PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Persarafan apendiks berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan
parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Perdarahan apendiks berasal
dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya pada thrombosis, apendiks akan mengalami gangren
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).
2.2.2 Epidemiologi
Insiden apendisitis di negara maju mengalami puncaknya di pertengahan abad
ke 20. Lalu insidennya mulai mengalami tren menurun di akhir abad ke-20. Sedangkan
mulai memasuki abad ke-21, insiden apendisitis paling tinggi terjadi di Negara-negara
berkembang di daerah Asia, Amerika Selatan, dan timur tengah dibandingkan dengan
negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa.
Mollie Ferris, Samuel Quan, Belle S. Kaplan, Natalie Molodecky, Chad G. Ball,
Greg W. Chernof.The Global Incidence of Appendicitis A Systematic Review of
Population-based Studies. (Ann Surg 2017;266:237–241)
Insiden apendisitis akut secara keseluruhan adalah 11 kasus per
10.000 individu per tahun. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur,
hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden mengalami
peningkatan pada kelompok umur antara 15-30 tahun, yakni mencapai 23
kasus per 10.000 individu per tahun. Insidens pada lelaki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, dimana insiden pada lelaki
lebih tinggi.4
3
2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah
asupan makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga berperan
dalam proses terjadinya penyakit. Secara genetik, dimana terdapat malformasi
yang herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang atau vaskularisasi yang
tidak baik. Sejumlah penyakit infeksi bakteri dan parasit diketahui melibatkan
apendiks dan kadang-kadang dapat menyebabkan inflamasi apendiks. Dari kultur,
bakteri yang paling sering adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli,
lactobacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman penyebab
perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%. Smallman-Raynor
MR, Cliff AD, Ord JK. Common scute childhood infections and appendicitis: a
historical study of statistical association in 27 English public boarding schools, 1930-
1934. Epidemiol and Infection. 2010;138(8):1155-1165. 1,4
Obstruksi lumen appendiks merupakan faktor etiologis utama dalam
apendisitis akut, berikut merupakan berbagai penyebab dari obsruksi: 1,5
1. Fecaliths atau Appendicolith, merupakan penyebab utama obstruksi,
ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana, 65% kasus apendisitis
ganggrenosa tanpa ruptur, dan mendekati 90% kasus apendisitis ganggrenosa
dengan ruptur.
2. Hipertrofi Jaringan Limfoid
3. Barium yang tersisa dari pemeriksaan x-ray terdahulu (pemeriksaan Colon
in loop)
4. Tumor
5. Biji buah-buahan
6. Parasit intestinal
Bersamaan dengan terjadinya obstruksi, sekresi mukus terus berlangsung
dan meningkatkan tekanan intraluminal. Kemudian terjadi pertumbuhan bakteri
yang berlebihan. Mukus di dalam lumen berubah menjadi pus dan tekanan
intraluminal terus meningkat. Hal ini menyebabkan distensi apendiks dan nyeri
viseral yang khas di daerah epigastrik atau periumbilikus karena apendiks
4
dipersarafi oleh pleksus saraf torakal sepuluh (T 10) (Minkes, 2013 dan Saucier,
2013).
Karena tekanan intraluminal terus meningkat, terjadi obstruksi aliran limfe,
yang menyebabkan edema dinding apendiks. Stadium ini dikenal sebagai
apendisitis akut atau fokal (Minkes, 2013). Karena inflamasi semakin hebat,
terbentuk eksudat pada permukaan serosa dari apendiks. Ketika eksudat mencapai
peritoneum parietal, timbul nyeri yang lebih intens dan terlokalisasi pada
abdomen kuadran kanan bawah. Inilah yang disebut gejala klasik apendisitis (Lee,
2013).
Peningkatan tekanan intraluminal lebih lanjut menyebabkan obstruksi vena,
yang menyebabkan edema dan iskemia apendiks. Hal ini memudahkan invasi
bakteri ke dinding apendiks yang dikenal sebagai apendisitis akut supuratif.
Akhirnya, dengan peningkatan tekanan intraluminal yang terus berlanjut, terjadi
trombosis vena dan kegagalan arteri yang menyebabkan gangren dan perforasi
(Lee, 2013).
Perforasi menyebabkan pelepasan cairan dan bakteri dari apendiks yang inflamasi
ke rongga abdomen. Selanjutnya akan terjadi inflamasi pada permukaan
peritoneum yang disebut peritonitis. Lokasi dan luas peritonitis tergantung pada
berapa banyak cairan usus yang tumpah (Minkes, 2013).
Jika tubuh berhasil menutup perforasi, nyeri akan berkurang. Walaupun demikian,
gejala tidak sepenuhnya sembuh. Pasien mungkin masih merasa nyeri abdomen
pada kuadran kanan bawah, penurunan nafsu makan, perubahan pola defekasi
(misalnya diare, konstipasi), atau demam intermiten. Jika perforasi tidak berhasil
ditutup, maka akan terjadi peritonitis difus (Lee, 2013).
Berdasarkan komplikasi, apendisitis diklasifikasikan menjadi dua jenis,
yaitu apendisitis sederhana (tidak dijumpai komplikasi gangren, perforasi atau
abses) dan apendisitis komplikata (bila dijumpai satu atau lebih komplikasi di
tersebut atas) (DynaMed, 2013).
5
Berdasarkan anamnesis dapat ditemukan 2 (dua) jenis gejala apendisitis,
yaitu gejala klasik dan gejala atipikal. Gejala klasik hanya dijumpai pada 55 %
kasus, yaitu jika apendiks berada di anterior (Lee, 2013). Gejala diawali oleh nyeri
perut di periumbilikus yang memberat dalam 24 jam. Nyeri menjadi lebih tajam
dan berpindah ke fosa iliaka kanan, lalu menetap. Ditemukan juga gejala
hilangnya nafsu makan, mual, muntah, dan konstipasi (Lee, 2013 dan DynaMed,
2013).).
Sedangkan gejala atipikal, berhubungan dengan variasi letak anatomi apendiks
(Lee, 2013 dan DynaMed, 2013). Bila appendiks terletak retrosekal
retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada
tanda rangsangan peritoneal karena appendiks terlindung oleh sekum. Rasa
nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan
karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.4
Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis
dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta
berulang sehingga dapat memberikan keluhan diare atau tenesmus. Jika
appendiks menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi
kencing ataupun disuria akibat rangsangan appendiks terhadap dinding kandung
kemih.4,8
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga
tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada pasien
anak, gejala apendisitis akut sering kali tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering
hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa
menggambarkan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan
muntah sehingga menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas
tadi, apendisitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi,
80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada anak yang
lebih besar bisa terdapat riwayat baru saja terserang penyakit bakterial maupun
viral, yang dapat meyebabkan pembesaran folikel appendiks dan obstruksi.4,8
Sedangkan pada orang berusia lanjut, gejalanya sering samar-samar
saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
6
perforasi. Gejala pada orang tua biasanya berupa malaise, nyeri yang tidak khas,
konstipasi, atau bahkan perubahan status mental.4,8
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual,
dan muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama
sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan
appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di
perut kanan bawah tetapi lebih di regio lumbal kanan. 4
infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.
Pada apendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan, sehingga perlu
dilakukan colok dubur. Pada pemeriksan colok dubur, pasien akan merasakan
nyeri tekan pada jam 9-12.4
7
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak appendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan peritoneum lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat bilamana appendiks yang
meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang merupakan
dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada
posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.4
Pada appendiks perforasi, nyeri perut akan sangat terasa intens dan
menyeluruh, peningkatan spasme daripada otot-otot abdomen (defans
muskuler), detak jantung akan meningkat dengan elevasi dari temperatur lebih
dari 39ºC.4,9
8
Pada pasien dengan nyeri abdomen, ultrasonography memiliki sensitifitas
sekitar 80% dan spesifitas lebih dari 90% dalam mendiagnosa apendisitis akut.7
Hal ini dipertegas oleh penelitian yang dilakukan Memisoglu et al yang
menyatakan bahwa hanya 34% pasien dengan apendisitis akut yang memiliki
hasil USG yang negatif. Temuan sonografi yang konsisten dengan apendisitis
akut antara lain ukuran appendiks 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior,
dinding yang tebal, struktur lumen yang tidak dapat tertekan dapat dilihat pada
cross section yang dikenal sebagai target lesion, atau tampaknya apendikolit.1,9
CT scan sering dipakai untuk mengevaluasi pasien dewasa dengan
dugaan apendisitis akut. CT scan memiliki sensitivitas sekitar 95% dan
spesifitas 90%.7 Diagnosis CT-scan pada apendisitis didasarkan pada penemuan
sebagai berikut:
1. dilatasi apendiks hingga > 6mm,
2. apendiks dikelilingi oleh gambaran inflamasi atau abses,
3. abses pericecal atau massa inflamasi dengan pembentukan apendicolith
(Brant & Helms, 2007).
Dari penelitian yang Willms dkk tahun 2011 disimpulkan bahwa
pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk pasien dengan suspected appendicitis.1,9
2.2.7 Diagnosis
Pendekatan yang tepat untuk mendiagnosis apendisitis akut adalah
langkah dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan investigasi yang baik.
Pemeriksaan tambahan seperti C-reaktif protein, CT scan dan USG telah
digunakan untuk melengkapi ketajaman klinis untuk membantu diagnosis
apendisitis akut. Pemeriksaan tambahan ini terutama diperlukan pada pasien
dengan presentasi atipikal untuk mengurangi angka false positive apendisitis.
Joshua Agilinko⁎ , Naseem Waraich. The Alvarado score in acute appendicitis: A
3-year audit to evaluate the usefulness in predicting negative appendicectomies in ≤16
s at QHBFT. New Horizons in Clinical Case Reports 2 (2017) 12–14
Apendisitis perlu dipikirkan sebagai diagnosa banding pada setiap
pasien dengan nyeri abdomen akut. Untuk meminimalkan kesalahan
diagnosa apendisitis, terdapat suatu sistem scoring yang dinamakan Alvarado
9
Score. Pasien dengan skor 9 atau 10 hampir pasti menderita apendisitis, pasien
dengan skor 7 atau 8 memiliki kemungkinan besar menderita apendisitis, skor
5 atau 6 memiliki gejala yang mirip dengan apendisitis, namun diperlukan
pemeriksaan penunjang lain untuk memastikan diagnosis.1,5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agilinko et. al. (2017)
didapatkan bahwa Alvarado score dengan nilai ≥ 6 memiliki kemungkinan besar
menderita apendisitis. Ohle et al (2011), menemukan bahwa Skor Alvarado
lebih akurat digunakan untuk mendiagnosis apendisitis pada laki-laki.
Sedangkan pada wanita, penggunaan skor Alvarado tidak begitu akurat. Gejala
nyeri perut pada wanita, terutama pada usia produktif, adalah hal yang
menantang untuk menetapkannya dengan diagnosis apendisitis. Proses
diagnosis menjadi sulit karena terdapat banyak kemungkinan diagnosis selain
apendisitis, seperti pelvic inflammatory disease, dan patologi ginekologi
lainnya.
Robert Ohle† , Fran O’Reilly† , Kirsty K O’Brien, Tom Fahey and Borislav D Dimitrov. The
Alvarado score for predicting acute appendicitis: a systematic review. BMC Medicine
2011, 9:139
Tabel 2.5 : Skor Alvarado
Total Score:
Appendicitis unlikely <5
Appendicitis possible 5-6
Appendicitis likely 7-8
Appendicitis highly likely 9-10
10
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri.
Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai
adanya hiperperistalsis. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
dengan apendisitis akut.
2) Demam Berdarah Dengue
Gejala demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip
peritonitis. Pada penyakit ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leed,
trombositopenia, dan/atau peningkatan hematokrit.
3) Kelainan Ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada
perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang
sama pernah timbul sebelumnya. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.
4) Infeksi Panggul.
Salpingitis akut kanan sering di kacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi
urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus
diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis
banding.
11
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok rektal.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan
diagnosis
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah per forasi baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas
kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus. 4
1) Massa Periapendikular
Massa appendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada
massa periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Bila terjadi perforasi, akan
terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi
nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya
12
angka leukosit. Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya
massa yang nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan
diagnosis ke massa atau abses periapendikuler.4
2) Apendisitis Perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi appendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun
dilaporkan sekitar 60%.4
Faktor yang memengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang
tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan
anatomi appendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens
tinggi pada anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak
kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses
pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan
omentum anak belum berkembang.4
Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta
yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat, nyeri tekan dan defans
muskular, peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus
paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan
subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus
dicurigai sebagai abses.4
13
spesimen apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendisitis kronik
eksaserbasi akut, biasanya dilakukan apen dektomi karena penderita datang
dalam serangan akut.4
4) Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat
berikut terpenuhi: riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dari dua
minggu, terbukti terjadi radang kronik appendiks baik secara makroskopik
maupun mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi.4
Kriteria mikroskopik apendisitis kronik meliputi adanya fibrosis
menyeluruh pada dinding appendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen
appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel
inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik adalah sekitar 1-5%.4
14
Persiapan pembedahan :10,12
1) Inform consent
2) Pasien harus dipuasakan sedikitnya 6 jam sebelum operasi.
3) Pemberian antibiotika (spektrum luas). Bila terdapat peritonitis umum perlu
dilakukan perbaikan keadaan umum dengan memberi infus serta pemasangan
kateter.
4) Pemberian premedikasi anestesi.
5) Mempersiapkan lapangan pembedahan dengan membersihkan (mencuci) dan
bilamana perlu dicukur.
10,12
Perawatan Paska Bedah:
1. Pada hari operasi penderita diberi infus menurut kebutuhan sehari
(maintenance) kurang lebih 2 sampai 3 liter cairan Ringer lactat dan
Dextrosa.
2. Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan cara menggerakkan kaki
(flexi dan extensi), miring ke kiri dan ke kanan bergantian dan duduk. Penderita
boleh jalan pada hari pertama pasca bedah.
3. P e m b e r i a n m a k a n a n p e r o r a l d i m u l a i d e n g a n m e m b e r i m
i n u m sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas usus yaitu
adanya flatus, dan bising usus. Jika dengan pemberian minum bebas penderita
tidak kembung maka pemberian makanan peroral dimulai. Lazimnya pada
hari pertama atau hari kedua pasca bedah penderita boleh diberi makan.
15
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : IKJ
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Hindu
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Br. Abiansemal, Desa Lod Tunduh, Ubud.
Suku Bangsa : Bali
Status perkawinan : Menikah
No RM : 13.28.51
Tanggal Pemeriksaan : 21 September 2018
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis, tanggal 21 September 2018,
pukul 09.00 WITA
Keluhan Utama:
Nyeri perut kanan bawah
16
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat trauma disangkal.
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal.
Riwayat alergi disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta. Pasien tinggal bersama orang tua
dan saudara-saudaranya.
17
Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-),sklera ikterik
(-/-),
pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+)
Hidung : Bentuk normal, konka tampak normal, sekret (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
Telinga : Bentuk normal, sekret(-).
Tenggorok : Uvula di tengah, tonsil hiperemis (-), T1-T1 , faring
hiperemis (-)
Leher : Trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar
Lymphonodi : Retroaurikuler : tidak membesar
Submandibuler : tidak membesar
Thorax : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
Cor:
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan =kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan =kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Sesuai status lokalis
Ekstremitas :
+ +
- -
Oedem
- -
18
CRT < 2 detik
Status lokalis:
Inspeksi : tidak tampak jejas, distensi (-)
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada sembilan kuadran abdomen.
Palpasi : Hepar tidak teraba membesar, Lien tidak teraba
membesar, Nyeri tekan pada abdomen (+) pada area Mc.
Burney, Rovsing sign (-), psoas sign (-), Blumberg sign
(+), tidak teraba massa.
Rectal Touche: (-) Tidak diperiksa
ALVARADO SCORE
Migration pain :0
Anorexia :1
Nausea - vomiting :1
Tenderness in RLQ :2
Rebound pain :1
Elevation of temperature :0
Leucocytosis :2
Shift to the left :1
TOTAL SCORE : 8 (acute appendicitis present)
19
Trombosit 240.000 150.000 – 440.000
/mm3
Urine Lengkap
Urinalisa
pH 7,0 4,8 – 7,5
Berat Jenis 1.015 1.003 – 1.030
Glukosa Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Blood Negatif Negatif
Sedimen
Epitel Gepeng: 2-4 0-15
Leukosit 0-1 0-4
Eritrosit 0-2 0-1
Bakteri Negatif Negatif
20
Pemeriksaan Xray Thorax tanggal 21 September 2018
21
VI. DIAGNOSIS KERJA
Observasi abdominal pain ec susp. apendisitis akut dd/ periapendikular
infiltrat
VII. PENTALAKSANAAN
1. Pro appendektomi tindakan sedang CITO
2. Cefotaxim 2 gram (IV)
3. IVFD RL 20 tpm
4. Konsul dokter anastesi → acc tindakan
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam
22
IX. MONITORING
Tanggal Pemeriksaan Terapi
21/09/2018 S : Post operasi. Nyeri luka IVFD RL 28 tpm
operasi (+), kentut (+), BAK Cefotaxim 3 x 1 gram
(+) (IV)
O : CM Ketorolac 3 x 1 ampul
TD = 110/60 mmHg (IV)
N = 70 x/menit Paracetamol flash 3 x 1
RR = 20 x/menit flash
S = 36,3 C (per axilar)
o
23
23/09/18 S : Keluhan (-) Pasien diperblehkan
O : CM pulang
TD = 100/60 mmHg Ciprofloxacin 2 x 500 mg
N = 80 x/menit Asam Mefenamat 3 x 1
RR = 20 x/menit tab
S = 36 C (per axilar)
o
Kontrol poliklinik 2 hari
SL: R/ kanan bawah: luka operasi lagi
terawat, pus (-), darah (-)
A: Follow up post appendektomi
hari ke 2
24
BAB IV
ANALISIS KASUS
4.1 Anamnesis
Pada kasus pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1
hari SMRS. Nyeri dirasakan seperti kaku dan terus-menerus. Nyeri dirasakan
membaik setelah pasien buang angin atau setelah BAB, dirasakan memberat
apabila pasien berjalan. Riwayat nyeri berpindah disangkal. Pasien juga
mengeluh merasa mual sejak kemarin, muntah (+) 2 kali, terakhir 1 jam
SMRS, berisi air dan bekas makanan. Nafsu makan pasien dikatakan menurun
Anamnesis pasien dengan apendisitis akut menurut teori adalah pasien
dapat mengeluhkan gejala dan tanda antara lain nyeri pada perut kanan bawah,
penurunan nafsu makan, mual, muntah, dan demam.
Anamnesis pada kasus sebagian besar seusai dengan teori
25
merupakan kunci diagnosis. Appendiks normal sifatnya mobile, sehingga
lokasi inflamasi bisa saja terdapat di berbagai tempat pada area lingkaran 3600
sekitar basis dari sekum. Pada penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan
nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis
retrosekal atau retroileal, diperlukan palpasi dalam untuk mendapatkan
rasa nyeri.
Hasil pemeriksaan fisik pada kasus yang sesuai yakni ditemukan nyeri
tekan pada area McBurney.
4.4 Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan pada kasus adalah melakukan appendektomi
(insisi Mc. Burney) CITO dan memberikan antibiotik profilaksis sebelum
operasi yaitu Cefotaxim 2 gram (IV). Pasien diinfus dengan cairan ringer
laktat 20 tetes makro.
Berdasarkan teori, bila diagnosis klinis apendisitis akut sudah jelas,
tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah
apendektomi. Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan
laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak
dipilih oleh ahli bedah. Sebelum pembedahan dimulai, dilakukan beberapa
persiapan berupa melakukan inform consent, dipuasakan sedikitnya 6 jam
sebelum operasi, pemberian antibiotika (spektrum luas), pemasangan infus
sebagai jalur intravena, serta pemberian premedikasi anestesi.
Penatalaksanaan pada kasus sudah sesuai dengan teori
4.5 Prognosis
Prognosis pasien pada kasus adalah bonam. Berdasarkan teori pasien
dengan apendisitis akut yang mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat
akan pulih dan dapat beraktivitas dengan normal setelahnya.
27
BAB V
SIMPULAN
28
DAFTAR
PUSTAKA
29