DISUSUN OLEH:
Aditya Pratama S
1102012006
PEMBIMBING:
BAB I
Pendahuluan ...................................................................................................................... 3
BAB II
DIABETES MELITUS
Definisi ......................................................................................................................... 4
Epidemiologi ................................................................................................................ 4
Faktor resiko ................................................................................................................5
Klasifikasi .................................................................................................................... 7
Patogenesis ................................................................................................................... 7
Manifestasi Klinis ...................................................................................................... 10
Diagnosis ................................................................................................................... 11
Tatalaksana ................................................................................................................. 14
Komplikasi ................................................................................................................. 23
Pencegahan ................................................................................................................. 29
BAB III
Kesimpulan ..................................................................................................................... 31
Laporan Kasus…………………………………………………………………………..32
Daftar Pustaka ................................................................................................................. 37
2
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut konsensus 2015 Jumlah penduduk Indonesia saat ini diperkirakan mencapai
240 juta. Dan menurut data RISKESDAS 2007, prevalensi nasional DM di Indonesia untuk
usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Berdasar data IDF 2014, saat ini diperkiraan 9,1 juta
orang penduduk didiagnosis sebagai penyandang DM. Dengan angka tersebut Indonesia
menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan data IDF
tahun 2013 yang menempati peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang penyandang
DM.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa serum) akibat kurangnya hormon insulin,
menurunnya efek insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2010).
Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya
terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (Hiperglikemi) (Depkes, 2014).
2.2 Epidemiologi
50
45
40
35
30
DM
25
20 TGT
15
10 GDP Terganggu
5
0
15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75+
4
2.3 Faktor Resiko
Faktor risiko diabetes mellitus bisa dikelompokkan menjadi dua:
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Ras atau etnik
Resiko Diabetes melitus tipe 2 lebih besar pada hispani, kulit hitam, penduduk asli
amerika dan Asia.
b. Umur
Usia > 45 tahun
Resistensi insulin biasanya meningkat pada usia diatas 65 tahun.
c. Jenis kelamin
d. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus
Seseorang dapat mewarisi gen penyebab diabetes melitus dari orang tua. Biasanya,
seseorang yang mengalami diabetes melitus mempunyai anggota keluarga yang
juga terkena diabetes melitus.
e. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram
f. Riwayat lahir dengan berat badan < 2500 gram
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
a. Berat badan lebih
b. Obesitas abdominal/sentral
c. Kurangnya aktivitas fisik
d. Hipertensi
(≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
e. Dislipidemia
HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
f. Diet tidak sehat
g. Merokok
h. Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
i. Riwayat Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDP Terganggu)
5
Gambar 2. Proporsi / persentase penduduk Indonesia dengan Faktor Risiko Diabetes
Mellitus.
6
2.4 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi menurut etiologi:
1. Diabetes Mellitus tipe 1:
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut auto imun dan
idiopatik.
2. Diabetes Mellitus tipe 2:
Bervariasi, mulai yang dominan resisten insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resisten insulin.
3. Tipe lain:
a. Defek genetik fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Karena obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Sebab imunologi yang jarang
h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2, 2015)
4. Diabetes mellitus gestational
Yaitu, DM yang terjadi pada ibu hamil.
( Gustaviani, 2016 )
2.5 Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui
bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak
(meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi
insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi
glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini
7
(ominous octet) (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2,
2015).
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan
sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2
tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet.
Gambar 3. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam pathogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2 (Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the
Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus.
Diabetes. 2009; 58: 773-795)
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet)
berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat
anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1
agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
8
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)
dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan
secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon
GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-
2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP
-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat
melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi
monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
9
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan disbanding individu yang normal.
Obat yang menghambat sekresi glucagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi
GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-
Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya
tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen
SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu
contoh obatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang
DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat
akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini
adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
2. Polidipsi
Karena terjadi poliuri maka terjadi cairan dalam tubuh berkurang sehingga merasa
haus yang akan menstimulasi hipotalamus.
10
3. Polifagia
karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk
memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap
saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.
Keluhan lainnya:
1. Lemah badan
2. Kesemutan
3. Gatal
4. Mata kabur
5. Disfungsi ereksi pada pria
6. Pruritus vulva pada wanita
(Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2, 2015)
2.7 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Pemeriksaan fisik:
1. Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang
2. Tanda neuropati
3. Mata ( visus, lensa mata dan retina )
4. Gigi dan mulut
11
5. Keadaan kaki ( termasuk rabaan nadi kaki ), kulit dan kuku.
6. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis
7. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
8. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan penunjang:
1. Glukosa darah sewaktu
Gambar 4. Ilustrasi cek glukosa darah sewaktu
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT):
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
12
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c
yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
13
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya diulang
setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun. Pada
keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka
pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya
perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada
gambar-5:
Gambar 5. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM
2.8 Tatalaksana
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas hidup
dengan menormalkan kadar gula darah dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga
sama dengan orang normal.
1. Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang meliputi:
14
1. Riwayat Penyakit
- Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
- Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan berat badan.
- Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
- Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi
medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri.
- Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan
makan dan program latihan jasmani.
- Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia,
hipoglikemia).
- Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenital.
- Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata, jantung dan
pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
- Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
- Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).
- Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
- Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
- Pengukuran tinggi dan berat badan.
- Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
- Pemeriksaan funduskopi.
- Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
- Pemeriksaan jantung.
- Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
- Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular, neuropati, dan
adanya deformitas).
- Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi, necrobiosis
diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan insulin).
- Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkanDM tipe lain.
15
3. Evaluasi Laboratorium
- Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam setelah TTGO.
- Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru terdiagnosis DMT2
melalui pemeriksaan:
- Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density Lipoprotein (HDL),
Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
- Tes fungsi hati
- Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
- Tes urin rutin
- Albumin urin kuantitatif
- Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
- Elektrokardiogram.
- Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakitjantung kongestif).
- Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
16
2. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
Komposisi yang dianjurkan:
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %. Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream.
- Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
3. Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber protein yang baik adalah
ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe. Pada pasien dengan nefropati diabetic perlu penurunan
asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani
hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
4. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat yaitu <2300 mg
perhari. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan
natrium secara individual. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,
dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
5. Serat
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang- kacangan, buah dan sayuran
serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari
yang berasal dari berbagai sumber bahan makanan.
b. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang DM,
antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung pada
17
beberapa factor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa
cara perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut:
- Perhitungan berat badan ideal (BBI)
menggunakan rumus Broca yang dimodifikasi:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
- Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi:
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal: BB ideal ± 10 %
Kurus: kurang dari BBI - 10 %
Gemuk: lebih dari BBI + 10 %
- Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh
dapat dihitung dengan rumus:
- IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT:
• BB Kurang <18,5
• BB Normal 18,5-22,9
• BB Lebih ≥23,0
• Dengan risiko 23,0-24,9
• Obes I 25,0-29,9
• Obes II ≥30
*) WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:Redefining Obesity and
its Treatment.
18
Pilar 3: Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5
kali perminggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar
latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa
darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan jasmani. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi
angka 220 dengan usia pasien.
19
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2. Dosis Metformin
diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2).
Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30
mL/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
PPOK,gagal jantung [NYHA FC III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa
gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.
- Tiazolidindion (TZD).
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak,
dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila
diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan
ini adalah Pioglitazone.
20
- Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co- transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini
antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin
baru saja mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
Gambar 6. Golongan obat oral yang ada di Indonesia
21
• Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
• Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid insulin),
kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli campuran
tetap (premixed insulin)
Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia
yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non
ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan
dosis yang hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke),
kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan
makan, gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Penatalaksanaan
hipoglikemia. Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk kemudian
diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi
OHO dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal
(kerja menengah atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau menjelang
tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa yag baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila
dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka
OHO dihentikan dan diberikan insulin (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2, 2015).
22
Algoritma pengobatan DMT2 tanpa dekompensasi metabolik dapat dilihat pada gambar.7:
Gambar 7.
2.9 Komplikasi
a. Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia.
Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan
Ko-A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam
kreb cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di
oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa
akan mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping itu
glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai ketogenic effect
menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35,
HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa
23
anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah
pernapasan kussmaul dan berbau aseton.
24
a. Penyulit menahun
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis
• Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens
vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik
mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok. Bahayanya
dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina darah bagian
dalam pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen plasma ke
dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema yang membuat gangguan pandang.
Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia retina yang progresif yang
merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum
dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam
korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi
perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan mendadak. Dianjurkan
penyandang diabetes memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala
dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah kebutaan.
Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol memperlambat progresivitas kerusakan
retina.
• Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada
minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat
hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi
nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan menyebabkan
hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai
vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus
dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati dimana
terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney disease.
• Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang
sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di
malam hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
25
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun.
Pemeriksaan Neuropati Vaskular
1. Setiap pasien dengan diabetes perlu dilakukan pemeriksaan kaki secara lengkap,
minimal sekali setiap satu tahun meliputi:
Inspeksi, perabaan pulsasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior, dan pemeriksaan
neuropati sensorik.
2. Deteksi Dini Kelainan Kaki dengan Risiko Tinggi dapat dilakukan melalui
pemeriksaan karakteristik kelainan kaki:
- Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku.
- Rambut kaki yang menipis.
- Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh ingrowing nail).
- Kalus (mata ikan) terutama di bagian telapak kaki.
- Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang menonjol.
- Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari.
- Kaki baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri.
- Kaki yang terasa dingin.
- Perubahan warna kulit kaki (kemerahan, kebiruan, atau kehitaman).
3. Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi.
Ulkus kaki diabetik adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang
meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien.
4. Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer penyakit arteri perifer
(peripheral arterial disease), ataupun kombinasi keduanya.
5. Pemeriksaan neuropati sensorik dapat dilakukan dengan menggunakan monofilamen
Semmes-Weinstein 10g, serta ditambah dengan salah satu dari pemeriksaan : garpu
tala frekuensi 128 Hz, tes refleks tumit dengan palu refleks, tes pinprick dengan
jarum, atau tes ambang batas persepsi getaran dengan biotensiometer.
26
Gambar 9. Test Monofilamen
27
kalus dan memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi
tekanan.
- Penyuluhan (education control): penyuluhan yang baik. Seluruh pasien dengan diabetes
perlu diberikan edukasi mengenai perawatan kaki secara mandiri.
28
1. Makroangiopati
• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan
terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga PJK
atau DM
• Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi
dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
2.10 Pencegahan
Sasaran pencegahan primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa.
Materi Pencegahan Primer Diabetes Melitus Tipe 2 Pencegahan primer dilakukan dengan
tindakan penyuluhan dan pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang
mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa.
29
Pencegahan Sekunder Terhadap Komplikasi Diabetes Melitus:
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada
pasien yang telah terdiagnosis DM. Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan
pengendalian kadar glukosa sesuai target terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit
yang lain dengan pemberian pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini adanya
penyulit merupakan bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan ini dilakukan sejak awal
pengelolaan penyakit DM. Program penyuluhan memegang peran penting untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan sehingga mencapai
target terapi yang diharapkan. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu
selalu diulang pada pertemuan berikutnya.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan
kualitas hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum
kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien
dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal. Pencegahan tersier memerlukan pelayanan
kesehatan komprehensif dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit
rujukan. Kerjasama yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung, ginjal, mata,
saraf, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dan lain-
lain.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
30
BAB III
KESIMPULAN
Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe 2) adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
atau ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-sel B pankreas
karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll), penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Penderita diabetes melitus
biasanya mengeluhkan gejala khas seperti poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak
minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari) nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) mudah lelah, dan
kesemutan. Kejadian DM Tipe 2 lebih banyak terjadi pada wanita sebab wanita memiliki
peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar pada tahun 2008 prevalensi DM di Indonesia membesar hingga 57%. Peningkatan
Kejadian Diabetes Melitus tipe 2 di timbulkan oleh faktor faktor seperti riwayat diabetes
melitus dalam keluarga, umur, Obesitas, tekanan darah tinggi, dyslipidemia, toleransi glukosa
terganggu, kurang aktivitas, riwayat DM pada kehamilan. Untuk menegakkan diagnosis
Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas dengan hasil
pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan pemilihan obat oral hiperglikemik
dan insulin serta modifikasi gaya hidup seperti diet , dan olahraga teratur untuk menghindari
komplikasi seperti ketoasidosis diabetik, koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan
kemolakto asidosis, penyakit jantung koroner,gagal jantung kongetif, stroke, nefropati,
diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan ulkus diabetikum.
Pada setiap penanganan penyandang DM, harus selalu ditetapkan target yang akan
dicapai sebelum memulai pengobatan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan
program pengobatan dan penyesuaian regimen terapi sesuai kebutuhan serta menghindari hasil
pengobatan yang tidak diinginkan. Pengobatan DM sangat spesifik dan individual untuk
masing-masing pasien. Modifikasi gaya hidup sangat penting untuk dilakukan, tidak hanya
untuk mengontrol kadar glukosa darah namun bila diterapkan secara umum, diharapkan dapat
mencegah dan menurunkan prevalensi DM, baik di Indonesia maupun di dunia
di masa yang akan datang.
31
LAPORAN KASUS
2.2. Subject:
a. Keluhan Utama : Lemas sejak 2 hari SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan lemas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Gejala lain yang menyertai adalah pusing, nyeri ulu hati seperti rasa terbakar, mual,
namun tidak disertai muntah, BAB dan BAK dalam batas normal, nyeri kepala (+)
batuk/pilek (-) demam (-). 5 tahun yang lalu pasien merasa berat badannya turun
meskipun banyak makan, namun setelah pengobatan berat badannya naik kembali.
Pasien juga mengeluhkan banyak minum dan sering terbangun di malam hari untuk
buang air kecil.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM tipe II sejak -/+ 5 tahun yang lalu, pasien didiagnosa saat berobat ke klinik
dengan keluhan lemas dan ketika dilakukan GDS hasilnya 450 gr/dl. Pasien diberikan
oleh dokter yang merawat obat Metformin dan glibenclamid selama menjalani
pengobatan di rumah, rutin minum obat, sulit mengatur makan dan tidak rutin olahraga.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tidak memiliki riwayat kencing manis pada keluarganya, asma (-), HT (-)
penyakit jantung (-)
d. Riwayat Sistemik
32
Nyeri kepala (+), mata kabur (-), dada terasa nyeri (-) dada berdebar debar (-), terasa
tertindih beban berat (-), batuk (+), sesak nafas (+), Buang air besar normal, buang air
kecil sering.
2.3. Object:
a. Pemeriksaan Fisik
Composmentis, GCS : E4V5M6 , tampak sakit sedang.
TD : 115/80 Nadi : 70 x/menit RR : 20 kali/ menit Temp : 36, 6 derajat C
Kepala dan Leher
- Anemia (-/-) - Ikterik (-/-)
- Sianosis (-) - Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Thorak
Pulmo :
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, retraksi ics (-).
- Palpasi : Trakea di tengah
+/+
- Perkusi : Sonor +/+
+/+
+/+ -/- -/-
- Auskultasi : Vesikuler +/+ ; Wheezing -/- ; Rhonki -/-
+/+ -/- -/-
Cor :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
- Perkusi :
o Batas jantung kanan : ICS 3 dekstra sejajar dengan para sternal line
dekstra
o Batas jantung kiri : ICS 5, mid klavikula line
sinistra
- Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur(-), gallop (-).
Abdomen :
- Inspeksi : Flat
- Auskultasi : BU (+) N, hipertimpani (-)
33
- Perkusi : Sonor _ _
_ _
Ekstremitas - -
- Akral hangat, edema
- -
- Edema pada ekstremitas atas dan bawah, warna kulit sawo matang, kemerahan (-),
deformitas (-) massa (-), uji tekan (+) pada eksterimas bawah. Akral hangat, nyeri (-),
ektremitas atas dan bawah tidak mengalami kelemahan ataupun nyeri saat bergerak.
b. Pemeriksaan Penunjang :
Lab 11/ 01/ 2014
DARAH LENGKAP HASIL NILAI NORMAL
Leukosit 8,700 4.000-10.000/uL
Hemoglobin 12,5 13,2-17,3 %
Hematokrit 34 40-52 %
Trombosit 285.000 150.000 – 400.000 / uL
KIMIA DARAH
GDS 583 < 140 mg/dL
2.4 Assessment
IGD : DM type II
2.5 Penatalaksanaan
- IVFD RL Loading II kolf > RL 500cc/6jam
- Inj. Humalog mix 50 10/10/10 unit
- Inj. Omeprazole 1 x 40mg
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr
- Asam Folat 3 x 1 tab
- CaCO3 3 x 1 tab
- Bicnat 3 x 1 tab
34
Tanggal S O A P
12/03/2019 Pusing CM, TSR DM type II -IVFD RL 500cc /6
Mual TD: 120/80; jam
GD2JPP: 244 N: 78x; -Inj. Humalog mix
Ur: 63 RR: 20x; 50 10/10/10 unit
Cr: 2 -Inj. Omeprazole 1 x
40mg
Trigliserida: 400 -Inj. Ceftriaxone 1 x
Total: 231
2gr
HDL: 55
LDL: 150 An (-/-), -Asam Folat 3 x 1
Ikterik (-/-), tab
rho (-), whz (-) -CaCO3 3 x 1 tab
s1s2 tgl reg. -Bicnat 3 x 1 tab
BU (+)N, NTE -Fenofibrat 1x300mg
(-), edema (-) -syr sukralfat 3x15cc
35
DAFTAR PUSTAKA
36