KOLITIS
PENYUSUN :
Nur Fazriani Mirsyah, S.Ked
K1A1 12 025
PEMBIMBING :
dr. Metrila Harwati Halib., M.Kes., Sp.Rad
A. PENDAHULUAN
Jenis kolitis yang paling sering ditemukan pada daerah tropis seperti
Indonesia adalah kolitis infeksi. Adapun prevalensi kolitis amebik di daerah
tropis adalah 50-80%. Namun prevalensi shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis
pseudomembran dan kolitis karena Eschericia coli di daerah tropis khususnya
Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Hal ini terjadi karena studi tentang
epidemiologi kolitis di Indonesia masih jarang dilakukan. Begitu juga dengan
prevalensi kolitis noninfeksi di Indonesia (Oesman, dkk. 2007).
B. Anatomi Fisiologi
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi
dan setengah distal kolon berhubungan dengan penyimpanan. Karena sebagai
2 fungsi tersebut gerakan kolon sangat lambat. Tapi gerakannya masih seperti
usus halus yang dibagi menjadi gerakan mencampur dan mendorong (Price,
dkk. 2012).
Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5
cm otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir
tersumbat. Saat yang sama, otot longitudinal kolon (taenia koli) akan
berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi menyebabkan bagian usus yang tidak
terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap haustrasi mencapai intensitas
puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang 60 detik berikutnya,
kadang juga lambat terutama sekum dan kolon asendens sehingga sedikit isi
hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena itu bahan feses dalam usus besar
secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan feses secara bertahap
bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat
terlarut secara progresif diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang
dikeluarkan tiap hari (Price, dkk. 2012).
Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra
yang lambat tapi persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur
setengah padat. Dari sekum sampai sigmoid, pergerakan massa mengambil
alih peran pendorongan untuk beberapa menit menjadi satu waktu,
kebanyakan 1-3 x/hari gerakan (Jose. 2010)
Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada
kolon pengabsorpsi. Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai
tambahan nutrisi), vitamin (K, B10₁₂, tiamin, riboflavin, dan bermacam gas
yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂, H₂, CH₄)
C. KLASIFIKASI
a) Kolitis infeksi
- Kolitis amebik
- Shigelosis
- kolitis tuberkulosa
- kolitis pseudomembran
- kolitis karena virus/bakteri/parasit lain seperti Eschericia coli
b) Kolitis non-infeksi
- Penyakit crohn
- Kolitis ulseratif
- kolitis radiasi
- kolitis iskemik
D. ETIOLOGI
a) Kolitis infeksi
- Kolitis amebik
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.
Manusia merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat
kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat,
kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual anal-oral.
Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat dan kurangnya
sanitasi individual mempermudah penularannya (Oesman, dkk. 2007).
- Shigelosis
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri
genus Shigella. Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman
padat , sanitasi jelek, kurang air dan tingkat kebersihan perorangan yang
rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10 – 15 %
penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah
manusia walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga
tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relative sedikit, yaitu
berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi
penularan secara fecal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat
makanan dan minuman yang terkontaminasi (Oesman, dkk. 2007).
- kolitis tuberkulosa
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae. Patogenesis dari
kolitis TB terbagi menjadi 4 mekanisme yaitu menelan dahak yang
terinfeksi, penyebaran secara hematogen dari proses paru aktif atau TB
millier, menkonsumsi susu atau makanan yang terkontaminasi dan
penyebaran langsung dari organ yang berdekatan (Seong, dkk. 2000).
- kolitis pseudomembran
Infeksi dari C. Difficile yang banyak menjadi penyebab infeksi nosokomial
dan dapat menjadi endemik atau epidemik di rumah sakit atau panti jompo.
Kolitis pseudomembran sering dihubungkan dengan penggunaan
antibiotika yang mengakibatkan perubahan keseimbangan flora normal
usus dan memungkinkan pertumbuhan beberapa organisme, termasuk C.
difficile yang akan melepaskan toksin (Gheyi, dkk. 2019). Banyak kasus
dilaporkan kolitis pseudomembran akibat penggunaan antibiotika tanpa
memperhatikan jumlah dosis maupun cara pemberian antibiotika.
Pemberian antibiotika jangka panjang dan penggunaan lebih dari 2 macam
meningkatkan resiko terkena kolitis pseudomembran (Borrielo. 1998).
- kolitis karena virus/bakteri/parasit lain seperti Eschericia coli
b) Kolitis non-infeksi
- Penyakit crohn
Penyebab penyakit Crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan
perhatian pada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu kelainan fungsi
sistim pertahanan tubuh, infeksi dan makanan (Yung, dkk. 2018)
- Kolitis ulserativ
Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon
sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam
terjadinya kolitis ulserative (Marck, dkk. 2019).
- kolitis radiasi
Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan menjadi
kerusakan akibat:
E. PATOGENESIS
a. Kolitis Infeksi
1) Amebiasis Kolon
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba
histolytica. Manusia merupakan host sekaligus reservoir utama.
Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan
perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual
anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat dan
kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya (Oesman, dkk,
2007).
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus
Shigella.Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat ,
sanitasi jelek, kurang air dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di
daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10 – 15 % penyebab diare pada
anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera
dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk
menimbulkan penyakit relative sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman.
Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal oral, baik secara
kontak langsung maupun akibat makanan dan minuman yang
terkontaminasi (Oesman, dkk, 2007).
3) Escherichia Coli
Infeksi kolon oleh serotie Escherichia coli tertentu (O157:H7) yang
menyebabkan diare berdarah/tidak. E.Coli patogen tersebut didapatkan
pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke manusia sehingga
menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat daging
yang terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian
digiling dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain
adalah lewat air minum yang tercemar, tempat berenang yang tercemar dan
antar manusia. Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1
– 8 hari. E.Coli patogen dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu
setelah sembuh namun tidak pernah ditemukan pada orang sehat (bukan
flora normal pada manusia) (Oesman, dkk, 2007).
4) Kolitis Tuberkulosa
1) Kolitis Ulserativa
Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon
sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam
terjadinya kolitis ulserativa sehingga usus besar mengalami peradangan dan
luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut dan demam (Rubin, dkk,
2019). Kolitis ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya
dimulai antara umur 15-30 tahun.Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis
ulserativa tidak selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak
pernah mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau
kolon sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke
sebagian atau seluruh usus besar. Sekitar 10% penderita hanya mendapat satu
kali serangan. Proktitis ulserativa merupakan peradangan dan perlukaan di
rektum. Pada 10-30% penderita, penyakit ini akhirnya menyebar ke usus
besar. Jarang diperlukan pembedahan dan harapan hidupnya baik (Raydian,
dkk, 2017).
2) Kolitis radiasi
Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan menjadi kerusakan
akibat:
Localized irradiation
Kedaan akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dal sel-sel endotel
pembuluh darah saluran cerna yang diikuti edema submukosa akibat
peningkatan permeabelitas kapiler. Dengan meningkatnya dosis radiasi
dalam fase lanjut akan terjadi telengiektasis, atrofi, fibrosis, striktur dan
trombosis yang menyebabkan iskemia jaringan (Kounturas, dkk, 2008).
3) Kolitis iskemik
Arteri yang memasok darah ke usus besar adalah seperti arteri lain
di dalam tubuh. Mereka memiliki potensi untuk sempit akibat
aterosklerosis (seperti pembuluh darah di jantung, yang dapat
menyebabkan angina , atau menyempit pembuluh di otak dapat
menyebabkan stroke ). Ketika arteri sempit, usus besar kehilangan suplai
darah dan menjadi meradang (Fitzgerald, dkk, 2015).
F. GAMBARAN KLINIS
a. Kolitis Infeksi
a) Amebiasis Kolon
Gejala klinis
b) Disentri Basiler
GejalaKlinis
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala
klinis Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa,
namun dapat berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak
diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis
ulserosa (Oesman, dkk, 2007).
Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal,
diare disertai demam yang bisa mencapai 40o C. selanjutnya diare berkurang
tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan
menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau
tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi. Pengidap
pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun
jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang
mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik
tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami gejala shifellosis
yang intermiten (Oesman, dkk, 2007).
c) Escherichia Coli
Gejala klinis
d) Kolitis Tuberkulosa
Gejala klinis
Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik
yang tidak khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang
konstipasi, anoreksi, demam ringan, penurunan berat badan atau teraba
masa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada
tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada
tinja mungkin hanya berasal dan kuman yang tertelan bersama sputum (Oto,
dkk, 2010).
e) Kolitis Pseudombranosa
Gejala Klinis
Pada umumnya gejala tampak setelah 3 sampai 9 hari pemakaian
antibiotika. Gejala dapat asimptomatik sampai berat. Gejala yang sering
adalah diare cair atau mukoid dapat profus, berbau busuk dan dapat disertai
dengan sedikit darah, dengan frekuensi sering (10-20 kali/hari), dan dapat
terjadi ileus tetapi sangat jarang. Dapat disertai kram perut, demam dengan
temperature tidak lebih dari 38°C (Gheyi, dkk, 2019).
Walaupun jarang dapat mengakibatkan manifestasi ekstraintestinal
yaitu oligoartritis dan iridosiklitis.
a) Kolitis Ulserativa
Gejala
Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat,
demam tinggi, sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut). Selama
serangan, penderita tampak sangat sakit. Yang lebih sering terjadi adalah
serangannya dimulai bertahap, dimana penderita memiliki keinginan untuk
buang air besar yang sangat, kram ringan pada perut bawah dan tinja yang
berdarah dan berlendir. Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon
sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan kering. Tetapi selama atau
diantara waktu buang air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung
banyak sel darah merah dan sel darah putih (Raydian, dkk, 2017).
Gejala umum berupa demam, bisa ringan atau malah tidak muncul. Jika
penyakit menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar
sebanyak 10-20 kali/hari. Penderita sering mengalami kram perut yang berat,
kejang pada rektum yang terasa nyeri, disertai keinginan untuk buang air besar
yang sangat. Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang. Tinja tampak encer
dan mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling sering ditemukan adalah
tinja yang hampir seluruhnya berisi darah dan nanah. Penderita bisa demam,
nafsu makannya menurun dan berat badannya berkurang. (Raydian, dkk, 2017).
b) Kolitis radiasi
Gejala klinis
Secara umum, terbagi menjadi 2 gejala (Kountouras, dkk, 2008):
Gejala
Tanda-tanda umum dan gejala kolitis iskemik meliputi (Fitzgerald, dkk,
2015) :
Nyeri abdomen, nyeri atau kram, biasanya terlokalisasi ke sisi kiri
bawah perut, dapat tiba-tiba atau bertahap
Feses berwarna merah terang atau merah darah, suatu ketika dapat
keluar darah sendiri tanpa feses
Perasaan ingin mengedan
Diare
Mual
Muntah
G. DIAGNOSIS
1. Kolitis amebik
Berikut algoritme dalam mendiagnosis kolitis amebik (Oesman, dkk,
2007) :
Positif Negatif
Positif
2. Shigelosis
Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN
(polimorfonuklear). Untuk memastikan diagnosis, dilakukan kultur dari bahah
tinja segar atau hapus rektal. Sigmoideskopi pada umumnya tidak diperlukan,
karena menyebabkan pasien merasa tidak nyaman. Pemeriksaan serologi Shigella
pada fase akut tidak bermanfaat (Oesman, dkk, 2007).
3. Kolitis tuberkulosa
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman M. tuberculosis
melalui pemeriksaan mikroskopik langsung ataupun kultur biopsi jaringan.
Pada pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding,
distorsi lekukan mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip
keganasan di sekum (Oto, dkk, 2010).
4. Kolitis pseudomembran
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik,
perlu dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. C. difficile ditemukan di
tinja 3-5% orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di kolonnya. Menegakkan
diagnosis kolitis pseudomembran memerlukan kultur anaerob feses,
pemeriksaan toksin kuman dan kolonoskopi. Sebagai gold standard adalah
ditemukannya toksin B (sitotoksin) pada tinja, mengingat spesifisitasnya 94-
100% dan sensitivitasnya 99%. Namun karena memakan waktu lama dan mahal
maka cukup dengan memeriksa terdapatnya toksin A (enterotoksin) dengan
metode ELISA (Borriello, 1998).
6. Kolitis ulseratif
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan
tinja. Pada stadium ringan biasanya hasil laboratorium yang ditemukan
normal. Pada stadium sedang dan berat, pemeriksaan darah menunjukan
adanya (Raydian, dkk, 2017).
- anemia
- hipoalbuminemia.
7. Kolitis radiasi
Whole body irradiation
Akibat radiasi dengan dosis > 600 rad terjadi gejala awal berupa nausea,
vomitus dan penurunan sekresi asam lambung. Ini akan diikuti dengan
destruksi difus dari mukosa saluran cerna serta gangguan pada sumsum
tulang belakang, tergangunya fungsi mukosa saluran cerna, perubahan
flora usus serta diikuti oleh kehilangan cairan dan elektrolit bahkan
sepsis (Kountouras, dkk, 2008).
Localized irradiation
Kedaan akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dal sel-sel endotel
pembuluh darah saluran cerna yang diikuti edema submukosa akibat
peningkatan permeabelitas kapiler. Dengan meningkatnya dosis radiasi
dalam fase lanjut akan terjadi telengiektasis, atrofi, fibrosis, striktur dan
trombosis yang menyebabkan iskemia jaringan (Kountouras, dkk,
2008).
8. Kolitis iskemik
Diagnosis kolitis iskemik ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Hasil laboratorium menunjukkan leukositosis
(>15.000/mm3) dan penurunan kadar bikarbonat <24 mmol/L. Endoskopi
berupa kolonoskopi atau fleksibel sigmiodoskopi merupakan prosedur
pilihan jika diagnosis masih belum jelas. Biopsi melalui endoskopi
bermanfaat menyediakan lebih banyak informasi. Visible light
spectroscopic catheter ditempatkan di usus menggunakan endoskopi,
berguna untuk menganalisis kadar oksigen. Spesifitas alat ini 90% atau lebih
untuk iskemia kolon akut dan 83% untuk iskemia mesenterika kronik
(Fitzgerald, dkk, 2015).
H. GAMBARAN RADIOLOGI
i) Kolitis Tuberculosis
Pemeriksaan dengan Colon In Loop dapat ditemukan penebalan dinding,
distorsi lekukan mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip
keganasan di sekum.
Gambar 1: .
Wanita 22 tahun dengan kolitis tuberkulosis lanjut. Barium enema kontras
ganda memperlihatkan lesi yang melingkar (panah) di daerah ileocecal
dan kolon asendens (seong, dkk, 2000).
ii) Kolitis pseudomembran
Foto Polos Abdomen
Gambar 2 : .
pada pasien dengan kolitis pseudomembran yang terbukti. Perhatikan
penebalan haustral nodular, paling jelas di kolon transversa (Gheyi, dkk,
2019).
Colon In Loop
Gambar 3 :
CT-Scan
Gambar 4:
Gambar 5:
Foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif eksaserbasi akut
menunjukkan gambaran thumbprinting pada fleksura splenika dari kolon (
Raydian, dkk, 2017) .
Gambar 6:
foto polos abdomen pada pasien dengan riwayat kolitis
ulseratif menunjukkanstriktur/spasme yang panjang pada kolon
asendens/sekum. Perhatikan bahwa terdapat pseudopoliposis pada kolon
desendens (Raydian, dkk, 2017).
Colon In Loop
Gambaran radiologi kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema
sangat bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat lebih
sempit, danhal ini bisa saja berhubungan dengan pengisian usus yang tidak
sempurna akibatspasme dan iritabilitas pada kolon. Pemeriksaan barium
enema dapat menunjukkan hilangnya haustra pada lumenkolon. Adanya
granula dapat disebabkan oleh hiperemia dan udem pada mukosayang
dapat menyebabkan ulserasi. Ulser superfisial dapat menyebar
danmenutupi semua lapisan mukosa. Terdapat gambaran bintik-bintik
pada mukosaakibat perlengketan barium pada ulser superfisial. Collar
button ulcers merupakan ulserasi yang lebih dalam pada mukosa yang
udem dengan kripteabses pada submukosa.
Gambar 7 :
Pada pemeriksaan barium enema menunjukkan hilangnya haustra pada
seluruh kolon desendens disertai dengan ulserasi, sehingga memberikan
gambaran“lead - pipe” ( Raydian, dkk, 2017).
CT-Scan
CT dapat mendeteksi bagaimanakarakteristik dari kolitis ulseratif. CT-
Scan abdomen dan pelvis menunjukkandilatasi, penebalan pada bagian
mural, dan permukaan mukosa yang ireguler,serta terdapat target sign.
Dapat juga terlihat pseudopolip pada dinding kolon,dan pembuluh darah
yang berdilatasi akibat adanya inflamasi dan hiperemia.
Gambar 8 :
CT-Scan abdomen dan pelvis potongan coronal menunjukkan penebalan
dinding mukosa dan iregularitas yang terjadi pada kolon asendens dan
desendens, seperti yangdiperlihatkan pada tanda panah ( Raydian, dkk,
2017).
iv) Kolitis Iskemik
Foto polos abdomen
Gambar 9 :
Tampak cap jempol di daerah fleksura lien dan juga dilatasi usus
halus proksimal (panah) (Khan, dkk, 2016).
Colon In Loop
Gambar 10 :
Barium enema kontras ganda menunjukkan penyempitan usus
proksimal desendens sekunder akibat iskemia (Khan, dkk, 2016).
CT-Scan
Gambar 11: .
Ini adalah gambar pertama dalam serangkaian CT scan yang
ditingkatkan kontras pada seorang pria berusia 72 tahun yang
mengalami sakit perut akut. Pembedahan mengungkapkan iskemia
mesenterika, terutama di usus besar kanan dan transversal, sekunder
ke trombosis mesenterika perifer (panah). Perhatikan edema kolon
yang mirip dengan pencetakan ibu jari pada foto polos abdomen.
Beberapa massa hypoattenuating di hati disebabkan oleh abses hati.
Tampak Asites moderat (Khan, dkk, 2016).
I. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding kolitis ulseratif yaitu Carsinoma Colon
Perbedaan
umum Carcinoma Colon Kolitis ulseratif
Karsinoma colon
Karsinoma kolon merupakan keganasan yang mengenai sel-sel epitel
di mukosa kolon. Kebanyakan kanker kolon berada di rectal, sehingga lebih
banyak dikenal dengan karsinoma colorektal.
Gambar 12 :
Wanita 59 tahun dengan kanker colon. Gambar radiografi yang diperoleh
selama barium enema kontras ganda menunjukkan Apple core lession (panah)
pada kolon sigmoid. small filling defect (panah satu) di colon descendens
(Iyer, dkk, 2002).
Gambar 13 :
CT scan Abdomen seorang pria berusia 60 tahun dengan kanker usus besar.
Gambar aksial (fase portal) menunjukkan penebalan dinding dari tumor
kolon, beberapa gelembung gas ekstra-luminal (perforasi tumor) dan
metastasis hati (Badea, dkk, 2016).
J. PENATALAKSANAAN
a) Amebiasis Kolon
1. Karierasimtomatik.
Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain:
Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari selama 20
hari atau Paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari
(Oesman, dkk, 2007).
2. Kolitisamebaakut.
Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5 – 10 hari, ditambah
dengan obat luminal tersebut di atas.
3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya : abses hati ameba).
Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah
dengan obat luminal tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih
amebisidal ekstra intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu
macam obat.
b) Disentri Basiler
c) Escherichia Coli
d) Kolitis Tuberkulosa
f) Kolitis radiasi
Pada umumnya terapi dimulai pemberian steroid enema,
sulfasalazin/mesalazin dan sukralfat enema. Pada pasien dengan kerusakan
berat umumnya memerlukan pembedahan karena perdarahan yang tidak
dapat dikendalikan, striktur dan fistula (Kountouras, dkk, 2008).
i) Kolitis iskemik
Penatalaksanaan kolitis iskemik berupa terapi suportif, yaitu:
Badea. Radu I, Cosmin N Caraiani, and Diana I Florian. 2016. Imaging of Colonic
and Rectal Cancer. https://www.intechopen.com/books/colorectal-cancer-
from-pathogenesis-to-treatment/imaging-of-colonic-and-rectal-cance.
(Diakses : 20-01-2020).
Borriello SP. 1998. Pathogenesis of Clostridium difficile in infection. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy 41 (Suppl. C), 13.
FitzGerald, James and Luis O. Hernandez. 2015. Ischemic Colitis. Journal. Section
of Colon and Rectal Surgery, MedStar Washington Hospital Center,
Washington, District of Columbia.
Gheyi. Vhinay K dkk. 2019. Pseudomembranous Colitis Imaging department of
Radiology and Medical Imaging. Journal. University of Virginia School of
Medicine.
Iyer. Revaty B, dkk. 2002. Imaging in the Diagnosis, Staging, and Follow-Up of
Colorectal Cancer Volume 179 No.1 . American Journal of Roentgenology;
179: 3-13.
José Marcio Neves Jorge and Angelita Habr-Gama. 2010. Anatomy and
Embryology of the Colon, Rectum, and Anus.
Juariah M. Nully , Murdani Abdullah dkk. 2005. Intestinal Amebiasis: Diagnosis
and Management. Journal. Department of Anatomical Pathology, Faculty of
Medicine, University of Indonesia/Dr. Cipto Mangunkusumo General
National Hospital.
Kawamoto. 1999. Pseudomembranous Colitis : Spectrum of Imaging Findings with
Clinical and Pathologic Correlation. Radiographics 19, 887.
Kountouras, Janiis. Christos Zavos. 2008. Recent advances in the management of
radiation colitis. World Journal of Gastroenterology.
Marc D Basson dkk. 2019. Ulcerative Colitis. Journal. University of North Dakota
School of Medicine and Health Sciences.
Oesman N. Kolitis Infeksi. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p560-566
Oto, Budi Tan, dkk. 2010. Colitis Tuberculosis. Jurnal. department of Internal
Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Dr. Cipto
Mangunkusumo General National Hospital, Jakarta.
Price. Sylvia A and Lorraine M. Wilson. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran : EGC p456-463
Raydian, Rana mufidah, dkk. 2017. Kolitis ulseratif. artikel. Universitas Lampung.
Rumah Sakit Abdul Moelok. Bandar lampung (Diakses : 10 Januari 2020)
Rhodes. M Jhonatan. 2007. The role of Escherichia coli in inflammatory bowel
disease. Article.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1942130/pdf/610.pdf.
(Diakses : 10 Januari 2020)
Rubin. David T dkk. 2019. Ulcerative Colitis in Adults : ACG Clinical Guideline.
Am J Gastroenterol 2019;114:384–413.
https://doi.org/10.14309/ajg.0000000000000152 (Diakses : 10 Januari
2020).
Seong. Jin Park Joon Koo Han, dkk. 2000. Tuberculous Colitis: Radiologic–
Colonoscopic Correlation. Journal. Department of Radiology, Seoul
National University College of Medicine, 28, Yongon-dong, Chongno-gu,
Seoul. p110-744.