Anda di halaman 1dari 10

SKENARIO 7

PERTAHANAN KULIT NORMAL

 Pada kulit yang normal bakteri tidak mampu untuk melakukan penetrasi dikarenakan, terjadi
proses maserasi dan oklusi di kulit
 Yang mana akan meningkatkan PH, karbon dioksida, epidermal water content (mencegah
kekerigan kulit)
 Kekeringan kulit yang bersifat minimal akan menyebabkan pertumbuhan bakteri menjadi
terhambat terutama bakteri gram (-)
 Lemak yang terdapat pada permukaan kulit memiliki fungsi sebagai anti bakterial
 Asam lemak bebas,linolenik, dan linoleik memiliki fungsi antimikroba terutama pada S.aureus
daripada S. group a beta hemolitikus
 Kulit memiliki peptida antimikroba yang dibentuk di keratinosit lalu di salurkan ke permukaan
kulit.

PIODERMA
 Merupakan radang kulit yang disebabkan oleh bakteri pembuat nanah, seperti Streptococcus β
hemolitycus, Staphylococcus aureus/albus, Corynebacterium minutissimum, dan bakteri gram
negatif lainnya
 Pada umumnya, sebanyak 60 % individu normal ditemukan S. aureus yang tumbuh intermiten
pada kulit dan mukosa
 Pada umumnya bakteri ini akan bertumbuh pada kulit yang lembab seperti area inguinal, aksila
dan perirektal, begitupun pada mukosa nasal, faring dan rektal.
 Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan bertumbuhnya bakteri tersebut termasuk dermatitis
atopi, diabetes melitus, kelainan ginjal pada pasien hemodialisa, pengguna obat intravena,
disfungsi liver, dan penyakit genetik atau yang berhubungan dengan menurunnya daya tahan
tubuh termasuk didalamnya HIV, kekurangan gizi, anemia dan keganasan.
 Kebersihan individu yang kurang dapat menjadi salah satu faktor resiko.
 Penularan penyakit ini dapat terjadi akibat kontak langsung dengan penderita atau udara
 Klasifikasi :
1) Pioderma Primer
 Infeksi yang mengenai kulit yang normal

2) Pioderma Sekunder
 Infeksi pada kulit yang sudah ada penyakit kulit lain sebelumnya.
 Sehingga dalam pioderma sekunder disebut impetigenisata
 Misal eczema vulgaris impetigenisata, prurigo impetigenisata, varisela impetigenisata,
hidradenitis supurativa, intertrigo, ulkus
 Patogenesis
 Stratum korneum yang intak merupakan salah satu pertahanan kulit terhadap bakteri patogen
penyebab pioderma
 Beberapa faktor yang berperan dalam timbulnya pioderma adalah gigitan serangga, trauma
lokal, kelainan kulit (terutama dermatitis atopik), higiene buruk, suhu dan kelembaban
tinggi, usia pasien, riwayat pemakaian antibiotik, dan pemukiman padat
 Beberapa penelitian di Indonesia mendapatkan kelompok usia tertinggi yang menderita
pioderma adalah kelompok usia di bawah lima tahun,kemungkinan karena sistem imunitas
yang masih lemah
 Toksin ekfoliatif (ETs) terdiri atas ETA dan ETB. ETs adalah protease sering yang berikatan
dengan molekul sel adesi desmoglein-1 pada epidermis dan memecah epidermis sehingga sel
kehilangan daya adesinya
 Biasanya epidermolisis terjadi di antara stratum spinosum dan granulosum sehingga lepuh
yang timbul berdinding tipis dan kendur dengan tanda Nickolsky positif
 ETA menyebabkan impetigo bulosa dan ETB menyebabkan Staphylococcal scalded skin
syndrome
 Enterotoksin Staphylococcus aureus yang disebut toxic shock syndrome toksin-1 (TSST-1)
dikenal sebagai superantigen toksin pirogenik akan mengaktifkan sel T dan menyebabkan
produksi sitokin lalu inflamasi
 Gempuran sitokin ini menyebabkan sindrom kebocoran kapiler dan dapat menjelaskan
sebagian besar manifestasi klinis penyakit

 Edukasi
 Menjaga higiene untuk mencegah infeksi berulang
 Membatasi kontak dengan prang lain untuk mencegah penularan
 Tidak boleh menggaruk lesi
 Menghindari pencetus
 Mengurangi kegiatan yang dapat menimbulkan keringat yang dapat memicu gatal
 Mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, misalnya kontrol gula darah pada
pasien diabetes melitus
 Pasien diedukasi mengenai penggunaan antibiotik untuk menghindari resistensi antibiotik

IMPERTIGO
 Merupakan pioderma superfisialis dimana infeksi berbatas pada epidermis
 Impetigo diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Impetigo Krustosa, Impetigo Bulosa dan Impetigo
Neonatorum
A. Impertigo Krustosa
 Penyakit ini disebabkan oleh Streptococcus β hemolyticus
 Predileksi dari penyakit ini pada daerah wajah, area sekitar hidung dan mulut dimana
hal ini dikarenakan daerah tersebut merupakan sumber infeksi
 Kelainan kulit dimulai dengan papul eritem yang menjadi vesikel atau pustul dengan
dasar eritem yang dengan mudah pecah sehingga meninggalkan bekas krusta tebal
bewarna kuning seperti madu
 Apabila krusta tersebut di angkat tampak erosi dibawahnya.
B. Impertigo Bulosa
 Penyakit ini paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus , dengan predileksi di
aksila, dada, dan punggung
 Kelainan kulit yang tampak adalah eritema, bula berdinding tipis berisikan cairan
bewarna kuning jernih yang semakin lama menjadi kuning tua dan keruh, hipopion
yang apabila pecah meninggalkan bekas erosi dan koleret
 Bila dilakukan pemeriksaan Nikolsky memberikan hasil negatif
 Bula terjadi akibat toksin yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut yang bersifat
eksfoliatif → toksin tersebut mengakibatkan terpecahnya desmoglein 1 pada epidermis
yang mengakibatkan terbentuknya bula intraepitel
 Bila toksin tersebut disekresikan secara lokal ke kulit akan memberikan gambaran
impetigo bulosa, tetapi bila disekresikan secara sistemik akan menjadi staphylococcal
scalded-skin syndrome.
C. Impertigo Neonatorum
 Merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat hanya pada neonatus
 Kelainan ini dapat ditemukan menyeluruh

 Pemeriksaan Fisik
1) Impetigo Krustosa
 Lesi dimulai sebagai vesikel kecil atau pustula yang pecah dan digantikan oleh
krusta tebal berwarna seperti madu, biasanya berukuran kurang dari 2 cm
 Beberapa lesi umumnya terjadi di situs yang sama, sering bersatu.
 Dapat terlihat daerah ekskoriasi karena garukan
 Tampak eritema
 Lesi biasanya terletak di wajah (di sekitar mulut dan hidung) dan bagian tubuh
yang terbuka (misalnya, lengan, kaki)
 Limfadenopati regional hadir pada 90% pasien. Pasien tidak sakit tenggorokan.
 Ketika lesi sembuh baik secara spontan atau pasca pemakaian antibiotik. Maka
krusta akan terkelupas dan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut
2) Impetigo Bulosa
 Bullae beratap tipis, lembek, dan transparan biasanya berukuran kurang dari 3 cm
 Bullae utuh biasanya tidak hadir karena sangat rapuh
 Bullae awalnya mengandung cairan kuning bening yang kemudian berubah
menjadi kuning keruh dan gelap
 Bullae pecah dengan mudah, dalam 1-3 hari, dan apabila pecah akan meninggalkan
bekas berupa kolaret
 Sering terjadi di leher, axillary dan lipatan crural, dan area popok
 Impetigo bullous yang dapat melibatkan selaput lendir buccal dan adenopati
regional jarang terjadi dalam impetigo bullous
 Selain itu, bullous impetigo dianggap kurang menular daripada impetigo
nonbullous
 Pemeriksaan penunjang : pengambilan sediaan dapat diambil dari pus atau eksudat.
Dari hasi sediaan akan tampak bakteri gram positif tersusun seperti rantai
(Streptococcus spp.) atau bergerombol (S.aureus) atau kombinasi keduanya.

 Tatalaksana
 Pilihan terapi utama topikal terapi yang dapat diberikan pada penderita
Impetigo adalah mupirocin ointment 2% yang memiliki pH5,5 mendekati pH
kulit normal sebanyak dua kali sehari selama lima hari dengan membersihkan
krustanya terlebih dahulu
 Pilihan pertama antibiotik sistemik pioderma yang disebabkan oleh S. aureus
adalah diklosaksilin 250-500 mg 4 kali sehari selama 7 hari, sedangkan yang
disebabkan oleh Streptococcus spp. dapat diberikan penicillin selam 10 hari
 Tatalaksana
FOLIKULITIS
 Peradangan yang mengenai folikel rambut
 Penyakit ini disebabkan oleh Staphylococcus aureus
 Folikulitis dibagi menjadi 2 berdasarkan kedalaman infeksi, yaitu folikulitis superfisialis dan
folikulitis profunda
1) Folikulitis Superfisialis
 Dapat disebut juga sebagai Bockhart impetigo
 Kelainan kulit berupa papul eritem atau pustul berbentuk kubah yang ditengahnya
terdapat rambut
2) Folikulitis Profunda
 Tempat predileksi di bibir atas dan dagu bilateral
 Kelainan kulit berupa papul eritem atau pustul disertai infiltrat subkutan yang dapat
diraba

 Terapi
 Prognosis
 Folikulitis superfisialis mempunyai prognosis yang cukup baik karena infeksinya ringan dan
superfisial, sedangkan folikulitis profunda lebih sulit diatasi karena infeksinya lebih dalam
dan lebih parah
 Dengan penatalaksanaan yang baik termasuk memberikan tata laksana terhadap faktor
risikonya akan memberikan prognosis yang baik

EKTIMA

 Merupakan ulkus superfisial yang tertutup krusta yang lekat diatasnya


 Disebabkan oleh Streptococcus β hemolyticus
 Pada umumnya mengenai usia anak-anak dengan predileksi tempat yang mudah terkena trauma,
seperti tungkai dan bokong
 Kelainan kulit awalnya berupa vesikopustul yang pecah akan tampak krusta tebal bewarna kuning
yang bila diangkat tampak ulkus dangkal berbentuk cawan dengan tepi meninggi
 Apabila tidak diobati dengan tepat maka keluhan ini akan menjadi gangren
 Ektima harus dibedakan dengan impetigo krustosa (tabel 3) dimana kedua pioderma ini sama-
sama disebabkan oleh Streptococcus β hemolyticus dan tertutup krusta bewarna kekuningan

FURUNKEL

 Peradangan yang mengenai folikel rambut dan sekitarnya


 Penyakit ini disebabkan oleh Staphylococcus aureus
 Furunkel umumnya timbul pada daerah yang lembab dan lipatan seperti leher,
wajah, aksila dan bokong
 Keluhan dapat berupa rasa nyeri dengan kelainan kulit berupa nodul eritem
berbentuk kerucut dan terdapat pustul dibagian tengahnya yang bila melunak
menjadi abses yang berisi pus dan jaringan nekrotik
 Beberapa faktor dapat menjadi pencetus terjadinya furunkel seperti, obesitas,
gangguan fungsi neutrophil, immunosupressan akibat glukokortikoid sistemik,
kemoterapi dan defisiensi immunoglobulin.
 Furunkel yang lebih dari satu disebut sebagai furunkulosis
 Hubungan obesitas dengan furunkel
 Semakin gemuk (obese) seseorang, maka saat berkeringat, keringat ini akan
lebih 'terjebak' di daerah lipatan, sehingga meningkatkan kelembapan
 Kegemukan akan menyebabkan gesekan lebih sering terjadi antara kulit
dengan kulit (di daerah lipatan) dan antara kulit dengan pakaian → gesekan
ini dapat menimbulkan microtrauma atau perlukaan kecil yang mungkin tak
terlhat → microtrauma ini akan menjadi jalan masuk kuman yang memang
hidup di permukaan kulit kita, sehingga akihirnya menimbulkan infeksi
 Bila berkumpul menjadi satu disebut karbunkel (lebih luas dan dalam)
 Pasien pada umumnya akan merasa sangat nyeri dan mengeluh demam dan
malaise
 Sering meninggalkan bekas luka
 Pemeriksaan penunjang

ERISIPELAS

A. DEFINISI
 Merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Streptococcus
 Pada umumnya didahului oleh gejala konstitusi seperti demam, malese dan didahului oleh
trauma
 Epidermis dan dermis merupakan lapisan kulit yang diserang
 Erisipelas dapat melibatkan pembuluh limfatik dermal, yang tersering disebabkan oleh β-
hemolytic Streptococcus grup A
B. ETIOLOGI
 Erisipelas sering disebabkan oleh β-hemolytic Streptococcus grup A, sangat jarang
disebabkan oleh Streptococcus grup C atau G; serta dapat juga disebabkan oleh
Staphylococcus aureus
 Faktor risiko terjadinya erisipelas di antaranya adalah lympedema, venous stasis, intertrigo,
obesitas, luka operasi, fisura atau abrasi (pada hidung, lubang telinga, sela-sela jari kaki,
anus, atau penis), dan ulkus kaki kronis
C. PATOGENESIS
 Kulit yang intak berperan penting pada pertahanan tubuh terhadap patogen
 Interaksi pejamu-patogen bergantung pada fungsi barier kulit, faktor bakteri, dan faktor
pejamu
 Status imunitas yang rendah, seperti pada diabetes, kanker, gagal ginjal, neutropenia, atau
infeksi HIV akan meningkatkan frekuensi erisipelas dan selulitis
 Apabila Staphylococcus aureus dan Streptococcus group A dapat mengalahkan sistem
imunitas tubuh, maka akan dapat menimbulkan infeksi
 Streptococcus group A dapat menginaktivasi cathelidin LL-37, yang akan menyebabkan
resistansi terhadap sistem imunitas alamiah
 Walaupun Streptococcus group A merupakan patogen ekstraselular, Streptococcus group A
dapat menghindari deteksi sistem imunitas serta terapi antibiotik dengan memasuki
makrofag dan sel endotel
 Streptococcus group A dan Staphylococcus aureus dapat memproduksi eksotoksin yang
menyebabkan reaksi toksin sistemik, termasuk toxin shock syndrome
 Panton Valentine Leukocidin (PVL) merupakan β-pore forming toxin yang diproduksi oleh
beberapa strain Staphylococcus aureus yang akan merusak leukosit dan menjadi faktor
predisposisi timbulnya SSTI yang parah
D. MANIFESTASI KLINIS
 Erisipelas biasanya dimulai dari wajah atau ekstremitas bawah, disertai dengan nyeri,
muncul makula eritematosa superfisial dan plaquelike edema dengan batas yang tegas →
Gambaran itu seringkali disebut peau d’orange appearance
 Makula eritematosa berwarna merah cerah dengan infiltrat di tepi; dan dapat disertai vesikel
atau bula di atasnya
 Adanya antecendent edema atau kelainan anatomi lainnya, batas antara kulit sehat dengan
kulit yang mengalami soft tissue infection menjadi kabur, yaitu ditemukan pada selulitis
primer
 Erisipelas di wajah lebih jarang terjadi daripada di ektremitas bawah, terjadi secara
unilateral, tetapi dapat menyebar melalui kulit nasal dan dapat mengenai simetris kedua sisi
wajah
 Orofaring dapat menjadi port d’entry
 Edema inflamasi dapat meluas di kelopak mata, tetapi jarang menimbulkan komplikasi di
mata
 Erisipelas di ektremitas bawah dapat diawali dengan nyeri gluteal yang disebabkan oleh
pembengkakan pembuluh limfa femoralis
 Limfangitis dan abses sangat jarang terjadi, tetapi penyebaran lesi dapat terjadi
 Bula dapat terjadi pada area lesi
 Erisipelas berulang (rekuren) berhubungan dengan saphenous vein harvest (seringkali
dihubungkan dengan tinea pedis), dan lymphedema sebagai komplikasi mastektomi dengan
diseksi pembuluh limfe aksila
 Pada kedua kasus ini, erisipelas akan terjadi di area yang sesuai dengan perjalanan vena dan
pembuluh limfe tersebut
E. PEMERIKSAAN
 Pemeriksaan penunjang pada erisipelas dan selulitis berupa pemeriksaan Gram dari pus,
eksudat, atau cairan aspirat, serta pemeriksaan resistansi kuman terhadap antibiotik
 Pemeriksaan elemen jamur dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding
 Pengambilan sediaan di area yang paling mengalami inflamasi (lebih dangkal daripada di
pinggir lesi) akan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan
 Lesi terbuka, seperti pada luka paskaoperasi, lesi traumatik, dapat mengandung bermacam-
macam organisme, walaupun seringkali merupakan organisme kontaminan
 Pewarnaan Gram sangat membantu dalam identifikasi morfologi bakteri
 Pemeriksaan imaging secara rutin biasanya tidak diperlukan pada kasus tanpa komplikasi
 Infeksi dengan organisme anaerob, terutama Clostridia dan Bacteroides dapat menyebabkan
pembentukan udara, yang akan tampak pada pemeriksaan radiologis
 Pemeriksaan X-ray pada selulitis anaerob akan didapatkan kantongkantong udara (pocket of
gas) pada jaringan superfisial dan biasanya akan tampak pada pemeriksaan palpasi
F. TERAPI

Terutama diindikasikan pada lesi yang disertai bula


G. KOMPLIKASI
 Limfadenopati regional dapat terjadi pada selulitis di ekstremitas. Pada orang yang tua dapat
terjadi komplikasi berupa tromboflebitis dari selulitis di ekstremitas inferior. Selain itu,
limfedema dan sepsis juga dapat menjadi komplikasi pada erisipelas dan selulitis
H. PROGNOSIS
 Erisipelas dan selulitis yang tidak diterapi dapat berkembang menjadi bakteremia dengan
infeksi yang meluas ke organ yang lain
 Terapi yang sesuai akan mencegah komplikasi supuratif dan nonsuspuratif
 Walaupun demikian, pada bayi dan usia lanjut atau pasien dengan terapi glukokortikoid,
erisipelas atau selulitis dapat berkembang menjadi penyakit yang fatal
 Erisipelas mempunyai kecenderungan untuk berulang pada area lesi yang sama, yang
kemungkinan terjadi akibat faktor predisposisi berupa obstruksi limfatik kronik, edema
persisten, atau elephantiasis-likeswelling yang disebabkan oleh infeksi sebelumnya
 Selulitis akut mempunyai tendensi untuk menyebar melalui pembuluh limfatik dan
pembuluh darah dan menjadi fatal bila tidak diterapi dini
 Pada pasien usia lanjut, keterlibatan ekstremitas bawah dapat menimbulkan komplikasi
tromboflebitis
 Pada pasien dengan edema kronik, infeksi dapat menyebar dengan cepat, dan kesembuhan
akan melambat

SELULITIS-FLAGMON
A. DEFINISI
 Selulitis merupakan pioderma profunda di lapisan dermis dan jaringan subkutan
 Disebabkan oleh Streptococcus, memiliki gejala konstitusi, predileksi dan hasil pemeriksaan
laboratorium yang sama dengan eriseplas, yang membedakan adalah gejala klinisnya
B. ETIOLOGI
 Selulitis tersering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A, tetapi
beberapa bakteri juga ditemukan pada kultur, seperti Streptococcus grup B pada bayi baru
lahir, pneumococcus, basil Gram negatif pada pasien imunokompromais, serta
mikroorganisme lain
 Pada usia yang sangat muda atau sangat tua, rawat inap yang lama, diabetes, status
imunokompromais, dan penggunaan kortikosteroid; Escheria coli dan Enterobacteriaceae
dapat menjadi penyebab selulitis
C. PATOGENESIS
 Sama dengan erisipelas
D. MANIFESTASI KLINIS
 Selulitis bermanifestasi klinis berupa makula eritematosa disertai nyeri seperti pada
erisipelas, tetapi pada selulitis makula eritematosa tidak berbatas tegas antara lesi dan kulit
normal
 Lesi mengenai area yang lebih dalam, disertai indurasi, fluktuasi, dan seringkali juga
didapatkan krepitasi pada palpasi
 Pada beberapa kasus selulitis, dapat terjadi bula atau nekrosis yang akan menimbulkan
pelepasan epidermal dan erosi superfisial
 Limfadenopati regional dapat terjadi pada selulitis di ekstremitas
 Pada orang yang tua dapat terjadi komplikasi berupa tromboflebitis dari selulitis di
ekstremitas inferior
 Sama dengan erisipelas, selulitis rekuren dilaporkan dapat terjadi setelah mastektomi
 Selulitis di ekstremitas ipsilateral dapat terjadi setelah diseksi kelenjar limfe aksila dan
iradiasi

Anda mungkin juga menyukai