I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
: 17 tahun
Alamat
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Tgl MRS
: 13/05/2015
ANAMNESA
Keluhan Utama : Badan lemas
RPS
20.40 WIB dengan keluhan badan lemas mulai 2 hari yang lalu, pusing (+), badan
terasa kedinginan mulai sekitar pukul 19.00 WIB tadi. Kaki kanan dan kaki kiri
bengkak mulai 2 hari yang lalu, mual (+), muntah (-), BAB (+) normal, BAK (+)
Normal, nafsu makan agak menurun. Kadang kalau malam sesak napas, Sulit tidur.
RPD
semakin lama kedua kaki semakin bengkak sejak 1 bulan yang lalu, 2
bulan sebelumnya pasien sering muntah-muntah setiap pagi sebelum
berangkat sekolah dan dirasakan gatal diseluruh tubuh pasien, pasien juga
sering sesak napas kalau malam sehingga susah tidur. kemudian
diperiksakan ke Puskesmas di Papua dan dinyatakan menderita gagal
ginjal oleh dokter. Kemudian pasien dibawa ke RSU dr. Soetomo Surabaya
dirawat selama 12 hari dan dinyatakan menderita gagal ginjal kronik
stadium V oleh dokter. Selama di rawat di RSU Dr. Soetomo surabaya
pasien menjalani cuci darah selama 2x. Kemudian keluar dari RSUD Dr.
Soetomo dan kontrol ke poli RSUD Nganjuk. Riwayat hipertensi mulai 3
bulan yang lalu.
RPK
III.
PEMERIKSAAN FISIK
(dilakukan saat di IGD RSUD Nganjuk, tgl 13/5/2015)
Status Generalis
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran
: Compos Mentis
TD
: 180/120 mmHg
: 80 x/menit
Respirasi
: 24 x/m
Suhu
: 36 C
A. Kepala Leher
Mata
: Konjungtiva
Sklera
: Anemis (+)
: Icterus (-)
Telinga
Hidung
Mulut
: Cyanosis (-)
Leher
B. Thoraks
Inspeksi
: Bentuk
: Simetris
Pergerakan
: Simetris
: Pergerakan Nafas
Fremitus raba
Perkusi
: Suara Ketuk
Auskultasi
: Pulmo
: Normal
: Normal
: Sonor
Auskultasi
Palpasi
: distended (-), nyeri tekan (+) pada hipokondrium kanan dan lumbal
kanan
D. Ekstremitas
Akral hangat
+
IV.
Oedem
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan FAAL GINJAL (13-05-1015, dari Laboratorium SAM HUSADA)
FAAL GINJAL
PEMERIKSAAN
HASIL
SATUAN
NILAI
: 24,84
mg/dl
L: 0,67-1,17
RUJUKAN
Serum Creatinine
P: 0,51-0,95
BUN
: 361,8
mg/dl
6-20
Uric Acid
: 8,92
mg/dl
L: 3,5-7,2
P: 2,0-6,0
URINALISA
Berat jenis
: 1,020
1,010-1,060
pH
: 5,0
5,0-8,0
Warna
: kuning
Kejerniahan
: keruh
Reduksi
: (-) negatif
Ascorbid Acid
: (-) negatif
Protein
: (+) positif 3
Bilirubin
: (-) negatif
(-) negatif
Urobilinogen
: normal
Normal
Keton
: (-) negatif
(-) negatif
Nitrit
: (-) negatif
(-) negatif
Blood
: (+) positif 2
Ery/ul
(-) negatif
Leucocytes
: (-) negatif
Leu/ul
(-) negatif
: 2-3
sel/LPB
0-5
mg/dl
(-) negatif
(-) negatif
mg/dl
(-) negatif
Sedimen
-
Leukosit
Eritrosit
: 10-12
sel/LPB
0-5
Epithel
Gepeng
: 2-3
sel/LPB
<11
Bulat
: (-) negatif
sel/LPB
0-1
Crystal
(-) negatif
Bakteri
: (+) positif
(-) negatif
Lain-lain
: 5,7
10^3/uL
4,8-10,8
RBC (Eritrosit)
: 2,66
10^6/uL
4,7-6,1
HGB (Hemoglobin)
: 6,9
g/dL
14-18
HCT (Hematokrit)
: 19,2
42-52
MCV
: 72,2
fL
79-99
MCH
: 25,9
pg
27-31
MCHC
: 35,9
g/dL
33-37
PLT (Trombosit)
: 105
10^3/uL
150-450
RDW
: 14,0
11,5-14,5
PDW
: 0,00
fL
9-17
MPV
: 0,00
fL
9-13
P-LCR
: 0,00
13-43
NEUT %
: 0,00
50-70
LYMPH%
: 29
25-40
MXD
: 0,00
25-30
NEUT#
: 0,00
10^3/uL
2-7,7
LYMPH#
: 1,6
10^3/uL
0,8-4
MXD#
: 0,00
10^3/uL
2-7,7
DIFFERENTIAL
: Non reaktif
: 3,81
g/dL
3,50-5,20
Na, K, Ca
Natrium Darah
: 134
mmol/L
135-147
Kalsium Darah
: 5,0
mmol/L
3,5-5,0
Calcium Darah
: 1,08
mmol/L
1,00-1,15
SEROLOGI
HBsAG
: NEGATIF
negatif
Anti HCT
: NEGATIF
negatif
V.
: 9,4
g/dL
13,2-17,3
: 24,84
BUN
: 361,8
Uric Acid
: 8,92
PEMERIKSAAN HEMATOLOGI
HGB (Hemoglobin)
: 6,9
HCT (Hematokrit)
: 19,2
MCV
: 72,2
PLT (Trombosit)
: 105
PDW
: 0,00
MPV
: 0,00
P-LCR
: 0,00
VI.
PERJALANAN PENYAKIT
PENGOBATAN
S: pasien mengeluh badan masih terasa
inf. RL 7 tpm
lemas, mual(-), muntah (-), BAB dan BAK
tranfusi PRC 1
kolf
O: K.U : cukup
inj. Furosemide
1x1
N: 20 x/mnt
N : 88 x/mnt
S : 36,30C
inj.
Ranitidin
2x1
valsartan
1x80mg
prorenal 2x1
Abd
allopurinol 1x1
ekst
: AH (+), oedem
Diit CKD
+ +
Elektrolit
cek
A : CKD stage v
persiapan
HD
16/5/2015
Cek HBsAg
HIV
Anti HCT
Albumin
Elektrolit
kemarin 1 kantong.
HB 15/5/15 : 6,0
O: K.U : cukup
Kes : CM
TD : 140/100 mmHg
N: 80x/mnt
RR : 20x/mnt
S: 36,80C
Abd
Ekst
: AH (+), oedem
- -
A : CKD stage V
17/5/2015
RR: 22x/mnt
N : 82x/mnt
S: 360C
Ekst
: AH (+), Oedem
+ +
18/15/2005
RR: 20x/mnt
N: 88x/mnt
S: 36,20C
Inf PZ 7 lpm
K/L: A+/I-/C-/D-
valsartan 1x80mg
prorenal 2x1
allopurinol 1x1
A: CKD stage V
Diet CKD
Cek ulang HB
Tranfusi kolf ke 3
habis
19/5/2015
pkl.
04.30
WIB
S: Mual(-), muntah(-), nyeri perut (-), batuk
pilek (+)
KRS
Valsartan 1x80mg
O: k.u: cukup
Kes: CM
TD : 150/90 mmHg
N: 80x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 360C
TINJAUAN PUSTAKA
1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100
kasus/juta penduduk/tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun. Di Malaysia dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahun. Di Negaranegara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.
Etiologi
Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. kelainan parenkim ginjal
-
Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
awal yang mendasarinya , tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron
yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktiv, sitokin, dan
growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sclerosis nefron yang masih tersisa. Proses
ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal, ikut memberiakan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis
dan progesifitas penyakit tersebut.7
dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi, produksi eritropoetin (EPO) dan
1,25 dihidrosikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindrom uremia dapat
dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama merupaka akumulasi dari produk metabolisme
protein, yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti
keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormone.8
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah,
kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematocrit) per 100 ml darah. Anemia
bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar
yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi
laboratorium.9
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit
ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari
permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakin memburuknya fungsi
ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematocrit pada pasien penurunan ginjal. Kadar nilai
hematocrit dan kreatini klirent menurun sampai kurang dari 30-35 ml/mnt. Anemia pada
gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada factor lain yang
memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat
hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokritnya dikoreksi menjadi normal, tidak
adekuat.9
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada pathogenesis anemia pada gagal
ginjal, yaitu hemolysis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat dan penghambatan respon
dari sel precursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat
terjadi seperti intoksikasi alumunium.7
1. Hemolisis
Hemolysis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialysis
kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah
merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab
hemolysis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditranfusikan kepada
pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien
dengan gagal ginjal ditranfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang
normal. Efek factor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membrane dan
enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupakan mekanisme yang
menyebabkan terjadinya hemolysis. Kelainan fungsi dari pentosa phospat shunt mengurangi
ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit
menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah
apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan
hormone PTH pada darah akibat sekunder hiperparatiroidsm juga menyebabkan penurunan
sel darah merah yang hidup pada anemia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen
meningkatkan kerapuhan osmotic dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh
karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidsm dapat menekan produksi sel darah
merah melalui 2 mekanisme. Yang pertama efek langsung penekanan sumsum tulang akibat
peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang
kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap
eritropoetin asing. Terhadap laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb
setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia. Mekanisme lainnya yang
menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolysis pada gagal ginjal
adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan
dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nukleotides dan 2,3diphosphoglycerate (DPG). Hemolysis dapat timbul akibat komplikasi dari prosedur dialysis
atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk
menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan
jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolysis. Filter karbon bebas kloramin
yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat
mengakibatkan denaturasi hemoglobin, penghambatan hexose monophosphate shunt, dan
hemolysis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat,
atau formaldehyde. Autoimun dan kelainan biokimia dapat menyebabkan pemendekan waktu
hidup eritrosit. Hipersplenism merupakan gelaja sisa akibat transfuse, yang distimulasi oleh
pembentukan antibody, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis
dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal
terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang, yang dapat menyebabkan hemolysis
seperti kelebihan besi pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik
lainnya seperti splenomegaly atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis
nodusa, SLE, dan hipertensi maligna.
2. Defisiensi Eritropoetin.
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagak ginjal tanpa factor lain yang
memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi
tetapi erotropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini
adalah penurunan dari produksi ertropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat.
Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif dari
bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada
pathogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia.
Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa
dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan
penyakit ginjal menunjukkan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi
kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi
eritropoetin. Proses inflamsi seperti glomerulonephritis, penyakit reumatologi, dan
pielonefritis kronik, yang biasa merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialysis
terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.
3. Penghambatan eritropoesis.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel precursor eritrosit
terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada
pasiean uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses eritropoesis yang dapat
dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi regular
dialysis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe
yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropoetin serum. Substansi yang
menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormone.
Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak
hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis
dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikan, leukopenia, dan trombositopenia bukan
merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak
memiliki fungsi yang signifikan pada pathogenesis dari anemis pada penyakit ginjal kronik.
Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih
kontroversi jika dikatakan PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupin
menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb
pada pasien uremia, penelitian lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan
derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada
eritropoesis belum dibuktikan secara final., akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti
fibrosis sumsum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam
hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal.
Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal
dengan regular hemodialysis adalah intoksikasi alumunium akibat terpapar oleh konsentrasi
tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung alumunium.
Alumunium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar ferritin serumnya meningkat atau
normal pada pasien hemodialysis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan
diperparah oleh intoksikasi alumunium. Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi
terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik alumunium pada eritropoesis
menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobin. Akumulasi alumunium dapat
mempengaruhi eritropoesis melalui hambatan metabolisme besi normal dengan mengikat
transferrin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara
precursor sel darah merah pada sumsum tulang.10
Manifestasi GGK dan Uremia:
1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa
a. Homeostasis Natrium dan Air.
Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan Natrium dan
H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan penyebabnya adalah terganggunya
keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses
pencernaan menyebabkan penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume cairan
ekstraseluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan
kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum di dialysis
tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian loop diuretic bersama dengan pengurangan
intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga
memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O. ketika penyebab
ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien
akan mengalami kekurangan CES.
b. Homeostasis Kalium.
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi
kalium urine. Walaupun demikian hyperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis berupa
konstipasi, katabolisme protein, hemolysis, perdarahan, transfusion of stored redblood cells,
augmented dietary intake, metabolic asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium
masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hypokalemia jarang
terdapat pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium
dalam kaitannya pada terapi diuretic atau kehilangan dari gastro intestinal.
c. Metabolik Asidosis
dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi penyangga
jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan eksternal ion-ion
hydrogen. Asidosis metabolic ialah akibat yang tidak dapat dihindarkan. Pada kebanyakan
pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat
atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respon terhadap tantangan asam yang
mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik, rentan
terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar untuk koreksi. Pemberian
natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.
2. penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan
sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan
rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder
hiperparatiroidsm berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu:11
(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganic fosfat (PO 43-) dan
menimbulkan retensi PO43-.
(2). Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis terhadap sintesis PTH dan
masa sel kelenjar paratiroid.
(3). Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi
PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25-dihidroksi oleh
kalsiferol).
(4). Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat
pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfostemia. Kadar kalsitiol yang rendah, pada
akhirnya, menimbulkan hipertiroidsm melalui mekanisme langsung dan tidak langsung.
Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu
penurunan kalsitriol pada penyakitn ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH.
Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gangguan absorbsi Ca 2+ dari traktus gastro
intertinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya meningkatkan
sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan
penurunan sintesis kalsiriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari
paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low turn over bone disease dapat
diklasifikasikan dalam 2 kategori yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik.
Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblast dan
dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks
tulang yang tidak termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan
defisiensi vitamin D, peningkatan deposit alumunium, atau asidosis metabolic. Penyakit
tulang adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pasien dengan penyakit
ginjal kronik dan gagal ginjal kronik, dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes.
Penyakit tulang adinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volume tulang dan
mineralisasi dan merupakan hasil supresi produksi PTH dengan terapi kasitriol. Osteodistrofi
renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan
osteodisrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone
(1,25(OH)2D3. Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbs fosfat disaluran cerna.
Dialysis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia.4
3. Kelainan Kardivaskuler.
a. Penyakit Jantung Iskemik.
Peningkatan prevalensi penyakit jantung coroner merupakan akibat dari factor resiko
tradisional (klasik) yaitu hipertesi, hypervolemia, dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan
hiperhomosisteinemia. Dan factor resiko non tradisional yaitu anemia, hiperfosfatemia,
hiperparatiroidsme, dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat
penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin
6 dan C-reaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan coroner dan peningkatan
resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida merupakan mediator yang penting dalam pada
dilatasi vascular. Keberadaan nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi
peningkatan kosentrasi asimetris dimetil-1-aginin.
b. Gagal jantung kongestif
kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau left ventricular
hypertrophy, bersama dengan retensi air dan garam pada uremia, kadang menyebabkan gagal
jantung kongestif dan edema pulmonal.
c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering. Hipertensi yang
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit anemia, ekimosis dan hematoma akibat
gangguan pembekuan, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium fosfat dan hiperparatiroid
sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat deposisi pigmen metabolic dan urokrom, serta
uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.
Klasifikasi
Klasivikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat
penyakit dan diagnostic etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari
dua persamaan berdasarkan konsentrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik.
Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu:
LFG (ml/menit/1,73m2)= 1,86x (P cr)- 1,154 x (umur)- 0,023
Keterangan: wanita x 0,742
(140-umur)xBB
GFR
Description
Ml/min/1,73 m2
90
60-89
demage
Slight decrease in GFR, with other evidence of kidney
3A
45-59
damage
Moderate decrease in GFR, with or without other evidence
3B
30-44
of kidney damage
15-29
<15
kidney demage
Established renal failure
Use the suffix (p) to denote the presence of proteinuria when staging CKD
(recommendation 1.2.1)
Table 2. Stadium penyakit ginjal kronik
Krekels
c.Kusmaul
d. Sputum kental dan liat
Gastrointestinal :
a. Konstipasi / diare
b. Anoreksia, mual dan muntah
c. Nafas berbau ammonia
d. Perdarahan saluran GI
e. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
Pemeriksaan Penunjang
A. Gambaran laboratorium
GGK pada non DM dan ACR 70 mg/mmol atau lebih tanpa adanya HT atau penyakit
kardiovaskular
GGK pada non DM dengan HT dan ACR <30 mg/mmol
C. Pemilihan statins dan antiplatelet
Terapi statin untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular juga pada GGK
penggunaan tidak berbeda
Pengguanaan statin pada GGK merupakan pencegahan sekunder dari penyakit
kardiovaskular.
Pengguanaan antiplatelet pada GGK merupakan pencegahan sekunder dari penyakit
kardiovaskular.
D. Komplikasi lainnya
Metabolisme tulang dan osteoporosis
Melakukan pengukuran rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid hormone (PTH)
dan level vit D pada GGK stadium 1,2,3A/3B, tidak terekomendasikan.
Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada GGK stadium 4
dan 5 (LFG <30 ml/min/1,73 m2)
Memberikan bisphosphonate apabila ada indikasi mencegah dan mengobati
osteoporosispada GGK stadium 1,2,3A/3B.
Pemberian suplemen vit D.
E. Anemia
Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat HB <11 g/dl (atau 10 g/dl pada
usia <2 tahun)
Menentukan
apakah
anemia
disebabkan
oleh
GGK
atau
bukan.
Penanganan Anemia
1. Suplementasi eritropoetin
2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialysis.
3. Pembuangan kelebihan alumunium dengan deferoxamine.
4. Mengoreksi hipertiroidsm.
Dengan
5. Terapi Androgen.
6. Suplementasi besi.
7. Transfusi darah.
F. Nutrisi
Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka mortalitas pada pasien dengan GGK.
Dianjurkan kecukupan energy >35 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia >60 tahun
diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan untuk usia >60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari.
LFG (ml/min)
>60
25-60
Protein (g/kgBB/hari)
Fosfor (g/kg/hari)
Tidak perlu restrisi protein
10
0,6 g/kgBB/hari termasuk 10
0,35 g/kgBB/hari protein
dengan nilai biologic tinggi
0,6 g/kgBB/hari termasuk 9
5-25
g/kgBB/hari
dengan
g 12
protein/g proteinuria)atau
0,3 g/kgBB/hari dengan 9
suplementasi asam amino
esensial atau ketoanalog (+1
g protein/ g proteinuria)
Table 3. Restriksi protein pada pasien GGK.
Berbagai formula cairan parenteral untuk GGK
Formula Kopple:
Air
1000-2000 ml/hari
Glukosa
500-600 g/hari
Asam Amino
35-45 g/ hari
Kalori
35-50 kkal/kgBB/hari
NPC/N
Elektrolit
Formula Teraokat:
50% glukosa
1000 ml
10% NaCl
40 ml
K asparte
1 mEq
8,5% Ca glukonate
6 mEq
Mg Sulfat
6 mEq
K2PO4
1 mEq
Kidmin
400-600 ml
Lipid
400 ml/w
KESIMPULAN
Diagnosis pasien ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pasien adalah laki-laki usia 17 tahun, dalam kasus ini pasien
didiagnosis sebagai gagal ginjal kronik berdasarkan anamesis, dimana pasien memiliki
riwayat hipertensi mulai 4 bulan yang lalu., dimana keluarga pasien yaitu nenek pasien
memiliki riwayat hipertensi.
Apabila dilihat dari gejala klinis yang timbul, pasien merasa mual, muntah, disertai
sesak dan penurunan nafsu makan juga dapat mendukung kearah gagal ginjal kronik. Bila
dilihat dari pemeriksaan fisik, secara nyata ditemukan adanya peningkatan tekanan darah, RR
yang meningkat menunjukan adanya sesak, adanya konjungtiva yang anemis menunjukkan
adanya anemia, serta kedua kaki yang bengkak.
Pada pemeriksaan penunjang, hasil laboratorium darah menunjukan bahwa
hemoglobin darah menunjukkan bahwa hemoglobin pasien rendah akibat defisiensi
eritropoetin yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik, terdapat peningkatan yang
bermakna pada ureum dan kreatinin yang menunjukan adanya gangguan ginjal. LFG pasien 4
ml/menit/ 1,73m2, terdiagnosa pasien gagal ginjal kronik derajat 5.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardaya. Managemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, Tatalaksana Gagal Ginjal
Kronik, 2003. Palembang: Perhipunan Nefrologi Indonesia, 2003: 13-22
2. Mansjour A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Gagal Ginjal Kronik.
Dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius FKUI,
2001: 531-534
3. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
4. Prodjosudjadi, W. 2006. Incidence, prevalence, treatment and cost of end-stage renal
disease In Indonesia. Ethnic Dis. 16: S214-S216.
5. Levin, A., Hemmelgarn, B., Culleton, B., Tobe, S., McFarlane, P., Ruzicka, M., Burns,
K., Manns, B, White, C, Madore, F., Moist, L., Klarenbach, S., Barrett, B, Foley, R,
Jindal, K., Senior, P., Pannu, N., Shurraw, S, Akbari, A., Cohn, A., Reslerova, M.,
Deved, V., Mendelssohn, D., Nesrallah, G., Kappel, J., Tonelli, M., dan Canadian
Society of Nephrology. 2008. Guidelines for the management of chronic kidney
disease. CMAJ. 179(11): 1154-1162.
6. Ruster, C. dan Wolf, G. 2006. Renin-angiotensin-aldosterone system and progression
of renal disease. J Americ Soc Nephrol. 17(11): 2985-2991
7. Engeli, S., Schling, P., Gorzelniak, K. 2003. The adipose-tissue renin-angiotensinaldosterone system: role in the metabolic syndrome? Int J Biochem Cell
Biol.35(6):807-825.
8. Chan, M.R., Dall, A.T., Fletcher, K.E., Lu, N., dan Trivedi, H. 2007. Outcomes in
patients with chronic kidney disease referred late to nephrologists: a meta-analysis.
Am J Med. 120(12):1063-70.
9. Levey, A.S., Stevens, L.A., Schmid, C.H., Zhang,Y. Castro, A.F., Feldman, H.I.,
Kusek, J.W., Eggers, P., Lente, F.V., Greene, T., dan Coresh, J. 2009. A New Equation
to Estimate Glomerular Filtration Rate. Ann Intern Med. 150(9): 604-612.
10. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. 581-584.
11. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13.