Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otitis media supuratif kronik adalah suatu radang kronis telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga
(ottorhea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. (Soepardi, 2007).
Jenis otitis media supuratif kronis dapat terbagi 2 jenis, yaitu OMSK tipe
benigna dan OMSK tipe maligna. Otitis media merupakan masalah utama
sebelum antibiotik ditemukan pada pertengahan 1930-an dan sampai sekarang
masalah otitis media masih sering muncul di negara kita (Paparella MM, 1994).
Para peneliti mendapat persentase yang berbeda mengenai jenis bakteri pada
OMSK. Adenin Adenan (1973) mendapatkan Proteus sp sebagai kuman yang
dominan (48%) dan perbandingan kuman gram negatif dan positif adalah 3 : 1.
Brook (1979) dan Palca (1965) mengatakan bakteri aerob yang sering dijumpai
pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp, Stafilokokus. Finegald
(1981) menemukan kuman aerob yang dominan adalah Pseudomonas aeruginosa
(36 dari 68 penderita) sedangkan Proteus sp hanya 7 dari 68 penderita (Nursiah,
2003).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis
media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi
kuman yang tinggi, daya tahan tubuh yang rendah (gizi buruk) atau hygiene
buruk. (Djaafar ZA, 2007).
Gejala otitis media supuratif kronis antara lain otorrhoe yang bersifat purulen
atau mukoid, terjadi gangguan pendengaran, otalgia, tinitus, rasa penuh di telinga
dan vertigo. OMSK dapat menyebabkan gangguan pendengaran sehingga
menimbulkan dampak yang serius terutama bagi anak-anak, karena dapat
menimbulkan pengaruh jangka panjang pada komunikasi anak, perkembangan

bahasa, proses pendengaran, psikososial dan perkembangan kognitif serta


kemajuan pendidikan. Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering
terlihatpada eksaserbasi akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom seperti
abses ekstradural, abses subdural, tromboflebitis, meningitis, abses otak dan
hidrosefalus otitis (Djaafar ZA, 2007; Helmi, 2005)
Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan penyakit infeksi telinga
yang memiliki prevalensi tinggi dan menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Di
negara berkembang dan negara maju prevalensi OMSK berkisar antara 1-46%,
dengan prevalensi tertinggi terjadi pada populasi di Eskimo (12-46%), sedangkan
prevalensi terendah terdapat pada populasi di Amerika dan Inggris kurang dari
1%. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran,
Depkes tahun 1993-1996 prevalensi OMSK adalah 3,1% populasi. Usia terbanyak
penderita infeksi telinga tengah adalah usia 7-18 tahun, dan penyakit telinga
tengah terbanyak adalah OMSK.( Soetjipto D, 2007; Boesoirie S, 2007)
Dari survei pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan insiden
Otitis Media Supuratif Kronik (atau yang oleh orang awam dikenal sebagai
"congek") sebesar 3% dari penduduk Indonesia. Dengan kata lain dari 220 juta
penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 6,6 juta penderita OMSK.( Abes T G,
2001)
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan tugas refrat ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Otitis Media Supuratif Kronis
2. Untuk mengetahui gambaran radiologi Otitis Media Supuratif kronis
1.3 Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca agar
dapat mengetahui pengertian dan gambaran radiologi penyakit otitis media
supuratif kronis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga tersebut lebih dari tiga
bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental,
bening atau berupa nanah (World Health Organization 2004; Helmi 2005; Chole
& Nason 2009).
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang dilapisi oleh stratified squamosa
epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang terperangkap dalam
rongga timpanomastoid, tetapi dapat juga terperangkap pada bagian manapun dari
tulang temporal yang berpneumatisasi (Helmi 2005; Meyer, Strunk & Lambert
2006; Chole & Nason 2009).
2.2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul
dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai
tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus, terdiri dari membran
timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosesus mastoid (Helmi 2005).
2.2.1. Membran Timpani
Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, pars flaksida yang merupakan
bagian atas dan pars tensa yang merupakan bagian bawah. Membran ini terdiri
atas tiga lapis, yaitu lapisan luar, tengah dan dalam. Lapisan luar merupakan kulit
terusan dari kulit yang melapisi dinding liang telinga. Lapisan tengah merupakan
jaringan ikat yang terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan radier dan lapisan sirkuler.
Lapisan dalam merupakan bagian dari lapisan mukosa kavum timpani. Membran

timpani merupakan struktur yang terus tumbuh yang memungkinkannya menutup


bila ada perforasi (Helmi 2005; Gacek 2009).

2.2.2. Kavum Timpani


Kavum timpani merupakan rongga yang dibatasi di sebelah lateral oleh membran
timpani, di sebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh tegmen
timpani dan inferior oleh selapis tulang yang membatasinya dengan bulbus
jugularis (Gambar 2.1). Kavum timpani terutama berisi udara yang mempunyai
ventilasi ke nasofaring melalui tuba eustachius. Menurut ketinggian batas superior
dan inferior membran timpani, kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
epitimpanum, mesotimpanum dan hipotimpanum. Di dalam kavum timpani
terdapat tiga buah tulang pendengaran, yaitu maleus, inkus dan stapes yang
menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale. Selain itu terdapat juga
korda timpani, muskulus tensor timpani dan ligamentum muskulus stapedius
(Helmi 2005; Gacek 2009).

Gambar 2.1. Organ-organ penting di sekitar kavum timpani (Helmi 2005).

Skutum merupakan lempeng tulang yang membatasi epitimpanum dengan


sel mastoid. Ujung bawahnya adalah bagian atas dari tonjolan tulang tempat
membran timpani melekat. Skutum relatif cepat tererosi oleh kolesteatoma (Helmi
2005).
Pada telinga tengah dijumpai resesus membran timpani anterior yang
disebut juga rongga Prussak (Gambar 2.2). Rongga ini dibatasi di sebelah lateral
oleh pars flaksida, di sebelah superior oleh skutum dan ligamentum maleus
lateralis, di sebelah inferior oleh prosesus brevis maleus, dan di sebelah medial
oleh leher maleus. Kolesteatoma primer biasanya dimulai di daerah ini. Telinga
tengah dilapisi oleh mukosa tipis yang terutama berepitel kuboid tak bersilia
melapisi periosteum, termasuk tulang-tulang pendengaran dan ligamen-ligamen
(Helmi 2005).

Gambar 2.2. Rongga Prussak atau resesus membran timpani anterior sebagai
permulaan terjadinya kolesteatoma primer (Dahnert 2007).

2.2.3. Tuba Eustachius


Tuba

eustachius

adalah

suatu

saluran

yang

menghubungkan

nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap proses


pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta mempertahankan tekanan
yang normal antara telinga tengah dan atmosfir. Kestabilannya oleh karena
adanya konstraksi muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli
palatini pada saat mengunyah dan menguap. Tiga perempat medial merupakan
tulang rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, jaringan adiposa, dan epitel
saluran nafas (Helmi 2005; Gacek 2009).

2.2.4. Prosesus Mastoid


Prosesus mastoid merupakan suatu tonjolan di bagian bawah tulang
temporal yang dibentuk oleh prosesus zigomatikus di bagian anterior dan
lateralnya serta pars petrosa tulang temporal di bagian ujung dan posteriornya
(Helmi 2005).
Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainase-nya
menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik,
diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh proses mastoid terisi
oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali,
sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang. Sel mastoid dapat
meluas ke daerah sekitarnya, sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa
tulang temporal (Helmi 2005; Gacek 2009).
Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang
terletak persis di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran yang
menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura merupakan bagian
tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya yang membatasi
rongga mastoid dengan duramater, sedangkan yang membatasi rongga mastoid
dengan sinus lateralis disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan
dengan

membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian superior


inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus
(Helmi 2005).
2.2.

Anatomi Regio Temporal


Regio temporal merupakan rongga sempit dipenuhi oleh berbagai struktur

yang letaknya saling berdesakan dan bervariasi (Gambar 2.3). Daerah temporal
terdiri atas unsur jaringan lunak dan tulang, yaitu seluruh telinga luar dan telinga
tengah, kokhlea, labirin, perjalanan nervus fasialis, arteri karotis, vena jugularis
dan sigmoid (Helmi 2005).
Jaringan lunak di luar tulang temporal termasuk daun telinga, retro
aurikula, kulit liang telinga dan membran timpani. Jaringan lunak di daerah
temporoparietal dari luar ke dalam adalah kulit dan jaringan subkutis. Di sebelah
dalamnya dan melekat erat dengan subkutis adalah fasia temporoparietal, sering
disebut juga fasia temporalis superfisialis. Di bawah fasia ini terletak jaringan
areolar longgar dan relatif avaskuler yang memisahkan fasia temporoparietal
dengan fasia muskulus temporalis profunda. Fasia muskulus temporalis profunda
membelah dua di sekitar linea temporalis untuk membungkus jaringan lemak.
Pendarahan di daerah ini diurus oleh cabang-cabang arteri temporalis berupa arteri
temporalis superfisialis (Helmi 2005).
Arteri temporalis superfisialis muncul dari jaringan kelenjar parotis dan
memberi cabang arteri temporalis media yang berjalan ke daerah pre aurikula.
Arteri aurikularis posterior merupakan arteri yang relatif kecil cabang dari arteri
karotis eksterna. Arteri ini melepas tiga cabang penting, yaitu arteri
stilomastoideus, cabang aurikularis dan cabang oksipital
(Helmi 2005).
Persarafan sensoris daerah temporoparietal diurus oleh saraf aurikulotemporal,
saraf sensoris dari nervus mandibularis yang terletak posterior terhadap arteri
temporalis superfisialis di dalam fasia temporoparietal. Nervus fasialis, yang
merupakan persarafan motoric daerah muka, juga lewat di dalam fasia

temporoparietal. Cabang frontal nervus fasialis berjalan oblik persis di luar arkus
zigomatikus (Helmi 2005).

Gambar 2.3. Spina supra meatum Henle merupakan bagian penting pada regio
temporal (Meyer, Strunk & Lambert 2006).

Prosesus zigomatikus ke medial membentuk dinding posterior fossa


mandibula dan ke posterior melengkung sedikit ke bawah menuju prosesus
mastoid. Bagian itu mempunyai tonjolan yang disebut spina supra meatum Henle
yang terletak pada fossa mastoidea sedikit di belakang atas liang telinga. Pada
bagian ini juga terletak segitiga imajiner
MacEwen yang berbatas ke superior pada linea temporalis, ke anterior pada tepi
posterior liang telinga dan ke posterior dengan garis imajiner yang tegak lurus
pada linea temporalis dan menyinggung dinding paling posterior liang telinga
(Helmi 2005).
2.4.

Kekerapan

Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal
definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban
dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang dengan telinga berair, 60% di
antaranya (39-200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan (World
Health Organization 2004). Vikram et al. (2008) melaporkan, dijumpai 17,43%

penderita otitis media kronis dari 7.210 orang yang berobat ke klinik THT di India
sejak Juli 2003 hingga Desember 2005. Pada 187 penderita dijumpai
kolesteatoma, dimana 62 diantaranya mengalami komplikasi. Penelitian
restrospektif selama sepuluh tahun di Departemen THT-KL Universitas Ain
Shams Kairo menemukan 28,24% kasus kolesteatoma dari 3.364 penderita
OMSK, 12,54% diantaranya dengan komplikasi (Mostafa, El Fiky & El
Sharnouby 2008).
Prahlada (1995) melaporkan pada penelitian yang dilakukan selama 18
bulan terhadap 25 penderita OMSK dengan kolesteatoma usia kurang dari 14
tahun di Rumah Sakit Nehru Chandigarh, India. Pada penelitian ini, setiap
penderita menjalani pemeriksaan klinis dan mikroskopis sebelum operasi mastoid.
Gejala klinis terbanyak adalah telinga berair (100%) diikuti penurunan
pendengaran, tinnitus dan vertigo. Lamanya keluhan berkisar 0-3 tahun (32%).
Tanda

klinis

tersering

adalah

perforasi

posterosuperior

(48%)

disertai

kolesteatoma. Semua penderita menjalani pemeriksaan radiologi konvensional


(proyeksi Law) dan CT Scan. Dilaporkan HRCT 95% sensitif dan 75% spesifik
dalam menentukan kolesteatoma, namun tidak dapat membedakan kolesteatoma
dengan jaringan granulasi. Pemeriksaan ini 88% sensitif dan 97% spesifik dalam
menilai destruksi tulang-tulang pendengaran, 100% sensitif dan 94% spesifik
dalam menentukan erosi kanalis semisirkularis lateral, serta 100% sensitif dan
spesifik dalam menilai destruksi lempeng sinus.
Prata et al. (2011) melaporkan, dijumpai 40,24% kolesteatoma dari 82
telinga yang dilakukan mastoidektomi di Brazil sejak Februari 2007 hingga
September 2008. CT Scan dilaporkan 72,73% sensitif dalam identifikasi
kolesteatoma, 56,67% identifikasi perubahan tulang pendengaran, dan 100% pada
erosi kanalis semisirkularis lateral Hal yang serupa dilaporkan Santosh et al.
(2011) pada penelitian terhadap 30 penderita yang menjalani operasi
mastoidektomi di RS. Bapuji, India. Preoperatif, setiap penderita diperiksa
radiografi konvensional (proyeksi Law) dan tomografi. Hasilnya, 86,6% penderita
secara akurat didiagnosis kolesteatoma dan sesuai dengan temuan operasi.

Menurut survei yang dilakukan pada tujuh propinsi di Indonesia pada


tahun 1996 ditemukan prevalensi OMSK sebesar 3,8% dari penduduk Indonesia
(Kelompok Studi Otologi PERHATIKL 2002). Restuti (2010) melaporkan 217
kasus OMSK dengan kolesteatoma di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta periode
Januari 2004-Desember 2009, terdiri dari 157 (72,35%) penderita dewasa dan 60
(27,65%) penderita anak-anak. Gustomo (2010) di RS dr. Moewardi Surakarta
melaporkan 21,13% kasus OMSK dengan kolesteatoma dari 653 kasus OMSK
pada periode Januari 2007-Desember 2009, paling banyak terjadi pada usia 31-40
tahun.
2.5.

Etiologi

Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba eustachius (misalnya
rinosinusitis, adenoid hipertrofi, atau karsinoma nasofaring), imunodefisiensi
(primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali midfasial kongenital (cleft
palate atau Down syndrome), dan refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang
menonjol pada OMSK adalah infeksi otitis media yang berulang dan orang tua
dengan riwayat otitis media kronis dengan perawatan yang tidak baik (World
Health Organization 2004; Ramakrishnan, Kotecha & Bowdler 2007; Bhat et al.
2009; Chole & Nason 2009).
Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk melalui liang telinga
luar dengan perforasi membran timpani ataupun melalui nasofaring, dimana
Streptococcus pneumoniae merupakan yang terbanyak dijumpai pada otitis media
akut. Pada isolasi dari otitis media kronis, kuman aerobik dan anaerobik juga
terlibat pada sebahagian kasus. Kuman aerob yang sering dijumpai adalah
Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus aureus dan basil gram negatif seperti
Escherichia coli, Proteus species, dan Klebsiella spesies. Kuman anaerobik
seperti Bacteroides sp. dan Fusobacterium sp. (World Health Organization 2004;
Chole & Nason 2009).
Selanjutnya jamur dapat pula dijumpai pada otitis media kronis khususnya
Aspergillus sp. dan Candida sp., dan ini merupakan suatu pertimbangan dimana
jamur mungkin dapat tumbuh berlebihan setelah pemakaian obat tetes antibiotika
(Chloe & Nason, 2009).

2.6.

Patogenesis

OMSK

dengan

kolesteatoma

bersifat

progresif,

dimana kolesteatoma

yang semakin luas bisa mendestruksi tulang yang dilaluinya. Infeksi sekunder
dapat menyebabkan nekrosis septik di jaringan lunak yang dilalui kolesteatoma
dan mengancam bisa terjadinya komplikasi, berupa komplikasi intratemporal dan
intrakranial. Glasscock dan Shambaugh membagi tipe invasi tulang menjadi tiga
golongan yaitu (Gopen 2010):
1. Tipe invasi tulang yang dimulai dengan invaginasi pars flaksida, sehingga
terbentuk kantong kecil di atik, kemudian terisi kolesteatoma (primary
acquired cholesteatoma).
2. Tipe invasi tulang dengan perforasi marginal atau total membran timpani
karena invasi epidermis dan berisi kolesteatoma (secondary acquired
cholesteatoma).
3. Tipe invasi tulang dengan osteomielitis kronis atau skuestrum
(chronic osteitis).
Patogenesis congenital cholesteatoma masih belum diketahui secara pasti
dan masih menjadi perdebatan. Ada beberapa teori patogenesis congenital
cholesteatoma (Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009):
1. Teori migrasi
Anulus timpanikus mempunyai peranan yang penting dalam mengatur
proliferasi dan migrasi dari kulit liang telinga selama masa perkembangan
janin. Hilangnya jaringan ikat dari anulus timpanikus menyebabkan
lapisan ektodermal bermigrasi dari liang telinga ke telinga tengah dan
membentuk kolesteatoma.
2. Teori kontaminasi cairan amnion
Kolesteatoma berkembang dari inokulasi telinga tengah dengan sel-sel
epidermal yang ada di cairan amnion, yang memasuki anterosuperior

mesotimpanum melalui tuba eustachius.


3. Teori inklusi
Pada kondisi inflamasi yang berulang, terdapat peningkatan risiko
terjadinya retraksi, perlekatan dan pelepasan membran timpani dari tulangtulang pendengaran. Pada proses pelepasan membran timpani, beberapa sel
dari membran timpani menjadi terperangkap pada kavum timpani dan
membentuk kolesteatoma.
4. Teori pembentukan epidermoid
Penebalan lapisan ektodermal epitel berkembang di dekat ganglion
genikulatum, ke arah medial dari leher maleus. Massa epitel ini segera
mengalami involusi untuk menjadi lapisan telinga tengah yang matur. Jika
gagal mengalami involusi, bentuk ini menjadi sumber dari kolesteatoma
kongenital.
Beberapa teori patogenesis pada acquired cholesteatoma antara lain
(Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009; Prinsley 2009):
1. Primary acquired cholesteatoma a.
a. Teori invaginasi
Invaginasi membran timpani dari atik atau pars tensa regio posterosuperior
membentuk retraction pocket. Kemudian pada tempat ini terbentuk matriks
dari kolesteatoma berupa sel-sel epitel yang tertumpuk pada tempat
tersebut.
b. Teori hiperplasia sel basal
Pada teori ini sel-sel basal pada lapisan germinal pada kulit berproliferasi
akibat dari infeksi sehingga membentuk epitel skuamosa berkeratinisasi.
c. Teori otitis media efusi
Pada anak dengan retraksi di regio atik, tuba eustachius lebih sering
berkonstriksi daripada dilatasi ketika menelan. Tekanan negatif di kavum
timpani

yang

disebabkan

oleh

disfungsi

tuba

eustachius

dapat

menyebabkan retraksi dari pars flaksida dan menyebabkan penumpukan


debris deskuamasi.

2. Secondary acquired cholesteatoma


a. Teori implantasi
Implantasi iatrogenik dari kulit ke telinga tengah atau membran timpani
akibat operasi, benda asing atau trauma ledakan.
b. Teori metaplasia
Infeksi kronis ataupun jaringan inflamasi diketahui dapat mengalami
perubahan metaplasia. Perubahan dari epitel kolumnar menjadi keratinized
stratified squamous epithelium akibat dari otitis media yang kronis atau
rekuren.
c. Teori invasi epitel
Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan
permukaan luar dari membran timpani ke telinga tengah melalui perforasi
marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan
lapisan epitel yang lain. Jika mukosa telinga tengah terganggu karena
inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi membran timpani,
mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum timpani.
Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk. menyatakan bahwa sitokeratin
(CK 10), merupakan intermediate filament protein dan marker untuk epitel
skuamosa, dimana ditemukan matriks kolesteatoma pada epidermis liang
telinga tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal
dipahami sebagai penyebab pertumbuhan epidermal dari pada perforasi
sentral, karena lokasi perforasi marginal membuka keadaan mukosa
telinga tengah dan struktur dinding tulang liang telinga.
Pada kasus otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari tulang hampir
selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini. Konsep
yang bertentangan antara nekrosis akibat tekanan atau sekresi faktor-faktor
proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi
resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan

osteoklas dari sel-sel prekursor dikontrol oleh dua esensial sitokin yaitu Receptor
Activator of Nuclear Factor B Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony
Stimulating Factor
(M-CSF). Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang.
Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting
terhadap fenomena ini (Chole & Nason 2009)
2.7.

Histologi
Berdasarkan histologi, kombinasi dari material keratin dan stratified

squamous epithelium merupakan diagnosis patologik untuk kolesteatoma. Adanya


epitel skuamosa di telinga tengah adalah abnormal. Pada keadaan normal
telinga tengah dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia di bagian anterior dan inferior
kavum timpani serta epitel kuboidal di bagian tengah dari kavum timpani dan di
atik. Tidak seperti yang terdapat pada epidermis kulit, epitel skuamosa ini tidak
mempunyai struktur adneksa. Hal ini mungkin karena letaknya berbatasan dengan
jaringan granulasi atau fibrosa yang mengalami inflamasi, dan juga reaksi giant
cell pada material keratin (Grewal, Hathiram & Saraiya 2007; Caponetti,
Thompson & Pantanowitz 2009; Mills 2009).
2.8.

Klasifikasi
OMSK

dapat

dibagi

dalam

kasus-kasus

tanpa

atau

dengan

kolesteatoma (Lee 2003; Chole & Nason 2009).


Nama lain dari OMSK dengan kolesteatoma adalah jenis atikoantral
karena biasanya proses dimulai di daerah itu; disebut juga jenis tulang karena
penyakit menyebabkan erosi tulang seperti kolesteatoma, granulasi atau osteitis.
Jenis ini melibatkan bagian posterosuperior dari celah telinga tengah dan
berhubungan dengan perforasi marginal. Jenis ini juga dikenal sebagai tipe bahaya
atau maligna (Helmi 2005; Dhingra 2007; Browning et al. 2008).
Kolesteatoma berdasarkan patofisiologinya dapat dibagi menjadi (Meyer,
Strunk & Lambert 2006; Kutz & Friedman 2007; Vikram et al, 2008):

1. Congenital cholesteatoma
Dua pertiga kolesteatoma kongenital di telinga tengah terlihat sebagai
massa putih di kuadran anterosuperior membran timpani, dapat juga
berada di membran timpani dan di apeks petrosa.
2. Acquired cholesteatoma
Terdapat dua jenis acquired cholesteatoma, yaitu :
a. Primary acquired cholesteatoma
Kolesteatoma yang diakibatkan karena retraksi pars flaksida, disebut juga
retraction pocket cholesteatoma.
b. Secondary acquired cholesteatoma
Kolesteatoma yang muncul karena adanya perforasi membran timpani,
biasanya pada kuadran posterosuperior membran timpani.
2.9.

Gejala dan Tanda Klinis

2.9.1. Gejala Klinis (Chole & Nason 2009) 1.


Telinga berair
OMSK mengakibatkan telinga berair dengan sekret yang kental. Jika
disertai dengan kolesteatoma, sekret berbau busuk dan purulen.
2. Gangguan pendengaran
Pendengaran normal ketika rantai tulang pendengaran masih utuh.
Gangguan pendengaran pada OMSK sebagian besar adalah konduktif
namun dapat pula bersifat campuran.
3. Perdarahan
Gejala ini timbul jika terdapat granulasi atau polip dari telinga tengah.
4. Nyeri telinga
Nyeri telinga bisa terjadi akibat komplikasi intrakranial seperti abses di
epidural, subdural maupun otak.
5. Sakit kepala

Gejala ini disebabkan oleh komplikasi intrakranial.


6. Hoyong
Hoyong terjadi jika terdapat fistula labirin.
7. Kelumpuhan wajah
Gejala ini merupakan indikasi erosi kanalis fasialis.
2.9.2. Tanda (Chole & Nason 2009)
1. Perforasi
Dijumpai pada atik atau daerah posterosuperior. Perforasi atik kecil bisa
tidak terlihat disebabkan adanya sekret telinga. Jika perforasi

cukup

besar atau total, mukosa telinga tengah dan sebagian tulang pendengaran
bisa dinilai.
2. Retraction pocket
Invaginasi membran timpani terlihat di daerah atik atau posterosuperior.
Tanda ini mudah terlihat dibawah pemeriksaan mikroskop.
3. Kolesteatoma
Setelah pembersihan dengan suction dan pemeriksaan di bawah
mikroskop, tanda ini merupakan bagian penting dari pemeriksaan klinis
dan penilaian jenis OMSK.
4. Jaringan granulasi atau polip
Tanda ini terjadi akibat inflamasi mukosa telinga tengah, kadang-kadang
meluas hingga ke liang telinga.
Menurut Djaafar (2007), tanda-tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah:
1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler.
2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal
dari dalam telinga tengah.
3. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpanum.
4. Sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma).
5. Terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.
2.10.

Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakkan dengan cara (Kimitsuki et al. 2001; Migirov

2003; Dhingra 2007; Lee, Hong, Park & Jung 2007; Trojanowska et al. 2007;
Chole & Nason 2009):
1. Anamnesis
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita
seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap.
Gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga berair dan berbau
busuk. Jika terdapat jaringan granulasi atau polip, sekret yang keluar bisa
bercampur dengan darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan
gangguan pendengaran, sakit kepala, hoyong, bengkak ataupun lubang di
belakang telinga, dan mulut mencong.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukkan adanya dan letak perforasi. Dari
perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai
hantaran tulang dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan
pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.
4. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional seperti foto polos proyeksi Schller berguna
untuk menilai kasus kolesteatoma. Pemeriksaan CT Scan lebih efektif
menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma. CT
Scan merupakan pemeriksaan penting sebelum operasi pada setiap kasus
infeksi telinga tengah dengan komplikasi. MRI lebih baik daripada CT
Scan dalam menunjukkan kolesteatoma, namun kurang memberikan
informasi tentang keadaan pertulangan.
5. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan
antibiotika yang tepat.
2.11.

Komplikasi
Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma dapat berupa (Neely & Arts

2006; Browning et al. 2008; Friedland, Pensak & Kveton 2009):

1. Komplikasi kranial
a. Mastoiditis
b. Paralisis nervus fasialis
c. Abses subperiosteal
d. Petrositis
e. Labirinitis
f. Fistula labirin
g. Kebocoran cairan serebrospinal/ensefalokel
2. Komplikasi intrakranial
a. Meningitis
b. Tromboflebilitis sinus lateralis
c. Abses epidural
d. Empiema subdural
e. Abses otak
f. Hidrosefalus otitis
2.12.

Penatalaksanaan
Prinsip terapi OMSK dengan kolesteatoma adalah pembedahan.

Ada beberapa prosedur operasi untuk pembedahan kolesteatoma (Helmi


2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).
2.12.1. Atikotomi
Kolesteatoma yang terbatas hanya pada regio atik dapat diangkat dengan
prosedur atikotomi, yang dikenal sebagai epitimpanotomi atau timpanotomi
anterior, dimana kerusakan pada daerah skutum direkonstruksi dengan tandur dari
tulang rawan tragus dan tetap menjaga keutuhan dinding liang telinga serta
tulang-tulang pendengaran (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).
2.12.2. Canal Wall Down Procedures
Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma,
termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum mastoid

berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Merchant,


Rosowski & Shelton 2009).
1. Radical Mastoidectomy: operasi ini ditujukan untuk eradikasi penyakit
sebaik-baiknya. Pada cara ini dilakukan pembersihan total sel-sel mastoid
di sudut sinodura, di daerah segitiga Trautmann, di sekitar kanalis fasialis,
di sekitar liang telinga yaitu prosesus zigomatikus, juga di prosesus
mastoideus sampai ke ujung mastoid. Kemudian membuang inkus dan
maleus, hanya stapes atau sisa stapes yang dipertahankan, sehingga
membentuk kavitas yang merupakan gabungan rongga mastoid, kavum
timpani dan liang telinga. Mukosa kavum timpani juga dibuang
seluruhnya, muara tuba eustachius ditutup dengan tandur jaringan lunak
(Gambar 2.4). Kerugian cara ini adalah kesulitan rekonstruksi membran
timpani,

sehingga

terdapat

kesulitan

dalam

usaha

memperbaiki

pendengaran penderita namun dengan teknik ini dapat dicapai suatu safe
ear. Untuk kasus kolesteatoma yang lebih lanjut dengan perluasan yang
hebat, mastoidektomi radikal perlu dipertimbangkan tanpa melihat
kemungkinan

mempertahankan

fungsi

pendengaran

(Helmi

2005;

Merchant, Rosowski & Shelton 2009).


2. Modified Radical Mastoidectomy: adalah operasi untuk eradikasi penyakit
sehingga epitimpani, antrum mastoid dan liang telinga menjadi satu
rongga yang berhubungan langsung dengan dunia luar melalui meatus
akustikus eksternus. Tindakan ini seperti mastoidektomi radikal, kecuali
tetap mempertahankan osikel dan membran timpani yang ada untuk
mempertahankan fungsi transformasi suara. Teknik operasi ini adalah
dengan membersihkan seluruh rongga mastoid, merendahkan dinding
posterior liang telinga, dan diikuti dengan tindakan timpanoplasti. Dengan
operasi ini fungsi pendengaran dapat dipertahankan. Indikasi utama
operasi ini adalah adanya kolesteatoma di atik dan antrum dengan
mesotimpanum normal dan defek hanya pada pars flaksida (Helmi 2005;
Merchant, Rosowski & Shelton 2009).

Gambar 2.4. Radical mastoidectomy, SS, sigmoid sinus; Tm, tympanic


membrane, dilakukan pembersihan total sel-sel mastoid dan dinding
posterior liang telinga diruntuhkan (Meyer, Strunk & Lambert 2006).
2.12.3. Canal Wall Up Procedures
Kolesteatoma dibuang dengan pendekatan kombinasi melalui mastoid dan
liang telinga, tanpa menghancurkan dinding posterior liang telinga (Helmi 2005;
Merchant, Rosowski & Shelton 2009).
Intact canal wall pada prinsipnya adalah mengangkat secara komplit matriks
kolesteatoma tanpa merusak anatomi liang telinga luar. Pendekatan secara
kombinasi transkanal dan transmastoid dapat mengeluarkan massa kolesteatoma
yang menerobos facial recess. Kolesteatoma di sinus timpani sulit dikeluarkan
karena lapang pandang yang terbatas pada daerah ini. Jansen, Smith, dan Sheehy
merupakan pelopor operasi mastoidektomi dengan kavitas tertutup yang disebut
intact canal wall tympanoplasty with mastoidectomy atau combined approach
tympanoplasty yang dikatakan mempunyai kemungkinan lebih baik untuk
penyembuhan penyakit dan memperbaiki fungsi pendengaran (Helmi

2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).


2.13.

Pemeriksaan Radiologik Mastoid


Pemeriksaan radiologik konvensional pada tulang temporal

memiliki nilai penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan
piramid tulang petrosus. Dengan pemeriksaan ini dapat dinilai besar dan perluasan
suatu lesi yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari
lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal. Sedangkan untuk proses yang kecil agak
sukar dideteksi, kecuali dengan menggunakan pemeriksaan tomografi (Makes
2005).
Untuk selalu mendapatkan hasil pemeriksaan yang memuaskan, dipakai
unit untuk kepala karena kelenturan yang didapatkan pada alat ini. Bagian atas
meja pemeriksaan harus sempit, supaya bahu pasien dibawahnya berada dalam
posisi tegak selama pemeriksaan, sehingga kepala lebih dekat ke film. Bagian atas
meja pemeriksaan yang transparan memudahkan fokus daerah yang akan
diperiksa, dengan melihat tempat masuk dan keluarnya pusat pancaran sinar X.
Unit itu harus dilengkapi dengan sebuah tabung yang memiliki titik fokus yang
kecil (0,3 milimeter) dengan maksud menambah ketajaman (Valvassori 1997).
Ukuran sinar haruslah sesempit mungkin untuk daerah yang akan diteliti,
dengan demikian mengurangi sinar yang menyebar, yang bisa membuat film
berkabut sehingga kurang tajam. Dengan memakai sinar yang sempit diperlukan
posisi kepala pasien dan pengarahan sinar yang tepat. Hal ini dapat terlaksana
apabila ahli radiologi memahami anatomi dasar dari daerah yang akan diperiksa
(Valvassori 1997).
Proyeksi tertentu sangat diperlukan untuk memeriksa tulang temporal.
Tiap proyeksi mempunyai kegunaan khusus untuk memperlihatkan satu atau lebih
struktur yang dapat terlihat pada sumbu yang tepat dan tidak diragukan oleh
bayangan struktur yang menutupinya.
Berbagai proyeksi didapatkan dengan memutar kepala pasien atau mengganti arah
pusat sinar X. Seleksi proyeksi berdasarkan pada dua prinsip dasar radiografi,
yaitu (Valvassori 1997):
1. Struktur yang dekat dengan film lebih tajam dan tidak banyak diperbesar
daripada yang jauh dari film. Karena itu sisi yang akan diperiksa harus

selalu diletakkan dekat dengan film.


2. Dengan membelokkan sinar X atau kepala, struktur yang saling
berhimpitan yang awalnya terletak dalam satu bidang dapat tersingkirkan.
Struktur yang dekat dengan permukaan meja pemeriksaan diproyeksikan
dalam posisi yang berdekatan pada film sinar X, sedangkan struktur yang
lebih jauh dari film dijauhkan dari pancaran tergantung arah pancaran sinar
X. Struktur yang sangat berdekatan memerlukan sudut yang lebih besar
dibandingkan dengan struktur yang terpisah jauh.
Ada beberapa proyeksi standar pada pemeriksaan foto polos tulang
temporal, seperti proyeksi Schller, Law, Mayer, Owen, Chausse III,
Stenvers, Towne, submentovertikal, dan transorbital (Lee 2003). Saat ini,
penggunaan radiologik konvensional terbatas untuk mengevaluasi pneumatisasi
mastoid dan penilaian posisi maupun integritas elektroda implan koklea serta
evaluasi sendi temporomandibular. Hanya tiga proyeksi yang praktis menarik:
proyeksi lateral atau Schller, frontal atau transorbital, dan proyeksi oblik atau
Stenvers (Mafee & Valvassori 2009).
Daerah antrum dan atik dapat dinilai dengan proyeksi Schller, namun kadang
sulit dinilai karena bayangan labirin. Hal ini dapat diatasi dengan proyeksi Mayer.
Berkas sinar X yang semula ditujukan 300 menjadi 450 pada proyeksi ini. Elevasi
ini efektif menilai antrum dan atik tanpa bayangan labirin (Compere 1990).
2.13.1. Proyeksi Schller atau Rungstrom
Proyeksi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid.
Proyeksi foto dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja
pemeriksaan dan berkas sinar X ditujukan dengan sudut 25-30 0 sefalokaudal
(Gambar 2.5) (Lee 2003; Makes 2005; Mafee & Valvassori 2009).

Gambar 2.5. Posisi penderita pada proyeksi Schller, berkas sinar X


ditujukan dengan sudut 25-300 sefalokaudal (Yong 2001).
Pada proyeksi ini perluasan pneumatisasi mastoid dan struktur trabekulasi
dapat tampak dengan jelas (Gambar 2.6). Posisi ini juga memberikan informasi
dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus
lateralis (Makes 2005).
Bidang anterior dari bagian vertikal sinus sigmoid (berbatasan dengan
bagian yang paling lateral dari bagian posterior piramid petrosus)
membentuk garis yang hampir vertikal. Pada bagian atas garis ini bergabung
dengan garis lain, yang melengkung ke depan dan ke bawah membentuk bagian
yang paling lateral dari sudut tulang petrosus yaitu sudut sinodural dari Citelli.
Garis yang terakhir ini dibentuk oleh aspek superior dari bagian lateral piramid os
petrosus. Bagian yang lebih ke tengah dari tepi petrosus superior, dari eminensia
arkuata sampai apeks, dipindahkan ke bawah oleh pembelokan dari gugusan sinar
X dan menghilangkan garis yang terletak di depan dan bawah, menyilang daerah
epitimpanum dan leher dari kondilum mandibula. Di atas garis ini bagian atas atik

bersama kaput maleus biasanya kelihatan. Akhirnya sendi temporomandibular


jelas terlihat (Mafee & Valvassori 2009).

Gambar 2.6. Gambaran pneumatisasi mastoid yang pneumatik pada


proyeksi Schller (Yong 2001).
2.13.2. Proyeksi Transorbital
Proyeksi ini dapat dicapai dengan penderita menghadap ke film atau
belakang kepalanya ke film (Gambar 2.7). Kepala penderita ditekuk di dagu
sehingga garis orbitomeatal tegak lurus pada dasar meja pemeriksaan. Untuk
rincian yang lebih baik, tiap sisi harus dibuat terpisah dan pusat sinar X diarahkan
ke pusat orbita dari sisi yang akan diperiksa, serta tegak lurus pada film (Mafee &
Valvassori 2009).
Apeks petrosus jelas batasnya, tetapi diperpendek karena letaknya miring
terhadap bidang film. Kanalis akustikus interna kelihatan seluruh panjangnya
sebagai pita horizontal yang radiolusen berjalan melalui piramid petrosus. Di
ujung medial kanalis, tepi bebas dari dinding posterior sangat jelas dan licin,
cekung ke medial. Seringkali kanalis akustikus interna yang berupa pita yang
radiolusen tampak memanjang ke arah medial hingga bibir dinding posterior ke
dalam apeks petrosus. Gambaran ini bukan disebabkan oleh kanalis akustikus

interna, melainkan karena perpanjangan medial bibir atas dan bawah dari porus
(pintu) kanalis dan lekuk yang terbentuk. Sebelah lateral dari kanalis akustikus
interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis superior maupun horizontal yang
radiolusen biasanya dapat terlihat. Lingkaran koklea bagian apikal dan medial
terhimpit dengan bagian lateral kanalis akustikus interna, sedangkan lengkungan
basiler tampak dibawahnya, demikian juga dengan vestibulum (Mafee &
Valvassori 2009).

Gambar 2.7. Posisi penderita pada proyeksi transorbital, sinar X diarahkan tegak
lurus pada film (Yong 2001).

2.13.3. Proyeksi Stenvers


Proyeksi ini dibuat dengan penderita menghadap ke film dengan kepala
sedikit menekuk dan berputar 450 ke arah sisi yang tidak diperiksa (Gambar 2.8).
Tepi lateral orbita pada sisi yang diperiksa terletak dekat sekali dengan permukaan
meja pemeriksaan. Gugusan sinar X bersudut 12-140 ke kaudal (Mafee &
Valvassori 2009).

Gambar 2.8. Posisi penderita pada proyeksi Stenvers, sinar X bersudut


12-140 ke kaudal (Yong 2001).
Seluruh apeks petrosus terlihat lengkap di sebelah lateral rima orbita.
Pembukaan kanalis akustikus interna tampak di depan berbentuk lonjong yang
radiolusen, terbuka ke medial dan berakhir di sebelah lateral oleh tepi bebas
dinding posterior kanalis akustikus interna. Sebelah lateral dari pembukaan,
kanalis akustikus interna tampak sangat memendek. Vestibulum dan kanalis
semisirkularis, terutama bagian posterior, yang dalam proyeksi ini terletak di
dalam bidang yang sejajar film, biasanya dapat dikenali. Diluarnya, seluruh
mastoid jelas terlihat, dengan prosesus mastoid bebas dari himpitan (Gambar 2.9)
(Mafee & Valvassori 2009).

Gambar 2.9. Gambaran pneumatisasi mastoid yang pneumatik pada


proyeksi Stenvers (Yong 2001).
2.13.4. Proyeksi Mayer
Proyeksi Mayer dibuat dengan kepala penderita berputar 450 ke arah sisi
bawah yang diperiksa dan tabung disesuaikan sehingga sinar utama melewati
kanalis akustikus eksterna menuju film dengan sudut 450 (Gambar 2.10). Proyeksi
ini memberikan gambaran aksial dari tulang petrosus dan pneumatisasi mastoid.
Antrum mastoid, kanalis akustikus eksterna dan sisi depan kavum timpani jelas
terlihat (Gambar 2.11) (Lee 2003).

Gambar 2.10. Posisi penderita pada proyeksi Mayer, sinar X melewati


kanalis akustikus eksterna menuju film dengan sudut 450 (Yong 2001).

Gambar 2.11. Gambaran pneumatisasi mastoid yang diploik pada


proyeksi Mayer (Yong 2001).

2.14.

Gambaran Radiologik pada OMSK

Gambaran radiologik pada otitis media kronis terdiri atas


perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara
mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses
inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti
demineralisasi trabekula, pada saat ini yang tampak pada foto adalah
perselubungan sel udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta
struktur trabekula yang tersisa tampak menebal. Jika proses inflamasi terus
berlangsung, maka akan terlihat obliterasi sel udara mastoid dan biasanya mastoid
akan terlihat sklerotik.
Kadang-kadang lumen antrum mastoid dan sisa sel udara mastoid akan terisi
jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan
(Makes 2005).
Bersamaan dengan progresivitas infeksi, maka akan terjadi demineralisasi
diikuti destruksi trabekula dimana pada proses mastoiditis yang hebat akan terjadi
penyebaran ke arah posterior dan menyebabkan tromboflebitis pada sinus lateralis
(Makes 2005).
2.15.

Gambaran Radiologik pada Kolesteatoma


Pada kolesteatoma yang menyebar ke arah mastoid akan

menyebabkan destruksi struktur trabekula mastoid dan pembentukan kavitas besar


yang berselubung dengan dinding yang licin. Kadang-kadang kolesteatoma dapat
meluas ke sel udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering
dijumpai pada anak-anak, dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan
pada sel udara mastoid dan sulit dibedakan dengan mastoiditis biasa. Untuk
melihat lesi-lesi kolesteatoma yang kecil atau ingin melihat lesi lebih jelas perlu
dibuat tomografi tulang temporal (Makes 2005). Pada kebanyakan kasus
kolesteatoma, proyeksi Schller seharusnya cukup karena memungkinkan
penilaian terhadap pneumatisasi mastoid yang membantu pendekatan operasi
(Zahnert & Offergeld 2010).

2.16.

Diagnosis Banding secara Radiologis

Menurut Zismor dan Novak, gambaran radiolusen pada foto polos


mastoid dalam mendeteksi kolesteatoma perlu dipikirkan penyakit-penyakit lain.
Beberapa diagnosis banding secara radiologis pada OMSK dengan kolesteatoma
antara lain (Sohar 1991):
1. Bentuk variasi dari keadaan normal, dapat menyerupai gambaran
radiolusen pada daerah antrum dan mastoid yaitu antrum yang besar dan
biasanya simetris atau sinus sigmoid yang prominen yang dapat
memanjang ke anterior hingga posterior mastoid.
2. Defek bekas operasi, dapat diketahui dengan anamnesis yang teliti.
3. Destruktif mastoiditis, pada keadaan ini tampak perselubungan pada
telinga tengah dan mastoid. Destruksi yang terjadi biasanya berbatas tidak
jelas dan irregular.
4. Tumor-tumor jinak pada telinga tengah, antara lain:
a. Adenoma, biasanya pada bagian hipotimpanum, merupakan massa
jaringan lunak dengan bentuk tidak spesifik dan tidak menyebabkan
erosi tulang.
b. Kista epidermoid, disebut pula sebagai kolesteatoma kongenital,
tampak sebagai massa jaringan lunak yang berbatas tegas dan
mendestruksi tulang sekitarnya, tetapi tidak melakukan erosi pada
skutum.
c. Hemangioma, tampak sebagai massa jaringan lunak dengan batas tidak
tegas, mendestruksi tulang-tulang dan sering mengenai nervus fasialis.
5. Tumor-tumor ganas primer maupun sekunder.
Gambaran yang dominan adalah destruksi tulang yang meluas, tidak
beraturan dan tepi yang tidak rata. Tumor ganas primer yang sering
terdapat pada telinga tengah antara lain karsinoma sel skuamosa, kista
adenoid, dan rhabdomiosarkoma

BAB 3
KERANGKA TEORI

FAKTOR RISIKO

UMUR

Riwayat otitis media berulang

- Infeksi bakteri atau virus


-

Alergi

Sumbatan tuba eustachius


Lingkungan

Sosial ekonomi/imunodefisiensi

Anomali midfasial kongenital


Gangguan fungsi silia
Refluks gastroesofageal

PEKERJAAN

JENIS KELAMIN

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

ANAMNESIS
PEMERIKSAAN OTOSKOPI
PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
PEMERIKSAAN RADIOLOGI

TANPA KOLESTEATOMA

DENGAN KOLESTEATOMA

PEMBEDAHAN

BAB 4
RINGKASAN

Anda mungkin juga menyukai