Anda di halaman 1dari 35

TINJAUAN PUSTAKA

TUMOR COLLI

Oleh :
Renata Timoty Pasaribu

2271071005

Pembimbing :
dr. I Ketut Suanda, Sp. T.H.T.B.K.L., Subsp. Onk.(K)., FICS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2023
Tinjauan Pustaka

TUMOR COLLI

Oleh:
Renata Timoty Pasaribu
PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD/ RSUP Prof. I.G.N.G. Ngoerah
Denpasar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Leher merupakan bagian tubuh yang terbuka dan apabila terjadi
pembengkakan pada daerah ini maka akan mudah dikenali oleh penderita atau
dideteksi selama pemeriksaan rutin. Massa leher adalah pembesaran,
pembengkakan atau pertumbuhan abnormal diantara dasar tengkorak hingga
klavikula.1 Massa leher pada pasien dewasa harus dianggap ganas sampai terbukti
sebaliknya. Massa leher yang bersifat metastatis cenderung asimtomatik yang
membesar perlahan-lahan. Gejala yang terkait sering berhubungan dengan massa
leher termasuk odinofagia, disfagia, disfonia, otalgia dan penurunan berat badan.2
Usia dan lokasi massa leher harus diperhatikan saat evaluasi. Secara umum
massa leher dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu inflammasi, neoplasma dan
kongenital. Pada pasien dibawah usia 15 tahun dan dewasa muda, inflamasi adalah
etiologi yang paing sering diikuti etiologi kengnital dan neoplasma. Usia diatas 40
tahun, etiologi neoplasma menjadi yang paling sering diikuti inflamasi dan
kongenital. Lokasi massa leher sangat membantu untuk meyingkirkan diagnosis
banding.3
Kanker kepala dan leher adalah salah satu jenis kanker yang umum terjadi
di dunia. Kanker kepala dan leher menyerang bibir, rongga mulut, langit-langit,
faring dan laring (Patel & Shah, 2005). Kanker ini umumnya disebabkan oleh

2
kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol yang berakibat pada terjadinya mutasi
genetik. Perkiraan jumlah kejadian kanker kepala dan leher secara global adalah
sekitar 533.000 kasus per tahun (Parkinet al., 2005). Badan Registrasi Kanker
Nasional di Indonesia, menempatkan kanker kepala dan leher pada urutan keempat
dari sepuluh besar keganasan pada pria dan wanita (Wiliyanto, 2006). Data
Nasional Institute for Clinical Excelence, (2014) di London, menyebutkan kanker
kepala dan leher umumnya lebih sering dijumpai pada pria dibandingkan pada
wanita. Hal ini disebabkan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol yang
frekuensinya lebih sering dijumpai pada pria. Seperti kasus kanker pada umumnya,
keterlambatan penanganan menjadi salah satu penyebab besarnya kasus kematian
pada kanker kepala dan leher oleh karena seringkali kanker terdeteksi setelah
memasuki stadium yang tinggi. Hal tersebut disebabkan masih kurangnya
kesadaran masyarakat untuk melakukan skrining kanker sejak dini. Tumor leher
ditemukan sekitar 3% dari keseluruhan kasus kanker yang ada di Amerika Serikat
(dan sekitar 6% dari semua populasi kanker dunia pada tahun 2012), dan sekitar
45.000 kasus kanker kepala dan leher didiagnosis pada tahun 2014. Perbandingan
dalam jenis kelamin wanita lebih banyak dari laki-laki = 3 : 1 dengan umur rata-
rata 40-70 tahun. 60% penderita kebanyakan datang dengan hanya satu keluhan,
yaitu benjolan di daerah leher.4
Penderita keganasan memiliki kualitas hidup yang buruk terutama ketika
dihadapkan dengan stadium akhir. Deteksi dini dan pengobatan kanker kepala dan
leher dapat meningkatkan kualitas hidup dan prognosis yang lebih baik. Metastasis
samar dapat terjadi sektar 10-30% pada kanker kepala dan leher. Metastasis samar
harus dideteksi sedini mungkin untuk prognosis yang lebih baik.6
Massa leher dapat menjadi situasi yang membingungkan dan menantang,
terutama pada pelayanan primer. Diagnosis banding sangat luas, bahkan untuk
dokter yang berpengalaman. Pemahaman yang kuat tentang anatomi, etiologi dan
presentasi klinis massa leher, dapat dengan cepat menegakan diagnosis, mengurangi
tes laboratorium yang tidak perlu, dan meningkatkan kepuasan pasien dengan
mengurangi ketakutan dan kecemasan pasien.5

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi leher


Leher merupakan bagian tubuh yang terletak antara torak dan caput kepala.
Batas leher adalah merupakan bidang yang ditarik melalui tepi inferior mandibula,
apex dari prosesus mastoideus dan tonjolan luar oksipital. Sedangkan batas bawah
leher adalah bidang yang ditarik melalui insisura suprasternal, klavikula serta
prosesus spinosus vertebra servikalis VII.7

Gambar 2.1 Batas leher7

Otot sternokleidomastoideus membagi daerah leher menjadi dua segitiga leher


yaitu :2
1. Segitiga anterior : Segitiga ini memiliki batas superior mandibula, di bagian
anterior dibatasi midline dan dibagian posterior terdapat m.
sternokleidomastoideus, didalam segitiga anterior terdapat :

4
 Segitiga submaksilaris : batasnya di bagian superior mandibula, bagian
anterior oleh m. digastrikus venter anterior sedangkan bagian posterior
dibatasi oleh m. digastrikus venter posterior.
 Segitiga karotis : dibatasi bagian superior oleh m. digastrikus venter
posterior, bagian anterior oleh m. omohioid bagian superior, dibagian
posterior oleh m. sternokleidomastoideus.
 Segitiga muskularis : batasnya di bagian superior oleh m. omohioid
bagian superior, bagian anterior oleh midline dan bagian posterior oleh
m. sternokleidomastoideus.
 Segitiga submental : dibagian superior dibatasi oleh simfisis mandibula,
dibagian inferior oleh os. hioid dan di lateral oleh m. digastrikus venter
anterior.
2. Segitiga posterior : Batasnya di bagian anterior oleh m. sternokleidomastoideus,
di bagian posterior oleh m. trapezius dan di bagian inferior terdapat klavikula.
Didalamnya terdapat15 :
 Segitiga oksipital : dengan batasnya di anterior oleh m. sternokleido-
mastoideus, di posterior oleh m. trapezius dan di inferior oleh m.
omohioid.
 Segitiga subclavia : dibatasi bagian superior oleh m. omohioid, di
inferior oleh klavicula, dan dianterior oleh m. sternokleidomastoideus.

5
Gambar 2.2 Segitiga Leher15

2.1.1 Persarafan daerah leher


Terdapat 4 saraf superfisial yang berhubungan dengan tepi posterior m.
sternokleidomastoideus. Saraf-saraf tersebut mempersarafi kulit di daerah yang
bersangkutan. Saraf superfisial yang dimaksud adalah15:
1. N. Occipitalis minor (C2)
2. N. Auricularis magnus (C2 dan C3)
3. N. Cutaneus anterior (Cutaneus Colli, C2 dan C3).
4. N. Supraclavicularis (C3 dan C4)
Keempat saraf ini berasal dari nn. servikalis II, III dan IV dan terlindung di
bawah otot. Dalam perjalanan ekstrakranialnya, 4 nervus kranial terletak di daerah
m. digastrikus. Saraf-saraf kranial yang dimaksud:
1. N. vagus, keluar melalui foramen jugularis, mempersarafi saluran pernafasan
dan saluran pencernaan.
2. N. glossopharyngeus, keluar bersama n. vagus, terletak diantara karotis
interna dan jugularis interna. Merupakan saraf motorik untuk m.
stylopharyngeus.
3. N. accessorius, berasal dari kranial dan C5 atau C6. Merupakan motorik
untuk m. sternokleidomastoideus dan m. trapezius.

6
4. N. hypoglosus, keluar melalui kranial hipoglosus, merupakan motorik untuk
lidah.

Gambar 2.3 Persarafan leher15

2.1.2 Otot - otot di bagian ventral leher terdiri dari :


1. M. digastrikus
Terdiri dari venter anterior dan posterior. Berjalan dari os. temporal ke arkus
mandibula, merupakan landmark yang penting di bagian atas leher. Kedua venternya
dipisahkan oleh tendon intermedius.
2. Mm. infrahioid yang terdiri dari :
 M. sternohioid : otot ini berorigo pada manubrium sterni dan berinsersi di
os hioid.
 M. omohioid : otot ini terdiri dari 2 venter (superior dan inferior) yang
berjalan mulai dari skapula dan ligamentum supraskapula menuju ke atas
dan berakhir sebagai tendo intermedius.

7
 M. sternotiroid : otot ini merupakan landmark penting dalam pembedahan
tiroid untuk menemukan cleavage plane. Origonya terletak di manubrium
sterni dan berinsersi di lamina kartilago tiroid, berjalan menutupi sebagian
glandula tiroid. Kontraksinya menyebabkan laryng bergerak ke bawah.
 M. thyrohioid : otot ini berorigo di kartilago tiroid dan berinsersi di os hioid.
Otot ini menutupi membrana tirohioid, dan saat kontraksi menarik hioid ke
bawah, tetapi bila hioid difiksir oleh otot suprahioid, kontraksinya akan
mengangkat laryng.

Gambar 2.4 Otot Leher15

2.1.3 Fascia Servikal


Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrosa yang membungkus
organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia superfisialis servikalis berjalan dari bagian superior prosesus
zigomatikus sampai ke thorax dan axilla sedang batas inferior adalah clavicula.
Fasia ini berupa selubung yang terdiri dari jaringan lemak subkutaneus dan
membungkus M. Platysma serta otot ekspresi wajah. Fasia ini banyak mengandung
lemak subkutan, pembuluh darah, dan saraf superfisial serta dipisahkan dengan

8
fasia servikalis profunda oleh m. platysma yang tipis dan meluas keaarah anterior
leher. Ruang antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi
kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis
eksterna. Fasia servikalis profunda dibagi menjadi 3 fasia, yaitu:
 Fascia colli superficialis
Membungkus m. sternokleidomastoideus dan berlanjut ke garis tengah leher untuk
bertemu dengan fasia pada sisi lain.
 Fascia colli media
Membungkus otot pretrakeal dan bertemu dengan fasia sisi yang lain di garis tengah
yang juga merupakan pertemuan dengan fascia colli superficialis. Kearah dorsal
fascia colli media membungkus arteri karotis komunis, vena jugularis interna dan
nervus vagus menjadi satu.
 Fascia colli profunda
Membungkus muskulus prevertebralis dan bertemu ke lateral dengan fascia colli
media.

Gambar 2.5 Fasia leher potongan transversa15

9
Gambar 2.6 Fasia leher potongan sagital8

2.1.4 Vaskularisasi daerah leher


1. Sirkulasi darah arteri
Aliran darah menuju kepala dibawa melalui arteri karotis dan arteri
vertebralis. Arteri vertebralis dalam rongga kepala bersatu membentuk a. basilaris
kemudian memberikan cabang-cabangnya pada struktur intrakranial.
 a. karotis komunis
Pembuluh darah yang sebelah kanan berasal dari a.inominata sedangkan
yang kiri berasal dari arkus aorta, berjalan di belakang m. sternokleidomastoideus.
Pada level thyroid notch adanya pelebaran disebut dengan bulbus karotis, kemudian
bercabang dua menjadi a. karotis eksterna dan a. karotis interna. Setelah
percabangannya, arteri ini berjalan ke dalan kanalis karotikus ossis temporalis dan
memperdarahi otak.
 a. karotis eksterna
Berjalan menuju kolum mandibula, memberikan 8 percabangan yang
berdasarkan letaknya terhadap m. digastrikus, adalah sebagai berikut:
- Diatas m. digastrikus memberi 3 percabangan:

10
1. a. temporalis superfisialis.
2. a. maxillaris interna.
3. a. aurikularis posterior.
- Dibawah m. digastrikus memberi 5 percabangan :
1. a. tiroidea superior.
2. a. lingualis.
3. a. faringealis asenden.
4. a. fasialis.
5. Ramus oksipitalis.

Gambar 2.7 Vaskularisasi Arteri Leher15


2. Sirkulasi darah vena
Aliran darah balik dari kepala dan leher dialirkan melalui sistem jugularis
(anterior, eksterna, interna, posterior) dan beberapa plexus venosus (pterygoid,
orbital, vertebral, perilaryngeal, esophageal). Pleksus brakialis terdiri dari dua
sistem yang terpisah, yaitu bagian interna yang terdapat antara duramater dan
tulang, dan bagian eksterna yang mengelilingi lengkung vertebra terletak di dalam
otot - otot leher dan punggung.
 v. jugularis eksterna

11
Dimulai dari bawah telinga dan berasal dari gabungan v. aurikularis posterior
dan v. facialis posterior, terletak diantara platisma dan fascia superficialis colli.
Didaerah bawah leher bergabung dengan v. jugularis anterior dan v. subklavia
tranversa.
 v. jugularis interna
Merupakan kelanjutan dari sinus tranversus, bagian atas v. jugularis interna
terletak dibawah glandula parotis dan sebagian besar dari vena ini terletak dibawah
m. sternokleidomastoideus. Pembuluh darah ini menerima aliran darah dari sinus
petrosus inferior, v. faringealis, v. fasialis, v. lingualis, v. tiroidea superior dan
media.

Gambar 2.8 Vaskularisasi Vena Leher15

2.1.5 Kelenjar Getah Bening Leher


Terdapat sekitar 300 kelenjar getah bening di daerah kepala dan leher,
dengan pembagian menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center
Classification menjadi 5 daerah penyebaran kelompok kelenjar yaitu:

12
Gambar 2.9 Klasifikasi kelenjar getah bening

I. Kelenjar yang terletak di segitiga submental dan submandibular


II. Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfe jugular
superior, kelenjar digastik dan kelenjar servikal posterior superior.
III. Kelenjar limfe jugularis diantara bifurkasio karotis dan persilangan m.
omohioid dengan m. sternokleidomastoideus dan batas posterior m.
sternokleidomastoideus.
IV. Grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikular
V. Kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal.

Kelenjar limfe yang selalu terlibat dalam metastais tumor adalah kelenjar
limfe pada rangkaian jugularis interna, yang terbentang antara klavikula sampai
dasar tengkorak. Rangkaian jugularis interna dibagi dalam kelompok superior,
media dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang lain adalah submental,
submandibula, servikalis superficial, retrofaring, pratrakeal, spinalis asesorius,
skalenus anterior dan supraklavikula. Hampir semua bentuk radang dan keganasan
kepala dan leher akan melibatkan kelenjar getah bening leher. Bila ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening di leher, perhatikan ukurannya, apakah nyeri atau
tidak, bagaimana konsistensinya, apakah lunak kenyal atau keras, apakah melekat
pada dasar atau kulit.13

13
Kelenjar limfe servikal dibagi ke dalam gugusan superfisial dan gugusan
profunda. Kelenjar limfe superfisial menembus lapisan pertama fascia servikal
masuk kedalam gugusan kelenjar limfe profunda. Meskipun kelenjar limfe nodus
kelompok superfisial lebih sering terlibat dengan metastasis, keistimewaan yang
dimiliki kelenjar kelompok ini adalah sepanjang stadium akhir tumor, kelenjar limfe
nodus kelompok ini masih signifikan terhadap terapi pembedahan. Kelenjar limfe
profunda menerima aliran limfe dari membran mukosa mulut, faring, laring,
glandula saliva dan glandula tiroidea. Aliran kelenjar limfe leher dapat dijabarkan
sebagai berikut 13
- Kelenjar limfe jugularis interna superior menerima aliran limfe yang berasal
dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus
piriformis dan supraglotik laring. Selain itu juga menerima aliran limfe yang
berasal dari kelenjar limfe retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis
superficial dan kelenjar limfe submandibular.
- Kelenjar limfe jugularis interna media menerima aliran limfe yang berasal
langsung dari subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah
krikoid posterior. Juga menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar
limfe juguglaris interna superior dan kelenjar limfe retrofaring bagian
bawah.
- Kelenjar limfe jugularis interna inferior menerima aliran limfe yang berasal
langsung dari glandula tiroid, trakea, esofagus bagian servikal serta
menerima aliran limfe yang berasal dari kelenjar limfe jugularis interna
superior dan media, dan kelenjar limfe paratrakea.
- Kelenjar limfe submental, terletak pada segitiga submental di antara
platisma dan m. omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen
menerima aliran limfe yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah,
pipi, gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah.
- Kelenjar limfe submandibula, terletak di sekitar kelenjar parotis
submandibula. Pembuluh aferen menerima aliran limfe yang berasal dari
kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga
hidung , bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum

14
mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfe ke kelenjar
jugularis interna superior.
- Kelenjar limfe servikal superfisial, terletak di sepanjang vena jugularis
eksterna, menerima aliran limfe yang berasal dari kulit muka, sekitar
kelenjar parotis dan kelenjar limfe oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan
limfe ke kelenjar limfe jugularis interna superior.
- Kelenjar limfe retrofaring , terletak di antara faring dan fasia prevertebra,
mulai leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran limfe dari
nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustasius. Pembuluh eferen
megalirkan limfe ke kelenjar limfe jugularis interna dan kelenjar limfe
spinal asesoris bagian superior.
- Kelenjar limfe paratrakea, menerima aliran limfe yang berasal dari laring
bagian bawah, hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan
tiroid. Pembuluh eferen mengalirkan limfe ke kelenjar limfe jugularis
interna inferior atau kelenjar limfe mediastinum superior.
- Kelenjar limfe spinal asesoris, terletak di sepanjang saraf spinal asesoris,
menerima aliran limfe yang bersal dari kulit kepala bagian parietal dan
bagian belakang leher. Kelejar limfe parafaring menerima aliran limfe dari
nasofaring, orofaring dan sinus paranasal. Pembuluh eferen mengalirkan
limfe ke kelenjar limfe supraklavikula.
- Rangkaian kelenjar limfe jugularis interna mengalirkan limfe ke trunkus
jugularis dan selanjutnya masuk ke duktus torasikus untuk sisi sebelah kiri,
dengan untuk sisi yang sebelah kanan masuk ke duktus limfatikus kanan
atau langsung ke sistem vena pada pertemuan v. jugularis interna dan v.
subklavia. Duktus torasikus dan duktus limfetikus kanan menerima aliran
limfe dari kelenjar limfe supraklavikula.
- Pembesaran kelenjar getah bening dapat dibedakan menjadi pembesaran
kelenjar getah bening lokal (limfadenopati lokalisata) dan pembesaran
kelenjar getah bening umum (limfadenopati generalisata). Limfadenopati
lokalisata didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar getah bening hanya
pada satu daerah saja, sedangkan limfadenopati generalisata apabila

15
pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau lebih daerah yang
berjauhan dan simetris.

Gambar 2.10. Drainase limfetik pada kepala dan leher15

2.2 Tumor Leher


2.2.1 Definisi
Massa leher adalah pembesaran, pembengkakan atau pertumbuhan
abnormal diantara dasar tengkorak hingga klavikula. 1 Setiap massa leher pada
pasien dewasa harus dianggap ganas sampai terbukti sebaliknya. Massa leher yang
bersifat metastatis cenderung asimtomatik yang membesar perlahan-lahan. Gejala
yang terkait sering berhubungan dengan massa leher termasuk odinofagia, disfagia,
disfonia, otalgia dan penurunan berat badan.2
Usia dan lokasi massa leher harus diperhatikan saat evaluasi. Secara umum
massa leher dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu inflammasi, neoplasma dan
kongenital. Pada pasien dibawah usia 15 tahun dan dewasa muda, inflamasi adalah
etiologi yang paing sering diikuti etiologi kengnital dan neoplasma. Usia diatas 40
tahun, etiologi neoplasma menjadi yang paling sering diikuti inflamasi dan

16
kongenital. Lokasi massa leher sangan membantu untuk meyingkirkan diagnosis
banding.3
Setiap benjolan yang terdapat di leher harus dipikirkan akan kemungkinan
suatu keganasan atau metastasis dari tumor primer di tempat lain.

2.2.2 Insidensi dan Epidemiologi


Secara umum massa leher dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu
inflammasi, neoplasma dan kongenital. Pada pasien dibawah usia 15 tahun dan
dewasa muda, inflamasi adalah etiologi yang paing sering diikuti etiologi kengnital
dan neoplasma. Usia diatas 40 tahun, etiologi neoplasma menjadi yang paling
sering diikuti inflamasi dan kongenital. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal
dari tiroid, 40% benjolan pada leher disebabkan oleh keganasan, 10% berasal dari
peradangan atau kelainan kongenital. Perkiraan jumlah kejadian kanker kepala dan
leher secara global adalah sekitar 533.000 kasus per tahun (Parkinet al., 2005).
Badan Registrasi Kanker Nasional di Indonesia, menempatkan kanker kepala dan
leher pada urutan keempat dari sepuluh besar keganasan pada pria dan wanita
(Wiliyanto, 2006). Data Nasional Institute for Clinical Excelence, (2014) di
London, menyebutkan kanker kepala dan leher umumnya lebih sering dijumpai
pada pria dibandingkan pada wanita. Hal ini disebabkan kebiasaan merokok dan
konsumsi alkohol yang frekuensinya lebih sering dijumpai pada pria

Pertimbangan berikutnya adalah lokasi massa leher. Hal tersebut penting


dalam diferensiasi kelainan bawaan karena suatu massa biasanya terjadi di lokasi
yang khas. Penyebaran karsinoma kepala dan leher mirip dengan penyakit
inflamasi, umumnya mengikuti penyebaran limfatik. Penampilan dan lokasi massa
leher metastatik dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi tumor primer atau
sumber infeksi. Limfadenopati dapat dibagi berdasarkan luas daerah yang terkena,
yaitu sebagai limfadenopati generalisata, yaitu limfadenopati pada dua atau lebih
regio anatomi yang berbeda dan limfadenopati lokalisata yaitu limfadenopati yang
terbatas hanya pada satu regio. Dari semua kasus pasien yang berobat ke sarana
layanan kesehatan primer, sekitar 3/4 penderita datang dengan limfadenopati
lokalisata dan 1/4 sisanya datang dengan limfadenopati generalisata.

17
2.2.3 Klasifikasi
Ketika memeriksa pasien dengan massa leher, pertimbangan pertama dokter
harus membedakan kelompok pasien usia anak (<15 tahun), dewasa muda (16-40
tahun), atau dewasa (<40 tahun umur). Dalam masing-masing kelompok, kejadian
penyakit bawaan, inflamasi, dan neoplastik harus diperhatikan karena sebagian
besar massa leher masuk ke dalam salah satu dari tiga kategori. Pasien anak
umumnya menunjukkan massa leher inflamasi lebih sering daripada kelainan
bawaan dan neoplasma. Insiden ini mirip dengan yang ditemukan pada orang
dewasa muda. Sebaliknya, pertimbangan pertama pada orang dewasa yang lebih tua
harus selalu neoplasia, kemudian massa inflamasi dan kelaianan bawaan. 10
Pertimbangan berikutnya harus lokasi massa leher. Hal ini sangat penting
dalam diferensiasi kelainan bawaan karena mereka biasanya terjadi di lokasi yang
khas. Penyebaran karsinoma kepala dan leher karsinoma mirip dengan penyakit
inflamasi, umumnya mengikuti penyebaran limfatik. Penampilan dan lokasi massa
leher metastatik dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi tumor primer atau
sumber infeksi.10

18
Gambar 2.11 Etiologi massa leher non-tiroid.10

2.2.4 Patogenesis
Apabila jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan
reaksi imun, maka otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai
responnya, sel tubuh terutama mast sel dan sel basofil akan mengalami granulasi
dan mengeluarkan mediator radang berupa histamin, serotonin, bradikinin, sitokin
berupa IL-2, IL-6 dan lain-lain. Mediator-mediator radang terutama histamin akan
menyebabkan dilatasi arteriola dan meningkatkan permeabilitas venula serta

19
pelebaran intraendothelial junction. Hal ini mengakibatkan cairan yang ada dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada daerah
yang terinfeksi ataupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran
kelenjar limfe karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel
pertahanan tubuh seperti makrofag, neutrofil dan sel T akan berupaya
memusnahkan agen infeksius sedangkan agen infeksius itu sendiri berupaya untuk
menghancurkan sel-sel tubuh terutama eritrosit agar mendapatkan nutrisi. Kedua
upaya perlawanan ini akan mengakibatkan pembesaran kelenjar limfe karena
kelenjar limfe harus bekerja keras untuk memproduksi sel limfoid maupun
menyaring sel tubuh yang mengalami kerusakan dan agen infeksius yang masuk
agar tidak menyebar ke organ tubuh lain.13
Mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma, baik yang timbul di otot,
sel limfoid, tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi
displasia dan metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi
sel tidak lagi sempurna. Displasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologis
molekuler seperti peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh
diri sel terprogram. Hal ini berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang
bermanifestasi pada timbulnya benjolan pada jaringan. Neoplasma dapat terjadi
pada semua sel yang ada di leher maupun akibat dari metastase kanker dari organ
di luar leher.24

2.2.5 Diagnosis
Langkah diagnostik yang paling penting adalah pemeriksaan fisik kepala
dan leher. Visualisasi dan palpasi adalah komponen yang paling penting dari
pemeriksaan fisik. Hal ini membantu menentukan lokasi massa sesuai dengan
daerah drainase limfatik, ukuran lesi dan hubungannya dengan struktur sekitarnya
10
(terfiksasi atau tidak terfiksasi), konsistensi massa, dan berdenyutan atau bruit.
Massa leher berdenyut, bruit atau thrill, ultrasonografi dapat dilakukan untuk
membedakan masalah vaskular degeneratif (misalnya aneurisma) dari kondisi
neoplastik (misalnya, glomus dan tumor karotis). Ultrasonografi juga dapat
membantu untuk membedakan massa yang solid dan kistik, atau kista brankialis

20
bawaan dan kista tiroglosus dari kelenjar getah bening yang solid, tumor
neurogenik, dan ektopik.10
Pada pasien yang memiliki massa leher yang membingungkan namun
diduga memiliki proses inflamasi, terapi antibiotik dan observasi, tidak lebih dari 2
minggu, dapat diterima sebagai uji klinis. Jika massa tersebut terus-menerus atau
meningkat dalam ukuran setelah pemberian antibiotik, pemeriksaan tambahan lain
diperlukan. Biopsi dengan pemeriksaan patologi adalah tes diagnostik definitif.
Biopsi terbuka harus dilakukan, namun hanya setelah dokter telah melakukan
pemeriksaan kepala dan leher lengkap dengan menggunakan metode langsung dan
tidak langsung dan telah melakukan awal biopsi aspirasi jarum halus (FNAB), yang
merupakan standar perawatan untuk biopsi awal.10

Gambar 2.12. Evaluasi dan manajemen massa leher pada pasien dewasa2

2.2.6 Diagnosis banding massa daerah leher


Dalam mendiagnosis suatu massa leher, selain perlunya pertimbangan usia
maka diperlukan juga pertimbangan berikutnya yaitu lokasi massa leher. Hal ini
sangat penting dalam membedakan kelainan bawaan karena mereka biasanya

21
terjadi di lokasi yang khas. Beberapa massa leher dengan lokasi yang khas seperti
metastase kelenjar getah bening umumnya terletak di sisi lateral leher dan teraba
keras serta tidak bergerak, massa tiroid umumnya terletak di garis tengah bagian
bawah leher, massa duktus tiroglossus terletak di garis tengah bagian atas leher, dan
kista celah branchial yang umumnya terletak di sisi leher sepanjang batas anterior
m. sternokleidomastoideus.20
 Metastasis kelenjar getah bening leher
Insidensi metastasis kelenjar getah bening leher antara lain tumor rongga mulut
30-65%, tumor orofaring 29-83%, tumor nasofaring 60-90%, tumor hipofaring 52-
72%, tumor supraglotis 35-54%, tumor glotis 7-9%, tumor sinonasal 10-20%,
kelenjar ludah 25-50%, kelenjar tiroid 18-84%.8 Lebih dari 90% dari metastasis
leher terdiri karsinoma sel skuamosa sedangkan adenokarsinoma, karsinoma
undifferentiated, dan keganasan lainnya.12
Massa leher pada pasien dengan tumor primer yang diketahui dari kepala dan
leher harus diterapi sesuai dengan prinsip-prinsip masing-masing tumor. Secara
umum, ketika terjadi metastasis kelenjar getah bening, limfadenektomi harus
dilakukan bersamaan dengan pengangkatan tumor primer. Bila tumor primer tidak
terletak di kepala atau leher, biopsi eksisi massa leher dilakukan untuk konfirmasi
diagnosis dan stadium, manajemen selanjutnya tergantung dari tumor primer. 10
Pasien metastasis N1 harus dilakukan diseksi leher yang sesuai atau radioterapi
(dengan atau tanpa kemoterapi). Jika metastasis stadium N1 tersebut respon komplit
terhadat radioterapi saja, observasi lebih dianjurkan daripada terapi bedah. Setelah
dilakukan diseksi leher untuk metastasis leher N1, radioterapi adjuvant pasca
operasi harus dipertimbangkan, terutama yang mempunya ngka rekurensi yang
tinggi.25,26. Pasien metastasis leher N2 atau N3 harus dilakukan diseksi leher diikuti
oleh radioterapi eksternal, atau radioterapi ekternal diikuti diseksi leher. 25 Jika
massa metastasis di leher terfiksasi dan unresectable,radioterapi dan kemoterapi
menjadi terapi pilihan. 25

22
Gambar 2.13. Kelompok metastasis kelenjar getah bening dengan lesi primer
yang diketahui

Tabel 2.1. Kelompok kelenjar limfe leher berdasarkan level dan dugaan
asal tumor primer kepala – leher

23
Salah satu terapi pada pembesaran kelenjar getah bening akibat dari
metastasis keganasan kepala leher adalah terapi operatif yaitu diseksi leher. Diseksi
leher merupakan tindakan mengangkat kelenjar limfe leher dan dapat disertai
jaringan sekitarnya dengan tujuan menghilangkan sel-sel kanker yang berada pada
kelenjar limfe tersebut. Ada beberapa tipe dari diseksi leher menurut American
Head and Neck Society yaitu sebagai berikut : 30
1. Diseksi leher radikal : melakukan pembuangan kelenjar leher pada level I-V,
termasuk struktur non kelenjar yaitu v. jugularis interna, m.
sternokleidomastoideus dan n. spinasi asesori.
2. Diseksi leher modifikasi : seperti halnya diseksi leher radikal namun masih
menyisakan satu atau dua diantara v. jugularis interna, m.
sternokleidomastoideus dan n. spinalis asesori.
3. Diseksi leher selektif : menyisakan satu atau lebih grup dari kelenjar limfe leher
dan tetap mempertahankan 3 strukur non limfe diatas.
4 Diseksi leher diperluas: seperti halnya diseksi leher selektif namun juga
membuang kelenjar leher diluar grup level I-V dan atau beberapa struktur diluar
struktur nonlimfetik diatas.

Gambar 2.14 Diseksi leher radikal

24
Gambar 2.15 Diseksi leher selektif (Level II-IV)

Gambar 2.16 Diseksi leher diperluas

 Kista duktus tiroglosus


Duktus tiroglosus adalah struktur tubular sempit yang terbentuk saat
penurunan kelenjar tiroid dari foramen caecum menuju ke bagian depan duktus
faringeal. Duktus tiroglosus biasanya berinvolusi pada minggu kesepuluh
kehamilan namun jika terjadi kegagalan involusi maka sekresi dari lapisan epitel
duktus akan menyebabkan peradangan dan terjadi pembentukan kista duktus
tiroglosus.

25
Kista duktus tiroglosus adalah lesi garis tengah leher atas yang paling
sering, hampir sepertiga dari semua massa leher kongenital. Benjolan kista
duktus tiroglosus terdapat di sekitar os. Hioid di garis tengah, dan ikut bergerak
waktu menelan dan juga pada penjuluran lidah. Presentasi kejadiannya sekitar
24 % terjadi pada level suprahioid, 76 % muncul pada level infrahioid. Secara
histologis kista ini memiliki epitel kolumnar seperti di daerah dasar lidah hingga
mediastinum.20
Patofisologi terjadi duktus yang menandai jaringan bakal tiroid akan
bermigrasi dari foramen sekum di pangkal lidah ke daerah di ventral laring dan
mengalami obliterasi, obliterasi yang tidak lengkap akan membentuk kista. Kista
terletak di garis tengah, dikranial atau kaudal dari os. hioid. Jika ditarik kearah
kaudal, umumnya teraba atau terlihat sisa duktus berupa tali halus di subkutis.
Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat
di atas atau di bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan tidak menimbulkan
rasa tertekan di tempat timbulnya kista. Konsistensi massa teraba kistik, berbatas
tegas, bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri, warna sama dengan kulit sekitarnya
dan bergerak saat menelan atau menjulurkan lidah. Diameter kista berkisar
antara 2-4 cm. Bila terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri terutama saat menelan
dan terdapat perubahan warna kulit di atasnya menjadi berwarna merah.
Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus adalah pembedahan yang dikenal
sebagai prosedur sistrunk, yaitu mengangkat kista dan reseksi duktus termasuk
struktur di atasnya.20\

Gambar 2.17 Kista duktus tiroglossus18

26
 Fistula dan kista brankial
Kelainan brankial dapat berupa fistel, kista, tulang rawan ektopik. Fistel
brankial timbul dari kegagalan perkembangan lengkap aparatus brankial
termasuk lengkungan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Arkus brankial ke-3
membentuk os. hioid, sedangkan arkus brankial ke-4 membentuk skelet laring,
yaitu rawan tiroid, krikoid, dan arytenoid. Fistel kranial dari tulang hioid yang
berhubungan dengan meatus akutikus eksternus berasal dari celah brankial
pertama. Fistel antara fosa tonsilaris ke pinggir depan m. sternokleidomastoideus
berasal dari celah brankial kedua. Fistel brankial sisa celah brankial kedua akan
terdapat tepat di depan m. sternokleidomastoideus. Bila penutupan terjadi
sebagian, sisanya dapat membentuk kista yang terletak agak tinggi di bawah
sudut rahang. Bila terbuka ke kulit, akan terjadi fistel. Pasien biasanya bayi muda
dengan sinus yang mengeluarkan cairan, yang bisa dengan atau tanpa lubang
fistula internal. Secara klinis, fistula celah brankial kedua yang paling sering.
Fistula ini memiliki lubang kulit di sepanjang batas anterior m.
sternokleidomastoideus, biasanya dibatas sepertiga tengah dan bawah m.
sternokleidomastoideus, menelusuri antara arteri karotis internal dan eksternal
yang berakhir di fossa tonsilaris. Pada palpasi, sebelah kranial dari fistel teraba
sebagai jaringan fibrotik bila leher ditegangkan dengan tarikan ke arah kaudal.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan barium meal atau CT
fistulogram untuk membantu menentukan jalur saluran. Eksisi bedah adalah
terapi pilihan, eksisi dilakukan dengan cara stepladder dengan menghilangkan
stoma sinus dengan elips di kulit leher. 24
Kista brankial muncul sebagai kegagalan perkembangan aparatus brankial.
Anomali brankial mencapai hingga 19 % dari semua massa leher pada anak.
Sering bermanifestasi pada dewasa muda dengan insiden puncak pada dekade
ketiga. Gejala kista brankial berupa benjolan leher yang persisten dengan 70 %
berupa benjolan kistik dan sekitar 30 % berupa benjolan padat. Pasien dengan
kecurigaan kista brankial harus dilakukan pemeriksaan biopis aspirasi jarum
halus dengan panduan ultrasound. Operasi eksisi kista brankial masih menjadi
pilihan utama karena kista brankial memiliki kecenderungan untuk terinfeksi,

27
dapat menjadi berukuran besar yang menyebabkan ketidaknyamanan, gejala
penekanan dan deformitas kosmetik yang jelas. 18

Gambar 2.18 Kista brankial18

 Nodul tiroid
Neoplasma tiroid, baik jinak maupun ganas, adalah penyebab utama massa leher
kompartemen anterior di semua kelompok usia dan bersama dengan metastasis
kelenjar getah bening. Metastasis kelenjar getah bening adalah gejala awal pada
sekitar 15% kasus karsinoma papilar.10
Nodul tiroid yang jinak paling sering terjadi pada umur 30 - 50 tahun. Apabila
nodul dijumpai pada umur < 20 tahun, 20-70% adalah ganas, demikian juga kalau
umur > 50 tahun. Adanya gejala lokal suara parau dan disfagi biasanya dapat
merupakan petunjuk adanya sifat invasif suatu keganasan tiroid. Suatu nodul tiroid
yang sudah bertahun-tahun besarnya tetap biasanya jinak, akan tetapi apabila
berubah menjadi membesar dalam waktu yang singkat (bulan/minggu) maka perlu
diwaspadai berubah menjadi ganas. Lakukan pemeriksaan sistematis (urut dari atas
ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan kiri
bersamaan ), seksama dan jangan lupa melihat kepala bagian belakang. Secara rutin
harus dievalusi juga keadaan kelenjar getah bening lehernya, adakah pembesaran,
lakukan evaluasi tersebut secara sistematis pula. Pada penyakit ini dapat disertai
pembesaran tiroid dengan fungsi normal (eutiroid), berkurang (hipotiroid) atau
meningkat (hipertiroid). Bila disertai dengan fungsi berkurang atau meningkat
biasanya gambaran klinisnya jelas, sehingga diagnosis agak mudah ditegakkan.

28
Pemeriksaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-
assay (RIA) dan cara enzyme-linked immunoassay (ELISA) dalam serum atau
plasma darah. Pemeriksaan T4 total ( TT4) dikerjakan pada semua penderita dengan
penyakit tiroid. T3 total ( TT3 ) sangat membantu untuk hipertiroid dan TSH sangat
diperlukan untuk mengetahui hipotiroid.28
Dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran
struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis sudah bisa kita duga, foto
rontgen leher posisi antero posterior dan posisi lateral diperlukan untuk evaluasi
kondisi jalan nafas. Adanya kalsifikasi halus pada struma menunjukkan karsinoma
papiler sedang kalsifikasi yang kasar bisa terdapat pada endemik goiter yang lanjut
atau juga bisa pada karsinoma meduler.32
Prinsip sidik tiroid adalah daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan
menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi. Radiasi gamma digunakan untuk
diagnostik, sedangkan radiasi beta hanya penting untuk terapi. USG, scan tiroid,
dan tes fungsi tiroid harus dilakukan untuk pasien yang memiliki massa leher
kompartemen anterior yang bergerak saat menelan. Massa tiroid ditemukan kistik
dengan USG harus diaspirasi. Lesi padat harus dilakukan tes nuklir (T3,fT4, TSH).
Sekitar 20-25% dari nodul dingin soliter akan terbukti kistik, dan sekitar 20-25%
adalah kanker. FNAB awal massa tiroid dapa dilakukan tanpa tes nuklir dan USG,
dan hal ini telah menjadi standar diagnosis karena menghasilkan diagnosis yang
lebih cepat, ekonomis, dan definitif untuk sifat massa tiroid. 32

Gambar 2.19 Nodul Tiroid18

29
2.3 Prognosis
Angka bertahan hidup selama lima tahun pasien tumor jinak bisa mencapai
100%, dengan kemungkinan rekurensi yang tinggi pada pasien yang terapi
inisialnya tidak adekuat. Untuk tumor ganas, angka bertahan hidup selama 5 tahun
adalah sekitar 70% hingga 90% untuk tumor tahap dini, dan 20% hingga 30% untuk
tumor tahap lanjut. Penderita keganasan memiliki kualitas hidup yang buruk
terutama ketika dihadapkan dengan stadium akhir. Deteksi dini dan pengobatan
kanker kepala dan leher dapat meningkatkan kualitas hidup dan prognosis yang
lebih baik. Metastasis samar dapat terjadi sektar 10-30% pada kanker kepala dan
leher. Metastasis samar harus dideteksi sedini mungkin untuk prognosis yang lebih
baik.6

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tumor leher adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat yang
timbul disegitiga anterior atau posterior leher diantara klavikula pada bagian
inferior dan mandibula serta dasar tengkorak pada bagian superior. Secara umum
massa leher dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu inflammasi, neoplasma
dan kongenital. Untuk mendiagnosis massa di daerah leher, pertimbangan pertama
harus membedakan kelompok berdasarkan usia pasien, kelompok usia anak
umumnya menunjukkan massa leher inflamasi lebih sering daripada kelainan
bawaan dan neoplasma. Sebaliknya, pertimbangan pada orang dewasa dimulai dari
neoplasia, massa inflamasi dan kelainan bawaan. Pertimbangan berikutnya adalah
lokasi massa leher. Hal tersebut penting karena suatu massa biasanya terjadi di
lokasi yang khas. Berdasarkan pertimbangan – pertimbangan tersebut
menyebabkan diagnosis banding massa di leher sangat luas, sehingga dibutuhkan
pemahaman yang baik tentang anatomi, etiologi dan presentasi klinis massa leher,
dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan sehingga mampu menegakan
diagnosis serta melakukan penatalaksaan yang tepat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Roseman B, Clark O. Neck Mass. Dalam: Souba WW, Fink MP, Kaiser LR,

Surgeons ACo, Pearce WH, penyunting. ACS surgery: principles & practice

Edisi ke 6. Chicago: WebMD Professional Pub.; 2007.

2. Lalwani A. CURRENT Diagnosis & Treatment Otolaryngology--Head and

NeckSurgery, Third Edition. Mcgraw-hill; 2011.

3. Stewart MG, Selesnick SH. Differential Diagnosis in Otolaryngology: Head

and Neck Surgery. Thieme; 2011.

4. Doherty G. CURRENT Diagnosis and Treatment Surgery: Thirteenth

Edition.Edisi ke 13. Michigan: McGraw-Hill Education; 2009.

5. Fowler JC, Marovich R, Johnson JT. Evaluating a neck mass: narrowing the

differential diagnosis. Jaapa. 2012;25(3):30-5.

6. Popescu B, Ene P, Bertesteanu SV, Ene R, Cirstoiu C, Popescu CR. Methods

of investigating metastatic lymph nodes in head and neck cancer. Maedica.

2013;8(4):384-7.

7. Lucioni M, Serafini I, Shah JP, Medina J, Steiner W, Antonelli A. Practical

Guide to Neck Dissection. Springer; 2007.

8. Probst R, Grevers G. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-Step Learning

Guide.Edisi ke 2. New York: Thieme; 2006.

9. Johnson JT, Rosen CA, Bailey BJ. Bailey's Head and Neck Surgery--

otolaryngology.Edisi ke 5. Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams &

Wilkins; 2014.

10. McGuirt WF. Differential Diagnosis of Neck Masses. Dalam: Flint PW,

32
Cummings CW, penyunting. Cummings Otolaryngology Head & Neck

Surgery.Edisi ke 5. Philadelphia: Mosby/Elsevier; 2010.

11. Wang S-G. Differential Diagnosis and Treatment of Neck Masses. J Korean

Med Assoc. 2007;50(7):613-25.

12. Balm AJM, van Velthuysen MLF, Hoebers FJP, Vogel WV, van den Brekel

MWM. Diagnosis and Treatment of a Neck Node Swelling Suspicious for a

Malignancy: An Algorithmic Approach. International Journal of Surgical

Oncology. 2010;2(3):581-40.

13. Selman TJ, Mann C, Zamora J, Appleyard TL, Khan K. Diagnostic accuracy

of tests for lymph node status in primary cervical cancer: a systematic review

and meta-analysis. Cmaj. 2008;178(7):855-62.

14. Nakamura Y, Otsuka F. Sentinel Lymph Node Biopsy for Melanoma and

Surgical Approach to Lymph Node Metastasis. 2013.

15. Sobotta Anatomy Textbook: English Edition with Latin Nomenclature.

Germany: Elsevier Health Sciences; 2018.

16. Patel SG, Shah JP. 2005. TNM Staging ofCancer of The head and Neck:
Striving forUnifornity Among Diversity. CA CancerJournal Clin. vol 55(4):
242-258.
17. Parkin DM, Bray F, Ferlay J, Pisani P. 2005.Global Cancer Statistic, 2002. CA
CancerJournal Clinical. vol 55: 74-108.
18. Dhillon RS. Ear, nose, and throat and head and neck surgery: an illustrated
colour text. Edisi ke 4. Edinburgh: Elsevier; 2013.
19. Yellon R.F . Congenital cyst and sinuses of the head and neck. Dalam: Bailey
B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Edisi ke 5,
Volume ke 2, Lippincott Williams & Wilkins; 2014, p : 1607-15
20. Propst E.J., Cotton R.T.Pediatric otolaryngology: head and neck surgery.

33
Dalam: K.J. Lee., ed. Essential otolaryngology head and neck surgery. Edisi ke
11. New York: McGraw-Hill Education; 2016. p. 900-11
21. Cohen JI. Thyroglossal Duct Cyst Excision (Sistrunk Procedure). Dalam:
Cohen JI, Clayman GL. Atlas of Head and Neck Surgery. Philadelpia: Elsevier
Saunders; 2011. p. 121-27
22. Thompson CF, St. John MA, Lawson G, Grogan T, Elashoff D, Mendelsohn

AH. Diagnostic value of sentinel lymph node biopsy in head and neck cancer:

a meta-analysis. European archives of oto-rhino-laryngology: official journal

of the European Federation of Oto-Rhino-Laryngological Societies (EUFOS):

affiliated with the German Society for Oto-Rhino-Laryngology - Head and

NeckSurgery. 2013;270(7):2115-22.

23. Calabrese L, Jereczek-Fossa BA, Jassem J, Rocca A, Bruschini R, Orecchia

R, et al. Diagnosis and management of neck metastases from an unknown

primary. Acta Otorhinolaryngologica Italica. 2005;25(1):2-12.

24. Grosjean P, Monnier P. Cervical nodules: diagnosis and management. Rev Med

Suisse Romande. 2005;124(6):361-6.

25. Kim SH, Kim NH, Kim KR, Lee JH, Choi H-S. Schwannoma in Head and

Neck: Preoperative Imaging Study and Intracapsular Enucleation for

Functional Nerve Preservation. Yonsei Medical Journal. 2010;51(6):938-42.

26. Oliveira HF, Carvalho AS, Argollo NC, Neves CA, MO. D. Rhinoscleroma and

Nasal non-Hodgkin Lymphoma. Int Arch Otorhinolaryngol. 2009;13(1):96-8.

27. Day T, Joe J. Primary Neoplasm of The Neck Dalam: Flint PW, Cummings

CW, penyunting. Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery.Edisi ke 5.

Philadelphia: Mosby/Elsevier; 2010.

28. Zhu J, Zhang J, Tang G, Hu S, Zhou G, Liu Y, et al. Computed tomography and

34
magnetic resonance imaging observations of rhabdomyosarcoma in the head

and neck. Oncology Letters. 2014;8(1):155-60.

29. Teymoortash A, Werner JA. Current advances in diagnosis and surgical

treatment of lymph node metastasis in head and neck cancer. GMS Current

Topics in Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 2012;11:Doc04.

30. Shah J. Larynx and Trachea. In: Shah J, ed. Head and neck surgery and
oncology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Co; 2020. p. 365-440
31. Pfister DG, Spenser S, Adelstein D, Adkins D, Brizel DM, Burtness BA.
NCCN Clinical Practise Guidelines in Oncology. Head and Neck Cancer:
National Comprehensive Cancer Network; 2020. 225 p
32. Charan I, Kapoor A, Kumar N, Jagawat N, Singhal MK, Kumar HS. Evaluation
of Neck Mass with Computed Tomography: An Observational Study.
International Journal of Scientific Study; 2014.2(7):118-22

35

Anda mungkin juga menyukai