Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN RADIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

KOLITIS

PENYUSUN :
Nur Fazriani Mirsyah, S.Ked
K1A1 12 025
PEMBIMBING :
dr. Metrila Harwati Halib., M.Kes., Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Nur Fazriani Mirsyah, S.Ked
NIM : K1A1 12 025
Judul Referat : Kolitis
Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Radiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Januari 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Metrila Harwati Halib, Sp.Rad


KOLITIS
Nur Fazriani Mirsyah, Metrilia Harwati Halib

A. PENDAHULUAN

Kolitis adalah peradangan akut atau kronik yang mengenai kolon.


Berdasarkan penyebab, kolitis dapat dibagi menjadi kolitis infeksi dan
noninfeksi. Kolitis infeksi disebabkan oleh berbagai macam kuman. Oleh karena
itulah kolitis infeksi terbagi menjadi kolitis amebik, shigelosis, kolitis tuberkulosa,
kolitis pseudomembran dan kolitis oleh parasit serta bakteri lain. Kolitis noninfeksi
terdiri dari kolitis ulseratif, penyakit Crohn, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis
mikroskopik, maupun kolitis nonspesifik (Oesman, dkk. 2007).

Jenis kolitis yang paling sering ditemukan pada daerah tropis seperti
Indonesia adalah kolitis infeksi. Adapun prevalensi kolitis amebik di daerah
tropis adalah 50-80%. Namun prevalensi shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis
pseudomembran dan kolitis karena Eschericia coli di daerah tropis khususnya
Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Hal ini terjadi karena studi tentang
epidemiologi kolitis di Indonesia masih jarang dilakukan. Begitu juga dengan
prevalensi kolitis noninfeksi di Indonesia (Oesman, dkk. 2007).

Diagnosis kolitis ditegakkan melalui anamnesis yang cermat,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Namun, Gejala klinis kolitis
infeksi dapat mirip dengan penyakit Crohn ataupun kolitis ulseratif. Oleh karena itu
diperlukan pemeriksaan penunjang berupa endoskopi yaitu kolonoskopi,
rektosigmoidoskopi atau sigmoidoskopi untuk menegakkan diagnosis Oesman, dkk.
2007).

B. Anatomi Fisiologi

Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi
dan setengah distal kolon berhubungan dengan penyimpanan. Karena sebagai
2 fungsi tersebut gerakan kolon sangat lambat. Tapi gerakannya masih seperti
usus halus yang dibagi menjadi gerakan mencampur dan mendorong (Price,
dkk. 2012).

 Gerakan Mencampur “Haustrasi”.

Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5
cm otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir
tersumbat. Saat yang sama, otot longitudinal kolon (taenia koli) akan
berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi menyebabkan bagian usus yang tidak
terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap haustrasi mencapai intensitas
puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang 60 detik berikutnya,
kadang juga lambat terutama sekum dan kolon asendens sehingga sedikit isi
hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena itu bahan feses dalam usus besar
secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan feses secara bertahap
bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat
terlarut secara progresif diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang
dikeluarkan tiap hari (Price, dkk. 2012).

 Gerakan Mendorong “Pergerakan Massa”.

Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra
yang lambat tapi persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur
setengah padat. Dari sekum sampai sigmoid, pergerakan massa mengambil
alih peran pendorongan untuk beberapa menit menjadi satu waktu,
kebanyakan 1-3 x/hari gerakan (Jose. 2010)

Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili.


menghasilkan mucus (sel epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus
mengandung ion bikarbonat yang diatur oleh rangsangan taktil , langsung dari
sel epitel dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel mucus Krista
lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla spinalis yang membawa
persarafan parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon.
Mucus juga berperan dalam melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi,
tapi selain itu menyediakan media yang lengket untuk saling melekatkan
bahan feses. Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas
bakteri yang berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar
dengan ion klorida sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang
menetralkan asam dalam feses. Mengenai ekskresi cairan, sedikit cairan yang
dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat meningkat sampai
beberapa liter sehari pada pasien diare berat (Price, dkk. 2012).

Absorpsi dalam Usus Besar

Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal,


sebagian besar air dan elektrolit di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon
dan sekitar 100 ml diekskresikan bersama feses. Sebagian besar absorpsi di
pertengahan kolon proksimal (kolon pengabsorpsi), sedang bagian distal
sebagai tempat penyimpanan feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu
yang tepat (kolon penyimpanan) (Price, dkk. 2012).

 Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air.

Mukosa usus besar mirip seperti usus halus, mempunyai kemampuan


absorpsi aktif natrium yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah
taut epitel di usus besar lebih erat dibanding usus halus sehingga mencegah
difusi kembali ion tersebut, apalagi ketika aldosteron teraktivasi. Absorbsi
ion natrium dan ion klorida menciptakan gradien osmotic di sepanjang
mukosa usus besar yang kemudian menyebabkan absorbsi air

Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat


(seperti penjelasan diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari
kerja bakteri didalam usus besar (Price, dkk. 2012).

Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar


Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit
tiap hari sehingga bila jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau
melalui sekresi usus besar melebihi jumlah ini akan terjadi diare.

 Kerja Bakteri dalam kolon.

Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada
kolon pengabsorpsi. Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai
tambahan nutrisi), vitamin (K, B10₁₂, tiamin, riboflavin, dan bermacam gas
yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂, H₂, CH₄)

C. KLASIFIKASI

Berdasarkan penyebab, kolitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Kolitis infeksi

- Kolitis amebik
- Shigelosis
- kolitis tuberkulosa
- kolitis pseudomembran
- kolitis karena virus/bakteri/parasit lain seperti Eschericia coli
b) Kolitis non-infeksi
- Penyakit crohn

- Kolitis ulseratif
- kolitis radiasi
- kolitis iskemik
D. ETIOLOGI
a) Kolitis infeksi

- Kolitis amebik
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.
Manusia merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat
kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat,
kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual anal-oral.
Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat dan kurangnya
sanitasi individual mempermudah penularannya (Oesman, dkk. 2007).
- Shigelosis
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri
genus Shigella. Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman
padat , sanitasi jelek, kurang air dan tingkat kebersihan perorangan yang
rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10 – 15 %
penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah
manusia walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga
tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relative sedikit, yaitu
berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi
penularan secara fecal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat
makanan dan minuman yang terkontaminasi (Oesman, dkk. 2007).
- kolitis tuberkulosa
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae. Patogenesis dari
kolitis TB terbagi menjadi 4 mekanisme yaitu menelan dahak yang
terinfeksi, penyebaran secara hematogen dari proses paru aktif atau TB
millier, menkonsumsi susu atau makanan yang terkontaminasi dan
penyebaran langsung dari organ yang berdekatan (Seong, dkk. 2000).
- kolitis pseudomembran
Infeksi dari C. Difficile yang banyak menjadi penyebab infeksi nosokomial
dan dapat menjadi endemik atau epidemik di rumah sakit atau panti jompo.
Kolitis pseudomembran sering dihubungkan dengan penggunaan
antibiotika yang mengakibatkan perubahan keseimbangan flora normal
usus dan memungkinkan pertumbuhan beberapa organisme, termasuk C.
difficile yang akan melepaskan toksin (Gheyi, dkk. 2019). Banyak kasus
dilaporkan kolitis pseudomembran akibat penggunaan antibiotika tanpa
memperhatikan jumlah dosis maupun cara pemberian antibiotika.
Pemberian antibiotika jangka panjang dan penggunaan lebih dari 2 macam
meningkatkan resiko terkena kolitis pseudomembran (Borrielo. 1998).
- kolitis karena virus/bakteri/parasit lain seperti Eschericia coli

Infeksi kolon oleh serotie Escherichia coli tertentu (O157:H7) yang


menyebabkan diare berdarah/tidak. E.Coli patogen tersebut didapatkan pada
usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke manusia sehingga
menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat daging yang
terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian digiling
dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah
lewat air minum yang tercemar, tempat berenang yang tercemar dan antar
manusia (Oesman, dkk. 2007).

b) Kolitis non-infeksi
- Penyakit crohn
Penyebab penyakit Crohn tidak diketahui. Penelitian memusatkan
perhatian pada tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu kelainan fungsi
sistim pertahanan tubuh, infeksi dan makanan (Yung, dkk. 2018)

- Kolitis ulserativ
Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon
sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam
terjadinya kolitis ulserative (Marck, dkk. 2019).
- kolitis radiasi
Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan menjadi
kerusakan akibat:

 Whole body irradiation


Akibat radiasi dengan dosis > 600 rad terjadi gejala awal berupa nausea,
vomitus dan penurunan sekresi asam lambung. Ini akan diikuti dengan
destruksi difus dari mukosa saluran cerna serta gangguan pada sumsum
tulang belakang, tergangunya fungsi mukosa saluran cerna, perubahan
flora usus serta diikuti oleh kehilangan cairan dan elektrolit bahkan sepsis
(Kountouras, 2008).
 Localized irradiation
Kedaan akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dal sel-sel endotel
pembuluh darah saluran cerna yang diikuti edema submukosa akibat
peningkatan permeabelitas kapiler. Dengan meningkatnya dosis radiasi
dalam fase lanjut akan terjadi telengiektasis, atrofi, fibrosis, striktur dan
trombosis yang menyebabkan iskemia jaringan (Kountouras, 2008).
- kolitis iskemik
kondisi ini biasanya terlihat pada pasien yang lanjut usia sekitar usia 60
tahunan lebih. Sebagian dari mereka memiliki riwayat penyakit
aterosklerotik sebelumnya. Sehingga pasien datang dengan keluhan darah
di tinja, nyeri perut dan leukositosis (Fitz, dkk, 2015).

E. PATOGENESIS

a. Kolitis Infeksi

1) Amebiasis Kolon
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba
histolytica. Manusia merupakan host sekaligus reservoir utama.
Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan
perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual
anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat dan
kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya (Oesman, dkk,
2007).

Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya


mengeluarkan kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup di
luar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba
akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun
bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia
(Juariah, dkk, 2005).
2) Disentri Basiler

Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus
Shigella.Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat ,
sanitasi jelek, kurang air dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di
daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10 – 15 % penyebab diare pada
anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera
dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk
menimbulkan penyakit relative sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman.
Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal oral, baik secara
kontak langsung maupun akibat makanan dan minuman yang
terkontaminasi (Oesman, dkk, 2007).

3) Escherichia Coli
Infeksi kolon oleh serotie Escherichia coli tertentu (O157:H7) yang
menyebabkan diare berdarah/tidak. E.Coli patogen tersebut didapatkan
pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke manusia sehingga
menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat daging
yang terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian
digiling dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain
adalah lewat air minum yang tercemar, tempat berenang yang tercemar dan
antar manusia. Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1
– 8 hari. E.Coli patogen dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu
setelah sembuh namun tidak pernah ditemukan pada orang sehat (bukan
flora normal pada manusia) (Oesman, dkk, 2007).
4) Kolitis Tuberkulosa

Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae. Patogenesis dari


kolitis TB terbagi menjadi 4 mekanisme yaitu menelan dahak yang
terinfeksi, penyebaran secara hematogen dari proses paru aktif atau TB
millier, menkonsumsi susu atau makanan yang terkontaminasi dan
penyebaran langsung dari organ yang berdekatan (Oesman,dkk, 2007).
5) Kolitis Pseudombranosa
Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang
ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang
melekat di permukaaan mukosa kolon. Kolitis pseudomembran ditandai
dengan plak pseudomembran dengan ukuran bervariasi antara 2 sampai 5 mm
dan seringkali bergabung membentuk pseudomembran berwarna putih
kekuningan. Pada beberapa kasus lokasi penyakit ini di sekum dan kolon
bagian proksimal. Kolitis pseudomembran digambarkan pertama kali pada
abad 19 kemudian dikenal sebagai penyakit gastrointestinal dengan frekuensi
meningkat dan dapat mengakibatkan kematian (Gheyi, dkk, 2019). .
Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik oleh karena sering timbul
akibat pertumbuhan Clostridium difficile (C. difficile) akibat pemakaian
antibiotika. Kolitis pseudomembran berhubungan dengan pembentukan
pseudomembran pada mukosa kolon. Kolitis pseudomembran dapat terjadi
pada minggu pertama pemakaian antibiotika atau terjadi lebih 6 minggu
setelah pemakaian antibiotika dihentikan. Pemakaian oral lebih sering
menimbulkan kolitis pseudomembran dibanding perenteral. Walaupun
clindamysin dan lincomycin berhubungan dengan kolitis pseudomembran,
sebenarnya semua antibiotika dapat mengakibatkan kolitis pseudomembran
antara lain cephalosporin dan ampicillin oleh karena pemakaian yang luas.
Mortality rate penderita kolitis pseudomembran 1.1-3.5% (Kawamato, 1999).

b. Kolitis Non Infeksi

1) Kolitis Ulserativa
Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon
sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam
terjadinya kolitis ulserativa sehingga usus besar mengalami peradangan dan
luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut dan demam (Rubin, dkk,
2019). Kolitis ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya
dimulai antara umur 15-30 tahun.Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis
ulserativa tidak selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak
pernah mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau
kolon sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke
sebagian atau seluruh usus besar. Sekitar 10% penderita hanya mendapat satu
kali serangan. Proktitis ulserativa merupakan peradangan dan perlukaan di
rektum. Pada 10-30% penderita, penyakit ini akhirnya menyebar ke usus
besar. Jarang diperlukan pembedahan dan harapan hidupnya baik (Raydian,
dkk, 2017).
2) Kolitis radiasi
Kerusakan jaringan akibat radiasi dapat dibedakan menjadi kerusakan
akibat:

 Whole body irradiation


Akibat radiasi dengan dosis > 600 rad terjadi gejala awal berupa nausea,
vomitus dan penurunan sekresi asam lambung. Ini akan diikuti dengan
destruksi difus dari mukosa saluran cerna serta gangguan pada sumsum
tulang belakang, tergangunya fungsi mukosa saluran cerna, perubahan
flora usus serta diikuti oleh kehilangan cairan dan elektrolit bahkan sepsis
(Kounturas, dkk, 2008).

 Localized irradiation
Kedaan akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dal sel-sel endotel
pembuluh darah saluran cerna yang diikuti edema submukosa akibat
peningkatan permeabelitas kapiler. Dengan meningkatnya dosis radiasi
dalam fase lanjut akan terjadi telengiektasis, atrofi, fibrosis, striktur dan
trombosis yang menyebabkan iskemia jaringan (Kounturas, dkk, 2008).

3) Kolitis iskemik

Arteri yang memasok darah ke usus besar adalah seperti arteri lain
di dalam tubuh. Mereka memiliki potensi untuk sempit akibat
aterosklerosis (seperti pembuluh darah di jantung, yang dapat
menyebabkan angina , atau menyempit pembuluh di otak dapat
menyebabkan stroke ). Ketika arteri sempit, usus besar kehilangan suplai
darah dan menjadi meradang (Fitzgerald, dkk, 2015).

Kolon juga bisa kehilangan suplai darah dengan penyebab mekanik.


Beberapa contoh termasuk volvulus dan hernia di mana sebagian dari
usus besar akan terjebak dalam outpouching dinding perut. Kolitis
iskemik dapat terjadi jika tekanan darah turun. Hal ini dapat terjadi
dengan dehidrasi , anemia , atau shock (Fitzgerald, dkk, 2015).

F. GAMBARAN KLINIS

a. Kolitis Infeksi

a) Amebiasis Kolon

Gejala klinis

Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan


asimtomatik sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif.
Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah sebagai berikut
(Oesman, dkk, 2007).:

1. Carrier: ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala


atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi,
kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri
dalam waktu satu tahun, sisanya (10 %) berkembang menjadi kolitis
ameba.
2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan,
diare ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan
lendir, keadaan umum pasien baik.
3. Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah,
hepatomegali dengan nyeri spontan.
4. Disenti ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual,
anemia.
5. Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan
diselingi dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-
bulan sampai bertahun-tahun, neurasthenia, serangan diare biasanya
timbul karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.

b) Disentri Basiler

GejalaKlinis
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala
klinis Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa,
namun dapat berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak
diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis
ulserosa (Oesman, dkk, 2007).

Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal,
diare disertai demam yang bisa mencapai 40o C. selanjutnya diare berkurang
tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan
menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau
tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi. Pengidap
pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun
jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang
mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik
tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami gejala shifellosis
yang intermiten (Oesman, dkk, 2007).

c) Escherichia Coli

Gejala klinis

Manifestasi klinis enfeksi E.Coli patogen sangat bervariasi, dapat


berupa : infeksi asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah
(hemorrhagic colitis), SHU, purpura trombositopenik sampai kematian
(Rhodes, 2007).
Gejala klinis adalah nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal
cramp), diare yang kemudian diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien
disertai nausea (mual) dan vomiting (muntah). Pada umumnya suhu tubuh
pasien sedikit meningkat atau normal, sehingga dapat dikelirukan sebagai
kolitis non infeksi (Oesman, dkk, 2007).

Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun


sebagian pasien tindak mengandung darah sama sekali.

Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi


SHU (sekitar 6 % dari pasien) antara 2-12 hari dari onset diare. SHU
ditandai dengan anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal
ginjal dan gejala saraf sentral. Komplikasi neurologik berupa kejang , koma,
hemiparesis terjadi pada sekitar seperempat dari pasien SHU. Prediktor
keparahan SHU antara lain meningkatnya jumlah lekosit, gejala
gastrointestinal yang berat, cepat timbul anuria, usia di bawah 2 tahun.
Mortalitas antara 3-5 % (Oesman, dkk, 2007).

d) Kolitis Tuberkulosa

Gejala klinis

Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik
yang tidak khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang
konstipasi, anoreksi, demam ringan, penurunan berat badan atau teraba
masa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada
tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada
tinja mungkin hanya berasal dan kuman yang tertelan bersama sputum (Oto,
dkk, 2010).

e) Kolitis Pseudombranosa
Gejala Klinis
Pada umumnya gejala tampak setelah 3 sampai 9 hari pemakaian
antibiotika. Gejala dapat asimptomatik sampai berat. Gejala yang sering
adalah diare cair atau mukoid dapat profus, berbau busuk dan dapat disertai
dengan sedikit darah, dengan frekuensi sering (10-20 kali/hari), dan dapat
terjadi ileus tetapi sangat jarang. Dapat disertai kram perut, demam dengan
temperature tidak lebih dari 38°C (Gheyi, dkk, 2019).
Walaupun jarang dapat mengakibatkan manifestasi ekstraintestinal
yaitu oligoartritis dan iridosiklitis.

b. Kolitis Non Infeksi

a) Kolitis Ulserativa

Gejala
Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat,
demam tinggi, sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut). Selama
serangan, penderita tampak sangat sakit. Yang lebih sering terjadi adalah
serangannya dimulai bertahap, dimana penderita memiliki keinginan untuk
buang air besar yang sangat, kram ringan pada perut bawah dan tinja yang
berdarah dan berlendir. Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon
sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan kering. Tetapi selama atau
diantara waktu buang air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung
banyak sel darah merah dan sel darah putih (Raydian, dkk, 2017).

Gejala umum berupa demam, bisa ringan atau malah tidak muncul. Jika
penyakit menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar
sebanyak 10-20 kali/hari. Penderita sering mengalami kram perut yang berat,
kejang pada rektum yang terasa nyeri, disertai keinginan untuk buang air besar
yang sangat. Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang. Tinja tampak encer
dan mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling sering ditemukan adalah
tinja yang hampir seluruhnya berisi darah dan nanah. Penderita bisa demam,
nafsu makannya menurun dan berat badannya berkurang. (Raydian, dkk, 2017).
b) Kolitis radiasi
Gejala klinis
Secara umum, terbagi menjadi 2 gejala (Kountouras, dkk, 2008):

 Gejala akut berupa mual, muntah-muntah, diare dan tenesmus. Terjadi


dalam 6 minggu setelah radiasi.
 Gejala kronik berupa hematoskezia, diare, kolik dan tenesmus. Terjadi
dalam 2 tahun pasca radiasi, umumnya 6-9 bulan setelah terapi radiasi
selesai.
c) Kolitis iskemik

Gejala
Tanda-tanda umum dan gejala kolitis iskemik meliputi (Fitzgerald, dkk,
2015) :
 Nyeri abdomen, nyeri atau kram, biasanya terlokalisasi ke sisi kiri
bawah perut, dapat tiba-tiba atau bertahap
 Feses berwarna merah terang atau merah darah, suatu ketika dapat
keluar darah sendiri tanpa feses
 Perasaan ingin mengedan
 Diare
 Mual
 Muntah
G. DIAGNOSIS

1. Kolitis amebik
Berikut algoritme dalam mendiagnosis kolitis amebik (Oesman, dkk,
2007) :

Tes tinja untuk darah tersamar Negatif

Positif Pemeriksaan bisa dihentikan

Pemeriksaan tinja segar (minimal 3 spesimen)

Pewarnaan trichome untuk kista

Pemeriksaan serologi anti amuba

Positif Negatif

kolonoskopi & biopsi

(utamakan tepi ulkus)

Positif

Lakukan pengobatan dengan amebisidal

2. Shigelosis
Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya eritrosit dan leukosit PMN
(polimorfonuklear). Untuk memastikan diagnosis, dilakukan kultur dari bahah
tinja segar atau hapus rektal. Sigmoideskopi pada umumnya tidak diperlukan,
karena menyebabkan pasien merasa tidak nyaman. Pemeriksaan serologi Shigella
pada fase akut tidak bermanfaat (Oesman, dkk, 2007).

3. Kolitis tuberkulosa
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman M. tuberculosis
melalui pemeriksaan mikroskopik langsung ataupun kultur biopsi jaringan.
Pada pemeriksaan barium enema dapat ditemukan penebalan dinding,
distorsi lekukan mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip
keganasan di sekum (Oto, dkk, 2010).

4. Kolitis pseudomembran
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik,
perlu dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. C. difficile ditemukan di
tinja 3-5% orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di kolonnya. Menegakkan
diagnosis kolitis pseudomembran memerlukan kultur anaerob feses,
pemeriksaan toksin kuman dan kolonoskopi. Sebagai gold standard adalah
ditemukannya toksin B (sitotoksin) pada tinja, mengingat spesifisitasnya 94-
100% dan sensitivitasnya 99%. Namun karena memakan waktu lama dan mahal
maka cukup dengan memeriksa terdapatnya toksin A (enterotoksin) dengan
metode ELISA (Borriello, 1998).

Pemeriksaan laboratorium non spesifik adalah ditemukan lekositosis


15.000/mm3 sampai 50.000/mm3, hipoalbumin dan lekosit pada feses. Pada
sebagian besar penderita kolitis pseudomembran yang dilakukan
pemeriksaan sigmoidoskopi fleksibel memberikan hasil positif diatas 90%,
pada sebagian kecil penderita jika penyakit terbatas pada proksimal kolon
memerlukan pemeriksaan kolonoskopi. Inspeksi langsung dengan
endoskopi pada sebagian besar penderita ditemukan mukosa kolon dan
rektum tampak normal atau menunjukan inflamasi ringan berupa berupa
eritema, friability dan edema sampai menunjukkan kelainan kolitis
pseudomembran berupa plak pseudomembran dengan ukuran antara 2-5
mm dan seringkali bergabung menjadi bentuk besar berwarna putih
kekuningan. Pemeriksaan radiologi meliputi foto polos abdomen, barium
enema dan CT scan abdomen dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis
kolitis pseudomembran (Kawamoto, 1999).

5. Kolitis akibat Escherichia coli


Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejalanya. Untuk memperkuat
diagnosis dilakukan pemeriksaan contoh tinja terhadap E.coli. Contoh ini
diambil dalam waktu seminggu setelah gejala timbul. Pada pemeriksaan
barium enema dapat dilihat gambaran thumbprinting pattern pada kolon
ascenden dan atau transversum akibat edema dan perdarahan mukosa. Pada
pemeriksaan kolonoskopi didapatkan gambaran mukosa edematous dan
hiperemia, kadang-kadang ditemukan ulserasi superfisial (Oesman, dkk,
2007).

6. Kolitis ulseratif
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan
tinja. Pada stadium ringan biasanya hasil laboratorium yang ditemukan
normal. Pada stadium sedang dan berat, pemeriksaan darah menunjukan
adanya (Raydian, dkk, 2017).

- anemia

- peningkatan jumlah sel darah putih

- peningkatan laju endap darah

- hipoalbuminemia.

Pemeriksaan tinja untuk melihat apakah terdapat sel darah putih


pada tinja. Selain itu, juga dapat mendeteksi perdarahan atau infeksi kolon
karena bakteri, virus dan parasit (Raydian, dkk, 2017).

Sigmoidoskopi (pemeriksaan sigmoid) atau kolonoskopi merupakan


metode paling akurat untuk menegakkan diagnosis kolitis ulseratif. Namun
untuk keadaaan akut digunakan sigmoidoskopi untuk mencegah resiko
perforasi kolon. Hal ini memungkinkan dokter untuk secara langsung
mengamati beratnya peradangan. Bahkan selama masa bebas gejalapun,
usus jarang terlihat normal.
Sampel jaringan yang diambil untuk pemeriksaan mikroskopik menunjukan
suatu peradangan menahun (Marck, dkk, 2019).

Barium enema dan kolonoskopi bertujuan untuk mengetahui


penyebaran penyakit dan untuk meyakinkan tidak adanya kanker.
Peradangan usus besar memiliki banyak penyebab selain kolitis ulseratif
(Marck, dkk, 2019). Karena itu, dokter menentukan apakah peradangan
disebabkan oleh infeksi bakteri atau parasit. Sampel tinja yang diperoleh
selama pemeriksaan sigmoidoskopi diperiksa dibawah mikroskop dan
dibiakkan. Sampel darah dianalisa untuk menentukan apakah terdapat
infeksi parasit. Sampel jaringan diambil dari lapisan rektum dan diperiksa
dibawah mikroskop. Diperiksa apakah terdapat penyakit menular seksual
pada rektum (seperti gonore, virus herpes atau infeksi klamidia), terutama
pada pria homoseksual. Pada orang tua dengan aterosklerosis, peradangan
bisa disebabkan oleh aliran darah yang buruk ke usus besar. Kanker usus
besar jarang menyebabkan demam atau keluarnya nanah dari rektum,
namun harus difikirkan kanker sebagai kemungkinan penyebab diare
berdarah (Rubin, dkk, 2019).

7. Kolitis radiasi
 Whole body irradiation
Akibat radiasi dengan dosis > 600 rad terjadi gejala awal berupa nausea,
vomitus dan penurunan sekresi asam lambung. Ini akan diikuti dengan
destruksi difus dari mukosa saluran cerna serta gangguan pada sumsum
tulang belakang, tergangunya fungsi mukosa saluran cerna, perubahan
flora usus serta diikuti oleh kehilangan cairan dan elektrolit bahkan
sepsis (Kountouras, dkk, 2008).

 Localized irradiation
Kedaan akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dal sel-sel endotel
pembuluh darah saluran cerna yang diikuti edema submukosa akibat
peningkatan permeabelitas kapiler. Dengan meningkatnya dosis radiasi
dalam fase lanjut akan terjadi telengiektasis, atrofi, fibrosis, striktur dan
trombosis yang menyebabkan iskemia jaringan (Kountouras, dkk,
2008).

8. Kolitis iskemik
Diagnosis kolitis iskemik ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Hasil laboratorium menunjukkan leukositosis
(>15.000/mm3) dan penurunan kadar bikarbonat <24 mmol/L. Endoskopi
berupa kolonoskopi atau fleksibel sigmiodoskopi merupakan prosedur
pilihan jika diagnosis masih belum jelas. Biopsi melalui endoskopi
bermanfaat menyediakan lebih banyak informasi. Visible light
spectroscopic catheter ditempatkan di usus menggunakan endoskopi,
berguna untuk menganalisis kadar oksigen. Spesifitas alat ini 90% atau lebih
untuk iskemia kolon akut dan 83% untuk iskemia mesenterika kronik
(Fitzgerald, dkk, 2015).

H. GAMBARAN RADIOLOGI
i) Kolitis Tuberculosis
Pemeriksaan dengan Colon In Loop dapat ditemukan penebalan dinding,
distorsi lekukan mukosa, ulserasi, stenosis, pseudopolip, atau massa mirip
keganasan di sekum.
Gambar 1: .
Wanita 22 tahun dengan kolitis tuberkulosis lanjut. Barium enema kontras
ganda memperlihatkan lesi yang melingkar (panah) di daerah ileocecal
dan kolon asendens (seong, dkk, 2000).
ii) Kolitis pseudomembran
 Foto Polos Abdomen

Gambar 2 : .
pada pasien dengan kolitis pseudomembran yang terbukti. Perhatikan
penebalan haustral nodular, paling jelas di kolon transversa (Gheyi, dkk,
2019).
 Colon In Loop

Gambar 3 :

Barium enema menunjukkan penampilan bergerigi khas dari barium yang


dihasilkan dari barium yang terperangkap di antara lipatan mukosa
edematosa dan membran mirip plak pada kolitis pseudomembranosa
(Gheyi, dkk, 2019).

 CT-Scan

Gambar 4:

Temuan CT dalam kasus kolitis pseudomembran yang terbukti


menunjukkan penebalan dinding usus transversal (Gheyi, dkk, 2019).

iii) Kolitis Ulserative


 Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen seringkali dapat membantu dalam penegakan
diagnosis kolitis ulseratif. Foto polos abdomen dapat menunjukkan dilatasi
kolon yang masif yang disertai dengan kontur mukosa yang abnormal.
Dilatasi yang terjadiseringkali terdapat pada kolon transversal. Perforasi
kolon merupakan salah satu komplikasi dari kolitis ulseratif. Perforasi
dapat terjadi dengan atau tanpamegakolon toksik. Pneumoperitoneum
masif biasanya menyertai perforasikolon. Residu feses biasanya tidak
terlihat pada usus yang mengalami inflamasi. Gambaran edema pada
dinding usus biasa tampak pada fase akut dari kolitisulseratif, yang disebut
juga gambaran thumbprinting .

Gambar 5:
Foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif eksaserbasi akut
menunjukkan gambaran thumbprinting pada fleksura splenika dari kolon (
Raydian, dkk, 2017) .
Gambar 6:
foto polos abdomen pada pasien dengan riwayat kolitis
ulseratif menunjukkanstriktur/spasme yang panjang pada kolon
asendens/sekum. Perhatikan bahwa terdapat pseudopoliposis pada kolon
desendens (Raydian, dkk, 2017).
 Colon In Loop
Gambaran radiologi kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema
sangat bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat lebih
sempit, danhal ini bisa saja berhubungan dengan pengisian usus yang tidak
sempurna akibatspasme dan iritabilitas pada kolon. Pemeriksaan barium
enema dapat menunjukkan hilangnya haustra pada lumenkolon. Adanya
granula dapat disebabkan oleh hiperemia dan udem pada mukosayang
dapat menyebabkan ulserasi. Ulser superfisial dapat menyebar
danmenutupi semua lapisan mukosa. Terdapat gambaran bintik-bintik
pada mukosaakibat perlengketan barium pada ulser superfisial. Collar
button ulcers merupakan ulserasi yang lebih dalam pada mukosa yang
udem dengan kripteabses pada submukosa.
Gambar 7 :
Pada pemeriksaan barium enema menunjukkan hilangnya haustra pada
seluruh kolon desendens disertai dengan ulserasi, sehingga memberikan
gambaran“lead - pipe” ( Raydian, dkk, 2017).
 CT-Scan
CT dapat mendeteksi bagaimanakarakteristik dari kolitis ulseratif. CT-
Scan abdomen dan pelvis menunjukkandilatasi, penebalan pada bagian
mural, dan permukaan mukosa yang ireguler,serta terdapat target sign.
Dapat juga terlihat pseudopolip pada dinding kolon,dan pembuluh darah
yang berdilatasi akibat adanya inflamasi dan hiperemia.
Gambar 8 :
CT-Scan abdomen dan pelvis potongan coronal menunjukkan penebalan
dinding mukosa dan iregularitas yang terjadi pada kolon asendens dan
desendens, seperti yangdiperlihatkan pada tanda panah ( Raydian, dkk,
2017).
iv) Kolitis Iskemik
 Foto polos abdomen

Gambar 9 :
Tampak cap jempol di daerah fleksura lien dan juga dilatasi usus
halus proksimal (panah) (Khan, dkk, 2016).
 Colon In Loop

Gambar 10 :
Barium enema kontras ganda menunjukkan penyempitan usus
proksimal desendens sekunder akibat iskemia (Khan, dkk, 2016).

 CT-Scan

Gambar 11: .
Ini adalah gambar pertama dalam serangkaian CT scan yang
ditingkatkan kontras pada seorang pria berusia 72 tahun yang
mengalami sakit perut akut. Pembedahan mengungkapkan iskemia
mesenterika, terutama di usus besar kanan dan transversal, sekunder
ke trombosis mesenterika perifer (panah). Perhatikan edema kolon
yang mirip dengan pencetakan ibu jari pada foto polos abdomen.
Beberapa massa hypoattenuating di hati disebabkan oleh abses hati.
Tampak Asites moderat (Khan, dkk, 2016).

I. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding kolitis ulseratif yaitu Carsinoma Colon

Perbedaan
umum Carcinoma Colon Kolitis ulseratif

Distribusi Pada kolon dan terbanyak di rectal Hanya pada kolon

Patologi sel-sel epitel di mukosa Hanya pada mukosa


Ditemukan hanya pada kolon dan
Radiologi rectal Hanya ditemukan di kolon
Lesi berkelanjutan hingga sebelum
Gambaran Apple Core
rektum
- Terdapat penebalan dinding dari - Terdapat penebalan dinding mukosa
tumor colon pada colon

Karsinoma colon
Karsinoma kolon merupakan keganasan yang mengenai sel-sel epitel
di mukosa kolon. Kebanyakan kanker kolon berada di rectal, sehingga lebih
banyak dikenal dengan karsinoma colorektal.
Gambar 12 :
Wanita 59 tahun dengan kanker colon. Gambar radiografi yang diperoleh
selama barium enema kontras ganda menunjukkan Apple core lession (panah)
pada kolon sigmoid. small filling defect (panah satu) di colon descendens
(Iyer, dkk, 2002).

Gambar 13 :

CT scan Abdomen seorang pria berusia 60 tahun dengan kanker usus besar.
Gambar aksial (fase portal) menunjukkan penebalan dinding dari tumor
kolon, beberapa gelembung gas ekstra-luminal (perforasi tumor) dan
metastasis hati (Badea, dkk, 2016).
J. PENATALAKSANAAN
a) Amebiasis Kolon

1. Karierasimtomatik.
Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain:
Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari selama 20
hari atau Paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari
(Oesman, dkk, 2007).
2. Kolitisamebaakut.
Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5 – 10 hari, ditambah
dengan obat luminal tersebut di atas.
3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya : abses hati ameba).
Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah
dengan obat luminal tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih
amebisidal ekstra intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu
macam obat.

b) Disentri Basiler

1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar


pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan
diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan
sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi
intravena (Oesman, dkk, 2007)
2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan
beratnya penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai
berat, diare persisten serta perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman di
daerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah:

 Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau


 Kontrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau
 Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari
Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di
Indonesia kuman Shigella telah banyak yang resisten dengan antibiotik
tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik lain seperti golongan
kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan
gejala klinik yang berat Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat
menghambat motilitas usus seperti narkotika dan derivatnya, karena
dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi terjadinya
megakolon toksik. Obat simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan
keadaan pasien antara lain analgetik-antipiretik dan antikonvulasi
(Oesman, dkk, 2007).

c) Escherichia Coli

Pengobatan infeksi E.Coli patogen tidak spesifik, terutama


pengobatan suportif dan simtomatik. Komplikasi SHU dilaporkan lebih
banyak terjadi pada pasien yang mendapat antibiotik dan obat yang
menghambat motilitas. Di samping itu pemberian kontrimoksazol
dilaporkan tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap perjalanan
gejala gastrointestinal, ekskresi organisme dan komplikasi SHU
(Oesman, dkk, 2007).

d) Kolitis Tuberkulosa

Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis


seperti pada pengobatan tuberculosis paru, demikian pula lama
pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-kadang perlu tindakan bedah
untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberculosis yang
sering dipakai adalah :

 INH 5 – 10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari


 Etambutol 15 – 25 mg/kgBB atau 900 – 1200 mg sekali sehari
 Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400 – 600 mg sekali sehari
 Pirazinaidid 25 -3 mg/kgBB atau 1,5 – 2 g sekali sehari
d) Kolitis Pseudombranosa
Terapi pada kolitis pseudomembran meliputi: antibiotika yang
diduga menjadi penyebab dihentikan, terapi suportif non spesifik dan
beberapa kasus diberikan antibiotika terhadap C. difficile. Terapi suportif
diberikan pada kasus ringan dan sedang. Terapi awal yang penting adalah
menghentikan penggunaan antibiotika yang diduga menyebabkan kolitis
pseudomembran atau minimal mengganti dengan antibiotika yang kecil
kemungkinan untuk pertumbuhan C. difficile, menghindari penggunaan
obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik dan antidiare),
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada kasus berat
penderita perlu dirawat untuk rehidrasi secara intravena. Pada penderita
tua dan kolitis pseudomembran yang berat antibiotika empiris harus
dimulai setelah dicurigai kolitis pseudomembranous. Pada kasus gagal
dengan terapi suportif dan antibiotika penyebab tidak dapat dihentikan,
bisa dipertimbangkann pemberian antibiotika khusus 7 sampai 10 hari
bersama-sama pemberian terapi suportif dan antibiotika penyebab dapat
diganti lainnya jika memungkinkan. Terapi spesifik didasarkan 3
pendekatan : penggunaan antibiotika efektif terhadap C difficile,
membersihkan toksin dari lumen kolon dengan pengikat resin atau
menghidupkan kembali flora normal (Kawamoto, 1999).
Vancomycin dan metronidazole sering digunakan dan
memberikan respon baik pada hampir seluruh kasus. Metronidazole
secara oral merupakan obat pilihan untuk terapi awal dengan dosis 250
mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari. Vancomycin
direkomendasikan sebagai second line therapy dengan dosis 125 mg 4
kali sehari, kedua antibiotika tersebut diberikan selama 10-14 hari.
Pemberian vancomycin secara oral memberikan kadar dalam kolon
tinggi dan sensitif terhadap semua strain C. difficile. Tetapi penggunaan
metronidazole lebih disukai mengingat harganya 20 kali lebih murah
dibandingkan vancomycin. Pada penderita yang tidak memungkingkan
pemberian secara oral pemberian metronidazole intravena menjadi
pilihan dibandingkavancomycin, hal ini disebabkan vancomycin tidak
dapat diekskresikan ke dalam kolon. Metronidazole intravena diberikan
500 mg tiap 6 jam. Cholestyramine dapat diberikan untuk pengikatan
toksin A dan B dari C. difficile, dengan maksud membersihkan toksin
dari lumen kolon. Cholestyramine dapat mengikat vancomycin sehingga
diberikan 2 sampai 3 jam sebelum atau sesudah pemberian vancomycin.
Lactobacilli juga telah digunakan secara luas pada penyakit diare seperti
kolitis pseudomembran. Tindakan pembedahan diindikasikan pada
penderiita yang tidak respon dengan terapi medik atau kecurigaan
perforasi kolon atau toxic megacolon. Pembedahan diperlukan kurang
lebih 0.4% kasus. Dua pertiga penderita dengan toxic megacolon
memerlukan tindakan pembedahan . Diare akan berkurang, suhu tubuh
turun dan perbaikan gejala klinis dalam 24-48 jam dan diare akan
berhenti total dalam waktu 5 sampai 7 hari. Kultur C. difficile dan
pemeriksaan toksin tetap positif dalam beberapa minggu dan jangan
disalahartikan sebagai kegagalan terapi jika diare membaik. Penderita
yang tidak membaik secara cepat perlu dipertimbangkan untuk diagnosa
lain.
e) Kolitis ulseratif

Pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan,


mengurangi gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Obat-
obatan yang digunakan untuk kolitis ulseratif, yaitu (Raydian, dkk, 2017)
:

 5-aminosalicyclic acid (5-ASA), seperti sulfasalazin, olsalazin,


mesalamin dan balsalazid digunakan untuk mengontrol inflamasi.
 Kortikosteroid, seperti prednison, metilprednison dan hidrokortison
digunakan untuk mengurangi inflamasi.
 Obat Imunosupresif, seperti azatioprin dan 6-merkapto purin (6-MP)
bermanfaat mengurangi inflamasi yang disebabkan reaksi imun.
Digunakan pada pasien yang tidak berspon terhadap 5-ASA atau
kortikosteroid atau yang tergantung pada kortikosteroid.
 Obat-obat untuk mengurangi rasa sakit, diare atau infeksi dapat juga
diberikan.
Adapun indikasi pembedahan pada kolitis ulseratif jika terjadi
keadaan dibawah ini:11,13,15

 Emergensi : perforasi kolon, perdarahan masif dan kolitis fulminan yang


gagal bersepon dengan terapi medis
 Elektif : kanker kolon, penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh
sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis
tinggi.

f) Kolitis radiasi
Pada umumnya terapi dimulai pemberian steroid enema,
sulfasalazin/mesalazin dan sukralfat enema. Pada pasien dengan kerusakan
berat umumnya memerlukan pembedahan karena perdarahan yang tidak
dapat dikendalikan, striktur dan fistula (Kountouras, dkk, 2008).

i) Kolitis iskemik
Penatalaksanaan kolitis iskemik berupa terapi suportif, yaitu:

 IVFD (Intravenous fluid drift) untuk mengatasi dehidrasi.


 Puasa
 Antibiotik
 Analgesik
Pembedahan dilakukan jika leukositosis berat, demam serta nyeri perut
dan perdarahan yang bertambah.
DAFTAR PUSTAKA

Badea. Radu I, Cosmin N Caraiani, and Diana I Florian. 2016. Imaging of Colonic
and Rectal Cancer. https://www.intechopen.com/books/colorectal-cancer-
from-pathogenesis-to-treatment/imaging-of-colonic-and-rectal-cance.
(Diakses : 20-01-2020).
Borriello SP. 1998. Pathogenesis of Clostridium difficile in infection. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy 41 (Suppl. C), 13.
FitzGerald, James and Luis O. Hernandez. 2015. Ischemic Colitis. Journal. Section
of Colon and Rectal Surgery, MedStar Washington Hospital Center,
Washington, District of Columbia.
Gheyi. Vhinay K dkk. 2019. Pseudomembranous Colitis Imaging department of
Radiology and Medical Imaging. Journal. University of Virginia School of
Medicine.
Iyer. Revaty B, dkk. 2002. Imaging in the Diagnosis, Staging, and Follow-Up of
Colorectal Cancer Volume 179 No.1 . American Journal of Roentgenology;
179: 3-13.
José Marcio Neves Jorge and Angelita Habr-Gama. 2010. Anatomy and
Embryology of the Colon, Rectum, and Anus.
Juariah M. Nully , Murdani Abdullah dkk. 2005. Intestinal Amebiasis: Diagnosis
and Management. Journal. Department of Anatomical Pathology, Faculty of
Medicine, University of Indonesia/Dr. Cipto Mangunkusumo General
National Hospital.
Kawamoto. 1999. Pseudomembranous Colitis : Spectrum of Imaging Findings with
Clinical and Pathologic Correlation. Radiographics 19, 887.
Kountouras, Janiis. Christos Zavos. 2008. Recent advances in the management of
radiation colitis. World Journal of Gastroenterology.
Marc D Basson dkk. 2019. Ulcerative Colitis. Journal. University of North Dakota
School of Medicine and Health Sciences.
Oesman N. Kolitis Infeksi. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p560-566
Oto, Budi Tan, dkk. 2010. Colitis Tuberculosis. Jurnal. department of Internal
Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Dr. Cipto
Mangunkusumo General National Hospital, Jakarta.
Price. Sylvia A and Lorraine M. Wilson. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran : EGC p456-463
Raydian, Rana mufidah, dkk. 2017. Kolitis ulseratif. artikel. Universitas Lampung.
Rumah Sakit Abdul Moelok. Bandar lampung (Diakses : 10 Januari 2020)
Rhodes. M Jhonatan. 2007. The role of Escherichia coli in inflammatory bowel
disease. Article.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1942130/pdf/610.pdf.
(Diakses : 10 Januari 2020)
Rubin. David T dkk. 2019. Ulcerative Colitis in Adults : ACG Clinical Guideline.
Am J Gastroenterol 2019;114:384–413.
https://doi.org/10.14309/ajg.0000000000000152 (Diakses : 10 Januari
2020).
Seong. Jin Park Joon Koo Han, dkk. 2000. Tuberculous Colitis: Radiologic–
Colonoscopic Correlation. Journal. Department of Radiology, Seoul
National University College of Medicine, 28, Yongon-dong, Chongno-gu,
Seoul. p110-744.

Anda mungkin juga menyukai