Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

LARINGITIS KRONIS

Oleh :
Dian Maharani (K1A1 13 014)
Nur Fazriani Mirsyah (K1A1 12 025)

Pembimbing :
dr. Nancy Sendra, M.Kes, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama/NIM : Nur Fazriani Mirsyah, S. Ked (K1A1 12 025)
Dian Maharani, S.Ked (K1A1 13 014)
Judul Referat : Laringitis Kronis
Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian
Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, November 2019


Mengetahui:
Pembimbing,
`

dr. Nancy Sendra, M.Kes, Sp.THT-KL

2
Laringitis Kronis
Dian Maharani, Nur Fazriani M., Nancy Sendra

A. Pendahuluan
Laringitis menggambarkan peradangan pada laring, dan berbagai
penyebab dapat menimbulkan gejala-gejala yang umum ditemukan. Laringitis
dapat bersifat akut atau kronis, infektif atau inflamasi, gangguan tersendiri
atau bagian dari penyakit sistemik, dan sering kali disertai gejala seperti suara
serak. Biasanya laringitis berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan
atas dan dapat berdampak besar pada kesehatan fisik, kualitas hidup, dan
bahkan kesejahteraan psikologis dan pekerjaan jika gejalanya menetap.1
Laringitis kronis merupakan peradangan kronis pada laring, yang biasanya
berkembang secara bertahap dimana tanda-tanda serta gejala yang dialami
dapat hilang timbul dalam jangka waktu yang lama. Ketika laring tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, individu mengalami masalah suara serta
kesulitan aspirasi ke dalam trakea, yang mengakibatkan gangguan
pernapasan. Peradangan kronis berulang pada epitel laring dapat
berkontribusi pada terbentuknya lesi prakanker dan berpotensi menyebabkan
kanker laring.2
Laringitis kronis adalah kelainan suara organik yang paling sering
didiagnosis, dengan hampir 10% dari semua kasus disfonia. Laringitis kronis
berkembang secara bertahap dengan hilang timbilnya tanda-tanda dan gejala
yang dialami selama periode waktu yang sangat lama. Penyakit ini ditandai
oleh berbagai gejala termasuk suara serak, kesulitan untuk berbicara, nyeri
tenggorokan, dan batuk.3 Secara keseluruhan, manifestasi klinis laringitis
adalah kumpulan tanda dan gejala laring yang tidak spesifik yang juga dapat
disebabkan oleh penyakit lain. Akibatnya diagnosis dapat menjadi sulit dan
memerlukan korelasi riwayat, pemeriksaan, dan jika perlu dapat dilakukan
pemeriksaan khusus, termasuk visualisasi laring dan stroboskopi.1
Penatalaksanaan yang efektif sangat tergantung pada etiologi terkait,
perjalanan klinis penyakit, dan riwayat medis pasien. Prognosis untuk

3
kesembuhan dan jenis perawatan yang diperlukan untuk setiap pasien
tergantung pada keparahan penyakit dan etiologi yang mendasarinya.4 Pada
populasi berisiko atau pasien yang memiliki gejala menetap, rujukan ke
spesialis THT harus dipertimbangkan.1

B. Anatomi Laring
Laring (voice box) adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang
merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak
setinggi vertebra cervicalis IV-VI, dimana pada anak-anak dan wanita
letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya
kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan makanan.5
Tabel 1. Ukuran laring pada laki-laki dan perempuan6
Jenis Kelamin Panjang Melintang Antero-posterior
Laki-laki 44 mm 43 mm 36 mm
Perempuan 36 mm 41 mm 26 mm

Laring terletak di bagian anterior leher dan di atas trakea.6 Lokasi laring
dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago
tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut
prominensia laring atau Adam’s apple atau jakun. Laring berbentuk piramida
triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di sebelah atas dan
kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan
laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya
otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2
tahun.5 Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago,
ligamentum dan otot-otot.5,7
1. Kartilago pada laring5
Kartilago pada laring terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kartilago mayor
dan kartilago minor. Kelompok kartilago mayor terdiri dari 1 buah
kartilago tiroidea, 1 buah kartilago krikoidea, dan 2 buah kartilago
aritenoidea. Kelompok kartilago minor terdiri dari 2 buah kartilago
kornikulata Santorini, 2 buah kartilago kuneiformis Wrisberg, dan 1 buah
kartilago epiglotis.

4
Gambar 1. Kartilago dan ligamentum laring tampak anterolateral dan posterior8
2. Membran pada laring7
Membran pada laring dibagi menjadi 2, yaitu membran ekstrinsik dan
membran intrinsik. Membran ekstrinsik meliputi membrana tirohioid,
membrana krikotiroid, dan membrana krikotrakeal. Membran intrinsik
meliputi membrana krikovokal dan membrana quadrangularis.
3. Otot-otot laring7
Otot-otot pada laring dibagi menjadi 2, yaitu otot-otot ekstrinsik dan otot-
otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda.5,7
a. Otot-otot ekstrinsik yang berasal dari luar laring melekat pada
kartilago tiroidea dan os hioideum dan disebut strap-muscles7 Otot-
otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya.
Kelompok otot ini menggerakkan laring secara keselutuhan, terbagi
atas:
1.) Otot-otot suprahioid atau otot-otot elevator laring, yaitu m.
stilohioideus, m. geniohioideus, m. genioglosus, m. milohioideus,
m. digastrikus, dan m. hioglosus.
2.) Otot-otot infrahioid atau otot-otot depresor laring, yaitu m.
omohioideus, m. sternokleidomastoideus, dan m. tirohioideus.
Kelompok otot ini dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3
serta penting untuk proses deglutisi (menelan) dan fonasi
(pembentukan suara).

5
b. Otot-otot intrinsik, menghubungkan kartilago satu dengan yang
lainnya. Kelompok otot ini berfungsi untuk menggerakan struktur
yang ada di dalam laring untuk membentuk suara, bernapas dan proses
menelan. 5,7
1.) Otot-otot yang bekerja pada pita suara sebagai abduktor (m.
krikoaritenoid posterior) berfungsi untuk membuka pita suara.
Otot adduktor (m. krikoaitenoideus lateral, mm. interaritenoideus
transversal dan oblique) dan tensor (m. tiroaritenoideus, m.
vokalis dan m. krikoaritenoid). 5,7
2.) Otot-otot yang bekerja pada aditus laring berfungsi untuk
membuka aditus laring (m. tireoepiglotikus) dan menutup aditus
laring (m. krikoaritenoideus/postikus, dan m. ariepiglotik).5,7

Gambar 2. Otot-otot laring tampak lateral8


4. Cavitas pada laring, meliputi:7
a. Aditus laring
Cavum laring dimulai dari aditus laring yang dibatasi di depan oleh
tepi atas epiglottis, di lateral oleh plika ariepiglotika dengan
tuberkulum kuneiformis dan di belakang oleh tuberkulum
kornikulatum dan insisura interaritenoidea.
b. Vestibulum laring

6
Mulai dari aditus laring sampai plika ventrikularis merupakan bagian
atas dari kavum laring.
c. Glotis
Mulai dari plika ventrikularis sampai tepi bebas plika vokalis.
d. Rima glottis
Rima glotis adalah celah yang dibatasi oleh komisura anterior, kedua
plika vokalis dan komisura posterior.
e. Valleculae
Terdapat diantara permukaan anterior epiglottis dengan basis lidah,
dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.
5. Inervasi laring7
Laring diinervasi oleh n. laringeus superior dan n. laringeus inferior.
Nevus laringeus superior merupakan cabang dari n. X, ramus eksternus
bersifat motoris untuk m. krikotiroideus. Nevus laringeus inferior
merupakan lanjutan dari n. rekuren n. X yang bersifat motoris untuk
inervasi semua otot-otot instrinsik laring lainnya.

Gambar 3. Inervasi laring8


6. Vaskularisasi laring7
Vaskularisasi laring terdiri dari:

7
a. Arteri laringeus superior berasal dari a. tiroidea superior cabang dari
a. carotis externa
b. Arteri laringeus inferior berasal dari a. tiroidea inferior yang
dipercabangkan oleh trunkus tireoservikalis yang dipercabangkan oleh
a. subclavia
c. Vena laringea superior bermuara di v. jugularis interna
d. Vena laringea inferior bermuara di v. anonima sinistra
7. Sistem limfatik8
Aliran limfe pada masing-masing bagian dari laring berbeda, dimana
aliran limfe pada supraglotis lebih banyak sedangkan pada glotis sangat
sedikit. Hal ini menyebabkan pola metastasis regional dari keganasan
pada laring dipengaruhi lokasi tumor dan perluasannya. Laring
mempunyai 3 sistem penyaluran limfe, yaitu:
a. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju
kelenjar limfe servikal superior profunda. Limfe ini juga menuju ke
nodus jugular superior dan media.
b. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, nodus jugular media dan inferior.
c. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan
metastase karsinoma laring dan menentukan terapinya.

Gambar 4. Sistem limfatik laring5

8
Laring secara klinis dibagi menjadi tiga bagian yaitu supraglotis, glotis
dan subglotis. Pembagian ini merupakan pembagian berdasarkan
perkembangan embriologi yang mempengaruhi dampak klinis yang penting.
Bagian yang termasuk dalam supraglotis adalah epiglotis, aritenoid, plika
ariepiglotika dan plika ventrikularis, sedangkan glotis adalah pita suara (plika
vokalis) termasuk komisura anterior dan posterior sedangkan subglotis mulai
dari pinggir bawah plika vokalis sampai pinggir bawah kartilago krikoid.9

Gambar 4. Bagian-bagian laring9

C. Fisiologi Laring
Laring memiliki 3 fungsi dasar, yaitu proteksi, respirasi dan fonasi,
disamping beberapa fungsi lainnya, antara lain:
1. Fungsi protektif
Fungsi utama laring adalah melindungi jalan napas dari partikel makanan
dan sekresi orofaring.6 Pada waktu menelan dan muntah, aditus akan
menutup. Bila ada korpus alienum akan terjadi refleks batuk.7
2. Fungsi respirasi
Laring secara pasif berfungsi sebagai jalan napas. Peran kartilago
krikoidea sangat penting sebagai kerangka untuk mempertahankan lumen
terutama pada trauma. Secara aktif, laring mengatur rima glottis dalam
pernapasan. Saat inspirasi tenang, rima akan terbuka sedikit, sedangkan
saat ekspirasi tenang, rima menyempit sedikit. Saat inspirasi dalam, rima

9
akan membuka lebar.7 Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2
dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat
pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang
pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan
pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial
dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial
CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.5
3. Fungsi fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya
interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh
adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya
ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea,
faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan
berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian
tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan
tegangan pita suara sejati.5
4. Fungsi sirkulasi
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan
peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.
Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan
bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya
reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah
baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N. Laringeus
Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.5
5. Fungsi fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap
tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.5 Dengan menutupnya glotis
pada akhir inspirasi terjadi fiksasi thoraks.7

10
6. Fungsi deglutatori
Lokasi laring yang anterior dari bagian inferior faring memungkinkannya
untuk memainkan peran penting dalam deglutisi (menelan).6 Pada waktu
menelan laring terangkat dan aditus laring menutup.7
7. Fungsi batuk (tussif) dan ekspektorasi
Kedua fungsi ini bersifat protektif dan merupakan pertahanan tubuh lini
kedua.7 Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi
sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan
tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk
mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau membersihkan
sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa laring. Selain
itu, dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar
berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.5
8. Fungsi emosi
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya
pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.5

D. Definisi Laringitis Kronis


Istilah laringitis digunakan untuk mendeskripsikan keadaan terjadinya
peradangan pada laring.1 Istilah diagnostik ini seringkali digunakan untuk
menggambarkan mukosa dan jaringan laring yang tampak meradang, meliputi
epiglottis, corpus aritenoid, plika ariepiglottika, plika vokalis ventrikular,
epitel-epitel skuamosa pada plika vokalis, dan subglottis. Proses inflamasi
mungkin merusak epitel-epitel bersilia pada laring sehingga dapat
mengganggu aliran mukus di percabangan trakeo-bronkhial.4
Laringitis kronis didefinisikan sebagai laringitis yang berlangsung lebih
dari 3 minggu. Hal ini dapat disebabkan oleh serangkaian proses penyakit
yang berbeda, mulai dari proses inflamasi, seperti laringitis alergi dan refluks
laringofaring, hingga gangguan autoimun seperti artritis rematoid, dan
penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis.1

11
E. Epidemiologi
Prevalensi laringitis sulit diperkirakan. Sebuah tinjauan yang dilakukan
oleh Royal College of General Practitioners di Inggris pada tahun 2010
melaporkan insiden rata-rata 6,6 kasus laringitis dan trakeitis per 100.000
pasien per minggu. Laringitis kronis tidak umum ditemukan pada pelayanan
kesehatan primer, namun merupakan indikasi utama untuk rujukan.1
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa laringitis kronis memiliki insiden
3,5 kasus baru per 1.000 orang setiap tahun. Dengan demikian, diperkirakan
sekitar 21% individu akan mengalami laringitis kronis dalam hidupnya.2
Laringitis kronis merupakan kelainan suara organik yang paling sering
terdiagnosis, yaitu hampir 10% dari semua kasus disfonia.3 Diduga bahwa
laringitis kronis mungkin dialami pada sekitar sepertiga dari populasi umum,
dan lebih dari 50% individu dengan gejala penyakit ini ditemukan memiliki
berbagai tanda-tanda inflamasi laring selama laringoskopi.4
Laringitis kronis terutama tipe non-spesifik dapat terjadi pada berbagai
usia, namun terutama pada usia 45-65 tahun.14 Dengan bertambahnya usia,
kekuatan mendorong lidah dan amplitudo kontraksi dinding faring menurun,
juga terjadi pengurangan proses menelan faringeal, yang menyebabkan
retensi makanan di valleculae dan sinus piriformis. Kekuatan aferen dari
refleks laryngo-upper-esophageal sphincter terganggu, dan refleks muntah
dilaporkan tidak ada pada 40% individu lansia yang sehat. Perubahan terkait
usia juga dapat meningkatkan fungsi abnormal pada tekanan sfingter esofagus
bagian bawah (lower esophageal sphincter, LES), menurunkan panjang LES,
dan mengganggu motilitas esofagus. Fungsi esofagus dan LES yang abnormal
dapat menyebabkan retensi makanan dan regurgitasi isi lambung serta
cenderung merusak laring.2
Laringitis kronis terutama didominasi oleh perempuan.14 Estrogen
mungkin menjadi penyebab perbedaan prevalensi laringitis kronis terkait
jenis kelamin. Peningkatan kadar estrogen menyebabkan sekresi asam
lambung dan GERD pada wanita. Wanita gemuk memiliki korelasi yang lebih
kuat daripada pria gemuk.2

12
Penelitian Gyebre, dkk pada penderita laringitis kronis di Afrika Barat
menemukan bahwa sebagian besar (25,4% kasus) penderita laringitis kronis
merupakan pekerja profesional yang banyak menggunakan suara. Sebesar
64,3% penderita laringitis kronis bekerja sebagai guru. Hal ini mungkin
terkait dengaan terlalu banyak bekerja dan/atau pengelolaan penggunaan
suara yang tidak baik dimana pekerjaan tersebut terutama menggunakan
suara.14

Gambar 5. Distribusi laringitis kronis pada berbagai pekerjaan yang terutama


terkait dengan penggunaan suara menurut penelitian Gyebre, dkk14

F. Etiologi dan Klasifikasi


Laringitis kronis secara umum dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
laringitis kronis non-spesifik dan laringitis kronis spesifik.
1. Laringitis kronis non-spesifik
Laringitis kronik non-spesifik dapat terjadi setelah laringitis akut
yang berulang, dan juga dapat diakibatkan oleh sinusitis kronis, deviasi
septum berat, polip hidung, bronkitis kronik, refluks laringofaring,
merokok, pajanan terhadap iritan yang bersifat konstan, dan konsumsi
alkohol berlebih. Mungkin juga disebabkan penggunaan suara yang salah
dan berlebihan (vocal abuse = penyalahgunaan suara) seperti sering
berteriak-teriak atau bicara keras.15,16 Penyalahgunaan suara juga sering
terjadi pada pengguna suara profesional (professional voice user) seperti

13
penyanyi, aktor, dosen, guru, penceramah, tenaga penjual (salesman),
pelatih olahraga, operator telepon dan lain-lain.16
Penyebab laringitis kronis secara umum dapat dibagi menjadi 3,
yaitu inflamasi, autoimun, dan granulomatosa.1
a. Penyebab inflamasi, dapat berupa alergi dan refluks laringofaring.
Laringitis kronis paling sering disebabkan oleh refluks laringofaring
(laryngopharyngeal reflux atau LPR), terutama di Amerika Serikat.
Sekitar 10% dari semua pasien THT dan 50% dari pasien dengan
keluhan suara telah didiagnosis dengan LPR.2 Pada laringitis alergi,
belum jelas apakah gejalanya terkait dengan rinitis alergi atau asma,
atau awalnya memang dari laring. Diagnosis dapat sulit ditegakkan
karena temuan klinis tidak spesifik dan sulit dibedakan dari refluks
laringofaringeal.1
b. Penyebab autoimun, yaitu penyakit-penyakit dengan kelainan
autoimun. Laringitis kronis dapat merupakan manifestasi penyakit
sistemik seperti rheumatoid arthritis, pemfigoid, systemic lupus
erythematosus, dan amiloidosis.1
c. Penyebab granulomatosa. Sarkoidosis laring ditemukan pada 0,5-5%
pasien dengan sarkoidosis. Umumnya muncul dengan gejala laring
yang tidak spesifik. Disfonia dapat terjadi karena kelumpuhan saraf
laring berulang akibat limfadenopati mediastinum. Pada pemeriksaan
dapat ditemukan mukosa laring edema, dengan supraglottis menjadi
daerah yang paling sering terlibat, plika vokalis jarang terlibat. Biopsi
diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Diterapi dengan
kortikosteroid sistemik, atau lebih jarang dengan injeksi intralesi atau
reseksi laser.
2. Laringitis kronis spesifik
Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah laringitis
tuberkulosis dan laringitis luetika. Gejalanya selain gangguan suara,
terdapat juga gejala penyakit penyebab atau penyakit yang
menyertainya.16

14
a. Laringitis tuberkulosa
Penyakit ini disebabkan oleh tuberkulosis paru. Setelah diobati,
biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosis
menetap karena membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Hal ini
terjadi karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta
vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah
mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.15,16
b. Laringitis luetika
Laringitis luetika merupakan radang menahun yang disebabkan oleh
infeksi Treponema pallidum dan jarang ditemukan.15,16,17 Terdapat 4
stadium klinis lues. Dalam hubungan penyakit di laring yang perlu
dibicarakan ialah lues stadium tertier, yaitu pada stadium
pembentukan guma. Bentuk ini kadang-kadang menyerupai keganasan
laring.15,16

G. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko laringitis kronis secara umum dapat dikelompokkan
menjadi 5 kelompok sebagai berikut.
1. Pola hidup dan perilaku
a. Penyalahgunaan suara (vocal abuse), yaitu individu dengan
kebiasaan menggunakan suara yang tinggi dan keras secara
berlebihan, seperti menjerit, berteriak, menyanyi, dan berdeham,
yang dapat menyebabkan peradangan pita suara unilateral atau
bilateral (misalnya korditis polipoid atau edema Reinke),
pembentukan polip hemoragik atau nodul. Hal ini mungkin terjadi
karena faktor usia, kepribadian, gaya hidup dan tuntutan pekerjaan.4
b. Perokok baik aktif maupun pasif dapat menyebabkan peradangan
jaringan laring infiltratif bilateral difus, korditis polipoid, dan/atau
keganasan.4 Merokok melemahkan refleks faring seperti refleks
penutupan faringoglottis dan refleks pharyngo-upper-esophageal
contractile. Merokok juga menunda pengosongan lambung, sehingga

15
menurunkan tekanan LES dan mengganggu baik klirens asam
esofagus maupun refleks menelan faringeal. Oleh karena itu,
merokok dapat meningkatkan kandungan asam lambung pada
esofagus bagian bawah, mengakibatkan regurgitasi ke dalam faring.
Namun, tidak pasti apakah merokok secara signifikan terkait dengan
laringitis kronis pada laki-laki.2
c. Individu yang mengalami dehidrasi laring karena rutin meminum
minuman berkafein (diuretik) dalam jumlah berlebihan yang sering
memicu sensasi menggelitik pada tenggorokan, berdeham reaktif,
dan peradangan laring yang difus.4
d. Individu yang tidak minum setidaknya 6-8 gelas minuman tanpa
kafein setiap hari untuk pemeliharaan sistem hidrasi jaringan laring
yang memadai.4
e. Individu dengan kebersihan laring yang buruk (merokok, konsumsi
alkohol atau kafein berlebihan) dan kondisi lain yang belum begitu
jelas, seperti laringitis kronis pada peniup kaca (glassblower).2
2. Refluks dan penyakit sistemik
a. Individu yang sering mengalami refluks laringofaringeal (LPR),
yang dapat menyebabkan iritasi jaringan laring dan peradangan
sekunder akibat asam erosif dan efek pepsin yang terkait dengan
batuk nokturnal.4
b. Individu dengan riwayat medis tertentu, seperti asma atau penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK), yang dapat menyebabkan kandida
laring, iritasi mukosa laring, dan peradangan pita suara sekunder
akibat penggunaan kortikosteroid inhalasi dan kebiasaan batuk yang
sering.4
c. Individu dengan penyakit sistemik, seperti sindrom Sjogrens, lupus,
hipertiroidisme (penyakit Graves), hipotiroidisme (miksedema), dan
sarkoidosis dapat menyebabkan mukosa laring meradang, lunak,
kering, dan/atau rapuh serta reaksi inflamasi lokal.4

16
d. Obesitas juga dapat memainkan peran utama pada laringitis kronis.
Kelebihan berat badan dengan lingkar perut yang besar
menghasilkan tekanan intraabdomen yang lebih tinggi, sehingga
mengurangi tekanan LES. Obesitas juga meningkatkan prevalensi
gangguan motilitas esofagus. Dalam suatu penelitian, waktu transit
esofagus secara signifikan memanjang pada subjek obesitas
dibandingkan dengan subjek non-obesitas. Peningkatan waktu transit
esofagus dianggap sebagai konsekuensi dari peningkatan resistensi
lambung dan gastroesofageal junction. Kadar trigliserida yang tinggi
juga merupakan faktor risiko yang terkait dengan laringitis kronis.
Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa kadar trigliserida
serum yang tinggi merupakan faktor prediktif penting pada GERD
atau esofagitis erosif diantara komponen-komponen sindrom
metabolik.2
3. Paparan iritan dan alergen
Faktor-faktor lingkungan misalnya iklim, zat kimia iritan, asap, dan
alergen terkait dengan terjadinya peradangan pada laring.3 Paparan iritan
yang dialami dalam waktu lama dapat berkembang menjadi laringitis
kronis.10
4. Penggunaan obat-obatan
a. Individu yang rutin menggunakan obat antikolinergik, sering
menyebabkan mukosa laring kering dan rapuh dan meningkatkan
risiko laringitis difus.4
b. Individu yang rutin menggunakan obat diuretik atau angiotensin
converting enzyme inhibitor (ACE-I) yang dapat menyebabkan
laringitis sekunder akibat dehidrasi jaringan lokal atau batuk kronis.4
c. Penggunaan obat-obatan inhalasi oral dalam jangka lama, misalnya
obat steroid inhalasi3
d. Penggunaan obat-obatan yang menyebabkan mukosa laring kering
seperti antihistamin, dekongestan dan inhaler paru, kesemuanya
dapat menyebabkan gejala-gejala terkait laring.12

17
5. Faktor-faktor lainnya
a. Individu dengan infeksi bakteri dan jamur pada laring, seperti
kandidiasis laring, blastomycosis dan organisme jamur lainnya,
infeksi Helicobacter pylori, tuberkulosis, herpes atau virus papilloma
pada pita suara, yang dapat menyebabkan peradangan jaringan loko-
regional yang signifikan.2,3,4
b. Individu dengan sekuele dari alergi otolaringeal sistemik, termasuk
post- nasal drip, migrasi sekresi bronkial ke atas dan respon batuk
dan berdeham yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi laring yang
difus.4
c. Individu dengan komplikasi peradangan pada trauma laring.4
d. Individu dengan riwayat infeksi Haemophilus influenza tipe b (Hib)
yang telah dikaitkan dengan epiglottitis pada anak-anak dan orang
dewasa.4
e. Individu dengan riwayat keganasan laring (dengan atau tanpa
inflamasi dan fibrosis jaringan yang disebabkan oleh radiasi).4

H. Patogenesis
Laringitis kronis merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan berbagai perubahan akibat inflamasi spesifik dan non-
spesifik yang dialami pasien berupa kumpulan gejala. Perubahan akibat
inflamasi tersebut terkait dengan berbagai faktor-faktor penyebab.3
Kebanyakan pasien dengan kelainan vokal atau suara akibat laringitis kronis
mengalami gejala yang bervariasi yang timbul dengan kondisi peradangan
yang berbeda-beda, sehingga tidak mudah untuk menentukan penyebab
gejala-gejala tersebut, sebab bisa saja terdapat lebih dari satu penyebab secara
bersamaan.12

18
1. Laringitis kronis non-spesifik
Penyakit refluks gastroesofagus (gastroesophageal reflux disease
atau GERD) dapat menyebabkan suara serak/parau terisolasi selama
refluks asam melewati esofagus dan berkontak dengan laring.10 Tanda
dan gejala laringitis kronis yang berhubungan dengan GERD sering
disebut sebagai refluks laringofaring (laryngopharyngeal reflux atau
LPR) atau refluks laringitis. LPR adalah GERD tipe ekstra-esofagus
karena gejala utamanya melibatkan daerah laringofaring.2 LPR
didefinisikan sebagai aliran retrograde isi lambung ke laring dan faring
dan mengalami kontak dengan jaringan traktus aero-digestif bagian
atas.12 Cedera dapat terjadi sebagai akibat dari refluks isi gastroduodenal
yang langsung melukai mukosa laring, terjadi secara kronis atau bahkan
hanya sekali. Sebab hanya diperlukan jumlah asam yang lebih kecil
untuk melukai laring dibandingkan dengan esofagus, sehingga diyakini
bahwa paparan intermiten sejumlah kecil isi lambung dapat
menyebabkan laringitis.2
Penyebab lain dari laringitis kronis adalah nodul, polip dan kista
pada plika vokalis. Lesi tersebut timbul sebagai akibat penggunaan lama
atau penyalahgunaan suara, dan dapat diperburuk dengan infeksi
pernapasan, sinusitis, merokok dan alkohol. Nodul dan polip
mengganggu produksi suara normal dengan mencegah penutupan dan
mengganggu getaran di sepanjang plika vokalis. Nodul umumnya
bilateral pada sepanjang sepertiga anterior dan media tepi plika vokalis
yang bergetar. Polip berupa lesi unilateral yang terbentuk sepanjang tepi
plika vokalis yang bergetar sebagai akibat penyalahgunaan suara atau
paparan lama iritan inflamasi. Polip terjadi lebih sering pada laki-laki dan
tampak sebagai massa bertangkai yang licin, lunak, dan berdasar lebar.
Kista adalah lesi submukosa yang lebih sangat mengganggu
gerakan bergetar plika vokalis. Etiologi kista belum diketahui jelas,
namun kemungkinan akibat penggunaan suara yang berlebihan atau
paparan iritan. Lesi kista lainnya yang dapat menyebabkan suara

19
serak/parau meliputi kista retensi, laringokel, dan prolaps ventrikular.
Kista retensi umumnya terjadi pada epiglottis, pseudo-plika, ventrikel,
dan plika ariepiglotika, yaitu semua daerah dimana terdapat kelenjar
mukus. Laringokel merupakan kantung berisi udara dari apendiks
ventrikel laring, dan dapat menyebabkan suara serak/parau, batuk,
sensasi benda asing, atau massa di leher. Prolaps ventrikular terjadi
ketika ventrikel menonjol ke dalam laring akibat inflamasi kronis yang
menghasilkan infiltrasi zat-zat inflamasi dan hipertrofi dinding
ventrikel.10
Laringitis alergi terjadi akibat paparan alergen yang terhirup,
menyebabkan gejala batuk dan disfonia dan terjadi melalui 3
mekanisme:12
a. Inflamasi lokal laring, hidung atau sinus-sinus paranasal
menyebabkan sistem regulasi ke atas dari mediator-mediator
inflamasi yang masuk melalui sirkulasi dan meningkatkan produksi
mukus lokal,
b. Perjalanan mukus melalui laring dan,
c. Edema mukosa akibat mekanisme kompensasi seperti berdeham dan
batuk.
Laringitis alergi akan terjadi akibat penyebaran sistemik dari
inflamasi lokal yang melibatkan seluruh traktus respirasi.12 Selain itu,
laringitis kronis dapat disebabkan oleh infeksi virus, fungi atau bakteri
sehingga disebut laringitis infeksiosa. Proses penyakit biasanya diawali
setelah terjadi inhalasi bakteri dari individu terinfeksi.13

2. Laringitis kronis spesifik


a. Laringitis tuberkulosa
Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan,
sputum yang mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis, atau
penyebaran melalui aliran darah atau limfa.16

20
Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema
dapat timbul di fosa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika
vokalis, plika ventrikularis, epiglotis serta terakhir ialah dengan
subglotik.16
b. Laringitis luetika
Laringitis luetika merupakan akibat dari penyakit sifilis yang
sudah lanjut, yaitu pada stadium 3. Perjalanan penyakit silis terdiri
dari 3 stadium, yaitu:17
1) Sifilis primer
Bentuk kelainan berupa erosi yang selanjutnya menjadi ulkus
durum. Laring belum terinfeksi.
2) Sifilis sekunder
Dapat berbentuk roseola, kondiloma lata, sifilis bentuk varisela,
atau bentuk plak mukosa dan alopesia. Edema, mukosa
berwarna keabu-abuan
3) Sifilis tersier
Bersifat destruktif, berupa guma di kulit atau alat-alat dalam dan
kaerdiovaskular serta neurosifilis.

I. Manifestasi Klinis
1. Laringitis kronis non-spesifik
Laringitis kronis berkembang secara bertahap dimana tanda-tanda
dan gejala yang dialami membaik dan memburuk selama periode waktu
yang sangat lama. Penyakit ini ditandai oleh berbagai gejala termasuk
suara serak/parau yang menetap, kesulitan berbicara, sakit tenggorokan,
batuk dan rasa tersangkut di tenggorokan, sehingga pasien sering
mendeham tanpa mengeluarkan sekret oleh karena mukosa yang
menebal.3,16
Sebagian besar pasien laringitis kronis memiliki beberapa gejala,
tetapi keluhan paling umum adalah disfonia (53%), diikuti oleh rasa nyeri
(45%) dan terasa benjolan di tenggorokan (40%).2 Disfonia atau

21
gangguan suara didefinisikan sebagai gangguan yang ditandai dengan
perubahan kualitas suara, usaha vokal yang mengganggu komunikasi
atau mengurangi kualitas hidup yang berhubungan dengan penggunaan
suara.11 Disfonia dapat berupa kesulitan bernapas, suara serak,
keterbatasan rentang pitch suara, dan berkurangnya kekerasan suara.
Disfagia dapat berupa sensasi tersedak dan adanya benjolan atau benda
asing di tenggorokan, nyeri saat menelan, episode regurgitasi, dan
perasaan adanya makanan yang tersangkut di tenggorokan atau esofagus
bagian atas.4
Pada pemeriksaan laring, tampak mukosa menebal, permukaannya
tidak rata dan hiperemis serta edema yang berat dan bervariasi pada
supraglotis dan glotis.2,3,16 Stasis mukus seringkali memicu batuk
episodik dan kebiasaan berdeham yang dapat menyebabkan edema plika
vokalis, hiperemis, hiperkeratosis, akantosis, dan atipia selular.4 Dapat
ditemukan sekresi mukus yang tebal dan lengket pada valleculae, sinus
piriform, dan endolaring.2,3 Perubahan ulseratif, granulasi, dan skar dapat
ditemukan, serta gambaran patologi jinak pada plika vokalis seperti
perubahan polipoid atau edema Reinke.3
Laringitis refluks timbul dengan gejala-gejala khas rasa panas di
dada (heartburn) dan sensasi pahit di belakang tenggorokan. Gejala-
gejala lain meliputi batuk nokturnal, mendeham, dan sensasi ada di
tenggorokan disebut “globus hystericus”. Pasien dengan laringitis refluks
mengalami inflamasi laring posterior yang menyebabkan eritema,
penebalan mukosa, pembentukan granuloma, dan ulkus pada mukosa
aritenoid. Bullemia mungkin juga timbul sebagai laringitis, karena
merupakan penyakit refluks laring dan dapat menyebabkan perdarahan
fokal pada plika vokalis.10 Kegagalan respon terapi inhibitor pompa
proton tidak mengecualikan diagnosis laringitis refluks.1
Gejala-gejala laring akibat laringitis alergi tidak spesifik, meliputi
suara serak/parau, berdeham, batuk dan sensasi benjolan di tenggorokan.
Walaupun tidak ada tanda-tanda spesifik pada pemeriksaan laringoskopi

22
yang patognomonik untuk laringitis alergi, temuan yang terkait dengan
laringitis alergi meliputi mukus tebal endolaring, hiperemis dan edema
plika vokalis. Tanda dan gejala tersebut juga umum ditemukan pada
pasien dengan LPR dan oleh karena itu beberapa penelitian menduga
adanya kemungkinan laringitis alergi terdiagnosa keliru sebagai laringitis
refluks.12

2. Laringitis kronis spesifik


a. Laringitis tuberkulosa
Gejala klinis laringitis tuberkulosa tergantung pada stadiumnya.
Laringitis tuberkulosa memiliki 4 stadium klinis, yaitu:15,16
1) Stadium infiltrasi
Mukosa laring bagian posterior membengkak dan hiperemis,
plika vokalis juga dapat terkena. Mukosa laring berwarna pucat.
Terbentuk tuberkel di daerah submukosa, sehingga mukosa
tidak rata dan tampak bintik-bintik kebiruan. Tuberkel semakin
membesar, menyatu sehingga mukosa di atasnya meregang. Bila
pecah akan timbul ulkus.
2) Stadium ulserasi
Ulkus membesar, dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkejuan dan
terasa sangat nyeri oleh pasien.
3) Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam hingga mengenai dan merusak kartilago
laring, paling sering terkena kartilago aritenoid dan epiglottis.
Terbentuk nanah yang berbau sampai terbentuk sekuester
(squester). Pada stadium ini keadaan umum pasien sangat buruk
dan dapat meninggal. Bila bertahan, maka berlanjut ke stadium
akhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.
4) Stadium fibrotuberkulosis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, plika
vokalis, dan subglotik.

23
Selain itu, terdapat gejala lain berupa rasa kering, panas dan
tertekan di daerah laring; suara parau berlangsung berminggu-
minggu hingga afonia; hemoptisis; nyeri sangat hebat saat menelan,
merupakan tanda yang khas; keadaan umum buruk; dan pada
pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologik) terdapat proses aktif
yang biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan
kaverne.16
b. Laringitis luetika
Gejala-gejala pada laringitis luetika adalah suara parau dan
batuk kronis. disfagia timbul bila guma terdapat dekat introitus
esofagus. Apabila guma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus ini
mempunyai sifat yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan dasar
yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang
berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan
menjalar sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan
menjadi perikondritis. Diagnosis ditegakkan selain dari pemeriksaan
laringoskopik juga dengan pemeriksaan serologik.16

J. Diagnosis
Diagnosis laringitis kronis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan penunjang berdasarkan gejala dan tanda yang muncul
terkait dengan laring.2,16
1. Anamnesis
Anamnesis dan pemeriksaan yang cermat sangat penting dalam
menentukan faktor utama dan membantu mengidentifikasi faktor-faktor
lain yang menyebabkan gejala yang menetap. Anamnesis harus mencakup
sifat dan kronologi dari gejala atau keluhan, faktor yang memperburuk
dan meringankan, serta tuntutan dan penggunaan suara pasien. Selain
gambaran gejala yang dialami, penting untuk bertanya tentang gejala
terkait, misalnya disfagia, odinofagia, otalgia, refluks, benjolan pada
tenggorokan, penurunan berat badan, kesehatan paru, dan tersedak. Peran

24
kondisi medis atau efek pengobatan harus dipertimbangkan, sebagaimana
seharusnya faktor gaya hidup, termasuk merokok, diet, dan hidrasi.
Dampak pada kualitas hidup dan kesejahteraan psikososial juga harus
diatasi.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum pada kepala dan
leher yang meliputi rongga mulut, orofaring, dan leher, serta penilaian
suara pasien. Penilaian suara pasien dapat dilakukan dengan skala
sederhana: derajat 1 (suara normal subyektif), derajat 2 (disfonia ringan),
derajat 3 (disfonia sedang), derajat 4 (disfonia parah), dan derajat 5
(afonia), dengan kondisi tambahan bila perlu, misalnya, bernapas atau
tegang. Selain itu, sistem penilaian yang banyak digunakan adalah skala
GRBAS (grade, roughness, breathiness, asthenia, strain). Metode ini
sederhana dan dapat digandakan untuk menilai perubahan dan kualitas
suara. Alat ini menilai suara serak, kasar, sulit bernapas, aesthenia
(kelemahan), dan regangan pada skala 0-3, dengan 0 mewakili normal, 1
derajat ringan, 2 derajat sedang, dan 3 derajat tinggi. Skala dapat
digunakan oleh dokter untuk melacak perubahan suara dari waktu ke
waktu dan juga memungkinkan dokter lain untuk memahami tingkat
disfungsi suara dari notasi.1
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laringoskopi langsung/tidak langsung
Pemeriksaan laringoskopi sebagai bagian penting dalam
pemeriksaan lengkap di bagian Ilmu Kesehataan Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala Leher yang dibutuhkan dalam membantu
menegakkan diagnosis definitif.11 Pemeriksaan laringoskopi dengan
serat optik atau laringoskop kaku merupakan pemeriksaan rutin yang
dapat memberikan gambaran lebih jelas struktur laring.8
b. Pemeriksaan endoskopi
Alat diagnostik yang paling berguna dalam mengevaluasi
peradangan laring adalah endoskopi serat optik baik rigid maupun

25
fleksibel. Endoskopi laring sering mengungkapkan temuan patologi
loko-regional yang bervariasi, tergantung pada etiologi yang
mendasarinya. Temuan tersebut dapat berupa:4
1) Eritema dan edema membran glotis dan supraglottal difus serta
penyempitan jalan napas,
2) Kerusakan jaringan mukosa, ektasi kapiler, perdarahan,
hiperemia, poliposis (edema Reinke), pembentukan polip diskrit,
nodul, hiperkeratosis, dan/atau leukoplakia yang melibatkan
plika vokalis,
3) Ulserasi, granuloma kontak, dan jaringan parut di sepanjang
permukaan medial dari prosesus vokalis aritenoid dan di dalam
daerah interaritenoid, dan
4) Plika ventrikularis. Ketidakmampuan glotis selama fonasi
biasanya merupakan akibat dari peradangan, keparahan biasanya
menentukan tingkat gejala-gejala terkait suara dan menelan yang
dialami.

A B
Gambar 6. Gambaran endoskopi sebelum pengobatan pada pasien laringitis
bakterial kronis Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
A: Bilateral eritema ringan pada plika vokalis disertai iregularitas mukosa sisi
kiri, B: Tampak edema laring dengan granulasi jaringan dan eksudat fibrinosa
pada plika vokalis serta eritema difus dan edema daerah glottis posterior dan post
krikoid13

c. Pemeriksaan stroboskopi
Pemeriksaan stroboskopi meskipun bukan pemeriksaan yang
esensial, namun dapat memberikan gambaran adanya gangguan

26
gerakan dan gelombang mukosa pita suara, sehingga dapat
mendeteksi adanya pertumbuhan massa lebih dini pada pita suara.
Neoplasma epitel pada pita suara biasanya akan tampak berupa lesi
keputihan atau lesi kemerahan di pita suara, lesi dapat datar atau
eksofitik.8 Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor,
maka perlu dilakukan biopsi.16
d. Pemeriksaan pH 24 jam
Pemeriksaan pH 24 jam menggunakan 2 probe dan impendansi
intraluminal multichannel serta manometri merupakan standar baku
dalam mendiagnosis refluks dan LPR. Namun pemeriksaan tersebut
tidak rutin dilakukan karena alasan biaya dan ketidaknyamanan
pasien. Umumnya diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala
klinis yang mengarah ke refluks, respon terapi perilaku dan obat
empiris dan adanya perubahan mukosa pada temuan endoskopi.12
e. Pemeriksaan laboratorium dan foto rontgen thoraks pada kecurigaan
laringitis tuberkulosa.
K. Diagnosis Banding
Diagnosis banding laringitis antara lain benda asing pada laring, faringitis,
bronkiolitis, bronkitis, pneumonia, tumor pada laring dan kelumpuhan pita
suara atau paralisis plika vokalis.15 Diagnosis banding laringitis tuberkulosa,
yaitu laringitis luetika, karsinoma laring, aktinomikosis laring dan lupus
vulgaris laring.16

L. Komplikasi
Komplikasi laringitis dapat terjadi obstruksi jalan napas atas, pneumonia,
bronkhitis.15 Bila terjadi penyembuhan spontan pada laringitis luetika dapat
terjadi stenosis laring karena terbentuk jaringan parut.16

M. Penatatalaksanaan
Pertimbangan pertama dalam penilaian awal pasien dengan gejala laring
yaitu harus menilai patensi jalan napas. Pasien dengan stridor atau gangguan

27
pernapasan membutuhkan penilaian mendesak dalam penatalaksanaan
dimana dukungan jalan napas dapat diberikan dengan cepat jika diperlukan.1
Tatalaksana laringitis kronis sebaiknya terutama fokus pada kemungkinan
penyebab yang mendasari, misalnya penyalahgunaan suara (vocal abuse),
merokok, dehidrasi, refluks, asma, alergi, penyakit sistemik dan sekuele dari
penggunaan obat-obatan yang mengiritasi laring.3,4 Terapi yang terpenting
ialah mengobati peradangan di hidung, faring serta bronkus yang mungkin
menjadi penyebab laringitis kronis itu.16
1. Non-medikamentosa
Tatalaksana non-medikamentosa yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Istirahat suara (vocal rest), yaitu pasien diminta untuk tidak banyak
berbicara.15,16 Pada banyak kasus, modifikasi perilaku dan
mengistirahatkan suara cukup untuk memperbaiki keadaan pasien.4
b. Rehabilitas suara15
c. Meningkatkan asupan cairan sehingga tercapai hidrasi yang
adekuat.1,15
d. Penggunaan pelega tenggorokan tanpa gula (sugar free throat
lozenges) dan pelembab udara uap atau inhalasi uap untuk
melembabkan tenggorokan (humidifikasi) sangat penting dan
bermanfaat untuk pengobatan pada pasien yang tidak membaik secara
signifikan dengan teknik tatalaksana lainnya.1,4
e. Terapi saline isotonis mungkin bermanfaat untuk pasien dengan
laringitis persisten sebagai terapi alternatif.4
f. Bila terdapat sumbatan laring karena stenosis, dilakukan pemasangan
pipa endotrakea atau trakeostomi.15,16
g. Pengangkatan sekuester16

28
Gambar 7. Algoritme jenis, penyebab dan tatalaksana laringitis kronis

Konseling dan edukasi bertujuan untuk memberitahu pasien dan


keluarga untuk:4,15
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
b. Menghentikan merokok.
c. Mengistirahatkan pasien berbicara dan bersuara (vocal rest) atau tidak
bersuara berlebihan.
d. Menghindari makanan yang mengiritasi atau meningkatkan asam
lambung.
e. Pada laringitis kronis akibat alergi, hindari alergen-alergen spesifik
seperti debu, serbuk sari, atau polutan lingkungan.
f. Hindari minuman-minuman berkafein.

29
g. Hindari penggunaan obat-obatan dekongestan sistemik, inhaler yang
mengandung bahan steroid dan obat-obatan lain yang dapat
mempengaruhi terjadinya laringitis kronis.
h. Hindari kebiasaan berdeham dan berbisik-bisik.

2. Medikamentosa
a. Dapat diberikan Parasetamol atau Ibuprofen sebagai antipiretik dan
analgetik.15
b. Pemberian antibiotik dilakukan bila peradangan dari paru. Bila
melalui kultur ditemukan penyebab berupa Streptokokus grup A, maka
antibiotik yang dapat digunakan yaitu golongan Penisilin.15
c. Pemberian Proton Pump Inhibitor (PPI) pada laringitis yang
disebabkan oleh refluks laringofaring.15
d. Kortikosteroid dapat diberikan jika laringitis berat.15 Pada keadaan
khusus tertentu, dimana perbaikan suara mendesak diperlukan,
pemberian kortikosteroid sistemik jangka pendek atau injeksi steroid
terlokalisir langsung pada lapisan superfisialis dari lamina propria
plika vokalis dapat dilakukan untuk pertolongan cepat terkait
inflamasi dan disfonia. Metilprednisolon (40 mg/mL)
direkomendasikan untuk prosedur injeksi, menggunakan semprit 1
mL, kanul bengkok, dan jarum injektor disposable. Rekomendasi
rentang dosis mulai dari 0,1 mL hingga 1,0 mL per injeksi intralesi.
Untuk inflamasi dan lesi plika vokalis ringan sebaiknya menggunakan
dosis yang lebih kecil, sedangkan dosis besar sebaiknya diberikan
untuk granuloma dan jaringan parut pada laring. Intervensi bedah
seringkali dapat ditunda atau dicegah dengan penggunaan steroid.
Banyak perbedaan patologi laringitis akut kronis atau akut, seperti
edema persisten, korditis polipoid, da polip fusiformis atau hemoragik
mungkin efektif dengan pengobatan awal berupa modifikasi perilaku,
diikuti dengan regimen farmakologi diatas bila diperlukan.4

30
e. Pada kasus laringitis tuberkulosis, berikan obat anti-tuberkulosis
primer dan sekunder.15,16
f. Pada kasus laringitis luetika, berikan penisilin dengan dosis tinggi.15,16
Dapat diberikan Penisilin prokain 100.000 IU per hari sebanyak 12
kali suntik atau Penisilin kerja lama seperti Penisili G benzatin dengan
total 9 juta unit, satu kali seminggu selama 4 minggu.17

3. Rencana tindak lanjut dan Rujukan


Rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
laringoskopi indirek kembali untuk memeriksa perbaikan organ laring.
Kriteria-kriteria untuk merujuk pasien ke rumah sakit, yaitu apabila:15
a. Terdapat tanda sumbatan jalan nafas atas.
b. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted.
c. Ada kecurigaan tumor laring.

N. Prognosis
Prognosis laringitis kronis terutama tipe spesifik tergantung pada keadaan
sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta ketekunan berobat. Bila
diagnosis dapat ditegakkan pada stadium dini, maka prognosisnya baik.16 Jika
pengobatan sempurna, prognosis baik.17

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Wood JM., Athanasiadis T., dan Allen J. 2014. Laryngitis. BMJ 349: 27-31.
2. Joo YH., Han KD., dan Lee SS. 2015. Association between Obesity and
Chronic Laryngitis in Women – Data from the Korea National Health and
Nutrition Examination Survey. Obesity Facts 8: 252-260.
3. Jette, Marie. 2016. Toward an Understanding of the Pathophysiology of
Chronic Laryngitis. Perspectives of the ASHA Special Interest Groups SIG
3(1): 14-19.
4. Dworkin-Valenti JP., Sugihara E., Stern N., Naumann I., Bathula S., dkk.
2015. Laryngeal Inflammation. Annals of Otolaryngology and Rhinology
2(9): 1-8.
5. Sofyan, Ferryan. 2011. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Laring. Medan:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
6. Thiagarajan, Balasubramanian. 2015. Anatomy of Larynx A Review.
Otolaryngology Online Journal 5(1.5): 1-12.
7. Punagi, Abdul Q. 2010. Penatalaksanaan Bilateral Midline Paralysis Pasca
Tiroidektomi Total. Medicinus 22(4): 151-156.
8. Anniko M., Berbal-Sprekelsen M., Bonkowsky V., Bradley P., dan Iurato S.
2010. Anatomy and Physiology of the Larynx and Hypopharynx dalam
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. New York: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg. Halaman 461-469.
9. Rahman, Sukri. 2018. Diagnosis Dini Tumor Ganas Laring. Dipresentasikan
pada Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) Perhimpunan Ahli THT-KL
(PERHATI-KL) X. Banten. Halaman 1-7.
10. Chandler M. dan Mitz ML. Laryngitis and Hoarseness dalam Current
Clinical Practice: Disorders of the Respiratory Tract: Common Challenges
in Primary Care. Totowa: Humana Press. Halaman 90-93.
11. Gusmarina A., Novialdi, dan Hardisman. 2017. Karakteristik Pasien Disfonia
di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher RSUP DR. M.
Djamil Padang Tahun 2010-2013. Jurnal Kesehatan Andalas 6(1): 93-94.

32
12. Campagnolo A. dan Benninger MS. 2019. Allergic Laryngitis: Chronic
Laryngitis and Allergic Sensitization. Brazilian Journal of
Otorhinolaryngology 85(3):263-266.
13. Antunes MB., Ransom ER., dan Leahy KP. 2012. Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus Laryngitis: A Report of Two Cases with Different
Clinical Presentations. Karger AG, Basel 74: 146-148.
14. Gyebre YMC., Goueta A., Bakyono KE., Zongo G., Ouedraogo BP., dkk.
2016. Chronic laryngitis in CHU Yalgado Ouedraog: Epidemiological and
Diagnostic Aspects. Otolaryngology Open Access 1(8): 207-210.
15. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. Halaman 351-354.
16. Soepardi EA., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti RD. 2007. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggoro Kepala dan Leher Edisi Keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Halaman 238-241.
17. Sirger RS. 2002. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman 301-303.

33

Anda mungkin juga menyukai