Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

IMPETIGO BULOSA DAN KRUSTOSA

Disusun Oleh :
Ahmad Rafi Faiq
1102015012

Pembimbing :
dr. Yanto Widiantoro, Sp.KK
dr. Hilman Wildan Latief, Sp. DV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN


KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSU DR. SLAMET GARUT
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Impetigo merupakan salah satu contoh pioderma yang menyerang lapisan


epidermis kulit. Impetigo biasanya juga diikuti oleh trauma superficial dengan robekan
kulit dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari
pedikulosis, skabies, infeksi jamur dan pada insect bites.1,2
Impetigo dapat berasal dari proses primer karena memang terjadi kerusakan
pada kulit yang intak atau utuh tersebut, atau dapat terjadi karena proses infeksi
sekunder yang disebabkan oleh karena proses infeksi yang sebelumnya atau bisa juga
karena proses sitemik.3
Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus beta
hemolitikus grup A (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan patogen
primer pada impetigo krustosa dan ektima. Impetigo terjadi di seluruh negara dan
angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat impetigo
merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik anak dan terbanyak pada
daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara Amerika.2,4
Impetigo dibagi menjadi dua jenis, yaitu impetigo krustosa dan impetigo
bulosa. Pada beberapa dekade yang lalu impetigo krustosa umumnya disebabkan oleh
grup A Streptococcus, tapi sekarang pada negara maju lebih banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Grup A Streptococcus tetap menjadi penyebab utama
terjadinya impetigo krustosa pada negara berkembang. Impetigo bulosa secara
universal disebabkan oleh organisme tunggal yaitu Staphylococcus aureus.5
Fokus pada referat ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai impetigo
krustosa dan bulosa. Dengan memahami karakteristik penyakit ini, diharapkan bisa
mengetahui penyebab serta menentukan tatalaksana dan pencegahan yang tepat pada
pasien untuk menghindari komplikasi yang mungkin terjadi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

I. DEFINISI
Impetigo merupakan suatu infeksi kulit superfisial berupa vesicopustular
dan jika meluas ke jaringan kulit yang lebih dalam disebut sebagai ektima.
Impetigo merupakan salah satu contoh pioderma yang menyerang lapisan
epidermis kulit dan biasanya muncul pada wajah terutama disekitar mulut dan
hidung pada anak-anak. Walaupun seringkali terjadi karena bakteri masuk ke
dalam kulit akibat luka atau gigitan serangga (insect bites), impetigo juga bisa
terjadi pada kulit yang sehat.1

II. EPIDEMIOLOGI
Impetigo disebabkan oleh grup A Streptococcus dan merupakan infeksi
yang sangat menular serta terjadi terutama pada anak usia preschool atau usia 2-
5 tahun (namun paling sering terjadi pada anak usia dibawah 2 tahun kecuali
pada daerah endemis). Impetigo bulosa dapat terjadi pada semua usia. Impetigo
lebih sering terjadi pada cuaca yang hangat dan lembab. Biasanya insiden
terbesar pada saat akhir musim panas dan awal musim semi.5
Orang dewasa dapat terkena impetigo jika kulitnya kontak dengan anak.
Impetigo sifatnya sangat menular, bisa menyebar dengan sangat cepat melalui
person-to-person contact atau melalui benda mati. Faktor predisposisi lain
terjadinya impetigo adalah higenitas yang buruk, overcrowding, atopic
diathesis, trauma kulit, serta partisipasi dalam contact sports (seperti gulat atau
bermain bola). Selain itu riwayat dermatitis kronik seperti dermatitis atopik,
tempat penitipan anak (day care), malnutrisi, diabetes dan juga penyakit
komorbid lainnya juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya impetigo.
Namun, banyak juga kasus yang terjadi pada orang sehat dengan standar hidup

3
yang baik. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang
sama untuk menderita impetigo6,7

III. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus grup
A beta hemolitikus (Streptococcus pyogenes). Pada beberapa dekade yang lalu
impetigo krustosa umumnya disebabkan oleh grup A Streptococcus, tapi
sekarang pada negara maju lebih banyak disebabkan oleh Staphylococcus
aureus. Grup A Streptococcus tetap menjadi penyebab utama terjadinya
impetigo krustosa pada negara berkembang. Impetigo bulosa secara universal
disebabkan oleh organisme tunggal yaitu Staphylococcus aureus. Walaupun
discharge purulen dari hidung dan telinga sebelumnya diduga sebagai penyebab
sumber utama dari bakteri, namun sekarang telah ditemukan bahwa
staphylococcal carriers dan juga penyebaran dari pasien yang infeksi yang
belum sembuh merupakan penyebab utamanya.5
Pada impetigo (terutama pada dewasa) biasanya terdapat adanya trauma
atau kerusakan pada kulit. Namun impetigo juga bisa terjadi secara sekunder
yaitu dari riwayat pedikulosis, skabies, varisela, eczema, infeksi jamur, ataupun
gigitan serangga. Terkadang pada anak impetigo bisa terjadi pada kulit yang
normal (paling sering di kaki).1
Streptococcus grup A muncul pada kulit normal anak-anak tepatnya 10 hari
sebelum terbentuknya impetigo dan bakteri tersebut belum bisa ditemukan
hingga 14-20 hari setelah bakteri tersebut menyerang kulit. Streptococcus bisa
didapatkan pada 30 % saluran pernapasan anak dengan lesi dikulit, namun tidak
ada bukti dari streptococcal pharyngitis. Karenanya dapat disimpulkan
penyebaran pada pasien tersebut adalah dari kulit yang normal kemudian
menjadi lesi sampai akhirnya ke saluran pernapasan. Sedangkan pada
staphylococcus aureus penyebarannya adalah dari hidung ke kulit normal baru
kemudian menjadi lesi. Proses inflamasi yang terjadi pada impetigo adalah

4
superfisial, dengan unilocular vesicopustule yang terletak diantara stratum
korneum dan stratum granulosum.5
Pada impetigo krustosa, infeksi biasanya terjadi pada lokasi garukan (e.g.
insect bites, dermatitis atopik), minor trauma (e.g. abrasi, laserasi, atau luka
bakar) atau infeksi kulit lainnya (e.g varisela). Kulit yang utuh (sehat) biasanya
resisten terhadap kolonisasi atau infeksi dari S. aureus atau streptococcus beta
hemolitikus grup A (GABHS). Bakteri ini dapat dikenali dari lingkungan dan
hanya berkolonisasi pada permukaan luar kulit. Beberapa penelitian
mendapatkan bahwa inokulasi bakteri GABHS tidak akan menyebabkan
penyakit pada kulit kecuali jika kerusakan pada kulit telah terjadi sebelumnya.
Asam tektoik untuk adhesi membutuhkan komponen reseptor sel epitel dan
fibronektin untuk kolonisasi. Reseptor fibronektin tidak terdapat pada kulit
utuh, namun kerusakan kulit dapat menyebabkan adanya reseptor fibronektin
di permukaan kulit, sehingga kolonisasi atau invasi dapat terjadi. Disrupsi dari
pelindung kulit menyebabkan bakteri dapat melakukan adhesi, invasi, dan
akhirnya menimbulkan infeksi. Setelah terjadi infeksi, baru akan timbul lesi
berupa vesikel atau bula, serta lesi baru setelahnya dapat timbul pada area
dimana tidak terlihat adanya kerusakan pada kulit dibagian tersebut.6
Pada impetigo bulosa diakibatkan oleh produksi lokal dari exfoliative toxins
(ETA, ETB) oleh staphylococcus aureus pada kulit yang terinfeksi. Elaborasi
sistemik dari toksin yang sama adalah menyebabkan staphylococcal scalded
skin syndrome (SSSS). Pada kedua penyakit tersebut timbulnya bula didahului
oleh exfoliative toxin yang berikatan pada protein desmosomal desmoglein 1
dan menimbulkan akantolisis dari lapisan granular epidermis. Impetigo bulosa
disebabkan karena adanya exfoliate toxin dari S.aureus yaitu exfoliatins A dan
B. Eksotoksin tersebut menyebabkan hilangnya adhesi sel pada dermis
superfisial, sehingga bisa menyebabkan timbulnya bula dan kulit mengelupas
dengan cara membelah lapisan sel granular epidermis. Salah satu target protein
dari eksotoksin A adalah desmoglein 1, yang bertugas untuk menjaga adhesi

5
dari sel keratinosit. Sehingga jadi terlepas dan bakteri bisa menginvasi lebih
dalam. Selanjutnya akan terjadinya proses inflamasi sehingga neutrofil bisa
masuk ke epidermis bersama cairan plasma dan membentuk suatu bula.
Molekul tersebut juga merupakan superantigen yang dapat berperan lokal
mengaktifkan limfosit T. Koagulase bisa menyebabkan toksin tetap berada di
epidermis terluar dengan memproduksi thrombus fibrin. Tidak seperti impetigo
krustosa, lesi bisa terjadi pada kulit yang intak. 6

IV. GAMBARAN KLINIS


Pada awal munculnya lesi, pasien bisa terdapat rasa gatal yang merupakan
tanda bahwa telah terjadi infeksi oleh bakteri yang menimbulkan reaksi radang.
Bula yang terdapat di atas kulit yang eritema menunjukkan proses infeksi yang
masih aktif. Bula bersifat superfisial di lapisan epidermis, mudah pecah karena
letaknya subkorneal, meninggalkan skuama anular dengan bagian tengah
eritema (koleret), dan cepat mengering. Lesi dapat melebar membentuk
gambaran polisiklik. 8,9
Sering kali bula sudah pecah saat berobat, sehingga yang tampak ialah lesi
koleret, dengan dasar eritematosa. Pasien berusia dibawah 1 tahun atau bayi,
akan tampak rewel karena rasa nyeri di kulit membuat pasien merasa tidak
nyaman. Gejala sistemik biasanya jarang terjadi, namun bisa juga terjadi, gejala
sistemik yang dimaksud seperti demam, diare, dan lemes. Tidak ditemukan juga
pembesaran kelenjar getah bening regional. Tapi secara keseluruhan keadaan
umumnya biasanya baik.8,9
1. Impetigo Krustosa
Pada impetigo krustosa lesi awalnya adalah vesikel dengan dinding
yang tipis serta dasar eritem. Vesikel pada impetigo krustosa pecah dengan
sangat cepat sehingga seringkali yang terlihat adalah eksudat serum pada
vesikel yang mengering menjadi krusta kuning kecoklatan, yang biasanya
lebih tebal dan “kotor” pada bentuk dari streptococcus. Penyebaran lesi

6
irreguler ke perifer secara bertahap seringkali terjadi tanpa adanya central
healing. Krusta selanjutnya akan kering dan terpisah sehingga hanya
menyisakan eritema sehingga pudar tanpa membentuk scar.7
Pada kasus yang berat mungkin bisa terdapat adenitis regional dengan
demam dan gejala konstitusional lainnya. Muka terutama disekitar hidung
dan mulut serta pada ekstremitas bawah (terutama setelah trauma) adalah
predileksi yang sering terkena tapi lesi bisa terjadi dimana saja pada tubuh
terutama pada anak dengan dermatitis atopik atau skabies. Keterlibatan
membran mukosa jarang terjadi. Umumnya bisa sembuh secara spontan
dalam 2-3 minggu namun kejadian prolonged juga sering terjadi, terutama
jika disertai adanya infestasi parasit, eczema, atau pada cuaca yang panas
dan lembab. Pada kulit yang banyak pigmen lesi mungkin diikuti oleh
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi sementara.7

Gambar 1. Staphylococcal impetigo


(Sumber: Rook’s, 2016)

7
Gambar 2. Staphylococcus aureus: impetigo. Eritema dan krusta pada
hidung dan kumis (A), yang dapat menyebar ke seluruh
regio sentrofasial (B)
(Sumber: Fitzpatrick’s, 2012)

8
Gambar 3. Streptococcal impetigo
(Sumber: Rook’s, 2016)
2. Impetigo Bulosa
Pada impetigo bulosa terbentuk bula yang pecahnya lebih lama
dibandingkan impetigo krustosa dan bisa menjadi lebih besar, umumnya
dengan diameter 1-2 cm namun ukurannya juga bisa sangat besar dan
bertahan hingga 2-3 hari. Karakteristik lain dari bulanya adalah progresi
yang cepat dari vesikel menjadi bula. Bulanya berwarna kuning bening yang
kemudian berubah warna menjadi kuning tua dan keruh. Setelah bula pecah
maka akan terbentuk krusta tipis, datar serta berwarna coklat yang bisa juga
terdapat adanya skuama koleret di tepi lesinya yang menandakan bekas dari
vesikel dan bula. Central healing dan penyebaran ke perifer bisa membentuk
lesi seperti cincin dengan erosi. Walaupun muka merupakan predileksi yang
paling sering terkena namun lesinya dapat timbul dimana saja dan bisa
melebar dengan distribusi irreguler. Lesi juga seringkali menyokong lokasi
dari kelainan kulit yang telah ada, terutama milliaria atau cedera ringan
seperti gigitan serangga. Mukosa bukal mungkin dapat terkena. Adenitis
regional jarang terjadi.5,7

9
Gambar 4. Impetigo Bulosa
(Sumber: Rook’s, 2016)

Gambar 5. Erosive Bullous Impetigo pada neonatus


(Sumber: Rook’s, 2016)
V. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis paling utama ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan
klinis. Namun jika diagnosis masih diragukan, atau pada suatu daerah dimana

10
impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang kurang berespons terhadap
pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan penunjang seperti tes laboratorium.10
Pada pemeriksaan darah bisa didapatkan adanya leukositosis ringan.
Pemeriksaan ulasan gram pada cairan vesikel mendapatkan adanya rantaian
kokus gram positif pada streptococcus atau kokus gram positif berkelompok
pada staphylococcus. Pada pemeriksaan kultur bisa dilakukan dengan
mengambil spesimen pada area dibawah krusta bisa mendapatkan streptococcus
grup A atau campuran antara streptococcus dan staphylococcus aureus
(terutama dari lesi krusta yang lama). Secara histologis, lesi pada impetigo
bulosa terlihat adanya susunan vesikel pada regio subkorneal atau granular,
terkadang terdapat sel akantolitik disekitar bula, spongiosis, edema pada dermis
papillaris, serta campuran infiltrat dari limfosit dan neutrofil disekitar pembuluh
darah pada plexus superfisial.5
Diagnosis banding lainnya adalah kelainan kulit dengan gambaran ruam
dan lepuh lainnya seperti yang tertera pada tabel 1.

Tabel 1. Diagnosis Banding Impetigo Krustosa dan Bulosa


Diagnosis Banding Impetigo Krustosa dan Bulosa
Impetigo Krustosa Impetigo Bulosa
Pertimbangkan
Dermatitis Atopik Bullous Fixed Drug Eruption
Herpes Simpex Pemfigus Vulgaris
Herpes Zoster Thermal Burns
Skabies Dermatitis Kontak
Varisela Dermatitis Herpetiformis
Insect Bite
Dermatofitosis SSSS
Bula Traumatika

11
Selalu Disingkirkan
Herpes Simplex Herpes Simplex
Herpes Zoster Varisela
Bullous Fixed Drug Eruption
Skabies
SSSS

VI. PENATALAKSANAAN
Dalam review Cochrane terbaru pada tahun 2012 dengan mengevaluasi 68
randomized controlled trials termasuk 26 terapi oral dan 24 terapi topikal terkait
intervensi pada impetigo, mendapat kesimpulan bahwa secara umum tidak
terdapat bukti intervensi mana yang lebih efektif antara antibiotik oral dengan
topikal. Antibiotik topikal lebih superior dibandingkan dengan disinfektan
sendiri, walaupun nantinya akan dijadikan sebagai terapi adjuvan. Tidak ada
hasil yang superior saat membandingkan antara antibiotik topikal dan oral,
namun terdapat bukti bahwa tidak semua antibiotik oral memiliki efektivitas
yang sama. Penicillin lebih inferior jika dibandingkan dengan eritromisin dan
cloxacillin. Retapamulin topikal, sebuah antibiotik topikal yang relatif baru juga
efektif dalam menangani impetigo tanpa adanya resistensi bakteri yang telah
dilaporkan secara global, namun obat tersebut lebih mahal dibandingkan obat
topikal lainnya. Jika infeksinya telah menyebar atau berat, atau jika disertai
dengan adanya limfadenopati, maka antibiotik oral seperti flucloxacillin atau
eritromisin bisa diindikasikan. Penambahan antibiotik topikal atau antiseptik
bisa mempercepat respons dan membantu dalam menghambat penyebaran dari
infeksi.7
Tatalaksana Non-Farmakologi:
Tatalaksana pada lesi yang dapat membantu mempercepat proses penyembuhan
pada pasien adalah:

12
1. Menjaga hiegenitas tubuh dengan mandi dua kali sehari dengan sabun serta
memotong kuku
2. Mencegah luka atau gatal untuk tidak digaruk
3. Pada impetigo krustosa bisa dengan membersihkan krusta yang terinfeksi
bisa berguna secara bakteriologis dan kosmetik. Pemberian salep yang
sering, lebih disarankan yang mengandung agen antibakteri, serta
mencucinya dengan sabun terutama sabun antiseptik (chlorhexidine atau
sodium hypochlorite) dan air dapat efektif dalam membersihkan krusta serta
mencegah rekurensi dan transmisi dari impetigo
4. Mengatasi/identifikasi faktor predisposisi dan keadaan komorbid, misalnya
infeksi parasit, dermatitis atopik, edema, obesitas dan insufisiensi vena.7,13,14
Tatalaksana Farmakologi
1. Topikal
 Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka dengan permanganas
kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1%, povidone iodine 1%,
dilakukan 3 kali sehari masing-masing ½-1 jam selama keadaan akut.
 Bila tidak tertutup pus atau krusta bisa diberikan salep antibiotik berupa:
A. Mupirocin 2% oinment dua kali sehari selama 5-7 hari
B. Retapamulin 1% oinment dua kali sehari selama 5-7 hari
C. Asam Fusidat 1% ointment 2-4 kali sehari selama 5-7 hari
2. Sistemik
Pada umumnya impetigo bisa ditatalaksana hanya dengan terapi antibiotik
topikal, namun ada beberapa situasi disarankannya penggunaan antibiotik
sistemik. Beberapa indikasi penggunaan antibiotik sistemik antara lain:
1. Pada impetigo yang luas atau terdapat adanya limfadenopati yang
teraba selama satu minggu.

13
2. Jika infeksi telah meluas dan menimbulkan komplikasi seperti post
streptococcal glomerulonephritis. Walaupun pada negara
berkembang (<1 kasus/1.000.000 populasi per tahun).
3. Menimbulkan gejala sistemik (seringkali karena outbreaks dari
poststreptococcal glomerulonephritis).
4. Jika pasien gagal dalam pengobatan antibiotik topikal, harus
mendapatkan antibiotik sistemik yang efektif melawan bakteri
S.aureus dan S.pyogenes.
Pemberian antibiotik oral bisa disesuaikan dengan bakteri penyebab, yaitu:
A. Staphylococcus aureus
First line yang dapat diberikan pada pasien dengan methicillin sensitive
staphylococcus aureus adalah:
 Dicloxacillin 250-500 mg po empat kali sehari (dewasa) selama
tujuh hari (pada anak tidak digunakan)
 Cephalexin 500 mg po empat kali sehari (dewasa) serta 50-100
mg/kg/hari dibagi menjadi 3-4 dosis (anak) diberikan selama
tujuh hari
 Clindamycin 300-450 mg po 3-4 kali sehari (dewasa) serta 20-30
mg/kg/hari dibagi menjadi 3-4 dosis (anak) diberikan selama
tujuh hari.
 Amoksisilin/asam klavulanik (co-amoxiclav) 875/125 mg po dua
kali sehari (dewasa) serta 25 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis
(anak) diberikan selama tujuh hari.
 Eritromisin 250-500 mg po empat kali sehari (dewasa) serta 30-
50 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis (anak) diberikan selama
tujuh hari.
Second line yang dapat digunakan pada methicillin resistant
staphylococcus aureus adalah:

14
 Clindamycin 300-450 po 3-4 kali sehari (dewasa) serta 20-40
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis (anak) diberikan selama tujuh
hari
 Trimethoprim-Sulfomethoxazole (TMP-SMX) satu double
strength tab dua kali sehari (dewasa) serta 8-12 mg/kg/hari dibagi
menjadi dua dosis (anak) diberikan selama tujuh hari
 Doxycicline 100 mg po dua kali sehari (dewasa) selama tujuh
hari. Pada anak dibawah 8 tahun tidak bisa diberikan
 Minocycline 200 x 1 + 100 mg po dua kali sehari (dewasa)
selama tujuh hari. Pada anak dibawah 8 tahun tidak bisa
diberikan
B. Streptococcus Grup A
 Penicillin VK 250-500 mg po empat kali sehari (dewasa) serta
25-45 mg/kg/hari dibagi menjadi 2-3 dosis (anak) diberikan
selama sepuluh hari
 Amoksisilin/asam klavulanik (co-amoxiclav) 875/125 mg po dua
kali sehari (dewasa) serta 25-45 mg/kg/hari dibagi dalam dua
dosis (anak) diberikan selama sepuluh hari
 Benzathine penicillin G 1,2 juta unit IM satu kali dosis (dewasa)
serta 600.000 unit IM satu kali dosis (anak) diberikan selama 10
hari.
 Cephalexin 500 mg po empat kali sehari (dewasa) serta 50-100
mg/kg/hari dibagi menjadi 3-4 dosis (anak) diberikan selama
sepuluh hari
 Eritromisin 250-500 mg po empat kali sehari (dewasa) serta 30-
50 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis (anak) diberikan selama
sepuluh hari.

15
 Clindamycin 300-450 po 3-4 kali sehari (dewasa) serta 20-30
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis (anak) diberikan selama
sepuluh hari.5,7,15

VII. PROGNOSIS
Impetigo biasanya sifatnya self-limiting dan akan mengalami resolusi dalam
beberapa hari sampai minggu dengan penggunaan antibiotik serta pembersih
topikal. Penyebaran dengan orang terdekat sering terjadi dan kekambuhan lebih
sering pada individu dengan penyakit kulit penyerta dibandingkan dengan karier
staphylococcus. Jika tidak ditangani dengan baik, infeksi yang invasif bisa
menyebabkan komplikasi impetigo S.aureus dengan selulitis, limfangitis serta
bakterimia sehingga mengakibatkan osteomyelitis, septic arthritis, pneumonitis,
dan septikemia. Streptococcal impetigo juga merupakan salah satu penyebab
utama poststreptococcal acute glomerulonephritis. Periode laten terbentuknya
nephritis setelah pioderma adalah 18-21 hari. Sehingga penanganan pada kulit
yang lebih dini bisa mencegah timbulnya komplikasi pada ginjal. Komplikasi
lain yang dapat terjadi adalah demam rematik, penyakit jantung rematik,
psoriasis gutata, scarlet fever, urtikaria serta eritema multiform.5,7

VIII. PENCEGAHAN
Berikut dibawah ini merupakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya impetigo yaitu:
A. Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun
dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang dengan kulit sensitif)
B. Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap
pendek dan bersih
C. Menjauhkan diri dari orang dengan impetigo

16
D. Orang yang kontak dengan orang yang terkena impetigo segera mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir.
E. Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang
lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau
pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.
F. Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang
terinfeksi dan cuci tangan setelah itu
Penderita impetigo harus diisolasi dan dicegah agar tidak terjadi kontak
dengan orang lain minimal dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik.
Pemakaian barang –barang atau alat pribadi seperti handuk, pakaian, sarung
bantal dan seprai harus dipisahkan dengan orang-orang sehat. Pada umumnya
akhir periode penularan adalah setelah dua hari permulaan pengobatan, jika
impetigo tidak menyembuh dalam satu minggu, maka harus dievaluasi.8,9,11,12

17
BAB III
KESIMPULAN

Impetigo merupakan salah satu contoh pioderma yang menyerang lapisan


epidermis kulit dan biasanya muncul pada wajah terutama disekitar mulut dan
hidung pada anak-anak. Impetigo merupakan infeksi yang sangat menular serta
terjadi terutama pada anak usia preschool atau usia 2-5 tahun. Impetigo bulosa
dapat terjadi pada semua usia. Biasanya insiden terbesar pada saat akhir musim
panas dan awal musim semi. Faktor predisposisi lain terjadinya impetigo adalah
higenitas yang buruk, overcrowding, atopic diathesis, trauma kulit, serta
partisipasi dalam contact sports, riwayat dermatitis kronik, malnutrisi, diabetes.
Gambaran klinis pada impetigo krustosa seringkali yang terlihat adalah
eksudat serum pada vesikel yang mengering menjadi krusta kuning kecoklatan.
Pada impetigo bulosa terlihat adanya bula berwarna kuning bening yang
kemudian berubah warna menjadi kuning tua dan keruh. Setelah bula pecah
maka akan terbentuk krusta tipis berwarna kuning kecoklatan.
Penatalaksaan impetigo secara umum tidak terdapat bukti intervensi mana
yang lebih efektif antara antibiotik oral dengan topikal. Namun, penambahan
antibiotik topikal atau antiseptik bisa mempercepat respons dan membantu
dalam menghambat penyebaran dari infeksi. Jika infeksinya telah menyebar atau
berat, atau jika disertai dengan adanya limfadenopati, maka antibiotik oral
seperti flucloxacillin atau eritromisin bisa diindikasikan. Pemberian antibiotik
sistemik juga bisa dilihat dari bakteri penyebabnya serta pada staphylococcus
aureus apakah sensitif terhadap methicillin atau tidak. Membersihkan krusta
yang terinfeksi juga bisa berguna secara bakteriologis dan kosmetik dengan cara
memberikan salep yang sering (lebih disarankan yang mengandung agen
antibakteri) serta mencucinya dengan sabun dan air. Impetigo dapat dicegah
dengan menjaga hiegenitas serta menghindari kontak dengan pasien impetigo.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda. 2005. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p 35-36
2. Beheshti. 2007. Impetigo, a brief review. Fasa-Iran: Fasa Medical School. pp
23-36, 277- 283
3. Provider synergies. 2007. Impetigo agents, topical review. Ohio: Intellectual
Property Department Provider Synergies LLC. pp 276-277
4. Adiprayoga, Nyoman Raditya dan Darmada. 2015. IMPETIGO BULOSA :
SEBUAH LAPORAN KASUS. E-Jurnal Medika Udayana, p. 499-506
5. DeLauro TM, DeLauro NM. Fitzpatrick’s Dermatology in General 8th
Edition. Chicago: McGraw-Hill; 2012. p 1111-1114.
6. Bolognia, J.L., Jorizzo, J.L, and Schaffer, J.V. 2012. Dermatology E-book 3rd
Edition. Elsevier Health Sciences p 1188.
7. Griffiths, Cristopher et al. Rook’s Textbook of Dermatology 9th Edition
Oxford: John Willey & Sons, Ltd; 2016. p 26.13-26.16
8. Adams HH, Banvard C, Juckett G. Impetigo: diagnosis and treatment. 2014.
Diunduh dari http://www.aafp.org/ afp/2014/0815/p229-s1. Html, 28 Mei 2018
9. Ghazvini P, Treadwell P. Impetigo in pediatric population. J Dermatolog Clin
Res 5(1);2017
10. Adiprayoga NR, Darmada IGK, Rusyati LM. Impetigo bulosa: sebuah laporan
kasus. Diunduh dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/8519, 27
Mei 2018
11. Imaligy EU. Impetigo vesikobulosa pada bayi. Diunduh dari
http://www.kalbemed.com/Portals/6/12_227Laporan%20Kasus-
Impetigo%20Vesikobulosa%20pada%20Bayi.pdf, 26 Mei 2018
12. Boediardja SA. Gambaran umum lesi bulosa pada bayi dan anak. Dalam:
Agusni I, Zulkarnain I, Sawitri, editor. Lesi bulosa pada bayi dan anak.
Surabaya; Airlangga University Press; 2007. p 1–7.

19
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta: PERDOSKI; 2017.
14.Gorwitz RJ. Community-associated methicillin-resistant Staphylococcus
aureus: epidemiology and update. Pediatr Infect Dis J. 2008 Oct. 27(10):925-
6.
15.Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJ, Gorbach
SL, et al. Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft
tissue infections: 2014 update by the infectious diseases society of
America. Clin Infect Dis. 2014 Jul 15. 59 (2):147-59

20

Anda mungkin juga menyukai