Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

CHRONICN KIDNEY DISEASE

DISUSUN OLEH:

Eli Susant

1102013095

PEMBIMBING:

Letkol CKM (K) Dr. Ade Netra Kartika, Sp. PD, MARS, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RS TK.II MOH. RIDWAN MEURAKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Eli Susanti

NPM : 1102013095

Asal Insitusi : Universitas Yarsi

Stase : Interna

Periode : 13Mei-28 Juli 2019

REFERAT DENGAN JUDUL

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Penyusun

Eli Susanti

1102013095

Pembimbing

Kepala Departemen Penyakit Dalam Jantung dan Paru

RS TK II Moh. Ridwan Meuraksa

Letkol CKM (K) Dr. Ade Netra Kartika, Sp. PD, MARS, FINASIM

2
Daftar Isi

Daftar isi...................................................................................................3
Daftar gambar..........................................................................................4
Daftar table..............................................................................................5

BAB I
Pendahuluan...................................................................................................6

BAB II
CHRONIC KIDNEY DISEASE…………………………………………………………………………..7

Definisi........................................................................................................7
Anatomi Ginjal dan Glomerulus.................................................................7
Epidemiologi............................................................................................12
Etiologi dan Klasifikasi..............................................................................12
Patofisiologi..............................................................................................19
Diagnosis..................................................................................................24
Tatalaksana...............................................................................................26
Komplikasi................................................................................................32
Prognosis..................................................................................................32
BAB III
Kesimpulan...................................................................................................33
Daftar Pustaka...............................................................................................34
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Ginjal............................................................................10

Gambar 2.1 Struktur Glomerulus...................................................................11


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Laju Filtrasi Glomerulus......13

Tabel 2.2 Klasifikasi penyakit ginjal kronik dasar diagnosis etiologi..........13

Tabel 2.3 Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika


Serikat (1995-1999) .
......................................................................................................
14

Tabel 2.4 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di


Indonesia Tahun 2000.
......................................................................................................
14

Tabel 2.5 Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya


hidup, serta terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII
......................................................................................................
16

Tabel 2.6 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik...........30
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang


rongga abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit di atas garis
pinggang. Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk
menghasilkan urin, menahan bahan – bahan tertentu dan mengeliminasi bahan –
bahan yang tidak diperlukan ke dalam urin. Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta
satuan fungsional berukuran mikroskopik yang dikenal sebagai neuron, yang
disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Setiap nefron terdiri dari komponen
vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya secara struktural dan fungsional
berkaitan erat.

Bagian dominan pada komponen vaskuler adalah glomerulus, suatu berkas


kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah yang
melewatinya. Sedangkan komponen tubulus dari setiap neuron adalah suatu saluran
berongga berisi cairan yang terbentuk oleh satu lapisan sel epitel. Cairan yang
sudah terfiltrasi di glomerulus, yang komposisinya nyaris identik dengan plasma,
kemudian mengalir ke komponen tubulus nefron, tempat cairan tersebut
dimodifikasi oleh berbagai sistem transportasi yang mengubahnya menjadi urin.

Keadaan dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan


volume dan komposisi cairan tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar dan
bersifat irreversible (biasanya berlangsung beberapa tahun) di sebut dengan gagal
ginjal kronik. Gagal ginjal kronik bersifat samar karena hampir 75% jaringan ginjal
dapat dihancurkan sebelum gangguan fungsi ginjal terdeteksi. Karena besarnya
cadangan fungsi ginjal, 25% dari jaringan ginjal sudah cukup untuk menjalankan
semua fungsi regulatorik dan eksretorik ginjal. Namun dengan kurang dari 25%
jaringan fungsional ginjal yang tersisa, insufisiensi ginjal akan tampak. (1)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan
ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya
dalam darah). (2)

KRITERIA (2)
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan


struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama 3 bulan,


dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2.2. ANATOMI GINJAL dan GLOMERULUS(1)


Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di
belakang rongga abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit
diatas garis pinggang. Setiap ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena
renalis, yang masing – masing masuk dan keluar ginjal dilekukan medial
yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti buncis. Ginjal mengolah
plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin yang
kemudian mengalir ke sebuah rongga pengumpul sentral (pelvis renalis)
yang terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat (inti) kedua ginjal. Lalu
dari situ urin disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot
polos yang keluar dari batas medial dekat dengan pangkal (bagian
proksimal) arteri dan vena renalis. Terdapat dua ureter, yang menyalurkan
urin dari setiap ginjal ke sebuah kandung kemih. Kandung kemih ( buli –
buli) yang menyimpan urin secara temporer, adalah sebuah kantung
berongga yang dapat diregangkan dan volumenya disesuaikan dengan
mengubah – ubah status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala,
urin dikosongkan dari kandung kemih keluar tubuh melalui sebuah saluran,
uretra. Bagian – bagian sistem kemih diluar ginjal memiliki fungsi hanya
sebagai saluran untuk memindahkan urin keluar tubuh. Setelah terbentuk di
ginjal, komposisi dan volume urin tidak berubah pada saat urin mengalir ke
hilir melintasi sisi sistem kemih.
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran
mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain
oleh jaringan ikat. Susunan nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah
khusus : daerah sebelah luar yang tampak granuler ( korteks ginjal) dan
daerah bagian dalam yang berupa segitiga – segitiga bergaris – garis,
piramida ginjal, yang secara kolektif disebut medula ginjal. Setiap nefron
terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya
secara struktural dan fungsional berkaitan erat.
Komponen vaskuler dari nefron diantara lain :
- Arteriol aferen
merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi – bagi
menjadi pembuluh – pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan
darah ke kapiler glomerulus
- Glomerulus
suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan
zat terlarut dari darah yang melewatinya
- Arteriol eferen
Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen
tubulus meninggalkan glomerulus dan merupakan satu – satunya
arteriol di dalam tubuh yang mendapat darah dari kapiler
- Kapiler peritubulus
Merupakan arteriol eferen yang terbagi – bagi menjadi serangkaian
kapiler yang kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem
tubulus untuk memperdarahi jaringan ginjal dan berperan dalam
pertukaran cairan di lumen tubulus. Kapiler – kapiler peritubulus
menyatu membentuk venula yang akhirnya mengalir ke vena renalis,
temoat darah meninggalkan ginjal
Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berrongga berisis
cairan yang terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain :
- Kapsula Bowman
Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus
untuk mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus
- Tubulus proksimal
Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku –
liku) atau berbelit si sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal
menerima cairan yang difiltrasi dari kapsula bowman
- Lengkung henle
Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam
medula. Pars desendens lengkung henle terbenam dari korteks ke
dalam medula, pars assendens berjalan kembali ke atas ke dalam
korteks. Pars assendens kembali ke daerah glomerulus dari
nefronnya sendiri, tempat saluran tersebut melewati garpu yang
dibentuk oleh arteriol aferen dan arteriol eferen. Dititk ini sel – sel
tubulus dan sel – sel vaskuler mengalami spesialisasi membentuk
aparatus jukstaglomerulus yang merupakan suatu struktur yang
berperan penting dalam mengatur fungsi ginjal.
- Tubulus distal
Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari
lengkung henle dan mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus
pengumpul
- Duktus atau tubulus pengumpul
Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron
yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula
untuk mengosongkan cairan yang kini telah berubah menjadi urin ke
dalam pelvis ginjal
Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula
yang dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya.
Nefron korteks merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan
lengkung tajam dari nefron korteks hanya sedikit terbenam ke dalam
medula. Sebaliknya, nefron jukstamedula terletak di lapisan dalam korteks
di dekat medula dan lengkungnya terbenam jauh ke dalam medula. Selain
itu, kapiler peritubulus nefron jukstamedula membentuk lengkung vaskuler
tajam yang dikenal sebagai vasa rekta, yang berjalan berdampingan erat
dengan lengkung henle. Susuna paralel dan karakteristik permeabilitas dan
transportasi lengkung henle dan vasa rekta berperan penting dalam
kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam berbagai konsentrasi
tergantung kebutuhan tubuh.

Gambar 1: Anatomi Ginjal

Glomerulus
Secara bersamaan, glomerulus dan kapsula Bowman disebut dengan
korpuskulum renalis. Ginjal manusia memiliki sekitar satu juta glomerulus di
dalamnya. Glomerulus terdiri atas tiga tipe sel intrinsik: sel endotel kapiler,
sel epitel yang dipisahkan dari sel endotel oleh membrana basalis
glomerular, serta sel mesangial. Struktur glomerulus dapat dilihat seperti
pada Gambar

Gambar 2.1 Struktur Glomerulus

Dinding kapiler pada glomerulus berfungsi sebagai membran filtrasi dan


terdiri atas tiga
lapisan: (1) endotelium kapiler, (2) membrana basalis, dan (3) epitel (podosit
atau epitel
viseral). Setiap lapisan tersebut memiliki keunikan tersendiri sehingga dapat
membiarkan
seluruh komponen darah lewat dengan perkecualian sel-sel darah
serta protein plasma
dengan berat molekul di atas 70.000. Endotel glomerulus terdiri atas sel-sel
yang kontak dengan membrana basalis. Sel-sel ini memiliki banyak bukaan
atau ‘jendela’ kecil yang disebut fenestrae. Membrana basalis merupakan
jaringan glikoprotein dan mukopolisakarida yang bermuatan negatif dan
bersifat selektif permeabel. Epitel glomerulus memiliki sel-sel khusus yang
dinamakan podosit. Podosit memiliki prosesus yang menyerupai kaki
(footlike processes) yang menempel ke membrana basalis. Prosesus yang
satu akan berjalinan dengan prosesus lainnya membentuk filtration slit, yang
akan memodulasi proses filtrasi. Membran filtrasi glomerulus memisahkan
darah kapiler dengan cairan di ruang Bowman.
Filtrat glomerulus melewati ketiga lapisan membran filtrasi dan
membentuk urin primer. Sel-sel endotel dan membrana basalis memiliki
glikoprotein bermuatan negatif sehingga membentuk barrier filtrasi terhadap
protein anionik. Glomerulus menerima darah dari arteriol aferen dan
mengalirkan darah ke arteriol eferen. Sekelompok sel khusus yang
dinamakan sel jukstaglomerular terdapat di sekitar arteriol aferen, di dekat
tempat masuknya ke korpuskulum renalis. Di antara arteriol aferen dan
eferen terdapat bagian dari tubulus kontortus distal yang memiliki sel
khusus bernama
makula densa. Bersamaan, sel jukstaglomerular dan makula densa
membentuk aparatus
jukstaglomerular, yang berfungsi untuk mengatur aliran darah ginjal, filtrasi
glomerulus,
serta sekresi renin. Seperti telah disebutkan sebelumnya, glomerulus
berperan sebagai penyaring darah untuk membentuk urin, yang kemudian
akan diekskresikan dari tubuh.
Cairan yang disaring oleh membran filtrasi glomerulus tidak
mengandung protein namun mengandung elektrolit seperti natrium, klorida,
dan kalium, serta molekul organik seperti kreatinin, urea, dan glukosa.
Seperti membran kapiler lainnya, glomerulus permeabel terhadap air dan
relatif impermeabel

2.3. EPIDEMIOLOGI
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal
ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi
PGK di negara-negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar
12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang
terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar PGK di Indonesia baru
terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir. Hasil Riskesdas 2013 juga
menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan
kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi
dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat
perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan
menengah bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan
prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh,
Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 % 3

2.4. ETIOLOGI dan KLASIFIKASI


Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas
dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :2

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tetapi sekarang ini, lebih banyak mempergunakan rumus MDRD (Modification of


Diet in Renal Disease), yaitu :10

LFG (ml/min/1.73 m2) = 170 x [SCr]0.999 x [Umur]0.176 x [0.762 jika pasien adalah
wanita] x [1.180 jika pasien berwarna kulit hitam] x [SUN]-0.170 x [albumin]+ 0.318

Ket : SCr : Serum Creatinine (mg/dl)

SUN : Serum Urea Nitrogen (mg/dl)


Tabel 2.1 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi
glomerolus
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Deraja Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
t
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kroni katas Dasar Diagnosis Etiologi

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi


Penyakit Tipe mayor ( contoh )
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
diabetes sistemik, obat, neoplasma)
Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

Etiologi
Etiologi penyakit gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara negara satu
dan negara lain. Pada Tabel 2 menunjukkan penyebab utama dan insiden
penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat.

Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000


mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia,
seperti pada Tabel 3.
Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati
urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal dan penyebab yang
tidak diketahui.

Tabel 2.3 Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (1995-1999)

Inside
Penyebab
n
Diabetes Melitus 44%
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
27%
Glomerulonefritis
10%
Nefritis interstitialis
4%
Kista dan penyakit bawaan lain
3%
Penyakit sistemik (missal Lupus dan vaskulitis)
2%
Neoplasma
2%
Tidak diketahui
4%
Penyakit lain
4%

Tabel 2.4 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia


Tahun 2000

Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes


melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus
adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah
sehingga menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti
ginjal dan jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan
hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah
yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan
penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan
hipertensi.4

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan


darah diastolik ≥ 90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti
hipertensi. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua
golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut
juga hipertensi renal.6,7

Tabel 2.5 Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta
terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII.

Klasifikasi Sistolik Diastolik Modifikasi Terapi


Tekanan (mmHg) Gaya
(mmHg)
Darah Hidup
Normal < 120 Dan < 80 edukasi tidak perlu obat
antihipertensi
Prehipertensi 120 – Atau 80 – 89 Ya
139
Stage 1 HT 140 – Atau 90 – 99 Ya Thiazid tipe diuretik
159
Dapat juga ACEI,
ARB, BB, CCB, atau
kombinasi
Stage 2 HT > 160 Atau > 100 Ya Kombinasi 2 jenis
obat (biasanya thiazid
tipe diuretik dan
ACEI atau ARB atau
BB atau CCB)

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah
<130/80 mmHg.

Terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal antara lain dapat disebabkan


oleh beberapa mekanisme, yaitu:

o Hipervolemia.
Hipervolemia oleh karena retensi air dan natrium, efek ekses
mineralokortikoid terhadap peningkatan reabsorpsi natrium dan air di
tubuli distal, pemberian infus larutan garam fisiologik, koloid, atau
transfusi darah yang berlebihan pada anak dengan laju filtrasi
glomerulus yang buruk. Hipervolemia dapat menyebabkan curah
jantung meningkat dan mengakibatkan hipertensi. Keadaan ini sering
terjadi pada glomerulonefritis dan penyakit ginjal kronis .5

o Gangguan sistem renin, angiotensin dan aldosteron.


Renin adalah enzim yang diekskresi oleh sel aparatus juksta
glomerulus. Bila terjadi penurunan aliran darah intrarenal dan penurunan
laju filtrasi glomerulus, aparatus juksta glomerulus terangsang untuk
mensekresi renin yang akan merubah angiotensinogen yang berasal dari
hati, angiotensin I. Kemudian angiotensin I diubah oleh angiotensin
converting enzyme menjadi angiotensin II. Angiotensin II menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah tepi, dan menyebabkan tekanan darah
meningkat. Selanjutnya angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk
mengeluarkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan
air di tubuli ginjal, dan menyebabkan tekanan darah meningkat

o Berkurangnya zat vasodilator


Zat vasodilator yang dihasilkan oleh medula ginjal yaitu
prostaglandin A2, kilidin, dan bradikinin, berkurang pada penyakit ginjal
kronik yang berperan penting dalam patofisiologi hipertensi renal.
Adanya koarktasio aorta, feokromositoma, neuroblastoma, sindrom
adrenogenital, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, dapat
pula menimbulkan hipertensi dengan patofisiologi yang berbeda. Faktor-
faktor lain yang dapat menimbulkan hipertensi sekunder pada anak
antara lain, luka bakar, obat kontrasepsi, kortikosteroid, dan obat yang
mengandung fenilepinefrin dan pseudoefedrin.5

Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal antara


lain :4

Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan
bilateral.
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus
sistemik (SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8. Nefropati obstruktif
a. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
b. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

2.5. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung
pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin
dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis
renin-angiotensin- aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun tubulointerstitial.

Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi


kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti,
akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi
keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 %
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor
dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG
di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal.
Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
(2)

Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (9)


- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan
penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses
pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan
penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan
penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK dapat
menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum)
yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik
uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah
merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 –
80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi
eritropoiesis
- Sesak nafas
disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik
ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang
terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah
angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan
retensi NaCl dan air  volume ekstrasel meningkat (hipervolemia)
 volume cairan berlebihan  ventrikel kiri gagal memompa darah
ke perifer  LVH  peningkatan tekanan atrium kiri 
peningkatan tekanan vena pulmonalis  peningkatan tekanan di
kapiler paru  edema paru  sesak nafas

- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat
penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai
dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma.
Patogenesis asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi
penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron,
penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui
urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila
penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis
metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran
cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala
khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang
timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon
dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik
ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang
terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah
angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki
efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak
bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di
dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan
menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi
akan terlihat membengkak, meradang dan nyeri
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran
hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi
natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk
disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan
meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang
berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan
berupa kram, diare dan muntah.
- Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat
sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika
kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca 2+ untuk
membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang
terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut
menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
- Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat.
Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar
paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang.
Akibatnya terjadi demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya
PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap
rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun
terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada
insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan
sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya
konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma
tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap
berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini,
kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin
melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan
hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan
hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di
ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf,
lambung, sel darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam
terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gagal ginjal juga
berperan dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral.
Biasanya hormon ini merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di
usus. Namun karena terjadi penurunan kalsitriol, maka menyebabkan
menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat keadaan
hipokalsemia
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –
sel ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam
plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan
menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi
kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan
hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan
dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon
dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari
kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan
hipertensi. Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah
penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme
menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu
terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein berukuran
besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati
membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi
pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebut dengan sindrom
nefrotik.
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari
uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal
sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam
urin dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang
mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau
tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal,
maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan
gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan
pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi pada
keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma
uremikum.

2.6. DIAGNOSIS
 GEJALA KLINIS

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari


anamnesis, pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu
gambaharan histopatologis.2,9

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal


(reversible factors)

4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Meramalkan prognosis

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang


berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi
GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum
klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat
penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari, seperti DM, infeksi traktus


urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi dsb.

ii) sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritusm uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi


renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan
elektrolit (sodium, kalium, chlorida).2

gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ


seperti :

- Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan


fetor uremik
- Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
- Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
- Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
- Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria

 GAMBARAN LABORATORIUM(2)
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria
 GAMBARAN RADIOLOGIS(2)
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

 BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI GINJAL(2)


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal,
dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan
untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi
hasil terapi yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang
mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

2.7. Tatalaksana8

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal


ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi
toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.

a.Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk


mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual


tergantung dari LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut
(underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan


serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati
asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali
(sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35
atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis

inisial 50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2


gr/dL kurangi dosis pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum
pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali dalam seminggu.

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan


salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi
pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan
kematian mendadak.

Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi


hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym


Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE
inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat
proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan


hal yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal
kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang
diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita,
termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik


stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat
berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah


gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis,
yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,


anoreksia, muntah, dan astenia berat

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory


Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di
Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal
ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co- morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari
pusat ginjal.

c. Transplatasi ginjal
Tabel 2.6 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LFG Fosfat
Asupan protein g/kg/hari
ml/menit g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak
dibatasi
25 – 60 0,6 – 0,8 g/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 g/kg/hari nilai
biologi tinggi ≤ 10 g
5 – 25
0,6 – 0,8 g/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 g/kg/hari nilai
biologi tinggi atau tambahan 0,3 gr asam amino ≤ 10 g
< 60
esensial atau asam keton
(sindrom
nefrotik)
0,8 g/kg/hari (+1 gr protein/ g proteinuria atau 0,3
g/kg tambahan asam amino esensial atau asam ≤9g
keton

Farmakoterapi menurut NICE Guidelines 2008

a. Kontrol Tekanan Darah


- Pada orang dengak GGK, harus mengontrol tekanan sistolik < 140 mmHg
(dengan kisaran target 120-139 mmHh) dan tekanan diastolik < 90 mmHg.
- Pada orang dengan GGK dan diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol
atau lebih (kira0kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau
proteinuria 1gr/24 jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan istolik <130
mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80 mmHg.
b. Pemilihan agen antihipertensi
1st line: ACE inhibitor/ARBs (apabila ACE inhibitor tidak dapat mentolerir)

ACE inhibitor/ARBs diberikan pada:

 Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih
dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK.
 GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih (kira-
kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24 jam atau
lebih)
 GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen
dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24 jam atau lebih), tanpa
adanya hipertensi atau penyakit kardiovaskular.
 GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR <30 mg/mmol (kira-kira
ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria <0,5 gr/24 jam atau
lebih)
 Saat menggunakan ACE inhibitor/ARBs, upayakan mencapai dosis terapi
maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan 2nd line
(spironolakton)
 Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE inhibitor/ARBs:
- Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium dan
perkiraan LFG sebelum memulai terapi. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai
2 minggu setelah penggunaan obat dan setelah peningkatan dosis.
- Terapi ACE inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi serum
potassium secara signifikan >0,5 mmol/L
- Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut
- Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat >0,6 mmol/L
atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia sudah
tidak digunakan
- Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila bata LFG saat sebelum terapi kurang
dari 25% atau kreatinin plasma meningkaat dari batas awal kurang dari 30%.
- Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin plasma 30% ata
lebih :
 Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs.
 Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis harus diturunkan
dan alternative antihipertensi lain bisa digunakan.

2.8. KOMPLIKASI(2)
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
- Kelainan hematologi (anemia)
- Osteodistrofi renal
- Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
- Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

2.9. PROGNOSIS
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk,
kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,
bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya
GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan
gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.
BAB III
KESIMPULAN
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Dan ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam
darah)
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1
dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Kondisi lain yang dapat menyebabkan
gangguan pada ginjal antara lain penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%)
merupakan penyakit ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik.
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari
pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama
kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada
stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan
berbagai organ seperti kelainan saluran cerna (nafsu makan menurun, mual, muntah
dan fetor uremik), kelainan kulit (urea frost dan gatal di kulit), kelainan neuromuskular
(tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi menurun, insomnia, gelisah),
kelainan kardiovaskular (hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema), kangguan
kelamin (libido menurun, nokturia, oligouria)
Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang
diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan radiologis, serta pemeriksaan biopsi dan histopatologi ginjal
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat
perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular,
pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.
2. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus
SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
3. Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI. Dinduh dari : file:///C:/Users/ELI
%20SUSANTI/Downloads/infodatin%20ginjal%202017.pdf
4. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam UPH.
5. Silbernagl S dan Lang F. 2006. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC
Tedla FM, Brar A, Browne R, dan Brown C. 2011. Hypertension in chronic kidney
disease: navigating the evidence. International Journal of Hypertension.
6. Editorial. Tekanan Darah Tinggi. Diunduh dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Tekanan_darah_tinggi.

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,


Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.
8. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115.

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,


Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.
10. Andrew S, Josef C. Evaluation of Laboratory Measurements For Clinical Assessment
of Kidney Disease. Clinical Practice Guidelines For Chronic Kidney Disease :
Evaluation, Classification, Stratification. 2002(5): 89-90.
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn.B

Umur : 54 tahun

Jenis Kelamin : laki - laki

Agama : Islam

Alamat : Pondok Rangon

Status pernikahan : Menikah

Anamnesis

Pasien datang ke IGD RS Ridwan dengan rencana HD rutin 2 kali/minggu.


Pasien mengeluh lemas, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK dbn

Istri pasien menyatakan bahwa dahulu pasien mempunyai kebiasaan


mengkonsumsi minuman rasa-rasa seperti teh pucuk dan lainnya dibandingkan minum
air putih, pasien tidak mengkonsumsi minuman beralkoho, obat warung atau obat herbal

Keluhan Utama

Pasien mengeluh lemas

Riwayat Penyakit Sekarang

Saat ini pasien mengeluh lemas, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK dbn

Riwayat Pengobatan

Pasien sedang menjalani Hemodialisa rutin 2kali/minggu.


Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat sakit DM sekitar 4 tahun pasien rajin minum obat dan
kontrol

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga tidak ada riwayat Hipertensi, DM dan Stroke.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : composmentis

Tekanan darah : 150/80 mmHg

Nadi : 56 x/menit

Nafas : 22 x/menit

Suhu : 36.5º C

Berat badan : 64 kg

Tinggi badan : 164 cm

Status Generalis

Kepala : normocephal, simetris

Rambut : hitam, tersebar merata

Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik(-/-)

Telinga : sekret tidak ada, nyeri tekan dan ketok mastoid tidak ada

Hidung : tidak ditemukan kelainan

Tenggorok : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak hiperemis

Gigi dan Mulut : mukosa dan bibir basah. Caries gigi tidak ada. OH baik
Leher : KGB tidak ditemukan pembesaran

Thoraks : I = normochest, iktus tidak terlihat

Pa = fremitus sama Ki=Ka, iktus teraba di 1 jari medial

LMCS RIC V

Pe = Sonor. Batas jantung dalam batas normal

Au= Suara nafas vesikular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-. BJ I BJ


II reguler Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen : I = datar, distensi tidak ada

Pa = supel, hepar dan lien tidak teraba. Nyeri tekan

epigastrium (+)

Pe = Timpani

Au = bising usus (+) normal

Genital/anus : tidak ditemukan kelainan

Ekstremitas akral hangat, perfusi baik. Refleks fisiologis +/+, refleks


patologis -/-. Tidak terdapat edema pada kedua ekstremitas
bawah pasien

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan pada tanggal 6 Mei 2019 jam 13.37 di Lavender

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hematologi
Hemoglobin 8,6gr/dl 11,7 – 15,5 gr/dl
Leukosit 14,4/ µl 3.600 – 11.000 / µl
Hematokrit 24 % 35 – 47 %
Trombosit 231.000 / µl 150.000 – 440.000 /
µl
Kimia Darah
Fungsi Ginjal
Ureum 294 10 - 50 mg/dL
Cratinin 12,07 0,6 - 1,1 mg/dL
Imunologi
Screening
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
Anti HIV Non Reaktif Non Reaktif

Diagnosis Kerja

 CKD Stadium V on HD

Diagnosis Banding

 Anemia
 AKI

Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium
Tatalaksana awal

 IVFD
 Furosemid 2x40 mg
 Miniaspi 1x80 mg
 Amlodipine 1x5 mg
 Concor 1x2,5 mg
 Nitrokaf 1x1
 Vit. B12 3x1
 Bicnat 3 x 1
 CaaCO3 3 x 1

Prognosis

Ad vitam : dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

Anda mungkin juga menyukai