovolemia dan syok. Derajat kesadaran pasien bisa beragam,
mulai dari kompos mentis, delirium, atau depresi hingga koma.1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Diabetes melitus adalah sindrom yang disebabkan ketidakseimbangan antara
tuntunan dan suplai insulin. Sindrom ditandai oleh hiperglikemi dan berkaitan dengan
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Abnormalitasmetabolik ini
mengarah pada perkembangan bentuk spesifik komplikasi ginjal, okular, neurologik
dan kardiovaskuler.1
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut dan relatif (Saksono, 2015). KAD merupakan salah satu
komplikasi akut DM yang ditandai dengan dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan
asidosis. Pasien KAD biasanya mengalami dehidrasi berat akibat diuresis osmotik
dan bahkan dapat menyebabkan syok sehingga membutuhkan pengelolaan gawat
darurat.2
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes melitus yang
serius, suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi. KAD memerlukan
pengelolaan yang cepat dan tepat, mengingat angka kematiannya yang tinggi.
Pencegahan merupakan upaya penting untuk menghindari terjadinya KAD.
Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai
gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini terkadang disebut
“akselerasi puasa” dan merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada
diabetes ketergantungan insulin. Ketoasidosis diabetikum adalah kasus kedaruratan
endokrinologi yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.
Ketoasidosis Diabetikum terjadi pada penderita IDDM (atau DM tipe II). 2
2.2. Epidemiologi
4
Insiden tahunan KAD pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) adalah 1-
5%, berdasarkan beberapa studi yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat dan
terlihat konstan dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara barat. Namun
demikian studi epidemiologi terbaru memperkirakan insiden total akan mengalami
peningkatan, terutama disebabkan oleh peningkatan kasus diabetes mellitus tipe 2
(DMT2). Laju insiden tahunan KAD diperkirakan antara 4,6 sampai 8 per 1000
pasien dengan diabetes. Sedangkan insidens DMT2 sendiri di Indonesia, diperkirakan
berkisar antara 6-8% dari total penduduk.3
Laporan insiden ketoasidosis diabetik di Indonesia umumnya berasal dari data
rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2 (Soewondo, 2009). Angka kematian
pasien dengan ketoasidosis diabetik di negara maju kurang dari 5% pada banyak
senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5-10%, 2-10%, atau 9-10%.1
2.3. Etiologi
Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung
insulin disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat proses autoimun.
Sedangkan non insulin dependen diabetik melitus (NIDDM) atau diabetes mellitus
tidak tergantung insulin disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa
oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya. Artinya
terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya
sekresi insulin pada perangsangan sekresi insulin, berarti sel B pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa.
Penyebab lainnya seperti : infeksi, kelainan vaskuler (infark miokard akut),
kelainan endokrin (hipertyroidisme, sindroma chusing), trauma, kehamilan, stres
emosional, peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin, kortisol, glukagon).
5
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan), sehingga semua keadaan tersebut
menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utililisasi glukosa oleh sel tubuh
menurun, dengan hasil akhir hiperglikemi.
Akibat dari defisiensi insulin absolut, pasien mengalami: (1) hiperglikemi dan
glukosuria berat, (2) penurunan lipogenesis, (3) peningkatan lipolisis dan peningkatan
oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat,
hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.
Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis
metabolik. Glukosuria dan ketonuria akan menyebabkan diuresis osmotik yang
menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium,
magnesium, fosfat dan klorida. Akibat dari kehilangan air yang banyak (poliuria)
akan menimbulkan uremia prarenal dan syok hipovolemi. Asidosis metabolik yang
hebat sebagian akan dikompensasi oleh tubuh dengan peningkatan pelepasan CO2 ke
luar tubuh melalui peningkatan ventilasi yang dalam (pernafasan kussmaul). Akibat
dari asidosis metabolik dan penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan
6
mengalami koma sampai meninggal. Muntah biasanya sering terjadi akibat dari
asidosis metabolik dengan perangsangan pusat muntah di otak sehingga akan
mempercepat kehilangan air dan elektrolit.3
2.5.1 Suplemen
Peranan utama insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dapat
dipahami paling jelas dengan memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin pada
manusia. Manifestasi utama penyakit diabetes melitus adalah hiperglikemia, yang
terjadi akibat (1) berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel, 2)
berkurangnya penggunaan glukosa oleh pelbagai jaringan, 3) peningkatan produksi
glukosa (glukoneogenesis) oleh hati. Masing-masing peristiwa ini akan dibicarakan
lebih rinci sebagai berikut:
7
plasma dicapai (pada manusia umumnya > 180 mg/dl), taraf maksimal reabsorbsi
glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam
urin (glikouria). Volume urin meningkat akibat terjadinya diuersis osmotik dan
kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang bersamaan (poliuria), kejadian
ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas), tubuh akan segera
memberikan sinyal kepusat rangsangan haus di hipotalamusa akibat dari poliuria dan
dehidrasi sehingga gejala yang ditimbulkan yaitu banyak minum (polidipsia).
Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4,1 kal bagi setiap
gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), kehilangan ini, kalau ditambah lagi
dengan deplesi jaringan otot dan adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat badan
yang hebat sehingga tubuh akan mengkompensasi dengan merangsang pusat lapar di
otak dengan peningkatan selera makan (polifagia).3
Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan ini
sebagian terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot (asam
amino berfungsi sebagai substrat glukoneogenik). Jadi, orang yang kekurangan
insulin berada dalam keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja antiinsulin hilang
seperti halnya efek lipogenik yang dimilikinya; dengan demikian kadar asam lemak
plasma akan meninggi. Kalau kemampuan hati untuk mengaoksidasi asam lemak
terlampaui, maka senyawa asam β hidroksibutirat dan asam asetoasetat akan
bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat mengimbangi pengumpulan asam
organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO2 lewat sistem respirasi, namun bila
keadaan ini tidak dikendalikan dengan peningkatan insulin, maka akan terjadi asidosi
metabolik dan pasien akan meninggal dalam keadaan koma diabetik.4
8
Sebenarnya, hanya 5% dari jumlah glukosa yang dikonsumsi, diubah menjadi
lemak pada penderita diabetes yang kekurangan hormon insulin. Hormon insulin
meningkatkan glikolisis hepatik dengan menaikkan aktivitas dan jumlah beberapa
enzim yang penting termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase.
Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa dan dengan
demikian secara tidak langsung menurunkan pelepasan glukosa ke dalam plasma.
Insulin juga menurunkan aktivitas glukosa 6-fosfatase, yaitu suatu enzim yang
ditemukan dalam hati tetapi tidak terdapat pada otot. Karena glukosa 6 fosfat tidak
dapat keluar dari membran plasma, kerja insulin ini mengakibatkan retensi glukosa
dalam sel hati.3,4
Dengan demikian efek netto insulin terhadap lemak bersifat anabolik. Kerja
akhir insulin terhadap penggunaan glukosa melibatkan proses anabolik lainnya.
Dalam hati dan otot, insulin meransang konversi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat
(masing-masing dengan kerja enzim gluokinase dan heksokinase II), yang kemudian
mengalami isomerisasi menjadi glukosa I-fosafat dan disatukan kedalam glikogen
oleh enzim glikogen sintase yang aktifitasnya dirangsang oleh insulin. Kerja ini
9
bersifat ganda dan tidak langsung. Insulin menurunkan kadar cAMP dengan
mengaktifkan fosfodiesterase. Karena fosforilasi yang tergantung pada cAMP
meniadakan keaktifan enzim glikogensintase, kadar nukleotida yang rendah ini
memungkinkan enzim tersebut untuk tetap berada dalam bentuk aktif. Insulin juga
mengaktifkan enzim fosfatase yang melaksanakan reaksi defoforilasi
glikogensintetase sehingga mengakibatkan aktivasi enzim ini. Akhirnya, insulin
menghambat fosforilase dengan suatu mekanisme yang melibatkan cAMP dan
fosfatase, dan hal ini mengurangi pembebasan glukosa dari glikogen. Efek netto
insulin terhadap metabolisme glikogen, juga bersifat anabolik.3
10
tetapi juga oleh kenyataan bahwa insulin juga menghambat aktivitas enzim lipase.
Inhibisi ini disebabkan oleh akitvasi fosfatase yang melakukan reaksi defosforilasi
dan dengan demikian meniadakan keaktifan enzim lipase atau enzim protein kinase
yang bergantung pada cAMP. Karena itu, insulin menurunkan kadar asam lemak
bebas yang berbeda. Hal ini turut menghasilkan kerja insulin terhadap metabolisme
karbohidrat, mengingat asam lemak menghambat glikolisis pada beberapa tahap dan
menstimulasi glukoneogeneis. Jadi, pengaturan metabolik tidak dapat dibicarakan
dalam konteks suatu hormon atau metabolit yang tunggal. Proses pengaturan
merupakan proses yang kompleks dimana aliran suatu lintasan tertentu terjadi akibat
interaksi sejumlah hormon dan metabolit.5
Pada pasien defisiensi insulin akan terjadi peningkatan aktifitas enzim lipase
yang mengakibatkan penggalakan lipolisis dan peningkatan konsentrasi asam lemak
bebas dalam plasma serta hati. Kadar glukon juga meningkat pada pasien ini dan hal
ini menggiatkan pelepasan asam lemak bebas. Glukagon melawan sebagian besar
kerja insulin, dan keadaan metabolisme pada diri seorang penderita diabetes
merupakan pencerminan kadar relatif glukagon dan insulin. Sebagian asam lemak
bebas dimetabolisasi menjadi asetil KoA daan kemudian menjadi CO2 dn H2O lewat
siklus asam sitrat.4,5
11
gejala yang sering dijumpai pada ketoasidosis diabetik anak. Dapat pula dijumpai
nyeri perut dan berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung.1
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai compos mentis, delirium,
depresi sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab
penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi
merupakan factor pencetus yang paling sering. Infeksi yang paling sering ditemukan
ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah
infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri
abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, appendicitis,
diverticulitis, atau perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukkan respon yang baik
terhadap pengobatan ketoasidosis diabetik, maka perlu dicari kemungkinan infeksi
tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal).1
2.6. Diagnosis
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa
hari, perubahan metabolik yang khas untuk ketoasidosis diabetik biasanya tampak
dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat
tampak atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi ketoasidosis
diabetik tanpa gejala atau tanda ketoasidosis diabetik sebelumnya.1,6,7
Klinis:
a. Keluhan poliuria, polidipsi
b. Riwayat berhenti menyuntik insulin
12
c. Demam/ infeksi
d. Muntah
e. Nyeri perut
f. Kesadaran: compos mentis, delirium, koma
g. Pernapasan cepat dan dalam (kussmaul)
h. Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering)
i. Dapat disertai syok hipovolemik
j. Nafas berbau keton
13
2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah
cairan hipotonis (1/2 N, 2A). Pemantauan kadar glukosa darah harus lebih ketat, dan
pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respon penurunan kadar glukosa
darah lebih baik.8
Penatalaksanaan HHNK memerlukan monitoring yang lebih ketat terhadap
kondisi dan responnya terhadap terapi yang diberikan. Pasien-pasien tersebut harus
dirawat, dan sebagian besar dari pasien-pasien tersebut sebaiknya di rawat di ruang
rawat intensif atau intermediate.8
Penatalaksanaan HHNK yaitu dengan pemberian oksigen 10 L/menit dan
meliputi lima pendekatan: 1) rehidrasi intravena yang agresif, 2) penggantian
elektrolit, 3) pemberian insulin intravena, 4) diagnosis dan manajemen faktor
pencetus dan penyakit penyerta, 5) pencegahan.8
1.9.1 Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK adalah
penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL perkg, atau
total rat-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik akan dapat menyebabkan overload
cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat
14
dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya
sebaiknya diberikan 1 L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok
hipovolemi, mungkin dibutuhkan plasma ekspander.9
1.9.2 Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui dengan pasti, karena
kadar kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang sebenarnya
akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum
masuk ke dalam sel. Kadar elektrolit harus dipantau terus menerus dan irama jantung
pasien juga harus dimonitor.9
Jika kadar kalium awal <3,3 mEq/L, pemberian insulin ditunda dan diberikan
kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai kadar kalium
setidaknya 3,3 mEq/L). Jika kadar kalium lebih besar dari 5 mEq/L, sebaiknya kadar
kalium harus diturunkan sampai di bawah 5,0 mEq/L dan sebaiknya kadar kalium
perlu dimonitor tiap 2 jam. Jika kadar awal kalium antara 3,3-5 mEq/L, maka 20-30
mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3
kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan kadar kalium antara 4
mEq/L dan 5 mEq/L.9
15
16
1.9.3 Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian cairan
yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka
cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi,
kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal
0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai
kadar glukosa darah turun antara 250 mg/dL sampai 300 mg/dL. Jika kadar glukosa
darah tidak turun 50-70 mg/dl per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan.
Ketika kadar glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan
dekstrose secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai
pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.9
2.8. Komplikasi
17
2.10.1 Hipoglikemia dan hypokalemia
18
setiap penurunan 7,8 mmHg PCO2 meningkatkan risiko edema serebral sebesar
3,4 kali (OR 3,4; 95% CI 1,9 – 6,3, p<0,001).3
Sedangkan untuk kadar urea nitrogen darah setiap penurunan kadar sebesar 9
mg/dL meningkatkan risiko sebesar 1,7 kali (OR 1,7; 95% CI 1,2 – 2,5, p=0,003).
(19) Suatu pengalaman lebih dari 20 tahun penanganan pasien KAD dengan edema
serebral pada sebuah rumah sakit Australia menyimpulkan langkah yang dapat
dilakukan untuk mencegah KAD. Disarankan protokol yang menggunakan
hidrasi lambat dengan cairan isotonik direkomendasikan untuk menangani pasien
dengan KAD. Beberapa studi lain juga menemukan hubungan antara edema serebral
dengan laju pemberian cairan yang tinggi, terutama pada jam-jam pertama
resusitasi cairan. Rekomendasi terkini adalah membatasi pemberian cairan pada 4 jam
pertama terapi dengan <50 ml/kgBB cairan isotonik.3
19
lebih rendah dengan penambahan koloid untuk terapi hipotensi yang tidak
responsif dengan penggantian kristaloid.1
20
profilaksis pada pasien dengan risiko tinggi trombosis, meskipun demikian
belum ada data yang mendukung keamanan dan efektivitasnya.10
2.9 Prognosis
Keterlambatan penanganan ketoasidosis diabetikum akan meningkatkan risiko
kematian. Oleh karena itu, diagnosis dini dan penanganan yang cepat dan tepat dalam
waktu 6 jam pertama sangat penting untuk menurunkan risiko kematian ini. penderita
dengan DKA meningkatkan risiko kematian.2
Angka kematian DKA adalah sekitar 0,2%-2%, nilai tertinggi pada negara
berkembang. Pasien yang datang dengan koma pada saat diagnosis, hipotermia, dan
oliguria prognosisnya buruk. Di sisi lain, pasien yang ditangani dengan cepat dan
tepat akan memiliki prognosis yang baik tanpa terjadi sekuela, khususnya pada pasien
muda tanpa infeksi.2
Terjadinya komplikasi edema serebral akan meningkatan morbiditas dan
mortalitas, terutama bila tidak tertangani dengan cepat dan benar. Prognosis juga akan
memburuk pada orang lanjut usia dengan komorbid seperti infark miokard, sepsis,
atau pneumonia, serta tidak tersedianya ICU.2,10
21
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. IA
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Gerung
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
3.1. Anamnesis
Keluhan Utama :
Penurunan kesadaran sejak ±3 jam SMRS.
22
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 3
jam SMRS, pasien menjadi tidak respon saat diajak berbicara(+), kelemahan
sesisi tubuh(-), kejang (-).
Sejak ± 2 minggu ini pasien juga mengeluhkan lemas, sering buang air
kecil, dan sering merasa haus. Pasien diketahui sakit kencing manis sejak ± 3
tahun yang lalu. Sejak ± 3 tahun yang lalu pasien merasa sering lapar dan
haus walaupun sudah banyak makan dan minum, serta mengeluh badan sering
terasa lemas. Namun pasien tidak minum obat rutin dan hanya minum
ramuan-ramuan tradisonal.
Pasien juga mengeluhkan sesak napas, sesak yang dirasakan cepat dan
dalam. Keluhan tersebut tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca dan emosi.
Sesak tidak berkurang dengan istirahat. Tidak ada nyeri dada (-), sembab pada
tubuh (-), berdebar-debar (-), dan tidak ada batuk. Demam (+), demam turun
jika diberi obat penurun panas. mual (+), muntah (-) nyeri ulu hati (-). BAB(+)
normal, BAK sering > 10 kali perhari.
Riwayat diabetes mellitus tidak terkontrol ± 3 tahun lalu (+), hipertensi (-)
Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan yang
sama
23
Riwayat Penggunaan Obat :
Kesadaran : delirium
GCS : E2 V4 M1
BB : 67 kg
b. Tanda Vital
Suhu : 38,3˚C
24
bulat isokor diameter (3 mm/ 3 mm), refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya langsung dan tidak
langsung (+/+), edema palpebral (-/-)
Thoraks
Inspeksi : Bentuk simetris (+/+), pertinggalan pergerakan
pernapasan (-), jejas (-), massa (-), spider navi (-),
Barrel chest (-), retraksi dinding dada (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
25
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikula
sinistra
Abdomen
Inspeksi : Datar, simetris
Ekstremitas
Ektremitas : akral hangat + + Edema - -
+ + - -
Turgor kembali lambat + + Hiperemis - -
+ + - -
Gerakan
Tangan : Kanan (normal), Kiri (normal)
Kekuatan Otot
Tangan : Kanan (4444), Kiri (4444)
Tonus
26
Tangan : Kanan (normotoni), Kiri (normotoni)
Trofi
Tangan : Kanan (normotrofi), Kiri (normotrofi)
Genetalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
Darah Lengkap
Neutrofi 71,2 % 50 – 70 %
27
Monosit 7,1 % 2–8%
3.6 Diagnosa :
Penurunan Kesadaran ec KAD dd HONK
Rencana Pemeriksaan :
3.7 Penatalaksanaan :
Non Farmakologis :
Tirah Baring
Farmakologis :
O2 2-3 l/i
SP Insulin 2 UI
28
KSR 2 x 600 mg
Ramipril 1 x 25 mg
3.8 Prognosis :
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
29
Keadaan umum pasien saat datang tampak sakit berat, dengan tekanan darah
139/84 mmHg, dan nadi 104 x/menit, regular dengan isi dan tegangan nadi cukup,
laju pernafasan 36 x/menit, nafas cepat dan dalam. Tekanan darah yang tinggi dan
nadi dengan isi dan tegangan yang cukup pada pasien menyingkirkan kemungkinan
penurunan kesadaran akibat syok. Namun pada pernafasan didapatkan takipneu
dengan tipe pernafasan kussmaul. Hal ini mengarahkan pada kemungkinan kondisi
asidosis. Sehingga penurunan kesadaran akibat gangguan metabolik belum dapat
disingkirkan. Hal ini semakin diperkuat dari anamnesis bahwa pasien memiliki
riwayat diabetes mellitus sejak ± 3 tahun yang lalu dan tidak rutin minum obat.
Pasien tidak memiliki riwayat sakit ginjal, sehingga kemungkinan penurunan
kesadaran akibat komplikasi penyakit ginjal dapat disingkirkan
30
Peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin, kortisol, glukagon). Pada kasus
didapatkan dari hasil alloanamnesa pasien memiliki riwayat diabetes mellitus dan
tidak ada riwayat keluarga menderita penyakit yang sama dengan pasien, pada hasil
laboratorium darah rutin didapatkan leukosit pasien 16,18 + 103/uL.
Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh tubuh
dengan peningkatan pelepasan CO2 ke luar tubuh melalui peningkatan ventilasi yang
dalam (pernafasan kussmaul). Akibat dari asidosis metabolik dan penurunan
penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma sampai meninggal. Pada
kasus didapatkan dari pemeriksaan vital sign TD : 139/84 mmHg, nadi : 104
kali/menit, frekuensi nafas : 36 kali/menit, temperatur : 38,30c.
Areateus menjelaskan gambaran klinis ketoasidosis diabetik sebagai keluhan
poliuri dan polidipsi sering kali mendahului ketoasidosis diabetik serta didapatkan
riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Derajat kesadaran pasien
dapat dijumpai mulai compos mentis, delirium, depresi sampai koma. Bila dijumpai
kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya
uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan factor pencetus yang
paling sering. Infeksi yang paling sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan
pneumonia. Pada kasus didapatkan dari hasil alloanamnesa pasien sering merasa
cepat haus dan sering kencing walaupun sering minum.
Setelah diagnosis ketoasidosis diabetikum ditegakkan, dilakukan tatalaksana
awal, yaitu rehidrasi. Tindakan rehidrasi didasarkan pada kondisi hiperglikemi yang
mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Perubahan
tersebut akan memicu lebih lanjut hormon stress sehingga akan terjadi perburukan
hiperglikemia dan ketonemia. Jika lingkaran setan tersebut tidak diinterupsi dengan
pemberian insulin dan cairan, maka akan terjadi dehidrasi berat dan asidosis
metabolik yang fatal. Pada kasus ketoasidosis diabetikum terjadi dehidrasi pada
tingkat sel sehingga harus dilakukan terapi cairan. Terapi cairan ini ditujukan untuk
ekspansi cairan intraseluler, intravaskular dan interstisial. Pada kasus ini, dari
pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda dehidrasi pada pasien, seperti turgor kulit
kembali lambat dan bibir tampak kering, yang menunjukkan adanya kondisi
31
dehidrasi. Sehingga harus dilakukan terapi cairan dengan atau rehidrasi dengan cairan
isotonis, pada kasus diberikan NaCl 2 Liter yang dihabiskan dalam waktu 4 jam.
Dilakukan pemantauan urin output, didapatkan urin output post rehidrasi 900 cc/4
jam.
Pada kasus ini, setelah terapi cairan, os diberi insulin bolus yang dilanjutkan
dengan drip insulin dalam 500 cc NaCl 0,9% dan dilakukan pemantauan gula darah.
Setelah target gula darah tercapai, dilakukan transisi dari drip insulin menjadi insulin
subcutan.
32
kesadaran) Oleh karena itu, selain mengatasi KAD, juga harus diberikan tatalaksana
yang adekuat terkait ulkus pada pedis yang merupakan awal dari patogenesis
terjadinya KAD pada kasus ini.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
a. Ketoasidosis diabetic merupakan suatu kondisi akut dan mengancam jiwa
akibat kekurangan insulin relatif atau absolut yang ditandai oleh trias
hiperglikemia, asidosis, serta ketonemia/ketonuria.
33
d. Pengenalan tanda-tanda KAD dan tatalaksana yang cepat dan tepat dapat
menurunkan mortalitas, morbiditas dan menekan biaya rawat akibat KAD.
Pencegahan dengan suatu program yang komprehensif dan terintegrasi
merupakan suatu langkah terpenting untuk menghindari berulangnya KAD.
DAFTAR PUSTAKA
34
7. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA Fam Prac.
2008; 50: 39-49.
8. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. Jakarta.
2002. Guneysel O, Guralp I, Onur O. Bicarbonate Therapy in Diabetic
Ketoacidosis. Bratisl Lek Listy. 2009;109 (10): 453-4.
9. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia.2015.p.10-15
10. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus. English, P and
Williams, G. Liverpool:s.n., October.2003.Postgrand Med. Vol. 80.
Pp.253-261.
35