Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN APLIKASI EVIDENCE BASED PERUBAHAN OSMOLARITAS DENGAN

TERAPI RESUSITASI PADA PASIEN PENURUNAN KESADARAN DD KAD, HHS


DI RUANG IGD RSD K.R.M.T WONGSONEGORO

OKTAVIA RIZKYA PUTRI


G3A021025

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketoasidosis Diabetikum merupakan komplikasi akut yang paling serius yang terjadi
pada anak-anak pada DM tipe 1, dan merupakan kondisi gawat darurat yang
menimbulkan morbiditas dan mortalitas, walaupun telah banyak kemajuan yang
diketahui baik dari patogenesisnya maupun dalam hal diagnosis dan tatalaksananya.

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai


oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut dan relatif. Diagnosis KAD didapatkan sekitar 16-80 % pada penderita
anak baru dengan DM tipe1, tergantung lokasi geografi. Di Eropa dan Amerika Utara
angkanya berkisar 15-67 %,sedangkan di Indonesia dilaporkan antara 33-66 %.1

Prevalensi KAD di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 4,68 per 1000 penderita
diabetes, dengan mortalitas kurang dari 5 % atau sekitar 2-5 %. KAD juga merupakan
penyebab kematian tersering pada anak dan remaka dengan DM tipe 1, yang
diperkirakan setengah dari penyebab kematian penderita DM di bawah usia 24 tahun.
Namun demikian studi epidemiologi terbaru memperkirakan insiden total akan
mengalami peningkatan, terutama disebabkan oleh peningkatan kasus diabetes mellitus
tipe 2 (DMT2). Sementara itu di Indonesia belum didapatkan angka yang pasti mengenai
hal ini. Diagnosis dan tata laksana yang tepat sangat diperlukan dalam pengelolaan
kasus-kasus KAD untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Insidens DMT2 sendiri
di Indonesia, diperkirakan berkisar antara 6-8% dari total penduduk di RS dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta, selama periode 5 bulan (Januari-Mei 2002) terdapat 39 episod
KAD dengan angka kematian 15%.1

Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien yang sudah dikenal memiliki riwayat DM.
Gambaran klinik KAD dapat dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai
derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), dan terkadang disertai
hipovolemia dan syok. Derajat kesadaran pasien bisa beragam, mulai dari kompos
mentis, delirium, atau depresi hingga koma.1

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melaporkan pengelolaan kasus dan aplikasi “Evidence based practice
perubahan osmolaritas dengan resusitasi cairan pada pasien KAD di Ruang IGD
RSD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang”
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep KAD
b. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien KAD
c. Mampu menerapkan evidance based practice nursing “Evidence based practice
perubahan osmolaritas dengan resusitasi cairan pada pasien KAD di Ruang IGD
RSD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang”
C. Metode Penulisan
Penelusuran makalah ini dilakukan dengan metode review jurnal yang didapatkan
melalui internet. Diawali dengan fenomena aktual yang terjadi di ruangan kemudian
dilakukan pencarian jurnal-jurnal yang terkait, sehingga dapat memberikan intervensi
yang sesuai.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematis dalam VI Bab, diantaranya :
1. BAB I : Pendahuluan
2. BAB II : Konsep Dasar
3. BAB III : Laporan Kasus
4. BAB IV : Aplikasi Jurnal Evidance Based Nursing Riset
5. BAB V : Pembahasan
6. BAB VI : Penutup
BAB II
KONSEP DASAR
A. Konsep Penyakit
1. Pengertian
Diabetes melitus adalah sindrom yang disebabkan ketidakseimbangan antara tuntunan
dan suplai insulin. Sindrom ditandai oleh hiperglikemi dan berkaitan dengan
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Abnormalitasmetabolik ini
mengarah pada perkembangan bentuk spesifik komplikasi ginjal, okular, neurologik dan
kardiovaskuler.1

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai


oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut dan relatif (Saksono, 2015). KAD merupakan salah satu komplikasi akut
DM yang ditandai dengan dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan asidosis. Pasien KAD
biasanya mengalami dehidrasi berat akibat diuresis osmotik dan bahkan dapat
menyebabkan syok sehingga membutuhkan pengelolaan gawat darurat.2

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes melitus yang serius, suatu
keadaan darurat yang harus segera diatasi. KAD memerlukan pengelolaan yang cepat
dan tepat, mengingat angka kematiannya yang tinggi. Pencegahan merupakan upaya
penting untuk menghindari terjadinya KAD. Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari
defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan
lemak. Keadaan ini terkadang disebut “akselerasi puasa” dan merupakan gangguan
metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin. Ketoasidosis
diabetikum adalah kasus kedaruratan endokrinologi yang disebabkan oleh defisiensi
insulin relatif atau absolut. Ketoasidosis Diabetikum terjadi pada penderita IDDM (atau
DM tipe II). 2

2. Etiologi
Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung insulin
disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan non
insulin dependen diabetik melitus (NIDDM) atau diabetes mellitus tidak tergantung
insulin disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel B tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya. Artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada perangsangan
sekresi insulin, berarti sel B pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.

Penyebab lainnya seperti : infeksi, kelainan vaskuler (infark miokard akut), kelainan
endokrin (hipertyroidisme, sindroma chusing), trauma, kehamilan, stres emosional,
peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin, kortisol, glukagon).

3. Tanda gejala
Sekitar 80% pasien ketoasidosis diabetik adalah pasien DM yang sudah dikenal.
Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali ketoasidosis diabetik sebagai
komplikasi akut DM dan segera mengatasinya. Sesuai dengan patofisiologi ketoasidosis
diabetik, maka pada pasien ketoasidosis diabetik dijumpai pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering),
ketoasidosis diabetic yang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas
tidak terlalu mudah tercium.1,5

Areateus menjelaskan gambaran klinis ketoasidosis diabetik sebagai keluhan poliuri dan
polidipsi sering kali mendahului ketoasidosis diabetik serta didapatkan riwayat berhenti
menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering
dijumpai pada ketoasidosis diabetik anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut dan
berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung.1

Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai compos mentis, delirium, depresi sampai
koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran
lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan factor
pencetus yang paling sering. Infeksi yang paling sering ditemukan ialah infeksi saluran
kemih dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien
tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan
kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, appendicitis, diverticulitis, atau perforasi usus.
Bila pasien tidak menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan ketoasidosis
diabetik, maka perlu dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses
perirectal).1
4. Patofisiologi

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan suatu keadaan dimana terdapat defisiensi


insulin absolut dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan), sehingga semua keadaan tersebut menyebabkan
produksi glukosa hati meningkat dan utililisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan
hasil akhir hiperglikemi.

Akibat dari defisiensi insulin absolut, pasien mengalami: (1) hiperglikemi dan glukosuria berat,
(2) penurunan lipogenesis, (3) peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas
disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton
dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion
hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria akan menyebabkan diuresis osmotik
yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium,
magnesium, fosfat dan klorida. Akibat dari kehilangan air yang banyak (poliuria) akan
menimbulkan uremia prarenal dan syok hipovolemi. Asidosis metabolik yang hebat sebagian
akan dikompensasi oleh tubuh dengan peningkatan pelepasan CO2 ke luar tubuh melalui
peningkatan ventilasi yang dalam (pernafasan kussmaul). Akibat dari asidosis metabolik dan
penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma sampai meninggal. Muntah
biasanya sering terjadi akibat dari asidosis metabolik dengan perangsangan pusat muntah di otak
sehingga akan mempercepat kehilangan air dan elektrolit.3
2.5.1 Suplemen

Peranan utama insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dapat dipahami
paling jelas dengan memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin pada manusia. Manifestasi
utama penyakit diabetes melitus adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat (1) berkurangnya
jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel, 2) berkurangnya penggunaan glukosa oleh pelbagai
jaringan, 3) peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati. Masing-masing peristiwa
ini akan dibicarakan lebih rinci sebagai berikut:
Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalorinya memadai,
merupakan gejala utama defisiensi insulin. Pada manusia normal kadar glukosa plasma jarang
melampaui 120 mg / dL, kendati kadar yang jauh lebih tinggi selalu dijumpai pada pasien
defisiensi kerja insulin. Setelah kadar tertentu glukosa plasma dicapai (pada manusia umumnya
> 180 mg/dl), taraf maksimal reabsorbsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula
akan diekskresikan ke dalam urin (glikouria). Volume urin meningkat akibat terjadinya diuersis
osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang bersamaan (poliuria),
kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas), tubuh akan segera
memberikan sinyal kepusat rangsangan haus di hipotalamusa akibat dari poliuria dan dehidrasi
sehingga gejala yang ditimbulkan yaitu banyak minum (polidipsia). Glikosuria menyebabkan
kehilangan kalori yang cukup besar (4,1 kal bagi setiap gram karbohidrat yang diekskresikan
keluar), kehilangan ini, kalau ditambah lagi dengan deplesi jaringan otot dan adiposa, akan
mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat sehingga tubuh akan mengkompensasi
dengan merangsang pusat lapar di otak dengan peningkatan selera makan (polifagia).3
Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan ini sebagian
terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot (asam amino berfungsi
sebagai substrat glukoneogenik). Jadi, orang yang kekurangan insulin berada dalam
keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja antiinsulin hilang seperti halnya efek lipogenik yang
dimilikinya; dengan demikian kadar asam lemak plasma akan meninggi. Kalau kemampuan hati
untuk mengaoksidasi asam lemak terlampaui, maka senyawa asam β hidroksibutirat dan asam
asetoasetat akan bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat mengimbangi pengumpulan
asam organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO2 lewat sistem respirasi, namun bila
keadaan ini tidak dikendalikan dengan peningkatan insulin, maka akan terjadi asidosi metabolik
dan pasien akan meninggal dalam keadaan koma diabetik.4
2.5.2 Efek Insulin Pada Penggunaan Glukosa

Insulin mempengaruhi penggunaan glukosa intrasel lewat sejumlah cara. Pada orang
yang normal, sekitar separuh dari glukosa yang dimakannya akan diubah menjadi energi lewat
lintasan glikolisis dan sekitar separuh lagi disimpan sebagai lemak atau glikogen. Glikolisis akan
menurun dalam keadaan tanpa insulin, dan proses anabolik glikogenesis serta lipogenesis akan
terhalang.4
Sebenarnya, hanya 5% dari jumlah glukosa yang dikonsumsi, diubah menjadi lemak
pada penderita diabetes yang kekurangan hormon insulin. Hormon insulin meningkatkan
glikolisis hepatik dengan menaikkan aktivitas dan jumlah beberapa enzim yang penting
termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase. Bertambahnya glikolisis akan
meningkatkan penggunaan glukosa dan dengan demikian secara tidak langsung menurunkan
pelepasan glukosa ke dalam plasma. Insulin juga menurunkan aktivitas glukosa 6-fosfatase,
yaitu suatu enzim yang ditemukan dalam hati tetapi tidak terdapat pada otot. Karena glukosa 6
fosfat tidak dapat keluar dari membran plasma, kerja insulin ini mengakibatkan retensi glukosa
dalam sel hati.3,4
Dalam otot skeletal, insulin meningkatkan aliran masuk glukosa lewat pengangkut dan
juga menaikkan kadar enzim heksokinase II yang melakukan fosforilasi pada glukosa serta
memulai metabolisme glukosa. Insulin merangsang lipogenesis dalam jaringan adiposa dengan
1) menyediakan asetil KoA dan NADPH yang diperlukan bagi sintesis asam lemak, 2)
mempertahankan kadar normal enzim asetil Ko-A karboksilase, yang mengkatalisasi konversi
asetil-KoA menjadi malonil-KOA, dan 3) menyediakan gliserol yang terlibat dalam sintesis
triasilgliserol. Pada keadaan defisiensi insulin, semua ini akan menurun, dengan demikian,
lipogenesis juga akan menurun. Sebab lain yang menimbulkan penurunan lipogensis pada
defisiensi insulin adalah pelepasan asam lemak dalam jumlah besar akibat pengaruh beberapa
hormon yang tidak dilawan oleh insulin, pelepasan asam lemak ini akan menimbulkan hambatan
umpan balik terhadap proses sintesisnya sendiri lewat penghambatan enzim asetil KoA
karboksilase.4
Dengan demikian efek netto insulin terhadap lemak bersifat anabolik. Kerja akhir insulin
terhadap penggunaan glukosa melibatkan proses anabolik lainnya. Dalam hati dan otot, insulin
meransang konversi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat (masing-masing dengan kerja enzim
gluokinase dan heksokinase II), yang kemudian mengalami isomerisasi menjadi glukosa I-
fosafat dan disatukan kedalam glikogen oleh enzim glikogen sintase yang aktifitasnya
dirangsang oleh insulin. Kerja ini bersifat ganda dan tidak langsung. Insulin menurunkan kadar
cAMP dengan mengaktifkan fosfodiesterase. Karena fosforilasi yang tergantung pada cAMP
meniadakan keaktifan enzim glikogensintase, kadar nukleotida yang rendah ini memungkinkan
enzim tersebut untuk tetap berada dalam bentuk aktif. Insulin juga mengaktifkan enzim fosfatase
yang melaksanakan reaksi defoforilasi glikogensintetase sehingga mengakibatkan aktivasi enzim
ini. Akhirnya, insulin menghambat fosforilase dengan suatu mekanisme yang melibatkan cAMP
dan fosfatase, dan hal ini mengurangi pembebasan glukosa dari glikogen. Efek netto insulin
terhadap metabolisme glikogen, juga bersifat anabolik.3

2.5.3 Efek Insulin Terhadap Glukoneogenesis

Kerja insulin terhadap pengangkutan glukosa, glikolisis dan glikogenesis terjadi dalam
waktu beberapa detik atau beberapa menit, karena semua peristiwa ini terutama melibatkan
akitavsi atau inaktivasi enzim lewat reaksi fosforilasi atau defosforilasi. Efek yang berlangsung
lebih lama terhadap glukosa plasma meliputi inhibisi glukoneogenesis oleh insulin.
Pembentukan glukosa dari prekursor nonkarbohidrat melibatkan serangkaian tahap enzimatik
yang banyak diantranya dirangsang oleh preparat α serta β adrenergik, yaitu angiotensin II dan
vasopresin. Insulin menghambat tahap yang sama ini. Enzim glukoneogenik yang menjadi kunci
di dalam hati adalah phosfoenolpiruvat karboksikinase (PEPCK, phosphoenol pyruvat
carboxykinase) yang mengubah oksaloasetat menjadi phosfoenolpiruvat. Insulin menurunkan
jumlah enzim ini dengan menghambat secara selektif transkirpsi gen yang mengkode mRAN
bagi PPCK.3
2.5.4 Efek Insulin Terhadap Metabolisme Glukosa

Kerja lipogenik insulin telah dibicarakan dalam konteks mengenai penggunaan glukosa.
Insulin juga merupakan inhibitor kuat proses lipolisis dalam hati serta jaringan adiposa dan
dengan demikian memiliki efek anabolik tak langsung. Hal ini sebagian disebabkan oleh
kemampuan insulin untuk menurunkan kadar cAMP (yang dalam jaringan ini ditingkatkan oleh
homon lipolitik glukagon dan epinefrin) tetapi juga oleh kenyataan bahwa insulin juga
menghambat aktivitas enzim lipase. Inhibisi ini disebabkan oleh akitvasi fosfatase yang
melakukan reaksi defosforilasi dan dengan demikian meniadakan keaktifan enzim lipase atau
enzim protein kinase yang bergantung pada cAMP. Karena itu, insulin menurunkan kadar asam
lemak bebas yang berbeda. Hal ini turut menghasilkan kerja insulin terhadap metabolisme
karbohidrat, mengingat asam lemak menghambat glikolisis pada beberapa tahap dan
menstimulasi glukoneogeneis. Jadi, pengaturan metabolik tidak dapat dibicarakan dalam konteks
suatu hormon atau metabolit yang tunggal. Proses pengaturan merupakan proses yang kompleks
dimana aliran suatu lintasan tertentu terjadi akibat interaksi sejumlah hormon dan metabolit.5
Pada pasien defisiensi insulin akan terjadi peningkatan aktifitas enzim lipase yang
mengakibatkan penggalakan lipolisis dan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dalam
plasma serta hati. Kadar glukon juga meningkat pada pasien ini dan hal ini menggiatkan
pelepasan asam lemak bebas. Glukagon melawan sebagian besar kerja insulin, dan keadaan
metabolisme pada diri seorang penderita diabetes merupakan pencerminan kadar relatif
glukagon dan insulin. Sebagian asam lemak bebas dimetabolisasi menjadi asetil KoA daan
kemudian menjadi CO2 dn H2O lewat siklus asam sitrat.4,5
5. Pathways

B. Konsep Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan


A. PENGKAJIAN

1. Aktivitas / Istirahat

Gejala :  Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, Kram otot, tonus otot menurun, gangguan

istirahat/tidur

Tanda :  Takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau

aktifitas, Letargi/disorientasi, koma Penurunan kekuatan otot

2. Sirkulasi

Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada

ekstremitas, Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama, Takikardia

Tanda :  Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, Nadi yang menurun/tidak

ada, Disritmia, Krekels, Distensi vena jugularis, Kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata

cekung

3. Integritas/ Ego

Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang

4. Eliminasi

Gejala :   Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, Rasa nyeri/terbakar, kesulitan

berkemih (infeksi), ISSK baru/berulang, Nyeri tekan abdomen, Diare

Tanda :Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi oliguria/anuria, jika

terjadi hipovolemia berat), Urin berkabut, bau busuk (infeksi), Abdomen keras, adanya

asites, Bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare)

5. Nutrisi/Cairan

Gejala :   Hilang nafsu makan, Mual/muntah, Tidak mematuhi diet, peningkattan masukan

glukosa/karbohidrat, Penurunan berat badan lebih dari beberapa hari/minggu, Haus, penggunaan

diuretik (Thiazid)

Tanda :   Kulit kering/bersisik, turgor jelek, Kekakuan/distensi abdomen, muntah, Pembesaran

tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis,

bau buah (napas aseton)

6. Neurosensori

Gejala :   Pusing/pening, sakit kepala, Kesemutan, kebas, kelemahan pada otot,

parestesia, Gangguan penglihatan

Tanda :    Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut). Gangguan memori (baru,

masa lalu), kacau mental, Refleks tendon dalam menurun (koma), Aktifitas kejang (tahap lanjut

dari DKA)

7. Nyeri/kenyamanan

Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)

Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati

8. Pernapasan

Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa sputum purulen (tergantung   adanya

infeksi/tidak)

Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, Frekuensi pernapasan meningkat

9. Keamanan
Gejala :   Kulit kering, gatal, ulkus kulit

Tanda :   Demam, diaforesis, Kulit rusak, lesi/ulserasi, Menurunnya kekuatan umum/rentang

erak, Parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan

cukup tajam)

10. Seksualitas

Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi), Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada

wanita

11. Penyuluhan/pembelajaran

Gejala : Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi. Penyembuhan yang,  Lambat,

penggunaan obat sepertii steroid, diuretik (thiazid), dilantin dan fenobarbital (dapat

meningkatkan kadar glukosa darah). Mungkin atau tidak memerlukan obat diabetik sesuai

pesanan

Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengatuan diet, pengobatan,

perawatan diri, pemantauan terhadap glukosa darah


BAB III
RESUME ASKEP
A. Pengkajian Fokus
1. IdentitasPasien
Nama Pasien : ny. A
Usia : 49 tahun
No. Register : XXXXX
Tanggal masuk : 16 Mei 2022
Diagnosa Medik : Penurunan kesadaran dd kad, hhs
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSWN dengan keluhan bicara meracau sejak 1 jam yang lalu,
lemas, muntah-muntah, pasien memiliki riwayat DM tidak terkontrol sejak 3 tahun
yang lalu, keluarga pasien mengatakan beberapa hari ini pasien sering mengeluh
lemas dan sering buang air kecil
3. Pengkajian Fokus ( A,B,C, Dan D)

Pengkajian Dx. Kep Paraf


Airway (jalan nafas) - okta
Sumbatan : tidak ada
Breathing (Pernafasan) Pola nafas tidak efektif okta
Sesak, dengan :
 Tanpa aktifitas
Frekuensi : 30 x/mnt
Irama : cepat, teratur
Kedalaman : dangkal
SpO2 : 94 %room air
Circulation (sirkulasi) hipovolemi Okta
Nadi : 115 x/mnt
Td : 134/84 mmhg
Map : 100,7 mmhg
Irama : reguler
Denyut
 Kuat
Ekstemitas
 Dingin
Warna Kulit
 Pucat, kering, turgor tidak
elastis
Eliminasi dan Cairan
BAK : >7 kali
Jumlah : tidak diketahui
Suhu : 36.0°C
Dissability Rerfusi cerebral tidak Okta
efektif d.d.
Tingkat kesadaran hiperosmolaritas
 Somnolen
Pupil : Isokor
GCS : E 4, V3, M 5
Nampak gelisah

B. Diagnosa Keperawatan
1. hipovolemi b.d kegagalan regulasi
2. Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi
C. Pathways Kasus

Hipovolemi Penuruan Hidrasi


kesadaran
1. Pemeriksaan penunjang

Jenis pemeriksaan Hasil


Hemoglobin 14,8 g/dl
RBC 5,72 + 106/ µL
HCT 41,4 %
MCV 72,4 - fL
MCH 25,9 - pg
MCHC 35,7 g/dl
RDW-SD 35,0 - Fl
RDW-CV 13,2 %
WBC 16,18 + 103/uL
Eosinofil 0,2 %
Basofil 0,5 %
Neutrofi 71,2 %
Limfosit 21,0 %
Monosit 7,1 %
PLT 365 103/uL
Ureum 65
Creatinin 1.3
Gds >600 mg/L
Natrium 141
K 5.4
Cl 90
Keton urin Positf (2+)

D. Intervensi Keperawtaan
No DX Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Kep
1. Setelah dilakukan tindakan Menejemene intra hipovolemi (I. 03116)
1x7 jam diharapkanPerfusi Observasi :
serebral meningkat dengan a. Monitor tanda gejala hipovolemi
Kriteria hasil : b. Monitor intake dan output cairan
a. Output cairan Kolaborasi :
meningkat a. Pemeberian cairan iv isotonis
b. Nilai osmolaritas
<300 mOms/kg
2. Setelah dilakukan tindakan Pemantauan respirasi (I.01014)
1x7 jam diharapkan pola Observasi :
nafas membaik dengan a. Mnitor frekuensi, irama, kedalaman dan
Kriteria hasil : upaya nafas
a. Frekuensi nafas Menejemen jalan nafas (I.01011)
24x/menit Observasi :
b. Kedalaman nafas a. Monitor pola nafas
dalam Teapeutik :
a. Posisikan fowler atau semi fowler
b. Berikan oksigen

E. Implementasi Keperawatan
No. Waktu Implementasi Respon TTD
DX
1 15.00 Monitor tanda gejala Ds : - okta
hipovolemi Do : pasien nampak
gelisah, gcs E4V3M5
somnolen, osmolaritas
>300 mOms/kg

15.00 Memberikan posisi fowler


Ds: -
Memberikan oksigen Do : pasien posisi fowler,
terpasang nrm 10 L/menit
15.00 Melakukan pemasangan Ds : -
ivc dan dc Do : terpasang ivc di
tangan kanan, infus loading
meakukan hidrasi 1000cc Nacl 1000cc, novorapid
dengan cairan Nacl .9% masuk 24 iu subkutan,
memberikan insulin
mengambil sampel darah,

15.30
Monitor intake dan output Ds : -
Do : loading cairan Nacl
cairan, mengambil sampel 0.9% 1000cc, urin output
urin 900cc

16.00
Memonitor GDS Ds : -
Do : terpasang syring
Memonitor kesadaran
pump insulin 5iu/jam,
16.00 Memberikan insulin, loading cairan nacl 0.9%
1000cc Gds : 405 mg/dL
memberikan hidrasi
16.30
Ds : pasien mengatakan
Memonitor ku dan ttv,
mual, lemas , sesak nafas
melakukan pemeriksaan Do : GCS E3V5M6,
composmentis, td 132/80,
GDS, memonitor input
hr 98 rr 30x/menit, nafas
dan output cairan cepat dan dangkal, s 36.3,
nampak sudah tidak gelisa,
gds : 382 mg/dL, masuk
nacal .9% 1000cc, ouput
urin 600cc

F. Evaluasi Keperawatan
No. Waktu Evaluasi TTD
DX
1 17.00 S : pasien mengatakan mual, lemas Okta
O : GCS E3V5M6, composmentis, td 132/80, hr
98 nampak sudah tidak gelisah, gds : 382 mg/dL,
A : hipovolemi
P : Observasi :
a. Monitor tanda gejala hipovolemi
b. Monitor intake dan output cairan
Kolaborasi :
Pemeberian cairan iv isotonis

2 17.00 S : pasien mengataka sesak nafas


O : 30x/menit, nafas cepat dan dangkal
A : pola nafas tidak efektif belum teratasi
P : Pemantauan respirasi (I.01014)
Observasi :
b. Mnitor frekuensi, irama, kedalaman dan
upaya nafas
Menejemen jalan nafas (I.01011)
Observasi :
b. Monitor pola nafas
Teapeutik :
c. Posisikan fowler atau semi fowler
Berikan oksigen
G.
BAB IV
APLIKASI JURNAL EVIDANCE BASED NURSING RISET
A. Identitas Pasien
Ny. A
Umur 49 tahun
B. Data Fokus Pasien
DS : bicara meracau
DO : pasien nampak gelisah, gcs E4V3M5 somnolen, nilai omolaritas :
C. Diagnosa Keperawatan yang Berhubungan dengan Jurnal EBN yang di Aplikasikan
Hipovolemi b.d kegagalan regulasi
D. EBN yang diterapkan pada Pasien
Terapi hidrasi
E. Analisa Sintesa Justifikasi

Hipovolemi Penuruan kesadaran Hidrasi


F. Landasan Teori Terkait EBN
Hiperosmolaritas menyebabkan sel mengkerut. Kedua kondisi sel ini menyebabkan penurunan
eksitabilitas sel-sel saraf yang menyebabkan penurunan kesadaran. Asidosis juga mempengaruhi
eksitabilitas sel yang dapat berlanjut pada penurunan kesadaran.

Terapi cairan inisial diarahkan untuk ekpansi volume intravaskular, interstisial, dan intraselular yang
mengalami penurunan kesadaran pada kondisi krisis hiperglikemik dan restorasi dari perfusi renal.
Pemberian resusitasi cairan dengan NaCl 0,9% intravena dengan kecepatan 15-20 ml/KgBB/jam atau
1- 1,5 L/jam harus dimulai secepatnya dengan pemantauan status hidrasi setiap jam

BAB V
PEMBAHASAN

A. Alasan Intervensi yang di Tegakkan untuk EBN


Peneliti memilih tindakan pemberian terapi hidrasi secara benar kepada pasien sebagai
intervensi keperawatan karena berdasarkan diagnosa keperawatan yang didapat dari hasil
pengkajian pasien muncul masalah hipovolemi
B. Mekanisme Penerapan EBN pada Kasus
Terapi hidrasi dilakukan setelah pemeriksaan fisik dan anamnesa dilakukan, Pemberian
resusitasi cairan dengan NaCl 0,9% intravena dilakukan dengan kecepatan 15-20
ml/KgBB/jam atau 1- 1,5 L/jam dimulai secepatnya dengan pemantauan status hidrasi
setiap jam

C. Hasil yang Dicapai


Tanggal Indikator Pre Post
16 Mei2022 Nilai nilai osmolariastas 946 niai osmolaritas :
osmolaritas mOms/kg na :-, kal :-, urea :-, GDS
302 mOms/kg

Evaluasi penilaian osmolaritas setelah terapi hidrasi tidak bisa dilakukan di


IGD karna evaluasi pemeriksaan hematologi tidak diulang di ruang IGD tetapi diruang
rawat intensif
D. Kelebihan dan Kekurangan atau Hambatan
Dari hasil penerapan evidence based nursing practice terhadap pasien yang
memerlukan tindakan keperawatan pemberian terapi hidrasi, penulis menemui kelebihan
dan kekurangan.
Adapun kelebihanya adalah terapi terapi hidrasi memengaruhi salah satu
komponen osmolaritas yang dihitung yaitu GDS dan status kesadaran pasien.
Sedangkan kekuranganya adalah evaluasi nilai osmolaritas tidak dilakukan
diruang IGD apalabila ruang intensif telah tersedia. Setelah hidrasi dilakukan dan kondisi
stabil pasien segera dipindahkan ke ruang intensif untuk perbaikan kondisi KAD yang
dialami.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penerapan tindakan evidence based nursing yang dilakukan kepada pasien
Ny.A yaitu pemberian terapi hidrasi dengan benar dapat mempengaruhi salah satu
komponen nilai osmolaritas pada pasien yaitu GDS dimana berhubungan dengan status
kesadaran pasien yang menurun kemungkinan salah satunya akibat hiperosmolaritas
yang dialami pasien
DAFTAR PUSTAKA

Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Seitiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p. 1896-9.

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi 6. Jakarta: EGC, 2016. Hal 1157-1166

Bakta IM, Suastika IK. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta. 1999.

Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison- Prinsip-Prinsip Ilmu


Penyakit Dalam. Vol 1. Jakarta.EGC.2015;p 243.

Gotera W, Budiyasa D G. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD). J Peny Dalam.


Mei 2010; 11 (2): 126-138

Charfen M A, Fernandez-Frackelton. Diabetic Ketoacidosis. Emerg Med Clin N Am 2005;


23: 609-628

Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA Fam Prac. 2008; 50:
39-49.

PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2. Jakarta. 2002. Guneysel
O, Guralp I, Onur O. Bicarbonate Therapy in Diabetic Ketoacidosis. Bratisl Lek Listy.
2009;109 (10): 453-4.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Mellitus Tipe 2 di Indonesia.2015.p.10-15

Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus. English, P and Williams, G.
Liverpool:s.n., October.2003.Postgrand Med. Vol. 80. Pp.253-261.

Anda mungkin juga menyukai