Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji sukur saya panjatkan kepada TUHAN YME atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul DIABETES MELITUS. Makalah ini disusun sebagai
salah satu tugas persyaratan kenaikan pangkat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan teman
sejawat yang senantiasa mendukung dan memberi kritik serta sarannya dalam penyusunan
makalah ini sehingga berjalan lancar.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari teman sejawat serta
rekan-rekan pembaca untuk memberikan saran dan masukan yang berguna bagi penulis.

Lepas dari segala kekurangan yang ada, saya berharap semoga makalah ini membawa
manfaat bagi kita semua.

Dr. MERY SAURMA SIDABUTAR


NIP. 196910142008012003

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................3
2.1. DEFENISI..........................................................................................................4
2.2. KLASIFIKASI....................................................................................................4
2.3. PREVALENSI....................................................................................................5
2.4. PATOGENESIS.................................................................................................6
2.4.1. DIABETES MELITUS TYPE 1......................................................................6
2.4.2. DIABETES MELITUS TYPE 2......................................................................6
2.5. MANIFESTASI KLINIK...................................................................................6
2.6. KOMPLIKASI...................................................................................................7
2.4.1 PENATALAKSANAAN....................................................................................

BAB III PENUTUP.....................................................................................................18


A. Kesimpulan.......................................................................................................18
B. Saran.................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................19

2
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh

adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau

keduanya.1

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus

tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO

memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes

setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai

8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah

21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka

menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur. 2

Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya

kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian prospektif

menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular

seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan

juga pembuluh darah tungkai bawah. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan

komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti 3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan

bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang

merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan

gangguan fungsi insulin. 4

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005,

yaitu1 :

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari

sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari),

sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal

atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta


b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi

4
4. DM Gestasional

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI


1998

DM TIPE 1: DM TIPE 2 : DM TIPE LAIN : DM


Defisiensi Defisiensi insulin 1. Defek genetik fungsi sel beta : GESTASIONAL
insulin absolut relatif : Maturity onset diabetes of the young
A
akibat destuksi 1, defek sekresi Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain
sel beta, insulin lebih 2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis
karena: dominan daripada Pankreatektomy
1.autoimun resistensi insulin. 3.Endokrinopati : akromegali, cushing,
2. idiopatik 2. resistensi insulin hipertiroidisme
lebih dominan 4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme
daripada defek 5.Akibat virus: CMV, Rubella
sekresi insulin. 6.Imunologi: antibodi anti insulin
7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

2.3 Prevalensi

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus

tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO

memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita

diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes

mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia

akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari

bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan

secara teratur.2

5
2.4 Patogenesis

2.4.1 Diabetes mellitus tipe 1

Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel pankreas sudah

rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meskipun rinciannya masih

samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik

terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu

mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis,

sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap

keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima adalah

perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel asing, terbentuk

antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah

perusakan sel beta dan penampakan diabetes.5

2.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2

Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal dan

resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang utama tidak

diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama,

glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat.

Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin

meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase

ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan

hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.5

2.5 Manifestasi Klinik

Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa

yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan

tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit 1.

Kriteria diagnostik :

 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu merupakan

hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan terakhir, atau

Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan

sedikit nya 8 jam, atau

6
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO,

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan

dalam air.8

 Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.3

Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO ’94

 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

 Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih

tanpa gula tetap diperbolehkan.

 Diperiksa kadar glukosa darah puasa

 Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan dalam 250

ml air dan diminum dalam 5 menit.

 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai

 Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa

 Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

 Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan

ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah puasa

terganggu) dari hasil yang diperoleh

 TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl

 GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

2.6 Komplikasi

a. Penyulit akut

1. Ketoasidosis diabetik

KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan

penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon

pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan

penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia.

Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-

A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb

7
cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di oksidasi

untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan

mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping itu

glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai ketogenic effect

menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35,

HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa

anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah

pernapasan kussmaul dan berbau aseton.

2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg% tanpa

ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang

mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena pada

keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana

kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat

mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia

3. Hipoglikemia

Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau

GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,

tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan

kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada muka,

bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala

neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.

b. Penyulit menahun

1. Mikroangiopati

Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis

• Retinopati Diabetik

retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens vasa.

Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik mikroaneurisma

dan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok. Bahayanya dapat terjadi

perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina darah bagian dalam pada

8
endotel retina menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan

sekitarnya menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang. Pada retinopati

diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang merangsang

neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum dalam jumlah

besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum

yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang

berakibat penurunan penglihatan mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes

memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala dan setiap tahun bila

sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah kebutaan. Faktor utama adalah gula

darah yang terkontrol memperlambat progresivitas kerusakan retina.

• Nefropati Diabetik

Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada minimal

2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi

patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan

AGE, advanced glication product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan

kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi

peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik,

nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap

dan berkembang menjadi chronic kidney disease.9

• Neuropati diabetik

Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi

distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering

dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari.

Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk

mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan

monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun.6

9
2. Makroangiopati

• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak

Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan terutama untuk

mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga PJK atau DM

• Pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi dengan

gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang ulkus iskemik

kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.9

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas hidup dengan

menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga sama dengan orang

normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :

1. Edukasi

Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan

masyarakat.

2. Terapi gizi medis

Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang sangat

direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada prinsipnya melakukan

pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan

modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.

Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal

a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl

b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl

c) Kadar HbA1c < 7%

2. Tekanan darah <130/80

3. Profil lipid :

a) Kolesterol LDL <100 mg/dl

b) Kolesterol HDL >40 mg/dl

10
c) Trigliserida <150 mg/dl

4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan

diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,, status kesehatan, aktivitas fisik

dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa

pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi

berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian

nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi,

lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan

petugas kesehatan yang ada.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :

Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%, Lemak 20-25%

dan Protein 10-15%.

KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)

 Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih ditentukan oleh

jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu sendiri.

 Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari sumber karbohidrat

 Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat maksimal 70% dari

total kebutuhan perhari

 Jumlah serat 25-50 gram/hari.

 Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.

 Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya adalah pemanis buatan

seperti sakarin, aspartam, acesulfam dan sukralosa. Penggunaannya pun dibatasi karena dapat

meningkatkan resiko kejadian kanker.

 Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari

 Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

PROTEIN

 Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.

 Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan mempengaruhi

konsentrasi glukosa darah .

11
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0

mg/kg BB/hari .

 Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa 0,85 gr/kg BB/hari dan

tidak kurang dari 40 gr.

 Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati lebih dianjurkan

dibandingkan protein hewani.

LEMAK

 Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari total

kebutuhan kalori perhari.

 Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai

maksimal 7% dari total kalori perhari.

 Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥100 mg/dl, maka

maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg perhari.

B. Kebutuhan Kalori

Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB ideal ditambah atau

dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan dan

lain-lain.

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI

Kebutuhan basal :

Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori

Wanita = berat badan ideal (kg) x 25 kalori

Koreksi :

umur

• 40-59 th : -5%

• 60-69 : -10%

• >70% : -20

aktivitas

• Istirahat : +10%

• Aktivitas ringan : +20%

12
• Aktivitas sedang : +30%

• Aktivitas berat : +50%

berat badan

• Kegemukan : - 20-30%

• Kurus : +20-30%

stress metabolik : + 10-30%

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%, makan siang 30% dan

makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-15% diantara porsi besar.

Berdasarkan IMT  dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan kuadrat

(m2).

Kualifikasi status gizi :

BB kurang : < 18,5


BB normal : 18,5 – 22,9
BB lebih : 23 – 24,9
3. Latihan Jasmani

Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena mengurangi resiko

kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah terjadi mikroangiopati dan

peningkatan lipid darah akibat pemecahan berlebihan yang membuat vaskular menjadi

lebih rentan akan penimbunan LDL teroksidasi subendotel yang memperburuk kualitas

hidup penderita. Dengan latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini

akan menurunkan kadar gula darah.

Aktivitas latihan :

 5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa

 10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan meningkat 7-20x.

Lemak

juga akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%

 > 40 menit : makin banyak lemak dipecah ±75-90% .

Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula benda keton yang

terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke keadaan asidosis. Latihan

berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan atau terkontrol saja, sedangkan DM

yang agak berat, GDS mencapai > 350 mg/dl sebaiknya olahraga yang ringan dahulu.

Semua latihan yang memenuhi program CRIPE : Continous, Rhythmical, Interval,

13
Progressive, Endurance. Continous maksudnya berkesinambungan dan dilakukan terus-

menerus tanpa berhenti. Rhytmical artinya latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi

dan relaksi secara teratur. Interval, dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat.

Progresive dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringa sampai

sedang hingga 30-60 menit. Endurance, latihan daya tahan untuk meningkatkan

kemampuan kardiopulmoner seperti jalan santai, jogging dll.

4. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai degan

pengaturan makanan dan latihan jasmani.

1. obat hipoglikemik oral

a. insulin secretagogue :

sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat pilihan

utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih boleh diberikan

kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.

Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada peningkatan

sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid,

nateglinid.

b. insulin sensitizers

Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin endogen pada

target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah

protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat. Agonis PPARγ

yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.

c. glukoneogenesis inhibitor

Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki uptake

glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien

dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan hipoksemia.

d. Inhibitor absorbsi glukosa

14
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus halus

sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak

menimbulkan efek hipoglikemi

Hal-hal yang harus diperhatikan :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon kadar glukosa

darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30 menit sebelum

makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum

makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase α bersama makan

suapan pertama. Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.

2. Insulin

 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin prandial. Terapi

insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis.

 Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial atau

keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan

puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang

terjadi.

 Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja

pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli campuran tetap

(premixed insulin)

Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia

yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,

hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis yang hampir

maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM

Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau ginjal

yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk kemudian

diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO

dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja menengah

atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan pendekatan

15
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin

yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam

22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa

keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak

terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin

PENCEGAHAN

• Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor

resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan

kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat

badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan

kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit

ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer 6.

• Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada

pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian

pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan

penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak

pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian

antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada

penyandang Diabetes.

• Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami

penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada pencegahan

tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi

upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap,

misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak

16
mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal,

mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll

sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

17
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

DM merupakan salah satu penyakit metabolik yang disebabkan oleh banyak faktor

penyebab, yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah secara kronik yang disertai

gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh defek sekresi

insulin, aksi dari insulin atau keduanya

Diagnosa dini sangatlah penting dalam menentukan prognosis. Karakteristik yang dapat

diambil sebagai tolak ukur dalam mendiagnosis adalah ditemukannya hasil gula darah yangg

abnormal yang diperiksa beberapa kali kecuali disertai gejala klinis yang klasik.

Prinsip penatalaksanaan dari DM adalah mencapai dan mempertahankan kadar gula darah

normal. Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran kadar glukosa darah belum juga

tercapai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani. Yang bertujuan mencegah terjadinya

komplikasi karena bilamana sudah terjadi komplikasi maka tidak dapat diperbaiki lagi dan

menimbulkan cacat yang dapat menimbulkan kematian.

SARAN

Penderita DM sebaiknnya kontrol secara teratur dan tidak putus obat. Edukasi mengenai

pengenalan tanda-tanda terjadinya ancaman komplikasi diberikan selama perawatan dan kontrol

berobat. Edukasi untuk diet dan latihan jasmani agar memperingan intervensi farmakologis. Agar

terapi tepat sasaran perlu dilakukan pemeriksaan kultur luka dan tes resistensi obat agar

penyembuhan luka maksimal. Penderita DM sebaiknya dilakukan pengontrolan kadar kolesterol

dan tekanan darah, bila ada kelainan sebaiknya segera diobati karena akan mempercepat

terjadinya komplikasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit
dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai
penerbit FKUI, 2006; 1857.
2. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008 [ diakses
tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id
3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi
pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I
dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.
4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta : PERKENI, 2011
5. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie,
A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006
7. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi
Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam
FKUI; 2006; hal. 1920
8. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1873
9. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus. Patofisiologi :
Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa,
Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259

19

Anda mungkin juga menyukai