Disusun oleh :
Ahmad Rafi Faiq
1102015012
Klasifikasi lainnya adalah menurut Committee for Head and Neck Surgery and
Oncology of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery (AAO-HNS) dengan modifikasi pada tahun 2002:
1 Level IA merupakan tempat kelenjar limfe submental dan submandibula
2 Level II A dan II B berlokasi di anteromedial saraf spinal assessorius sementara level II B
berlokasi di bagian posteromedialnya.
3 Level III dan level IV terletak sepanjang rantai jugular tengah dan bawah
4 Level V membatasi kelompok kelenjar di segitiga posterior. Level V A dan V B dipisah oleh
garis horisontal yang terletak di inferior kartilago krikoid.
5 Level VI merupakan kompartemen sentral yang berisi kelenjar paratrakea, retrosternal,
prekrikoid, dan pretiroid.
III. Limfadenopati
3.1. Definisi
Limfadenopati merujuk kepada nodul limfa yang tidak normal
ukurannya (lebih dari 1 cm) atau pada konsistensinya. Nodul
supraklavikula, poplitea, dan iliaka yang teraba, dan nodul
epitrochlear yang lebih besar dari 5 mm, dianggap abnormal.
III. Limfadenopati
3.2. Klasifikasi
Berdasarkan Lokasi
a. Limfadenopati generalisata: merupakan adanya pembesaran kelenjar limfe pada 2
atau lebih daerah yang tidak berdampingan (regio anatomi yang berbeda).
Penyebab dari limfadenopati generalisata adalah karena infeksi, penyakit
autoimun, keganasan, histiositosis, storage disease, hiperplasia jinak, dan reaksi
obat.
b. Limfadenopati regional : merupakan adanya pembesaran satu atau lebih kelenjar
limfe pada daerah yang berdampingan (pada satu regio). Kelenjar limfe berkumpul
dan tersebar diseluruh tubuh seperti di kepala dan leher, axilla, mediastinum,
abdomen, serta ekstremitas.
III. Limfadenopati
3.3. Epidemiologi
Insiden limfadenopati belum diketahui dengan pasti. Sekitar 38% sampai 45%
pada anak normal memiliki KGB daerah servikal yang teraba. Pada umumnya
limfadenopati pada anak dapat hilang dengan sendirinya apabiladisebabkan
infeksi virus.
Studi yang dilakukan di Amerika Serikat, pada umumnya infeksi virus ataupun
bakteri merupakan penyebab utama limfadenopati. Infeksi mononukeosis dan
cytomegalovirus (CMV) merupakan etiologi yang penting, tetapi kebanyakan
disebabkan infeksi saluran pernafasan bagian atas. Limfadenopati lokalisata
lebih banyak disebabkan infeksi Staphilococcus dan Streptococcus beta-
hemoliticus.
III. Limfadenopati
3.4. Etiologi
3.4. Patofisiologi
3.5. Diagnosis
Anamnesis
Pajanan binatang dan gigitan serangga, penggunaan obat, kontak
penderita infeksi dan riwayat infeksi rekuren penting dalam evaluasi
limfadenopati persisten. Pajanan rokok, alkohol, dan radiasi
ultraviolet dapat berhubungan dengan metastasis karsinoma organ
dalam, kanker kepala dan leher, atau kanker kulit. Riwayat kontak
seksual penting dalam menentukan penyebab limfadenopati inguinal
dan servikal yang ditransmisikan secara seksual.
III. Limfadenopati
3.5. Diagnosis
Anamnesis
Gejala konstitusi, seperti fatigue, malaise, dan demam, sering
menyertai limfadenopati servikal dan limfositosis atipikal pada
sindrom mononukleosis. Demam, keringat malam, dan penurunan
berat badan lebih dari 10% dapat merupakan gejala limfoma B
symptom.
III. Limfadenopati
3.5. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
a. Kelenjar getah bening yang keras dan tidak nyeri meningkatkan
kemungkinan penyebab keganasan atau penyakit granulomatosa.
b. Limfoma Hodgkin tipe sklerosa nodular mempunyai karakteristik terfi
ksasi dan terlokalisasi dengan konsistensi kenyal.
c. Limfadenopati karena virus mempunyai karakteristik bilateral, dapat
digerakkan, tidak nyeri, dan berbatas tegas.
d. Limfadenopati dengan konsistensi lunak dan nyeri biasanya disebabkan
oleh inflamasi karena infeksi
III. Limfadenopati
3.5. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik daerah kepala dan leher
– Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian besar anak, tetapi
ditemukan juga pada 56% orang dewasa.
– Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang signifikan
merupakan petunjuk infeksi mikobakterium, mikobakterium atipikal atau
Bartonella henselae.
– Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia lanjut dan
perokok menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring,
nasofaring, laring, tiroid, dan esofagus).
– Limfadenopati servikal merupakan manifestasi limfadenitis tuberkulosa yang
paling sering (63-77% kasus), disebut skrofula.
III. Limfadenopati
3.5. Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
• Dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu hitung CBC, apus
darah tepi, laktat dehidrogenase, serologi B henselae, serta tuberculosis
skin test (TST). Evaluasi fungsi renal, hepar, dan kultur juga penting
untuk menentukan penyakit sistemik yang mendasari.
• Biopsi aspirasi jarum halus serta biopsi eksisi tetap merupakan prosedur
diagnostik terpilih. Adanya gambaran arsitektur kelenjar pada biopsi
merupakan hal yang penting untuk diagnostik yang tepat, terutama
untuk membedakan limfoma dengan hiperplasia reaktif yang jinak
III. Limfadenopati
3.6. Terapi
Tatalaksana ditentukan oleh penyebab spesifik yang mendasari terjadinya
limfadenopati.
– Kebanyakan klinisi menangani anak dengan limfadenopati servikal secara
konservatif. Antibiotik sebaiknya diberikan hanya jika diduga adanya infeksi
bakteri.
– Jika gambaran klinis pasien mengarah kepada keganasan seperti demam
yang persisten atau penurunan berat badan, maka biopsi harus segera
dilakukan
– Penatalaksanaan tumor primer bisa berupa operasi radikal atau
kemoterapi, tergantung histopatologi tumor, lokasi, serta kemungkinan
metastasisnya.
– Pada penderita metastasis servikal, dapat dilakukan limfadenektomi
servikal berupa diseksi leher radikal maupun diseksi leher modifikasi (atau
fungsional) yang mempertahankan saraf, otot dan vena yang umumnya
direseksi pada metode radikal.
IV. Gambaran Radiologis Pada Limfadenopati Servikal
• Pemeriksaan USG, CT dan MRI dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi adanya limfadenopati.
• Ultrasonografi (USG) merupakan perangkat yang relatif aman,
tidak mahal, tersedia di banyak tempat dan bisa digunakan
untuk pemeriksaan spesifik seperti ukuran lesi sehubungan
dengan progresivitasnya, lokasi, hubungan lesi dengan struktur
yang berdekatan, terutama pembuluh darah, karakter lesi (solid,
kistik), serta jumlah dan ukuran kelenjar limfe yang terlibat di
area tersebut.
• Pada populasi anak, USG merupakan pemeriksaan yang paling
sesuai sebagai modalitas pencitraan awal karena ketiadaan
radiasi ionisasi.
• Gabungan teknik ultrasound, fine needle aspiration (FNA) dan
pemeriksaan sitologi memiliki keunggulan tersendiri dalam
pemeriksaan jaringan lunak daerah leher
• CT dan MRI dapat dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan
dan bisa lebih lanjut mengkarakteristikan abnormalitas pada
kelenjar, serta menentukan stadium primer tumor dan
kelenjar limfe.
• Untuk menentukan limfadenopati metastasis yang paling
penting adalah adanya nekrosis nodal, yang bisa terdeteksi
lewat CT yang diperkuat dengan kontras. CT merupakan
metode terbaik untuk melihat penetrasi kapsular dan
perluasan ekstrakapsular dari kelenjar limfe dibanding MRI.
Peran dalam pemeriksaan pencitraan
USG dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya
kelenjar limfe yang abnormal dan karakteristik dari
ukuran, bentuk, batas, arsitektur internal, vaskularitas
dan perinodal soft tissue. Kelebihan USG adalah:
1. Ketiadaan dari radiasi ionisasi
2. Kemampuannya dalam mengkarakteristikan suatu
kelenjar limfe sebagai kistik atau solid
CT-scan dengan MRI dapat digunakan
untuk melihat lebih lanjut luas dari
abnormalitas pada USG dan untuk
mengkonfirmasi jika dicurigai adanya
deep nodal abnormalities.
Keunggulannya adalah:
1. Dapat melihat lokalisasi anatomi
superior
2. Determinasi ukuran, jumlah,
bentuk, batas, arsitektur internal,
serta melihat lebih jelas
karakteristik dari nodul
3. Mengevaluasi perinodal soft
tissue pada kepala dan leher
Kelenjar Limfe Normal