Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

GASTROENTERITIS AKUT

Disusun Oleh:

Aldo Valentino Thomas

01073190004

Pembimbing:
dr. Ignatius Bima, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU PENYAKIT DALAM

SILOAM HOSPITALS – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE JANUARI 2022 – MARET 2022

TANGERANG

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ 2
BAB I – PENDAHULUAN………………………………………………..............3
BAB II - ILUSTRASI KASUS ............................................................................... 4
2.1 IDENTITAS PASIEN ....................................................................................... 4
2.2 ANAMNESIS..................................................................................................... 4
2.2.1. Keluhan Utama……………………………………………………..............4
2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang .......................................................................... 4
2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu ............................................................................. 5
2.2.4. Riwayat Operasi……………………………………………………………5
2.2.5. Riwayat Pengobatan………………………………………………………..5
2.2.6. Riwayat Kebiasaan…………………………………………………………5
2.2.7. Riwayat Sosioekonomi dan Lingkungan Keluarga………………………...6
2.2.8. Riwayat Diet………………………………………………………………..6
2.2.9. Riwayat Penyakit Keluarga .......................................................................... 6
2.3. ANAMNESIS BERDASARKAN SISTEM …………………...………….....6
2.4. FIFE…………………...…………………………………….………………....8
2.5. PEMERIKSAAN FISIK .................................................................................. 8
2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG……………………………………………10
2.7. RESUME……………………………………………………………..............13
2.8. DAFTAR MASALAH……………………………………………………….14
2.9. TATA LAKSANA AWAL…………………………………………..............14
BAB III – TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 15
3.1. Definisi………………………………………………………………..............15
3.2. Epidemiologi ………………………………………...………………………15
3.3. Etiologi dan Faktor Resiko …………………………………..……………..18
3.4. Patofisiologi .................................................................................................... 21
3.5. Klasifikasi ……………………………………………………………………26
3.6. Manifestasi Klinis …………………………………………………...............27
3.7. Diagnosis ………………………………………,,…………………………...29
3.8. Diagnosis Banding ……………………………..……………..….………….32
3.9. Tata Laksana ………………………………..…………………..…………..37
3.10. Komplikasi dan Prognosis ………………………………………..............39
3.11. Analisa Kasus .............................................................................................. 40
BAB IV KESIMPULAN ………………………………………………............. 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 43

2
BAB I
PENDAHULUAN

Diare adalah peningkatan frekuensi buang air besar menjadi lebih sering dari normal (>3
kali/hari), diserai perubahan konsistensi feses menjadi lebih encer (berair). Gastroenteritis
merujuk pada infeksi sistem pencernaan, dan kebanyakan kasus gastroenteritis muncul sebagai
kasus diare akut.1,2,3
Pada studi di Korea, patogen bakteri ditemukan pada 11.5 – 23.7% sampel pada tahun
2012-2016. Pada tahun 2017, bakteri pada 1376 sampel dari 9344 sampel pada 70 institusi
kesehatan. Ini menunjukkan bakteri bukanlah penyebab terbanyak diare akut. Survei tahun
2021 di Georgia, New York, Texas dan California pada 2016 - 2018, dari 724 pasien rawat
inap dengan gastroenteritis akut dan 506 pasien rawat jalan dengan gastroenteritis akut,
didapatkan Clostridium difficile dan Norovirus adalah penyebab gastroenteritis akut tersering
di Amerika Serikat.3,4
Berdasarkan etiologinya, diare dibagi menjadi penyebab infektif dan non infektif, juga
penyebab organik maupun fungsional. Berdasarkan durasinya, diare dapat dibagi menjadi akut,
persisten, dan kronik. Diare akut jika berlangsung kurang dari 2 minggu, persisten jika selama
2-4 minggu, kronik jika berlangsung >4 minggu. Berdasarkan mekanisme patofisiologi dibagi
menjadi sekretorik, osmotik, dan dismotilitas. Berdasarkan berat ringannya diare, dibagi
menjadi diare ringan atau berat. Berdasarkan penyebab infeksi, diare dapat dibagi menjadi
infeksi atau bukan infeksi. Sedangkan berdasarkan penyebab organik, dibagi menjadi organik
atau fungsional.1,2
Lebih dari 90% kasus dari diare akut disebabkan agen infeksius disertai mual, muntah,
demam, dan nyeri abdomen. Diare sekretorik ditandai dengan BAB cair (watery), volume feses
besar, tidak nyeri, terus menerus dialami dengan puasa. Diare osmotik ditandai dengan
peningkatan volume BAB, BAB cair, membaik saat puasa ataupun berhenti mengonsumsi agen
penyebab. Sedangkan penyebab dismotilitas menggambarkan diare sekretorik, dengan
steatorrhea. Perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk mencari tanda-tanda dehidrasi. Tata
laksana diare menekankan mengenai tata laksana dehidrasi, dan juga tergantung dari jenis
diare.1,2

3
BAB II

ILUSTRASI KASUS
2.1. Identitas Pasien

• Nama (inisial) : Ny. E

• Kelamin : Perempuan

• Tanggal Lahir : 31 Oktober 1963

• Usia : 58 tahun

• Agama : Kristen

• Nomor Rekam Medis : RSUS.00-27-21-xx

• Alamat : Kelapa Dua

• Tanggal Masuk : 4 Februari 2022

• Tanggal Pemeriksaan : 4 Februari 2022

Informasi diperoleh secara autoanamnesis.

2.2.Anamnesis
2.2.1. Keluhan Utama:

BAB cair sejak 2 hari SMRS

2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien, Ny. E, perempuan berusia 58 tahun, datang ke IGD Rumah Sakit Umum Siloam
Karawaci pada 4 Februari 2022 pukul 12.35 dengan keluhan buang air besar cair sejak 2 hari
SMRS. Pasien di IGD buang air besar sebanyak 7 kali. BAB berwarna coklat, konsistensi
cair, dengan sedikit ampas, volume sekitar 1 gelas aqua. Tidak ada buang air besar yang
berdarah segar, maupun BAB hitam.

Selain itu, pasien juga mengalami lemas, sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mengalami
bengkak pada kedua kaki sejak 3 hari SMRS. Bengkak pada kedua kaki pasien tidak disertai
dengan tanda kemerahan, maupun nyeri.

4
Pasien juga mengeluhkan adanya mual, dan muntah sejak 7 hari SMRS. Mual dan
muntah yang dialami oleh pasien semakin dirasakan pasien memberat sejak 1 hari SMRS.
Sejak 1 hari SMRS, pasien muntah 2-3 kali sehari. Muntah berisi makanan dan air, sebanyak
sekitar ½ sampai 1 gelas aqua. Tidak ada muntah darah yang dialami oleh pasien. Akibat
mual dan muntah yang dialami oleh pasien, pasien tidak nafsu makan. Karena pasien sulit
makan, pasien dipasang NGT silikon di rumah sejak 1 hari SMRS.

Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengalami sulit buang air kecil. Buang air kecil menjadi
lebih sedikit, dan lebih jarang sejak 1 minggu SMRS. Tidak ada keluhan nyeri saat buang air
kecil. Buang air kecil berwarna kuning, tidak ada perubahan warna menjadi seperti coca cola,
tidak keruh. Pasien masih mau minum, merasa haus. Keluhan demam, batuk, sesak nafas
disangkal oleh pasien.

. Pasien riwayat kejang berulang kali, terakhir kali kejang pada 4 hari SMRS. Pasien
memiliki riwayat darah tinggi, biasanya pasien rutin mengonsumsi obat Amlodipin 5 mg,
sebanyak 1x/hariPasien juga memiliki riwayat CVDNH lama, memiliki kelemahan pada
anggota gerak sebelah kiri. Riwayat stroke dialami oleh pasien pada Mei 2019. Pasien
memiliki riwayat penyakit jantung sejak tahun 2018, pasang ring pada Maret 2018. Pasien
tidak memiliki riwayat kencing manis, maupun penyakit ginjal.

2.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien tidak memiliki keluhan serupa sebelumnya

2.2.4. Riwayat Operasi:


Pasien memiliki riwayat dipasang VP shunt regio servikal, dan PCI pada bulan Maret 2018.

2.2.5. Riwayat Pengobatan:


Pasien rutin mengonsumsi obat Clopidogrel PO 75 mg 1x1, Atorvastatin PO 20 mg
1x1, Fenitoin PO 100 mg 3x1, Levetirazetam PO 500 mg 3x1 (Eterlox), Amlodipin
PO 5 mg 1x1, Bisoprolol PO 2.5 mg 1x1 (Concor), Olanzapin PO 2 mg 1x1
(Zyprexa).

2.2.6. Riwayat Kebiasaan:

Pasien tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, ataupun NAPZA

5
2.2.7. Riwayat sosioekonomi dan lingkungan keluarga:

Pasien tinggal bersama dengan suami dan anak pasien, beserta dengan menantu dan
cucu pasien. Tidak ada keluhan serupa pada keluarga pasien, maupun lingkungan
tempat tinggal pasien.

2.2.8. Riwayat Diet:

Menu makan pasien nasi, sayur, buah, lauk dan pauk seperti biasa. Pasien lupa menu
makanan terakhir pasien pada 7 hari SMRS yang menyebabkan keluhan pasien
muncul.

Pasien mengalami penurunan porsi makan, dan penurunan frekuensi makan.


Biasanya pasien makan 3x sehari, dengan porsi 1 piring/kali makan. Tetapi sejak
sekitar 1 minggu SMRS, pasien tidak nafsu makan, hanya makan beberapa sendok
sebelum muntah, sehingga dipasang NGT.

2.2.9. Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat keluhan serupa di keluarga (-), riwayat alergi (-), riwayat keganasan (-),
riwayat asma (-), riwayat penyakit jantung (-), tekanan darah tinggi (-), kencing manis
(-).

2.3.Anamnesis berdasarkan sistem:


A. Keluhan keadaan umum:
Demam (-)
Nafsu makan menurun (+)
Edema (-)
Ikterus (-)
Haus (+)
Berat badan menurun (-)
B. Keluhan organ di kepala:
Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung (-)
Lidah (-)
Gangguan menelan (-)
Sakit kepala (-)

6
Telinga (-)
Mulut (-)
Gigi (-)
Suara (-)
C. Keluhan organ di leher:
Kaku kuduk (-)
D. Keluhan organ di thorax:
Sesak nafas: (-)
Sakit dada: (-)
Batuk: (-)
Jantung berdebar: (-)
Nafas berbunyi (-)
E. Keluhan organ di perut:
Nyeri: (-)
Mual: (+)
Muntah: (+)
Obstipasi: (-)
Diare: (+)
Perubahan bentuk tinja: BAB cair
Perubahan dalam haid (-)
Tenesmiadanum (-)
Perubahan air seni: (-)
F. Keluhan dari tangan dan kaki:
Keluhan rasa kaku (-)
Artrosis (-)
Fraktur (-)
Nyeri tekan (-)
Luka atau bekas luka (-)
Edema pretibial (+/+): Pitting edema
Edema dorsum pedis (+/+): Pitting edema
Rasa lemah (-)
Jalan (-) tidak ada keluhan
Perasaan kesemutan (-)
G. Keluhan lain: (-)

7
2.4. FIFE
Perasaan hati:
Ide sakit: Pasien mengira dirinya mengalami diare
Fungsi: Keluhan mengganggu aktivitas pasien
Ekspektasi: Pasien ingin sembuh dari penyakitnya

2.5. Pemeriksaan fisik


Keadaan umum:
• kesan sakit: Tampak sakit sedang, gelisah
• kesadaran: GCS E4M6V5 → compos mentis
• gizi: → BMI: 21,09 kg/m2 (Normal)
• tinggi badan: 160 cm
• berat badan: 54 kg
Keadaan sirkulasi
➔ Tekanan darah:120/90 mmHg
➔ Laju nadi : 94x/menit reguler, kuat angkat, simetris
➔ Suhu : 36.6˚celcius
➔ Saturasi : 95% room air
Keadaan pernafasan
• frekuensi: 18 x/menit
• corak pernafasan: regular
• bau nafas: -

Status Generalis

Tabel 1. Pemeriksaan Status Generalis


Sistem Deskripsi
Kulit Warna kulit putih kekuningan, lesi(-), perdarahan(-), jaundice(-)
Kepala Normosefali, rambut hitam tersebar merata
Wajah Normofasies, dismorfik(-), edema palpebra (-/-)
Mata Konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik(-/-), pupil bulat isokor 2mm/2mm,
refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), gerak
bola mata ke segala arah normal, mata cekung(-/-), air mata(+/+)

8
Hidung Konka inferior pucat (-/-), sekret(-/-), epistaksis (-/-)
pernapasan cuping hidung(-)
Mulut Mukosa mulut kering, atrofi lidah (-)
Tenggorokan Tonsil T1/T1 hiperemis(-), detritus (-), ulser(-)
Leher Perbesaran KGB(-), JVP (5+2), kaku kuduk (-) , massa (-). Pembesaran
kelenjar tiroid (-)
Thorax:
(Paru)
- Inspeksi: pengembangan dada statis dan dinamis; simetris pada kedua lapang paru,
scar -, barrel chest -, massa -, hiperinflasi dada -
- Palpasi: chest expansion simetris kiri dan kanan, tactile fremitus kiri dan kanan
simetris
- Perkusi: sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi: VBS +/+, rhonchi di kedua lapang paru-/-, wheezing -/-
(Cor)
- Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat, scar -, massa -
- Palpasi: ictus cordis tidak teraba
- Perkusi: batas jantung (kanan= ICS 4 ; 2 jari dari parasternal kanan, kiri= ICS 4
midclavicula sinistra, pinggang jantung= ICS 2 parasternal kiri) dbn
- Auskultasi: S1/S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen:
- Inspeksi: supel, datar -, scar -, caput medusae -, spider naevi -
- Palpasi: nyeri tekan + regio epigastrik, massa -, hepatomegali -, splenomegali -.
Turgor abdomen 1 detik
- Perkusi: timpani seluruh lapang abdomen, shifting dullness -, nyeri ketok CVA -/-,
- Auskultasi: BU + 20x/menit, metallic sound -
Punggung Masa(-), lesi(-), deformitas(-)
Ekstremitas Akral hangat, CRT< 2detik, edema (+/+) pitting, hiperemis (-/-), nyeri
tekan (-/-). Koilonychia (-), pulsasi arteri dorsalis pedis simetris, cyanosis -,
luka -, kulit kering -
KGB Tidak teraba membesar
Genitalia Tidak dilakukan

9
2.6.Pemeriksaan Penunjang
Tabel 1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan Darah Lengkap (4 Februari 2022)
• Hb 11.7 g/dL (11,70-15,50)
• Hematokrit 36.3 % (35,0-47,0)
• RBC 5,11 x 10^6µL (3,80-5,20)
• WBC 15.39 x 10^3µL (H) (3,80-11,00)
• Hitung Jenis
• Basophil 0% (0-1)
• Eosinophil 0% (1-3)
• Band Neutrophil 3% (2-6)
• Segment Neutrophil 71 % (50-70)
• Lymphocyte 18 % (25-40)
• Monocyte 8% (2-8)
• Platelet 511x10^3µL (H) (150,00-400,00)
• ESR 13 mm/h (0-20)
• MCV 71,0 fL (L) (80,0-100,0)
• MCH 22,90 pg (L) (26,0-34,0)
• MCHC 32,2 g/dL (32,0-36,0)
• Ureum 29,0 mg/dl <71
• Creatinine 0,6 mg/dl 0,50-1,10
• eGFR 100,5 ml/mnt/1,73 m2
• GDS 141 mg/dl <200
• Na 130 mmol/L (L) 137-145
• K 3,0 mmol/L (L) 3,6-5,0
• Cl 90 mmol/L (L) 98-107
• Albumin 2.35 g/dL (L) 3.50 – 5.20

Feses (4/2/2022)
Makroskopis
Warna Coklat
Konsistensi Lembek
Mukus - -

10
Darah - -
Mikroskopis
Eritrosit 1-2/HPF 0-1
Leukosit 1-3/HPF 1-5
Amoeba - -
Egg worm - -
Yeast - -
Digestive
Amilum -
Fat -
Fibers +
Stool occult blood + -

EKG (4/2/2022)

11
Ritme: Sinus Rhytm
Axis: Normoaxis
Rate: 93x/menit
P wave: 0.12 S
PR interval: 0.2 S
QRS:0.06 S
ST elevasi (-), ST depresi (-), T tall (-), T inversion (-)
QT interval: 0.36 s
Kesan: Sinus Rhythm, normoaxis

CXR – PA (4/2/2022)

Temuan:
Paru: Normal
Mediastinum: Normal
Trakea dan bronkus: Normal
Hilus: Normal
Pleura: Normal

12
Diafragma: Diafragma kiri letak tinggi
Jantung: CTR <50%
Aorta: Elongasi
Vertebra thorakal dan tulang-tulang lainnya: Mild dextroscoliosis vertebra thoracalis
Jaringan lunak: Normal
Abdomen yang tervisualisasi: Normal
Leher yang tervisualisasi: Normal
Terpasang VP shunt dari regio cervical kanan hingga abdomen atas sisi kanan

Kesan:
- Tidak tampak opasitas maupun konsolidasi pada kedua paru
- Aorta elongasi
- Diafragma kiri letak tinggi
- Terpasang VP shunt dari regio cervical kanan hingga abdomen atas sisi kanan

2.7. Resume

Pasien, Ny. E, perempuan usia 58 tahun, datang ke IGD RSUS pada 4 Februari 2022
dengan keluhan BAB cair sejak 2 hari SMRS. Di IGD, pasien buang air besar 7 kali. BAB
berwarna coklat, cair, dengan sedikit ampas, sekitar ½ - 1 gelas aqua. Pasien juga lemas, dan
bengkak pada kedua kaki sejak 3 hari SMRS. Pasien mual dan muntah sejak 7 hari SMRS,
semakin memberat sejak 1 hari SMRS. 1 hari SMRS pasien muntah 2-3 kali sehari, berisi
makanan dan air, sekitar 1 gelas aqua. Pasien tidak nafsu makan, pasien dipasang NGT silikon
di rumah sejak 1 hari SMRS. Sejak 1 minggu SMRS, pasien sulit buang air kecil. Buang air
kecil lebih sedikit, dan lebih jarang, berwarna kuning. Pasien masih mau minum, merasa haus.

Pasien riwayat kejang berulang, terakhir kejang 4 hari SMRS. Pasien riwayat darah tinggi
biasanya pasien mengonsumsi Amlodipin PO 5 mg 1x1. Pasien juga memiliki riwayat
CVDNH lama, memiliki kelemahan pada anggota gerak sebelah kiri. Riwayat stroke dialami
oleh pasien pada Mei 2019. Pasien riwayat penyakit jantung, riwayat PCI pada Maret 2018,
dan dipasang VP shunt regio servikal.

Pasien rutin mengonsumsi obat Clopidogrel PO 75 mg 1x1, Atorvastatin PO 20 mg 1x1,


Fenitoin PO 100 mg 3x1, Levetirazetam PO 500 mg 3x1 (Eterlox), Amlodipin PO 5 mg 1x1,
Bisoprolol PO 2.5 mg 1x1 (Concor), Olanzapin PO 2 mg 1x1 (Zyprexa).

13
Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit sedang, gelisah, compos mentis. Tanda-tanda vital
pasien normal, tekanan darah 120/90 mmHg, laju nadi 94x/menit reguler, kuat angkat,
simetris, suhu 36.6˚celcius, saturasi 95% room air, laju nafas 18 x/menit regular. Mukosa
mulut kering, turgor abdomen 1 detik, edema pitting (+/+) eksremitas bawah.

Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis (WBC 15.39 x 103/μL),


hiponatremia ringan (130 mmol/L), hipokalemia ringan (3 mmol/L), dan hipoalbuminemia
(2.35 g/dL). Analisa feses didapatkan warna feses coklat, lembek, serat (+), stool occult blood
(+).

2.8. Daftar masalah


1. Gastroenteritis akut dengan dehidrasi ringan sedang
2. Hiponatremia ringan
3. Hipokalemia ringan
4. Hipertensi

2.9. Tatalaksana awal yang diberikan:

Non medikamentosa

• Observasi tanda-tanda vital

• RL 500 ml loading, dilanjutkan RL 500 ml/8 jam


• EKG 12 lead
• Cek laboratorium → CBC, GDS, Ureum, kreatinin, elektrolit, feses
• X-ray thorax PA
• Rawat inap di ruang biasa, konsultasi Sp. PD, Sp.S, Sp.JP

Medikamentosa

• Ondansentron IV 4 mg TDS

• Ceftriaxone IV 2 gram BD

• Omeprazole IV 40 mg OD

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Diare didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi buang air besar menjadi lebih sering
dari normal (>3 kali.hari), diserai perubahan konsistensi feses menjadi lebih encer (berair).
Untuk orang-orang dewasa dengan diet tipikal negara-negara Barat, diare jika berat feses lebih
dari 200 gram per hari. Atau dikatakan diare jika kandungan air pada feses lebih dari 200
ml/hari.1,2
Berdasarkan durasinya, diare dapat dibagi menjadi akut, persisten, dan kronik. Diare akut
jika diare berlangsung kurang dari 2 minggu. Diare persisten jika diare selama 2-4 minggu.
Sedangkan diare kronik jika diare berlangsung >4 minggu.1
Gastroenteritis merujuk pada infeksi sistem pencernaan, dan kebanyakan kasus
gastroenteritis muncul sebagai kasus diare.3

3.2. Epidemiologi
Pada studi ‘Sentinels in acute infectious diarrhea surveillance’ di Korea yang dilakukan
oleh Korea Centers for Disease Control and Prevention (KCDC), patogen bakteri ditemukan
pada 11.5 – 23.7% sampel pada tahun 2012-2016. Pada tahun 2017, bakteri (Salmonella spp.,
Escheria coli, Shigella.spp, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio cholerae, Campylobacter spp.,
Clostridium perfringens, dan Yersinia enterocolitica) ditemukan pada 1376 sampel dari 9344
sampel pada 70 institusi kesehatan. Ini menunjukkan bakteri bukanlah penyebab terbanyak
diare akut.3
Pada studi tahun 2021 berupa survei terhadap 4 fasilitas kesehatan untuk veteran (di
Atlanta, Georgia; Bronx, New York; Houston, Texas; dan Los Angeles, California) pada Juli
2016 hingga Juni 2018, didapatkan dari 724 pasien rawat inap dengan gastroenteritis akut dan
506 pasien rawat jalan dengan gastroenteritis akut. Didapatkan Clostridium difficile dan
Norovirus adalah penyebab gastroenteritis akut tersering di Amerika Serikat. Infeksi
Clostridium difficile paling banyak pada pasien rawat inap, C.difficile (18.8% vs 8.4%), dan
Norovirus (5.1% vs 1.5%), P value <0.1. Sedangkan pada pasien rawat jalan, Norovirus
sebanyak 10.7% pasien, C.difficile pada 10.5% pasien rawat jalan. Insidensi per 100.000
populasi paling banyak pada pasien rawat jalan, serta rawat inap ≥65 tahun.4

15
Kebanyakan orang dengan kolera memiliki gejala ringan, atau tidak bergejala walaupun
ditemukan Vibrio pada hasil pemeriksaan feses selama 7-14 hari. Hanya sekitar 10-20% pasien
yang mengalami diare yang cukup parah sehingga menyebabkan dehidrasi. Kolera muncul
sebagai diare akut berair, dengan muntah, tanpa darah pada feses.5

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi diare klinis
adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi NAD (18,9%) dan terendah di DI
Yogyakarta (4,2%). Provinsi dengan prevalensi diare klinis >9% adalah NAD, Sumatera Barat,
Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat, Papua.6

Prevalensi diare menurut provinsi

Bila dilihat per kelompok umur, prevalensi tertinggi diare terdapat pada terdeteksi pada
kelompok balita, yaitu 16,7%. Sedangkan menurut jenis kelamin, prevalensi diare pada laki-
laki sebanyak 8,9%, dan 9,1% pada perempuan.6
Diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-12 dengan proporsi sekitar 3,5%.
Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-
3 setelah TB dan Pneumonia.6

16
Nomor Penyebab Kematian Proporsi Kematian
1 Stroke 15.4%
2 TB 7.5%
3 Hipertensi 6.8%
4 Cedera 6.5%
5 Perinatal 6%
6 Diabetes Mellitus 5.7%
7 Tumor ganas 5.7%
8 Penyakit hati 5.1%
9 Penyakit jantung iskemik 5.1%
10 Penyakit saluran napas bawah 5.1%
11 Pneumonia 3.8%
12 Diare 3.5%
13 Ulkus lambung dan usus 12 jari 1.7%
14 Tifoid 1.6%
15 Malaria 1.3%
16 Meningitis Ensefalitis 0.8%
17 Malformasi kongenital 0.6%
18 Dengue 0.5%
19 Tetanus 0.5%
20 Septikemi 0.3%
Penyebab Kematian Terbanyak6

Diare akut berada pada peringkat 7 penyebab mortalitas berdasarkan LMIC tahun 2013,
dengan 1.3 juta kematian (2.4%). Kebanyakan kematian terjadi pada anak-anak di bawah 5
tahun, dan berada pada peringkat 5 terbanyak penyebab mortalitas pada anak-anak di atas 5
tahun pada tahun 2013.7

17
3.3.Etiologi dan Faktor Resiko
Berdasarkan etiologinya, diare dapat dibagi menjadi penyebab infektif, maupun non
infektif, juga penyebab organik maupun fungsional. Lebih dari 90% kasus diare akut
disebabkan oleh agen infeksius, yang sering disertai dengan keluhan muntah, demam, dan nyeri
perut. Sedangkan 10% sisanya disebabkan oleh penyebab lain, seperti pengobatan, toksin,
iskemia, dan lainnya.1
Kebanyakan diare infeksius didapatkan melalui transmisi fekal-oral, melalui konsumsi
makanan yang terkontaminasi patogen pada feses manusia maupun hewan. Di Amerika Serikat,
terdapat 5 kelompok yang memiliki resiko tinggi mengalami diare, diantaranya adalah
penjelajah, konsumen dari beberapa makanan, orang-orang dengan imunodefisien, lingkungan
penitipan anak, dan lingkungan fasilitas kesehatan.1
Hampir 40% turis Amerika Latin, Afrika, dan Asia mengalami traveler’s diarrhea. Agen
penyebabnya paling sering akibat infeksi Escherichia coli, Campylobacter, Shigella,
Aeromonas, Norovirus, Coronavirus, dan Salmonella. Diare juga sering terjadi setelah
konsumsi makanan selama piknik, pesta, ataupun restoran. Agen penyebab yang sering ditemui
adalah Salmonella, Campylobacter, atau Shigella dari ayam, enterohemorrhagic E. coli dari
hamburger yang kurang matang, Bacillus cereus dari nasi goreng ataupun makanan yang
dipanaskan kembali, Staphylococcus aureus atau Salmonella dari mayones atau krim,
Salmonella dari telur, Listeria dari makanan yang tidak dimasak, serta patogen seperti Vibrio,
Salmonella, atau hepatitis A dari makanan laut (terutama mentah).1
Orang-orang dengan imunodesiensi primer (seperti defisiensi IgA, chronic
granulomatous disease) ataupun sekunder (AIDS, supresi farmakologik), beresiko mengalami
diare. Terjadi infeksi oportunistik, sehingga Mycobacterium, virus-virus (sitomegalovirus,
adenovirus, maupun herpes simpleks), serta protozoa (Cryptosporidium, Isospora belli,
Mikrospordia, dan Blastocystis hominis) berperan. Selain itu, pada pasien AIDS, patogen dapat
berasal dari hubungan seksual per rectum, atau dari infeksi vagina (seperti Neisseria
gonorrhoeae, Treponema pallidum, Chlamydia).1
Pada fasilitas penitipan anak, dapat terjadi infeksi oleh patogen seperti Shigella, Giardia,
Cryptosporidium, dan rotavirus. Sedangkan pada fasilitas kesehatan, penyebab tersering akibat
Clostridium difficile.1
Penyebab lain dari diare adalah akibat efek samping dari pengobatan, merupakan
penyebab diare non infeksius tersering. Paling sering diakibatkan oleh antibiotik, antidisritmik
kardiak, antihipertensi, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), beberapa
antidepresan, agen kemoterapi, bronkodilator, antasid, dan laksatif.1

18
Berbeda dengan diare akut, diare kronik kebanyakan disebabkan oleh penyebab non
infeksius. Dapat diakibatkan masalah sekretorik, masalah osmotik, steatorrheal, inflamasi,
maupun factitial.1
Penyebab sekretori akibat masalah transpor cairan dan elektrolit melewati mukosa usus,
paling sering akibat obat-obatan per oral maupun toksin. Contohnya laksatif (seperti senna,
cascara, bisacodyl, asam risinoleat (castor oil)), konsumsi etanol secata kronik, toksin (seperti
arsenik). Penyebab diare sekretorik lainnya adalah reseksi usus, penyakit mukosa, maupun
fistula enterokolik, sehingga menyebabkan permukaan reabsorpsi cairan dan elektrolit
berkurang. Contohnya pada penyakit Crohn, maupun reseksi ileum terminal. Obstruksi usus
secara parsial, striktur juga menjadi penyebab. Selain itu, hormon berperan pada diare
sekretorik, akibat sirkulasi beberapa komponen seperti serotonin, histamin, prostaglandin, dan
kinin (pada kasus metastasis kanker pencernaan, atau kanker bronkial, gastrinoma, karsinoma
tiroid). Defisiensi hormonal terjadi pada insufisiensi adrenokortikal (penyakit Addison).1
Penyebab diare osmotik disebabkan konsumsi zat yang sulit diserap, cairan yang menarik
air ke dalam lumen. Contohnya adalah laksatif (termasuk antasid yang mengandung
magnesium, suplemen), malabsorbsi karbohidrat (paling banyak disebabkan oleh defisiensi
laktat). Penyebab lainnya adalah malabsorbsi lemak. Selain itu, malabsorbsi pada mukosa,
terutama pada penyakit Celiac menyebabkan diare osmotik.1
Penyebab inflamatori (peradangan) disebabkan oleh Inflammatory bowel disease (IBD),
yang terdiri dari penyakit Crohn dan ulseratif kolitis. Penyebab lainnya adalah imunodesiensi
(baik primer maupun sekunder). Selain itu, dapat disebabkan oleh infiltrasi eosinofil ke
mukosa, otot, ataupun serosa pada pencernaan (eosinophilic gastroenteritis). Penyebab lainnya
berupa radiasi, chronic graft-versus-host disease, dan sindrom Behcet.1
Penyebab dismotilitas dapat diakibatkan hipertiroid, sindroma karsinoid, beberapa obat-
obatan (mengandung prostaglandin, atau agen prokinetik). Inflammatory bowel syndrome
(IBS) terjadi pada 10% kasus, memiliki karakteristik adanya gangguan motorik intestinal
maupun kolon akibat berbagai stimulus.1

19
Makanan Makanan di hotel Norovirus, Salmonella (non tifoid), C. perfringens,
atau restoran B.aureus, S.aureus, Campylobacter, ETEC, STEC,
Listeria, Shigella, Cyclospora, Cryptosporidium
Susu tidak Salmonella, Campylobacter, Y.enterocolitica, toksin
terpasteurisasi S.aureus, Cryptosporidium, STEC, Brucella (susu
kambing), M.bovis, Coxiella burnetti
Daging mentah STEC (daging), C.perfringens (daging, unggas),
Salmonella (unggas), Campylobacter (unggas), Yersinia
(babi), S.aureus (unggas), Trichinella (babi)
Sayur atau buah STEC, Salmonella (non tifoid), Cyclospora,
Cryptosporidium, Norovirus, Hepatitis A,
L.monocytogenes
Telur mentah Salmonella, Shigella
Kontak Air tidak steril Campylobacter, Cryptosporidium, Giardia, Shigella,
Salmonella, STEC, Plesiomonas shigelloides
Kolam renang Cryptosporidium
Penjara Norovirus, C.difficile, Shigella, Cryptosporidium, Giardia,
STEC, Rotavirus
Perawatan anak Rotavirus, Cryptosporidium, Shigella, Giardia, STEC
Antibiotik C.difficile, MDR-Salmonella
Riwayat pergi ke E.coli (EAEC, ETEC, EIEC), Shigella, S.typhi,
area tidak sehat S.nonthyphoidal, Campylobacter, V.cholerae,
E.histolytica, Giardia, Blastocystitis, Cyclospora
Hewan diare Campylobacter, Yersinia
Feses babi Balantidium coli
Unggas Non thyphoidal Salmonella
Peternakan atau STEC, Cryptosporidium, Campylobacter
kebun binatang
Faktor resiko terkait patogen diare3

20
3.4.Patofisiologi
Kebanyakan agen infeksius penyebab diare ditransmisikan melalui fekal-oral, melalui
konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh patogen dari feses manusia ataupu
hewan. Gangguan dari flora normal usus oleh antibiotik dapat menyebabkan diare, melalui
penurunan fungsi pencernaan ataupun akibat adanya patogen seperti Clostridium difficile.
Infeksi akut terjadi ketika patogen yang masuk dapat mengatasi sistem imun dan non imun
(asam lambung, enzim-enzim pencernaan, mukus, peristaltis, normal flora) mukosa.1
Diare yang banyak, dan berair, akibat hipersekresi usus halus terjadi akibat masuknya
toksin bakteri, bakteri yang memproduksi enterotoksin, dan patogen enteroaderen. Dimana
diare dikaitkan dengan muntah yang jelas terlihat, dengan demam minimal (atau tanpa demam)
yang mungkin terjadi setelah beberapa jam. Mikroorganisme yang memproduksi sitotoksin dan
bersifat invasif menyebabkan demam tinggi dan nyeri abdomen. Bakteri invasif, Entamoeba
histolytica sering kali menyebabkan diare berdarah (disentri). Yersinia menginvasi ileum
terminal dan mukosa kolon proksimal, mungkin menyebabkan nyeri abdomen parah yang
menyerupai apendisitis akut.1
Diare infeksius juga berhubungan dengan manifestasi sistemik, seperti artritis reaktif
(sindrom Reiter), artritis, uretritis, dan konjungtivitis. Biasanya menyertai infeksi Salmonella,
Campylobacter, Shigella, dan Yersinia. Yersiniosis mungkin menyebabkan tiroiditis tipe
autoimun, perikarditis, dan glomerulonephritis. Sedangkan baik enterohemorrhagic E. coli dan
Shigella menyebabkan hemolytic uremic syndrome.1
Aeromonas adalah bakteri yang tinggal di lingkungan berair, kebanyakan bersifat
patogenik. Selain itu, Aeromonas dapat ditemukan pada daging dan produk seperti susu.
Beberapa Aeromonas mengeluarkan enterotoksin. Infeksi enterik bervariasi dari diare akut
berair hingga disentri. Gejala meliputi kram abdomen, mual, muntah, dan demam. Biasanya
infeksi bersifat self-limited. Spesies yang paling sering adalah Aeromonas caviae. Komplikasi
enteritis Aeromonas adalah hemolytic uremic syndrome (HUS) dan penyakit ginjal.7
Campylobacter adalah bakteri gram negatif motil, berbentuk S, bersifat mikroaerofilik,
bertanggung jawab pada zoonosis. Terdapat pada unggas, sapi, domba, dan babi. Hewan
peliharaan juga bersifat reservoir terhadap infeksi pada manusia. Campylobacter bertanggung
jawab pada infeksi akibat daging tidak matang, unggas adalah sumber infeksi. Selain itu produk
susu tidak terpasteurisasi dan air sebagai sumber infeksi. C. jejuni dan C. coli paling sering
menyebabkan diare, gejala seperti demam, kram abdomen, dan diare dengan atau darah.
Walaupun umumnya sembuh sendiri, relaps dan diare kronik berhubungan dengan bakteremia.
Patogenesis kurang diketahui. Infeksi C. jejuni dihubungkan dengan GBS, karena reaktivitas

21
silang antara motif seperti gangliosid pada lipopolisakarida C. jejuni dengan saraf perifer.7
Escheria coli (E. coli) bertanggung jawab pada diare akut dan infeksi ekstraintestinal.
Terdapat 5 kelompok E. coli penyebab diare akut, yaitu: Shiga toxin-producing Escherichia
coli (STEC) atau enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC); enterotoxigenic Escherichia
coli (ETEC); enteropathogenic Escherichia coli (EPEC); enteroaggregative Escherichia coli
(EAEC); dan enteroinvasive Escherichia coli (EIEC).7
STEC memproduksi toksin Shiga toxins (verositotoksin), penyebab diare akut akibat E.
coli tersering. Serotipe O156 bertanggung jawab pada diare tidak berdarah ringan, atau diare
akut berdarah. STEC bertanggung jawab pada 80% kasus HUS pada 4% pasien infeksi enterik.
Daging sapi adalah transmisi utama. Transmisi orang ke orang juga bertanggung jawab.7
ETEC memproduksi enterotoksin yang heat-labile dan heat stable, penyebab diare cukup
sering pada traveler’s diarrhea. Manifestasi berupa diare berair ringan, kram abdominal, tanpa
muntah atau demam. Infeksi EPEC melalui penempelan faktor plasmid dan lokus kromosomal
dari enterosit. Organisme ini bertanggung jawab pada diare parah pada bayi, berhubungan
dengan demam, muntah, dan diare kronik. Berhubungan dengan malabsorbsi, penurunan berat
badan, gangguan pertumbuhan. EPEC sering menyerupai shigellosis. EAEC bertanggung
jawab infeksi enterik, manifestasi diare tidak berdarah, nyeri abdomen, dan demam ringan.7
Salmonella adalah bakteri enterik yang motil. Salmonella enterica meliputi 5 subspesies.
Kebanyakan infeksi disebabkan oleh Salmonella enterica subspecies I, didapatkan dari hewan
berdarah hangat. Infeksi Salmonella lainnya dari lingkungan dan hewan berdarah dingin. S.
enterica serotipe Typhi adalah penyebab demam tidoid. S.enterica non tifoid bertanggung
jawab pada diare akut tanpa demam dan nyeri abdomen, berlangsung 1 minggu. Jarang
menyebabkan bakteremia dan infeksi ekstraintestinal pada pasien imunokompromi.7
Shigella dysenteriae, Shigella flexneri, Shigella boydii, dan Shigella sonnei bertanggung
jawab pada diare akut. Manusia adalah satu-satunya inang yang diketahui bagi Shigella spp.,
transmisi melalui kontak langsung orang ke orang dan melalui makanan dan air yang
terkontaminasi. Shigella bertanggung jawab pada disenteri basilar yang ditandai diare berdarah
akut, demam, dan kram abdominal. Pada feses ditemukan mukus, pus, dan darah.7
Tropheryma whipplei termasuk Actinobacterium. Sering terdapat pada feses anak-anak,
ditemukan sebagai agen etiologis gastroenteritis ringan dan diare pada anak-anak. Pada pasien
dewasa dengan traveler’s diarrhea, mikroorganism ini dapat dipikirkan. Tetapi pada pasien
dewasa, biasanya bersifat asimptomatik.7
Vibrio ditemukan pada lingkungan berair. Vibrio cholerae merupakan gram negatif,
motil, anaerob fakultatif. Terdapat 3 subtipe V. cholerae yaitu V.cholerae O1, O139, dan non

22
O1. Kromosom V. cholerae mengandung virulence cassette dan pathogenicity islands,
mengkode faktor virulensi seperti pilus untuk menempel pada epitel usus, dan enterotoksin
yang bertanggung jawab pada ekskresi elektrolit dan air pada lumen usus. Kebanyakan pasien
dengan infeksi V. cholerae O1 tidak bergejala, atau mengalami diare yang self-limited, tetapi
mungkin mengalami diare parah dengan volume masif, seperti air cucian beras, dan dehidrasi.7
Yersinia enterolicitica dan Yersinia pseudotuberculosis merupakan agen infeksi saluran
pencernaan. Y. enterocolitica mengkode enterotoksin, memiliki pathogenicity island yang
mengandung gen yersiniabaktin, berperan menyediakan besi. Y.enterocolitica dapat ditemukan
pada saluran cerna babi, anjing, dan tikus. Berhubungan dengan diare akut yang bersifat self
limited, lokasi di ileum terminal dan limfadenitis mesenterik, menyerupai apendisitis.7
Enteritis virus sering diakibatkan Rotavirus. Rotavirus adalah virus RNA, bentuk ‘wheel-
like appearance’. Berdasarkan protein struktural VP6, diklasifikan menjadi 6 kelompok (grup
A-G), grup A-C menginfeksi manusia. Rotavirus berhubungan dengan diare akut parah dengan
dehidrasi. Infeksi Rotavirus tergantung pada musim, tertinggi pada musim dingin atau gugur.7
Famili Caliciviridae terdiri dari Norovirus dan Sapovirus, berhubungan dengan enteritis.
Norovirus merupakan virus RNA, memiliki 5 genotip, dimana genotip I, II, dan IV bertanggung
jawab pada infeksi pada manusia. Bersifat sangat kontagius, ditemukan pada permukaan, air,
atau makanan terkontaminasi.7
Astrovirus adalah virus RNA, bertanggung jawab pada diare akut pada anak-anak.
Adenoviruses adalag virus DNA, tanpa selubung virus (non-enveloped), juga bertanggung
jawab pada infeksi pada manusia. Adenovirus terdiri dari 51 serotipe dan 6 subgrup, tetapi
hanya 2 serotipe (Ad40 dan Ad41) yang merupakan penyebab diare akut.7

23
Patogen Inkubasi Muntah Nyeri Demam Diare
abdomen

Toxin producers:
8-24 jam 3-4+ 1-2+ 0-1+ 3-4+, watery
B.cereus, S.aureus,
C.perfringens

Enterotoksin:
8-72 jam 2-4+ 1-2+ 0-1+ 3-4+, watery
V.cholerae, ETEC, Giardia,
Cryptosporidiosis, cacing

Enteroadherent:
1-8 hari 0-1+ 1-3+ 0-2+ 3-4+, watery,
EPEC, EAEC, Giardia,
lembek
Cryptosporidiosis, cacing

Cytotoxin producers:
1-3 hari 0-1+ 3-4+ 1-2+ 1-2+, watery,
C.difficile
kadang darah
12-72 0-1+ 3-4+ 1-2+ 1-3+, watery inisial,
Hemorrhagic E.coli
jam darah

Organisme invasif:
1-3 hari 1-2+ 2-3+ 3-4+ 1-3+, watery
Rotavirus dan Norovirus

Inflamasi:
12 jam – 0-3+ 2-4+ 3-4+ 1-3+, watery atau
Salmonella, Campylobacter,
11 hari berdarah
Aeromonas,
V.parahaemolyticus,
Yersinia
12 jam – 0-1+ 3-4+ 3-4+ 1-2+, darah
Inflamasi parah:
8 hari
Shigella, EIEC, E. histolytica

Penyebab diare infeksius tersering1

Diare sekretorik terjadi akibat adanya gangguan transport cairan dan elektrolit melewati
mukosa usus. Karena tidak adanya larutan malabsorbsi, umumnya elektrolit endogen normal,
tanpa adanya osmotic gap pada feses. Diare ini diakibatkan oleh pengobatan seperti laksatif
(seperti senna, cascara, bisacodyl, asam ricinoleat (castor oil)). Konsumsi etanol kronik dapat
menyebabkan diare sekretorik karena kerusakan enterosit, gangguan absorbsi sodium dan air.1

24
Kondisi reseksi usus, penyakit mukosa, maupun fistula enterokolik dapat menyebabkan
diare sekretorik karena permukaan tidak cukup luas untuk melakukan reabsorbsi cairan dan
elektrolit. Biasanya kondisi diare sekretorik tipe ini memberat dengan makan. Obstruksi usus
secara parsial, striktur ostomi, atau impaksi feses mungkin menyebabkan peningkatan jumlah
feses karena hipersekresi cairan. Ketika ada kondisi seperti ileitis Crohn maupun reseksi ileum
terminal, asam empedu mungkin tidak diabsorbsi, sehingga menstimulasi sekresi kolon.1

Mekanisme tersebut berperan pada terjadinya diare sekretori idiopatik, atau bile acid
diarrhea (BAD), dimana asam empedu mengalami malabsorbsi di ileum terminal, terjadi pada
40% diare kronik. Penurunan regulasi negative feedback dari sintesis asam empedu di hepatosit
oleh fibroblast growth factor 19 (FGF-19) yang diproduksi oleh enterosit ileum, menyebabkan
sintesis asam empedu melebihi kapasitas normal dari reabsorbsi ileum, menyebabkan
terjadinya BAD. Penyebab lain BAD adalah adanya variasi genetik pada protein reseptor (β-
klotho dan FGF-4) pada hepatosit, yang umumnya berfungsi dalam mediasi efek FGF-19.
Mekanisme lain meliputi variasi genetik pada bile acid receptor (TGR5) pada kolon,
menyebabkan akselerasi colon transit.1

Beberapa hormon mempengaruhi terjadinya diare sekretorik. Diare dapat terjadi karena
pelepasan dari sekretagog usus seperti serotonin, histamin, prostaglandin, dan berbagai kinin.
Gastrinoma, adalah tumor neuroendokrin tersering, menyebabkan diare pada 1/3 kasus. Diare
paling sering diakibatkan oleh gangguan pencernaan lemak akibat inaktivasi enzim pankreas
oleh pH intraduodenal yang rendah. Adenoma pankreas (non β-cell pancreatic adenoma)
menyebabkan pancreatic cholera, yaitu kondisi diare dengan sindrom hypokalemia aklorhidi.
Adenoma ini mensekresi VIP dan hormone peptida seperti polipeptida pankreas, sekretin,
gastrin, gastrin-inhibitory polypeptide, neurotensin, kalsitonin, dan prostaglandin.1

Diare osmotik akibat konsumsi zat terlarut yang sulit diabsorbsi, menarik cairan ke
lumen. Contohnya laksatif seperti antasid mengandung magnesium. Malabsorbsi karbohidrat
diakibatkan kongenital maupun didapat, berupa defek disakarida dan enzim lainnya pada brush
border. Penyebab tersering malabsorbsi karbohidrat berkaitan dengan defisiensi laktase.1

Penyebab diare lainnya adalah malabsorbsi lemak, menyebabkan steatorrhea, dimana


terjadi malabsorbsi asam amino dan vitamin. Peningkatan volume feses diakibatkan oleh efek
osmotik dari asam lemak. Selain itu, penyebab lainnya adalah gangguan pencernaan
intraluminal akibat insufisiensi eksokrin pankreas, diakibatkan pankreatitis kronik, fibrosis
kistik, obstruksi duktus pankreatikus, atau secara jarang somatostatinoma. Pertumbuhan

25
bakteri yang terlalu cepat pada usus halus dapat menyebakan dekonjugasi asam lemak, dan
mengganggu pembentukan misel, mengganggu pencernaan lemak. Sirosis maupun obstruksi
bilier mungkin menyebabkan steatorrhea minimal akibat defisiensi konsentrasi asam empedu
intraluminal.1

Malabsorbsi mukosa juga dapat menyebabkan diare osmotik. Penyebab paling sering
adalah penyakit Celiac. Penyakit ini adalah enteropati yang sensitive terhadap gluten, ditandai
oleh atrofi vili dan hyperplasia kripta pada usus halus proksimal, dapat menimbulkan diare
berlemak. Selain itu, diare osmotik dapat disebabkan oleh obstruksi limfatik postmukosal,
diakibatkan oleh limfangiektasia usus halus kongenital yang jarang terjadi, atau obstruksi
limfatik sekunder (akibat trauma, tumor, penyakit jantung, atau infeksi).1

Mekanisme diare inflamatori meliputi pengeluaran, malabsorbsi lemak, gangguan


absorbs cairan atau elektrolit, dan hipersekresi atau hipermotilitas akibat pelepasan sitokin dan
mediator inflamasi lainnya. Diare inflamatori ditandai leukosit ataupun kalprotein. Dengan
inflamasi yang parah, kehilangan protein mengakibatkan edema anasarka. Inflammatory bowel
disease meliputi penyakit Crohn dan ulseratif kolitis, merupakan penyebab organik diare kronis
tersering pada pasien dewasa. Dikaitkan dengan uveitis, poliartralgia, cholestatic liver disease
(primary sclerosing cholangitis), dan lesi kulit (eritema nodosum, pyoderma gangrenosum).1

Diare akibat dismotilitas dapat diakibatkan oleh hipertiroid, sindrom karsinoid, dan
beberapa obat yang mengandung prostaglandin atau agen prokinetik. Primary visceral
neuromyopathy atau idiopathic acquired intestinal pseudoobstruction dapat menyebabkan
stasis, ditambah dengan pertumbuhan bakteri berlebih menyebabkan diare. Diare diabetik
sering kali menyertai neuropati, mungkin berkaitan dengan dismotilitas usus. Inflammatory
bowel syndrome (IBS) ditandai oleh gangguan motorik usus, terkait respon terhadap berbagai
stimulus, ditandai penurunan frekuensi BAB saat malam dan diselingi oleh konstipasi.1

3.5. Klasifikasi
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan:1
1. Lama waktu: Akut atau kronik
2. Mekanisme patofisiologi: Sekretorik, osmotic
3. Berat ringannya diare: Ringan atau berat
4. Penyebab infeksi: Infeksi atau bukan infeksi
5. Penyebab organik: Penyebab organik atau fungsional

26
3.6. Manifestasi Klinis
3.6.1. Gejala
Lebih dari 90% kasus dari diare akut disebabkan agen infesius, biasanya disertai
dengan gejala mual, muntah, demam, dan nyeri abdomen. Diare sekretorik ditandai
dengan BAB cair (watery), dengan volume feses besar, secara tipikal tidak nyeri, dan
terus menerus dialami dengan puasa.1,2
Diare osmotik biasanya ditandai dengan peningkatan volume BAB, dimana BAB
cair, membaik saat pasien puasa ataupun berhenti mengonsumsi agen penyebab seperti
obat (seperti laksatif), toksin dan zat (seperti etanol), gula (sorbitol, laktulosa, fruktosa.
Contohnya permen), riwayat pankreatitis kronik atau penyakit Celiac, serta
imunodefisensi seperti AIDS.1,2
Sedangkan penyebab dismotilitas seringkali menggambarkan diare sekretorik,
dengan steatorrhea. Hipertiroid mungkin menyebabkan hipermotilitas. Perlu dicari
mengenai gejala-gejala dehidrasi seperti rasa haus pada pasien, lidah pasien terasa kering,
dan mengantuk.1,2

3.6.2. Tanda
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk mencari tanda-tanda dehidrasi. Ditandai
suhu tubuh yang meningkat dari suhu basal, dan buang air kecil yang berkurang. Selain
itu dapat ditemukan penurunan berat badan. Hipotensi ortostatik juga dapat ditemukan.1
Selain itu, dapat ditemukan malnutrisi (Marasmus, Kwashiorkor). Tanda dehidrasi
tergantung dari jumlah cairan yang hilang. Pada awalnya, tidak terdapat gejala dan tanda
dehidrasi. Sedangkan tanda-tanda yang mulai muncul pada dehidrasi adalah haus,
gelisah, penurunan turgor kulit, dan mata yang cekung. Pada pasien dehidrasi berat,
tanda-tanda semakin jelas, dapat terjadi syok hipovolemik, dengan tanda-tanda berupa:
penurunan kesadaran, kurangnya volume buang air kecil, ekstremitas yang dingin, nadi
teraba cepat, tekanan darah yang rendah atau tidak terdeteksi, dan sianosis periferal.8

27
Temuan klinis Kemungknan patogen
Diare berdarah STEC, Shigella, Salmonella, Campylobacter, E.histolytica, non-
cholerae Vibrio, Yersinia, B.coli, Plesiomonas
Diare kronik Cryptosporidium, G.lamblia, Cyclospora cayetanensis,
Cystoisospora belli, E.histolytica
Nyeri perut STEC, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia
enterolitica, Non-cholerae Vibrio, Clostridiodes difficile
Nyeri perut parah, diare STEC, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia
berdarah, dengan atau enterolitica
tanpa demam
Nyeri perut, demam Yersinia enterocolitica, Yersinia pseudotuberculosis
Muntah, diare tidak Norovirus
berdarah 2-3 hari
Temuan klinis yang berhungan dengan patogen diare3

Penilaian Skor 1 Skor 2 Skor 3


Keadaan Umum Baik Lesu atau haus Gelisah, mengantuk, syok
Mata Biasa Cekung Cekung
Mulut Biasa Kering Sangat kering
Pernafasan 30x/menit >40x/menit
Turgor Baik (<1 detik) Kurang (<2 detik) Jelek (>2 detik)
Nadi radialis Nadi teraba Nadi teraba Lemah/tidak teraba
Derajat: Skor ≤6 (tanpa dehidrasi), 7-12 (dehidrasi ringan-sedang), ≥13 (dehidrasi berat)2,8

Penilaian Defisit cairan (%BB) Defisit cairan (mL/kgBB)


Tanpa dehidrasi/dehidrasi <5% <50 mL/kgBB
ringan
Dehidrasi sedang 5-10% 50 – 100 ml/kg
Dehidrasi berat >10% >100 ml/kg
Penilaian dehidrasi berdasarkan defisit cairan2

28
3.7. Diagnosis
3.7.1. Anamnesis
Perlu ditanyakan mengenai awitan diare, yaitu kapan pasien pertama kali
mengalami diare. Juga ditanyakan mengenai frekuensi, dikatakan diare jika BAB cair lebih
dari 2 kali sehari. Perlu ditanyakan mengenai volume diare, untuk memperkirakan
kebutuhan cairan. 1,2,9
Warna feses mengarahkan pada etiologi diare. Feses berwarna putih seperti air
cucian beras, dengan volume banyak menandakan kolera. Feses berwarna coklat seperti
sup kacang (pea soup stool) biasa disebabkan salmonellosis. Feses merah akibat bercampur
dengan darah, disebabkan oleh hematoskezia sebagai komplikasi dari Demam Tifoid, atau
bisa merupakan darah yang terpisah dari feses dan disertai lendir akibat disentri (basiler
atau amuba), atau akibat infeksi cacing cambuk (Trichuris trichuria) atau Schistosoma.
Feses berwarna hitam seperti aspal atau selai, lengket bila disiram, biasanya akibat melena
yang disebabkan perdarahan saluran cerna bagian atas.9
Terkadang pasien mengetahui bau fesesnya yang khas. Contohnya feses berbau
amis menandakan diare akibat kolera. Bila diare akut disertai demam, biasanya ada infeksi
sistemik oleh virus (influenza, campak, varisela) atau bakteri (shigella). Demam juga
merupakan reaksi keadaan dehidrasi. Demam disertai nyeri otot dan sendi yang menyertai
diare dengan lendir dan darah menandakan gejala toksik disentri basiler. Tenesmus (nyeri
pada anus saat BAB) adalah penanda khas diare akut inflamasi, disebabkan oleh disentri
basiler ataupun amuba, apalagi jika diare beserta lendir dan darah. Muntah sering menyertai
diare akut. Nyeri perut berhubungan dengan diare inflamatori.9
Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat diet, serta riwayat makanan atau
minuman yang dikonsumsi selama 6-24 jam terakhir, serta apakah terdapat keluarga ataupu
orang-orang di lingkungan sekitar yang memiliki gejala serupa. Selain itu, perlu ditanyakan
mengenai riwayat alergi berbagai makanan dan minuman.1,2,9
Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat seksual, riwayat penyakit dahulu,
dan riwayat penyakit penyerta (komorbid). Perlu ditanyakan mengenai riwayat pengobatan
pasien, terutama antibiotik, laksatif, dan imunosupresan.Perlu ditanyakan mengenai
kebersihan dan kondisi lingkungan tempat tinggal. Perlu ditanyakan mengenai riwayat
berpergian, apakah pasien merupakan wisatawan atau pendatang baru.1,2

29
3.7.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan keadaan umum, tanda-tanda vital,
status gizi, tanda dehidrasi, tanda anemia, kualitas dan lokasi nyeri perut, serta identifikasi
penyakit komorbid. Juga dilakukan pemeriksaan colok dubur, yang terutama dianjurkan
pada pasien dengan usia di atas 50 tahun, dan buang air besar berdarah.1,2
Indikasi evaluasi berupa diare berlebih dengan dehidrasi, BAB berdarah (gross),
demam ≥38.5°C (≥101°F), durasi >48 jam tanpa perbaikan, sudah menggunakan
antibiotik, wabah, nyeri perut parah pada pasien >50 tahun atau pasien imunokompromi.1,2

3.7.3. Pemeriksaan Penunjang


Dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan elektrolit, dan serum
kreatinin. Juga dapat dilakukan pemeriksaan analisis gas darah (AGD) jika terdapat
kecurigaan terdapat kelainan asam basa. Selain itu, dilakukan analisa tinja, serta kultur
feses yang disertai pemeriksaan resistensi. Pemeriksaan lainnya melalui detektesi patogen,
seperti immunoassay toksin bakteri, antigen virus, maupun antigen protozoa.1
Pemeriksaan anatomi usus dapat dilakukan pemeriksaan barium enema (BNO),
kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, USG abdomen, maupun CT-scan abdomen. Selain itu,
dapat dilakukan pemeriksaan CEA, CA 19-9, dan tes fungsi pankreas (amilase, dan lipase).
Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang ini terutama dilakukan pada diare persisten atau
kondisi-kondisi seperti IBD, kolitis iskemik, divertikulitis, dan obstruksi usus parsial.1,2
Pemeriksaan penunjang utama pada diare akut yang parah adalah analisis feses.
Termasuk kultur feses untuk melihat patogen, inspeksi langsung mencari ova dan parasite,
dan immunoassay untuk toksin bakteri (seperti C.difficile), antigen virus (rotavirus), dan
antigen protozoa (Giardia, E. histolytica). Pemeriksaan molekular patogen dapat dilakukan
melalui identifikasi sekuens DNA.1

30
Alur diagnostik diare akut1

Alur diagnostik diare kronis berdasarkan manifestasi klinis2

31
Alur diagnostik diare kronis berdasarkan pemeriksaan penunjang2

3.8. Diagnosis Banding


Jika berat feses harian <200 gram/hari, dapat dipikirkan diagnosis lain selain diare.
Pseudodiare adalah pengeluaran feses dengan frekuensi sering, tetapi sedikit, dan sering kali
berhubungan dengan urgensi, tenesmus, dan perasaan tidak puas paska BAB. Sedangkan
inkonsistensi feses adalah pengeluaran feses secara tidak sadar, dan sering kali disebabkan oleh
kelainan neuromuskular atau masalah struktural anorektal. Pseudodiare ataupun inkontinensia
feses dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengeluhkan mengalami diare.1
Penyebab tersering diare kronik di Indonesia adalah infeksi, malabsorbsi lemak,
malabsorbsi karbohidrat, sindroma usus iritabel (IBS), akibat pengobatan, keganasan, dan
kelainan endokrin. Berikut adalah gambaran dari berbagai penyebab diare kronik:2

32
Etiologi Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang
tersering
Infeksi Disertai demam, mual, Sesuai etiologi Pemeriksaan tinja: Leukosit
muntah (+).
Pemeriksaan Darah:
Leukositosis
Malabsorbsi Riwayat reseksi usus. Berat: Malnutrisi Pemeriksaan tinja: Berwarna
lemak Diare membaik setelah muda, bau busuk, pH >6.8, tes
puasa. Tinja mengambang Sudan (+), jumlah lemak >14
pada air toilet. gram/24 jam.
Malabsorbsi Riwayat makanan laktosa Berat: Malnutrisi Pemeriksaan tinja: Amilum
karbohidrat (susu), sorbitol. Disertai (+), pH <5.5, tes reduksi (+).
kembung, kram abdomen,
flatus fruktosa (sirup
jagung). Tinja
mengambang pada air
toilet, berbau asam
Sindroma usus Diare pada pagi hari Keadaan umum Pemeriksaan tinja: Darah
iritabel berhubungan dengan baik, dehidrasi (-) samar (+), tes phenolphthalein
stress, berselang dengan (+).
konstipasi. Disetai perut
begah, mual, nyeri daerah
anus setelag defekasi,
sendawa
Obat Diare berhenti dengan Bisacodyl, anthraquinone,
dihentikannya obat phenolphthalein, pemeriksaan
kromatografi lapis tipis
Keganasan Demam, darah menyertai Tinja: Eritrosit (+).
tinja normal, disetai nyeri Darah: Eosinofilia, Petanda
abdomen terus menerus tumor
Kelainan Tirotoksikosis: Berdebar- Tirotoksikosis: Tirotoksikosis
endokrin debar, tremor penurunan berat Darah: TSH, T3 uptake, fT4
badan, suhu naik,
pembesaran tiroid,
tremor
Diagnosis Banding Diare Kronik2

33
3.9. Tata Laksana
3.9.1. Terapi Diare Akut
Terapi cairan dan elektrolit sangat penting dalam tata laksana semua diare akut. Pada
kasus ringan, terapi cairan saja mungkin cukup sebagai tata laksana. Larutan gula dengan
elektrolit per oral (minuman olahraga iso-osmolar, atau formula) digunakan pada diare parah
untuk membatasi dehidrasi. Pada pasien dengan dehidrasi yang jelas, parah, terutama pada
pasien bayi dan orang tua, membutuhkan rehidrasi via IV. Rehidrasi cairan dan elektrolit
dilakukan per oral dengan larutan garam, gula, atau oralit, serta larutan rehidrasi oral.
Pemberian intravena dengan larutan ringer laktat, ringer asetat, normal salin, ringer dekstrosa,
dengan memperharikan status hidrasi.1,2
Kebutuhan cairan setiap harinya adalah:2
• Dehidrasi minimal: 103/100 x 30-40 ml/kgBB/hari, atau pengeluaran (feses+IWL
(10%kgBB)) + 30-40 ml/kgBB/hari
• Dehidrasi ringan sedang: 109/100 x 30-40 ml/kgBB/hari atau pengeluaran
(feses+IWL (10%kgBB)) + 30-40 ml/kgBB/hari
• Dehidrasi berat: 112/100 x 30-40 ml/kgBB/hari atau pengeluaran (feses+IWL
(10%kgBB)) + 30-40 ml/kgBB/hari
Pemilihan antibiotik sejatinya didasarkan pada patogen spesifik, pola resistensi, dan
kondisi pasien. Terapi etiologis infeksi juga dapat diberikan. Pada infeksi bakteri E.coli
patogen (EPEC), toksigenik (ETEC), hemoragik (EHEC), Enterobacter aerogenes, dan
Shigella diberikan golongan Kuinolon (Ciprofloxacin PO 500 mg BD, Norfloxacin PO 400 mg
BD, Levofloxacin PO 500 mg OD selama 3 hari), atau Kotrimoksazol forte PO 160+800 mg
BD selama 5 hari. Jika infeksi Salmonella sp, diberikan Kloramfenikol PO 500 mg QD,
Tiamfenikol PO 50 mg/kgBB QID selama 10-14 hari, atau Kuinolon (Ciprofloxacin PO 500
BD
mg BD, Norfloxacin PO 400 mg , Levofloxavin PO 500 mg OD selama 3-5 hari), atau
Kotrimoksazol forte PO 160 mg+800 mg BD selama 10-14 hari.1,2
Pasien dengan infeksi V.cholerae diberikan Tetrasiklin PO 500 mg QD selama 3 hari,
Doksisiklin PO 300 mg QD, atau Fluorokuinolon (Ciprofloxacin PO 500 mg BD,
Norfloxacin/Levofloxacin PO 500 mg OD). Sedangkan infeksi C. difficile diberikan
Metronidazol PO 250-500 mg QD selama 7-14 hari, Vankomisin PO 125 mg QD selama 7-14
hari bila resistensi Metronidazol, dan probiotik. Pada infeksi Yersinia enterocolytica diberikan
golongan Aminoglikosida seperti Streptomisin PO 30 mg/kgBB/hari BID selama 10 hari,
Kotrimoksazol forte PO 160 mg + 800 mg BD, Fluorokuinolon (Ciprofloxacin PO 500 mg BD,

34
Norfloxacin PO 400 mg BD, Levofloxacin PO 500 mg OD).2
Untuk diare akibat disentri Shigella, diberikan golongan Kuinolon, Sefalosporin generasi
III, dan Aminoglikosida. Untuk Campylobacter jejunii diberikan Kuinolon (Ciprofloxacin PO
500 mg BD, Norfloxacin/Levofloxacin PO 500 mg OD), Makrolid (Eritromisin PO 500 mg
BD selama 5 hari).2
Infeksi parasit seperti G.lamblia diberikan Metronidazol PO 250-500 mg QD selama 7-
14 hari. Pada infeksi Cryptosporidium diberikan Paromomisin PO 4 gram/hari dosis terbagi +
Azitromisin PO (500 mg dosis tunggal, dilanjutkan PO 250 mg OD selama 4 hari). Infeksi E.
histolytica diberikan Metronidazol PO 250-500 mg QD selama 7-14 hari, atau Tinidazol PO 2
gram/hari selama 3 hari, atau Paramomisin PO 4 gram/hari selana 3 hari.2
Infeksi jamur seperti Candida sp., Cryptococcus sp., dan Coccidiomycosis sp. dialami
pasien dengan HIV/AIDS, biasanya diberik intravena, dilanjutkan per oral. Pada pasien infeksi
jamur diberikan Flukonazol PO 50 mg BD, Itrakonazol PO 200 mg BD, Amfoterisin B 1
mg/kgBB/hari, atau Nistatin PO 1 ml atau 1 tab QD. Sedangkan pada infeksi virus biasanya
tidak diberikan antivirus. Biasanya untuk infeksi virus hanya diberikan terapi suportif dan
terapi simptomatik.2
Pada terapi simptomatik diberikan bahan-bahan adsorbent (kaolin, attapulgite, karbon
aktif, kolestiramin) yang bekerja dengan cara mengikat dan menginaktivasi toksin bakteri atau
zat penyebab diare. Probiotik dapat diberikan, terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, karena memiliki efek positif melalui kompetisi dengan bakteri
patogen untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna.2
Pada pasien dengan diare tidak berdarah, tanpa demam, dapat diberikan antimotilitas dan
antisekretori seperti loperamid. Akan tetapi, sebaiknya penggunaan antimotilitas dan
antisekretori dihindari pada disentri dengan demam, karena dapat mengeksaserbasi atau
memperpanjang durasi.1
Antimotilitas seperti loperamide hidroklorida, difenoksilat dengan atropin, tinktur
opium, atau kodein mengurangi frekuensi buang air besar pada pasien dewasa, tetapi tidak
mengurangi volume tinja. Penggunaannya dihindari pada bayi dan anak-anak karena resiko
ileus paralitik berat serta memperpanjang durasi infeksi dengan menghambat eliminasi
organisme penyebab. Pada dosis tinggi, menyebabkan toksik megakolon. Selain itu, pada
antimotilitas yang menyebabkan spasme, tidak boleh diberikan pada perempuan hamil karena
resiko abortus.1,2
Bismut subsalisilat mungkin menurunkan gejala muntah dan diare, tetapi dihindari
penggunaannya pada pasien dengan imunokompromi atau mengalami gangguan ginjal, karena

35
beresiko mengakibatkan ensefalopati. Bismut subsalisilat mengurangi volume tinja dan
keluhan subyektif, diberikan setiap 4 jam, dapat mengurangi volume tinja pada diare akut
hingga 30%.1,2

Algoritma tata laksana diare akut pada pasien dewasa10

36
Antibiotik Dosis Durasi

Ciprofloxacin 500 mg PO BD atau 500 mg PO OD 3 hari

750 mg PO Dosis tunggal

Levofloxacin 500 mg PO 3 hari

Azithromycin 500 mg PO 3 hari

1000 mg PO Dosis tunggal

Rifaximin 200 mg PO TDS 3 hari

Terapi antibiotik empiris3

Patogen Lini pertama Lini kedua

Campylobacter Azithromycin Ciprofloxacin

Non thyphoidal Biasanya tidak terindikasi -


Salmonella

S. enterica Thyphi atau Ceftriaxone atau Ampicilin, TMP/SMX, atau


Parathyphi Ciprofloxacin Azithromycin

V. cholerae Doxycycline Ciprofloxacin. Azithromycin,


atau Ceftriaxone

Non-choleraic Vibrio Non invasif: Tidak terindikasi Non invasif: Tidak terindikasi

Invasif: Ceftriaxone + Invasif: TMP/SMX +


Doxycycline Aminoglikosid

Rekomendasi antibiotik berdasarkan patogen3

3.9.2. Terapi Diare Kronik

Tata laksana diare kronik bergantung pada etiologi, mungkin bersifat kuratif, supresif,
atau empiris. Jika penyebabnya dapat diatasi, tatalaksana kuratif dilakukan, seperti reseksi
kanker kolorektal, terapi antibiotik untuk penyakit Whipple, atau memberhentikan obat
penyebab diare.1

37
Akan tetapi, untuk kebanyakan kondisi diare kronis, dapat dikontrol dengan supresi,
contohnya eliminasi diet laktosa untuk pasien defisiensi laktosa, atau eliminasi gluten untuk
penyakit Celiac, atau memberhentikan glukokortikoid atau agen anti inflamatori lainnya untuk
IBD idiopatik, penggunaan bile acid sequestrant untuk malabsorbsi asam empedu, obat
golongan PPI untuk gastrinoma dengan hipersekresi gaster, somatostatin analog (seperti
octreotide) untuk malignant carcinoid syndrome, inhibitor prostaglandin (indomethacin) untuk
karsinoma medullari tiroid, dan pancreatic enzyme replacement untuk insufisiensi pankreas.1,2

Kolestiramin mengikat garam empedu, dan mencegah reabsorbsi, berguna untuk kasus
diare sekunder akibat garam empedu. Dimana diare diakibatkan dari reseksi intestinal atau
penyakit pada ileum. Dosis yang diberikan sebanyak 4 gram, 1-3 x/hari.1,2

Terapi empiris berguna ketika diare kronik tidak diketahui penyebabnya. Contohnya
opiate seperti Difenoksilat atau Loperamid membantu mengatasi diare ringan hingga berat.
Sedangkan untuk diare yang lebih parah, pemberian kodein mungkin berguna. Akan tetapi,
agen antimotilitas ini sebaiknya dihindari pada IBD parah, karena resiko terjadinya toksik
megakolon. Klonidin, sebuah agonis adrenergik α2, mungkin membantu mengontrol diabetic
diarrhea, walaupun menyebabkan hipotensi postural. Antagonis reseptor 5-HT3 seperti
Alosetron atau Ondansentron, membantu mengatasi diare dan urgensi pada diare akibat IBS.
Pengobatan lainnya untuk diare terkait IBS adalah pemberian Rifaximin, dan μ-opoid receptor
(OR) seperti eluxadoline. Pemberian vitamin yang terlarut dalam lemak mungkin dibutuhkan
pada pasien dengan steatorrhea kronik.1

Loperamid diberikan sebanyak 4 mg untuk dosis awal, kemudain 2 mg untuk seriap diare,
dengan dosis maksimum 16 mg/hari. Klonidin bekerja menghambat sekresi elektrolit usus,
diberikan 0.1-0.2 mg/hari selama 7 hari, bermanfaat pada pasien dengan diare sekretorik,
kriptosporodiosis dan diabetes. Kodein memiliki potensi adiktif, sehingga dihindari kecuali
pada diare menetap, diberikan dengan dosis 15-60 mg/4 jam. Octreotide adalah analog
somatostatin, menstimulasi cairan usus dan absorbsi elektrolit, serta menghambat sekresi
melalui pelepasan peptida, digunakan pada diare sekretori akibat Vipoma dan tumor carcinoid,
dosis 50 – 250 mg subkutan 3x/hari. Atapulgit diberikan 3x2 tablet selama diare.2

38
3.10. Komplikasi dan Prognosis

Prognosis dari diare kronik sangat bergantung pada penyebabnya. Prognosis yang baik
didapatkan pada diare aktibat penyakit endokrin. Sedangkan pada diare akibat obat-obatan,
sangat tergantung pada kemampuan pasien untuk menghindari pengobatan tersebut.2

Komplikasi sistemik berupa hypovolemia, hypovolemia, hipoglikemia, sepsis, kejang


dan ensefalopati, sindroma uremik hemolitik (HUS), pneumonia, dan kurang energi protein
(KEP). Sedangkan komplikasi pada saluran pencernaan berupa perforasi, dan toksik
megakolon.2

Diare akut secara tipikal berlangsung selama 5-7 hari, kebanyakan kasus membaik dalam
waktu 2 minggu. Bila ada komplikasi yang bersifat serius, seperti dehirasi maupun syok
hipovolemik, prognosis umumnya baik bila rehidrasi berhasil dilakukan.2

Faktor-faktor yang memiliki prognosis lebih buruk adalah:2

• Diare disertai darah, dehidrasi, dan hypovolemia


• Syok hipovolemik, dan gejala diare berulang
• Malnutrisi, dan imunodefisiensi
• Usia >65 tahun, diare karena antibiotic
• Infeksi nosokomial atau wabah diare
• Tanda-tanda peritonitis.

Pada survei tahun 2021 terhadap 4 fasilitas kesehatan untuk veteran (di Atlanta, Georgia;
Bronx, New York; Houston, Texas; dan Los Angeles, California) pada Juli 2016 hingga Juni
2018, ditemukan sebanyak 12% pasien rawat inap dengan gastroenteritis akut harus mengalami
perawatan intensif (intensive care unit stays), dan 2% meninggal. Sebanyak 3 kematian
berhubungan dengan C.difficile, dan 1 kematian berhubungan dengan Norovirus.4

Komplikasi utama diare adalah kehilangan cairan dan kelainan elektrolit, terutama pada
pasien usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera, terjadi kehilangan cairan
secara mendadak sehingga terjadi syok hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui feses
berupa hipokalemia, dengan adanya asidosis metabolik. Bila syok hipoviolemik terlambat
ditangani, dapat timbul Tubular Nekrosis Akut, dan kegagalan multi organ. Haemolityc uremic
Syndrome (HUS) adalah terbanyak disebabkan oleh EHEC. Pasien dengan HUS mengalami
gagal ginjal, anemia hemolitik, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Resiko HUS
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare.9

39
Sindrom Guillain–Barre merupakan komplikasi dari infeksi enterik, khususnya infeksi
C. jejuni. Sebanyak 20 – 40 % pasien GBS mengalami infeksi C. jejuni beberapa minggu
sebelumnya. Biasanya pasien mengalami kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi
mekanis. Artritis paska infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena
Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.9

Prognosis diare akut pasien dewasa sangat ditentukan oleh tata laksana dehidrasi. Tujuan
tata laksana adalah jangan sampai pasien mengalami dehidrasi lebih berat. Dengan penggantian
cairan yang tepat, perawatan yang sesuai, dan terapi antimicrobial sesuai indikasi, prognosis
diare akut infeksius hasilnya sangat baik, dengan morbiditas dan mortalitas minimal.9

3.11. Analisa Kasus

Pada anamnesis, pasien perempuan berusia 58 tahun mengalami BAB cair sejak 2 hari
SMRS, 7 kali BAB di IGD. BAB berwarna coklat, cair, sedikit ampas, ½ - 1 gelas aqua setiap
kali BAB. Pasien lemas sejak 3 hari SMRS, mual dan muntah sejak 7 hari SMRS yang
memberat 1 hari SMRS, muntah 2-3 kali sehari. Pasien tidak nafsu makan, dipasang NGT.
Pasien masih mau minum, dan merasa haus. Berdasarkan anamnesis, pasien mengalami
keluhan gastroenteritis akut dengan dehidrasi ringan sedang.

Pasien riwayat kejang berulang, terakhir kejang 4 hari SMRS. Riwayat darah tinggi, rutin
mengonsumsi Amlodipin PO 5 mg 1x1. Riwayat CVDNH lama, dengan kelemahan pada
anggota gerak sebelah kiri, dialami oleh pasien pada Mei 2019. Riwayat penyakit jantung,
riwayat PCI pada Maret 2018, dipasang VP shunt regio servikal.

Pemeriksaan fisik, didapati pasien sadar tetapi gelisah, dengan tanda-tanda vital normal.
Mukosa mulut pasien kering, turgor abdomen 1 detik. Dipikirkan pasien mengalami dehidrasi
ringan sedang, karena pasien masih mau minum, dengan tanda-tanda vital normal, tetapi
mukosa mulut kering dan turgor abdomen 1 detik.
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan pasien mengalami leukositosis, hiponatremia
ringan, hipokalemia ringan, dan hipoalbuminemia. Hiponatremia pasien adalah hiponatremia
ringan, didapatkan osmolalitas 272.7, sehingga pasien mengalami hiponatremia hipotonik.
Dengan gejala dehidrasi pasien, pasien mengalami hiponatremia hipotonik hipovolemik. Perlu
dilakukan pemeriksaan sodium pada urin pasien, untuk mengetahui apakah pasien kehilangan
natrium melalui renal atau ekstrarenal. Tetapi, mengingat ada keluhan BAK menjadi jarang,
maka kemungkinan pasien mengalami kehilangan natrium melalui ekstrarenal, yaitu melalui

40
feses dan muntah pasien. Hal ini dikarenakan gastroenteritis akut yang dialami oleh pasien.
Hipokalemia yang dialami oleh pasien adalah hipokalemia ringan. Perlu diperhatikan
warning signs pada hipokalemia. Pemeriksaan fisik jantung pasien normal, demikian juga
dengan pemeriksaan EKG, tanpa gejala palpitasi. Pasien juga tidak mengalami kejang. Tetapi
pasien mengalami keluhan pencernaan. Perlu dilakukan pemeriksaan potassium urin, dengan
mengukur rasio potassium disbanding kreatinin. Jika rasio tersebut ≤ 1.5 mEq per mmol (13
mEq per g), dipikirkan pasien mengalami kehilangan kalium melalui ekstrarenal. Salah
satunya melalui feses pasien, ditambah lagi pasien juga mengalami sulit makan karena mual
yang dialami oleh pasien, sehingga harus dipasang NGT.
Edema pada kedua ekstremitas bawah pasien bersifat minimal, mungkin diakibatkan oleh
hipoalbuminemia yang dialami oleh pasien. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan
albumin pasien sebesar 2.35 g/dL. Analisa feses pasien didapatkan warna feses coklat,
lembek, serat (+), dengan stool occult blood (+).
Tata laksana yang perlu diperhatikan adalah tata laksana rehidrasi pasien. Tata laksana
yang diberikan pada pasien ini adalah yang pertama terapi cairan dan nutrisi. Nutrisi diberikan
via NGT. Cairan diberikan via intravena, dengan cairan isotonik. Dapat diberikan Ringer
Laktat, Ringer Asetat, Normal Salin, atau Ringer Dekstrosa. Pada pasien dengan dehidrasi
ringan sedang, diberikan cairan 109/100 x 30-40 ml/kgBB/hari atau pengeluaran (feses+IWL
(10%kgBB)) + 30-40 ml/kgBB/hari.

Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada patogen spesifik, pola resistensi, dan kondisi
pasien. Tetapi sementara waktu, dapat diberikan terapi antibiotik empiris. Pada pasien ini,
diberikan Ceftriaxone IV 2 mg 2x1, dan Levofloxacin IV 500 mg 1x1.
Terapi simptomatik juga dapat diberikan pada pasien. Terapi simptomatik yang diberikan
menggunakan bahan adsorbent, seperti attapulgite yang bekerja dengan cara mengikat dan
menginaktivasi toksin bakteri atau zat penyebab diare. Pada pasien ini, diberikan New Diatabs
PO 3x1, berisi Attapulgite 600 mg.
Karena pasien juga mengalami mual dan muntah, diberikan PPI berupa Omeprazole IV
40 mg 1x1, serta diberikan antiemetik berupa Ondansentron IV 4 mg 3x1. Pasien makan via
NGT.

41
BAB IV

KESIMPULAN

Diare adalah peningkatan frekuensi buang air besar menjadi lebih sering dari normal (>3
kali/hari), disertai perubahan konsistensi feses menjadi lebih encer (berair). Gastroenteritis
merujuk pada infeksi sistem pencernaan, dan kebanyakan kasus gastroenteritis muncul sebagai
kasus diare akut. Berdasarkan etiologinya, diare dibagi menjadi penyebab infektif dan non
infektif, organik maupun fungsional. Berdasarkan durasinya, diare dibagi menjadi akut,
persisten, dan kronik. Berdasarkan mekanisme patofisiologi dibagi menjadi sekretorik,
osmotik, dan dismotilitas. Berdasarkan berat ringannya diare, dibagi menjadi diare ringan atau
berat. Berdasarkan penyebab infeksi, diare dapat dibagi menjadi infeksi atau bukan infeksi.
Berdasarkan penyebab organik, dibagi menjadi organik atau fungsional.
Lebih dari 90% kasus dari diare akut disebabkan agen infeksius disertai mual, muntah,
demam, dan nyeri abdomen. Diare sekretorik ditandai dengan BAB cair (watery), volume feses
besar, tidak nyeri, terus menerus dialami dengan puasa. Diare osmotik ditandai dengan
peningkatan volume BAB, BAB cair, membaik saat puasa ataupun berhenti mengonsumsi agen
penyebab. Sedangkan penyebab dismotilitas menggambarkan diare sekretorik, dengan
steatorrhea.
Pada anamnesis, ditanyakan awitan, frekuensi, progresivitas, kualitas diare, dan gejala
penyerta. Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan keadaan umum, tanda-tanda vital,
status gizi, tanda dehidrasi, tanda anemia, kualitas dan lokasi nyeri perut, serta identifikasi
penyakit komorbid. Dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, elektrolit, dan serum
kreatinin, analisa tinja, serta kultur feses. Pemeriksaan anatomi usus dapat dilakukan
pemeriksaan barium enema (BNO), kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, USG abdomen,
maupun CT-scan abdomen, terutama pada diare persisten.
Tata laksana diare akut meliputi terapi cairan dan elektrolit. Pemilihan antibiotik
didasarkan pada patogen spesifik, pola resistensi, dan kondisi pasien. Pada terapi simptomatik
diberikan bahan-bahan adsorbent, dan probiotik. Pada pasien dengan diare tidak berdarah,
tanpa demam, dapat diberikan antimotilitas dan antisekretori seperti loperamid.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Camilleri M, Murray J. Diarrhea and Constipation. In: Jameson et al. “Harrison’s


Principle of Internal Medicine.” McGraw-Hill;2019:p259-67
2. Alwi I, et al. “Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam: Panduan Praktis
Klinis.” Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2019:p894-900.
3. Kim YJ, et al. Guideline for the Antibiotic Use in Acute Gastroenteritis. Infect
Chemother. 2019;51(2):217-243. doi: 10.3947/ic.2019.51.2.217
4. Cardemil CV, et al. Incidence, Etiology, and Severity of Acute Gastroenteritis Among
Prospectively Enrolled Patients in 4 Veterans Affairs Hospitals and Outpatient Centers,
2016-2018. Clinical Infectious Diseases. 2021;e2729-e2738. doi: 10.1093/cid/ciaa806.
5. Pietroni MAC. Case management of cholera. Vaccine. 2020;A105-A109.
https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2019.09.098
6. Kemenkes R.I. "Situasi DIARE di Indonesia: Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan triwulan II." Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Republik
Indonesia. 2011: 1-37.
7. Drancourt M. "Acute diarrhea." Infectious Diseases. 2010;335-340. doi:
10.1016/B978-0-323-04579-7.00035-6
8. The Treatment of Diarrhea: A manual for physicians and other senior health workers.
Department of Child and Adolescent Health and Development WHO. 2005. Available
from: http://whqlibdoc.who.int/publications/2005/9241593180.pdf
9. Zein U. “Diare Akut Dewasa.” Medan: USU Press. 2011:p8-17,p81-7.
10. Riddle MS, et al. “ACG Clinical Guideline: Diagnosis, Treatment, and Prevention of
Acute Diarrheal Infections in Adults.” Am J Gastroenterol. 2016;111(5): 602-622. doi:
10.1038/ajg.2016.126.

43

Anda mungkin juga menyukai