Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu kelainan atau penyakit kepala-leher diperlukan
kemampuan dan keterampilan melakukan anamnesis dan pemeriksaan organ-organ tersebut.
Kemampuan ini merupakan bagian dari pemeriksaan fisik yang merupakan syarat bila
terdapat keluhan atau gejala yang berhubungan dengan kepala-leher.1
Sistem aliran limfe leher sangat penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang
atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfe leher.1
Pasien dengan penyakit pada leher dan wajah dapat mempunyai banyak gejala yang
bervariasi. Nyeri kepala, kelemahan otot atau kelompok otot, disestesia, pembengkakan atau
massa, deformitas dan perubahan pada kulit merupakan keluhan-keluhan yang paling sering
dijumpai.2
Palpasi leher dan wajah harus dilakukan dengan sistematik. Kelenjar limfe leher dan
metastatik seringkali terletak pada segitiga leher depan. Daerah ini perlu di inspeksi dengan
cermat, khususnya di bawah otot sternokleidomastoideus dan sepanjang perjalanan selubung
karotis. Bangunan yang bisanya dapat dan harus dipalpasi adalah tulang hioid, rawan tiroid
dan krikoid, celah tirohioid dan krikotiroid, cincin trakea, otot sternokleidomastoideus, arteri
karotis, klavikula dan celah supraklavikula. 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI LEHER
Leher merupakan bagian dari tubuh manusia yang terletak di antara thoraks dan caput.

Batas di sebelah cranial adalah basis mandibula dan suatu garis yang ditarik dari angulus
mandibula menuju ke processus mastoideus, linea nuchae suprema sampai ke protuberantia
occipitalis eksterna. Batas kaudal dari ventral ke dorsal dibentuk oleh incisura jugularis
sterni, klavicula, acromion dan suatu garis lurus yang menghubungkan kedua acromia.3

Gambar 1 Anatomi leher


Jaringan leher dibungkus oleh tiga fascia. Fascia koli superficialis membungkus
musculus Sternokleidomastoideus dan berlanjut ke garis tengah di leher untuk bertemu
dengan fascia sisi lain. Fascia koli media membungkus otot-otot pratrakeal dan bertemu pula
dengan fascia sisi lain di garis tengah yang juga merupakan pertemuan dengan fascia coli
superficial. Ke dorsal fascia koli media membungkus arteri karotis komunis, vena jugularis
interna dan nervus vagus jadi satu. Fascia koli profunda membungkus musculus
prevertebralis dan bertemu ke lateral dengan fascia koli media.4
Bentuk umum leher adalah sebagai conus dengan basis yang menghadap ke arah kaudal.
Ditentukan oleh processus spinosus vertebra cervicalis, otot-otot panniculus adiposus, os.
hyoideum, trachea dan glandula thyroidea. Turut menentukan adalah posisi kepala dan
2

columna vertebralis, pada posisi antefleksi kepala dan leher maka processus spinosus dari
vertebra prominens sangat menonjol, kulit disebelah ventral melipat-lipat. Pada posisi
retrofleksi kepala dan leher maka kulit disebelah dorsal melipat-lipat sedangkan disebelah
ventral akan kelihatan dengan jelas laring, trachea dan glandula thyroidea ( terutama pada
wanita).3
Leher dibagi oleh muskulus sternokleidomastoideus menjadi trigonum anterior atau medial
dan trigonum posterior atau lateral. 1
1

Trigonum anterior : di anterior dibatasi oleh sternokleidomastoideus, linea mediana


leher dan mandibulae, terdiri dari :
1

Trigonum muscular : dibentuk oleh linea mediana, musculus omohyoid venter


superior, dan musculus sternokleidomastoideus.

Trigonum caroticum : dibentuk oleh musculus omohyoid venter superior,


musculus sternokleidomastoideus, musculus digastricus venter posterior.

Trigonum submentale : dibentuk oleh venter anterior musculus digastricus, os.


hyoid dan linea mediana.

Trigonum submandibulare : dibentuk oleh mandibula, venter superior musulus


digastricus, dan venter anterior musculus digastricus

Trigonum posterior : dibatasi superior oleh musculus sternokleidomastoideus,


musculus trapezius dan clavicula, terdiri dari :
1

Trigonum supraclavicular : dibentuk oleh venter inferior musculus omohyoid,


clavicula dan musculus sternokleidomastoideus.

Trigonum occipitalis : dibentuk oleh venter inferior musculus omohyoid,


musculus trapezius dan musculus sternokleidomastoideus (Luhulima, 2002).

2
Gambar 2 Trigonum anatomicum
2

PEMBAGIAN KELENJAR LIMFE


Sekitar 75 buah kelenjar limfe terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada pada

rangkaian jugularis interna dan spinalis assesorius. Kelenjar limfe yang selalu terlibat dalam
metastasis tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian jugularis interna.1
Kelenjar limfe servical dibagi ke dalam gugusan superficial dan gugusan profunda.
Kelenjar limfe superficial menembus lapisan pertama fascia servical masuk kedalam gugusan
kelenjar limfe profunda. Meskipun kelenjar limfe nodus kelompok superficial lebih sering
terlibat dengan metastasis, keistimewaan yang dimiliki kelenjar kelompok ini adalah
sepanjang stadium akhir tumor, kelenjar limfe nodus kelompok ini masih signifikan terhadap
terapi pembedahan.1
Kelenjar limfe profunda sangat penting sejak kelenjar-kelenjar kelompok ini menerima
aliran limfe dari membran mukosa mulut, faring, laring, glandula saliva dan glandula
thyroidea sama halnya pada kepala dan leher. 1
Hampir semua bentuk radang dan keganasan kepala dan leher akan melibatkan kelenjar
getah bening leher bila ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di leher, perhatikan
ukurannya, apakah nyeri atau tidak, bagaimana konsistensinya, apakah lunak kenyal atau
keras, apakah melekat pada dasar atau kulit. Menurut Sloan Kattering Memorial Cancer
Center Classification, kelenjar getah bening leher dibagi atas 5 daerah penyebaran.1

Gambar 3 Daerah penyebaran kelenjar limfe leher


Keterangan :
I
II

Kelenjar yang terletak di segitiga submentale dan submandibulae


Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar getah bening jugularis
superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikalis posterior.

III

Kelenjar getah bening jugularis di antara bifurkatio karotis dan persilangan


Musculus omohioid dengan musculus sternokleidomastoideus dan batas
posterior musculus sternokleidomastoideus.

IV
V

Grup kelenjar getah bening di daerah jugularis inferior dan supraklavikula


Kelenjar getah bening yang berada di segitiga posterior servikal.

Gambar 4 Penyebaran kelenjar limfe di kepala dan leher


1

Kelenjar limfe occipitalis terletak diatas os occipitalis pada apeks trigonum


cervicalis posterior. Menampung aliran limfe dari kulit kepala bagian
belakang. Pembuluh limfe eferen mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe
cervicalis profundi.
5

Kelenjar limfe retroaurikular terletak di atas permukaan lateral processus


mastoideus. Mereka menampung limfe sebagian kulit kepala di atas auricula
dan dari dinding posterior meatus acusticus externus. Pembuluh limfe eferen
mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe cervicalis profundi.

Kelenjar limfe parotid terletak pada atau di dalam glandula parotis.


Menampung limfe dari sebagian kulit kepala di atas glandula parotis, dari
permukaan lateral auricula dan dinding anterior meatus acusticus externus, dan
dari bagian lateral palpebra. Pembuluh limfe eferen mencurahkan isinya ke
dalam kelenjar limfe cervicalis profundi.

Kelenjar submandibular : terletak sepanjang bagian bawah dari mandibula


pada kedua sisi lateral, pada permukaan atas glandula submandibularis
dibawah lamina superfisialis. Menerima aliran limfe dari struktur lantai dari
mulut. Pembuluh limfe eferen mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe
cervicalis profundi.

Kelenjar submental : terletak dibawah dari mandibula dalam trigonum


submentale. Menerima aliran dari lidah dan cavum oral. Pembuluh limfe
eferen mencurahkan isinya ke dalam kelenjar limfe submandibularis dan
cervicalis profundi.

Kelenjar supraclavicular : terletak didalam cekungan diatas clavicula, lateral


dari persendian sternum. Menerima aliran dari bagian dari cavum toraks dan
abdomen.

2.3 MEKANISME TIMBULNYA BENJOLAN PADA LEHER


Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher, seperti
trauma, infeksi, hormon, neoplasma dan kelainan herediter. Faktor-faktor ini bekerja dengan
caranya masing-masing dalam menimbulkan benjolan. Hal yang perlu ditekankan adalah
tidak selamanya benjolan yang ada pada leher timbul karena kelainan yang ada pada leher.
Tidak jarang kelainan itu justru berasal dari kelainan sistemik seperti limpoma dan TBC.

Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat mengalami benjolan entah itu kelenjar
tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari struktur jaringan lain
seperti lemak, otot dan tulang.
Infeksi dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher melalui beberapa cara yang di
antaranya berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan yang
terserang secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek dari kerja imunitas
tubuh yang bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar getah bening.
Mekanisme trauma dalam menimbulkan benjolan pada leher agak menyerupai
mekanisme infeksi. Hanya saja trauma yang tidak disertai infeksi sekunder pada umumnya
tidak menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening.
Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi imun, maka
otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya, sel tubuh terutama
mast sel dan sel basofil akan mengalami granulasi dan mengeluarkan mediator radang berupa
histamin, serotonin, bradikinin, sitokin berupa IL-2, IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator
radang ini terutama histamin akan menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan
permeabilitas venula serta pelebaran intraendothelialjunction. Hal ini mengakibatkan cairan
yang ada dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada
daerah yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran
kelenjar limfe karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan
tubuh seperti makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya memusnahkan agen infeksius
sedangkan agen infeksius itu sendiri berupaya untuk menghancurkan sel-sel tubuh terutama
eritrisot agar bisa mendapatkan nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan mengakibatkan
pembesaran kelenjar limfe karena bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun
menyaring sel tubuh yang mengalami kerusakan dan agen infeksius yang masuk agar tidak
menyebar ke organ tubuh lain.
Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu di otot, sel
limfoid, tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi displasia dan
metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi sel tidak lagi
sempurna. Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis

molekuler seperti

peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh diri sel terprogram. Hal ini
7

berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya benjolan
pada jaringan. Neoplasma dapat terjadi pada semua sel yang ada di leher entah itu kelenjar
tiroid-adenoma tiroid, lemak-lipoma, kartilago-kondroma, jaringan limfe-limfoma maupun
akibat dari metastase kanker dari organ di luar leher.
1

Anamnesis dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis


Jika ditemukan pasien dengan keluhan benjolan di leher, maka beberapa hal yang
perlu dilakukan pada pasien untuk mengarahkan diagnosis adalah sebagai berikut:

2.4 KarsinomaNasofaring
Definisi
Diperkirakan kira-kira 80%-90% keganasan nasopharynx adalah berkembang dari
sel epithelium.Terdapat 3 jenis carcinoma nasopharynx berdasarkan gambaran
histopatologisnya. Menurut WHO, dibagi:
o -WHO type 1,atau squamous karsinoma sel
o -WHO type 2,atau non-keratin carcinoma
o -WHO type 3,atau undifferentiated karsinoma
Epidemiologi
Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan tertinggi didaerah leher dari bidang
ilmu penyakit THT . Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring
dan tempat predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi
sehingga sulit mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan
gejalanya yang tidak khas.Angka kematiannya cukup tinggi.Di Indonesia penyakit ini
termasuk dalam sepuluh besar keganasan dari seluruh tubuh.Banyak menyerang pada
usia 40-60 tahun, perbandingannya antara laki-laki dan perempuan 2,5:1.4
Etiologi
Faktor Pencetus karsinoma nasofaring ada berbagai macam, antara lain :
Genetik : HLA-A2, HLA-B.sin
Virus : Epstein Barr

DNA pada epitel sel tumor

Antibodi anti EBV

Lingkungan (paparan bahan-bahan karsinogenik) ;

Nitrosamin

Asap kayu bakar

Herbal tea
10

Higiene buruk

Ventilasi buruk

Ikan asin, kebiasaan mengkonsumsi ikan asin jangka panjang merupakan mediator
utama yang bisa mengaktifkan virus Epstein-Barr.Diduga ikan asin ini mengandung
hasil metabolisme protein yang disebut dengan nitrosmin. Begitu pula dengan
makanan yang diawetkan.
Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup. Misalnya kebiasaan membakar
didalam rumah, memasak dengan kayu bakar dan ventilasi rumah juga tidak
mencukupi.
Kontak dengan zat karsinogen, misalnya pekerja pabrik bahan-bahan kimia.
Ras dan keturunan. Kanker nasofaring paling sering ditemukan pada ras mongoloid
atau keturunan cina. Serta lebih sering dialami laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2,18 :1.Hampir 60% ditemukan pada kisaran usia 25-60 tahun.
Radang kronis nasofaring yang sering mengganggu proses pembersih secara alami
sehingga bisa memicu virus yang dapat menyebabkan kanker.
Histopatologi
Karsinoma nasofaring adalah tumor asal epidermoid.
Kriteria WHO:

Tipe 1 : Keratinizing squamous cell carcinoma, (karsinoma sel squamous

berkeratin)
Tipe 2a: Non-Keratinizing squamous cell carcinoma, (karsinoma sel squamousa

tidak berkeratin )
Tipe 2b: Undifferentiated carcinoma, (karsinoma tidak berdifferensiasi)

Patogenesis
Virus Epstein-Barr adalah berkaitan rapat dengan karsinoma nasopharynx.Titer
antibodi (imunnoglobulin A) terhadap virus ini akan meningkat bagi setiap penderita
11

karsinoma nasopharynx.Maka ia di gunakan sebagai tumor maker.untuk menilai


keberkesanan terapi.Menurut pemerhatian bahawa 80% penderita nasopharynx
carsinoma menunjukkan adanya produk BCL2.Produk ini menyebabkan terjadinya
penghalangan proses apoptosis.Ini menyebabkan perkembangan kanser tersebut.Menurut
pemerhatian,memakan ikan asin dan bahan kimia tertentu dapat memicu terjadinya
kanser nasopharynx karsinoma tersebut.4
Stadium tumor
T :Tumor pada nasofaring

Tis :Tumor insitu


T1 :Tumor terbatas pada satu tempat /sisi atau tumor tak tampak (hanya dengan

biopsy.
T2 : Tumor mengenai dua tempat
T3 :Ekstensi tumor kecavum nasi dan orofaring
T4 :Tumor invasi dasar tengkorak dan nervi cranialis.

N :Metastasis pada kelenjar limfe

NO :Tidak ada metastase kelenjar limfe


N1 :Tunggal,ipsilateral, 3 cm
N2a :Tunggal ipsilateral, 3-6 cm.
N2b :Multipel ipsilateral, 6 cm.
N2c :Bilateral, 6 cm.
N3 :Metastase pada nodus cm

M :Metastasis

M0
M1

:Tidak ada metastasis


:Ada metastasis jauh

Gejala klinik
Asal tumor adalah dari epitel sel squamos pada daerah nasofaring dan tempat
predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi sehingga sulit
mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda dan gejalanya yang tidak
khas. Adapun tanda ataupun gejala yang timbul tergantung dimana perluasan tumor.4

12

Apabila perluasannya ke arah atas, penderita akan merasakan diplopia. Apabila


perluasannya ke arah lateral, Sebelumnya penderita merasakan adanya lendir dibelakang
hidung terus menerus yang tidak bisa dikeluarkan, rasa penuh ditelinga, telinga
berdenging/gembrebeg (tinnitus), otalgia, adanya radang pada telinga tengah sampai
dengan terjadinya robekan gendang telingan tanpa sebab yang jelas, dan tidak sembuh
dengan pengobatan serta terjadi berulang-ulang. Hal ini Karena adanya tumor pada
daerah tenggorok bagian atas (nasofaring ) menutupi saluran yang menuju keliang
telinga tengah (oklusib Tuba eustachi ).
Bila tumor sudah membesar (stadium lanjut), maka ia dapat meluas kerongga hidung
bagian belakang ( koana ) dengan keluhan adanya hidung tersumbat ataupun mimisan
bercampur dengan ingus dalam jumlah yang bervariasi .Keluhan pada tenggorok
merupakan gangguan bicara,bernafas dan menelan dapat dijumpai bila tumor sudah
membesar karena mendesak kerongga tenggorok.4
Sementara keluhan penglihatan dobel, karena tumor sudah meluas kedasar tengkorak
sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada syaraf-syaraf otot penggerak bola mata, dan
mata menjadi juling yakni nervus okulomotorius dan abdusen. Adanya gejala neurology
pada syaraf cranial seperti nyeri kepala dan nyeri disekitar wajah juga sering dijumpai
pada penderita kanker tenggorok akibat dari penekanan tumor pada syaraf disekitar
kepala yakni nervus trigeminus, glossofaringeus, vagus, assesorius .
Stadium lanjut, karsinomanya mengalami metastasis ke kelenjar getah bening
bermanifestasi sebagai benjolan yang teraba keras umumnya pada rantai kelenjar limfe
jugularis profunda superior.4
Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah
kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu
sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan Waters
menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak
memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media. Pemeriksaan
darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi metastasis
(Nasir,2008). Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E13

B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi


pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat
jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsy (Krishnakat, Samir,2002 dan Nasir, 2008). Biopsi melalui mulut
dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung
kateter yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter
yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring.
Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas.
Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topical dengan Xylocain
10%.
Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan
dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan anti virus.4
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan
kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan). Berbagai macam
kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan cis
platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi cis platinum, bleomycin, dan 5 fluorouracil
sedang dikembangkan di bagaian THT FKUI dengan hasil sementara cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
epirubicin dan cis platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kehidupan yang cukup baik.

14

Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari


sebelum diberikan radiasi yang bersifat *radio sensitizer* memperlihatkan hasil yang
memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasopharing.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadapa benjolan dileher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran
selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologik.Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh
(residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.4
Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut
rasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak banyak yang dapat dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan
dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan
mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya aar liur. Gangguan
lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena
fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang
kadang muntah dan rasa mual.4
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana
tumor tetap ada atau kambuh kembali. Dapat pula timbul metastasis jauh pasca
pengobatan seperti ketulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak
banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simptomatis untuk
meningkatan kualitas hidup.
Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didaerah dengan resiko
tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat
lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara masak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan bahan yang berbahaya. Penyuluhan
mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi
dahn berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan kemungkinan faktor penyebab.
15

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal yang akan
mendatangkan manfaat dalam menemukan karsinoma nasopharing secara dini.4
Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari
leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan
hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi
sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi
dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan
penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang
menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis
paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering
dihindari dengan perawatan gigi yang tepat.

2.1

Karsinoma Tiroid
Patogenesis
Difrensiasi
Sel Normal

Sel Kanker

Onkogen

Radiasi

Protoonkogen

Proses

: Inisiasi
Promosi
Progresi
16

Pada keadaan awal dimana sel sel tiroid dalam keadaan normal Namun setelah ada
paparan dengan bahan bahan karsinogenik seperti terlihat pada bagan yakni radiasi maka
sel normal tersebut dapat berubah menjadi sel kanker, dimana sel kanker juga melalui
beberapa tahap, yakni Inisiasi, yakni dimana terjadi amplifikasi dari DNA Namun Belum
menimbulkan ekspresi gen, sehingga pada tahapo ini dapat dikatakan bahwa jumlah dari
gen gen meningkat Namun belum menimbulkan efek kepada sel itu sendiri, Namun pada
proses promosi dimana pada tahap ini terpapar lagi oleh bahan bahan karsinogenik dapat
serupa dengan bahan pada saat tahap inisisai Namun dapat pula berbeda, pada tahap ini
terjadi ekspresi gen dimana sel sel telah menjadi sel abnormal Namun pada tahap ini sel
sel tersebut bersifat reversible dengan kata lain apabila pada tahap ini kita dapat
mengobati dengan komplit maka sel tersebut dapat kembali menjadi sel normal kembali
Namun apabila tidak komplit maka dapat menjadi sel kanker, dan selanjutnya pada tahap
progresi maka terjadi perubahan serta perbanyakan sel secara cepat dan tidak terkendali
lagi.4
Dan perubahan dari sel normal menjadi sel kanker perlu digarisbawahi juga bahwa
disini terjadi perubahan dari protoonkogen menjadi onkogen, dan terjadi inaktivasi dari
supresor sehingga tidak ada lagi penghambat bagi sel tersebut untuk terus
memperbanyak diri, maka jadilah sel normal tersebut menjadi sel ganas.
Etiologi
Etiologi yang pasti dari karsinoma ini belum diketahui. Dari beberapa penelitian,
dijumpai beberapa faktor yang berperan dalam patogenesis karsinoma tiroid yaitu
genetik dan lingkungan. Karsinoma papiler dipengaruhi oleh faktor lingkungan
(iodine),genetik dan hormonal serta interaksi diantara ketiga faktor tersebut. Sedangkan
pada karsinoma folikular radiasi merupakan faktor penyebab terjadinya karsinoma ini.
Faktor yang berperan pada karsinoma meduler adalah genetik dan sampai saat ini belum
diketahui karsinogen yang menjadi penyebab berkembangnya karsinoma meduler dan
anaplastik. Diperkirakan karsinoma anaplastik tiroid berasal dari perubahan karsinoma
tiroid berdiferensiasi baik (papiler dan folikular) dengan kemungkinan jenis folikular dua
kali lebih besar.
Gambaran Klinik
17

Pada karsinoma tiroid ini terdapat beberapa tipe, dan masing masing tipe tersebut
juga berbeda gambaran kliniknya, adapula pembagiannya ialah :4
a

Epitelial

Adenokarsinoma papiller
Adenokarsinoma folikuler
Undifferentiated karsinoma/anaplastia
Small cell karsinoma
Giant ceel karsinoma
Spindle cell karsinoma

Karsinoma meduller
Squamos cell karsinoma

Non Epitelial

Limphoma
Sarcoma
Metastasis tumor
Malignant teratoma
Unclassified tumor

Well Differentiated

Type papiller
Type folikuler
Type medulle

Undifferentiated

Type anaplastik

Pemeriksaan Tambahan
Untuk pemeriksaan tambahan guna dapat mendiagnosis karsinoma tiroid kita dapat
lakukan sesuai dengan type karsinoma itu sendiri, yang antara lain :
18

1. Adenokarsinoma Papiller
Tumor biasanya dapar diraba dengan mudah dan umunya dapat pula dilihat. Yang
khas untuk tumor tiroid ialah tumor ikut dengan gerakan menelan.
Ultrasonografi dapat dilakukan untuk membedakan nodul kistik atau padat dan
menentukan volume tumor.Pemeriksaan Roentgen berguna untuk melihat dorongan dan
tekanan pada trakea serta kalsifikasi didalam jaringan tiroid.Foto thorax dibuat untuk
melihat kemungkinan penyebaran kemediastinum bagaian atas atau keparu.4
Pemeriksaan sidik radioaktif tiroid dilakukan dengan yodium 131. Berdasarkan
banyaknya yodium yang ditangkap oleh nodul tiroid dikenal nodul dingin, yaitu nodul
yang menangkap yodium lebih sedikit dibandingkan sel kelenjar normal, atau tidak
menangkat sama sekali. Nodul hangat menangkap yodium radioaktif sama banyak
dengan kelenjar normal, dan nodul panas menangkap yodium radioaktif lebih banyak.
Karsinoma papiller biasanya kurang menangkap yodium atau sama sekali tidak
menagkap.
Biopsi insisi dianjurkanpada karsinoma tiroid yang masih layak bedah. Biopsi
aspirasi jarum halus dapat dilakukan tetapi ketepatan diagnosis tergantung kepada
kejelian ahli patologi atau sitologi.
2. Adenokarsinoma Meduler
Jika dicurigai Adenokarsinoma meduler maka dilakukan pemeriksaan kadar
kalsitonin dalam darah sebelum atau sesudah suntikan pentagastrin atau kalsium.

Adenokarsinoma Anaplastik
Pada anamnesis ditemukan struma yang telah diderita cukup lama dan kemudian
membesar dengan cepat. Bila disertai suara parau harus dicurigai Adenikarsinoma
Anaplastik.
Pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen torax dan seluruh tulang tubuh
dilakukan untuk mencari metastasis keorgan tersebut.
19

Penatalaksanaan
Untuk penataksanaan karsinoma tiroid dilakukan sesuai dengan masing masing tipe
karsinoma tiroid :4
Adenokarsinoma Papiller
Pada struma nodul tunggal sebainya tidak dilakukan enukleasi, sebab bila hasil
pemeriksaan patologi ternyata ganas maka sel tumor sudah tercecer dan pembedahan
berikutnya menjadi tidak sempurna lagi. Harus diingat bahwa sebagian struma nodul
tunggal adalah ganas, dan juga nodul yang terba tunggal adalah tunggal mungkin
merupakan bagian struma multinodusa. Nodul soliter jinak jarang terdapat pada anak,
pria (semua umur), dan wanit dibawah 40 tahun. Bila ditemukan struma nodul tunggal
pada golongan tersebut harus dianggap suatu keganasan dan dilakukan istmolobektomi.
Pada pemeriksaan histopatologi, sekitar 10% menunjukkan keganasan dan biasanya jenis
adenokarsinoma papiller.
Bila ditemukan pembesaran kelenjar limfe leher, kemungkinan besar telah terjadi
penyebaran melalui saluran limfe didalam kelenjar sehingga perlu dilakukan tiroidektomi
total dan diseksi kelenjar leher pada sisi yang sama.
Diseksi leher merupakan pengeluaran semua kelenjar limfe leher. Bila tidak ada
penyusupan struktur diluar kelenjar getah bening, diseksi dapat dibatasi pada kelenjar
getah bening saja, artinya m. Sternocleidomastyoideus, n. Accesorius dan v. Jugularis
interna tidak turut diangkat./ Bedah diseksi leher yang dimodifikasi ini menguntungkan,
karena pengangkatan m. Sternocleidomastoideus dan atrofi m trapezius mengakibatkan
gangguan kosmetik yang mencolok sekali. Atrofi m. Trapezius disebabkan karena
putusnya n. Accesorius pada pengeluaran m sternocleidomastoideus.
Penyulit tiroidektomi terpenting adalah gangguan n laryngeus inferior (n. Recurrens)
dan hipoparatiroid. Pada setiap tiroidektomi n recurrens harus dipisahkan untuk
mencegah cedera.
Pengobatan dengan radioaktif tidak memberi hasil karena adenokarsinoma papiller
pada umumnya tidak menyerap yodium. Pascatiroidektomi total ternyata yodium dapat
ditangkap oleh sel anak sebar tumor papiller tertentu sehingga pemberian pada keadaan
20

itu yodium radioaktif bermanfaat. Radiasi ekstern dapat diberikan bila tidak terdapat
fasilitas radiasi intern. Metastasis ditanggulangi secara ablasio radioaktif.
Adenokarsinoma Folikuler
Pembedahan untuk adenokarsinoma folikuler adalah tiroidektomi total. Karena sel
karsinoma ini menangkap yodium, maka radioterapi dengan Y 131 dapat digunakan. Bila
masih tersisa ataupun terdapat metastasis, maka dilakukan pemberian yodium radioaktif
ini.
Radiasi ekstern untuk metastasis ternyata memberi hasil yang cukup baik.
Adenokarsinima Meduler
Penanggulangan tumor ini adalah tiroidektomi total. Pemberian radioterapi tidak
memuaskan. Pemberian yodium radioaktif juga tidak akan berhasil karena tumor ini
berasal dari sel C sehingga tidak menangkap dan menyerap yodium.
Adenokarsinoma Anaplastik
Pembedahan biasanya sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga hanya dapat
dilakukan biopsi insisi untuk mengetahui jenis karsinoma. Satu satunya terapi yang bisa
diberikan adalah radiasi ekstern.
Penatalaksanaan
Prognosis
Untuk prognosis dari karsinoma tiroid ini, maka dapat dikatakan bahwa
Adenokarsinoma Papiller mempunyai prognosis yang bagus jika dibandingkan dengan tipe
yang lainnya, sedangkan untuk Adenokarsinoma Anaplastik mempunya prognosis yang
buruk jika dibanding denga tipe adenokarsinoma tiroid yang lainnya. Dan untuk
adenokarsinoma folikuler mempunyai prognosis bagus jika tipenya mikroinvasif.
Komplikasi
Karena untuk adenokarsimona tiroid ini ditangani sebagian besar dengan tiroidektomi total
maka ada beberapa komplikasi dari tindakan tersebut, yang antara lain :

21

Durante Operasi

Perdarahan
Krisis tiroid
Cedera nervus, trakea dan esofagus
Pratiroid terangkat

Pasca operasi

Hematoma
Tracheomalacia
Hipokalsemia
Suara parau/ hilang
Tersedak

2.5 Karsinoma Laring


Definisi
Karsinoma laring merupakan keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau
daerah lainnya di tenggorokan.
Etiologi dan Patogenesis
Etiologi karsinoma laring sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi para
ahli menghubungkannya dengan bahan asing yang mengakibatkan iritasi kronis pada
laring, sehingga dengan kemajuan industri dan perubahan kebiasaan mungkin
insidensinya akan meningkat.
Bahan "agent" karsinogen/prekarsinogen larings.
Agent

Ditemukan di / dalam

Asbes

lingkungan, produk pabrik, tambang

Etanol

diet

Gas mustard

produk pabrik

Nikel

produk pabrik, tambang

22

Polisiklik hidrokarbon

lingkungan, produk pabrik

Tembakau, nitrosamin

rokok

Minyak, bahan kimia (hidrokarbon,

produk pabrik

vinyl, benzen dan sebagainya).

Di dalam asap rokok sigaret terkandung suatu senyawa polisiklik aromatik


hidrokarbon yang merupakan bahan bersifat prekarsinogen. Sedang di dalam tubuh
manusia terdapat sistem ensim arilhidrokarbonhidroksilase yang mampu mengubah
bahan prekarsinogen (polisiklik aromatik hidrokarbon) menjadi karsinogen. Makin tinggi
kadar kandungan AHH di dalam tubuh seseorang, makin tinggi pula risiko untuk
menderita karsinoma laring.
Gejala klinis
Gejala awal yang memaksa penderita datang berobat umumnya karena perubahan
suara serak. Dokter yang memeriksa pertama kali biasanya menghubungkannya dengan
penyakit infeksi tuberkulosa laring. Suara serak menunjukkan adanya gangguan
mekanisme getar pita suara karena adanya penambahan masa laring, kerusakan atau
kelumpuhan. Hal ini dapat terjadi pada semua tingkat usia. Suara serak, akibat
penambahan massa dapat terjadi pada radang atau trauma yang menyebabkan edema
laring. Penambahan massa oleh tumor disebabkan oleh perubahan struktur histologis
secara bertahap. Oleh karena itu akan mudah dibedakan kelainan suara serak secara akut
dan disebabkan karena trauma, radang akut atau benda asing, sedangkan kelainan yang
berlangsung kronis mungkin disebabkan radang kronis atau tumor. Pada tumor laring
suara serak dimulai dengan gejala hilang timbul yang berjalan progresif dan akhirnya
menetap. Biasanya gejala dini berupa suara serak pada pagi hari tanpa disertai gejala
batuk. Bilamana disertai batuk umumnya berupa batuk kering non produktif .
Karsinoma laring berdasarkan lokasi anatomis dibedakan atas karsinoma laring
supraglotis, glotis dan subglotis. Karsinoma laring glotis dan subglotis akan
menimbulkan gejala suara serak, sedangkan karsinoma laring supraglotis pada keadaan
awal tidak memberikan gangguan suara penderita.
23

Penatalaksanaan
Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan, radiasi
dan sitostatika, ataupun kombinasi daripadanya.

Pembedahan
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari :
A. Laringektomi
1. Laringektomi parsial
Laringektomi parsial diindikasikan untuk karsinoma laring stadium I yang tidak
memungkinkan dilakukan radiasi, dan tumor stadium II.
2. Laringektomi total
Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas
(epiglotis dan os hioid) sampai batas bawah cincin trakea.
B. Diseksi leher radikal
Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 T2) karena kemungkinan
metastaseke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan tumorsupraglotis, subglotis
dan tumor glotisstadium lanjut sering kali mengadakanmetastase ke kelenjar limfe
leher sehingga perlu dilakukan tindakan diseksi leher.
Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.
Radioterapi
Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan supraglotis T1 dan
T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%). Keuntungan dengan cara
ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang
dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai dosis total 6000 7000 rad.

24

Radioterapi dengan dosis menengah telah pula dilakukan oleh Ogura, Som,
Wang, dkk, untuk tumor-tumor tertentu. Konsepnya adalah untuk memperoleh
kerusakan maksimal dari tumor tanpa kerusakan yang tidak dapat disembuhkan
pada jaringan yang melapisinya. Wang dan Schulz memberikan 45005000 rad
selama 46 minggu diikuti dengan laringektomi total.
Kemoterapi
Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun
paliativ.

Obat

yang

diberikan

adalah

cisplatinum

80120

mg/m2

dan 5 FU 8001000 mg/m2.


Rehabilitasi
Rehabilitasi setelah operasi sangat

penting karena telah diketahui bahwa

tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik.
rehabilitasi mencakup : Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social
Rehabilitation.

Prognosa
Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan
kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival pada karsinoma
laring stadium I 90 98% stadium II 75 85%, stadium III 60 70% dan stadium
IV 40 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan 5 year
survival rate sebesar 50%.

2.6

Limfoma Hodgkin

DEFINISI
Penyakit Hodgkin adalah keganasan system limforetikuler dan jaringan pendukungnya yang
sering menyerang kelenjar getah bening dan disertai gambaran histopatologi yang khas. Ciri

25

histopatologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed Steinberg atau variannya yang
disebut sel Hodgkin dan gambaran pleimorfik kelenjar getah bening.
KLASIFIKASI LIMFOMA HODGKIN
Tabel 2. klasifikasi limfoma Hodgkin.

Limphocyte-predominan (LP)

Mixed cellularity (MC)

Lymphocyte-depletion (LD)

Noduler-sclerosis (NS)

Dalam manajemen penyakit ini identifikasi subtype histopatologi merupakan prosedur


penting. Sebab ada kaitannya dengan terapi dan prognosis. Parameter identitas subtype lebih
banyak pada kuantitas sel datia Reed-Steinberg, limfosit dan reaksi jaringan ikat.
PATOLOGI

Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat dengan
limfoma malignum. Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi dari penyakit
Hodgkin ada baiknya kita mengetahui tentang klasifikasi dari penyakit-penyakit tersebut4
Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan
Butler sesuai keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi ini
penyakit Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
1.

Tipe Lymphocyte Predominant


Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel
limfosit yang dewasa, beberapa sel Reed-Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak
muda. Prognosisnya baik.

44 Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi


(Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, p 160. 1996.
26

2.

Tipe Mixed Cellularity


Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil, neutrofil,
limfosit dan banyak didapatkan sel Reed-Sternberg. Dan merupakan penyakit yang luas
dan mengenai organ ekstranodul. Sering pula disertai gejala sistemik seperti demam, berat
badan menurun dan berkeringat. Prognosisnya lebih buruk.

3.

Tipe Lymphocyte Depleted


Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed-Sternberg banyak
sekali dan hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan cenderung
merupakan proses yang luas (agresif) dengan gejala sistemik. Prognosis buruk.

4.

Tipe Nodular Sclerosis


Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering dilaporkan
sel Reed-Sternberg yang atifik yang disebut sel Hodgkin. Sering didapatkan pada wanita
muda / remaja. Sering menyerang kelenjar mediastinum.

Namun ada bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya golongan


Nodular Sclerosis (NS) ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte Predominant NS=LP-NS),
ada yang limfositnya sedikit (Lymphocyte-Depleted NS=LD-NS) dan sebagainya. Demikian
pula golongan Mixed Cellularity (MC), ada yang limfositnya banyak (LP-MC), ada yang
sedikit (LD-MC).1
Penyakit ini mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus perifer tunggal dan
perkembangan selanjutnya dengan penjalaran di dalam system limfatik. Mungkin bahwa sel
Reed-Sternberg yang khas dan sel lebih kecil, abnormal, bersifat neoplastik dan mungkin
bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon.hipersensitivitas untuk
hospes. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi,
perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar ke jaringan non limfatik 4
PATOGENESIS
11 Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. JIlid
II. Edisi 3. Bagian IlmuPenyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
27

Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa penyakit
Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi) yang
berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit Hodgkin
merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel transformasi.
Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed-Sternberg tidak
membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak memiliki
komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan dari penderita
dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed-Sternberg.5
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan antigen
permukaan dengan sejumlah kecil sel dendrit pada daerah parafolikel nodus limfatik.
Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam pengenalan
antigen oleh sel T ?. Berkurangnya kapasitas memberitahukan antigen berkaitan dengan
transformasi neoplasi sel dendritik, mungkin menjelaskan adanya gangguan imunitas sel-T,
yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin.
Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini kini harus
dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan. Diketahui bahwa sel
Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit Hodgkin. Apakah yang menyebabkan
transformasi ini ?. Selama bertahun-tahun etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diduga.
Beberapa laporan telah menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit
Hodgkin. Tetapi tidak ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS yang dibiakkan, tidak
mendukung peran EBV sebagai penyebab penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi
infeksi penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat laporan yang menunujukkan
kemungkinan adanya suatu pengelompokan penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah
menengah tertentu.6
44 Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi
(Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 1995
55 Diehl, V., et al. : Characteristic of Hodgkin`s disease derived cell lines. Cancer Treat. Rep. 66:615, 1982

66 Vianna, N. J, and Polan, A.K : Epidemiologic evidence for transmission of


Hodgkin`s disease N. Engl. J. Med. 289:499, 1973
28

Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal penyakit
Hodgkin.7 Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah limfonodus
perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam system lmfatik.
Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebuh kecil, abnormal yang menyertai
(sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang
yang terdapat bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas oleh hospes, manfaat yang
menentukan pola evolusi. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi histologis.
Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan
alamiah penyakit ini adalah menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik.4
ETIOLOGI
Banyak kemajuan telah dicapai dalam bidang biologi penyakit ini. Meskipun masih banyak
yang belum mapan. Seperti pada keganasan yang lain penyebab penyakit Hodgkin ini
multifaktorial dan belum jelas benar. Perubahan genetic, disregulasi gen-gen factor
pertumbuhan, virus dan efek imunologis, semuanya dapat merupakan factor tumorigenik
penyakit ini.
Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai
sekarang. Kejangkitan limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan ada
kaitannya dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga menderita limfoma Hodgkin,
maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar dibanding dengan orang lain yang
tidak termasuk keluarga itu. Pada orang hidup berkelompok insiden limfoma Hodgkin
cenderung lebih banyak.
GAMBARAN KLINIS
Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit local dan kemudian menyebar ke
struktur limfoid didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non limfoid dengan
kemungkinan kematian pasien. Pasien penyakit Hodgkin umumnya datang dengan adanya
77 Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkins disease, Seamaoned 7 : 92, 1980.

44 Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi


(Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 1996.
29

massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah digerakkan dan biasanya tidak nyeri
tekan. Sekitar separuh pasien datang dengan adenopati di leher atau daerah supraklavikula
dan lebih dari 70 persen pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superfisial.
Karena kelenjar tersebut umumnya tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat
sampai kelenjar limfe cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati
mediastinum. Hal ini kadang-kadang pertama kali dideteksi pada pemeriksaan sinar-x toraks
rutin. Kelenjar limfe yang terkena pada penyakit Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial
dan berlainan dengan yang terkena pada limfoma non Hodgkin yang memperlihatkan
kecenderungan sentrifugal mengenai kelenjar limfe epitroklear, cincin waldeyer dan
abdomen.
Pada 2-5 persen pasien, kelenjar limfe atau jaringan lain yang terkena penyakit
Hodgkin dapat tersa nyeri setelah minum minuman beralkohol. Pertumbuhan kelenjar limfe
cukup bervariasi, beberapa lesi dapat menetap dalam jangka lama, sedangkan pada kelenjar
yang lain terjadi regresi spontan dan temporer.
Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit mengalami gejla yang
berkaitan dengan penyakitnya. Gejala terssering adalah demam ringan yang mungkin disertai
keringat malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam mungkin merupakan satu-satunya
keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami demam naik turun disertai banyak keringat
malam (demam Pel-Epstein). Demam ini dapat menetap selama beberapa minggu, diikuti
oleh interval afebris. Demam dan keringat malam lebih sering ditemukan pada pasien tua dan
pada pasien dengan penyakit stadium lanjut.
Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10 persen dalam
6 bulan atau kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering ditemukan adalah rasa
lemah, malaise dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar 10n persen pasien pada saat
diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan mungkin berkaitan dengan ruam kulit atau
walaupun jarang merupakan satu-satunya gejala penyakit.
Kelainan mediastinum, paru, pleura atau pericardium mungkin disertai batuk, nyeri
dada, sesak napas atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin disertai nyeri
tulang. Kadang-kadng pasien datang dengan gejala sumbatan vena kava superior sebagai
gejala awal. Kompresi mendadak korda spinalis dapat merupakan gejala awal tetapi biasanya
30

merupakan penyulit penyakit progresif stadium lanjut. Nyeri kepala atau gangguan
penglihatan dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Hodgkin intrakranium dan
ketrlibatan abdomen menimbulkan nyeri abdomen, gangguan usus dan bahkan asites.
STADIUM PENYAKIT.
Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging :

Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh.

Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada
jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi
organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit.
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi

sesuai konferensi Cotswald.1


Table 3. Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.
Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi
diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip
angka, misal : II2, II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
11 Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
31

Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang


tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).

A : bila tanpa gejala sistemik


B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan 38C yang tak jelas
sebabnya; penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap
kombinasi dari 3 gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit ini.
X : bila ada bulky mass ( 1/3 lebar thorax dan 10 cm untuk ukuran kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena.

Table 2. Prosedur yang diperlukan untuk menentukan tingkat (stadium)


penyakit Hodgkin.1
I. Riwayat dan pemeriksaan :
Identifikasi gejala-gejala sistemik
II. Prosedur-prosedur radiologis :
11 Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
32

Foto dada biasa

CT-Scan dada (bila foto dada abnormal)

CT-Scan abdomen dan pelvis

Limfografi bipedal
III. Prosedur-prosedur hematologis :

Darah lengkap dan hitung jenis

LED

Aspirasi dan biopsy sumsum tulang


IV. Prosedur biokimiawi

Tes faal hati

Serum albumin, LDH, Ca


V. Prosedur untuk hal-hal khusus :

Laparatomi (diagnostic dan staging)

USG abdomen

MRI

Gallium scanning

Technetium bone scan

Scan hati dan limpa

33

DIAGNOSIS KLINIS
1. KLINIS (ANAMNESIS)
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila
ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam,
keringat dan gatal
2. PEMERIKSAAN FISIK
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikular, aksiler
dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan
untuk menentukan kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlihat perlu
diperiksa gastrointestinal sebab sering terlihat bersama-sama.
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian
penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit.
atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik
atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang
yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan
besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang
sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan
pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang
menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute limfositopenia absoluit (<1000 sel per
millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah
dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indicator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi
pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat
penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam
laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam
serum.
34

4. SITOLOGI BIOPSI ASPIRASI


Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis pendahuluan
limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik
kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma malignum.
Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun LNH adalah adanya
negatif palsu dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole di beberapa tempat
permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran
klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
5. HISTOPATOLOGI
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype
histopatologi walaupun sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan
bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsy
tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di
leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular tidak
dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsy dilakukan dibawah anestesi umum
untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat
mengacaukan pemeriksaan jaringan.
6. RADIOLOGI
Termasuk didalamnya :
1. foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca
aortal
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus
menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH

35

PENATALAKSANAAN
Terapi dapat dilihat dari beberapa aspek:
a.

Penyakit yang sudah atau belum pernah diobati.

b.

Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)

c.

Akan memakai sarana-terapi-tunggal (radioterapi atau kemoterapi saja) atau


sarana terapi kombinasi (sarana terapi kombinasi bukan kemoterapikombinasi).
Kemoterapi penyakit ini dapat kemoterapi tunggal (memakai satu obat),

kemoterapi kombinasi (memakai banyak obat) dan akhir-akhir ini dikembangkan


kemoterapi dosis tinggi plus pencangkokan Stem Cell Autologus untuk rescue
(penyelamatan) aplasi system darah yang diakibatkan oleh kemoterapi dosis tinggi
tadi. (KDT + rPSC autologus).

I.1.Radioterapi saja.
Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st
I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu
untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja
perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi dibawah
diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak cukupperlu
ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang buruk
seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi + kemoterapi
(kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy) karena radioterapi saja
tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya MOPP 6x dianggap cukup sebagai
adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila tidak ada lesi dibawah diafragma
(dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk stadium IA diberikan radioterapi
extended field, untuk stadium IIA diberikan total nodal irradiation (TNI),dianggap
cukup kuratif.
I.2.

Kombinasi radioterapi + kemoterapi.

36

Untuk semua keadaan dimana ada penyakit dibawah diafragma radioterapi


harus ditambah dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap kuratif. Terapi dengan
kombinasi modalitas ini juga diindikasikan bila penyakitnya stadium IIA tetapi pasien
menolak laparotomi atau memang tidak akan dilakukan laparotomi karena ada
kontraindikasi. Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah
kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X pada
stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan radioterapi adjuvant dosis kuratif,
sesudah kemoterapi. Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka
yang menunjukkan tanda-tanda prognosis yang buruk, yaitu : 1. Massa mediastinum
yang besar.

2. B-symtoms.

3. kelainan dihilus paru.

4. histologinya bukan

Lymphocytic predominant dan 5. Stadium III.


I.3.

Kemoterapi
Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan IV

saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk
tempat-tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant pada
tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan cara ini angka kesembuhan nya
cukup tinggi. Banyak ahli Onkologi Medis memberi kemoterapi sebagai terapi utama
sejak stadium II ditambah dengan radioterapi adjuvant pada bulky mass, dengan
demikian keperluan staging laparotomy makin sedikit, bahkan tidak diperlukan lagi
karena tindakan ini terlalu invasif, sedangkan hasilnya sama saja, namun masih ada
silang pendapat terutama antara ahli radioterapi dengan ahli onkologi medis. Banyak
regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin. Ada yang mengunakan
alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent dicurigai sebagai penyebab
timbulnya kanker sekunder dan sterilitas. Adrianisin menyebabkan kelainan jantung;
Bleomisin kelainan paru; terutama bila dikombinasikan dengan radioterapi
PROGNOSIS
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup
lama dengan pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama,
kemungkinan mendapatkan late complication makin besar. Late complication itu antara lain :
1. timbulnya keganasan kedua atau sekunder
37

2. disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal


3. penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian
antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related)
4. penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga dose
related
5. pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan
2.7

Limfoma Non Hodgkin

A. Definisi
Limfoma maligna adalah suatu penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid dan
jaringan pendukunnya. Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan besar yaitu Limfoma Hodgkin
dan Limfoma non hodgkin.
Sel ganas pada limfoma hodgkin berasal dari sel retikulum dengan gambaran
histologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed-Stemberg atau variasinya yang disebut
sel hodgkin. Limfosit limfosit yang merupakan bgian integral poliferasi sel pada penyakit ini
diduga merupakan manifestasi reaksi kekebalan seluler terhadap sel-sel ganas tadi.
Sedangkan LNH pada dasarnya adalah sel limfosit yang berada pada salah satu
tingkat defernsiasinya dan berpoliferasi secara banyak
B. Epidemiologi
Limfoma maligna ditemukan diseluruh bagian dunia pada semua suku bangsa dengan
frekuensi yang berbeda-beda. Insiden limfoma maligna diberbagai negara bervariasi antara 26 penderita per 100.000 penduduk.
Beberapa LNH mempunyai pola epidemiologi yang karakteristik. Limfoma burkitt
karakteristik terjadi pada anak-anak di Afrika Tengah walaupun beberapa kasus dalam jumlah
yang kecil dengan klinis yang berbeda-beda pernah dilaporkan di Amerika Serikat.
Limfoma abdominal yang memproduksi fragmen Heavy chain of immunoglobulin di
daerah laut tengah, sedangkan di daerah lain hampir tidak pernah ditemukan.
C. Etiologi
38

Penyebab yang pasti dari limfoma maligna masih belum diketahui dengan jelas.
Walaupun demikian bukti-bukti epidemiologi, serologi dan histologi menyatakan bahwa
faktor infeksi terutama infeksi virus diduga memegang peranan penting sebagai etiologi
D. Gejala dan Klasifikasi
Untuk menentukan prognosis dan respons terhadap pengobatan penderita limfoma
maligna selain menentukan stadium klinis juga harus ditentukan klasifikasi histopatologinya.
IWF
*Low Grade Lymphoma
- small lymphocyte
- Folliculer, small cleaved cell
- Folliculer, mixed small cleaved
- Folliculer, mixed small cleaved and
large cell
*Intermediate Grade Lymphoma
-Folliculer, large cell
-Diffuse, small cleaved cell
-Diffuse, mixed (small and large cell)
-Difuse, large cell
*High Grade
-Immunoblastik (large cell)
-Lymphoblastic
-Small non cleaved cell
Keterangan
DLWD
NLPD
DLPD
DML
DHL
DUL
NML
NH
NC
FCC
Lbl
C
S
Lg
D

Raport

Lukes & collins

DLWD
NLPD
NML

SL
SC-FCC
SC-FCC; Lg C-Fcc

NH
DLPD
DM
DH

Lg C; Lg NC-FCC
SC-FCC-D
SC-D; Lg C-D
LgC-Fcc-D; LgNC-Fcc-D

Lymphoblastic
Burkit

Lb1 sarcoma
Convulated T cell
SNC-FCC

=Diffuse Lymphocyte Well Differentiated


= Noduler Lymphocytic poorly Differentiated
= Diffuse Lymphocytic poorly Differentiated
= Diffuse Mixed Lymphoma
= Diffuse Hitiocytic Lymphoma
= diffuse Undifferentiated lymphoma
= Noduler mixed lymphoma
= Noduler Histiocytic
= Non cleaved
= Folliculer centre cell
= Lymphoblastic
= Cleaved
= Small
= Large
= Diffuse
Gejala klinis meliputi keluhan keluhan penderita dan gejala sistemik, pembesaran

kelenjar dan penyebaran ektra nodal. Pembesaran kelenjar getah bening merupakan keluhan
39

utama sebagian besar penderita limfoma maligna yaitu 56,1%. Urutan kelenjar getah bening
yang paling sering terkena adalah kelenjar servikal (78,1%), kelenjar inguinal (65,6%),
kelenjar aksiler (46,6%), kelenjar mediastinal (21,8%), kelenjar mesenterial (6,2%).
Penyebaran extra nodal yang paling sering dijumpai adalah ke hepar, pleura, paru-paru dan
sum-sum tulang. Penyebaran yang jarang tapi pernah dilaporkan adalah ke kulit, kelenjar
prostat, mammae, ginjal, kandung kencing, ovarium, testis, medula spinalis serta traktus
digestivus.
Ukurannya bervariasi, mungkin akan berikatan dengan jaringan ikat tapi mudah digerakkan
dibawah kulit. Pada jenis yang ganas dan pada penyakit yang sudah stadium lanjut sering
dijumpai gejala sistemik.
Stadium Klinis Limfoma Maligna
Untuk menentukan stadium penyakit atau menentukan luasnya penyebaran penyakit
dipakai staging menurut simposium penyakit Hodgkin di Ann Arbor yaitu Rye staging yang
disempurnakan oleh kelompok dari Stanford University yang ditetapkan pada simposium
tersebut.
Stadium klinik dari limfoma maligna menurut ANN Arbor
Stadium

Kelenjar organ yang terserang

Tumor terbats pada kelenjar getah bening di satu regio

IE

Bila mengenai satu organ ekstralimfatik/ektranodal

II

Tumor mengenai dua kelenjar getah bening di satu sisi

II

diafragma
IIE

Satu organ ekstra limfatik disertai kelenjar getah


bening di dua sisi diafragma

III

IIS

Limpa disertai kelenjar getah bening di satu diafragma

IIES

Keduanya

III

Tumor mengenai kelenjar getah bening di dua sisi


diafragma

IIIE

Satu organ ekstralimfatik disertai kelenjar getah bening


di dua sisi diafragma

IIIS

Limpa disertai kelenjar getah bening di dua sisi


40

diafragma
IV

IIIES

Keduanya

IV

Penyebaran luas pada kelenjar getah bening dan organ


ekstralimfatik

Masing-masing stadium masih dibagi lagi menjadi dua subklasifikasi A dan B


A. Bila tanpa keluhan
B. Bila terdapat keluhan sistemik sebagi berikut:
-

Panas badan yang tidak jelas sebabnya, kumat-kumatan dengan suhu diatas 38oC

Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan

Keringat malam dan gatal-gatal

E. Patogenesis
Pada sebuah penelitian Lukes mengeluarkan kelenjar getah bening regional beberapa
hari setelah vaksinasi cacar. Temyata folikel-folikel dalam kelenjar getah bening regional
akan membesar. Di samping itu jumlah sel besar ("blast like" cells) dalam centrum
germinativum akan amat meningkat hingga sebagian dari folikel-folikel ini penuh berisi selsel limfoblast yang besar tadi.Juga dalam daerah paracortex akan ditemukan. kenaikan
jumlah sel-sel yang bentuknya menyerupai limfoblast tadi. Berdasarkan data di atas Lukes
membuat suatu teori mengenai urutan transformasi limfosit bila ada rangsangan antigen .Bila
ada rangsangan antigen makal imfosit-limfosit B dalam kelenjar getah bening akan
bertransformasi menjadi sel yang intinya melekuk ( "cleaved cells"). Sel "cleaved" yang kecil
ini kemudian akan membesar dan memiliki sejumlah sitoplasma yang berwarna biru. Lukes
41

menamakannya "large cleaved cells " dan menganggap kejadian ini sebagai stadium ke2
dari proses transformasi limfosit B. Pada stadium ke3 lekukan pada inti sel tadi akan meng
hilang, inti sel berubah menjadi bulat dan tampak adanya anak inti. Sel yang dinamakannya
"small non cleaved cells' ini mempunyai sitoplasma lebih besar dari sel pada stadium 2
"Small noncleaved cells" ini akan membesar lagi hingg; diameternya mencapai 45 kali
semula. Sel yang dinamakan "large noncleaved cells " ini mempunyai inti yang jelas dan
sitoplasma yang besar serta berwarna biru tua. Stadium 1 sampai dengan 4 ini terjadi dalam
centrun germinativum sel folikel. Sel-sel pada stadium 1 s/d 3 tak banyak mengalami mitosi
sedangkan sel-sel "large noncleaved " aktif bermitosis. Sel "large noncleaved" ini
kemudian akan keluar dai folikel dan masuk ke dalam daerah paracortex. Di sini sel tersebut
akan bertransformasi menjadi sel yang mempunyai sitoplasma besar, biru tua dan beranak inti
besar biasanya hanya sebuah. Sel yang tersebut terakhir ini dinamakan imunoblast.
Imunoblast kemudian akan berubah menjadi "plasmablast" yang selanjutnya berubah menjadi
sel plasma. Sel plasmalah yang kemudian membuat imunoglobulin (antibodi). Apabila ada
antigen masuk ke dalam tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi menjadi
imunoblast. Secara morfologik amat sukar untuk membedakan imunoblast T dan imunoblast
B. Perbedaan antara proses transformasi pada limfosit T dan B adalah bahwa, pada limfosit
Tprosesinitidakmelampaui ke4 stadium diatas, serta imunoblast T tidak bertransformasi
lebih lanjut menjadi sel plasma. Sedangkan pada limfosit B, rangsangan antigen
menyebabkan transformasi sel yang akhirnya menghasilkan sel-sel plasma. Sel plasma inilah
yang membentuk antibodi ("reaksi immunitas humoral"). Penerapan pemeriksaan imunologik
pada kelenjar-kelenjar getah bening menunjukkan bahwa sel besar yang terdapat pada
centrum germinativum adalah limfosit B semata-mata. Di samping itu limfosit-limfosit B dari
centrum germinativum mempunyai kekhususan yakni memiliki reseptor yang kuat terhadap
komplemen,

di

samping

memiliki

imunoglobulin

pada

permukaan

sel

(surface

immunoglobulin). Sel plasma yang merupakan produk akhir dari limfosit B tidak lagi
memiliki imunoglobulin pada permukaan selnya. Selsel ini juga tidak memiliki reseptor
terhadap

komplemen,

namun

sebaliknya

ia

memiliki

imunoglobulin

intraseluler

(intracytoplasmic immunoglobulin). Di antara kedua stadium ini terdapat stadium prosel


plasma yang hanya memiliki imunoglobulin pada permukaan sel tanpa memiliki reseptor
pada komplemen. Di antarastadium prosel plasma dan limfosit (B) dari centrum
germinativum ada lagi suatu stadium dengan sifat imunologik tertentu pula. Sebelum limfosit
42

B menjadi limfosit centrum germinativum, ia harus melalui beberapa stadium, antara lain
stadium prolimfosit B (preB limphocyte)dsb. Semua stadium ini telah diketahui sifatsifat imunologiknya.
Para ahli hematologi di pusat-pusat penelitian ' yang besar, kemudian melakukan
pemeriksaan sitologik (cleaved cells, dsb) dan imunologik (ada tidaknya imunoglobulin pada
permukaan selnya, dsb) dari sel kanker kelenjar getah bening. Salah seorang yang
mempunyai pengalaman cukup banyak adalah Habishaw dari Inggris yang telah melakukan
pemeriksaan yang cermat pada 157 penderita kanker kelenjar getah bening jenis non
Hodgkin. Dari penelitiannya Habeshaw melihat bahwa sel-sel (imfoma malignum ini ternyata
pada umumnya dapat dibagi dalam 3 golongan besar : Golongan yang sel-selnya mempunyai
sifat morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium sel centrum
germinativum (small cleaved,large cleaved,dsb) Golongan yang sel-selnya mempunyai sifat
morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium "post follicular"
(immunoblast, proplasma cells, plasma cells,memory B cells). Golongan yang sel-selnya
mempunyai sifat morfologik maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium "pre
follicular" (preB limphocyte, dsb). Pemeriksaan semacam di atas juga menunjukkan
bahwa semua sel kanker limfoma malignum yang berasal dari limfosit B selalu mempunyai
sifat monoklonal. Maksudnya, ada limfoma malignum yang terdiri dari limfosit B pembentuk
imunoglobulin Mkappa, ada yang terdiri dari limfosit B pembentuk imunoglobulin M
lamda, Gkappa, Glamda dan seterusnya. ara peneliti lain kemudian dapat menunjukkan
bahwa frekuensi limfoma malignum pada penderita-penderita pe-nyakit imunologik jauh
lebih tinggi dari pada mereka yang tidak menderita penyakit ini, bahkan ada yang cenderung
untuk mengatakan bahwa sebagian besar penderita-penderita penyakit Syorgen akan berubah
menjadi penderita limfoma malignum. Kelainan kromosom (terutama kromosom 14) yang
didapat pada penyakit defisiensi imunologik ternyata juga ditemukan pada sel-sel limfoma
malignum. Data-data di atas menyebabkan sebagian besar peneliti beranggapan bahwa
penyakit limfoma malignum (non Hodgkin) sebenarnya hanyalah suatu reaksi imunologik
yang abnormal semata-mata. Jauh sebelum adanya hasil-hasil penelitian di atas sebenarnya
Salmon dan Saligman (1974) telah mengajukan hipotesa di atas. Hasil penelitian lebih lanjut
ternyata banyak menyokong hipotesa kedua ahli ini. Salmon dan Saligman berpendapat
bahwa penyakit limfoma malignum ini diaklbatkan oleh suatu "oncogenic event" terhadap
sekelompok limfosit B yang bereaksi terhadap suatu antigen asing. Oncogenic event ini
43

menyebabkan terjadinya hambatan transformation pada salah satu stadium transformasi sel
limfosit B. Karena stimulasi antigen ini tetap ada, sedangkan limfositlimfosit B tadi tak dapat
membentuk antibodi yang diperlukan karena transformasinya terhenti sebelum menjadi sel
plasma: reaksi imunologik ini akan terus menerus berlangsung. Akibatnya terjadilah
penimbunan sel-sel limfosit B pada salah satu (atau beberapa) stadium transformasinya.
Karena proliferasi sel ini disebabkan stimulasi suatu antigen "tertentu" maka limfosit B yang
bertransformasi hanya limfosit B yang "bersangkutan" pula. Oleh karena itu pada penyakit
limfoma malignum selalu didapat sel B yang monoklonal (immunoglobulin Mkappa, M
lamda, Gkappa dst.)
F. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis Limfoma maligna diperlukan berbagai macam
pemeriksaan, disamping untuk memastikan penyakitnya juga untuk menentukan jenis
histopatologinya maupun staging penderita
Stadium klinis
Pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan untuk menentukan stadium klinik adalah:
1. Anamnesa mengenai keluhan pembesaran kelenjar dan keluhan sistemik berupa
demam, penurunan berat badan, keringat malam dan gatal-gatal. Penderita tanpa
keluhan masuk dalam subklasifikasi A, sedangkan bila disertai keluhan sistemik
masuk dalam subklasifikasi B dari Ann Arbor.
2. Pemeriksaan fisik dengan mencari adanya pembesaran kelenjar getah bening
diseluruh tubuh, cincin waldeyer, pembesaran organ ekstra limfatik yang sering terjadi
pada limfoma non hodgkin
3. Biopsi kelenjar getah bening untuk menentukan apakah penderita LH atau LNH.
4. Pemeriksaan radiologi meliputi

foto dada PA/ lateral, tomografi mediastinum,

limfografi kedua tungkai bawah.


5. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes faal hati termasuk
alkali fosfatase dan elektroforese protein, tes faal ginjal termasuk urin lengkap, BUN,

44

serum kreatinin, asam urat dan elektrolit namun semuanya pemeriksaan ini tidak
spesifik
Stadium Patologi
Untuk menentukan stadium patologi diperlukan pemeriksaan antara lain
1. Pemeriksaan aspirasi biopsi sum-sum tulang daerah kristailiaka dengan jarum
jamshidi
2. Pemeriksaan laparaskopi dengan indikasi pada staging klinis IB, IIB, IIIA dan IIIB
3. Pemeriksaan laparatomi dengan indikasi pada staging klinik I-II (A dan B) dan IIIA
4. Pemeriksaan cairan effusi secara sitomorfologi.
Disamping pemeriksaan tersebut di atas guna penentuan stadium klinis dan patologi
masih terdapat banyak pemeriksaan yang hanya dilakukan pada pusat kedokteran tertentu
dalam rangka penelitian lanjutan untuk penderita limfoma.
Pemeriksaan yang dimaksud adalah:
a. Pemeriksaan Whole body scintigram dengan Galium-67 dan selenium 75
b. Whole body computed tomography
c. Ultrasonografi hati dan abdomen
d. Berbagai pemeriksaan immunologi guna menentukan status imunologi penderita
e. Penentuan serum ion, total iron capacity, ceruloplasmin, zinc, hepatoglobin,
fibrinogen, hydroxyprolin dalam urin, leucocyte alkali phospatase, hitung limfosit
absolut, antibodi pada virus epstein barr serta HLA
Guna menilai apakah limpa atau hati terserang terdapat kriteria sebagai berikut
Limpa

:terdapat pembesaran limpa yang ditopang dengan pemeriksaan radiologik atau


terdapat filling defek pada pemeriksaan sidikan dengan isotop. Penderita dengan
limpa yang membesar 50% tidak terdapat kelainan histologik sedangkan penderita
tanpa pembesaran limpa 50% terdapat kelainan histologik.
45

Hati

: pembesaran hati disertai dengan peningkatan alkali fosfatase dan dua tes faal hati
yang lain abnormal atau pemeriksaan sidikan hati dengan isotop abnormal disertai
suatu kelainan faal hati.

G. Terapi
Sesudah diagnosis patologi dan stagingnya ditentukan maka mulailah dipikirkan
tentang pengobatannya.
Pengobatan penderita LNH menurut klasifikasi rapport
Patologi

Definisi

Stadiu

Pengobatan

m
Unfavourable

Semua

limfoma

difus I, II

Radiasi dari kelenjar yang terserang

histologi

kecuali DLWD (DLPD,

disertai

DH, DM, DU, NH)

ajuvant C-MOPP, BACOP, CVP

pemberian

kemoterapi

atau ABP
III, IV

kemoterapi CVP, C-MOPP, BACOP,


CHOP, BCM, ABP

Favourable
histologi

Semua limfoma noduler


kecuali noduler histiocytic

Radiasi pada daerah yang terserang


atau sedikit meluas
Kemoterapi

II,III,IV

menggunakan

chlorambucil atau kombinasi CVP.


Radioterapi diperlukan untuk tumor
besar disatu tempat

Keterangan:
C-MOPP

: Cyclophosphamide, Vincristine, procarbazine, prednisolone

CVP

: Cyclophosphamide, Vincristine, prednisolone

BACOP

: Bleomycine, adriamycine, Cyclophospamide, vincristine, prednisolone

CHOP

: Adriamycine, Bleomycine, prednisolone

Pengobatan penderita dengan LNH menurut klasifikasi IWF


46

Gradasi
Rendah

Lokal
Radiasi bagian yang terserang

Sedang

Kemoterapi (CHOP) di sertai Kemoterapi

Tinggi

Lanjut
Kemoterapi (Chlorambucil atau CVP)
(minimal

CHOP

atau

radiasi bagian yang terserang

kombinasi kemoterapi generasi baru)

Kemoterapi intensif radiasi

Kemoterapi intensif radiasi

H. Prognosis
Prognosis dari penderita limfoma sangat ditentukan dari:
a. Stadium dari penyakitnya dan tipe histologinya
b. Usia penderita. Pada usia diatas 60 tahun mempunyai prognosis yang kurang baik
c. Besarnya tumor. Pada penderita dengan ukuran tumor yang besar (ukuran diameter
lebih dari 10cm) terutama kalau terletak di mediastenum mempunyai prognosis yang
kurang baik.
d. Pada penderita yang terserang extra nodal yang multipel terutama apabila mengenai
sum-sum tulang dan hati mempunyai prognosis yang kurang baik.
e. Pada penderita yang progesif selama mendapat pengobatan atau relaps dalam waktu
kurang dari satu tahun setelah mendapat kemoterapi yang intensif mempunyai
prognosis yang kurang baik
Dugaan Sebab Kematian Penderita Limfoma
1. Infeksi bakteri dan jamur yang mungkin disebabkan oleh karena:
a. Defisiensi anti bodi dari sistem imunitas seluler
b. Neutropeni oleh karena efek samping pengobatan sitostatika ataupun oleh karena
infiltrasi limfoma ke sum-sum tulang
c. Kerusakan jaringan akibat infiltrasi limfoma
d. Infeksi ini biasanya berjalan berat dan berahkir dengan sepsis
2. Multiple organ failure seperti paru-paru, ginjal, gastrointestinal dan meningen
47

48

Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N. Sistem aliran limfe leher dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI;
2001. p. 137-42
2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Anamnesis dan Pemeriksaan Kepala dan Leher
dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 3,23
3. Luhulima, JW. Collum dalam Anatomi Head and Neck. Makassar: Fakultas
Kedokteran UH; 2002. p. 35-5, 42-3
4. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Leher dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta:
EGC; 2011.

49

Anda mungkin juga menyukai