PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otitis media supuratif kronik adalah suatu radang kronis telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga
(ottorhea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. (Soepardi, 2007).
Jenis otitis media supuratif kronis dapat terbagi 2 jenis, yaitu OMSK tipe
benigna dan OMSK tipe maligna. Otitis media merupakan masalah utama
sebelum antibiotik ditemukan pada pertengahan 1930-an dan sampai sekarang
masalah otitis media masih sering muncul di negara kita (Paparella MM, 1994).
Para peneliti mendapat persentase yang berbeda mengenai jenis bakteri pada
OMSK. Adenin Adenan (1973) mendapatkan Proteus sp sebagai kuman yang
dominan (48%) dan perbandingan kuman gram negatif dan positif adalah 3 : 1.
Brook (1979) dan Palca (1965) mengatakan bakteri aerob yang sering dijumpai
pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp, Stafilokokus. Finegald
(1981) menemukan kuman aerob yang dominan adalah Pseudomonas aeruginosa
(36 dari 68 penderita) sedangkan Proteus sp hanya 7 dari 68 penderita (Nursiah,
2003).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis
media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi
kuman yang tinggi, daya tahan tubuh yang rendah (gizi buruk) atau hygiene
buruk. (Djaafar ZA, 2007).
Gejala otitis media supuratif kronis antara lain otorrhoe yang bersifat purulen
atau mukoid, terjadi gangguan pendengaran, otalgia, tinitus, rasa penuh di telinga
dan vertigo. OMSK dapat menyebabkan gangguan pendengaran sehingga
menimbulkan dampak yang serius terutama bagi anak-anak, karena dapat
menimbulkan pengaruh jangka panjang pada komunikasi anak, perkembangan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga tersebut lebih dari tiga
bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental,
bening atau berupa nanah (World Health Organization 2004; Helmi 2005; Chole
& Nason 2009).
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang dilapisi oleh stratified squamosa
epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang terperangkap dalam
rongga timpanomastoid, tetapi dapat juga terperangkap pada bagian manapun dari
tulang temporal yang berpneumatisasi (Helmi 2005; Meyer, Strunk & Lambert
2006; Chole & Nason 2009).
2.2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul
dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai
tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus, terdiri dari membran
timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosesus mastoid (Helmi 2005).
2.2.1. Membran Timpani
Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, pars flaksida yang merupakan
bagian atas dan pars tensa yang merupakan bagian bawah. Membran ini terdiri
atas tiga lapis, yaitu lapisan luar, tengah dan dalam. Lapisan luar merupakan kulit
terusan dari kulit yang melapisi dinding liang telinga. Lapisan tengah merupakan
jaringan ikat yang terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan radier dan lapisan sirkuler.
Lapisan dalam merupakan bagian dari lapisan mukosa kavum timpani. Membran
Gambar 2.2. Rongga Prussak atau resesus membran timpani anterior sebagai
permulaan terjadinya kolesteatoma primer (Dahnert 2007).
eustachius
adalah
suatu
saluran
yang
menghubungkan
yang letaknya saling berdesakan dan bervariasi (Gambar 2.3). Daerah temporal
terdiri atas unsur jaringan lunak dan tulang, yaitu seluruh telinga luar dan telinga
tengah, kokhlea, labirin, perjalanan nervus fasialis, arteri karotis, vena jugularis
dan sigmoid (Helmi 2005).
Jaringan lunak di luar tulang temporal termasuk daun telinga, retro
aurikula, kulit liang telinga dan membran timpani. Jaringan lunak di daerah
temporoparietal dari luar ke dalam adalah kulit dan jaringan subkutis. Di sebelah
dalamnya dan melekat erat dengan subkutis adalah fasia temporoparietal, sering
disebut juga fasia temporalis superfisialis. Di bawah fasia ini terletak jaringan
areolar longgar dan relatif avaskuler yang memisahkan fasia temporoparietal
dengan fasia muskulus temporalis profunda. Fasia muskulus temporalis profunda
membelah dua di sekitar linea temporalis untuk membungkus jaringan lemak.
Pendarahan di daerah ini diurus oleh cabang-cabang arteri temporalis berupa arteri
temporalis superfisialis (Helmi 2005).
Arteri temporalis superfisialis muncul dari jaringan kelenjar parotis dan
memberi cabang arteri temporalis media yang berjalan ke daerah pre aurikula.
Arteri aurikularis posterior merupakan arteri yang relatif kecil cabang dari arteri
karotis eksterna. Arteri ini melepas tiga cabang penting, yaitu arteri
stilomastoideus, cabang aurikularis dan cabang oksipital
(Helmi 2005).
Persarafan sensoris daerah temporoparietal diurus oleh saraf aurikulotemporal,
saraf sensoris dari nervus mandibularis yang terletak posterior terhadap arteri
temporalis superfisialis di dalam fasia temporoparietal. Nervus fasialis, yang
merupakan persarafan motoric daerah muka, juga lewat di dalam fasia
temporoparietal. Cabang frontal nervus fasialis berjalan oblik persis di luar arkus
zigomatikus (Helmi 2005).
Gambar 2.3. Spina supra meatum Henle merupakan bagian penting pada regio
temporal (Meyer, Strunk & Lambert 2006).
Kekerapan
Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal
definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban
dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang dengan telinga berair, 60% di
antaranya (39-200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan (World
Health Organization 2004). Vikram et al. (2008) melaporkan, dijumpai 17,43%
penderita otitis media kronis dari 7.210 orang yang berobat ke klinik THT di India
sejak Juli 2003 hingga Desember 2005. Pada 187 penderita dijumpai
kolesteatoma, dimana 62 diantaranya mengalami komplikasi. Penelitian
restrospektif selama sepuluh tahun di Departemen THT-KL Universitas Ain
Shams Kairo menemukan 28,24% kasus kolesteatoma dari 3.364 penderita
OMSK, 12,54% diantaranya dengan komplikasi (Mostafa, El Fiky & El
Sharnouby 2008).
Prahlada (1995) melaporkan pada penelitian yang dilakukan selama 18
bulan terhadap 25 penderita OMSK dengan kolesteatoma usia kurang dari 14
tahun di Rumah Sakit Nehru Chandigarh, India. Pada penelitian ini, setiap
penderita menjalani pemeriksaan klinis dan mikroskopis sebelum operasi mastoid.
Gejala klinis terbanyak adalah telinga berair (100%) diikuti penurunan
pendengaran, tinnitus dan vertigo. Lamanya keluhan berkisar 0-3 tahun (32%).
Tanda
klinis
tersering
adalah
perforasi
posterosuperior
(48%)
disertai
Etiologi
Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba eustachius (misalnya
rinosinusitis, adenoid hipertrofi, atau karsinoma nasofaring), imunodefisiensi
(primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali midfasial kongenital (cleft
palate atau Down syndrome), dan refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang
menonjol pada OMSK adalah infeksi otitis media yang berulang dan orang tua
dengan riwayat otitis media kronis dengan perawatan yang tidak baik (World
Health Organization 2004; Ramakrishnan, Kotecha & Bowdler 2007; Bhat et al.
2009; Chole & Nason 2009).
Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk melalui liang telinga
luar dengan perforasi membran timpani ataupun melalui nasofaring, dimana
Streptococcus pneumoniae merupakan yang terbanyak dijumpai pada otitis media
akut. Pada isolasi dari otitis media kronis, kuman aerobik dan anaerobik juga
terlibat pada sebahagian kasus. Kuman aerob yang sering dijumpai adalah
Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus aureus dan basil gram negatif seperti
Escherichia coli, Proteus species, dan Klebsiella spesies. Kuman anaerobik
seperti Bacteroides sp. dan Fusobacterium sp. (World Health Organization 2004;
Chole & Nason 2009).
Selanjutnya jamur dapat pula dijumpai pada otitis media kronis khususnya
Aspergillus sp. dan Candida sp., dan ini merupakan suatu pertimbangan dimana
jamur mungkin dapat tumbuh berlebihan setelah pemakaian obat tetes antibiotika
(Chloe & Nason, 2009).
2.6.
Patogenesis
OMSK
dengan
kolesteatoma
bersifat
progresif,
dimana kolesteatoma
yang semakin luas bisa mendestruksi tulang yang dilaluinya. Infeksi sekunder
dapat menyebabkan nekrosis septik di jaringan lunak yang dilalui kolesteatoma
dan mengancam bisa terjadinya komplikasi, berupa komplikasi intratemporal dan
intrakranial. Glasscock dan Shambaugh membagi tipe invasi tulang menjadi tiga
golongan yaitu (Gopen 2010):
1. Tipe invasi tulang yang dimulai dengan invaginasi pars flaksida, sehingga
terbentuk kantong kecil di atik, kemudian terisi kolesteatoma (primary
acquired cholesteatoma).
2. Tipe invasi tulang dengan perforasi marginal atau total membran timpani
karena invasi epidermis dan berisi kolesteatoma (secondary acquired
cholesteatoma).
3. Tipe invasi tulang dengan osteomielitis kronis atau skuestrum
(chronic osteitis).
Patogenesis congenital cholesteatoma masih belum diketahui secara pasti
dan masih menjadi perdebatan. Ada beberapa teori patogenesis congenital
cholesteatoma (Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009):
1. Teori migrasi
Anulus timpanikus mempunyai peranan yang penting dalam mengatur
proliferasi dan migrasi dari kulit liang telinga selama masa perkembangan
janin. Hilangnya jaringan ikat dari anulus timpanikus menyebabkan
lapisan ektodermal bermigrasi dari liang telinga ke telinga tengah dan
membentuk kolesteatoma.
2. Teori kontaminasi cairan amnion
Kolesteatoma berkembang dari inokulasi telinga tengah dengan sel-sel
epidermal yang ada di cairan amnion, yang memasuki anterosuperior
yang
disebabkan
oleh
disfungsi
tuba
eustachius
dapat
osteoklas dari sel-sel prekursor dikontrol oleh dua esensial sitokin yaitu Receptor
Activator of Nuclear Factor B Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony
Stimulating Factor
(M-CSF). Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang.
Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting
terhadap fenomena ini (Chole & Nason 2009)
2.7.
Histologi
Berdasarkan histologi, kombinasi dari material keratin dan stratified
Klasifikasi
OMSK
dapat
dibagi
dalam
kasus-kasus
tanpa
atau
dengan
1. Congenital cholesteatoma
Dua pertiga kolesteatoma kongenital di telinga tengah terlihat sebagai
massa putih di kuadran anterosuperior membran timpani, dapat juga
berada di membran timpani dan di apeks petrosa.
2. Acquired cholesteatoma
Terdapat dua jenis acquired cholesteatoma, yaitu :
a. Primary acquired cholesteatoma
Kolesteatoma yang diakibatkan karena retraksi pars flaksida, disebut juga
retraction pocket cholesteatoma.
b. Secondary acquired cholesteatoma
Kolesteatoma yang muncul karena adanya perforasi membran timpani,
biasanya pada kuadran posterosuperior membran timpani.
2.9.
cukup
besar atau total, mukosa telinga tengah dan sebagian tulang pendengaran
bisa dinilai.
2. Retraction pocket
Invaginasi membran timpani terlihat di daerah atik atau posterosuperior.
Tanda ini mudah terlihat dibawah pemeriksaan mikroskop.
3. Kolesteatoma
Setelah pembersihan dengan suction dan pemeriksaan di bawah
mikroskop, tanda ini merupakan bagian penting dari pemeriksaan klinis
dan penilaian jenis OMSK.
4. Jaringan granulasi atau polip
Tanda ini terjadi akibat inflamasi mukosa telinga tengah, kadang-kadang
meluas hingga ke liang telinga.
Menurut Djaafar (2007), tanda-tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah:
1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler.
2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal
dari dalam telinga tengah.
3. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpanum.
4. Sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma).
5. Terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.
2.10.
Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakkan dengan cara (Kimitsuki et al. 2001; Migirov
2003; Dhingra 2007; Lee, Hong, Park & Jung 2007; Trojanowska et al. 2007;
Chole & Nason 2009):
1. Anamnesis
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita
seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap.
Gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga berair dan berbau
busuk. Jika terdapat jaringan granulasi atau polip, sekret yang keluar bisa
bercampur dengan darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan
gangguan pendengaran, sakit kepala, hoyong, bengkak ataupun lubang di
belakang telinga, dan mulut mencong.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukkan adanya dan letak perforasi. Dari
perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai
hantaran tulang dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan
pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.
4. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional seperti foto polos proyeksi Schller berguna
untuk menilai kasus kolesteatoma. Pemeriksaan CT Scan lebih efektif
menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma. CT
Scan merupakan pemeriksaan penting sebelum operasi pada setiap kasus
infeksi telinga tengah dengan komplikasi. MRI lebih baik daripada CT
Scan dalam menunjukkan kolesteatoma, namun kurang memberikan
informasi tentang keadaan pertulangan.
5. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan
antibiotika yang tepat.
2.11.
Komplikasi
Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma dapat berupa (Neely & Arts
1. Komplikasi kranial
a. Mastoiditis
b. Paralisis nervus fasialis
c. Abses subperiosteal
d. Petrositis
e. Labirinitis
f. Fistula labirin
g. Kebocoran cairan serebrospinal/ensefalokel
2. Komplikasi intrakranial
a. Meningitis
b. Tromboflebilitis sinus lateralis
c. Abses epidural
d. Empiema subdural
e. Abses otak
f. Hidrosefalus otitis
2.12.
Penatalaksanaan
Prinsip terapi OMSK dengan kolesteatoma adalah pembedahan.
sehingga
terdapat
kesulitan
dalam
usaha
memperbaiki
pendengaran penderita namun dengan teknik ini dapat dicapai suatu safe
ear. Untuk kasus kolesteatoma yang lebih lanjut dengan perluasan yang
hebat, mastoidektomi radikal perlu dipertimbangkan tanpa melihat
kemungkinan
mempertahankan
fungsi
pendengaran
(Helmi
2005;
memiliki nilai penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan
piramid tulang petrosus. Dengan pemeriksaan ini dapat dinilai besar dan perluasan
suatu lesi yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari
lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal. Sedangkan untuk proses yang kecil agak
sukar dideteksi, kecuali dengan menggunakan pemeriksaan tomografi (Makes
2005).
Untuk selalu mendapatkan hasil pemeriksaan yang memuaskan, dipakai
unit untuk kepala karena kelenturan yang didapatkan pada alat ini. Bagian atas
meja pemeriksaan harus sempit, supaya bahu pasien dibawahnya berada dalam
posisi tegak selama pemeriksaan, sehingga kepala lebih dekat ke film. Bagian atas
meja pemeriksaan yang transparan memudahkan fokus daerah yang akan
diperiksa, dengan melihat tempat masuk dan keluarnya pusat pancaran sinar X.
Unit itu harus dilengkapi dengan sebuah tabung yang memiliki titik fokus yang
kecil (0,3 milimeter) dengan maksud menambah ketajaman (Valvassori 1997).
Ukuran sinar haruslah sesempit mungkin untuk daerah yang akan diteliti,
dengan demikian mengurangi sinar yang menyebar, yang bisa membuat film
berkabut sehingga kurang tajam. Dengan memakai sinar yang sempit diperlukan
posisi kepala pasien dan pengarahan sinar yang tepat. Hal ini dapat terlaksana
apabila ahli radiologi memahami anatomi dasar dari daerah yang akan diperiksa
(Valvassori 1997).
Proyeksi tertentu sangat diperlukan untuk memeriksa tulang temporal.
Tiap proyeksi mempunyai kegunaan khusus untuk memperlihatkan satu atau lebih
struktur yang dapat terlihat pada sumbu yang tepat dan tidak diragukan oleh
bayangan struktur yang menutupinya.
Berbagai proyeksi didapatkan dengan memutar kepala pasien atau mengganti arah
pusat sinar X. Seleksi proyeksi berdasarkan pada dua prinsip dasar radiografi,
yaitu (Valvassori 1997):
1. Struktur yang dekat dengan film lebih tajam dan tidak banyak diperbesar
daripada yang jauh dari film. Karena itu sisi yang akan diperiksa harus
interna, melainkan karena perpanjangan medial bibir atas dan bawah dari porus
(pintu) kanalis dan lekuk yang terbentuk. Sebelah lateral dari kanalis akustikus
interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis superior maupun horizontal yang
radiolusen biasanya dapat terlihat. Lingkaran koklea bagian apikal dan medial
terhimpit dengan bagian lateral kanalis akustikus interna, sedangkan lengkungan
basiler tampak dibawahnya, demikian juga dengan vestibulum (Mafee &
Valvassori 2009).
Gambar 2.7. Posisi penderita pada proyeksi transorbital, sinar X diarahkan tegak
lurus pada film (Yong 2001).
2.14.
2.16.
BAB 3
KERANGKA TEORI
FAKTOR RISIKO
UMUR
Alergi
Sosial ekonomi/imunodefisiensi
PEKERJAAN
JENIS KELAMIN
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN OTOSKOPI
PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
TANPA KOLESTEATOMA
DENGAN KOLESTEATOMA
PEMBEDAHAN
BAB 4
RINGKASAN