Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendix vermicularis dan
menjadi salah satu penyebab akut abdomen yang paling sering baik pada anak-
anak maupun dewasa. Apendisitis adalah salah satu kegawatdaruratan abdomen
yang paling sering membutuhkan tindakan pembedahan. Apendisitis akut
biasanya ditandai dengan nyeri di abdomen kuadaran kanan bawah dengan
nyeri tekan lokal dan nyeri alih, spasme otot yang ada diatasnya. 1,2,3
Di Inggris, tercatat lebih dari 40.000 pasien dirawat di rumah sakit setiap
tahunnya. Apendisitis sebagian besar terjadi usia 10 sampai 30 tahun, tapi tidak
menutup kemungkinan usia lain. Laki-laki memiliki angka predisposisi lebih
besar daripada wanita. Terdapat sekitar 250.000 kasus apendisitis yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10
tahun.3,4
Pemeriksaan gold standard dalam penegakkan diagnosis apendisitis
akut adalah dengan melakukan pemeriksaan histopatologi yang hanya bisa
dilakukan setelah operasi. Untuk memudahkan dalam mendiagnosis, kita
dapat menggunakan tes sederhana dengan menghitung Alvarado skor, serta
melakukan beberapa pemeriksaan penunjang terkait seperti pemeriksaan
laboratorium dan radiologi. Dignosis yang tepat dan kecepatan intervensi
dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas secara signifikan. 1,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Appendiks

Appendix vermiformis atau yang sering disebut apendiks merupakan organ


sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan
limfoid. Panjang apendiks bervariasi dari 3–4 inci (8–13 cm). Dasarnya melekat pada
permukaan sekum.
Apendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke
dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung apendiks mudah
bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini:
1. Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis kanan,
2. Melengkung di belakang sekum,
3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan
4. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.
Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering ditemukan
(Snell, 2006). Posisi apendiks sangat variabel dibandingkan daripada organ-organ
lainnya. Yang paling sering, sekitar 75 % terletak di belakang sekum. Sekitar 20%
menggantung ke bawah di bawah tulang panggul (Ellis, 2006).

Gambar 2.2 Variasi dalam posisi apendiks vermiformis


Sumber: Color Atlas of Human Anatomy Internal Organ

2
Persarafan apendiks berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan
parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Perdarahan apendiks berasal
dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya pada thrombosis, apendiks akan mengalami gangren
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).

2.2 Apendisitis akut


2.2.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks
vermiformis. Apendisitis akut adalah apendisitis dengan onset akut yang
memerlukan intervensi bedah dan biasanya ditandai dengan nyeri di abdomen
kuadaran kanan bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih, disertai
dengan spasme otot yang ada diatasnya, dan/atau hiperestesia kulit. 3

2.2.2 Epidemiologi
Insiden apendisitis di negara maju mengalami puncaknya di pertengahan abad
ke 20. Lalu insidennya mulai mengalami tren menurun di akhir abad ke-20. Sedangkan
mulai memasuki abad ke-21, insiden apendisitis paling tinggi terjadi di Negara-negara
berkembang di daerah Asia, Amerika Selatan, dan timur tengah dibandingkan dengan
negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa.
Mollie Ferris, Samuel Quan, Belle S. Kaplan, Natalie Molodecky, Chad G. Ball,
Greg W. Chernof.The Global Incidence of Appendicitis A Systematic Review of
Population-based Studies. (Ann Surg 2017;266:237–241)
Insiden apendisitis akut secara keseluruhan adalah 11 kasus per
10.000 individu per tahun. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur,
hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden mengalami
peningkatan pada kelompok umur antara 15-30 tahun, yakni mencapai 23
kasus per 10.000 individu per tahun. Insidens pada lelaki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, dimana insiden pada lelaki
lebih tinggi.4

3
2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi pasti apendisitis akut hingga saat ini belum diketahui. Jumlah
asupan makanan berserat, obstruksi lumen, dan faktor genetik diduga berperan
dalam proses terjadinya penyakit. Secara genetik, dimana terdapat malformasi
yang herediter dari organ apendiks yang terlalu panjang atau vaskularisasi yang
tidak baik. Sejumlah penyakit infeksi bakteri dan parasit diketahui melibatkan
apendiks dan kadang-kadang dapat menyebabkan inflamasi apendiks. Dari kultur,
bakteri yang paling sering adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli,
lactobacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman penyebab
perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%. Smallman-Raynor
MR, Cliff AD, Ord JK. Common scute childhood infections and appendicitis: a
historical study of statistical association in 27 English public boarding schools, 1930-
1934. Epidemiol and Infection. 2010;138(8):1155-1165. 1,4
Obstruksi lumen appendiks merupakan faktor etiologis utama dalam
apendisitis akut, berikut merupakan berbagai penyebab dari obsruksi: 1,5
1. Fecaliths atau Appendicolith, merupakan penyebab utama obstruksi,
ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana, 65% kasus apendisitis
ganggrenosa tanpa ruptur, dan mendekati 90% kasus apendisitis ganggrenosa
dengan ruptur.
2. Hipertrofi Jaringan Limfoid
3. Barium yang tersisa dari pemeriksaan x-ray terdahulu (pemeriksaan Colon
in loop)
4. Tumor
5. Biji buah-buahan
6. Parasit intestinal
Bersamaan dengan terjadinya obstruksi, sekresi mukus terus berlangsung
dan meningkatkan tekanan intraluminal. Kemudian terjadi pertumbuhan bakteri
yang berlebihan. Mukus di dalam lumen berubah menjadi pus dan tekanan
intraluminal terus meningkat. Hal ini menyebabkan distensi apendiks dan nyeri
viseral yang khas di daerah epigastrik atau periumbilikus karena apendiks

4
dipersarafi oleh pleksus saraf torakal sepuluh (T 10) (Minkes, 2013 dan Saucier,
2013).
Karena tekanan intraluminal terus meningkat, terjadi obstruksi aliran limfe,
yang menyebabkan edema dinding apendiks. Stadium ini dikenal sebagai
apendisitis akut atau fokal (Minkes, 2013). Karena inflamasi semakin hebat,
terbentuk eksudat pada permukaan serosa dari apendiks. Ketika eksudat mencapai
peritoneum parietal, timbul nyeri yang lebih intens dan terlokalisasi pada
abdomen kuadran kanan bawah. Inilah yang disebut gejala klasik apendisitis (Lee,
2013).
Peningkatan tekanan intraluminal lebih lanjut menyebabkan obstruksi vena,
yang menyebabkan edema dan iskemia apendiks. Hal ini memudahkan invasi
bakteri ke dinding apendiks yang dikenal sebagai apendisitis akut supuratif.
Akhirnya, dengan peningkatan tekanan intraluminal yang terus berlanjut, terjadi
trombosis vena dan kegagalan arteri yang menyebabkan gangren dan perforasi
(Lee, 2013).
Perforasi menyebabkan pelepasan cairan dan bakteri dari apendiks yang inflamasi
ke rongga abdomen. Selanjutnya akan terjadi inflamasi pada permukaan
peritoneum yang disebut peritonitis. Lokasi dan luas peritonitis tergantung pada
berapa banyak cairan usus yang tumpah (Minkes, 2013).
Jika tubuh berhasil menutup perforasi, nyeri akan berkurang. Walaupun demikian,
gejala tidak sepenuhnya sembuh. Pasien mungkin masih merasa nyeri abdomen
pada kuadran kanan bawah, penurunan nafsu makan, perubahan pola defekasi
(misalnya diare, konstipasi), atau demam intermiten. Jika perforasi tidak berhasil
ditutup, maka akan terjadi peritonitis difus (Lee, 2013).
Berdasarkan komplikasi, apendisitis diklasifikasikan menjadi dua jenis,
yaitu apendisitis sederhana (tidak dijumpai komplikasi gangren, perforasi atau
abses) dan apendisitis komplikata (bila dijumpai satu atau lebih komplikasi di
tersebut atas) (DynaMed, 2013).

2.2.4 Gambaran Klinis


2.2.4.1. Anamnesis

5
Berdasarkan anamnesis dapat ditemukan 2 (dua) jenis gejala apendisitis,
yaitu gejala klasik dan gejala atipikal. Gejala klasik hanya dijumpai pada 55 %
kasus, yaitu jika apendiks berada di anterior (Lee, 2013). Gejala diawali oleh nyeri
perut di periumbilikus yang memberat dalam 24 jam. Nyeri menjadi lebih tajam
dan berpindah ke fosa iliaka kanan, lalu menetap. Ditemukan juga gejala
hilangnya nafsu makan, mual, muntah, dan konstipasi (Lee, 2013 dan DynaMed,
2013).).
Sedangkan gejala atipikal, berhubungan dengan variasi letak anatomi apendiks
(Lee, 2013 dan DynaMed, 2013). Bila appendiks terletak retrosekal
retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada
tanda rangsangan peritoneal karena appendiks terlindung oleh sekum. Rasa
nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan
karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.4
Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis
dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta
berulang sehingga dapat memberikan keluhan diare atau tenesmus. Jika
appendiks menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi
kencing ataupun disuria akibat rangsangan appendiks terhadap dinding kandung
kemih.4,8
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga
tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada pasien
anak, gejala apendisitis akut sering kali tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering
hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa
menggambarkan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan
muntah sehingga menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas
tadi, apendisitis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi,
80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada anak yang
lebih besar bisa terdapat riwayat baru saja terserang penyakit bakterial maupun
viral, yang dapat meyebabkan pembesaran folikel appendiks dan obstruksi.4,8
Sedangkan pada orang berusia lanjut, gejalanya sering samar-samar
saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah

6
perforasi. Gejala pada orang tua biasanya berupa malaise, nyeri yang tidak khas,
konstipasi, atau bahkan perubahan status mental.4,8
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual,
dan muntah. Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama
sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan
appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di
perut kanan bawah tetapi lebih di regio lumbal kanan. 4

2.2.5 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam biasanya ringan dengan
suhu sekitar 37,5 - 38,5°C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi
perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C. Pada
inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik. Pada penderita dengan
komplikasi perforasi dapat ditemukan distensi abdomen. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler.4
Pada palpasi abdomen, didapatkan nyeri tekan yang terbatas pada regio
iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas (Rebound Phenomena). Defans muskuler
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut
kanan bawah yang terutama terletak pada titik McBurney merupakan kunci
diagnosis. Appendiks normal sifatnya mobile, sehingga lokasi inflamasi bisa saja
terdapat di berbagai tempat pada area lingkaran 3600 sekitar basis dari sekum.
Pada penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah
yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal,
diperlukan palpasi dalam untuk mendapatkan rasa nyeri. 1,4
Peristalsik usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat
adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh

apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah

infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.
Pada apendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan, sehingga perlu
dilakukan colok dubur. Pada pemeriksan colok dubur, pasien akan merasakan
nyeri tekan pada jam 9-12.4

7
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak appendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan peritoneum lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat bilamana appendiks yang
meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang merupakan
dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada
posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.4
Pada appendiks perforasi, nyeri perut akan sangat terasa intens dan
menyeluruh, peningkatan spasme daripada otot-otot abdomen (defans
muskuler), detak jantung akan meningkat dengan elevasi dari temperatur lebih
dari 39ºC.4,9

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


2.2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis
apendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, dengan
peningkatan neutrofil juga ditemukan yaitu lebih dari 75 % pada 78 % pasien
apendisitis akut (Craig, 2013 dan Minkes, 2013). Leukosit yang tinggi
(>20.000/mL) dapat menandakan terdapatnya komplikasi apendisitis, bisa berupa
ganggren ataupun perforasi. Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan
pyelonefritis atau nefrolitiasis. Pada penderita wanita sebaiknya juga diperiksa
Beta-HCG untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan.3,8

2.2.6.2 Pemeriksaan Radiologi


Foto polos abdomen jarang berguna untuk mendiagnosa apendisitis akut.
Foto polos abdomen berperan penting dalam menyingkirkan keadaan patologi

lainnya. Kegagalan dari barium enema untuk memenuhi lumen appendiks


berhubungan dengan apendisitis, tetapi temuan ini kurang sensitif dan spesifik
karena 20% appendiks normal tidak terisi dengan barium enema. 1,5

8
Pada pasien dengan nyeri abdomen, ultrasonography memiliki sensitifitas
sekitar 80% dan spesifitas lebih dari 90% dalam mendiagnosa apendisitis akut.7
Hal ini dipertegas oleh penelitian yang dilakukan Memisoglu et al yang
menyatakan bahwa hanya 34% pasien dengan apendisitis akut yang memiliki

hasil USG yang negatif. Temuan sonografi yang konsisten dengan apendisitis
akut antara lain ukuran appendiks 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior,
dinding yang tebal, struktur lumen yang tidak dapat tertekan dapat dilihat pada
cross section yang dikenal sebagai target lesion, atau tampaknya apendikolit.1,9
CT scan sering dipakai untuk mengevaluasi pasien dewasa dengan
dugaan apendisitis akut. CT scan memiliki sensitivitas sekitar 95% dan
spesifitas 90%.7 Diagnosis CT-scan pada apendisitis didasarkan pada penemuan
sebagai berikut:
1. dilatasi apendiks hingga > 6mm,
2. apendiks dikelilingi oleh gambaran inflamasi atau abses,
3. abses pericecal atau massa inflamasi dengan pembentukan apendicolith
(Brant & Helms, 2007).
Dari penelitian yang Willms dkk tahun 2011 disimpulkan bahwa
pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk pasien dengan suspected appendicitis.1,9

2.2.7 Diagnosis
Pendekatan yang tepat untuk mendiagnosis apendisitis akut adalah
langkah dengan anamnesis, pemeriksaan klinis dan investigasi yang baik.
Pemeriksaan tambahan seperti C-reaktif protein, CT scan dan USG telah
digunakan untuk melengkapi ketajaman klinis untuk membantu diagnosis
apendisitis akut. Pemeriksaan tambahan ini terutama diperlukan pada pasien
dengan presentasi atipikal untuk mengurangi angka false positive apendisitis.
Joshua Agilinko⁎ , Naseem Waraich. The Alvarado score in acute appendicitis: A
3-year audit to evaluate the usefulness in predicting negative appendicectomies in ≤16
s at QHBFT. New Horizons in Clinical Case Reports 2 (2017) 12–14
Apendisitis perlu dipikirkan sebagai diagnosa banding pada setiap
pasien dengan nyeri abdomen akut. Untuk meminimalkan kesalahan
diagnosa apendisitis, terdapat suatu sistem scoring yang dinamakan Alvarado
9
Score. Pasien dengan skor 9 atau 10 hampir pasti menderita apendisitis, pasien
dengan skor 7 atau 8 memiliki kemungkinan besar menderita apendisitis, skor
5 atau 6 memiliki gejala yang mirip dengan apendisitis, namun diperlukan
pemeriksaan penunjang lain untuk memastikan diagnosis.1,5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agilinko et. al. (2017)
didapatkan bahwa Alvarado score dengan nilai ≥ 6 memiliki kemungkinan besar
menderita apendisitis. Ohle et al (2011), menemukan bahwa Skor Alvarado
lebih akurat digunakan untuk mendiagnosis apendisitis pada laki-laki.
Sedangkan pada wanita, penggunaan skor Alvarado tidak begitu akurat. Gejala
nyeri perut pada wanita, terutama pada usia produktif, adalah hal yang
menantang untuk menetapkannya dengan diagnosis apendisitis. Proses
diagnosis menjadi sulit karena terdapat banyak kemungkinan diagnosis selain
apendisitis, seperti pelvic inflammatory disease, dan patologi ginekologi
lainnya.
Robert Ohle† , Fran O’Reilly† , Kirsty K O’Brien, Tom Fahey and Borislav D Dimitrov. The
Alvarado score for predicting acute appendicitis: a systematic review. BMC Medicine
2011, 9:139
Tabel 2.5 : Skor Alvarado

Total Score:
Appendicitis unlikely <5
Appendicitis possible 5-6
Appendicitis likely 7-8
Appendicitis highly likely 9-10

2.2.8 Diagnosis banding


Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit di bwah ini perlu
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.4
1) Gastroenteritis.

10
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri.
Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai
adanya hiperperistalsis. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
dengan apendisitis akut.
2) Demam Berdarah Dengue
Gejala demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip
peritonitis. Pada penyakit ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leed,
trombositopenia, dan/atau peningkatan hematokrit.

3) Kelainan Ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada
perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang
sama pernah timbul sebelumnya. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari.

4) Infeksi Panggul.
Salpingitis akut kanan sering di kacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi
urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus
diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis
banding.

5) Kehamilan Di Luar Kandungan.


Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan
perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan
nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldo sentesis didapatkan darah.

6) Kista Ovarium Terpuntir.

11
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina, atau colok rektal.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan
diagnosis

7) Urolitiasis Pielum/Ureter Kanan


Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto
polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri
kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria.

8) Penyakit Saluran Cerna Lainnya.


Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut,
seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung,
kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal,
perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel
appendiks.

2.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah per forasi baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas
kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus. 4
1) Massa Periapendikular
Massa appendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada
massa periapendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Bila terjadi perforasi, akan
terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi
nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya

12
angka leukosit. Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya
massa yang nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan
diagnosis ke massa atau abses periapendikuler.4

2) Apendisitis Perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan
keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam terjadinya
perforasi appendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun
dilaporkan sekitar 60%.4
Faktor yang memengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang
tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan
anatomi appendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens
tinggi pada anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak
kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses
pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan
omentum anak belum berkembang.4
Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta
yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat, nyeri tekan dan defans
muskular, peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus
paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan
subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus
dicurigai sebagai abses.4

3) Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut


Diagnosis apendisitis kronik eksaserbasi akut baru dapat dipikirkan jika
ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukannya apendektomi, dan hasil patologi menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan. Namun, appendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena
terjadi fibrosis dan jaringan parut. Risiko terjadinya serangan berulang
adalah sekitar 50%. Insidens apendisitis kronik eksaserbasi akut adalah 10% dari

13
spesimen apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendisitis kronik
eksaserbasi akut, biasanya dilakukan apen dektomi karena penderita datang
dalam serangan akut.4

4) Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat
berikut terpenuhi: riwayat nyeri perut kanan bawah yang lebih dari dua
minggu, terbukti terjadi radang kronik appendiks baik secara makroskopik
maupun mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi.4
Kriteria mikroskopik apendisitis kronik meliputi adanya fibrosis
menyeluruh pada dinding appendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen
appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel
inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik adalah sekitar 1-5%.4

2.2.10 Pen atalak san


aan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Apendektomi bisa
dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Bila apendektomi terbuka,
insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat dilakukan. 4
Appendisektomi atau Appendektomi ialah suatu tindakan pembedahan
membuang appendiks. Adapun indikasi appendiktomi: 10,11
1) Apendisitis akut.
2) Apendisitis subakut.
3) Apendisitis infiltrat (appendikular mass) yang sudah dalam stadium tenang
(afroid).
4) Apendisitis perforata
5) Apendisitis kronis

14
Persiapan pembedahan :10,12
1) Inform consent
2) Pasien harus dipuasakan sedikitnya 6 jam sebelum operasi.
3) Pemberian antibiotika (spektrum luas). Bila terdapat peritonitis umum perlu
dilakukan perbaikan keadaan umum dengan memberi infus serta pemasangan
kateter.
4) Pemberian premedikasi anestesi.
5) Mempersiapkan lapangan pembedahan dengan membersihkan (mencuci) dan
bilamana perlu dicukur.
10,12
Perawatan Paska Bedah:
1. Pada hari operasi penderita diberi infus menurut kebutuhan sehari
(maintenance) kurang lebih 2 sampai 3 liter cairan Ringer lactat dan
Dextrosa.
2. Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan cara menggerakkan kaki
(flexi dan extensi), miring ke kiri dan ke kanan bergantian dan duduk. Penderita
boleh jalan pada hari pertama pasca bedah.
3. P e m b e r i a n m a k a n a n p e r o r a l d i m u l a i d e n g a n m e m b e r i m
i n u m sedikit-sedikit (50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas usus yaitu
adanya flatus, dan bising usus. Jika dengan pemberian minum bebas penderita
tidak kembung maka pemberian makanan peroral dimulai. Lazimnya pada
hari pertama atau hari kedua pasca bedah penderita boleh diberi makan.

15
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : IKJ
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Hindu
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Br. Abiansemal, Desa Lod Tunduh, Ubud.
Suku Bangsa : Bali
Status perkawinan : Menikah
No RM : 13.28.51
Tanggal Pemeriksaan : 21 September 2018

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis, tanggal 21 September 2018,
pukul 09.00 WITA

Keluhan Utama:
Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Perjalanan Penyakit :


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS
(tgl 20 September 2018 pkl 13.00). Nyeri dirasakan seperti kaku dan terus-
menerus. Nyeri dirasakan membaik setelah pasien buang angin atau setelah
BAB, dirasakan memberat apabila pasien berjalan. Riwayat nyeri berpindah
disangkal. Pasien juga mengeluh merasa mual sejak kemarin, muntah (+) 3
kali, terakhir 2 jam SMRS, berisi air dan bekas makanan. Pasien muntah
setiap kali berusaha untuk makan. Riwayat demam disangkal. Makan dan
minum dikatakan menurun. BAK dikatakan normal. Pasien mengatakan
BAB setiap 2 hari sekali. Pasien belum sempat berobat sebelumnya.

16
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat trauma disangkal.
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal.
Riwayat alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga atau teman sekitarnya yang mengeluh hal serupa.

Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai pegawai swasta. Pasien tinggal bersama orang tua
dan saudara-saudaranya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Keadaan umum : pasien tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : compos mentis
Status gizi : gizi cukup
Tanda vital
BB : 52 kg
TB : 160 cm
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit, reguler,
Pernafasan : 18 x/menit,
Suhu : 36,3º C (per axilar)

Kulit : Warna sawo matang, kelembaban cukup, kelainan kulit (-)


Kepala : Normocephali,

17
Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-),sklera ikterik
(-/-),
pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+)
Hidung : Bentuk normal, konka tampak normal, sekret (-/-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
Telinga : Bentuk normal, sekret(-).
Tenggorok : Uvula di tengah, tonsil hiperemis (-), T1-T1 , faring
hiperemis (-)
Leher : Trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar
Lymphonodi : Retroaurikuler : tidak membesar
Submandibuler : tidak membesar
Thorax : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
Cor:
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : S1-S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dada kanan =kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan =kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Sesuai status lokalis
Ekstremitas :

Akral hangat + + Sianosis - -


+ + - -

+ +
- -
Oedem
- -

Arteri dorsalis pedis teraba kuat

18
CRT < 2 detik
Status lokalis:
Inspeksi : tidak tampak jejas, distensi (-)
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada sembilan kuadran abdomen.
Palpasi : Hepar tidak teraba membesar, Lien tidak teraba
membesar, Nyeri tekan pada abdomen (+) pada area Mc.
Burney, Rovsing sign (-), psoas sign (-), Blumberg sign
(+), tidak teraba massa.
Rectal Touche: (-) Tidak diperiksa

ALVARADO SCORE
Migration pain :0
Anorexia :1
Nausea - vomiting :1
Tenderness in RLQ :2
Rebound pain :1
Elevation of temperature :0
Leucocytosis :2
Shift to the left :1
TOTAL SCORE : 8 (acute appendicitis present)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium darah tanggal 18 Oktober 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Darah Lengkap
WBC 15.900 4.100 – 11.000 /mm3
Lymp% 7,8 % 13 – 40%
Mid% 5% 4,0 – 18,0 %
Gra% 87,2 % 40 – 74 %
Hemoglobin 16 13,5 – 17,5 g/dl
Hematocrit 36,2 % 41,0 – 53,0 %

19
Trombosit 240.000 150.000 – 440.000
/mm3

Urine Lengkap
Urinalisa
pH 7,0 4,8 – 7,5
Berat Jenis 1.015 1.003 – 1.030
Glukosa Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Blood Negatif Negatif
Sedimen
Epitel Gepeng: 2-4 0-15
Leukosit 0-1 0-4
Eritrosit 0-2 0-1
Bakteri Negatif Negatif

Bleeding time 2’00” 1.00 - 3.00


Cloting time 9’ 00” 5.00 – 15.00

20
Pemeriksaan Xray Thorax tanggal 21 September 2018

Kesan: Cor dan pulmo tidak tampak kelainan


y
V. RESUME
Pasien laki-laki usia 25 tahun datang dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Nyeri dirasakan seperti kaku dan terus-
menerus. Nyeri dirasakan lebih membaik setelah pasien buang angin atau
setelah BAB, dirasakan memberat apabila pasien berjalan. Pasien juga
mengeluh merasa mual sejak kemarin, muntah (+) 3 kali, terakhir 2 jam
SMRS, berisi air dan bekas makanan. Nafsu makan menurun sejak 1 hari
SMRS
Dari pemeriksaan fisik didpatkan kesadaran kompos mentis dan
tanda-tanda vital: tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 86 x/menit, laju nafas
18 x/menit, dan suhu 36,3oC. Pada pemeriksaan abdomen diperoleh nyeri
tekan pada area Mc Burney, serta rebound tenderness (+).
Dari pemeriksaan darah lengkap ditemukan peningkatan sel darah
putih (WBC = 15.900), dengan persentase granulosit 87,2%.

21
VI. DIAGNOSIS KERJA
Observasi abdominal pain ec susp. apendisitis akut dd/ periapendikular
infiltrat

VII. PENTALAKSANAAN
1. Pro appendektomi tindakan sedang CITO
2. Cefotaxim 2 gram (IV)
3. IVFD RL 20 tpm
4. Konsul dokter anastesi → acc tindakan
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam

22
IX. MONITORING
Tanggal Pemeriksaan Terapi
21/09/2018 S : Post operasi. Nyeri luka  IVFD RL 28 tpm
operasi (+), kentut (+), BAK  Cefotaxim 3 x 1 gram
(+) (IV)
O : CM  Ketorolac 3 x 1 ampul
TD = 110/60 mmHg (IV)
N = 70 x/menit  Paracetamol flash 3 x 1
RR = 20 x/menit flash
S = 36,3 C (per axilar)
o

A : Follow up post appendektomi


hari ke 0
22/09/2018 S : Nyeri (+) berkurang.  IVFD RL 28 tpm
O : CM  Cefotaxim 3 x 1 gram
TD = 100/ 70 mmHg (IV)
N = 80 x/menit  Ketorolac 3 x 1 ampul
RR = 20 x/menit (IV)
S = 36 C (per axiler)
o
 Paracetamol flash 3 x 1
SL: R/ kanan bawah: luka operasi flash
terawat, pus (-), darah (-)  Diet Bubur Biasa
A: Follow up post appendektomi
 Mobilisasi
hari ke 1

23
23/09/18 S : Keluhan (-)  Pasien diperblehkan
O : CM pulang
TD = 100/60 mmHg  Ciprofloxacin 2 x 500 mg
N = 80 x/menit  Asam Mefenamat 3 x 1
RR = 20 x/menit tab
S = 36 C (per axilar)
o
 Kontrol poliklinik 2 hari
SL: R/ kanan bawah: luka operasi lagi
terawat, pus (-), darah (-)
A: Follow up post appendektomi
hari ke 2

24
BAB IV
ANALISIS KASUS

4.1 Anamnesis
Pada kasus pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1
hari SMRS. Nyeri dirasakan seperti kaku dan terus-menerus. Nyeri dirasakan
membaik setelah pasien buang angin atau setelah BAB, dirasakan memberat
apabila pasien berjalan. Riwayat nyeri berpindah disangkal. Pasien juga
mengeluh merasa mual sejak kemarin, muntah (+) 2 kali, terakhir 1 jam
SMRS, berisi air dan bekas makanan. Nafsu makan pasien dikatakan menurun
Anamnesis pasien dengan apendisitis akut menurut teori adalah pasien
dapat mengeluhkan gejala dan tanda antara lain nyeri pada perut kanan bawah,
penurunan nafsu makan, mual, muntah, dan demam.
Anamnesis pada kasus sebagian besar seusai dengan teori

4.2 Pemeriksaan Fisik


Pada kasus hasil pemeriksaan fisik yang diperoleh kesadaran pasien
kompos mentis dengan tanda-tanda vital: tekanan darah 130/70 mmHg, nadi
78 x/menit, laju nafas 18 x/menit, dan suhu 36,8 oC. Pada pemeriksaan
abdomen diperoleh nyeri tekan pada area Mc Burney. Tidak ditemukan tanda
rovsing, psoas, ataupun blumberg, serta tidak teraba massa.
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien dengan apendisitis
akut sesuai dengan teori adalah demam yang biasanya ringan dengan suhu
sekitar 37,5 - 38,5°C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi
perforasi. Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik. Pada
penderita dengan komplikasi perforasi dapat ditemukan distensi abdomen.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikuler.6
Pada palpasi abdomen, didapatkan nyeri tekan yang terbatas pada regio
iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas (Rebound Phenomena). Defans
muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri
tekan perut kanan bawah yang terutama terletak pada titik McBurney

25
merupakan kunci diagnosis. Appendiks normal sifatnya mobile, sehingga
lokasi inflamasi bisa saja terdapat di berbagai tempat pada area lingkaran 3600
sekitar basis dari sekum. Pada penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan
nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis
retrosekal atau retroileal, diperlukan palpasi dalam untuk mendapatkan
rasa nyeri.
Hasil pemeriksaan fisik pada kasus yang sesuai yakni ditemukan nyeri
tekan pada area McBurney.

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada kasus hasil pemeriksaan penunjang yang diperoleh adalah
peningkatan sel darah putih (WBC = 12.400). Pada USG abdomen ditemukan
gambaran appendicitis dengan infiltrat disekitarnya pada area Mc. Burney.
Pada kasus juga dilakukan pemeriksaan urine lengkapdan didapatkan hasil
dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ditemukan pada pasien
dengan apendisitis akut sesuai dengan teori antara lain adalah pemeriksaan
jumlah leukosit. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada

kasus dengan komplikasi. Leukosit yang tinggi (>20.000/mL) dapat


menandakan terdapatnya komplikasi apendisitis, bisa berupa ganggren ataupun
perforasi. Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan pyelonefritis atau
nefrolitiasis.
Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk pasien dengan suspected
appendicitis. Beberapa pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan antara
lain adalah foto polos abdomen, ultrasonografi, dan CT Scan. Foto polos
abdomen jarang berguna untuk mendiagnosa apendisitis akut. Foto polos
abdomen berperan penting dalam menyingkirkan keadaan patologi lainnya.
Pada pasien dengan nyeri abdomen, ultrasonography memiliki sensitifitas
sekitar 85% dan spesifitas lebih dari 90% dalam mendiagnosa apendisitis
akut. Temuan sonografi yang konsisten dengan apendisitis akut antara lain
ukuran appendiks 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, dinding
yang tebal, struktur lumen yang tidak tertekan dapat dilihat pada cross section
26
yang dikenal sebagai target lesion, atau tampaknya appendicolith. CT scan
sering dipakai untuk mengevaluasi pasien dewasa dengan dugaan apendisitis
akut.
Temuan pemeriksaan penunjang pada kasus sesuai dengan teori.

4.4 Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan pada kasus adalah melakukan appendektomi
(insisi Mc. Burney) CITO dan memberikan antibiotik profilaksis sebelum
operasi yaitu Cefotaxim 2 gram (IV). Pasien diinfus dengan cairan ringer
laktat 20 tetes makro.
Berdasarkan teori, bila diagnosis klinis apendisitis akut sudah jelas,
tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah
apendektomi. Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan
laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak
dipilih oleh ahli bedah. Sebelum pembedahan dimulai, dilakukan beberapa
persiapan berupa melakukan inform consent, dipuasakan sedikitnya 6 jam
sebelum operasi, pemberian antibiotika (spektrum luas), pemasangan infus
sebagai jalur intravena, serta pemberian premedikasi anestesi.
Penatalaksanaan pada kasus sudah sesuai dengan teori

4.5 Prognosis
Prognosis pasien pada kasus adalah bonam. Berdasarkan teori pasien
dengan apendisitis akut yang mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat
akan pulih dan dapat beraktivitas dengan normal setelahnya.

27
BAB V
SIMPULAN

1. Apendisitis adalah salah satu kegawatdaruratan dalam bidang bedah yang


cukup sering terjadi.
2. Diagnosis apendisitis akut ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang berupa pemeriksaan
darah lengkap dan pemeriksaan radiologi dapat dikerjakan apabila
diagnosis apendisitis masih meragukan.
3. Untuk meminimalkan kesalahan diagnosa apendisitis, kita dapat melakukan
sistem skoring yang dikenal dengan Alvarado Score
4. Bila diagnosis klinis apendisitis akut sudah jelas, tindakan paling tepat dan
merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi
5. Dignosis yang tepat dan kecepatan intervensi pada apendisitis akut dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas secara signifikan.

28
DAFTAR
PUSTAKA

1. Hortic, matiza. 2005. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute


Appendicitis in Women. Coll. Antropol. 29 (2005) 1: 133–138
2. Sjamsuhidajat R, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 755-762.
3. Henry, Michael M, et al. 2005. The Epidemiology Of Appendicitis And
Appendectomy In The United States diakses 12 oktober
2014 http://aje.oxfordjournals.org/content/132/5/910
4. Maa J, Kirkwood KS. 2012. The Appendix, dalam : Sabiston Textbook
th
of Surgery. 19 edition. New York : Elsevier. Hlm. 1279-1293.
5.
6. Brunicardi CF, et al. 2010. The Appendix, dalam: Schwartz‟s Manual of
Surgery. Ninth Edition. New York : McGrawHill. Hlm. 2043-2071.
7. Memisoglu et al. 2010. The value of preoperative diagnostic tests in
acute appendicitis, retrospective analysis of 196 patients. Retrieved
November 1, 2013, from: World Journal of Emergency
Surgery. http://www.wjes.org/content/5/1/5
8. Harrison S, Harrison B. 2012. Diagnostic Challenges in Acute Appendicitis,
Appendicitis. Retrieved November 1, 2013, from: A Collection of
Essays from Around the World, Dr. Anthony Lander (Ed.).
http://www.intechopen.com/books/appendicitis-a-collection-of-essays-from-
around-theworld/ diagnostic-challenges-in-acute-appendicitis
9. Snell, Richard S. 2008. The Abdomen: Part 2 – Abdominal Cavity, dalam:
Clinical Anatomy by Regions. Eight edition. New York : Lippincott
Williams& Wilkins Inc. Hlm. 23
10. Koesoemawati H, dkk. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm. 143.
11. Standring S, et al. 2005. Abdomen: Regional Anatomy, dalam :
Gray‟s Anatomy : The Anatomical Basis of Clinical Practice. Thirty-Ninth
Edition. New York : Elsevier. Hlm. 280-283
12. Tamanna et al. 2012. Alvarado Score In Diagnosis Of Acute
Appendicitis. Retrieved December 1, 2013, from: International Journal
of Basic and Applied Medical Sciences. http://www.cibtech.org/jms.htm
13. Thompson, Graham. 2012. Clinical Scoring Systems in the Management
of Suspected Appendicitis in Children, Appendicitis - A Collection of Essays
from Around the World, Dr. Anthony Lander (Ed.), ISBN: 978-953-307-
814-4

29

Anda mungkin juga menyukai