PENDAHULUAN
Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu kelainan atau penyakit kepala-leher diperlukan
kemampuan dan keterampilan melakukan anamnesis dan pemeriksaan organ-organ tersebut.
Kemampuan ini merupakan bagian dari pemeriksaan fisik yang merupakan syarat bila
terdapat keluhan atau gejala yang berhubungan dengan kepala-leher.1
Sistem aliran limfe leher sangat penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang
atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe leher.1
Pasien dengan penyakit pada leher dan wajah dapat mempunyai banyak gejala yang
bervariasi. Nyeri kepala, kelemahan otot atau kelompok otot, disestesia, pembengkakan atau
massa, deformitas dan perubahan pada kulit merupakan keluhan-keluhan yang paling sering
dijumpai.2
Palpasi leher dan wajah harus dilakukan dengan sistematik. Kelenjar limfe leher dan
metastatik seringkali terletak pada segitiga leher depan. Daerah ini perlu di inspeksi dengan
cermat, khususnya di bawah otot sternokleidomastoideus dan sepanjang perjalanan selubung
karotis. Bangunan yang bisanya dapat dan harus dipalpasi adalah tulang hioid, rawan tiroid
dan krikoid, celah tirohioid dan krikotiroid, cincin trakea, otot sternokleidomastoideus, arteri
karotis, klavikula dan celah supraklavikula. 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI LEHER
Leher merupakan bagian dari tubuh manusia yang terletak di antara thoraks dan caput.
Batas di sebelah cranial adalah basis mandibula dan suatu garis yang ditarik dari angulus
mandibula menuju ke processus mastoideus, linea nuchae suprema sampai ke protuberantia
occipitalis eksterna. Batas kaudal dari ventral ke dorsal dibentuk oleh incisura jugularis
sterni, klavicula, acromion dan suatu garis lurus yang menghubungkan kedua acromia.3
columna vertebralis, pada posisi antefleksi kepala dan leher maka processus spinosus dari
vertebra prominens sangat menonjol, kulit disebelah ventral melipat-lipat. Pada posisi
retrofleksi kepala dan leher maka kulit disebelah dorsal melipat-lipat sedangkan disebelah
ventral akan kelihatan dengan jelas laring, trachea dan glandula thyroidea ( terutama pada
wanita).3
Leher dibagi oleh muskulus sternokleidomastoideus menjadi trigonum anterior atau medial
dan trigonum posterior atau lateral. 1
1
2
Gambar 2 Trigonum anatomicum
2
rangkaian jugularis interna dan spinalis assesorius. Kelenjar limfe yang selalu terlibat dalam
metastasis tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian jugularis interna.1
Kelenjar limfe servical dibagi ke dalam gugusan superficial dan gugusan profunda.
Kelenjar limfe superficial menembus lapisan pertama fascia servical masuk kedalam gugusan
kelenjar limfe profunda. Meskipun kelenjar limfe nodus kelompok superficial lebih sering
terlibat dengan metastasis, keistimewaan yang dimiliki kelenjar kelompok ini adalah
sepanjang stadium akhir tumor, kelenjar limfe nodus kelompok ini masih signifikan terhadap
terapi pembedahan.1
Kelenjar limfe profunda sangat penting sejak kelenjar-kelenjar kelompok ini menerima
aliran limfe dari membran mukosa mulut, faring, laring, glandula saliva dan glandula
thyroidea sama halnya pada kepala dan leher. 1
Hampir semua bentuk radang dan keganasan kepala dan leher akan melibatkan kelenjar
getah bening leher bila ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher, perhatikan
ukurannya, apakah nyeri atau tidak, bagaimana konsistensinya, apakah lunak kenyal atau
keras, apakah melekat pada dasar atau kulit. Menurut Sloan Kattering Memorial Cancer
Center Classification, kelenjar getah bening leher dibagi atas 5 daerah penyebaran.1
III
IV
V
Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat mengalami benjolan entah itu kelenjar
tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari struktur jaringan lain
seperti lemak, otot dan tulang.
Infeksi dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher melalui beberapa cara yang di
antaranya berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan yang
terserang secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek dari kerja imunitas
tubuh yang bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar getah bening.
Mekanisme trauma dalam menimbulkan benjolan pada leher agak menyerupai
mekanisme infeksi. Hanya saja trauma yang tidak disertai infeksi sekunder pada umumnya
tidak menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening.
Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi imun, maka
otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya, sel tubuh terutama
mast sel dan sel basofil akan mengalami granulasi dan mengeluarkan mediator radang berupa
histamin, serotonin, bradikinin, sitokin berupa IL-2, IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator
radang ini terutama histamin akan menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan
permeabilitas venula serta pelebaran intraendothelialjunction. Hal ini mengakibatkan cairan
yang ada dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada
daerah yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran
kelenjar limfe karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan
tubuh seperti makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya memusnahkan agen infeksius
sedangkan agen infeksius itu sendiri berupaya untuk menghancurkan sel-sel tubuh terutama
eritrisot agar bisa mendapatkan nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan mengakibatkan
pembesaran kelenjar limfe karena bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun
menyaring sel tubuh yang mengalami kerusakan dan agen infeksius yang masuk agar tidak
menyebar ke organ tubuh lain.
Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu di otot, sel
limfoid, tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi displasia dan
metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi sel tidak lagi
sempurna. Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis
molekuler seperti
peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh diri sel terprogram. Hal ini
7
berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya benjolan
pada jaringan. Neoplasma dapat terjadi pada semua sel yang ada di leher entah itu kelenjar
tiroid-adenoma tiroid, lemak-lipoma, kartilago-kondroma, jaringan limfe-limfoma maupun
akibat dari metastase kanker dari organ di luar leher.
1
2.4 KarsinomaNasofaring
Definisi
Diperkirakan kira-kira 80%-90% keganasan nasopharynx adalah berkembang dari
sel epithelium.Terdapat 3 jenis carcinoma nasopharynx berdasarkan gambaran
histopatologisnya. Menurut WHO, dibagi:
o -WHO type 1,atau squamous karsinoma sel
o -WHO type 2,atau non-keratin carcinoma
o -WHO type 3,atau undifferentiated karsinoma
Epidemiologi
Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan tertinggi didaerah leher dari bidang
ilmu penyakit THT . Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring
dan tempat predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi
sehingga sulit mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan
gejalanya yang tidak khas.Angka kematiannya cukup tinggi.Di Indonesia penyakit ini
termasuk dalam sepuluh besar keganasan dari seluruh tubuh.Banyak menyerang pada
usia 40-60 tahun, perbandingannya antara laki-laki dan perempuan 2,5:1.4
Etiologi
Faktor Pencetus karsinoma nasofaring ada berbagai macam, antara lain :
Genetik : HLA-A2, HLA-B.sin
Virus : Epstein Barr
Nitrosamin
Herbal tea
10
Higiene buruk
Ventilasi buruk
Ikan asin, kebiasaan mengkonsumsi ikan asin jangka panjang merupakan mediator
utama yang bisa mengaktifkan virus Epstein-Barr.Diduga ikan asin ini mengandung
hasil metabolisme protein yang disebut dengan nitrosmin. Begitu pula dengan
makanan yang diawetkan.
Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup. Misalnya kebiasaan membakar
didalam rumah, memasak dengan kayu bakar dan ventilasi rumah juga tidak
mencukupi.
Kontak dengan zat karsinogen, misalnya pekerja pabrik bahan-bahan kimia.
Ras dan keturunan. Kanker nasofaring paling sering ditemukan pada ras mongoloid
atau keturunan cina. Serta lebih sering dialami laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2,18 :1.Hampir 60% ditemukan pada kisaran usia 25-60 tahun.
Radang kronis nasofaring yang sering mengganggu proses pembersih secara alami
sehingga bisa memicu virus yang dapat menyebabkan kanker.
Histopatologi
Karsinoma nasofaring adalah tumor asal epidermoid.
Kriteria WHO:
berkeratin)
Tipe 2a: Non-Keratinizing squamous cell carcinoma, (karsinoma sel squamousa
tidak berkeratin )
Tipe 2b: Undifferentiated carcinoma, (karsinoma tidak berdifferensiasi)
Patogenesis
Virus Epstein-Barr adalah berkaitan rapat dengan karsinoma nasopharynx.Titer
antibodi (imunnoglobulin A) terhadap virus ini akan meningkat bagi setiap penderita
11
biopsy.
T2 : Tumor mengenai dua tempat
T3 :Ekstensi tumor kecavum nasi dan orofaring
T4 :Tumor invasi dasar tengkorak dan nervi cranialis.
M :Metastasis
M0
M1
Gejala klinik
Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan tempat
predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak
khas. Adapun tanda ataupun gejala yang timbul tergantung dimana perluasan tumor.4
12
14
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal yang akan
mendatangkan manfaat dalam menemukan karsinoma nasopharing secara dini.4
Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari
leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan
hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi
sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi
dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan
penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang
menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis
paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering
dihindari dengan perawatan gigi yang tepat.
2.1
Karsinoma Tiroid
Patogenesis
Difrensiasi
Sel Normal
Sel Kanker
Onkogen
Radiasi
Protoonkogen
Proses
: Inisiasi
Promosi
Progresi
16
Pada keadaan awal dimana sel sel tiroid dalam keadaan normal Namun setelah ada
paparan dengan bahan bahan karsinogenik seperti terlihat pada bagan yakni radiasi maka
sel normal tersebut dapat berubah menjadi sel kanker, dimana sel kanker juga melalui
beberapa tahap, yakni Inisiasi, yakni dimana terjadi amplifikasi dari DNA Namun Belum
menimbulkan ekspresi gen, sehingga pada tahapo ini dapat dikatakan bahwa jumlah dari
gen gen meningkat Namun belum menimbulkan efek kepada sel itu sendiri, Namun pada
proses promosi dimana pada tahap ini terpapar lagi oleh bahan bahan karsinogenik dapat
serupa dengan bahan pada saat tahap inisisai Namun dapat pula berbeda, pada tahap ini
terjadi ekspresi gen dimana sel sel telah menjadi sel abnormal Namun pada tahap ini sel
sel tersebut bersifat reversible dengan kata lain apabila pada tahap ini kita dapat
mengobati dengan komplit maka sel tersebut dapat kembali menjadi sel normal kembali
Namun apabila tidak komplit maka dapat menjadi sel kanker, dan selanjutnya pada tahap
progresi maka terjadi perubahan serta perbanyakan sel secara cepat dan tidak terkendali
lagi.4
Dan perubahan dari sel normal menjadi sel kanker perlu digarisbawahi juga bahwa
disini terjadi perubahan dari protoonkogen menjadi onkogen, dan terjadi inaktivasi dari
supresor sehingga tidak ada lagi penghambat bagi sel tersebut untuk terus
memperbanyak diri, maka jadilah sel normal tersebut menjadi sel ganas.
Etiologi
Etiologi yang pasti dari karsinoma ini belum diketahui. Dari beberapa penelitian,
dijumpai beberapa faktor yang berperan dalam patogenesis karsinoma tiroid yaitu
genetik dan lingkungan. Karsinoma papiler dipengaruhi oleh faktor lingkungan
(iodine),genetik dan hormonal serta interaksi diantara ketiga faktor tersebut. Sedangkan
pada karsinoma folikular radiasi merupakan faktor penyebab terjadinya karsinoma ini.
Faktor yang berperan pada karsinoma meduler adalah genetik dan sampai saat ini belum
diketahui karsinogen yang menjadi penyebab berkembangnya karsinoma meduler dan
anaplastik. Diperkirakan karsinoma anaplastik tiroid berasal dari perubahan karsinoma
tiroid berdiferensiasi baik (papiler dan folikular) dengan kemungkinan jenis folikular dua
kali lebih besar.
Gambaran Klinik
17
Pada karsinoma tiroid ini terdapat beberapa tipe, dan masing masing tipe tersebut
juga berbeda gambaran kliniknya, adapula pembagiannya ialah :4
a
Epitelial
Adenokarsinoma papiller
Adenokarsinoma folikuler
Undifferentiated karsinoma/anaplastia
Small cell karsinoma
Giant ceel karsinoma
Spindle cell karsinoma
Karsinoma meduller
Squamos cell karsinoma
Non Epitelial
Limphoma
Sarcoma
Metastasis tumor
Malignant teratoma
Unclassified tumor
Well Differentiated
Type papiller
Type folikuler
Type medulle
Undifferentiated
Type anaplastik
Pemeriksaan Tambahan
Untuk pemeriksaan tambahan guna dapat mendiagnosis karsinoma tiroid kita dapat
lakukan sesuai dengan type karsinoma itu sendiri, yang antara lain :
18
1. Adenokarsinoma Papiller
Tumor biasanya dapar diraba dengan mudah dan umunya dapat pula dilihat. Yang
khas untuk tumor tiroid ialah tumor ikut dengan gerakan menelan.
Ultrasonografi dapat dilakukan untuk membedakan nodul kistik atau padat dan
menentukan volume tumor.Pemeriksaan Roentgen berguna untuk melihat dorongan dan
tekanan pada trakea serta kalsifikasi didalam jaringan tiroid.Foto thorax dibuat untuk
melihat kemungkinan penyebaran kemediastinum bagaian atas atau keparu.4
Pemeriksaan sidik radioaktif tiroid dilakukan dengan yodium 131. Berdasarkan
banyaknya yodium yang ditangkap oleh nodul tiroid dikenal nodul dingin, yaitu nodul
yang menangkap yodium lebih sedikit dibandingkan sel kelenjar normal, atau tidak
menangkat sama sekali. Nodul hangat menangkap yodium radioaktif sama banyak
dengan kelenjar normal, dan nodul panas menangkap yodium radioaktif lebih banyak.
Karsinoma papiller biasanya kurang menangkap yodium atau sama sekali tidak
menagkap.
Biopsi insisi dianjurkanpada karsinoma tiroid yang masih layak bedah. Biopsi
aspirasi jarum halus dapat dilakukan tetapi ketepatan diagnosis tergantung kepada
kejelian ahli patologi atau sitologi.
2. Adenokarsinoma Meduler
Jika dicurigai Adenokarsinoma meduler maka dilakukan pemeriksaan kadar
kalsitonin dalam darah sebelum atau sesudah suntikan pentagastrin atau kalsium.
Adenokarsinoma Anaplastik
Pada anamnesis ditemukan struma yang telah diderita cukup lama dan kemudian
membesar dengan cepat. Bila disertai suara parau harus dicurigai Adenikarsinoma
Anaplastik.
Pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen torax dan seluruh tulang tubuh
dilakukan untuk mencari metastasis keorgan tersebut.
19
Penatalaksanaan
Untuk penataksanaan karsinoma tiroid dilakukan sesuai dengan masing masing tipe
karsinoma tiroid :4
Adenokarsinoma Papiller
Pada struma nodul tunggal sebainya tidak dilakukan enukleasi, sebab bila hasil
pemeriksaan patologi ternyata ganas maka sel tumor sudah tercecer dan pembedahan
berikutnya menjadi tidak sempurna lagi. Harus diingat bahwa sebagian struma nodul
tunggal adalah ganas, dan juga nodul yang terba tunggal adalah tunggal mungkin
merupakan bagian struma multinodusa. Nodul soliter jinak jarang terdapat pada anak,
pria (semua umur), dan wanit dibawah 40 tahun. Bila ditemukan struma nodul tunggal
pada golongan tersebut harus dianggap suatu keganasan dan dilakukan istmolobektomi.
Pada pemeriksaan histopatologi, sekitar 10% menunjukkan keganasan dan biasanya jenis
adenokarsinoma papiller.
Bila ditemukan pembesaran kelenjar limfe leher, kemungkinan besar telah terjadi
penyebaran melalui saluran limfe didalam kelenjar sehingga perlu dilakukan tiroidektomi
total dan diseksi kelenjar leher pada sisi yang sama.
Diseksi leher merupakan pengeluaran semua kelenjar limfe leher. Bila tidak ada
penyusupan struktur diluar kelenjar getah bening, diseksi dapat dibatasi pada kelenjar
getah bening saja, artinya m. Sternocleidomastyoideus, n. Accesorius dan v. Jugularis
interna tidak turut diangkat./ Bedah diseksi leher yang dimodifikasi ini menguntungkan,
karena pengangkatan m. Sternocleidomastoideus dan atrofi m trapezius mengakibatkan
gangguan kosmetik yang mencolok sekali. Atrofi m. Trapezius disebabkan karena
putusnya n. Accesorius pada pengeluaran m sternocleidomastoideus.
Penyulit tiroidektomi terpenting adalah gangguan n laryngeus inferior (n. Recurrens)
dan hipoparatiroid. Pada setiap tiroidektomi n recurrens harus dipisahkan untuk
mencegah cedera.
Pengobatan dengan radioaktif tidak memberi hasil karena adenokarsinoma papiller
pada umumnya tidak menyerap yodium. Pascatiroidektomi total ternyata yodium dapat
ditangkap oleh sel anak sebar tumor papiller tertentu sehingga pemberian pada keadaan
20
itu yodium radioaktif bermanfaat. Radiasi ekstern dapat diberikan bila tidak terdapat
fasilitas radiasi intern. Metastasis ditanggulangi secara ablasio radioaktif.
Adenokarsinoma Folikuler
Pembedahan untuk adenokarsinoma folikuler adalah tiroidektomi total. Karena sel
karsinoma ini menangkap yodium, maka radioterapi dengan Y 131 dapat digunakan. Bila
masih tersisa ataupun terdapat metastasis, maka dilakukan pemberian yodium radioaktif
ini.
Radiasi ekstern untuk metastasis ternyata memberi hasil yang cukup baik.
Adenokarsinima Meduler
Penanggulangan tumor ini adalah tiroidektomi total. Pemberian radioterapi tidak
memuaskan. Pemberian yodium radioaktif juga tidak akan berhasil karena tumor ini
berasal dari sel C sehingga tidak menangkap dan menyerap yodium.
Adenokarsinoma Anaplastik
Pembedahan biasanya sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga hanya dapat
dilakukan biopsi insisi untuk mengetahui jenis karsinoma. Satu satunya terapi yang bisa
diberikan adalah radiasi ekstern.
Penatalaksanaan
Prognosis
Untuk prognosis dari karsinoma tiroid ini, maka dapat dikatakan bahwa
Adenokarsinoma Papiller mempunyai prognosis yang bagus jika dibandingkan dengan tipe
yang lainnya, sedangkan untuk Adenokarsinoma Anaplastik mempunya prognosis yang
buruk jika dibanding denga tipe adenokarsinoma tiroid yang lainnya. Dan untuk
adenokarsinoma folikuler mempunyai prognosis bagus jika tipenya mikroinvasif.
Komplikasi
Karena untuk adenokarsimona tiroid ini ditangani sebagian besar dengan tiroidektomi total
maka ada beberapa komplikasi dari tindakan tersebut, yang antara lain :
21
Durante Operasi
Perdarahan
Krisis tiroid
Cedera nervus, trakea dan esofagus
Pratiroid terangkat
Pasca operasi
Hematoma
Tracheomalacia
Hipokalsemia
Suara parau/ hilang
Tersedak
Ditemukan di / dalam
Asbes
Etanol
diet
Gas mustard
produk pabrik
Nikel
22
Polisiklik hidrokarbon
Tembakau, nitrosamin
rokok
produk pabrik
Penatalaksanaan
Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan, radiasi
dan sitostatika, ataupun kombinasi daripadanya.
Pembedahan
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :
A. Laringektomi
1. Laringektomi parsial
Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak
memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.
2. Laringektomi total
Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas
(epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.
B. Diseksi leher radikal
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 T2) karena kemungkinan
metastaseke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumorsupraglotis, subglotis
dan tumor glotisstadium lanjut sering kali mengadakanmetastase ke kelenjar limfe
leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher.
Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.
Radioterapi
Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan
T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara
ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang
dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000 7000 rad.
24
Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som,
Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh
kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan
pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 45005000 rad
selama 46 minggu diikuti dengan laringektomi total.
Kemoterapi
Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun
paliativ.
Obat
yang
diberikan
adalah
cisplatinum
80120
mg/m2
tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik.
rehabilitasi mencakup : Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social
Rehabilitation.
Prognosa
Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan
kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma
laring stadium I 90 98% stadium II 75 85%, stadium III 60 70% dan stadium
IV 40 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year
survival rate sebesar 50%.
2.6
Limfoma Hodgkin
DEFINISI
Penyakit Hodgkin adalah keganasan system limforetikuler dan jaringan pendukungnya yang
sering menyerang kelenjar getah bening dan disertai gambaran histopatologi yang khas. Ciri
25
histopatologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed Steinberg atau variannya yang
disebut sel Hodgkin dan gambaran pleimorfik kelenjar getah bening.
KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN
Tabel 2. klasifikasi limfoma Hodgkin.
Limphocyte-predominan (LP)
Lymphocyte-depletion (LD)
Noduler-sclerosis (NS)
Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat dengan
limfoma malignum. Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi dari penyakit
Hodgkin ada baiknya kita mengetahui tentang klasifikasi dari penyakit-penyakit tersebut4
Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan
Butler sesuai keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi ini
penyakit Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
1.
2.
3.
4.
Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa penyakit
Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi) yang
berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit Hodgkin
merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel transformasi.
Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed-Sternberg tidak
membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak memiliki
komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan dari penderita
dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed-Sternberg.5
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan antigen
permukaan dengan sejumlah kecil sel dendrit pada daerah parafolikel nodus limfatik.
Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam pengenalan
antigen oleh sel T ?. Berkurangnya kapasitas memberitahukan antigen berkaitan dengan
transformasi neoplasi sel dendritik, mungkin menjelaskan adanya gangguan imunitas sel-T,
yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin.
Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini kini harus
dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan. Diketahui bahwa sel
Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit Hodgkin. Apakah yang menyebabkan
transformasi ini ?. Selama bertahun-tahun etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diduga.
Beberapa laporan telah menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit
Hodgkin. Tetapi tidak ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS yang dibiakkan, tidak
mendukung peran EBV sebagai penyebab penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi
infeksi penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat laporan yang menunujukkan
kemungkinan adanya suatu pengelompokan penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah
menengah tertentu.6
44 Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi
(Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 1995
55 Diehl, V., et al. : Characteristic of Hodgkin`s disease derived cell lines. Cancer Treat. Rep. 66:615, 1982
Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal penyakit
Hodgkin.7 Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah limfonodus
perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam system lmfatik.
Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebuh kecil, abnormal yang menyertai
(sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang
yang terdapat bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas oleh hospes, manfaat yang
menentukan pola evolusi. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi histologis.
Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan
alamiah penyakit ini adalah menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik.4
ETIOLOGI
Banyak kemajuan telah dicapai dalam bidang biologi penyakit ini. Meskipun masih banyak
yang belum mapan. Seperti pada keganasan yang lain penyebab penyakit Hodgkin ini
multifaktorial dan belum jelas benar. Perubahan genetic, disregulasi gen-gen factor
pertumbuhan, virus dan efek imunologis, semuanya dapat merupakan factor tumorigenik
penyakit ini.
Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai
sekarang. Kejangkitan limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan ada
kaitannya dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga menderita limfoma Hodgkin,
maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar dibanding dengan orang lain yang
tidak termasuk keluarga itu. Pada orang hidup berkelompok insiden limfoma Hodgkin
cenderung lebih banyak.
GAMBARAN KLINIS
Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit local dan kemudian menyebar ke
struktur limfoid didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non limfoid dengan
kemungkinan kematian pasien. Pasien penyakit Hodgkin umumnya datang dengan adanya
77 Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkins disease, Seamaoned 7 : 92, 1980.
massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah digerakkan dan biasanya tidak nyeri
tekan. Sekitar separuh pasien datang dengan adenopati di leher atau daerah supraklavikula
dan lebih dari 70 persen pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superfisial.
Karena kelenjar tersebut umumnya tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat
sampai kelenjar limfe cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati
mediastinum. Hal ini kadang-kadang pertama kali dideteksi pada pemeriksaan sinar-x toraks
rutin. Kelenjar limfe yang terkena pada penyakit Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial
dan berlainan dengan yang terkena pada limfoma non Hodgkin yang memperlihatkan
kecenderungan sentrifugal mengenai kelenjar limfe epitroklear, cincin waldeyer dan
abdomen.
Pada 2-5 persen pasien, kelenjar limfe atau jaringan lain yang terkena penyakit
Hodgkin dapat tersa nyeri setelah minum minuman beralkohol. Pertumbuhan kelenjar limfe
cukup bervariasi, beberapa lesi dapat menetap dalam jangka lama, sedangkan pada kelenjar
yang lain terjadi regresi spontan dan temporer.
Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit mengalami gejla yang
berkaitan dengan penyakitnya. Gejala terssering adalah demam ringan yang mungkin disertai
keringat malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam mungkin merupakan satu-satunya
keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami demam naik turun disertai banyak keringat
malam (demam Pel-Epstein). Demam ini dapat menetap selama beberapa minggu, diikuti
oleh interval afebris. Demam dan keringat malam lebih sering ditemukan pada pasien tua dan
pada pasien dengan penyakit stadium lanjut.
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10 persen dalam
6 bulan atau kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering ditemukan adalah rasa
lemah, malaise dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar 10n persen pasien pada saat
diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan mungkin berkaitan dengan ruam kulit atau
walaupun jarang merupakan satu-satunya gejala penyakit.
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau pericardium mungkin disertai batuk, nyeri
dada, sesak napas atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin disertai nyeri
tulang. Kadang-kadng pasien datang dengan gejala sumbatan vena kava superior sebagai
gejala awal. Kompresi mendadak korda spinalis dapat merupakan gejala awal tetapi biasanya
30
merupakan penyulit penyakit progresif stadium lanjut. Nyeri kepala atau gangguan
penglihatan dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Hodgkin intrakranium dan
ketrlibatan abdomen menimbulkan nyeri abdomen, gangguan usus dan bahkan asites.
STADIUM PENYAKIT.
Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :
Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.
Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada
jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi
organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi
Limfografi bipedal
III. Prosedur-prosedur hematologis :
LED
USG abdomen
MRI
Gallium scanning
33
DIAGNOSIS KLINIS
1. KLINIS (ANAMNESIS)
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila
ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam,
keringat dan gatal
2. PEMERIKSAAN FISIK
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikular, aksiler
dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan
untuk menentukan kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlihat perlu
diperiksa gastrointestinal sebab sering terlihat bersama-sama.
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian
penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit.
atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik
atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang
yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan
besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang
sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan
pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang
menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute limfositopenia absoluit (<1000 sel per
millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah
dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indicator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi
pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat
penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam
laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam
serum.
34
35
PENATALAKSANAAN
Terapi dapat dilihat dari beberapa aspek:
a.
b.
Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)
c.
I.1.Radioterapi saja.
Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st
I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu
untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja
perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi dibawah
diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak cukupperlu
ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang buruk
seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi + kemoterapi
(kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy) karena radioterapi saja
tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya MOPP 6x dianggap cukup sebagai
adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila tidak ada lesi dibawah diafragma
(dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk stadium IA diberikan radioterapi
extended field, untuk stadium IIA diberikan total nodal irradiation (TNI),dianggap
cukup kuratif.
I.2.
36
2. B-symtoms.
4. histologinya bukan
Kemoterapi
Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan IV
saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk
tempat-tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant pada
tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan cara ini angka kesembuhan nya
cukup tinggi. Banyak ahli Onkologi Medis memberi kemoterapi sebagai terapi utama
sejak stadium II ditambah dengan radioterapi adjuvant pada bulky mass, dengan
demikian keperluan staging laparotomy makin sedikit, bahkan tidak diperlukan lagi
karena tindakan ini terlalu invasif, sedangkan hasilnya sama saja, namun masih ada
silang pendapat terutama antara ahli radioterapi dengan ahli onkologi medis. Banyak
regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin. Ada yang mengunakan
alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent dicurigai sebagai penyebab
timbulnya kanker sekunder dan sterilitas. Adrianisin menyebabkan kelainan jantung;
Bleomisin kelainan paru; terutama bila dikombinasikan dengan radioterapi
PROGNOSIS
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup
lama dengan pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama,
kemungkinan mendapatkan late complication makin besar. Late complication itu antara lain :
1. timbulnya keganasan kedua atau sekunder
37
A. Definisi
Limfoma maligna adalah suatu penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid dan
jaringan pendukunnya. Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan besar yaitu Limfoma Hodgkin
dan Limfoma non hodgkin.
Sel ganas pada limfoma hodgkin berasal dari sel retikulum dengan gambaran
histologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed-Stemberg atau variasinya yang disebut
sel hodgkin. Limfosit limfosit yang merupakan bgian integral poliferasi sel pada penyakit ini
diduga merupakan manifestasi reaksi kekebalan seluler terhadap sel-sel ganas tadi.
Sedangkan LNH pada dasarnya adalah sel limfosit yang berada pada salah satu
tingkat defernsiasinya dan berpoliferasi secara banyak
B. Epidemiologi
Limfoma maligna ditemukan diseluruh bagian dunia pada semua suku bangsa dengan
frekuensi yang berbeda-beda. Insiden limfoma maligna diberbagai negara bervariasi antara 26 penderita per 100.000 penduduk.
Beberapa LNH mempunyai pola epidemiologi yang karakteristik. Limfoma burkitt
karakteristik terjadi pada anak-anak di Afrika Tengah walaupun beberapa kasus dalam jumlah
yang kecil dengan klinis yang berbeda-beda pernah dilaporkan di Amerika Serikat.
Limfoma abdominal yang memproduksi fragmen Heavy chain of immunoglobulin di
daerah laut tengah, sedangkan di daerah lain hampir tidak pernah ditemukan.
C. Etiologi
38
Penyebab yang pasti dari limfoma maligna masih belum diketahui dengan jelas.
Walaupun demikian bukti-bukti epidemiologi, serologi dan histologi menyatakan bahwa
faktor infeksi terutama infeksi virus diduga memegang peranan penting sebagai etiologi
D. Gejala dan Klasifikasi
Untuk menentukan prognosis dan respons terhadap pengobatan penderita limfoma
maligna selain menentukan stadium klinis juga harus ditentukan klasifikasi histopatologinya.
IWF
*Low Grade Lymphoma
- small lymphocyte
- Folliculer, small cleaved cell
- Folliculer, mixed small cleaved
- Folliculer, mixed small cleaved and
large cell
*Intermediate Grade Lymphoma
-Folliculer, large cell
-Diffuse, small cleaved cell
-Diffuse, mixed (small and large cell)
-Difuse, large cell
*High Grade
-Immunoblastik (large cell)
-Lymphoblastic
-Small non cleaved cell
Keterangan
DLWD
NLPD
DLPD
DML
DHL
DUL
NML
NH
NC
FCC
Lbl
C
S
Lg
D
Raport
DLWD
NLPD
NML
SL
SC-FCC
SC-FCC; Lg C-Fcc
NH
DLPD
DM
DH
Lg C; Lg NC-FCC
SC-FCC-D
SC-D; Lg C-D
LgC-Fcc-D; LgNC-Fcc-D
Lymphoblastic
Burkit
Lb1 sarcoma
Convulated T cell
SNC-FCC
kelenjar dan penyebaran ektra nodal. Pembesaran kelenjar getah bening merupakan keluhan
39
utama sebagian besar penderita limfoma maligna yaitu 56,1%. Urutan kelenjar getah bening
yang paling sering terkena adalah kelenjar servikal (78,1%), kelenjar inguinal (65,6%),
kelenjar aksiler (46,6%), kelenjar mediastinal (21,8%), kelenjar mesenterial (6,2%).
Penyebaran extra nodal yang paling sering dijumpai adalah ke hepar, pleura, paru-paru dan
sum-sum tulang. Penyebaran yang jarang tapi pernah dilaporkan adalah ke kulit, kelenjar
prostat, mammae, ginjal, kandung kencing, ovarium, testis, medula spinalis serta traktus
digestivus.
Ukurannya bervariasi, mungkin akan berikatan dengan jaringan ikat tapi mudah digerakkan
dibawah kulit. Pada jenis yang ganas dan pada penyakit yang sudah stadium lanjut sering
dijumpai gejala sistemik.
Stadium Klinis Limfoma Maligna
Untuk menentukan stadium penyakit atau menentukan luasnya penyebaran penyakit
dipakai staging menurut simposium penyakit Hodgkin di Ann Arbor yaitu Rye staging yang
disempurnakan oleh kelompok dari Stanford University yang ditetapkan pada simposium
tersebut.
Stadium klinik dari limfoma maligna menurut ANN Arbor
Stadium
IE
II
II
diafragma
IIE
III
IIS
IIES
Keduanya
III
IIIE
IIIS
diafragma
IV
IIIES
Keduanya
IV
Panas badan yang tidak jelas sebabnya, kumat-kumatan dengan suhu diatas 38oC
Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan
E. Patogenesis
Pada sebuah penelitian Lukes mengeluarkan kelenjar getah bening regional beberapa
hari setelah vaksinasi cacar. Temyata folikel-folikel dalam kelenjar getah bening regional
akan membesar. Di samping itu jumlah sel besar ("blast like" cells) dalam centrum
germinativum akan amat meningkat hingga sebagian dari folikel-folikel ini penuh berisi selsel limfoblast yang besar tadi.Juga dalam daerah paracortex akan ditemukan. kenaikan
jumlah sel-sel yang bentuknya menyerupai limfoblast tadi. Berdasarkan data di atas Lukes
membuat suatu teori mengenai urutan transformasi limfosit bila ada rangsangan antigen .Bila
ada rangsangan antigen makal imfosit-limfosit B dalam kelenjar getah bening akan
bertransformasi menjadi sel yang intinya melekuk ( "cleaved cells"). Sel "cleaved" yang kecil
ini kemudian akan membesar dan memiliki sejumlah sitoplasma yang berwarna biru. Lukes
41
menamakannya "large cleaved cells " dan menganggap kejadian ini sebagai stadium ke2
dari proses transformasi limfosit B. Pada stadium ke3 lekukan pada inti sel tadi akan meng
hilang, inti sel berubah menjadi bulat dan tampak adanya anak inti. Sel yang dinamakannya
"small non cleaved cells' ini mempunyai sitoplasma lebih besar dari sel pada stadium 2
"Small noncleaved cells" ini akan membesar lagi hingg; diameternya mencapai 45 kali
semula. Sel yang dinamakan "large noncleaved cells " ini mempunyai inti yang jelas dan
sitoplasma yang besar serta berwarna biru tua. Stadium 1 sampai dengan 4 ini terjadi dalam
centrun germinativum sel folikel. Sel-sel pada stadium 1 s/d 3 tak banyak mengalami mitosi
sedangkan sel-sel "large noncleaved " aktif bermitosis. Sel "large noncleaved" ini
kemudian akan keluar dai folikel dan masuk ke dalam daerah paracortex. Di sini sel tersebut
akan bertransformasi menjadi sel yang mempunyai sitoplasma besar, biru tua dan beranak inti
besar biasanya hanya sebuah. Sel yang tersebut terakhir ini dinamakan imunoblast.
Imunoblast kemudian akan berubah menjadi "plasmablast" yang selanjutnya berubah menjadi
sel plasma. Sel plasmalah yang kemudian membuat imunoglobulin (antibodi). Apabila ada
antigen masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi menjadi
imunoblast. Secara morfologik amat sukar untuk membedakan imunoblast T dan imunoblast
B. Perbedaan antara proses transformasi pada limfosit T dan B adalah bahwa, pada limfosit
Tprosesinitidakmelampaui ke4 stadium diatas, serta imunoblast T tidak bertransformasi
lebih lanjut menjadi sel plasma. Sedangkan pada limfosit B, rangsangan antigen
menyebabkan transformasi sel yang akhirnya menghasilkan sel-sel plasma. Sel plasma inilah
yang membentuk antibodi ("reaksi immunitas humoral"). Penerapan pemeriksaan imunologik
pada kelenjar-kelenjar getah bening menunjukkan bahwa sel besar yang terdapat pada
centrum germinativum adalah limfosit B semata-mata. Di samping itu limfosit-limfosit B dari
centrum germinativum mempunyai kekhususan yakni memiliki reseptor yang kuat terhadap
komplemen,
di
samping
memiliki
imunoglobulin
pada
permukaan
sel
(surface
immunoglobulin). Sel plasma yang merupakan produk akhir dari limfosit B tidak lagi
memiliki imunoglobulin pada permukaan selnya. Selsel ini juga tidak memiliki reseptor
terhadap
komplemen,
namun
sebaliknya
ia
memiliki
imunoglobulin
intraseluler
B menjadi limfosit centrum germinativum, ia harus melalui beberapa stadium, antara lain
stadium prolimfosit B (preB limphocyte)dsb. Semua stadium ini telah diketahui sifatsifat imunologiknya.
Para ahli hematologi di pusat-pusat penelitian ' yang besar, kemudian melakukan
pemeriksaan sitologik (cleaved cells, dsb) dan imunologik (ada tidaknya imunoglobulin pada
permukaan selnya, dsb) dari sel kanker kelenjar getah bening. Salah seorang yang
mempunyai pengalaman cukup banyak adalah Habishaw dari Inggris yang telah melakukan
pemeriksaan yang cermat pada 157 penderita kanker kelenjar getah bening jenis non
Hodgkin. Dari penelitiannya Habeshaw melihat bahwa sel-sel (imfoma malignum ini ternyata
pada umumnya dapat dibagi dalam 3 golongan besar : Golongan yang sel-selnya mempunyai
sifat morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium sel centrum
germinativum (small cleaved,large cleaved,dsb) Golongan yang sel-selnya mempunyai sifat
morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium "post follicular"
(immunoblast, proplasma cells, plasma cells,memory B cells). Golongan yang sel-selnya
mempunyai sifat morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium "pre
follicular" (preB limphocyte, dsb). Pemeriksaan semacam di atas juga menunjukkan
bahwa semua sel kanker limfoma malignum yang berasal dari limfosit B selalu mempunyai
sifat monoklonal. Maksudnya, ada limfoma malignum yang terdiri dari limfosit B pembentuk
imunoglobulin Mkappa, ada yang terdiri dari limfosit B pembentuk imunoglobulin M
lamda, Gkappa, Glamda dan seterusnya. ara peneliti lain kemudian dapat menunjukkan
bahwa frekuensi limfoma malignum pada penderita-penderita pe-nyakit imunologik jauh
lebih tinggi dari pada mereka yang tidak menderita penyakit ini, bahkan ada yang cenderung
untuk mengatakan bahwa sebagian besar penderita-penderita penyakit Syorgen akan berubah
menjadi penderita limfoma malignum. Kelainan kromosom (terutama kromosom 14) yang
didapat pada penyakit defisiensi imunologik ternyata juga ditemukan pada sel-sel limfoma
malignum. Data-data di atas menyebabkan sebagian besar peneliti beranggapan bahwa
penyakit limfoma malignum (non Hodgkin) sebenarnya hanyalah suatu reaksi imunologik
yang abnormal semata-mata. Jauh sebelum adanya hasil-hasil penelitian di atas sebenarnya
Salmon dan Saligman (1974) telah mengajukan hipotesa di atas. Hasil penelitian lebih lanjut
ternyata banyak menyokong hipotesa kedua ahli ini. Salmon dan Saligman berpendapat
bahwa penyakit limfoma malignum ini diaklbatkan oleh suatu "oncogenic event" terhadap
sekelompok limfosit B yang bereaksi terhadap suatu antigen asing. Oncogenic event ini
43
menyebabkan terjadinya hambatan transformation pada salah satu stadium transformasi sel
limfosit B. Karena stimulasi antigen ini tetap ada, sedangkan limfositlimfosit B tadi tak dapat
membentuk antibodi yang diperlukan karena transformasinya terhenti sebelum menjadi sel
plasma: reaksi imunologik ini akan terus menerus berlangsung. Akibatnya terjadilah
penimbunan sel-sel limfosit B pada salah satu (atau beberapa) stadium transformasinya.
Karena proliferasi sel ini disebabkan stimulasi suatu antigen "tertentu" maka limfosit B yang
bertransformasi hanya limfosit B yang "bersangkutan" pula. Oleh karena itu pada penyakit
limfoma malignum selalu didapat sel B yang monoklonal (immunoglobulin Mkappa, M
lamda, Gkappa dst.)
F. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis Limfoma maligna diperlukan berbagai macam
pemeriksaan, disamping untuk memastikan penyakitnya juga untuk menentukan jenis
histopatologinya maupun staging penderita
Stadium klinis
Pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan untuk menentukan stadium klinik adalah:
1. Anamnesa mengenai keluhan pembesaran kelenjar dan keluhan sistemik berupa
demam, penurunan berat badan, keringat malam dan gatal-gatal. Penderita tanpa
keluhan masuk dalam subklasifikasi A, sedangkan bila disertai keluhan sistemik
masuk dalam subklasifikasi B dari Ann Arbor.
2. Pemeriksaan fisik dengan mencari adanya pembesaran kelenjar getah bening
diseluruh tubuh, cincin waldeyer, pembesaran organ ekstra limfatik yang sering terjadi
pada limfoma non hodgkin
3. Biopsi kelenjar getah bening untuk menentukan apakah penderita LH atau LNH.
4. Pemeriksaan radiologi meliputi
44
serum kreatinin, asam urat dan elektrolit namun semuanya pemeriksaan ini tidak
spesifik
Stadium Patologi
Untuk menentukan stadium patologi diperlukan pemeriksaan antara lain
1. Pemeriksaan aspirasi biopsi sum-sum tulang daerah kristailiaka dengan jarum
jamshidi
2. Pemeriksaan laparaskopi dengan indikasi pada staging klinis IB, IIB, IIIA dan IIIB
3. Pemeriksaan laparatomi dengan indikasi pada staging klinik I-II (A dan B) dan IIIA
4. Pemeriksaan cairan effusi secara sitomorfologi.
Disamping pemeriksaan tersebut di atas guna penentuan stadium klinis dan patologi
masih terdapat banyak pemeriksaan yang hanya dilakukan pada pusat kedokteran tertentu
dalam rangka penelitian lanjutan untuk penderita limfoma.
Pemeriksaan yang dimaksud adalah:
a. Pemeriksaan Whole body scintigram dengan Galium-67 dan selenium 75
b. Whole body computed tomography
c. Ultrasonografi hati dan abdomen
d. Berbagai pemeriksaan immunologi guna menentukan status imunologi penderita
e. Penentuan serum ion, total iron capacity, ceruloplasmin, zinc, hepatoglobin,
fibrinogen, hydroxyprolin dalam urin, leucocyte alkali phospatase, hitung limfosit
absolut, antibodi pada virus epstein barr serta HLA
Guna menilai apakah limpa atau hati terserang terdapat kriteria sebagai berikut
Limpa
Hati
: pembesaran hati disertai dengan peningkatan alkali fosfatase dan dua tes faal hati
yang lain abnormal atau pemeriksaan sidikan hati dengan isotop abnormal disertai
suatu kelainan faal hati.
G. Terapi
Sesudah diagnosis patologi dan stagingnya ditentukan maka mulailah dipikirkan
tentang pengobatannya.
Pengobatan penderita LNH menurut klasifikasi rapport
Patologi
Definisi
Stadiu
Pengobatan
m
Unfavourable
Semua
limfoma
difus I, II
histologi
disertai
pemberian
kemoterapi
atau ABP
III, IV
Favourable
histologi
II,III,IV
menggunakan
Keterangan:
C-MOPP
CVP
BACOP
CHOP
Gradasi
Rendah
Lokal
Radiasi bagian yang terserang
Sedang
Tinggi
Lanjut
Kemoterapi (Chlorambucil atau CVP)
(minimal
CHOP
atau
H. Prognosis
Prognosis dari penderita limfoma sangat ditentukan dari:
a. Stadium dari penyakitnya dan tipe histologinya
b. Usia penderita. Pada usia diatas 60 tahun mempunyai prognosis yang kurang baik
c. Besarnya tumor. Pada penderita dengan ukuran tumor yang besar (ukuran diameter
lebih dari 10cm) terutama kalau terletak di mediastenum mempunyai prognosis yang
kurang baik.
d. Pada penderita yang terserang extra nodal yang multipel terutama apabila mengenai
sum-sum tulang dan hati mempunyai prognosis yang kurang baik.
e. Pada penderita yang progesif selama mendapat pengobatan atau relaps dalam waktu
kurang dari satu tahun setelah mendapat kemoterapi yang intensif mempunyai
prognosis yang kurang baik
Dugaan Sebab Kematian Penderita Limfoma
1. Infeksi bakteri dan jamur yang mungkin disebabkan oleh karena:
a. Defisiensi anti bodi dari sistem imunitas seluler
b. Neutropeni oleh karena efek samping pengobatan sitostatika ataupun oleh karena
infiltrasi limfoma ke sum-sum tulang
c. Kerusakan jaringan akibat infiltrasi limfoma
d. Infeksi ini biasanya berjalan berat dan berahkir dengan sepsis
2. Multiple organ failure seperti paru-paru, ginjal, gastrointestinal dan meningen
47
48
Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N. Sistem aliran limfe leher dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI;
2001. p. 137-42
2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Anamnesis dan Pemeriksaan Kepala dan Leher
dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 3,23
3. Luhulima, JW. Collum dalam Anatomi Head and Neck. Makassar: Fakultas
Kedokteran UH; 2002. p. 35-5, 42-3
4. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Leher dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta:
EGC; 2011.
49