Anda di halaman 1dari 31

ASKEP GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN DAN METABOLIK

ENDOKRIM

OLEH:

KELOMPOK 1 :

1. ARVANDO SINAGA 1902001


2. DESI SIRINGIRINGO 1902002
3. DEVI SIANTURI 1902003
4. DIAN HANDAYANI SILABAN 1902004
5. EVITA WALENCHIA SARAGI 1902006

DOSEN PENGAMPUH : KINO SIBORO Amd.Keb, SKM

PRODI D-III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

KESEHATAN BARU DOLOKSANGGUL

T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana yang berjudul “”. Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk
menyelesaikan tugas dari ibu KINO SIBORO Amd.Keb SKM
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang penulis miliki sangat kurang, Oleh karena itu penulis mengharapkan para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Doloksanggul, 13Juni 2021

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
1.2 RumusanMasalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Anatomi
2.2 Fisiologi insulin
2.3 Definisi
2.4 Klasifikasi Diabetes
2.5 Etiologi
2.6 ManifestasiKlinis
2.7 PemeriksaanPenunjang
2.8 Penatalaksanaan
2.9 Discharge planning

BAB III TINJAUAN KASUS

BAB IV TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian
4.2 Diagnosa keperawatan
4.3 Intervensi keperawatan
4.4 Evaluasi

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN ANAK DENGAN THIPOID

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
1.2 RumusanMasalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II TINJAUAN TEORITIS MEDIS
2.1 Pengertian
2.2 Penyeban
2.3 Fatofisiologis
2.4 Gejala klinis
2.5 Pemeriksaan penunjang
2.6 Terapi
2.7 komplikasi
2.8 Discharge planning

BAB III TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN

3.1 Pengakajian
3.2 Diagnosa keperawatan
3.3 Intervens

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM)

Secara klinis adalah kumpulan dari gangguan metabolisme yang ditandai oleh
tingginya kadar glukosa darah yang abnormal. Keadaan hiperglikemia terjadi akibat resistensi
sel tubuh terhadap aktivitas insulin, defisiensi insulin, atau keduanya. Biasanya dalam
keadaan ini juga terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.

Tingkat kesakitan dan kematian adalah akibat dari gangguan metabolisme


akut,komplikasi jangka panjang dapat mempengaruhi aliran darah secara makro maupun
mikro menyebabkan retinopati, nefropati, neuropati, penyakit jantung ischemic, dan obstruksi
arteri yang menyebabkan gangren pada ektremitas bawah ( diabetic foot).

Diabetes mellitus pada anak bukanlah sebuah kelainan yang sering di temui dalam
praktek klinis sehari - hari prevalensinya hanya 3% di Inggris, dan menurut beberapa literatur
lain hanyalah 2- 5 % dari seluruh populasi, diabetes pada anak melibatkan beberapa faktor
namun kelainan genetis dan kerusakan sel beta pankreas akibat reaksi autoimmun pada islet
sel B pankreas yang mengakibatkan defisiensi yang cukup besar pada produksi insulin
( insulin endogen ).

Faktor utama dalam penyebab diabetes pada anak, kerusakan sel B pulau langerhans
pankreas ini menyebabkan ketergantungan individu secara absolut terhadap insulin dari
luar( insulin eksogen ) “insulin dependent diabetes mellitus” (IDDM)dan kebutuhan akan
pemantauan kadar glukosa darah rutin, serta perubahan pola konsumsi sehari - hari yang
cukup ekstrem.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Karakteristik Penderita diabetes mellitus

1.3 Tujuan Penelitian


 Untuk mengetahui Karakteristik Penderita diabetes mellitus
 Untuk mengetahui distribusi proporsi diabetes mellitus anak berdasarkan kelompok
usia, jenis kelamin, dan Asal.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat Aplikatif Untuk mengetahui Karakteristik Penderita diabetes mellitus
Manfaat Teoritis Sebagai informasi dan masukan bagi pihak
BAB II

TINJAUAN TEORITIS MEDIS

2.1 Definisi Diabetes Militus


Diabetes militus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (Purnamasari, 2009).

Menurut American Diabetes Assosiation (ADA, 2010), diabetes militus merupakan


suatu kelompok penyakit metabolik dan kronis dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekrasi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya yan membutuhkan
peralatan medis dan pendidikan pengelolaan mandiri untuk mencegah komplikasi akut dan
menurunkan risiko komplikasi jangka panjang.

Menurut WHO, diabetes militus di definisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi
insulin beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya selsel
tubuh terhadap insulin (Depkes, 2008).

2.2 Klasifikasi Diabetes

Diabetes mellitus diklasifikasikan berdasarkan patogenesis yang menyebabkan


hiperglikemia, dan gangguan homeostatis glukosa, dikenal 2 jenis penyebab utama dalam
diabetes. Kedua penyebab memperlihatkan patogenesis yang sama dengan tingkat kerusakan
sel B pangkreas yang bertingkat . Akhir dari kedua perjalanan penyakit ini relatif sama
namun etiologinya berbeda.

1. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diebetes mellitus tipe 1 dahulu dikenal sebagai insulin dependent diabetes


melitus ( IDDM )atau juvenile onset diabetes adalah abnormalitas homeostatis
glukosa ditandai dengan kerusakan permanen sel beta pankreas akibat dari proses
autoimmunitas yang menyebabkan turunya

produksi insulin sehingga kadar insulin endogen plasma turun sehingga


menyebabkan ketergantungan insulin exogen untuk mencegah proses komplikasi yang
mengancam jiwa yaitu keto-acidosis. Diabetes tipe 1 umumnya ditemukan pada kasus
pediatrik anak dengan rataan umur 7 - 15 tahun, namun dapat juga muncul pada
berbagai usia. Diabetes mellitus tipe 1 ini terdiri dari 4 fase pada proses perjalanan
penyakit yaitu:

1. Kerusakan sel beta akibat autoimmun dan penurunan progresif sekresi insulin.
2. Onset gejala - gejala diabetes.
3. Transient remmision “Honeymoon periode”.
4. Keadaan diabetes yang tetap dengan berbagai komplikasi kronis, dan akut yang
mengancam jiwa
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes tipe ini dikenal juga sebagai diabetes mellitus onset dewasa, namun
pada kasus pediatrik anak maupun remaja anak maupun remaja yang mengidap
biasanya mengalami kelebihan berat badan (obsesitas),namun belum sampai
membutuhkan koreksi insulin eksogen keadan ini diakibatkan resistensi insulin
tingkat sel dan kadang diikuti pula oleh kurangnya sekresi insulin. Diabetes type ini
juga dikenal dengan nama Maturity Onset Diabetes of the young (MODY), Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus ( NIDDM ). Gambaran diabetes mellitus tipe 2
tidak sejelas diabetes mellitus tipe 1yang biasanya anak tampak sakit dan lelah diikuti
dengan gejala polidipsi dan polisuria, pada kasus diabetes tipe 2 biasanya pasien anak
datang dengan kelebihan berat badan dan seringkali kelelahan akibat dari kekurangan
insulin yang biasanya dalam pemeriksaan diikuti dengan ditemukannya glikosuria.
Riwayat adanya polisuria dan polydipsia biasanya tidak diketemukan. Dewasa ini
menurut beberapa literatur terjadi peningkatan 10 kali jumlah pasien anak dengan
diabetes pada banyak pusat pelayanan diabetes. Pada pasien anak diabetes mellitus
tipe 2 dengan riwayat herediter diabetes mellitus biasanya juga diketemukan
defisiensi insulin hal ini dikenali dengan (MODY) yang membutuh koreksi insulin
dari luar. Pada tipe ini tidak diketemukan adanya kerusakan sel beta pangkreas akibat
autoimun atau terkait (HLA), namun pada tipe ini diketemukan adanya mutasi dari
alel gen yang membentuk sel Beta, dan glukokinase hati. Mutasi pada gen yang
membentuk transporter glukosa yaitu GLUT-2 juga bertanggung jawab dalam proses
perjalanan penyakit diabetes mellitus tipe 2 ini.

2.3 Anatomi Fisiologi Pankreas


Membahas fisiologi insulin tidak lepas dari pangkreas sebagai produsen insulin,
secara anatomis pangkreas merupakan glandular retroperitonial yang terletak dekat dengan
duodenum, memiliki 3 bagian yaitu kepala badan dan ekor. Vaskularisasi pangkreas berasal
dari arteri splenica dan arteri pancreaticoduodenalis superior dan inferior sedangkan islet sel
pangkreas dipersyarafi oleh syaraf sympatis,syaraf parasympatis dan syaraf sensoris serta
neurotransmiter dan meuropeptida yang dilepaskan oleh ujung terminal syaraf tersebut
memegang peranan penting pada sekresi endokrin sel pulau langerhans. Aktivasi nervus
vagus akan mengakibatkan sekresi insulin, glukagon dan polipetida pangkreas. Sebagian
besar pankreas tersusun atas sel eksokrin yang tersebar pada lobulus ( acinus ) dipisahkan
oleh jaringan ikat dan dihubungkan oleh ductus pancreatikus yang bermuara pada duodenum.

Bagian eksokrin pangkreas memproduksi enzim - enzim bersifat basa yang membantu
pencernaan. Bagian endokrin pankreas merupakan bagian kecil dari pangkreas dengan massa
sekitar 1 - 2 % massa pangkreas dengan bentuk granula - granula yang terikat pada acinus
oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah dengan 2 jenis sel yang predominan yaitu
sel A dan Sel B, sel B membentuk 73% - 75% bagian endokrin pankreas merupakan dengan
insulin sebagai hormon utama yang di sekresikan. Sel A membentuk 18 - 20 % massa
endokrin dengan glukagon sebagai hormon sekresi utama, sedangkan sel D membentuk 4 -
6% massa endokrin pangkreas dengan sekresi hormone somatostatin. 1% bagian kecil dari
pangkreas mensekresikan polipeptida pangkreas. Secara khusus tulisan ini hanya membahas
2 hormon regulator kadar glukosa diatas yaitu Insulin dan Glukagon

2.4 Fisiologi Insulin

Secara singkat kerja fisiologis insulin adalah mentransportasi glukosa kedalam sel
otot dan hati terkait dengan kadar glukosa didalam darah, efek kerja insulin berlawanan
dengan glukagon sebuah polipeptida hormone yang dihasilkan pula oleh sel B pangkreas
yang akan memicu proses pembentukan glukosa di dalam hati melalui proses glikolisis dan
glukoneogenesis.

Insulin dilepaskan oleh sel beta pangkreas setelah terjadi transport glukosa oleh
GLUT-2 masuk kedalam sel beta, glukosa yang masuk kedalam sel beta akan mengalami
proses glikolisis oleh glikokinase menjadi glukosa Phospate, yang mengaktifkan
pembentukan Asetyl-Co A masuk kedalam siklus krebbs dalam mitokondria untuk dirubah
menjadi ATP ( Adenosine Tri Phospat ) sehingga meningkatkan jumlah ATP dalam sel hal
ini akan menginkativasi pompa kalium sensitif ATP, lalu menginduksi depolarisasi dari
membran plasma dan voltage dependent calcium channel, menyebabkan influks calcium
extrasel yang merangsang pergerakan cadangan kalsium intrasel sehingga menginduksi
terjadinya pengikatan granula produsen insulin ke membran sel dan pelepasan insulin
kedalam peredaran darah.

produksi insulin sehingga kadar insulin endogen plasma turun sehingga


menyebabkan ketergantungan insulin exogen untuk mencegah proses komplikasi yang
mengancam jiwa yaitu keto-acidosis. Diabetes tipe 1 umumnya ditemukan pada kasus
pediatrik anak dengan rataan umur 7 - 15 tahun, namun dapat juga muncul pada
berbagai usia. Diabetes mellitus tipe 1 ini terdiri dari 4 fase pada proses perjalanan
penyakit yaitu:

5. Kerusakan sel beta akibat autoimmun dan penurunan progresif sekresi insulin.
6. Onset gejala - gejala diabetes.
7. Transient remmision “Honeymoon periode”.
8. Keadaan diabetes yang tetap dengan berbagai komplikasi kronis, dan akut yang
mengancam jiwa

2.5 Etiologi Diabetes Militus


1. Diabetes militus tipe 1
Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan pengahancuran selsel beta
pankreas yang disebabkan oleh:
a) Faktor genetik penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe 1
b) Faktor imun (autoimun)
c) Faktor lingkungan : virus atau toksin tertentu dapat memicu auto yang
menimbulkan ekstruksi sel beta
2. Diabetes militus tipe 2

Disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Faktor resiko
yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2 : usia, obesitas, riwayat
dan keluarga.

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis diabetes dikaitkan dengan konsekuensi metabolic defisiensi
insulin (Price & Wilson)

1. Kadar glukosa puasa tidak normal


2. Hiperglikemia berat berakibat glukosurya yang akan menjadi dieresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin (Poliuria) dan timbul rasa haus (Polidipsia)
3. Rasa lapar yang semakin besar (Polifagia), BB berkurang
4. Lelah dan mengantuk
5. Gejala lain yang dikeluhkan adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi,
peruritas vulva.

Kriteria diagnosis Diabetes Militus : (Sudoyo Aru,dkk 2009)

1. Gejala klasik DM+glukosa plasma sewaktu >200mg/Dl (11,1 mmol/L)


2. Glukosa plasma sewaktu merupakam hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu
3. Gejela klasik DM+Glukosa plasma >120mg/Dl (7,0 mmol/L) puasa diartikan pasien
tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8jam
4. Glukosa plasma dua jam pada TTGO >200mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75gr glukosa
anhidrus dilarutkan didalam air

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Kadar glukosa darah
Kadar Glukosa Darah Sewaktu (mg/dL)
 Kadar glukosa darah sewaktu DM Belum pasti DM
 Plasma vena >200 100-200
 Darah kapiler >200 80-100
2. Kriteria diagnostik
WHO untuk diabetes militus pada sediktnya dua kali pemeriksaan :
 Glukosa plasma sewaktu >200mg/dL (11,1 mmol/L)
 Glukosa plasma puasa >140mg/dL (7,8 mmol/L)
 Glukosa plasma dari sempel yang diambil dua jam kemuadian sesudah
mengkonsumsi 75gr karbohidrat (2jam post prandial (PP) >200mg/dL)
3. Test laboraturium
Diabetes militus Jenis test pada pasien DM dapat berupa test saring, test
diagnostik, test pemantauan terapi, dan test untuk mendeteksi komplikasi
4. Test saring Test saring pada DM adalah :
GDP, GDS - Test glukosa urin :
 Test konvensional (metode reduksi/benedict)
 Test carik celup (metode glucose oxidase/hexokinase)
5. Test diagnostik Test diagnostik pada DM adalah :
 GDP, GDS, GD2PP (glukosa darah dua jam post prandial),
 glukosa jam kedua TTGO
6. Test monitoring terapi Test monitoring terapi DM adalah :
 GDP : plasma vena, darah kapiler
 GD2PP : plasma vena - A1c : darah vena, darah kapiler
7. Test untuk medeteksi
komplikasi Test untuk mendeteksi komplikasi
 Mikroalbuminuria : urin
 Ureum, kreatinin, asam urat

2.8 Penatalaksanaan

Insulin pada DM tipe 2 diperlukan pada keadaan :

1. Penurunan berat badan yang cepat


2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik (KAD) atau hiperglikemia hiperosmolar non ketotik (HONK)
4. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
5. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
6. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
7. Kehamilan dengan DM atau diabetes militus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencaan makan 8. Gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat
8. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

2.9 Discharge planning


 Kurangi konsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan karbohidrat
 Jangan mengurangi jadwal makan atau menunda waktu makan, karena hal ini akan
menyebabkan fluktuasi (ketidak stabilan ) kadar gula darah
 Perbanyak konsumsi makanan yang banyak mengandung serat, seperti sayuran dan
sereal
 Hindari makanan tinggi lemak dan mengandung banyak kolestrol LDL., antara lain :
daging merah, produk susu, kuning telur, mentega, saus salad dan makanan pencuci
mulut berlemak lainnya

BAB III
TINJAUAN KASUS

Kasus 1

Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun berat badan saat ini 22 kg dibawa ke rumah sakit
oleh orangtuanya. Pada saat dikaji kesadaran anak apatis, turgor lambat kembali, pada saat
diraba daerah ekstremitas terasa dingin dan lembab, frekuensi nadi 128x/m, frekuensi napas
30x/menit, anak tersebut menangis lemah. Riwayat masuk rumah sakit; dibawa ke RS karena
penurunan kesadaran, sebelumnya pasien sering buang air kecil dan merasa haus, nafsu
makan sebelum sakit baik, berat badan sebelum sakit 24 kg, dan tidak ada riwayat sakit berat
sebelumnya. Gula darah puasa 300 mg/dl, Gula darah post pandrial: 573 mg/dl. Klien
direncanakan akan diperiksa kadar HbA1c. Orang tua pasien juga merasa sangat terpukul,
bingung harus bagaimana, dan khawatir dengan kondisi anaknya karena kata dokter
penyakitnya disebabkan karena gangguan fungsi pankreas dan membutuhkan pengobatan
jangka panjang. Bahkan kalau tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat bisa
mengancam keselamatan jiwa.

BAB IV
TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN

4.1 PENGKAJIAN
A. Identitas
1. Identitas Pengkaji
Nama Pengkaji : Ucup Supriadi, M.Kep.,
Ners Tanggal Pengkajian : 14 Januari 2019
Waktu Pengkajian : Pukul 10.00 WIB
2. Identitas Pasien
Nama : An. F Umur : 6 tahun
Tanggal Lahir : 11 Januari 2013
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Kanci, Astanajapura, Kab. Cirebon
Tanggal Masuk RS : 13 Januari 2019
Tanggal Pengkajian : 14 Januari 2019
3. Diagnosa Medis :
Diabetes Melitus
4. Identitas Penanggungjawab
Nama : Ny. J Umur : 47 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Hubungan dengan Pasien : Ibu Kandung
No. Handphone : 089654182833
B. Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran, sering kencing dan sering merasa haus
C. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
An. F datang ke IGD RS. Gunung Jati pada tanggal 13 Januari 2019 dengan
diantar oleh orang tuanya dengan keluhan mengalami penurunan kesadaran.
Orang tua pasien mengatakan anaknya pernah masuk rumah sakit karena
penurunan kesadaran dan sebelum masuk rumah sakit anaknya sering buang air
kecil dan merasa haus. Akibatnya orang tua An. F merasa terpukul dan
kebingungan mengenai kondisi anaknya saat ini. Pada saat dilakukan
pengkajian didapatkan hasil Berat badan 22 kg, kesadaran apatis, turgor kulit
tidak elastis, akral teraba dingin dan lembab, anak tampak menangis lemah.
Pada saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan hasil : nadi
128x/menit, Pernafasan 30x/menit. GDS Puasa 300 mg/dl, GDS post pandrial
573 mg/dl..
2. Riwayat kesehatan masa lalu
 Kecelakaan : orang tua pasien mengatakan An. F tidak pernah mengalami
kecelakaan.
 Pernah dirawat : orang tua pasien mengatakan An. F pernah dirawat karena
keluhan yang sama.
 Operasi : orang tua pasien mengatakan An. F tidak pernah operasi.
 Alergi : orang tua pasien mengatakan An. F tidak  mempunyai riwayat
alergi.
3. Riwayat kesehatan
keluarga orang tua pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang
memiliki penyakit yang sama.
D. Pemeriksaan fisik (Head to Toe)
1. Keadaan umum Pasien mengalami penurunan kesadaran dan An. F tampak
menangis lemah.
 Kesadaran : Apatis
 GCS : 12 ( Eye : 3, Verbal : 4, Motorik : 5 )
 Tanda Vital Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi : 128 kali/menit
Pernafasan : 30 kali/menit Suhu : 37,5 °C
2. Wajah
Inspeksi : Bentuk wajah simestris, pasien tampak menangis lemah.
3. Kepala
a) Inspeksi : bentuk kepala normal, rambut lurus berwarna hitam, tidak
terdapat hidrosefalus maupun mikrosefalus.
b) Palpasi : tidak ada benjolan, tidak ada ketombe pada kulit kepala.
4. Telinga
a) Inspeksi : bentuk telinga simetris, tidak ada serumen maupun cairan
yang keluar dari telinga.
b) Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada telinga.
5. Mata
Inspeksi : Sklera berwarna putih kekuningan, konjungtiva anemis, pupil isokor.
6. Hidung
a) Inspeksi : Hidung simetris, tidak terdapat pernafasan cuping hidung dan
tidak terdapat polip.
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada sinus maksilaris dan frontalis.
7. Mulut Inspeksi : Tidak ada pembengkakan pada gusi, gigi berwarna putih
kekuningkuningan, tidak ada karang gigi, lidah tidak kotor, bibir sedikit kering.
8. Leher
Inspeksi : Bentuk leher simestris, normal (tidak terlalu panjang/pendek, tidak
ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada deformitas.
9. Dada/thoraks/jantung
a) Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada lesi dan hematom.
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, ictus kordis teraba pada ics ke 5
c) Perkusi : Pulmo : sonor, cordis : redup
d) Auskultasi : Tidak terdapat suara nafas tambahan, bunyi jantung
normal S1 dan S2
10. Abdomen
a) Inspeksi : Tidak ada lesi, tidak ada hematom
b) Auskultasi : Bising usus 10 kali/menit
c) Palpasi : Tidak ada asites, batas organ teraba : kuadran I (liver),
Kuadran II (lambung), Kuadran III (Usus, ginjal, apendiks), kuadran IV
(rahim, usus, ginjal).
d) Perkusi : Suara perut tympani
11. Genitalia
Orang tua pasien mengatakan An. F tidak mengalami gangguan pada daerah
genitalianya.
12. Rectum
Orang tua pasien mengatakan An. F tidak mengalami gangguan pada daerah
anusnya.
13. Ekstremitas
a) Inspeksi : Kulit berwarna sawo matang, tidak ada lesi, dan tidak ada
polidaktili.
b) Palpasi : Akral teraba dingin dan lembab, kekuatan otot lemah dan
turgornya tidak elastis.
4.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan kadar insulin
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
sirkulasi darah ke perifer
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan asidosis metabolik
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan sekunder
dari diuresis
4.3 INTERVENSI

NO. DIAGNOSA TUJUAN/ INTERVENSI RASIONAL


KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Resiko infeksi Setelah dilakukan 1) Berikan  Agar kebutuhan
berhubungan dengan tindakan cairan oral cairan pasien
peningkatan kadar keperawatan selama dan terpenuhi
insulin 5 x 24 jam parenteral dengan baik
diharapkan status sesua  Agar kadar
imun meningkat kebutuhan glukosa pasien
dari skala 1 (sangat 2) Anjurkan tetap berada
terganggu) keskala pasien untuk dalam rentan
4 (ringan), dengan tidak normal
1. kriteria hasil: mengkonsu  Agar asupan
Kesadaran msi pasien dapat
composmentis makanan terpenuhi
2. GDS puasa : yang tinggi secara teratur
200 mg/dl 3. kadar  Agar pasien
GDS Post glukosa dan mendapatkan
pandrial : 300 makanan gizi yang baik
mg/dl tinggi lemak
3) Instruksikan
pasien atau
orang tua
untuk
jangan
menunda
waktu
makan.
4) Kolaborasi
dengan ahli
gizi terkait
diet
makanan
yang sesuai
dengan
penyakit
pasien.
2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1) Monitor  Untuk
perfusi jaringan tindakan kulit mengetahui
perifer berhubungan keperawatan selama sesering keadaan kulit
dengan penurunan 4 x 24 jam mungkin pasien
sirkulasi darah ke diharapkan status 2) Tingkatkan  Agar kebutuhan
perifer sirkulasi pasien intake cairan cairan pasien
dapat membaik oral dan dapat terpenuhi
parenteral dengan baik
3) Berikan  Agar nutrisi
asupan pasien
nutrisi terpenuhi
secara dengan baik
adekuat.  Agar kadar
4) Anjurkan glukosa pasien
pasien tidak
menghindari meningkat
makanan
yang tinggi
glukosa
3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1) Posisikan  Untuk
pola nafas tindakan pasien mengurangi
berhubungan dengan keperawatan selama dengan sesak pada
asidosis metabolik 4 x 24 jam posisi semi klien
diharapkan status fowler.  Untuk
tanda vital pasien 2) Observasi mengetahui
normal dengan adanya kondisi
kriteria hasil : suara nafas pernafasan
 Kesadaran tambahan pasien
Compos 3) Monitor  Untuk
Mentis tanda vital mengetahui
 Anak terlihat sesering keadaan umum
tenang mungkin. pasien
 Pernafasan 4) Pasang  untuk
20x/menit oksigen membantu
sesuai memenuhi
kebutuhan kebutuhan
oksigen pasien
4. Setelah dilakukan 1) Observasi  Untuk
tindakan adanya mengetahui
keperawatan selama tanda-tanda adanya tanda-
5 x 24 jam dehidrasi tanda dehidrasi
diharapkan 2) Observasi  Untuk
keseimbangan kulit mengetahui
cairan pasien sesering keadaan
normal mungkin  Untuk menilai
3) Observasi jumlah urin
pengeluaran yang
urine pasien dikeluarkan
4) Monitor per24 jam
tanda vital  Untuk
5) Tingkatkan mengetahui
intake cairan keadaan umum
oral dan pasien
parenteral.  Untuk
memenuhi dan
mengganti
cairan tubuh
yang hilang

4.4 Evaluasi
Masalah Teratasi.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN ANAK DENGAN THIPOID

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BEALAKANG
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang
diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri Salmonella typhi sekaligus multiplikasi
ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s
patch (Soedarmo, et al., 2015).
Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga
dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid mulai dikenali sebagai penyakit menular
yang disebabkan oleh bacillus (salmonella) pada tahun 1880 di Amerika serikat.
Wabah penyakit demam typhoid pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun
1907 yang disebabkan oleh Mary Mallon yang dikenal sebagai karier tifoid yang
sehat, dan dijuluki sebagai “typhoid mary” (filio, et al., 2013).
Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama pada negara berkembang
dengan sanitasi yang buruk. Delapan puluh persen kasus tifoid di dunia berasal dari
Banglades, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan.
Demam tifoid menginfeksi setiap tahunnya 21.6 juta orang (3.6/1.000
populasi) dengan angka kematian 200.000/tahun. Insidensi demam tifoid tinggi
(>100 kasus per 10.000 populasi per tahun) dicatat di Asia tengah, Asia selatan, Asia
tenggara, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia baru)
serta yang termasuk rendah

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Karakteristik Penderita Demam tifoid

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui Karakteristik Penderita Demam tifoid
Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita demam tifoid anak berdasarkan
kelompok usia, jenis kelamin, dan Asal.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat Aplikatif Untuk mengetahui Karakteristik Penderita Demam tifoid Manfaat
Teoritis Sebagai informasi dan masukan bagi pihak
BAB II

TINJAUAN TEORITIS MEDIS

2.1 PENGERTIAN
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala,
kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-
duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)

2.2 PENYEBAB
Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam,
toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: perforasi
usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A,
S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)

2.3 PATOFISIOLOGIS
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari
penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier. Empat F (Finger, Files, Fomites dan
fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan
tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-
negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi)
yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60
hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita
tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)

2.4 GEJALA KLINIS


Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan
dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, tetapi
secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai
penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi, serta suhu badan yang meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai gangguan
kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering, dilapisi selaput
kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan
dkk. 2001)
Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan gambaran ‘anak
tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss &
Stephen Rose, 1997)
Gambaran klinik tifus abdominalis
Keluhan:
 Nyeri kepala (frontal) 100%
 Kurang enak di perut ³50%
 Nyeri tulang, persendian, dan otot ³50%
 Berak-berak £50%
 Muntah £50
 Gejala:
 Demam 100%\
 Nyeri tekan perut 75%
 Bronkitis 75%
 Toksik >60%
 Letargik >60%
 Lidah tifus (“kotor”) 40%

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal.
Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh.
Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus

3. Pemeriksaan Uji Widal


Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella
typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita
membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
 Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri
 Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri
 Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)

2.6 TERAPI
1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan
secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas
2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol
dan 80 mg trimetoprim)
4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu
5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan
selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari
6. Golongan Fluorokuinolon
 Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
7. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid
toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua
macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S,
2001)

2.7 KOMPLIKASI
Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati,
bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)

Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita
demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan
umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut
jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali
sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis,
endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes
normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita
hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992)

2.8 DISCHARGE PLANNING


1. Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi
2. Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola makanan
3. Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.
4. Penderita memerlukan istirahat
5. Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat(Samsuridjal D dan Heru S,
2003)
6. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kondisi fisik anak
7. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping
8. Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan
untuk mengatasi gejala tersebut
9. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan.
10.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
1. Riwayat keperawatan
2. Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam
hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan
kesadaran

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada
nafsu makan, mual, dan kembung
3. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan,
dan peningkatan suhu tubuh

3.3 PERENCANAAN
1. Mempertahankan suhu dalam batas normal
 Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia
 Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan
 Berri minum yang cukup
 Berikan kompres air biasa
 Lakukan tepid sponge (seka)
 Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat
 Pemberian obat antipireksia
 Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat

2. Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan


 Menilai status nutrisi anak
 Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak,
rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak
meningkat.
 Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan
kualitas intake nutrisi
 Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik
porsi kecil tetapi sering
 Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala
yang sama
 Mempertahankan kebersihan mulut anak
 Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan
penyakit
 Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian
makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak

3. Mencegah kurangnya volume cairan


 Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam
 Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis,
ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir
pecah-pecah
 Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan
skala yang sama
 Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam
 Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water
Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge
 Memberikan antibiotik sesuai program
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Diabetes militus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya (Purnamasari, 2009).
Menurut American Diabetes Assosiation (ADA, 2010), diabetes militus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dan kronis dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekrasi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya yan membutuhkan peralatan medis dan pendidikan pengelolaan mandiri untuk
mencegah komplikasi akut dan menurunkan risiko komplikasi jangka panjang.

Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai
dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus,
pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng
Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit
kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari
limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)

4.2 SARAN
Sebagai penyusun, kami merasa bersyukur dan bangga dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sedemikian rupa, tetapi, makalah ini belumlah sempurna seperti
makalah yang sempurna. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun memohon kritik dan
saran dari para pembaca karena kami sadar tiada hal yang sempurna di muka bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran.


Penerbit Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000.
2. Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.
3. Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar &
Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.
4. Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes
Kartini. Hipokrates. Jakarta. 1997.
5. Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama.
Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.
6. Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.
7. Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.
8. Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba
Medika. Jakarta. 2002.
9. Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada
Anak. Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.
10. Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang. 2001.

Anda mungkin juga menyukai