Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

PERITONITIS

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 2

1. NIVITA NANDA GABRELA TOSUBU


2. SISILIA MEGATI
3. SUSANTI
4. SAIFUL

PROGRAM STUDI S1 NERS


STIKES WIDYA NUSANTARA PALU
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami nikmat
kesehatan dan kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas laporan ini dengan
mata kuliah KMB dengan mudah dan lancar.
Kami berharap laporan ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan. Kami
menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna masih terdapat kekurangan. Oleh
karna itu, kami siap untuk menerima segala masukan dan kritik agar kami bisa
melakukan perbaikan yang baik dan benar.
Demikian, laporan dari kami.Jika banyak kesalahan, kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat.

Palu, 12 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................
Kata Pengantar..................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................
BABI PENDAHULUAN..................................................................................
1. Latar Belakang......................................................................................
2. Rumusan Masalah.................................................................................
3. Tujuan...................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
A. Konsep Medis.......................................................................................
1. Definisi.............................................................................................
2. Klasifikasi
3. Etiologi.............................................................................................
4. Patofisiologi.....................................................................................
5. Manifestasi klinis
6. Pemeriksaan diagnostik....................................................................
7. Penatalaksanaan Medis....................................................................
8. Komplikasi.......................................................................................
B. Proses Asuhan Keperawatan.................................................................
1. Pengkajian........................................................................................
2. Diagnosa Keperawatan.....................................................................
3. Intervensi dan Rasional....................................................................
4. Evaluasi ...........................................................................................
BAB III Penutup...............................................................................................
1. Kesimpulan......................................................................................
2. Saran.................................................................................................
Daftar Pustaka...................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peritonitis adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang sering bersamaan
dengan kondisi bakteremia dan sindroma sepsis. (Harrison Textbook 18th Edition,
2011). peritonitis didefenisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis
dapat bersifat lokal maupun generalisata, bakterial ataupun kimiawi. Peradangan
peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan
benda asing. Kemudian disebutkan juga bahwa peritonitis merupakan salah satu
penyebab kematian tersering pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-
40%. Peritonitis difus sekunder yang merupakan 90% penderita peritonitis dalam
praktek bedah dan biasanya disebabkan oleh suatu perforasi gastrointestinal atau
pun kebocoran. (Tarigan, M.H, 2012) Suatu perforasi dapat terjadi akibat trauma
dan non trauma. Non trauma misalnya akibat volvulus, spontan pada bayi baru lahir,
ingesti obat-obatan, tukak, malignansi, dan benda asing. Sedangkan trauma dapat
berupa trauma tajam maupun trauma tumpul, misalnya iatrogenik akibat
pemasangan pipa nasogastrik. Sementara itu beberapa contoh lokasi kebocoran atau
perforasi gastrointestinal yang menyebabkan peritonitis sekunder adalah kebocoran
pada lambung maupun kebocoran pada usus (duodenum, jejenum, ileum, colon,
maupun appendik). Kebocoran lambung dapat disebabkan oleh ulkus gaster atau
yang biasanya disebut tukak lambung. Tukak lambung umumnya terjadi pada pria,
orang tua, dan kelompok dengan tingkat sosioekonomi rendah.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Definisi Peritonitis ?
2. Bagaimana klasifikasi/stadium ?
3. Bagaimana etiologi ?
4. Bagaimana patofisiologi Peritonitis ?
5. Bagaimana Manifestasi klinis peritonitis ?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik ?
7. Bagaimana penatalaksanaan peritonitis ?
8. Apa saja komplikasi peritonitis ?
9. Bagaimana Terapi komplementer peritonitis ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari Peritonitis
2. Mengetahui klasifikasi/stadium
3. Mengetahui etiologi
4. Mengetahui patofisiologi Peritonitis
5. Mengetahui Manifestasi klinis peritonitis
6. Mengetahui pemeriksaan diagnostik
7. Mengetahui penatalaksanaan dari peritonitis
8. Mengetahui apa saja komplikasi peritonitis
9. Mengetahui terapi komplementer peritonitis

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI PERITONITIS
Peritonitisum adalah selaput tipis dan jernih yang kaya akan vaskularisasi dan
aliran limpa berfungsi untuk membungkus organ perut dan dinding perut sebelah
dalam (Price & Wilson, 2006). Peritonitis adalah inflamasi peritonium yang bisa
terjadi akibat infeksi bakterial atau reaksi kimiawi (Brooker, 2001).
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau
sekunder, akut atau kronis dan diakibatkan oleh kontaminasi kapasitas peritoneal
oleh bakteri atau kimia. Primer tidak berhubungan dengan gangguan usus dasar (cth :
sirosis dengan asites, sistem urinarius) ; sekunder inflamasi dari saluran GI,
ovarium/uterus, cedera traumatik atau kontaminasi bedah (Doenges, 2000).
Peritonitis  adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi  bakteri: Organisme
berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduktif
internal. (Brunner & suddarth, 2002).
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada
selaput rongga perut (peritoneum)—lapisan membran serosa rongga abdomen dan
dinding perut sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya,
apendisitis, salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen. Dalam
istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di antaranya nyeri tekan dan
nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien
dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau
penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Peritoneum bereaksi terhadap
stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi, tergantung penyakit yang
mendasarinya.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri
tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum
inflamasi.
B. KLASIFIKASI
a. Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Spesifik : misalnya Tuberculosis
2) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam
dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius
tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih
banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian
atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula
terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat
melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung
polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi
organisme gram negatif. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan
spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap,
penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan
untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini.
c. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan
berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul
abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih
sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang
imunokompromais. Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya
tidak diduga akan mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier,
peritonitis TB juga merupakan bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu
komplikasi penyakit TB. Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk
peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi
karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan
substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam
(mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda
dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien peritonitis
steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.

C. ETIOLOGI
a. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2) Appendisitis yang meradang dan perforasi
3) Tukak peptik (lambung / dudenum)
4) Tukak thypoid
5) Tukan disentri amuba / colitis
6) Tukak pada tumor
7) Salpingitis
8) Divertikulitis
b. Secara langsung dari luar
1) Operasi yang tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon
terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan
peritonitis lokal.
3) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
4) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah:
a. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering
menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu
atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika
pemaparan tidak berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan
peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.
b. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan
seksual
c. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa
jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
d. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut
(asites) dan mengalami infeksi
e. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung
empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat
memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama
pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.
f. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di
dalam perut.
g. Iritasi tanpa infeksi; Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau
bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan
peritonitis tanpa infeksi.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya
malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal
kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
D. PATOFISIOLOGI

Sumbatan pada Makanan mengandung Penyumbatan lumen Luka /Trauma


Usus/obstruksi kuman Apendiks penetrasi

Neus Masuk lambung Bendungan mukus Menekan abdomen

Per peristaltik usus Masuk ke usus Elastisitas dinding Rangsangan peritonial


Apendiks terbatas
Terjepitnya pembuluh Jaringan limfoid di
Darah ileum terminalis Peningkatan tekanan
intralumen
Iskemia Hipertopi, perdarahan
Menghambat obstruksi
Nekrosis Performasi intestinal pena

Ganggren Edema

Perforasi usus Infark dinding apendik


Penyebaran bakteri Perforasi Ansietas

Peritonitis Tindakan operasi

Aktivitas peristaltik Mengaktifkan neutrofil dan makrofag Keluarnya eksudat fibrosa Pelepasan berbagai mediator
Usus menurun kimiawi (histamin, bradikinin,
Pelepasan zat pirogen endogen Resiko Infeksi serotonin, interleukin)
Ileus
Merangsang sel-sel endotel hipotalamus Merangsang saraf perasa nyeri Peningkatan permeabilitas
Usus menjadi mergang kapiler dan membran
Mengeluarkan asam arakidonat Nyeri Akut mengalami kebocoran
Malabsorbsi Absorbsi makanan
Air pada colon terganggu Memicu pengeluaran prostaglandin

Kontipasi BB menurun Memacu kerja hipotalamus Pengumpulan cairan di rongga Kehilangan sejumlah cairan
peritoneum
Ketidakseimbangan nutrisi Meningkatkan suhu tubuh Dehidrasi Hipotensi
kurang dari kebutuhan tubuh Peningkatan Asites
Hipertemia tekanan intraabdominal Kekurangan Aliran darah ke
Kelebihan Volume Cairan ginjal menurun
Volume Cairan
Merangsang saraf perasa nyeri Menekan diafragma Mendesak lambung GFR menurun

Nyeri Penurunan ekspansi paru HCl meningkat Oliguria

Nyeri Akut Sesak napas Merangsang pusat Aliran darah ke jaringan Gangguan
mual dan muntah perifer menurun Eliminasi Urin
Ketidakefektifan pola nafas di hipotalamus
Gangguan O2 ke perifer
Mual dan muntah Perfusi Jaringan menurun
Perifer
BB menurun Metabolisme anaerob

Ketidakseimbangan nutrisi Energi menurun


kurang dari kebutuhan tubuh
Kelemahan

Tindakan operasi Explore abdomen

Pemberian sedasi Kerusakan integritas kulit


Tirah baring Mual muntah Refleks batuk menurun Kontaminasi mikroorganisme

Intoleransi aktivitas Nafsu makan menurun Penumpukan sekret Resiko Infeksi

Ketidakseimbangan nutrisi Ketidakefektifan bersihan Ketidakefektifan pola nafas


kurang dari kebutuhan tubuh jalan napas
E. MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah
diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara
usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium
dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan
seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen
(akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya
(peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal).
Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu
sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang
menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru
disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita
dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya
trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic),
penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
Gejala Klinis menurut Ahmad H. Asdie, 1995: 1612
1. Nyeri abdomen akut dan nyeri tekan
2. Badan lemas
3. Peristaltik dan suara usus menghilang
4. Hipotensi
5. Tachicardi
6. Oligouria
7. Nafas dangkal
8. Leukositosis
9. Terdapat dehidrasi.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pada pemeriksaan fisik.
1) Perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu
badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen.
2) Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga
perlu diperhatikan.
3) Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat
menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen
ini harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan
dilakukan.
4) Inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan
gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase.
Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang
atau distended.
5) Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa
sakit di abdomen.
6) Auskultasi, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuk
pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara
bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau
menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh
sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
7) Palpasi, Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang
sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling
sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang
tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian
yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri.
8) Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses
inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang
murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi
berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.
9) Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat.
Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk
melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan
setempat.
10) Perkusi, Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya
udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui
pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,
pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena
adanya udara bebas tadi.
b. Pemeriksaan Diagnostik
1) Test laboratorium
a) Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
b) Hematokrit meningkat
c) Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien
peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
2) X. Ray
Dari tes X Ray didapat foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,
lateral), didapatkan:
a) Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b) Usus halus dan usus besar dilatasi.
c) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a) Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
b) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
c) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat
mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran
kaset dan film ukuran 35×43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika
penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto
polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
a) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan
(Herring bone appearance).
b) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-
panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
c) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder appearance.

G. PENATALAKSANAAN
a. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontra indikasikan karena syok dan
kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena yang
berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti elektrolit dan kehilangan
protein. Lakukan nasogastric suction melalui hidung ke dalam usus untuk
mengurangi tekanan dalam usus.
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah
harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
b. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam:
Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah gantamisin 5 mg/kg berat
badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam. Terapi
antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
c. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan dapat diupayakan. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang
difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi
penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan
antibiotka ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan
irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase
peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar
ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain
itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan
dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan
untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
e. Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis.
Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan
drainase terhadap abses. (Saifuddin, Abdul Bari.2008.Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)
f. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi
dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi
peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi,
atau mereseksi viskus yang perforasi.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
a. Komplikasi dini.
1) Septikemia dan syok septic.
2) Syok hipovolemik.
3) Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
4) Abses residual intraperitoneal.
5) Portal Pyemia (misal abses hepar).
b. Komplikasi lanjut.
1) Adhesi.
2) Obstruksi intestinal rekuren

I. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1) Identitas : Nama pasien, umur, jenis kelamin, suku /bangsa, pendidikan,
pekerjaan, alamat
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut
sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia,
peritoneal diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal
kronik, lupus eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post
operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada
kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini
disebabkan oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan
diturunkan ada.
6) Pemeriksaan Fisik
a) Sistem pernafasan (B1)
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu
pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.
b) Sistem kardiovaskuler (B2)
Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovelemia
vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama jantung
irregular akibat pasien syok  (neurogenik, hipovolemik atau septik),
akral : dingin, basah, dan pucat.
c) Sistem Persarafan (B3)
Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun
hanya mengalami penurunan kesadaran.
d) Sistem Perkemihan (B4)
Terjadi penurunan produksi urin.
e) Sistem Pencernaan (B5)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul
akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara
sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen,
bising usus menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).
f) Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan
aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot
mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat  kekurangan
volume cairan.
7) Pengkajian Psikososial
Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial
yang sering dilakukan.
b. Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
Pre Operasi
1. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat nyeri, catat 1. Merupakan pengalaman subyektif dan
berhubungan dengan tindakan keperawatan intensitas, dan karakteristik harus dijelaskan oleh pasien atau
peradangan pada selama 3x24 jam nyeri nyeri identifikasi karakteristik nyeri dan faktor
peritoneum berkurang atau yang berhubungan dengan kondisi
terkontrol. penyakitnya serta merupakan suatu hal
Kriteria Hasil : yang amat penting untuk memilih
 TTV dalam batas intensitas yang cocok untuk
normal (TD 140- mengevaluasi keefektifan dari terapi
120/100-80 mmHg, yang diberikan.
HR 60-100 x/m, RR 2. Untuk mengetahui adanya komplikasi
2. Monitor TTV: TD, N, RR,
16-24 x/m, Suhu lebih lanjut sehingga dapat ditentukan
S
36,5-37,50C) tindakan selanjutnya
 Melaporkan nyeri 3. Merupakan ketegangan otot yang dapat
hilang atau terkontrol 3. Ajarkan teknis distraksi merangsang timbulnya nyeri
 Mendemonstrasikan dan relaksasi napas dalam 4. Menurunkan stimulus yang berlebihan
penggunaan teknik 4. Ciptakan lingkungan yang yang dapat menurunkan nyeri.
relaksasi napas dalam tenang 5. Membantu menghilangkan nyeri,
meningkat kenyamanan.
5. Kolaborasi, pemberian
analgesik; morfin,
metadon.
2. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat ansietas klien 1. Faktor ini mempengaruhi persepsi pasien
dengan perubahan tindakan keperawatan terhadap ancaman diri
status kesehatan, selama 1x24 jam ansietas 2. Berikan informasi yang 2. Menurunkan ansietas sehubungan
prosedur tindakan berkurang. akurat dan jujur dengan ketidaktahuan
invasif (bedah) yang Kriteria Hasil : 3. Memberikan kenyakinan bahwa pasien
akan dilakukan  Tampak rileks 3. Identifikasi sumber/orang tidak sendiri
 Rasa takut berkurang yang menolong dalam  menghadapi  masalah
4. Membatasi kelemahan dan dapat
4. Jadwalkan istirahat meningkatkan kemampuan koping
adekuat
Post Operasi
3. Gangguan rasa Setelah diberikan 1. Kaji nyeri klien (intensitas, 1. Nyeri merupakan cerminan sensasi
nyaman nyeri tindakan keperawatan durasi, lokasi) setelah dekompresi saraf
berhubungan dengan selama 3x24 jam 2. Kaji tanda vital dengan 2. Memantau perubahan suhu tubuh pasien
terputusnya diharapkan nyeri 3. Posisi disesuaikan dengan keluhan
kontiniutas jaringan berkurang dengan sering fisiologis
kulit akibat insisi kriteria: 4. Sebagai tanda adanya komplikasi
 TTV normal (TD 3. Beri klien posisi yang
140-120/100-80 nyaman 5. Memusatkan perhatian, dapat
mmHg, HR 60-100 meningkatkan koping
4. Teliti keluhan klien
x/m, RR 16-24 x/m, 6. Menurunkan ketidaknyamanan pada
mengenai munculnya
Suhu 36,5-37,50C) peristaltik usus dini dan iritasi gaster
kembali nyeri
 Pasien tampak rileks
5. Dorong klienmenggunakan
7. Memberikan informasi tentang status
 Mampu beraktivitas
teknik relaksasi, seperti
infeksi.
 Dapat melakukan
latihan nafas dalam,
relaksasi 8. Pemberian obat analgetik ditujukan dapat
distraksi
6. Pertahankan mengurangi atau menghilangkan nyeri.
puasa/penghisapan pada
awal
7. Observasi drainase pada
luka.

8. Kolaborasi dengan dokter


dalam pemberian obat
analgetik (ketorolac) 2 x 1
amp
4. Resiko tidak efektif Pola nafas efektif setelah 1. Pantau hasil analisa gas 1. Indikator hipoksemia; hipotensi,
pola nafas dilakukan tindakan darah dan indikator takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi
berhubungan dengan keperawatan selama 2 x hipoksemia: hipotensi, SSP, dan sianosis penting untuk
efek anestesi 24 jam takikardi, hiperventilasi, mengetahui adanya syok akibat inflamasi
Kriteria Hasil : gelisah, depresi SSP, dan (peradangan).
 Pasien menunjukkan sianosis. 2. Nafas dangkal mengakibatkan
pernafasan dan bunyi hipoventilasi/atelektasis
nafas normal 2. Observasi frekuensi 3. Area yang menurunkan /tak ada bunyi

 Mendemontrasikan /kedalaman pernafasan nafas diduga atelektasis


kemampuan untuk 3. Auskultasi bunyi nafas 4. Meningkatkan ventilasi semua segmen
melakukan latihan paru dan mobilisasi serta pengeluaran
pernafasan 4. Bantu pasien untuk nafas sekret
dalma secara periodik 5. Memudahkan ekspansi paru
6. Oksigen membantu untuk bernafas
5. Tinggikan kepala tempat secara optimal.
tidur
6. Berikan O2 sesuai program

5.  Risiko tinggi infeksi Setelah dilakukan 1. Catat faktor risiko individu 1. Mempengaruhi pilihan intervensi
berhubungan dengan tindakan contoh trauma abdomen,
trauma jaringan. keperawatan apendisitis akut, dialisa
selama 3x24 jam peritoneal.
tidak ada tanda 2. Kaji tanda vital dengan sering, 2. Tanda adanya syok septik, endotoksin
resiko infeksi yang catat tidak membaiknya atau sirkulasi menyebabkan vasodilatasi,

terjadi. berlanjutnya hipotensi, kehilangan cairan dari sirkulasi, dan

Kriteria hasil: penurunan tekanan nadi, rendahnya status curah jantung.

 Meningkatnya takikardia, demam, takipnea. 3. Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis

penyembuhan dapat menyebabkan penyimpangan status

pada waktunya, 3. Catat perubahan status mental mental.

bebas  drainase (contoh bingung, pingsan). 4. Hangat, kemerahan, kulit kering adalah

purulen atau tanda dini septikemia. Selanjutnya

eritema, tidak 4. Catat warna kulit, suhu, manifestasi termasuk dingin, kulit pucat

demam. kelembaban. lembab dan sianosis sebagai tanda syok.

 Menyatakan 5. Oliguria terjadi sebagai akibat penurunan

pemahaman perfusi ginjal, toksin dalam sirkulasi

penyebab mempengaruhi antibiotik.

penyakit/faktor 6. Mencegah meluas dan membatasi


5. Awasi haluaran urine
resiko. penyebaran organisme
infektif/kontaminasi silang.

6. Pertahankan teknik aseptik ketat


pada perawatan drein abdomen,
luka insisi/terbuka, dan sisi 7. Memberikan informasi tentang status
invasif. Bersihkan dengan infeksi.
Betadine atau larutan lain yang 8. Mencegah penyebaran, membatasi
tepat kemudian bilas pertumbuhan bakteri pada traktus
7. Observasi drainase pada luka. urinarius.

8. Pertahankan teknik steril bila 9. Menurunkan resiko terpajan


pasien dipasang kateter, dan pada/menambah infeksi sekunder pada
berikan perawatan kateter/ atau pasien yang mengalami tekanan imun.
kebersihan perineal rutin. 10. Mengidentifikasikan mikroorganisme
9. Awasi/batasi pengunjung dan dan membantu dalam mengkaji
staf sesuai kebutuhan. Berikan keefektifan prigram antimikrobial.
perlindungan isolasi bila 11. Terapi ditujukan pada bakteri anaerob
diindikasikan. dan basil aerob gram negatif.Lavase
dapat digunakan untuk membuang
10. Ambil contoh/awasi hasil jaringan nekrotik dan mengobati
pemeriksaan seri darah, urine, inflamasi yang terlokalisasi/menyebar
kultur luka. dengan buruk.

11. Berikan antibiotik, contoh


gentacimin (Garamycyin),
amikasin (amikin), Klindamisin
(Cleocin). Lavase pritoneal/IV
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpilan
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada
selaput rongga perut (peritoneum)—lapisan membran serosa rongga abdomen dan
dinding perut sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya,
apendisitis, salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen. Dalam
istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di antaranya nyeri tekan dan
nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum inflamasi.

B. Saran
Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontra indikasikan karena syok dan
kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena yang
berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti elektrolit dan kehilangan
protein. Lakukan nasogastric suction melalui hidung ke dalam usus untuk
mengurangi tekanan dalam usus.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah 5. Jakarta : EGC


Marilynn E Doenges,dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.
Silvia A.Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC.
Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai