Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

HIPERTENSI

Disusun oleh :
Adelin Luthfiana Fajrin (1102015004)
Ahmad Rafi Faiq (1102015012)
Nazhira Nur’ Amaliya (1102015165)

Pembimbing :
dr. Budi Satria, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RS BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
PERIODE 24 JUNI – 31 AGUSTUS 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Hingga saat ini hipertensi masih merupakan tantangan terbesar di Indonesia,


hal ini terjadi karena hipertensi merupakan kondisi yang umum ditemukan pada
pelayanan kesehatan primer. Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah
peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima
menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang
berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan
pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (stroke) bila
tidak dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai.
Hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi,
yaitu sebesar 25,8% sesuai dengan data Riskesdas tahun 2013. Menurut American
Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun
menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir
sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi merupakan silent
killer dimana gejala dapat bervariasi pada masing-masing individu dan hampir
sama dengan gejala penyerta lainnya.
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Jika terdapat gejala maka biasanya bersifat non-spesifik, misalnya sakit
kepala atau pusing, jantung berdebar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga
berdenging dan mimisan. Apabila hipertensi tetap tidak diketahui dan tidak dirawat,
mengakibatkan kematian karena penyakit jantung, infark miokardium, stroke atau
gagal ginjal. Namun, deteksi dini dan perawatan hipertensi yang efektif dapat
menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan
tekanan darah secara teratur mempunyai peran penting dalam pengendalian
hipertensi.
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95% kasus. Bentuk
hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial. Patogenesis pasti
tampaknya sangat kompleks dengan interaksi dari berbagai variabel. Mungkin pula
terdapat predisposisi genetik.
Beberapa faktor risiko terjadinya hipertensi antara lain umur, jenis kelamin,
riwayat keluarga, genetik (faktor risiko yang tidak dapat diubah/dikontrol),
kebiasaan merokok, konsumsi makanan tinggi garam, lemak jenuh, kebiasaan
minum-minuman alkohol, obesitas, kurang aktivitas fisik dan stres.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI HIPERTENSI
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang menetap secara persisten
di atas normal. Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan
hemodinamik sistem kardiovaskular, yang mana patofisiologinya adalah
multifaktor. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD
≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan.

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Klinik


KATEGORI TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Optimal < 120 dan < 80
Normal 120 – 129 dan/atau 80 – 84
Normal tinggi 130 – 139 dan/atau 85 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 dan/atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 160 – 179 dan/atau 100 – 109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 140 dan < 90
Dikutip dari 2018 ESC/ESH Hypertension Guidelines.

Untuk pencegahan, deteksi, evaluasi dan tatalaksana tekanan darah tinggi


pada orang dewasa, 2017 ACC/AHA Guidelines mendefinisikan hipertensi sebagai
pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg atau pengukuran tekanan darah
diastolik ≥ 80 mmHg.

2. ETIOLOGI HIPERTENSI
Etiologi hipertensi tersering adalah penyakit renovaskular. Jika tidak
ditemukan penyebab sekunder maka hipertensi tersebut tergolong hipertensi
essential.
Tabel 2. Etiologi Hipertensi Sekunder
Penyebab Prevalensi
Penyakit renovaskular 5%-34%
Obstructive sleep apnea 25-50%
Aldosteronism primer 8-20%
HT diinduksi obat atau alcohol 2-4%
Hipertiroid <1%
Pheochromocytoma 0,1%-0,6%
Sindrom cushing <0,1%

Faktor Risiko
Faktor risiko hipertensi terdiri atas faktor yang dapat diubah dan tidak dapat diubah.
Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Diubah
Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi faktor genetik dan penuaan.
 Genetik
 Usia : Pada populasi lanjut usia studi menunjukkan TD diastolik menetap atau
mulai menurun sedangkan TD sistolik meningkat. Hal ini menunjukkan
kekakuan progresif pada pembuluh darah yang mungkin mengakibatkan
hipertensi. Kekakuan diduga terkait fragmentasi serta penurunan kadar serat
elastin dan peningkatan deposisi kolagen yang lebih kaku, penurunan kadar nitrit
oxide, peradangan, serta disfungsi neurohormonal (peningkatan sensitivitas
terhadap garam, peningkatan aldosterone, peningkatan saraf simpatis).

Faktor Risiko Yang Dapat Diubah


 Sosioekonomi : Faktor sosioekonomi meliputi globalisasi, urbanisasi, tingkat
stress, pendidikan serta pendapatan.
 Perilaku dan Pola hidup : Pola hidup meliputi diet tinggi garam, inaktivitas fisik
hingga obesitas. Perilaku terkait kebiasaan merokok serta konsumsi alkohol
berlebihan.
3. KLASIFIKASI HIPERTENSI
Ada pun klasifikasi hipertensi terbagi menjadi:
1. Berdasarkan penyebab
a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial
Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun dikaitkan
dengan kombinasi faktor gaya hid up seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan
pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi.

b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial


Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita
hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%,
penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya
pil KB).

2. Berdasarkan bentuk Hipertensi


Hipertensi diastolik (diastolic hypertension), Hipertensi campuran (sistol dan
diastol yang meninggi), Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension).

3. Berdasarkan Krisis Hipertensi


Krisis Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi
kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien
hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat antihipertensi. Krisis hipertensi
meliputi dua kelompok yaitu:
a. Hipertensi darurat (emergency hypertension): dimana selain tekanan darah
yang sangat tinggi terdapat kelainan/ kerusakan target organ yang bersifat
progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit
sampai jam) agar dapat mencegah/membatasi kerusakan target organ yang
terjadi.
b. Hipertensi mendesak (urgency hypertension): dimana terdapat tekanan
darah yang sangat tinggi tetapi tidak disertai kelainan/kerusakan organ target
yang progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih
lambat (dalam hitungan jam sampai hari).

4. Jenis hipertensi yang lain:


a. Hipertensi Pulmonal
Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada
pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan
pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi
pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan
toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Hipertensi
pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih
sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian
pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival / sampai
timbulnya gejala penyakit sekitar 2-3 tahun.
Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of
Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau
"mean"tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat istirahat atau
lebih 30 mmHg pada aktifitas dan tidak didapatkan adanya kelainan katup pad
a jantung kiri, penyakit myokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak
adanya kelainan paru.

b. Hipertensi Pada Kehamilan


Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya terdapat pada saat
kehamilan, yaitu:
- Preeklampsia-eklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang
diakibatkan kehamilan/keracunan kehamilan (selain tekanan darah yang
meninggi, juga didapatkan kelainan pada air kencingnya). Preeklamsi adalah
penyakit yang timbul dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria
yang timbul karena kehamilan.
- Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu
mengandung janin.
- Preeklampsia pada hipertensi kronik, yang merupakan gabungan
preeklampsia dengan hipertensi kronik.
- Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat.

Penyebab hipertensi dalam kehamilan sebenarnya belum jelas. Ada yang


mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah, ada
yang mengatakan karena faktor diet, tetapi ada juga yang mengatakan
disebabkan faktor keturunan, dan lain sebagainya.

4. EPIDEMIOLOGI HIPERTENSI
Prevalensi hipertensi terus meningkat tak hanya pada populasi di negara
miskin dan berkembang, tetapi juga di negara maju. Dalam 20 tahun, jumlah
penderita bertambah 400 juta hingga total mencapai 1 triliun pengidap hipertensi
pada tahun 2008. 40% penduduk usia ≥ 25 tahun mengalami hipertensi. Tingginya
kasus hipertensi diduga disebabkan oleh peningkatan usia, obesitas serta pola diet
tinggi garam.
Di Amerika kasus hipertensi juga tinggi. Data NHANES 2012 menunjukkan
80 juta penduduk (32,6%) usia ≥20 tahun menderita hipertensi dengan didominasi
oleh laki-laki pada populasi usia 20-45 tahun. Pada populasi 45-64 tahun jumlah
penderita laki-laki sebanding dengan perempuan. Penderita laki-laki lebih sedikit
dibanding wanita pada populasi usia >64 tahun. Sebagian besar kasus hipertensi
merupakan hipertensi primer, hanya sekitar 5% yang termasuk hipertensi sekunder.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan hipertensi diderita oleh 26,5
% penduduk Indonesia usia ≥18 tahun. Berdasarkan sebaran, wilayah yang tinggi
populasi hipertensi yakni Bangka Belitung (30,9%), Kalimantan Selatan (30,8%),
Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%).

5. PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Terdapat empat faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi, antara lain :
1. Volume intravaskular
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem
kardiovaskular yang mana patofisiologinya adalah multifaktor. Menurut Kaplan,
hipertensi banyak melibatkan faktor generik, lingkungan dan pusat-pusat regulasi
hemodinamik. Tekanan darah tinggi merupakan hasil interaksi antara curah
jantung/cardiac output (CO) dan tahanan total perifer/ total peripheral resistance
(TPR). Volume intravaskular merupakan determinan utama untuk kestabilan tekana
darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah dalam posisi
vasodilatasi atau vasokonstriksi. Bila asupan NaCl meningkat, maka ginjal akan
merespons agar ekskresi garam keluar bersama urin juga akan meningkat. Akan
tetapi, jika upaya mengeskresi garam melebihi ambang kemampuan ginjal, maka
ginjal akan meretensi H2O sehingga volume intravaskular meningkat. Pada
gilirannya curah jantung/cardiac output juga akan meningkat. Akibatnya, terjadi
ekspansi volume intravaskular, sehingga tekanan darah akan meningkat. Seiring
dengan perjalanan waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara berangsur curah
jantung akan kembali turun menjadi normal kembali akibat adanya autoregulasi.
Bila TPR vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR
vasokonstriksi maka tekanan darah akan meningkat.

Gambar1. Patogenesis hipertensi menurut Kaplan


2. Kendali Saraf Autonom
Persarafan autonom dibagi menjadi dua macam yaitu sistem saraf simpatis yang
menstimulasi saraf viseral melalui neurotransmiter : katekolamin, epinefrin
maupun dopamin dan sistem saraf parasimpatis yang menghambat stimulasi saraf
simpatis.

Gambar 2. Faktor penyebab aktivasi sistem saraf simpatis

Regulasi saraf simpatis dan parasimpatis berlangsung independen tidak dipengaruhi


oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi secara otomatis mengikuti siklus sirkadian.
Terdapat beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak serta
dinding vaskular pembuluh darah ialah reseptor α1,α2,β1 dan β2. Selain itu, juga
terdapat beberapa pengaruh lingkungan misalnya genetik, stres kejiwaan, rokok dan
sebagainya yang akan menyebabkan terjadinya aktivasi saraf simpatis berupa
kenaikan katekolamin dan nor epinefrin (NE). Selanjutnya, neurotransmiter ini
akan meningkatkan denyut jantung lalu diikuti dengan kenaikan curah jantung
sehingga tekanan darah akan meningkat. Peningkatan neurotransmiter NE
memiliki efek negatif terhadap jantung, sebab di jantung terdapat reseptor α1,β1,β2
yang akan memicu terjadinya kerusakan miokard, hipertrofi dan aritmia dengan
akibat progresifitas dari hipertensi aterosklerosis. Karena pada dinding pembuluh
darah juga terdapat reseptor α1, maka bila NE meningkat hal tersebut akan memicu
vasokonstriksi sehingga hipertensi aterosklerosis juga semakin progresif.
Selanjutnya, bila NE kadarnya tidak pernah normal maka sindrom hipertensi
aterosklerosis juga akan berlanjut makin progresif menuju kerusakan organ
target/target organ damage (TOD).

3. Sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA)


Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron merupakan salah satu mekanisme
yang berperan pada retensi natrium oleh ginjal, disfungsi endotel, inflamasi dan
remodeling pembuluh darah juga hipertensi. Renin yang diproduksi oleh sel
juxtaglomerulus ginjal akan berikatan dengan angiotensinogen yang diproduksi
oleh hati, menghasilkan angiotensin I (AT I). Selanjutnya, oleh angiotensin
converting enzyme (ACE) yang terdapat di paru, jantung dan pembuluh darah , AT
I akan diubah menjadi angiotensin II (AT II). Setelah itu, angiotensin II (AT II)
akan bekerja pada reseptor-reseptornya yaitu T1, AT2, AT3 dan AT4. Faktor-faktor
risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem RAA. Tekanan darah semakin
meningkat, hipertensi aterosklerosis semakin progresif.

Gambar 3. Sistem renin angiotensin aldosteron


4. Dinding vaskular pembuluh darah
Hipertensi dapat dimulai dengan adanya disfungsi endotel, lalu berlanjut menjadi
disfungsi vaskular lalu berakhir dengan TOD. Progresivitas sindrom aterosklerosis
ini dimulai dengan adanya faktor risiko yang tidak dikelola, akibatnya
hemodinamika tekanan darah semakin berubah, hipertensi semakin meningkat serta
vaskular berubah, dinding pembuluh darah semakin menebal dan berakhir dengan
kejadian kardiovaskular. Terdapatnya faktor risiko tersebut yang apabila bergabung
dengan dengan faktor risiko lokal seperti faktor genetik maka vaskular biologi akan
berubah menjadi makin tebal karena mengalami kerusakan berupa lesi vaskular dan
remodelling, antara lain akibat inflamasi, vasokonstriksi, trombosis dan ruptur
plak/erosi.

6. DIAGNOSIS HIPERTENSI
A. Anamnesis
Anamnesis pada pasien hipertensi meliputi :
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian
obat-obat analgesik dan obat/bahan lain
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma)
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor-faktor risiko
a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
d. Kebiasaan merokok
e. Pola makan
f. Kegemukan, intensitas olahraga
g. Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
5. Pengobatan anti hipertensi sebelumnya
6. Faktor pribadi, keluarga dan lingkungan

B. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan tekanan darah baik di klinik (atau fasilitas kesehatan)
atau di luar klinik (HBPM atau ABPM).
1. Pemeriksaan Tekanan Darah
a. Persiapan Pasien saat Pemeriksaan Tekanan Darah
 Pasien dalam keadaan tenang, tidak cemas atau gelisah maupun
kesakitan. Dianjurkan beristirahat 5 menit sebelum pemeriksaan.
 Pasien tidak mengkonsumsi kafein maupun merokok, ataupun
melakukan aktivitas olahraga minimal 30 menit sebelum pemeriksaan.
 Pasien tidak menggunakan obat-obatan yang mengandung stimulan
adrenergik seperti fenilefrin atau pseudoefedrin (misalnya obat flu,
obat tetes mata)
 Pasien sedang tidak menahan buang air kecil maupun buang air besar.
 Pasien tidak mengenakan pakaian ketat terutama di bagian lengan
 Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang dan nyaman
 Pasien dalam keadaan diam, tidak berbicara saat pemeriksaan
b. Posisi dan Prosedur
 Posisi pasien dapat duduk, berdiri atau berbaring (sesuai kondisi klinik)
 Jika pasien duduk : gunakan meja untuk menopang lengan dan kursi
bersandar untuk meminimalisasi kontraksi otot isometrik.
 Posisi fleksi lengan bawah dengan siku setinggi jantung
 Kedua kaki menyentuh lantai dan tidak disilangkan
 Letakkan spigmomanometer sedemikian rupa sehingga skala sejajar
dengan mata pemeriksa
 Gunakan ukuran manset yang sesuai
 Pasang manset sekitar 2,5 cm di atas fossa antecubital
 Hindari pemasangan manset di atas pakaian
 Letakkan bagian bell stetoskop di atas a. brachialis yang terletak tepat
di batas bawah manset. Bagian diafragma stetoskop juga dapat
digunakan untuk mengukur tekanan darah sebagai alternatif bell
stetoskop.
 Pompa manset sampai 30 mmHg setelah suara nadi menghilang.
Lepaskan udara dari manset dengan kecepatan sedang.
 Ukur tekanan darah 3 kali dengan selang waktu 1-2 menit. Lakukan
pengukuran tambahan bila hasil pengukuran pertama dan kedua
berbeda > 10 mmHg. Catat rerata tekanan darah, minimal dua dari hasil
pengukuran terakhir.
Penapisan dan deteksi hipertensi direkomendasikan untuk semua pasien
berusia >18 tahun.
 Pasien berusia >50 tahun, frekuensi penapisan hipertensi ditingkatkan
sehubungan dengan peningkatan angka prevalensi tekanan darah sistolik.
 Perbedaan tekanan darah sistolik >50 mmHg antara kedua lengan
sugestif suatu penyakit vaskular dan berhubungan erat dengan tingginya
risiko penyakit serebrokardiovaskular.

2. Home Blood Pressure Monitoring (HBPM)


HBPM merupakan sebuah metode pengukuran tekanan darah yang
dilakukan sendiri oleh pasien di rumah atau di tempat lain di luar klinik.
Kegunaan dilakukannya HBPM antara lain :
 Menegakkan diagnosis hipertensi, terutama dalam mendeteksi hipertensi
jas putih dan hipertensi terselubung
 Memantau tekanan darah, termasuk variabilitas tekanan darah, pada
pasien hipertensi yang mendapat pengobatan maupun tidak
 Menilai efektivitas pengobatan, penyesuaian dosis, kepatuhan pasien dan
mendeteksi resistensi obat.
Pengukuran tekanan darah HBPM dilakukan dengan menggunakan
alat osilometer yang sudah divalidasi secara internasional dan disarankan
untuk melakukan kalibrasi alat setiap 6-12 bulan.
Pengukuran dilakukan pada posisi duduk dengan kaki menapak
lantai, punggung bersandar di kursi atau dinding dan lengan diletakkan pada
permukaan yang datar (meja, setinggi letak jantung). Tekanan darah diukur
≥2 menit kemudian. Bila pasien melakukan olahraga maka pengukuran
dilakukan 30 menit setelah selesai berolahraga. Pada saat pengukuran,
pasien tidak boleh mengobrol atau menyilangkan kedua tungkai. Tekanan
diperiksa pada pagi hari dilakukan 1 jam setelah bangun tidur, pasien telah
buang air kecil, sebelum sarapan dan sebelum minum obat. Pada malam hari
pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum tidur. Pengukuran dilakukan
minimal 2 kali setiap pemeriksaan dengan interval 1 menit. Hasil akhir
merupakan rerata dari minimal 2 kali pemeriksaan dalam waktu 3 hari atau
lebih (dianjurkan 7 hari) dengan membedakan hasil pengukuran pagi dan
malam hari. Pengukuran pada hari pertama diabaikan dan tidak dimasukkan
dalam catatan.
Untuk mendapat hasil akurat perlu diberikan edukasi dan pelatihan
kepada pasien tentang cara pengukuran yang benar dan pencatatan hasil
pengukuran. Pengukuran tekanan darah yang dilakukan sendiri oleh pasien
memberi dampak positif terhadap kepatuhan pasien dan penurunan tekanan
darah.

3. Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM)


ABPM adalah suatu metode pengukuran tekanan darah selama 24 jam
termasuk saat tidur dan merupakan metode akurat dalam konfirmasi
diagnosis hipertensi. ABPM dipergunakan untuk :
 Memberikan data tekanan darah dan frekuensi nadi selama 24 jam
 Memberi informasi variabilitas tekanan darah
 Memberi grafik sirkadian tekanan darah, serta efek lingkugan dan emosi
terhadap tekanan darah
 Memberi informasi tentang lonjakan tekanan darah fajar (morning surge)
dan penurunan tekanan darah malam hari (night time dipping)
 Konfirmasi pasien dengan hipertensi resisten, dugaan hipertensi jas
putih, pasien OSA (obstructive sleep apnea)
 Evaluasi efek terapi terhadap profil tekanan darah 24 jam

Rerata tekanan darah dari HBPM dan ABPM lebih rendah dari nilai
pengukuran tekanan darah di klinik. Konfirmasi diagnosis hipertensi tidak
dapat hanya mengadakan satu kali pemeriksaan, kecuali pada pasien dengan
tekanan darah yang sangat tinggi, misalnya hipertensi derajat 3 atau terdapat
bukti adanya kerusakan organ target akibat hipertensi (HMOD-
hypertension-mediated organ damage) misalnya retinopati hipertensif
dengan eksudat dan perdarahan, hipertrofi ventrikel kiri atau kerusakan
ginjal.
Sebagian besar pasien, pengukuran berulang di klinik bisa menjadi
strategi untuk konfirmasi peningkatan tekanan darah persisten, juga untuk
klasifikasi dan derajat hipertensi. Jumlah kunjungan dan jarak pengukuran
tekanan darah antar kunjungan sangat bervariasi tergantung beratnya
hipertensi. Pada hipertensi derajat 1 tanpa tanda kerusakan organ target,
pengukuran tekanan darah dapat diulang dalam beberapa bulan.
Pada penderita hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan
adanya kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedangkan
pemeriksaan lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung
oleh keluhan dan gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya
kerusakan organ target meliputi :
1. Jantung
 Pemeriksaan fisik
 Foto polos dada (untuk melihat adanya pembesaran jantung kondisi
arteri intratoraks dan sirkulasi pulmoner)
 Elektrokardiografi (untuk mendeteksi adanya iskemia, gangguan
konduksi, aritmia, serta hipertrofi vantrikel kiri)
 Ekokardiografi
2. Pembuluh Darah
 Pemeriksaan fisik termasuk perhitungan pulse pressure
 Ultrasonografi (USG) karotis
3. Otak
 Pemeriksaan neurologis
 Diagnosis stroke ditegakkan dengan menggunakan CT Scan atau MRI
(untuk pasien dengan keluhan gangguan neural, kehilangan memori
atau gangguan kognitif)
4. Mata
 Funduskopi
5. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
 Pemeriksaan fungsi ginjal meliputi penentuan adanya
proteinuria/mikro-makroalbuminuria serta rasio albumin/kreatinin
urin
 Perkiraan laju filtrasi glomerulus, untuk pasien dalam kondisi stabil
dapat diperkirakan dengan menggunakan modifikasi rumus dari
Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran National Kidney Foundation
(NKF) yaitu :

(140 − umur) × Berat Badan


× 0,85 (untuk perempuan)
72 × Kreatinin serum

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan pada hipertensi terdiri


atas :
 Tes darah rutin
 Glukosa darah
 Kolesterol total serum
 Kolesterol LDL dan HDL serum
 Trigliserida serum
 Assam urat serum
 Kreatinin serum
 Kalium serum
 Hemoglobin dan hematokrit
 Urinalisis
 Elektrokardiogram
 Funduskopi (hipertensi berat)

7. TATA LAKSANA HIPERTENSI


7.1. TERAPI NON FARMAKOLOGIS
Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko
kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap
awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4-6 bulan. Bila setelah jangka waktu
tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau
didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk
memulai terapi farmakologi.
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah:
1. Penurunan berat badan
Memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat
yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan
dislipidemia.
2. Mengurangi asupan garam
Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/hari
3. Olahraga
Dilakukan olahraga rutin sebanyak 30-60 menit /hari, minimal 3 hari/minggu,
dapat menolong penurunan tekanan darah.
4. Mengurangi konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada
wanita, dapat meningkatkan tekanan darah
5. Berhenti merokok
7.2. TERAPI FARMAKOLOGI
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6
bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Beberapa prinsip dan algoritma terapi telah dikembangkan untuk memberikan
rekomendasi praktis pengobatan hipertensi, yaitu:
A. Bila memungkinkan berikan dosis obat tunggal, pada pasien hipertensi derajat
1 dengan risiko rendah (TDS < 150 mmHg), pasien dengan tekanan darah
normal-tinggi dan berisiko sangat tinggi, pasien dengan usia lanjut ( ≤ 80 tahun)
atau ringkih.
B. Inisiasi pengobatan pada sebagian besar pasien dengan kombinasi dua obat.
C. Kombinasi dua obat yang sering digunakan adalah RAS blocker (Renin
angiotensin system blocker) yakni ACEi atau ARB, dengan CCB atau diuretic.
D. Penggunaan kombinasi tiga obat yang terdiri dari RAS blocker (ACEi atau
ARB) , CCB, dan diuretik jika TD tidak terkontrol oleh kombinasi dua obat.
E. Penambahan spironolakton untuk pengobatan hipertensi resisten, kecuali ada
kontraindikasi.
F. Kombinasi dua obat penghambat RAS tidak direkomendasikan
G. Lakukan pemantauan efek samping obat dengan teratur.
a : PGK didefinisikan sebagai eLFG < 60 ml/menit/1,72 𝑚2
b : Gunakan loop diuretic jika LFG < 30 ml/menit/1,72 𝑚2 , karena thiazide
efektifitasnya lebih rendah/ tidak efektif pada eLFG yang serendah ini.
c : Risiko hiperkalemia dengan spironolakton, terutama jika eLFG < 45
ml/menit/1,72 𝑚2 atau nilai awal K ≥ 4,5 meq/L.

a : Pertimbangan angiotensin receptor daripada ACEi atau ARB sesuai ESC Heart
Failure Guidelines.
b : Diuretik yang dimaksud adalah thiazide. Pertimbangkan loop diuretic sebagai
obat pilihan pada pasien edema.
c : MRA (spironolakton atau eplerenon).
- OBAT-OBATAN UNTUK TATA LAKSANA HIPERTENSI
Lima golongan obat antihipertensi utama yang rutin direkomendasikan adalah
ACEi, ARB, betablocker, CCB dan diuretik.
7.3. TARGET PENGOBATAN HIPERTENSI
Target tekanan darah adalah < 140/90 mmHg, tidak tergantung kepada
jumlah penyakit penyerta dan nilai risiko kardiovaskularnya.
7.4. PENGOBATAN HIPERTENSI DENGAN METODE ALAT
Terapi intervensi menggunakan alat telah diteliti sebagai pilihan terapi
hipertensi, terutama jenis hipertensi yang resisten dengan obat, antara lain:
1. Stimulasi baroreseptor karotis (alat pacu dan stent)
2. Denervasi ginjal
3. Pembuatan fistula arteriovena

7.5. HIPERTENSI RESISTEN


Tekanan darah yang tidak mencapai target TDS < 140 mmHg dan/atau TDD
< 90 mmHg, walaupun sudah mendapatkan 3 antihipertensi berbeda golongan
dengan dosis maksimal, salah satunya adalah diuretik, dan pasien sudah
menjalankan rekomendasi modifikasi gaya hidup.
Catatan:
1. Sudah dikonfirmasi dengan ABPM atau HBPM
2. Hipertensi resisten palsu dan hipertensi sekunder sudah disingkirkan
- PENGOBATAN HIPERTENSI RESISTEN
Penatalaksanaan meliputi modifikasi gaya hidup serta penambahan obat
antihipertensi lain selain tiga golongan obat antihipertensi sebelumnya.
Penggunaan spironolakton untuk hipertensi resisten terbukti efektif, namun
disarankan dibatasi pada pasien dengan LFG ≥ 45 ml/menit/1,73 𝑚2 dan
konsentrasi kalium plasma ≤ 4.5 meq/L. Sebagai alternatif dari spironolakton, dapat
diberikan bisoprolol (5-10 mg/hari) atau doxazosin (2-4 mg/hari).

7.6. HIPERTENSI KRISIS (HIPERTENSI EMERGENSI DAN


URGENSI)
Hipertensi emergensi adalah hipertensi dengan derajat 3 HMOD akut.
Hipertensi urgensi merupakan hipertensi berat tanpa bukti klinis keterlibatan organ
target. Umumya tidak memerlukan rawat inap dan dapat diberikan obat oral sesuai
dengan algoritma penatalaksanaan hipertensi urgensi.

- PENATALAKSANAAN HIPERTENSI EMERGENSI


1. Konfirmasi organ target terdampak
Tentukan faktor pemicu lain kenaikan tekanan darah akut
2. Tentukan kecepatan dan besaran penurunan tekanan darah yang aman
3. Tentukan obat antihipertensi yang diperlukan
7.7. HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Hipertensi dalam kehamilan didasarkan pada pengukuran tekanan darah
dimana TDS ≥ 140 mmHg dan/atau TDD ≥ 90 mmHg.
Klasifikasi berdasarkan derajat tekanan darah yaitu:
1. Ringan : TD 140-159/90-109 mmHg
2. Berat : TD ≥ 160/110 mmHg

- PENCEGAHAN HIPERTENSI DAN PRE-EKLAPMSIA


Dapat diberikan 100-160 mg aspirin setiap hari pada masa 12-36 minggu
kehamilan.

- PENATALAKSANAAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Hipertensi ringan
Menurunkan risiko maternal dengan target TD < 140/90 mmHg
Hipertensi berat
Nicardipin intravena terbukti aman dan efektif dalam tatalaksana pre-eklampsia
berat. Obat pilihan untuk pre-eklampsia disertai dengan edema paru,
nitrogliserin dengan dosis 5 mikrogram/menit drip intravena, dinaikan bertahap
setiap 3-5 menit hingga dosis maksimal 100 mikrogram/menit.
7.8. HIPERTENSI JAS PUTIH DAN HIPERTENSI TERSELUBUNG
- HIPERTENSI JAS PUTIH
Terapi obat tak dianjurkan namun hanya terapi intervensi gaya hidup

- HIPERTENSI TERSELUBUNG
Hipertensi terselubung merupakan kondisi klinis dimana tekanan darah
di klinik adalah normal, tetapi TD meningkat dengan pengukuran
HBPM atau ABPM. Hipertensi terselubung harus diidentifikasi karena
berhubungan dengan risiko penyakit kardiovaskular dan HMOD.

7.9. HIPERTENSI DENGAN KOMORBIDITAS SPESIFIK


- DIABETES
Obat antihipertensi dianjurkan pada penderita diabetes dengan TD
diklinik ≥ 140/90 mmHg.
Pada penderita diabetes yang mendapat obat antihipertensi, dianjurkan:
A. Target TDS adalah 130 mmHg dan jika dapat ditoleransi hingga < 130
mmHg, tetapi tidak dibawah 120 mmHg
B. Pada individu usia lanjut ≥ 65 tahun, target TDS adalah 130-139 mmHg.
C. Target TDD adalah < 80 mmHg, tetapi tidak dibawah 70 mmHg.
Direkomendasikan untuk melakukan pengobatan lini pertama dengan
(ACEi atau ARB) dikombinasikan dengan CCB atau diuretik thiazide atau
sejenisnya.

- PENYAKIT GINJAL KRONIS (PGK)


Pada penderita PGK, dengan atau tanpa diabetes, modifikasi gaya hidup
dan obat antihipertensi dianjurkan bila tekanan darah klinik ≥ 140/90
mmHg. Pada penderita PGK dengan atau tanpa diabetes dianjurkan untuk
menurunkan TDS sekitar 130-139 mmHg.
Penyekat RAS lebih efektif untuk menurunkan albuminuria
dibandingkan obat antihipertensi lain, dan direkomendasikan sebagai
bagian strategi penatalaksanaan hipertensi bila terdapat microalbuminuria
atau proteinuria. Kombinasi penyekat RAS dan CCB atau diuretik thiazid
dianjurkan untuk terapi awal.

- PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)


Pada pasien penderita PJK yang mendapat obat antihipertensi dianjurkan:
A. Target TDS ≤ 130 mmHg atau lebih rendah jika bisa ditoleransi, tetapi
tidak dibawah 120 mmHg.
B. Pada pasien yang lebih tua (usia ≥ 65 tahun), target TDS sekitar 130-
140 mmHg.
C. Target TDS < 80 mmHg, tetapi tidak dibawah 70 mmHg.
Pada penderita hipertensi dengan riwayat infark miokard, beta bloker
dan penghambat RAS direkomendasikan sebagai bagian dari
penatalaksanaan. Pada pasien dengan angina simtomatik, dapat
digunakan beta bloker dan CCB.

- GAGAL JANTUNG ATAU HIPERTROFI VENTRIKEL KIRI


(LVH)
Pasien hipertensi dengan gagal jantung, baik heart failure reduced
ejection fraction (HFrEF) maupun heart failure preserved ejection fraction
(HFpEF), terapi antihipertensi harus dipertimbangkan bila TD ≥ 140/90
mmHg. Pada pasien HFrEF obat antihipertensi yang dianjurkan terdiri
ACEi atau ARB dan beta bloker dan diuretik dan/atau jika diperlukan
ditambah antagonis reseptor mineralkortikoid. CCB golongan
dihidropiridin dapat ditambahkan bila target tekanan darah belum tercapai.
Pada pasien HFpEF, nilai batas TD dimulainya terapi dan target TD sama
dengan HFrEF.
Pada semua pasien dengan LVH:
A. Penatalaksanaan yang dianjurkan adalah dengan penghambat RAS
dikombinasikan dengan CCB atau diuretic.
B. TDS harus diturunkan hingga sekitar 120-130 mmHg.
7.10. STROKE
- STROKE HEMORAGIK
Penurunan tekanan darah hingga < 140/90 mmHg dalam 6 jam pertama
terbukti aman dan mengurangi ekspansi hematoma. Jika TDS > 220 mmHg,
harus diturunkan sebesar 15-20% dengan menggunakan obat intravena
(labetalol dan nicardipin, dan sebagai alternatif diltiazem) dalam 1 jam
pertama.

- STROKE ISKEMIK AKUT


Tekanan darah harus diturunkan dulu hingga < 185/<110 mmHg dan
dipertahankan <180/<105 mmHg dalam 24 jam pertama pasca trombolisis.
Pada pasien stroke iskemik akut yang tidak mendapatkan trombolisis dan
ditemukan komorbid lain seperti infark miokard akut, gagal jantung akut,
diseksi aorta, perdarahan pasca trombolisis, eklampsia/pre-eklampsia,
tekanan darah harus diturunkan.
Penurunan tekanan darah pada pasien stroke iskemik akut yang tidak
mendapat trombolisis dan tidak ditemukan komorbid lain, bila tekanan
darah >220/110 mmHg, maka diturunkan sebesar 15% dalam 24 jam
pertama awitan stroke.
Inisiasi dan konsumsi obat antihipertensi kembali diberikan dalam
perawatan pada ≥ 72 jam bila tekanan darah > 140/90 mmHg dengan klinis
neurologi stabil.

- PREVENSI STROKE BERULANG


Pemberian obat antihipertensi pada pasien pasca stroke atau TIA dengan
TD > 140/90 mmHg secara bermakna mengurangi risiko stroke berulang.
Obat antihipertensi diberikan segera pada TIA, dan beberapa hari (≥72 jam)
pasca stroke akut bila klinis neurologis stabil. Obat antihipertensi yang
direkomendasikan untuk pencegahan stroke adalah RAS blocker (ACEi atau
ARB) ditambah CCB atau diuretik thiazide-like diuretic (indapamide) atau
sejenisnya.
7.11. FIBRILASI ATRIAL (FA)
Dapat dipertimbangkan pemberian beta bloker atau CCB non-
dihidropiridin sebagai bagian dari terapi hipertensi. Antikoagulan oral harus
dipergunakan dengan hati-hati pada pasien dengan TD yang sangat tinggi
(TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 100 mmHg) dan diusahakan
menurunkan TDS hingga < 140 mmHg, atau hingga < 130 mmHg jika
memungkinkan.

7.12. PENYAKIT ARTERI TUNGKAI BAWAH


Kombinasi RAS blocker (ACEi atau ARB) dengan CCB atau
diuretik harus dipertimbangkan sebagai terapi awal. Dirujuk ke FKTL bila
target TD masih belum tercapai.

7.13. TINDAK LANJUT PASIEN HIPERTENSI


Tindak lanjut pasien hipertensi terdiri dari pemantauan efektivitas
pengobatan, kepatuhan dalam berobat, serta deteksi dini HMOD.
Setelah inisiasi pengobatan hipertensi, tekanan darah seharusnya
turun dalam 1-2 minggu dan target tercapai dalam 3 bulan. Jika tekanan
darah sudah mencapai target, frekuensi kunjungan dapat dikurangi hingga
3-6 bulan sekali.
Jika tekanan darah ditemukan meningkat pada saat kontrol, perlu
diidentifikasi penyebabnya. Kenaikan tekanan darah dapat disebabkan
antara lain ketidakpatuhan dalam berobat, konsumsi garam berlebih, atau
konsumsi zat dan obat-obatan yang dapat meningkatkan tekanan darah atau
mengurangi efek obat antihipertensi (alkohol, OAINS).
Setelah berbagai kemungkinan lain disingkirkan dan dokter
meyakini bahwa kenaikan tekanan darah diakibatkan oleh pengobatan yang
tidak efektif, maka perlu dilakukan peningkatan regimen obat-obatan sesuai
kondisi pasien.
Pasien dengan hipertensi juga harus dihimbau berkala untuk
memperbaiki gaya hidup, antara lain penurunan berat badan, diet sehat
rendah garam dan rendah lemak, peningkatan aktivitas fisik dan olahraga,
serta penurunan konsumsi tambakau. Penghentian merokok terutama sangat
bermanfaat untuk mencegah risiko kardiovaskular.
Menurunkan dosis obat-obatan antihipertensi biasanya dapat
dilakukan hanya pada pasien yang sudah melaksanakan modifikasi gaya
hidup dengan baik. Penurunan dosis obat dilakukan secara bertahap dengan
pemantauan tekanan darah rutin untuk menentukan dosis terkecil.

8. KOMPLIKASI HIPERTENSI
Hipertensi merupakan faktor risiko untuk terjadinya segala bentuk
manifestasi klinik dari aterosklerosis. Hipertensi dapat meningkatkan risiko untuk
terjadinya kejadian kardiovaskular dan kerusakan organ target. Mortalitas
meningkat dua kali pada setiap kenaikan tekanan darah sebesar 20/10 mmHg. Pada
keadaan dengan tekanan darah high-normal (130-139/85-88 mmHg), didapatkan
peningkatan kejadian kardiovaskular 2,5 pada wanita dan 1,6 kali pada pria bila
dibanding dengan tekanan darah normal. Sedang risiko untuk penyakit ginjal,
meningkatnya tekanan darah sistolik lebih erat kaitannya dengan insidens penyakit
ginjal tahap terutama pada usia lebih dari 50 tahun.
Berbagai kerusakan organ target tersebut antara lain:
1. Pada jantung: hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokard, dan gagal
jantung kongestif
2. Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir
3. Retinopati
4. Pada otak : Stroke atau transient ischaemic attack
5. Penyakit arteri perifer

9. PENCEGAHAN HIPERTENSI
Rekomendasi Gaya Hidup yang Harus Ditaati Menurut CHEP 2011
Untuk mencegah risiko menjadi hipertensi, dianjurkan untuk menurunkan
asupan garam sampai dibawah 1500 mg/hari. Diet yang sehat ialah bilamana dalam
makanan sehari-hari kaya dengan buah-buahan segar, sayuran, rendah lemak,
makanan yang kaya serat (soluble fibre), protein yang berasal dari tanaman, juga
harus tidak lupa olahraga yang teratur sebagai berikut : frekuensi tujuh kali per
minggu, intensitas moderate, waktu sekitar 30-60 menit, tipe aktivitas kardiorespi
seperti berjalan, joging, bersepeda, berenang yang non kompetitif (olahraga harus
diberikan sebagai tambahan terhadap terapi farmakologis), selain itu tidak
mengkonsumsi alkohol, mempertahankan berat badan pada kisaran BMI 18,5-24,9
kg/𝑚2 , mengusahakan lingkar perut pada kisaran laki-laki ≤ 102 cm (Asia < 90
cm), wanita < 88 cm (Asia < 80 cm), harus tidak merokok kapanpun/dimanapun.
Menurut CHEP 2011, kita berhasil menurunkan natrium 3500 mg ke 1700
mg, kita akan mendapatkan keuntungan berupa :
A. Hipertensi berkurang sekitar 1 juta
B. Pasien yang berkunjung ke dokter untuk mengobati hipertensi bisa berkurang 5
juta
C. Penghematan biaya pelayanan kesehatan 430 sampai 540 juta dolar US per
tahun terkait hipertensi
D. Menyederhanakan jumlah obat anti hipertensi
E. Penurunan penyakit kardiovaskular sampai 13%

Studi TROPHY menunjukkan pengobatan pre hipertensi dengan


candesartan menurunkan hipertensi stage 1 sampai dengan 66% setelah dua tahun.
Setelah obat dihentikan, dua tahun kemudian risiko hipertensi stage 1 turun
15,68%. Namun belum diuji apakah pemberian candesartan pada pre hipertensi ini
cukup cost effective. Whelton memberi strategi pencegahan hipertensi dengan
mengupayakan supaya pola kurva distribusi hipertensi sebelum intervensi bergeser
ke kurva normo tensi sebelah kiri. Caranya memberikan pengobatan yang lebih
agresif secara individu atau pada kelompok yang disebut high risk hypertension
(tekanan darah tinggi, riwayat keluarga dengan hipertensi, kelompok risiko tinggi,
paparan lingkungan yang meningkatkan kemungkinan hipertensi : obesitas, diet
tinggi garam, alkohol, inaktifitas fisik).
Sebab penurunan tekanan diastolic sebesar 2 mmHg saja dari awal dapat
menurunkan risiko prevalensi hipertensi 17%, kejadian stroke 14%, penyakit
jantung koroner 6%.

10. PROGNOSIS HIPERTENSI


Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum yang akan
berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat kerusakan target organ
(TOD). Berawal dari tekanan darah 115/75 mmHg, setiap kenaikan
sistolik/diastolik 20/10 mmHg risiko morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskular akan meningkat dua kali lipat. Hipertensi yang tidak diobati akan
meningkatkan : 35% semua kematian kardiovaskular, 50% kematian stroke, 25%
kematian penyakit jantung koroner, 25% kematian prematur (mati muda), serta
menjadi penyebab tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan penyebab
gagal ginjal terminal.
Pada banyak uji klinis, pemberian obat antihipertensi akan diikuti
penurunan insiden stroke 35% sampai 40% infark miokard 20% sampai 25% dan
lebih dari 50% gagal jantung. Diperkirakan penderita dengan hipertensi stadium I
(TDS 140-159 mmHg dan/atau TDD 90-99 mmHg) dengan faktor risiko
kardiovaskular tambahan, bila berhasil mencapai penurunan TDS sebesar 12
mmHg yang dapat bertahan selama 10 tahun, maka akan mencegah satu kematian
dari setiap 11 penderita yang telah diobati. Namun, belum ada studi terhadap hasil
terapi pada penderita pre hipertensi (120-139/80-89 mmHg), meskipun diketahui
bahwa pemberian terapi pada prehipertensi dapat menurunkan terjadinya hipertensi
sesungguhnya.

Gambar 4. Penurunan mortalitas pada hipertensi


BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap secara


persisten di atas normal. ACC/AHA 2017 Guidelines mendefinisikan hipertensi
sebagai pengukuran tekanan darah sistolik ≥ 130 mmHg atau pengukuran tekanan
darah diastolik ≥ 80 mmHg.
Etiologi hipertensi tersering adalah penyakit renovaskular dengan
prevalensi 5%-34%. Faktor risiko hipertensi antara lain umur, genetik, perilaku
tidak sehat seperti merokok, diet rendah serat, konsumsi garam berlebih, inaktivitas
fisik, obesitas, dan stress.
Menurut Riskesdas 2013, hipertensi diderita oleh 26,5 % penduduk
Indonesia usia ≥18 tahun. Berdasarkan sebaran, wilayah yang tinggi populasi
hipertensi yakni Bangka Belitung (30,9%), Kalimantan Selatan (30,8%),
Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%).
Hipertensi derajat 1 dapat ditangani dengan menerapkan pola hidup sehat seperti
mengurangi asupan garam, olahraga, dan berhenti merokok. Selanjutnya, hipertensi
dapat ditatalaksana dengan lima golongan obat antihipertensi utama yang rutin
direkomendasikan, yaitu ACEi, ARB, betablocker, CCB dan diuretik.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi I, Setiati S, dan Sudoyo A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI: Jilid
II. 2014. Jakarta: InternaPublishing.

Barack R, Erwinanto, dan Soenarta A.A. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada


Penyakit Kardiovaskular. 2015. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.

Harmeiwaty E, Husrini N.M, dan Lukito A. A. Konsensus Penatalaksanaan


Hipertensi 2019. 2019. Jakarta: Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia
(PERHI).

Muhadi. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi Dewasa.


CDK-236/ vol. 43 no. 1, th. 2016

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 4 ed.
Jakarta: EGC; 1995

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014

Whelton PK. 2017 ACC/ AHA/ AAPA/ ABC/ ACP/ AGS/ APhA/ ASH/ ASPC/
NMA/ PCNA. Guideline for the prevention, detection, evaluation, and management
of high blood pressure in adults. Hypertension. 2017: 21-22.

Sun Z. Aging, arterial stiffness and hypertension. Hypertension. 2015;65(2):252-6.


WHO. A global brief on hypertension. Geneva: World Heart Organization. 2013, p
9-10, 17-18

WHO. A global brief on hypertension. Geneva: World Heart Organization. 2013, p


9-10, 17-18

Anda mungkin juga menyukai