Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

LIMFADENOPATI COLLI

Oleh:

Lulut Khoridatur R G99161056

Atika Iffa Syakira G99161021

Febrian Kantata JN G99161001

Pembimbing :
dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
2017

1
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan
ukuran lebih besar dari 1 cm. Kepustakaan lain mendefinisikan limfadenopati
sebagai abnormalitas ukuran atau karakter kelenjar getah bening. Sekitar 55%
pembesaran kelenjar getah bening terjadi pada daerah kepala dan leher. Organ
ini sangat penting untuk fungsi sistem kekebalan tubuh, dimana tugasnya
adalah menyerang infeksi dan menyaring cairan getah bening. Sebagian besar
kelenjar getah bening ada di daerah tertentu, misalnya mulut, leher, lengan
bawah, ketiak dan kunci paha.
Secara klinis limfadenopati dapat dibedakan menjadi limfadenopati
lokalisata dan limfadenopati generalisata. Limfadenopati lokalisata
didefinisikan sebagai pembesaran KGB hanya pada satu region saja,
sedangkan limfadenopati generalisata apabila pembesaran KGB terjadi pada
dua atau lebih region yang berjauhan dan simtetris.
Pembesaran kelenjar getah bening di daerah leher sering terjadi pada
anak-anak. Sekitar 38% sampai 45% pada anak normal memiliki kelenjar
getah bening daerah leher yang teraba. Dari studi di Belanda terdapat 2.556
kasus limfadenopati yang tidak dapat dijelaskan dan 10% dirujuk kepada
subspesialis, 3.2% membutuhkan biopsi dan 1.1% mengalami keganasan.
Studi kedokteran keluarga di amerika serikat tidak ada dari 80 pasien dengan
limfadenopati yang tidak dapat dijelaskan yang mengalami keganasan dan tiga
dari 238 pasien yang mengalami keganasan dari limfadenopati yang tidak
dapat dijelaskan.
Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian besar anak, tetapi
ditemukan juga pada 56% orang dewasa. Penyebab utama limfedenopati
servikal adalah infeksi. Kelenjar getah bening servikal yang mengalami
inflamasi dalam beberapa hari, kemudian berfluktuasi (terutama pada anak-
anak) khas untuk limfadenopati akibat infeksi stafilokokus dan streptokokus.
3

Kelenjar getah bening yang keras, terutama pada orang usia lanjut dan
perokok menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring,
nasofaring, laring, tiroid, dan esophagus).
Pada makalah ini akan dibahas mengenai anatomi dan fisiologi
kelenjar getah bening, definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis,
diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis Limfadenopati colli.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kelenjar getah bening?
2. Apakah definisi Limfadenopati colli?
3. Bagaimana epidemiologi Limfadenopati colli?
4. Apa etiologi Limfadenopati colli?
5. Bagaimana patogenesis Limfadenopati colli?
6. Bagaimana cara diagnosis Limfadenopati colli?
7. Apa diagnosis banding dari Limfadenopati colli?
8. Bagaimana penatalaksanaan Limfadenopati colli?
9. Bagaimana prognosis Limfadenopati colli?

C. Tujuan
Mengetahui anatomi dan fisiologi kelenjar getah bening, definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan dan prognosis Limfadenopati colli.

D. Manfaat
1. Dalam bidang pendidikan dapat menambah pengetahuan tentang
Limfadenopati colli.
2. Dalam bidang pelayanan dapat digunakan sebagai asupan dalam upaya
penatalaksanaan Limfadenopati colli.
3. Dalam bidang penelitian dapat digunakan sebagai bahan penelitian
selanjutnya.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelenjar Getah Bening Normal


1. Anatomi
Leher adalah bagian tubuh yang terletak diantara inferior
mandibula dan linea nuchae superior (diatas), dan incisura jugularis dan
tepi superior clavicula (dibawah). Jaringan leher dibungkus oleh tiga
fasia, yaitu fasia colli superficial membungkus m.
sternokleidomastoideus dan berlanjut ke garis tengah di leher untuk
bertemu dengan fasia sisi yang lain. Fasia colli media membungkus otot
pretrakeal dan bertemu pula dengan facia sisi lain di garis tengah dan
juga merupakan pertemuan dengan fasia colli superfisialis. Ke dorsal
fasia colli media membungkus a. carotis communis, v. jugularis interna
dan n. vagus menjadi satu. Fasia colli profunda membungkus m.
prevertebralis dan bertemu ke lateral dengan fasia colli lateral.
Pembuluh darah arteri pada leher antara lain a. carotis communis
(dilindungi oleh vagina carotica bersama dengan v. jugularis interna dan
n. vagus, setinggi cornu superior cartilage thyroidea bercabang menjadi
a. carotis interna dan a. carotis externa), a. subclavia (bercabang
menjadi a. vertebralis dan a. mammaria interna).
Pembuluh vena antara lain v. jugularis externa dan v. jugularis
interna. Vasa lymphatika meliputi nn. Cervikalis superficialis (berjalan
sepanjang v. jugularis eksterna) dan nnl. Cervikalis profunda (berjalan
sepanjang v. jugularis interna). Inervasi oleh plexsus cervikalis, n.
fasialis, n. glossopharingeus dan n. vagus.
Limponodi di daerah kepala dan leher tersusun dalam beberapa
kelompok regional dan terminal. Kelompok regional atau oksipital,
retroaurikula, parotis, facial (buccales), submandibular, submental,
cervikalis anterior, cervikalis superfisialis, retroparingeal, laryngeal,
dan trakhealis.
5

Nodi lympodea kelompok terminal menampung semua pembuluh


limfe dari kepala dan leher, secara langsung ataupun tidak langsung
melalui salah satu kelompok regional. Kelompok terminal berhubungan
dengan selubung carotis, terutama dengan v. jugularis interna dan
disebut juga kelompok servikalis profunda.
a. Nodi lymphoidei occipitalis, terletak diatas os occipital pada
puncak trigonum colli posterior dan menampung cairan limfe
dari bagian belakang kulit kepala. Pembuluh limfe eferen
bermuara ke nodi lymphoidei cervicalis profunda.
b. Nodi lymphoidei retroauricularis (masteidei), terletak diatas
permukaan lateral processus mastoideus os temporal dan
menampung cairan limfe dari sebagian kulit kepala diatas
auricular dan dari dinding posterior meatus acusticus auiricular
dan dari dinding posterior meatus acusticus externus.
Pembuluh limfe eferen bermuara ke nodi lymphoidei cervicales
profundi.
c. Nodi lymphoidei buccales (facial), terletak diatas m.
buccinators, dekat v. facialis. Nodi ini terletak sepanjang
perjalanan pembuluh limfe yang akhirnya bermuara ke nodi
lympoidei submandibulares.
d. Nodi lymphoidei paratidei, terletak diatas atau diantara
glandula paratidea dan menampung cairan limfe dari sebagian
kulit kepala diatas glandula paratiroidea, dari permukaan lateral
aurikula dan dinding anterior meatus acusticus eksternus, dan
dari bagian lateral kelopak mata. Kelenjar yang terletak
profunda terhadap glandula paratiroidea juga menerima cairan
limfe dari telinga tengah pembuluh limfe eferen bermuara ke
nodi lympoidei cervicales profundi.
e. Nodi lymphoidei submandibulares, terletak pada permukaan
superficial glandula submandibular, dibawah lamina
superficialis facia colli profundae. Nodi ini dapat di palpasi
6

tepat dibawah pinggir bawah corpus mandibular, dan menerima


cairan limfe dari area yang luas, termasuk bagian depan kulit
kepala hidung dan daerah pipi yang berdekatan, bibir atas dan
bawah (kecuali bagian tengah) sinus frontalis, maksilaris, dan
ethmoidalis, gigi atas dan bawah (kecuali incisivus bawah), dua
pertiga bagian anterior lidah (kecuali ujung lidah), dasar mulut
dan vestibulum, serta gusi. Pembuluh limfe eferen bermuara ke
nodi lympoidei cervicalis profunda.
f. Nodi lymphoidei submental, terletak didalam trigonum
submental diantara v. anterior m. digastrikus kiri dan kanan.
Nodi ini menampung cairan limfe dari ujung lidah, dasar mulut
dibawah ujung lidah, gigi incisivus dan gusi yang berdekatan,
bagian tengah bibir bawah, dan kulit diatas dagu. Pembuluh
limfe aferen bermuara ke nodi lympoidei submandibularis dan
servikalis profunda.
g. Nodi lymphoidei cervicales anterior, terletak sepanjang v.
jugularis anterior. Nodi ini menampung cairan limfe dari kulit
dan jaringan superficial leher bagian depan. Pembuluh limfe
eferen bermuara ke nodi lympoidei cervikalis profundi.
h. Nodi lymphoidei cervikalis superfisialis, terletak sepanjang v.
jugularis eksterna. Nodi ini menampung cairan limfe dari kulit
diatas sudut rahang, kulit diatas apex glandula paratidea dan
lobus telinga. Pembuluh limfe eferen bermuara ke nodi
lympoidei cervikalis profundi.
i. Nodi lymphoidei retropharyngeales, terletak di spatium
retropharyngeum, celah antara dinding phaynx dan lamina
prevertebralis. Nodi ini menampung cairan limfe dari
nasopharyng, tuba auditiva, dan bagian atas columna vertebrae
cervicales. Pembuluh limfe eferen bermuara ke nodi lympoidei
cervicales. Pembuluh limfe eferen bermuara ke nodi lympoidei
cervicales profundii.
7

j. Nodi lymphoidei laryngeales, terletak didepan larynx pada


ligamentum cricothyroideum. Satu atau dua nodus kecil
mungkin ditemukan didepan membrane thyroidea. Nodi ini
menampung cairan limfe eferen nya bermuara ke nodi
lympoidei cervicales profundi.
k. Nodi lymphoidei tracheales, terletak lateral terhadap trachea
(nodi lymphoidei para trachealis) dan didepan trachea (nodi
lymphoidei pretrachealis). Keduanya menampung cairan limfe
dari struktur yang berdekatan, termasuk glandula thyroidea.
Pembuluh limfe bermuara ke nodi lymphoidei cervicales
profundi.
l. Nodi lymphoidei cervicales profundi, membentuk sebuah rantai
sepanjang v. jugularis interna, dari cranium sampai ke pangkal
leher. Nodi ini tertanam diatas facia selubung carotis dan tunica
advantisia v. jugularis interna; sebagian besar terletak pada
aspek anterolateral v. jugularis interna. Dua dari kelenjar ini
sering dirujuk di klinik, yaitu nodus jugulodigastrikus dan
jugulo omohyoideus. Nodus jugulodigastrikus terletak tepat
dibawah venter posterior m. digastrici dan terletak tepat
dibawah dan belakang angulus mandibula. Nodus ini terutama
berhubungan dengan aliran limfe dari tonsil dan lidah. Nodus
juguloomohyoideus berhubungan dengan tendo intermedius m.
omohyoideus dan terutama berhubungan dengan aliran limfe
lidah. Nodi lymphoidei cervicales profunsi menerima cairan
limfe dari struktur yang berdekatan dan dari semua nodi
lymphoidei kelompok regional di kepala dan leher. Pembuluh
limfe eferen bersatu membentuk truncus jugularis, truncus ini
bermuara kedalam ductus lymphaticus dextra. Selain itu dapat
pula bermuara kedalam truncus subclavius atau kedalam v.
brahiosephalica. (Vikramjit S Kanwar, 2014)
8

Gambar 1. Lokasi kelenjar getah bening (KGB) di daerah kepala dan leher.
Secara anatomi aliran getah bening aferen masuk ke dalam KGB
melalui simpai (kapsul) dan membawa cairan getah bening dari jaringan
sekitarnya dan aliran getah bening eferen keluar dari KGB melalui hilus.
Cairan getah bening masuk kedalam kelenjar melalui lobang-lobang di
simpai. Di dalam kelenjar, cairan getah bening mengalir dibawah simpai di
dalam ruangan yang disebut sinus perifer yang dilapisi oleh sel endotel.
Jaringan ikat trabekula terentang melalui sinus-sinus yang
menghubungkan simpai dengan kerangka retikuler dari bagian dalam kelenjar
dan merupakan alur untuk pembuluh darah dan saraf. Dari bagian pinggir
cairan getah bening menyusup kedalam sinus penetrating yang juga dilapisi
sel endotel. Pada waktu cairan getah bening di dalam sinus penetrating
melalui hilus, sinus ini menempati ruangan yang lebih luas dan disebut sinus
meduleri. Dari hilus cairan ini selanjutnya menuju aliran getah bening eferen.
9

Gambar 2. Skema Kelenjar Getah Bening.


Pada dasarnya limfosit mempunyai dua bentuk, yang berasal dari sel T
(thymus) dan sel B (bursa) atau sumsum tulang. Fungsi dari limfosit B dan
sel-sel turunanya seperti sel plasma, imunoglobulin, yang berhubungan
dengan humoral immunity, sedangkan T limfosit berperan terutama pada cell-
mediated immunity. Terdapat tiga daerah pada KGB yang berbeda: korteks,
medula, parakorteks, ketiganya berlokasinya antara kapsul dan hilus. Korteks
dan medula merupakan daerah yang mengandung sel B, sedangkan daerah
parakorteks mengandung sel T. Dalam korteks banyak mengandung nodul
limfatik (folikel), pada masa postnatal, biasanya berisi germinal center.
Akibatnya terjadi stimulasi antigen, sel B didalam germinal centers berubah
menjadi sel yang besar, inti bulat dan anak inti menonjol. Yang sebelumnya
dikenal sebagai sel retikulum, sel-selnya besar yang ditunjukan oleh Lukes
dan Collins (1974) sebagai sel noncleaved besar, dan sel noncleaved kecil.
Sel noncleaved yang besar berperan pada limphopoiesis atau berubah menjadi
immunoblas, diluar germinal center, dan berkembang didalam sel plasma.

2. Fisiologi
Limfonodi merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh
yang tersebar diseluruh tubuh, sepanjang jalur pembuluh limfatik.
Limfonodi paling banyak dijumpai didaerah inguinal dan aksila. Fungsi
utamanya adalah menyaring cairan limfe dan memfagositosis bakteri atau
substansi asing dari cairan limfe. Makrofag berada di anyaman serat
10

retikuler setiap nodus. Jadi, sewaktu cairan limfe di saring, nodul berperan
melokalisasi dan mencegah penyebaran infeksi kedalam sirkulasi umum.
Limfonoduli juga membuat, menyimpan, dan mengalirkan limfosit B dan
limfosit T. limfosit B mengumpul dalam noduli limfoid limfonodi,
sedangkan limfosit Tberkumpul dibawah nodul, yaitu didaerah parakorteks
atau kortikal dalam. Limfonoduli juga merupakan tempat pengenalan
antigen dan pengaktifan antigenic limfosit B yang menghasilkan sel-sel
plasma. Sel plasma kemudian membuat dan mengeluarkan antibody
spesifik terhadap antigen tertentu ke dalam darah dam pembuluh limfe
(Guyton, 2009). Fungsi utama KGB adalah sebagai penyaring (filtrasi)
dari berbagai mikroorganisme asing dan partikel-partikel akibat hasil dari
degradasi sel-sel atau metabolism.

B. Definisi
Umumnya, Limdenopati menandakan adanya limfonodus yang
abnormal dari segi ukuran, konsistensi atau jumlah. Kelenjar getah bening
yang memiliki garis tengah terpanjang > 10 mm dikategorikan sebagai suatu
limfadenopati, dengan pengecualian untuk kelenjar getah bening epitroklear
(bila garis tengah terpanjang > 5 mm) dan inguinal (bila garis tengah
terpanjang > 15 mm). Apabila kelenjar getah bening supraklavikula, ilaka
maupun poplitea dapat teraba juga sudah dikategorikan sebagai suatu yang
abnormal. Namun demikian, perlu diingat bahwa pada anak sehat kelenjar
getah bening aksila dan inguinal dapat teraba.
Secara klinis limfadenopati dapat dibedakan menjadi limfadenopati
lokalisata dan limfadenopati generalisata. Limfadenopati lokalisata
didefinisikan sebagai pembesaran KGB hanya pada satu region saja,
sedangkan limfadenopati generalisata apabila pembesaran KGB terjadi pada
dua atau lebih region yang berjauhan dan simtetris. Klasifikasi ini bertujuan
untuk penentuan diferensial diagnosis. Sekitar 75% pasien didapatkan
limpadenopati lokalisata, sedangkan limfadenopati generalisata 25%. Pada
11

daerah leher (cervical) pembesaran kelenjar getah bening di definisikan bila


kelenjar membesar > diameter 1 cm. (Oehadian, Amaylia. 2013).

C. Epidemiologi
Studi yang dilakukan di Amerika Serikat, pada umumnya infeksi virus
ataupun bakteri merupakan penyebab utama limfadenopati. Infeksi
mononukeosis dan cytomegalovirus (CMV) merupakan etiologi yang penting,
tetapi kebanyakan disebabkan infeksi saluran pernafasan bagian atas.
Limfadenitis lokalisata lebih banyak disebabkan infeksi Staphilococcus dan
Streptococcus beta-hemoliticus. Penyebab lain seperti HIV, keganasan
penyakit autoimun lebih jarang menyebabkan limfadenopati. Pada Negara
berkembang seperti indonesia penyebab tersering dari limfadenopati adalah
infeksi tuberculosis, demam typhoid, trypanosomiasis, leishmaniasis,
schistosomiasis, filariasis dan infeksi jamur. Ditinjau dari mortalitas, di
United states keganasan, seperti leukemia, lymphoma dan neuroblastoma
adalah penyebab mortalitas utama. Untuk Ras dan jenis kelamin tidak
berhubungan dengan kejadian limfadenopati. Dan menurut usia,
Limfadenopati paling sering terjadi pada anak-anak, dan 1/3 pada neonatus
dan infant.

D. Etiologi

Penyebab yang paling sering limfadenopati adalah:


1. Infeksi
a. Infeksi Virus

Infeksi yang disebabkan oleh virus pada saluran pernapasan bagian


atas seperti Rinovirus, Parainfluenza Virus, influenza Virus,
Respiratory Syncytial Virus (RSV), Coronavirus, Adenovirus ataupun
Retrovirus. Virus lainnya Ebstein Barr Virus (EBV), Cytomegalo Virus
(CMV), Rubela, Rubeola, Varicella-Zooster Virus, Herpes Simpleks
Virus, Coxsackievirus, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV).
12

Infeksi HIV sering menyebabkan limfadenopati serivikalis yang


merupakan salah satu gejala umum infeksi primer HIV. Infeksi primer
atau akut adalah penyakit yang dialami oleh sebagian orang pada
beberapa hari atau minggu setelah tertular HIV. Gejala lain termasuk
demam dan sakit kepala, dan sering kali penyakit ini dianggap penyakit
flu (influenza like illness).
Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar
dari darah. Sebagian melarikan diri ke sistem limfatik untuk
bersembunyi dan menggandakan diri dalam sel di KGB, diperkirakan
hanya sekitar 2% virus HIV ada dalam darah. Sisanya ada pada sistem
limfatik, termasuk limpa, lapisan usus dan otak.
Pada penderita HIV positif, aspirat KGB dapat mengandung
immunoblas yang sangat banyak. Pada beberapa kasus juga tampak sel-
sel imatur yang banyak. Pada fase deplesi, pada aspirat sedikit dijumpai
sel folikel, immunoblas dan tingible body macrophage, tetapi banyak
dijumpai sel-sel plasma.
Limfadenopati generalisata yang persisten (persistent generalized
lymphadenopathy/PGL) adalah limfadenopati pada lebih dari dua
tempat KGB yang berjauhan, simetris dan bertahan lama. PGL adalah
gejala khusus infeksi HIV yang timbul pada lebih dari 50% Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan PGL ini sering disebabkan oleh
infeksi HIV-nya itu sendiri.
PGL biasanya dialami waktu tahap infeksi HIV tanpa gejala,
dengan jumlah CD4 di atas 500, dan sering hilang bila kadar CD4
menurun hingga kadar CD4 200. Kurang lebih 30% orang dengan PGL
juga mengalami splenomegali.
Batasan limfadenopati pada infeksi HIV adalah sebagai berikut:
Melibatkan sedikitnya dua kelompok kelenjar getah bening
Sedikitnya dua kelenjar yang simetris berdiameter lebih dari 1 cm
dalam setiap kelompok
Berlangsung lebih dari satu bulan
13

Tidak ada infeksi lain yang menyebabkannya


Pembengkakan kelenjar getah bening bersifat tidak sakit, simetris
dan kebanyakan terdapat di leher bagian belakang dan depan, di bawah
rahang bawah, di ketiak serta di tempat lain, tidak termasuk di inguinal.
Biasanya kulit pada kelenjar yang bengkak karena PGL akibat HIV
tidak berwarna merah. Kelenjar yang bengkak kadang kala sulit dilihat,
dan lebih mudah ditemukan dengan cara menyentuhnya. Biasanya
kelenjar ini berukuran sebesar kacang polong sampai sebesar buah
anggur.

b. Infeksi Bakteri
Peradangan KGB (limfadenitis) dapat disebabkan Streptokokus
beta hemolitikus Grup A atau stafilokokus aureus. Bakteri anaerob bila
berhubungan dengan caries dentis dan penyakit gusi, radang apendiks
atau abses tubo-ovarian.
Pada awal infeksi, aspirat mengandung campuran neutrofil dan
limfosit. Kemudian mengandung bahan pirulen dari neutrofil dan massa
debris. Limfadenitis bakterial akut biasanya menyebabkan KGB
berwarna merah, panas dan nyeri tekan. Biasanya penderita demam dan
terjadi leukositosis neutrofil pada pemeriksaan darah tepi.
Pada infeksi oleh Mikobakterium tuberkulosis, aspirat tampak
karakteristik sel epiteloid dengan latar belakang limfosit dan sel plasma.
Sel epiteloid berupa sel bentuk poligonal yang lonjong dengan
sitoplasma yang pucat, batas sel yang tidak jelas, kadang seperti koma
atau inti yang berbentuk seperti bumerang yang pucat, berlekuk dengan
kromatin halus.
14

Gambar 3. Limfadenitis granulomatosa. Tampak sel epiteloid pasa aspirat


penderita limfedenitis tuberkulosis

Keganasan seperti leukemia, neuroblastoma, rhabdomyo-sarkoma


dan limfoma juga dapat menyebabkan limfadenopati. Diagnosis
defenitif suatu limfoma membutuhkan tindakan biopsi eksisi, oleh
karena itu diagnosis subtipe limfoma dengan menggunakan biopsi
aspirasi jarum halus masih merupakan kontroversi. Aspirat Limfoma
non-Hodgkin berupa populasi sel yang monoton dengan ukuran sel
yang hamper sama. Biasanya tersebar dan tidak berkelompok.
Diagnostik sitologi Limfoma Hodgkin umumnya dibuat dengan
ditemukannya tanda klasik yaitu sel Reed Sternberg dengan latar
belakang limfosit, sel plasma, eosinofil dan histiosit. Sel Reed
Sternberg adalah sel yang besar dengan dua inti atau multinucleated
dengan sitoplasma yang banyak dan pucat.
15

Gambar 4. Limfoma Hodgkin. Tampak sel Reed Stemberg klasik dengan


atar belakang limfosit dan eosinofi

Metastasis karsinoma merupakan penyebab yang lebih umum dari


limfadenopati dibandingkan dengan limfoma, khususnya pada penderita
usia lebih dari 50 tahun. Dengan teknik biopsi aspirasi jarum halus
lebih mudah mendiagnosis suatu metastasis karsinoma daripada
limfoma.

Gambar 5. Metastasis keratinizing squamous cell carcinoma. Tampak sel-


sel mengalami keratinisasi pada aspirat dari penderita karsinoma laring
16

Penyakit lainnya yang salah satu gejalanya adalah limfadenopati


adalah penyakit Kawasaki, penyakit Kimura, penyakit Kikuchi,
penyakit Kolagen, penyakit Cat-scratch, penyakit Castleman,
Sarcoidosis, Rhematoid arthritis dan Sisestemic lupus erithematosus
(SLE).
Obat-obatan dapat menyebabkan limfadenopati generalisata.
Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti
fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol,
captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin,
pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac).Imunisasi dilaporkan
juga dapat menyebabkan limfadenopati di daerah leher, seperti setelah
imunisasi DPT, polio atau tifoid. Meskipun demikian, masing-masing
penyebab tidak dapat ditentukan hanya dari pembesaran KGB saja,
melainkan dari gejala-gejala lainnya yang menyertai pembesaran KGB
tersebut.

E. Patogenenis
Patofisiologi limfadenopati berdasarkan dari etologi yang mendasari.
Beberapa plasma dan sel (misalnya sel kanker dan mikroorganisme) dalam
ruang interstitial, bersama dengan bahan selular tertentu, antigen, dan partikel
asing masuk ke pembuluh limfatik, menjadi cairan limfe. Kelenjar getah
bening menyaring cairan limfe dalam perjalanan ke sirkulasi vena sentral,
menghilangkan sel-sel dan bahan lainnya. Proses penyaringan juga
menyajikan antigen kepada limfosit terkandung dalam KGB.
Respon imun dari limfosit melibatkan proliferasi sel limfosit dan
makrofag, yang dapat menyebabkan KGB untuk memperbesar (limfadenopati
reaktif). Patogen mikroorganisme dibawa dalam cairan limfe dapat juga
langsung menginfeksi KGB, menyebabkan limfadenitis), dan apabila terdapat
sel-sel kanker dapat menginfiltrasi langsung atau proliferasi sel di KGB.

F. Diagnosis
17

1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat diperoleh keterangan lokasi, gejala-gejala
penyerta, riwayat penyakit, riwayat pemakaian obat dan riwayat pekerjaan.
Lokasi
Lokasi pembesaran KGB pada dua sisi leher secara mendadak
biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas.
Pada infeksi oleh penyakit kawasaki umumnya pembesaran KGB hanya
satu sisi saja. Apabila berlangsung lama (kronik) dapat disebabkan infeksi
oleh Mikobakterium, Toksoplasma, Ebstein Barr Virus atau
Citomegalovirus.
Gejala penyerta
Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab
infeksi saluran pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan
penurunan berat badan mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis atau
keganasan. Demam yang tidak jelas penyebabnya, rasa lelah dan nyeri
sendi meningkatkan kemungkinan oleh penyakit kolagen atau penyakit
serum (serum sickness), ditambah adanya riwayat pemakaian obat-obatan
atau produk darah.
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu seperti adanya peradangan
tonsil sebelumnya, mengarahkan kepada infeksi oleh Streptococcus; luka
lecet pada wajah atau leher atau tanda-tanda infeksi mengarahkan
penyebab infeksi Staphilococcus; dan adanya infeksi gigi dan gusi juga
dapat mengarahkan kepada infeksi bakteri anaerob. Transfusi darah
sebelumnya dapat mengarahkan kepada Citomegalovirus, Epstein Barr
Virus atau HIV.
Riwayat pemakaian obat
Penggunaan obat-obatan Limfadenopati dapat timbul setelah
pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya
seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas,
hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac.
18

Pembesaran karena obat umumnya seluruh tubuh (limfadenopati


generalisata).
Riwayat pekerjaan
Paparan terhadap infeksi paparan/kontak sebelumnya kepada orang
dengan infeksi saluran napas atas, faringitis oleh Streptococcus, atau
tuberculosis turut membantu mengarahkan penyebab limfadenopati.
Riwayat perjalanan atau pekerjaan, misalnya perjalanan ke daerah-daerah
di Afrika dapat mengakibatkan penyakit Tripanosomiasis, orang yang
bekerja dalam hutan dapat terkena Tularemia.
2. Pemeriksaan fisik
Secara umum malnutrisi atau pertumbuhan yang terhambat
mengarahkan kepada penyakit kronik seperti tuberkulosis, keganasan atau
gangguan system kekebalan tubuh. Karakteristik dari KGB dan daerah
sekitarnya harus diperhatikan. KGB harus diukur untuk perbandingan
berikutnya. Harus dicatat ada tidaknya nyeri tekan, kemerahan, hangat
pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak dapat digerakkan,
apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal.
Ukuran: normal bila diameter 0,5 cm dan lipat paha >1,5 cm
dikatakan abnormal.
Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses
perdarahan.
Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan,
padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak
mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah
terjadinya abses/pernanahan.
Penempelan/bergerombol: beberapa KGB yang menempel dan
bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis,
sarkoidosis atau keganasan.
Pembesaran KGB leher bagian posterior biasanya terdapat pada
infeksi rubela dan mononukleosis. Supraklavikula atau KGB leher bagian
belakang memiliki risiko keganasan lebih besar daripada pembesaran KGB
19

bagian anterior. Pembesaran KGB leher yang disertai daerah lainnya juga
sering disebabkan oleh infeksi virus. Keganasan, obat-obatan, penyakit
kolagen umumnya dikaitkan degnan pembesaran KGB generalisata.
Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral lunak
dan dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya nyeri
pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat
digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya
mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya
abses. Bila limfadenopati disebabkan keganasan tanda-tanda peradangan
tidak ada, KGB keras dan tidak dapat digerakkan oleh karena terikat
dengan jaringan di bawahnya.
Pada infeksi oleh mikobakterium, pembesaran kelenjar berjalan
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, walaupun dapat mendadak,
KG menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah
dan terbentuk jembatan-jembatan kulit di atasnya.
Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil,
bintik-bintik merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh bakteri
streptokokus. Adanya selaput pada dinding tenggorok, tonsil, langit-langit
yang sulit dilepas dan bila dilepas berdarah, pembengkakan pada jaringan
lunak leher (bull neck) mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri difteri.
Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran limpa mengarahkan kepada infeksi
Epstein Barr Virus (EBV).
Adanya radang pada selaput mata dan bercak koplik mengarahkan
kepada campak. Adanya pucat, bintik-bintik perdarahan (bintik merah
yang tidak hilang dengan penekanan), memar yang tidak jelas
penyebabnya, dan pembesaran hati dan limpa mengarahkan kepada
leukemia. Demam panjang yang tidak berespon dengan obat demam,
kemerahan pada mata, peradangan pada tenggorok, strawberry tongue,
perubahan pada tangan dan kaki (bengkak, kemerahan pada telapak tangan
dan kaki) dan limfadenopati satu sisi (unilateral) mengarahkan kepada
penyakit Kawasaki.
20

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi (USG)
USG merupakan salah satu teknik yang dapat dipakai untuk
mendiagnosis limfadenopati servikalis. Penggunaan USG untuk
mengetahui ukuran, bentuk, echogenicity, gambaran mikronodular,
nekrosis intranodal dan ada tidaknya kalsifikasi. USG dapat dikombinasi
dengan biopsi aspirasi jarum halus untuk mendiagnosis limfadenopati
dengan hasil yang lebih memuaskan, dengan nilai sensitivitas 98% dan
spesivisitas 95%.

Gambar 6. Gray-Scale sonogram metastasis pada KGB. Tampak adanya


hypoechoic, round, tanpa echogenic hilus (tanda panah). Adanya nekrosis
koagulasi (tanda kepala panah)

b. CT Scan
CT scan dapat mendeteksi pembesaran KGB servikalis dengan
diameter 5 mm atau lebih. Satu studi yang dilakukan untuk mendeteksi
limfadenopati supraklavikula pada penderita nonsmall cell lung cancer
menunjukkan tidak ada perbedaan sensitivitas yang signifikan dengan
pemeriksaan menggunakan USG atau CT scan.

c. Biopsi
Biopsi dapat dilakukan dengan mengambil sel keluar melalui jarum
atau dengan operasi menghapus satu atau lebih kelenjar getah bening. Sel-
21

sel atau kelenjar getah bening akan dibawa ke lab dan diuji. Biopsy KGB
memiliki nilai sensitifitas 98 % dan spesifisitas 95 %. Kegagalan untuk
mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan
biopsy KGB. Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala
yang mengarahkan kepada keganasan.

G. Diagnosis banding
1. Limfadenitis
Jenis limfadenitis ada dua yaitu limfadenitis akut dan limfadenitis
kronis. Sedangkan jenis limfadenitis kronis sendiri masih dibagi menjadi
menjadi dua macam yaitu limfadenitis kronis spesifik dan non spesifik.
a. Limfadenitis Akut
Limfadenitis ini bentuknya terbatas pada sekelompok kelenjar
getah bening yang mendrainase suatu fokus infeksi, atau mungkin
generalisata apabila terjadi infeksi bakteri atau virus sistemik. Secara
histologis, tampak pusat germinativum besar yang memperlihatkan
banyak gambaran mitotik. Apabila keadaan ini disebabkan oleh
organisme piogenik, disekitar folikel dan di dalam sinus limfoid
ditemukan infiltrat neutrofilik. Pada infeksi yang parah, pusat
germinativum mengalami nekrosis sehingga terbentuk abses. Apabila
infeksi terkendali, kelenjar getah bening akan kembali tampak normal
atau terjadi pembentukan jaringan parut apabila dekstruktif.
b. Limfadenitis Kronis
Menimbulkan tiga pola, bergantung pada agen penyebabnya:
hiperplasia folikel, hiperplasia limfoid parakorteks, atau histiositosis
sinus. Hiperplasia folikel berkaitan dengan infeksi atau proses proses
peradangan yang mengaktifkan sel B. Sel B dalam berbagai tahap
diferensiasi berkumpul di dalam pusat germinativum besar yang bulat
atau oblong (folikel sekunder). Hiperplasia limfoid parakorteks
ditandai dengan perubahan reaktif di dalam regio sel T kelenjar getah
bening. Sel T parafolikel mengalami proliferasi dan transformasi
menjadi imunoblas yang mungkin menyebabkan lenyapnya folikel
germinativum.
22

Disebabkan oleh infeksi kronis. Infeksi kronis nonspesifik misalnya


pada keadaan seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening leher ( limfadenitis ). Pembesaran
di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal dan tidak
nyeri.
Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia
adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh
pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat
berkonglomerasi satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan
seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunakseperti abses tetapi
tidak nyeri seperti abses banal. Apabila abses ini pecah ke kulit,
lukanya sukar sembuh oleh karena keluar secret terus menerus
sehingga seperti fistula.
Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat terjadi
sedemikian rupa, besar dan konglomerasi sehingga leher penderita itu
disebut seperti bull neck. Pada keadaan seperti ini kadang kadang
sukar dibedakan dengan limfoma malignum. Limfadenitis tuberkulosa
diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi, terutama
yang tidak disertai oleh tuberkulosa paru. Pada gambaran histopologi
yang spesifik adalah perkijuan dan sel datia Langhan s.
Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia
adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh
pembesaran kelenjar getah benng, padat / keras, multiple dan dapat
berkonglomerasi satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan
seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunakseperti abses tetapi
tidak nyeri seperti abses banal. Apabila abses ini pecah ke kulit,
lukanya sukar sembuh oleh karena keluar secret terus menerus
sehingga seperti fistula.
Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat terjadi
sedemikian rupa, besar dan konglomerasi sehingga leher penderita itu
disebut seperti bull neck. Pada keadaan seperti ini kadang kadang
sukar dibedakan dengan limfoma malignum. Limfadenitis tuberkulosa
23

diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi, terutama


yang tidak disertai oleh tuberkulosa paru. Pada gambaran histopologi
yang spesifik adalah perkijuan dan sel datia Langhan s.

2. Kongenital
a. Higroma Kistik
Higroma kistik berasal dari sistem limfe sehingga secara patologi
anatomi lebih tepat disebut kistik limfangioma. Higroma kistik dapat
terjadi pada anak lelaki maupun anak perempuan dengan rasio yang
sama. Kebanyakan (75%) higroma kistik terdapat di leher. Sekitar 75%
kasus terjadi saat lahir maupun masa neonatus. Keluhan adalah adanya
benjolan di leher yang telah lama atau sejak lahir tanpa nyeri atau
keluhan lain. Benjolan ini berbentuk kistik, berbenjol-benjol dan lunak.
Permukaannya halus dan lepas dari kulit, dan sedikit melekat pada
jaringan dasar. Kebanyakan terletak di regio trigonum posterior colli.
Sebagai tanda khas, pada pemeriksaan transiluminasi positif tampak
terang sebagai jaringan tembus cahaya.
Benjolan ini jarang menimbulkan gejala akut, tetapi suatu saat dapat
cepat membesar karena radang dan menimbulkan gejala gangguan
pernafasan akibat pendesakan saluran nafas seperti trakea, orofaring,
maupun laring. Bila terjadi perluasan ke arah mulut dapat timbul
gangguan menelan. Perluasan ke aksila dapat menyebabkan penekanan
pleksus brakialis dengan berbagai gejala neurologik.
b. Kista Branchial
Kelainan brankial dapat berupa fistel, kista, dan tulang rawan
ektopik. Arkus brankial ke-3 membentuk os hioid, sedangkan arkus
brankial ke-4 membentuk skelet laring, yaitu rawan tiroid, krikoid, dan
aritenoid.Fistel kranial dari tulang hioid yang berhubungan dengan
meatus akustikus eksternus berasal dari celah brankial pertama. Fistel
antara fosa tonsilaris ke pinggir depan m.sternokleidomastoideus berasal
dari celah brankial kedua. Fistel yang masuk ke sinus piriformis berasal
dari celah ketiga. Sinus dari celah brankial keempat tidak pernah
ditemukan.
Sinus atau fiste mungkin berupa saluran yang lengkap atau mungkin
menutup sebagian. Fistel brankial sisa celah brankial ke-2 akan terdapat
24

tepat di depan m.sternokleidomastoideus. bila penutupan terjadi


sebagian, sisanya dapat membentuk kista yang terletak agak tinggi di
bawah sudut rahang. Bila terbuka ke kulit, akan terjadi fistel. Bila masih
ada sinus tonsilaris, fistel selalu berjalan melalui percabangan a.karotis.
Pada anamnesis diketahui kista merupakan benjolan sejak lahir.
Fistel terletak di depan m.sternocleidomastoideus dan mengeluarkan
cairan. Fistel yang buntu akan membengkak dan merah, atau merupakan
lekukan kecil yang dapat ditemukan unilateral atau bilateral.

c. Kista Ductus Tiroglosus


Benjolan kista duktus tiroglosus terdapat di sekitar os. Hyoid, di
garis tengah, dan ikut bergerak waktu menelan atau pada penjuluran
lidah. Duktus yang menandai jaringan bakal tiroid akan bermigrasi dari
foramen sekum di pangkal lidah ke daerah di ventral laring dan
mengalami obliterasi. Obliterasi yang tidak lengkap akan membentuk
kista. Kista terletak di garis tengah, di cranial atau kaudal dari os. Hyoid.
Bila terletak di bagian depan tulang rawan dari os. Hyoid mungkin
tergeser sedikit ke paramedian. Jika di tarik kearah kaudal, umumnya
teraba atau terlihat sisa duktus berupa tali halus di subkutis.
Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah
leher, dapat di atas atau di bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan
tidak menimbulkan rasa tertekan di tempat timbulnya kista. Konsistensi
massa teraba kistik, berbatas tegas, bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri,
warna sama dengan kulit sekitarnya dan bergerak saat menelan atau
menjulurkan lidah. Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadang-kadang
lebih besar. Bila terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri. Pasien mengeluh
nyeri saat menelan dan kulit di atasnya berwarna merah.

3. Infeksi
a. Abses Leher Dalam
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi abses yang terjadi di
dalam ruangan potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari
suatu penjalaran infeksi dari berbagai sumber diantaranya; gigi mulut,
25

tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah, serta leher. Gejala yang


umumnya muncul berupa rasa nyeri dan pembengkakan di ruang leher
dalam sesuai lokasi yang terlibat, dapat disertai dengan kesulitan untuk
membuka mulut, kesulitan menelan, maupun hipersalivasi. Penyebab
utamanya adalah akibat infeksi bakteri dari golongan Streptococcus,
Staphylococcus, atau Bacterioides. Abses leher dalam dapat berupa abses
peritonsil (Quinsy), abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula, dan angina ludovici.

4. Neoplasma
a. Karsinoma Nasofaring
Diperkirakan kira-kira 80%-90% keganasan nasopharynx adalah
berkembang dari sel epithelium. Terdapat 3 jenis carcinoma nasopharynx
berdasarkan gambaran histopatologisnya. Menurut WHO, dibagi:
WHO type 1,atau squamous karsinoma sel
WHO type 2,atau non-keratin carcinoma
WHO type 3,atau undifferentiated karsinoma
Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan tertinggi didaerah
leher dari bidang ilmu penyakit THT . Asal tumor adalah dari epitel sel
squamous pada daerah nasofaring dan tempat predileksinya pada fossa
Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan
gejalanya yang tidak khas.Angka kematiannya cukup tinggi. Di Indonesia
penyakit ini termasuk dalam sepuluh besar keganasan dari seluruh tubuh.
Banyak menyerang pada usia 40-60 tahun, perbandingannya antara laki-
laki dan perempuan 2,5:1. Faktor Pencetus karsinoma nasofaring ada
berbagai macam, antara lain genetik, virus (Epstein Barr), paparan
karsinogen, sosial ekonomi lingkungan, ras dan keturunan serta radang
kronis nasofaring.
Virus Epstein-Barr adalah berkaitan rapat dengan karsinoma
nasopharynx. Titer antibodi (imunoglobulin A) terhadap virus ini akan
meningkat bagi setiap penderita karsinoma nasofaring. Maka ia di
gunakan sebagai tumor maker.untuk menilai keberkesanan
26

terapi.Menurut pemerhatian bahawa 80% penderita nasopharynx


carsinoma menunjukkan adanya produk BCL2. Produk ini menyebabkan
terjadinya penghalangan proses apoptosis.Ini menyebabkan
perkembangan kanser tersebut. Menurut pemerhatian, memakan ikan asin
dan bahan kimia tertentu dapat memicu terjadinya kanser nasopharynx
karsinoma tersebut. Asal tumor adalah dari epitel sel squamosa pada
daerah nasofaring dan tempat predileksinya pada fossa Rossen Mulleri
yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit mendiagnosis penyakit
ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak khas.
Adapun tanda ataupun gejala yang timbul tergantung dimana
perluasan tumor. Apabila perluasannya ke arah atas, penderita akan
merasakan diplopia. Apabila perluasannya ke arah lateral, sebelumnya
penderita merasakan adanya lendir dibelakang hidung terus menerus
yang tidak bisa dikeluarkan, rasa penuh ditelinga, telinga berdenging
(tinitus), otalgia, adanya radang pada telinga tengah sampai dengan
terjadinya robekan gendang telinga tanpa sebab yang jelas, dan tidak
sembuh dengan pengobatan serta terjadi berulang-ulang. Hal ini karena
adanya tumor pada daerah tenggorok bagian atas (nasofaring) menutupi
saluran yang menuju keliang telinga tengah (oklusi Tuba eustachi).
Bila tumor sudah membesar (stadium lanjut), maka ia dapat meluas
kerongga hidung bagian belakang (koana) dengan keluhan adanya hidung
tersumbat ataupun mimisan bercampur dengan ingus dalam jumlah yang
bervariasi . Keluhan pada tenggorok merupakan gangguan bicara,
bernafas dan menelan dapat dijumpai bila tumor sudah membesar karena
mendesak kerongga tenggorok.
Sementara keluhan penglihatan dobel, karena tumor sudah meluas
kedasar tengkorak sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada syaraf-
syaraf otot penggerak bola mata, dan mata menjadi juling yakni nervus
okulomotorius dan abdusen. Adanya gejala neurology pada syaraf cranial
seperti nyeri kepala dan nyeri disekitar wajah juga sering dijumpai pada
penderita kanker tenggorok akibat dari penekanan tumor pada syaraf
disekitar kepala yakni nervus trigeminus, glossofaringeus, vagus,
27

assesorius. Stadium lanjut, karsinomanya mengalami metastasis ke


kelenjar getah bening bermanifestasi sebagai benjolan yang teraba keras
umumnya pada rantai kelenjar limfe jugularis profunda superior.

b. Karsinoma Laring
Karsinoma laring merupakan keganasan pada pita suara, kotak suara
(laring) atau daerah lainnya di tenggorokan. Karsinoma laring jarang
ditemukan pada wanita, rasio antara laki-laki dan wanita oleh beberapa
peneliti disebutkan sebesar 10-15 : 1. Data terakhir rasio ini
memperlihatkan kecenderungan peningkatan jumlah kasus penderita
wanita. Usia penderita umumnya telah menginjak usia tua antara 45-75
tahun.
Gejala awal yang memaksa penderita datang berobat umumnya
karena perubahan suara serak. Dokter yang memeriksa pertama kali
biasanya menghubungkannya dengan penyakit infeksi tuberkulosa laring.
Suara serak menunjukkan adanya gangguan mekanisme getar pita suara
karena adanya penambahan masa laring, kerusakan atau kelumpuhan.
Hal ini dapat terjadi pada semua tingkat usia. Suara serak, akibat
penambahan massa dapat terjadi pada. radang atau trauma yang
menyebabkan edema laring. Penambahan massa oleh tumor disebabkan
oleh perubahan struktur histologis secara bertahap.
Oleh karena itu akan mudah dibedakan kelainan suara serak secara
akut dan disebabkan karena trauma, radang akut atau benda asing,
sedangkan kelainan yang berlangsung kronis mungkin disebabkan radang
kronis atau tumor. Pada tumor laring suara serak dimulai dengan gejala
hilang timbul yang berjalan progresif dan akhirnya menetap. Biasanya
gejala dini berupa suara serak pada pagi hari tanpa disertai gejala batuk.
Bilamana disertai batuk umumnya berupa batuk kering non produktif.

c. Limfoma Maligna
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif.
Penyebabnya tidak diketahui, tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya
28

Epstein-Barr virus yang ditemukan pada limfoma Burkitt. Adanya


peningkatan insidens penderita limfoma pada kelompok penderita AIDS
pengidap virus HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap
bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal pembentukan tumor pada
gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar
limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum
tulang dan jaringan lain.

H. Penatalaksanaan
Pengobatan limfadenopati leher didasarkan kepada penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan sendirinya dan
tidak membutuhkan pengobatan apapun selain observasi. Kegagalan untuk
mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan
biopsi KGB. Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang
mengarahkan kepada keganasan. KGB yang menetap atau bertambah besar
walau dengan pengobatan yang adekuat mengindikasikan diagnosis yang
belum tepat.
Antibiotik perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis supuratif yang
biasa disebabkan oleh Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus pyogenes
(group A). Pemberian antibiotik dalam 10-14 hari dan organisme ini akan
memberikan respon positif dalam 72 jam. Kegagalan terapi menuntut untuk
dipertimbangkan kembali diagnosis dan penanganannya. Pembedahan
mungkin diperlukan bila dijumpai adanya abses dan evaluasi dengan
menggunakan USG diperlukan untuk menangani pasien ini.

I. Prognosis
Pada individu dengan penyakit ganas, prognosis tergantung pada
penyakit tertentu. Pada individu dengan infeksi bakteri, pemulihan lengkap
dapat diharapkan dengan pengobatan antibiotik prompt. Waktu pemulihan
akan bervariasi, tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Ini
mungkin memerlukan jangka waktu untuk pembengkakan untuk
29

sepenuhnya menghilang. Pengobatan yang tidak tuntas dapat


menyebabkan resistensi dan septikemia. Prognosis dapat menjadi buruk
jika pasien sudah mengalami komplikasi yang serius misalanya vena cava
syndrome.
30
31

BAB III
PENUTUP

A Simpulan
1 Limfadenopati colli adalah pembesaran kelenjar getah bening pada daerah
leher (cervical) dengan diameter >1 cm.
2 Pembesaran kelenjar getah bening di daerah leher sering terjadi pada
anak-anak. Limfadenopati ini dapat disebabkan oleh keganasan, infeksi,
penyakit autoimun, kelainan-kelainan yang jarang didapatkan dan
iatrogenik (obat).
3 Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang penting untuk mengevaluasi
usia penderita, lokasi, karakteristik, lamanya limfadenopati, gejala lain
yang menyertai untuk mengarahkan pada penyebab limfadenopati, serta
dalam penegakan diagnosis pasti dari limfadenopati colli.
4 Pengobatan limfadenopati colli didasarkan kepada penyebabnya.
5 Prognosis limfadenopati colli pada individu dengan penyakit ganas,
tergantung pada penyakit tertentu. Pada individu dengan infeksi bakteri,
pemulihan lengkap dapat diharapkan dengan pengobatan antibiotik.
A Saran

1 Bagi masyarakat umum, dengan mengetahui bagaimana penyebab dan


faktor risiko limfadenitis colli ini maka dapat menjadi satu langkah
preventif yang penting.
2 Bagi petugas medis, perjalanan penyakit sangatlah penting untuk diketahui
sehingga mampu memikirkan dan menghindarkan berbagai kemungkinan
dalam tujuan memberikan penatalaksanan terhadap penyakit tersebut.
3 Bagi kalangan akademis, semoga dapat dijadikan sebagai bahan penelitian
dengan memahami referensi artikel ilmiah ataupun berbagia jurnal penilitian
yang ada.
4 Bagi petugas medis seperti dokter atau perawat dalam pelaksanaan
penulisan rekam medis dari pasien dapat lebih lengkap dan rinci karena hal
tersebut berkaitan dengan kondisi daripada pasien.
32

DAFTAR PUSTAKA

Ahuja AT, Ying M. Sonographic Evaluation of Cervical Lymph Nodes. Available


from: http://www.ajronline.org/cgi/content/full/184/5/1691
American College of Radiology. 2011. ACR Appropriateness Criteria: neck
mass/adenopathy.
Aster JC. White Blood Cell and Lymph Nodes. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto
N, Mitchell RN. Robbins and Cotaran Pathologic Basis of Disease.
Philadelphia; Elsevier Saunders, 2005(7):661-702
Aster JC. Haemophoetic and Lymphoid system. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto
N, Mitchell RN. Robbins basic pathology. Philadelphia: Saunders Elsevier,
2007(8):421-41
Cervical (neck) lymph node enlargment. 2009. Available from:
http://www.doctorslounge.com/
Chandrasoma P, Taylor CR. The Lymphoid System: Structure and Function;
Infection and Proliferation. In: Concise Pathology, Singapore, McGraw-Hill,
2001(3):433-43
Cousar JB, Casey TT, Macon WR, McCurley TL, Swerdlow SH. Lymph Nodes.
In: Mills SE, et al. Sternbergs Diagnostic Surgical pathology. Philadelphia;
Lippincott Williams & Wilkins, 2004(4):788-90 9
Departemen Farmakologi dan Terapi FK UI.2011. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta : Badan penerbit FK UI
Efiaty Arsyad dkk. 2007. Buku Ajar THT Edisi 6. Jakarta: UI Press.
Frable. Thin-Needle Aspiration Biopsy: Major Problem in Pathology. Lymph
Node, (14):74-75, 106-11
Ferrer R. Lymphadenopathy: Differential Evaluation. Available from:
http://www.aafp.org/
Hall, J. E. 2010. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology: Enhanced E-
book. Elsevier Health Sciences.
33

Harnoko K, Nawas A. Limfadenitis tuberkulosis servikalis. Perhimpunan Dokter


Paru Indonesia. Dalam: Jurnal Respirologi Indonesia. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI, 2005(25):192-97 2
Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL.
Pembengkakan Kelenjar Limfe dan Limpa dalam Harrison Prinsip-Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam. 13th ed. Jakarta: EGC; 1999. p. 369-72.
Juwono O. Tuberkulosis dan human immune deficiency virus (HIV). Dalam: Isa
M, Sofyani A, Juwono O, Budiyarti LY eds. Tuberkulosis Tinjauan
Multidisipliner. Samarinda: Pusat Studi Tuberkulosis FK Universitas
Lambung mangkurat/RSUD Ulin:242-47 2
Kanwar VS. Lymphadenopathy. 2009. Available
from:http://www.emedicine.medscape.com/ Universitas Sumatera Utara
Kocjan G. Fine Needle Aspiration Cytology: Diagnostic Principles and Dilemas.
London: Springer; 2006:1-5, 91-95
Koss LG, Melamed MR. Granulomatous lymphadenitis. In: Koss Diagnostic
Cytology and Its Histopathologic Bases. Philadelphia, Lippincott Williams
& Wilkins, 2006(5):1193-97
Lalwani A. CURRENT Diagnosis & Treatment Otolaryngology--Head and Neck
Surgery, Third Edition.Edisi.: Mcgraw-hill; 2011
Lucioni M, Serafini I, Shah JP, Medina J, Steiner W, Antonelli A. Practical Guide
to Neck Dissection.Edisi.: Springer; 2007.
Moriaty AT. Lymph Node. In: Renshaw A. Aspiration Cytology: A Pattern
Recognition Approach, Philadelphia, 2005:477-533
Mitchell RN, Kumar V, Abbas K, Fausto N. Sel Darah Putih, Limfonodi, Limfa,
dan Timus. Robbin & Cotran Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta:
EGC, 2009(7):386-428
Orell SR, Sterett FG, Whitaker D. Granulomatous lymphadenitis. In: Fine Needle
Aspiration Cytolology. USA; Elsevier Saunders, 2005(4):93-95
Peters TR, Edwards KM. Cervical Lymphadenopathy and Adenitis.
2008.Available from:
34

http://www.ohsu.edu/ohsuedu/academic/som/pediatrics/clerkships/upload/
cervical-lymph-and-adenitis.pdf
Probst R, Grevers G. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-Step Learning
Guide.Edisi ke 2. New York: Thieme; 2006.
Sastroasmoro. S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:
Sagung Seto, 2008(3).
Superficial cervical lymph nodes. (2007 Feb 12]. Available from:
http://en.wikipedia.org
Stevens A, Lowe J. Lymphoid and hemopoietic tissues, Pathology, London,
Mosby Harcourt Publisher Limited, 2000(2):305-27
Stewart MG, Selesnick SH. Differential Diagnosis in Otolaryngology: Head and
Neck Surgery.Edisi.: Thieme; 2011
Thandar, M. A., & Jonas, N. E. 2004. An approach to the neck mass.Continuing
Medical Education, 22(5).
Wan Desen. 2008. Buku Ajar Onkologi. Jakarta: UI Press.
Warren JS, Bennett DP, Pomerantz RJ. Immunopathology In: Rubin E, Strayer
DS. Farber. Rubins Pathology: Clinicopathologyc Fondation of Medicine.
Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins, 1999(5):100-10
Wakely PE. Aspiration and Touch Preparation of Lymp Nodes. In: Atkinson BF.
Atlas of Diagnostic Cytopathology. USA; Elsevier Saunders, 2004(2):411-
25
Ying MTC, Ahuja AT. Ultrasonography of cervical lymph nodes. Available from:
www.droid.cuhk.edu.hk/lymph_nodes.htm

Anda mungkin juga menyukai