Anda di halaman 1dari 23

RESPONSI NEFROLOGI

DIABETES MELITUS DAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK

Oleh: Tita Luthfia Sari Trivena Anggraini Syailendra Fii S. Bay Shing Shen 0810710107 0810713084 0810713039 0810714004

Pembimbing: dr. Nur Samsu, SpPD-KGH

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RSUD DR.SAIFUL ANWAR MALANG 2012
1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang dihadapi masyarakat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Definisi dari penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan baik meliputi kerusakan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m (PERNEFRI, 2003). Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100-150/ 1 juta penduduk dan 200250/ 1 juta penduduk. Penelitian yang dilakukan oleh Hendrati et al (1999) di RS Dr. Soetomo mengungkapkan bahwa karakterikstik pasien penyakit gijal kronik berumur antara 32-75 tahun dengan rata-rata berumur 52 tahun. Menurut USRDS (United State Renal Data System), insidensi tertinggi penyakit ginjal kronik terjadi pada usia lebih dari 65 tahun. Usia merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit gijal kronik. Disebutkan bahwa pada usia > 70 tahun ditemukan penurunan fungsi ginjal sebanyak 30-50% (Pradeep A, 2010). Tidak adanya gejala yang timbul pada stadium awal menyebabkan banyaknya penderita yang datang pada stadium lanjut di mana biasanya sudah timbul berbagai macam komplikasi. Komplikasi yang dapat ditimbulkan pada penyakit ini antara lain gangguan elektrolit dan asam basa, kelainan hematologi, dan kelainan kardiovaskular, gagal jantung, dan hipertensi. Hipertensi merupakan komplikasi tersering yang mengakibatkan kondisi pasien gagal ginjal semakin memburuk. Umumnya penyakit ginjal kronik akan berakhir pada keadaan gagal ginjal. Bila sudah sampai pada tahap ini maka pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Suwitra, 2006). Hasil survei di Amerika menyebutkan bahwa penyebab utama terjadinya penyakit ginjal kronik antara lain diabetes mellitus (44%), hipertensi dan penyakit pembuluh darah (27%), glomerulonefritis (10%), nefritis interstitialis (4%), kista dan penyakit bawaan lain (3%), penyakit sistemik (misalnya lupus dan vaskulitis) (2%), neoplasma (2%), penyakit lain (4%), dan tidak diketahui (4%) (Suwatri, 2006). Diabetes mellitus merupakan penyebab tersering kejadian penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat diabetes mellitus ini lebih dikenal dengan nama Diabetic Nephropathy atau Diabetic Kidney Disease, yang sebenarnya merupakan komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus (Roseli, 2008). 2

Pada responsi ini, selanjutnya akan dibahas mengenai diabetes mellitus sebagai salah satu penyebab terjadinya penyakit gagal ginjal kronik, evaluasi dan pengobatan, pencegahan dan pengobatan komplikasi, serta persiapan menghadapi kondisi gagal ginjal dan terapi pengganti ginjal dengan dialisis atau transplantasi. Dengan harapan dapat memberikan informasi bahwa pada pasien dengan diabetes mellitus penting untuk diwaspadai salah satu komplikasi yaitu diabetik nefropati sebagai penyebab terjadinya penyakit ginjal kronis. Sehingga dapat dilakukan pencegahan dan penanganan sedini mungkin untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas pasien.

BAB 2 LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien Nama Tanggal lahir Usia Alamat Status Pekerjaan Tanggal MRS Pendidikan Suku Agama 2.2 Anamnesis Keluhan utama : Badan lemas Deskripsi: Pasien mengeluh lemas seluruh badan sejak 2 minggu yang lalu. Lemas memberat 6 jam sebelum masuk RSUD Saiful Anwar. Pasien juga mengeluh cepat lelah. Lemas disertai dengan keringat dingin. Keringat dingin setiap waktu, saat aktivitas ataupun tidak. Pasien mengeluh nafsu makan menurun kurang lebih 1 bulan terakhir dan berat badan turun dari 65 kg menjadi 52 kg (dalam 2 bulan terakhir). Mual (-), Muntah (-), Pusing (-), BAB 1 hari 1 kali, BAK 1 hari 4-5 kali dan sering kencing pada malam hari. Riwayat penyakit dahulu: o o Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 14 tahun yang lalu, pasien tidak rutin minum obat dan tidak rutin kontrol. Pasien pernah dirawat di RS Surabaya dengan gejala yang sama 2 bulan yang lalu dan pasien mendapat obat dari dokter spesialis penyakit dalam, yaitu long acting analog insulin 10-0 iu sc, allupurinol 1x300mg, lignaliptin 1x5mg, pro renal 3x1, ALA 600 2x1, glimepiride 1x3mg, telmisartan 1x80mg. o o Pasien pernah menderita katarak pada kedua mata, dan pernah dilakukan operasi katarak. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang baru diketahui pasien 2 bulan yang lalu, tekanan darah tertinggi 180/... dan mengeluh pandangan kabur. 4 : Siti Sarah Sadiah BA : 10 Agustus 1964 : 48 tahun : Jalan Panji Anom GG 2 No 4 RT 2 Mataram : Kawin : Pegawai Negeri : 16 Oktober 2012 : Sarjana : Jawa : Islam

Riwayat konsumsi jamu atau obat anti nyeri (-)

Riwayat Keluarga: Ayah menderita DM, ibu menderita DM dan hipertensi Riwayat Pribadi o o o o o o o o Riwayat alergi : Riwayat imunisasi : pasien pernah diimunisasi, namun lupa imunisasi apa Hobi : Olahraga : Jalan kaki Kebiasaan makan : 3 kali sehari, dengan menu nasi, lauk, sayur Merokok : pasien tidak merokok Alkohol : pasien tidak mengkonsumsi alkohol Hubungan seks : pasien berhubungan seks hanya dengan suami

REVIEW OF SYSTEM Lelah Penurunan BB Demam Menggigil Berkeringat Rash Gatal Luka Tumor Sakit kepala Nyeri Kaku leher Trauma Nyeri Kering Suara serak Sulit Menelan Sakit gigi Gigi dan Gusi Infeksi Batuk Riak Nyeri Mengi Sesak nafas Hemoptisis Pneumonia Nyeri pleuritik Tuberkulosis + 65 kg 52 kg + Dalam batas normal 5 Nafsu makan Anoreksia Mual Muntah Perdarahan Melena Nyeri Diare Konstipasi BAB Hemoroid Hernia Hepatitis Disuria Hematuria Inkontinensia Nokturia Frekuensi Batu Infeksi Hemato Anemia Perdarahan Diabetes Perubahan BB Goiter Toleransi suhu Asupan cairan Trauma Nyeri Kaku Meurun + sekali sehari + + + + 3-4 gelas 1 hari + di pundak -

Umum

Kulit

Abdomen

Kepala leher

Mulut & tenggorok

Ginjal dan saluran kencing

Pernafa san

Endokrin

Muskulos keletal

Sekret Nyeri Payudara Benjolan Perdarahan Infeksi Angina Sesak nafas Orthopnea PND Edema Murmur Palpitasi Infark Hipertensi Klaudikasio Flebitis Ulkus Arteritis Vena varicose

+ -

Jantung

Sistem syaraf

Emosi

Bengkak Lemah Nyeri punggung Kram Sinkop Kejang Tremor Nyeri Sensorik Tenaga Daya ingat Kecemasan Tidur Depresi Halusinasi

+ Normal Normal Normal -

Vaskuler

2.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : GCS Kesan sakit Gizi Berat badan Tinggi badan IMT Tanda-tanda Vital : Tekanan Darah Nadi Respiratory Rate Tax Kulit : Tekstur dan turgor normal, tidak ditemukan kelainan kulit Kepala & Leher : bentuk kepala normal, simetris, pembengkakan KGB leher (-), bruit (-), JVP R + 0 cm H2O (300C) : 160/90 mmHg : 90 x / menit : 18 x / menit : 36,9oC : 456 : Tampak sakit sedang : Kesan gizi cukup : 52 kg : 157 cm : 21,7

Mata : conjunctiva anemis (+/+), sclera icteric (-/-), massa (-), perdarahan (-) Visus OD 1/300 PCI (+) CI (+) Visus OS 1/60 PCI (-) CI (-) Telinga : serumen (-/-), infeksi (-/-), membran timpani sde, massa (-), mastoid : nyeri (-) Hidung : sekret (-), mukosa hiperemi (-/-), polip (-/-), perdarahan (-/-), nyeri tekan (-/-) Rongga Mulut dan Tenggorok : ulkus (-), tumor (-), gigi dan gusi dbn, faring hiperemi (-), edema (-), tonsil T1/T1 Thoraks Cor : Ictus invisible, palpable at ICS V MCL S, thrill (-) RHM ~ SL D LHM ~ ictus, S1S2 single reguler, murmur (-) Pulmo : Statis D=S, Dinamis D=S, SF D=S Sonor at all area of lung D/S Breath Sound : v v v v v v Abdomen Flat, liver span 10 cm, traube space tympani, BS (+) meningkat, shifting dullness (-), liver dan spleen tdak teraba. Ekstremitas akral hangat (+), anemis (-) gennue D/S : edema (-/-), hiperemi (-/-), Alat kelamin : tidak diperiksa Rektum : tidak diperiksa Neurologi : Motorik : 5 5 5 5 Bicara : dalam batas normal Sensorik : N N N N Ronchi : - - - Wheezing : - - - -

2.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan urinalisis 11 Oktober 2012 (Laboratorium Prodia Surabaya) Hasil Warna Kejernihan Berat Jenis pH Leukosit Nitrit Protein/albumin Glukosa Keton urin Urobilinogen Bilirubin Bakteri Kuning tua Agak keruh 1.025 5.00 +1 Negatif +4 +2 Negatif Negatif Negatif 2231.9 Sedimen Epitel Silinder Hyaline Eritrosit Leukosit Kristal Gepeng 10-15/LPK Negatif Negatif 4/LPB 12/LPB Ca Oxalat + Hasil

Pemeriksaan darah lengkap (16 Oktober 2012) di RSSA Hasil Pemeriksaan Hb Eritrosit Leukosit Hematokrit Trombosit MCV MCH MCHC Eosinofil Basofil Neutrofil Limfosit Monosit 7.9 3.08 8.34 25.3 242 82.10 27.60 31.20 1 0 4 14 8 Satuan gr/dl 106/mm3 /mm3 % /mm fL pg g% % % % % %
3

Angka Normal 11,4 15,1 4.0 5.0 4.700 11.300 38 42 142.000 424.000 80 93 27 31 32 36 04 01 51 67 25 33 25

Pemeriksaan Kimia Klinik (16 Oktober 2012) 8

Hasil Pemeriksaan Elektrolit Na K Cl Faal Hati SGOT SGPT Faal Ginjal Ureum Kreatinin GDP GD2hPP 80 1.71 215 205 13 8 130 6 107

Satuan

Angka Normal

mmol/L mmol/L mmol/L

136 145 3.5 - 5.0 98 106 0 32 0 33

mU/dL mU/dL

mU/dL mU/dL

20-40 <1.2

Pemeriksaan Kimia Klinik (23 Oktober 2012) Hasil Pemeriksaan Kalsium (Ca) Phospor Besi (Fe/Iron) TIBC Saturasi iron 7,4 3,5 30 199 15 Satuan mg/dL Mg/dL g/dL g/dL % Angka Normal 7,6-11,00 2,7-4,5 49-151 250-350

USG Abdomen (23 Oktober 2012) Hepar : ukuran normal, sudut tajam, permukaan regular, intensitas homogen normal, sistem vaskuler/bilier/porta normal,

echoparencym

nodul/kista/abses (-) Gallbladder Pankreas Lien : Ukuran normal, dinding tidak menebal, batu (-), sludge (-) : Ukuran normal, echoparenchym homogen, tidak tampak kalsifikasi : Ukuran normal, permukaan rata, echoparenchym homogen, tidak

tampak nodul maupun kista, vena lienalis tidak melebar Ren Dex/Sin : Ukuran normal, tepi reguler, echocortex meningkat, batas cortexmedula tegas, medula prominen, sistem pelvic-calyceal tidak melebar, batu/kista (-) VU Uterus Kesimpulan : Ukuran normal, mukosa normal, batu/mass (-) : Ukuran normal, posisi anteversi : Chronic parenchymatous renal disease bilateral 9

Foto Thorax (16 Oktober 2012) AP position, symmetric, strong KV, enough Inspiration Trachea berada di tengah Jaringan lunak dan tulang normal Hemidiaphragma D/S (domeshape/ domeshape) Sudut sinus prenicocostalis D/S (sharp/sharp) Pulmo : bronchovesicular pattern normal Cor : site N, waist normal, CTR 48% Kesimpulan: normal

ECG (16 Oktober 2012)

Sinus rhythm, heart rate 92 bpm Frontal Axis Horizontal Axis PR interval QRS complex QT interval : Normal : Normal : 0. 12 : 0.08 : 0. 36

Kesimpulan : sinus rhythm dengan heart rate 92 bpm

10

2.5 POMR

Cue and Clue Wanita, 48 tahun Ax: - Badan lemas dan cepat lelah sejak 2 minggu yll - BB turun (65 52 kg dalam 2 bulan terakhir) - Riwayat Diabetes Mellitus sejak 14 tahun yang lalu - Riwayat hipertensi yang baru diketahui 2 bulan lalu - Riwayat operasi katarak oculi D/S - Riwayat keluarga DM dan HT Pemeriksaan fisik: - TD: 160/90 - Anemic +/+ Pemeriksaan lab: - Hb: 7.9 - GDP/2hPP : 215/201 - Ur : 80 - Cr : 1.71 - K: 6 - eGFR: 32 Urinalisis: - Protein : +4

Problem List 1. CKD st III

Inisial Diagnosis 1.1 Diabetic nephropathy 1.2 HT nefrosklerosis

Planning PDx : protein Esbach PTx : - Bed Rest - O2 2-4 lpm NC - IVFD NS 0,9% NS 10 tpm - Diet DM dan ginjal 1700 kcal/hari, RG <2gr/hari, rendah protein 0,6-0,8 g/KgBB/hari - Kontrol gula darah dan tekanan darah

Planning Monitoring - TD, nadi, RR - Keluhan Subj - Lab -

11

- Glukosa: +2 - Eritosit: 4/LPB USG abdomen: Chronic parenchymatous renal disease bilateral Wanita, 48 tahun Anamnesa: - Pasien diketahui menderita hipertensi sejak 2 bulan yang lalu - Riwayat keluarga HT Pemeriksaan Fisik: TD: 160/90 Lab: - Ur : 80 - Cr : 1.71 - eGFR: 32 Urinalisis: - Protein : +4 - Glukosa: +2 - Eritosit: 4/LPB USG abdomen: Chronic parenchymatous renal disease bilateral Wanita, 48 tahun Anamnesa: - BB turun (65 52 kg dalam 2 bulan terakhir) - Poliuri + Nokturia - Riwayat DM sejak 14 tahun yang lalu 3. DM type 2 PDx: PTx: Inj intermediate acting insulin 0-8 iu SC - HbA1c - Keluhan - Komplikasi 2. Hipertensi st 2 2.1 Renoparenchy mal hypertension 2.2 Essential hypertension PDx: PTx : Captopril 2 x 12.5 mg Telmisartan 1x80mg - Keluhan Subjektif - TD, Nadi

12

- poorly controlled - Riwayat Riwayat operasi katarak oculi D/S - Riwayat keluarga DM Pemeriksaan Fisik : - Visus OD 1/300 PCI (+), CI (+) - Visus OS 1/60 Lab: GDP 215 GD2hPP 201 Wanita, 48 tahun Ax: Badan lemas Pemeriksaan Fisik: Konjungtiva anemis (+/+) Pemeriksaan lab : - Hb : 7.9 - MCV: 82.10 - MCH: 27.6 - MCHC: 31.2 - Fe/TIBC/Sat Fe : 30/199/15% - Ur : 80, Cr : 1.71 - eGFR: 32 Urinalisis: - Protein : +4 - Glukosa: +2 - Eritosit: 4/LPB USG abdomen: Chronic parenchymatous renal disease bilateral 4. Anemia hipokrom normositer 4.1 dt CKD 4.2 IDA PDx : retikulosit count, blood smear PTx : Ferrous Sulfate 3 x 200 mg Folic Acid 1x3 tab Keluhan Hb

13

Wanita, 48 tahun Pemeriksaan lab: - Kalium : 6 - Ur : 80 - Cr : 1.71 - eGFR: 32 Urinalisis: - Protein : +4 - Glukosa: +2 - Eritosit: 4/LPB USG abdomen: Chronic parenchymatous renal disease bilateral

5. Hiperkale mia

5.1 dt CKD

PDx : SE post koreksi PTx : Koreksi hiperkalemia : - Inj Ca gluconas 1000 mg - Inj D40% 50 cc - Inj short acting insulin 10 IU

Keluhan Lab EKG

14

BAB 3 PEMBAHASAN

3.1 Diagnosa Penyakit Ginjal Kronik Diagnosa penyakit ginja kronik secara umum dilakukan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terdapat dua kriteria penegakan diagnosa penyakit ginjal kronik, yaitu kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus dan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal (PERNEFRI, 2003). Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan badan lemas dan mudah lelah sejak 2 minggu yang lalu, penurunan berat badan (13 kg dalam waktu 2 bulan), nokturia, dan dengan riwayat DM 14 tahun dan riwayat hipertensi yang baru diketahui 2 bulan terakhir. Dari pemeriksaan fisik diperoleh hasil pengukuran tekanan darah 160/90 dan konjungtiva anemis. Berdasarkan gambaran laboratoris, didapatkan peningkatan kadar ureum/kreatinin 80/1,71 mU/dL, dengan estimasi LFG 32 mL/menit/1,73m2, Hb (7,9 mg/dL), gangguan elektrolit berupa hiperkalemia (Kalium: 6 mmol/L), serta urinalisis dengan proteinuria (+4), hematuria (+2). Dari gambaran radiologis, hasil pemeriksaan USG menunjukkan gambaran chronic parenchymatous renal disease bilateral. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini telah mengalami kelainan struktural ginjal yang sudah tegak dengan adanya hasil USG abdomen, serta kelainan fungsional dapat dilihat dari hasil pemerikasaan ureum, kreatinin, dan estimasi LFG. Untuk penentuan waktu > 3 bulan, seringkali menghadapi kendala dalam anamnesa dan pengkajian riwayat pasien. Hal ini dikarenakan, pada stadium awal, penyakit ginjal kronik seringkali tidak menunjukkan gejala klinis yang khas sehingga tidak dikeluhkan oleh pasien. Akan tetapi pada kasus ini, pasien juga memiliki riwayat DM sejak 14 tahun yang lalu dan tidak rutin minum obat. Sehingga kecurigaan terjadinya diabetik nefropati yang menjadi salah satu penyebab terjadinya penyakit ginjal kronis cukup kuat. 3.2 Diabetik Nefropati sebagai Etiologi Penyakit Ginjal Kronik Etiologi penyakit ginjal kronik antara lain diabetes mellitus (44%), hipertensi dan penyakit pembuluh darah (27%), glomerulonefritis (10%), nefritis interstitialis (4%), kista dan penyakit bawaan lain (3%), penyakit sistemik (misalnya lupus dan vaskulitis) (2%), neoplasma (2%), penyakit lain (4%), dan tidak diketahui (4%) (Suwatri, 2006). Diabetes mellitus merupakan penyebab tersering kejadian penyakit ginjal kronik. Kelainan ginjal akibat diabetes mellitus ini lebih dikenal dengan nama Diabetic Nephropathy atau Diabetic

15

Kidney Disease, yang sebenarnya merupakan komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus (Roseli, 2008). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pasien pada kasus ini memiliki riwayat DM sejak 14 tahun, pasien tidak rutin minum obat dan tidak rutin kotrol. Pemeriksaan laoratorium GDP 215, dan GD2hPP 201. Resiko DM pada pasien ini meningkat karena kedua orang tua pasien memiliki riwayat DM. Diabetes mellitus menjadi salah satu penyebab tersering penyakit ginjal kronik. Meskipun patogenesis kelainan ginjal pada diabetes belum sepenuhnya diketahui, namun diduga proses ini disebabkan oleh multifaktorial. Pada tahap awal akan terjadi injuri glomerulus akibat hiperglikemia dan hiperfiltrasi yang selanjutnya akan menyebabkan glomerulosklerosis yang makin progresif. Diabetik nefropati dikatakan mulai berkembang bila telah terjadi ekskresi albumin yang abnormal di dalam urin. Disebut abnormal bila ekskresi telah mencapai 30 mg/hari atau 20 g/menit yang disebut sebagai mikroalbuminuria. Keadaan pasien yang demikian disebut juga nefropati insipient. Tanpa intervensi yang tepat, 80% dari pasien akan meningkat proteinuri nya 10-20% per tahun nya, sehingga dalam waktu 10-15 tahun proteinuria ini mencapai > 300 mg/hari atau 200 mg/menit, dimana kondisi ini disebut nefropati overt dan selalu disertai dengan hipertensi. Selanjutnya LFG akan perlahan menurun dengan kecepatan yang bervariasi antar individu. Gagal ginjal akan muncul pada 50% kasus dalam waktu 10 tahun, dan 75% kasus dalam waktu 15 tahun (Lubis, 2003). Pembagian perjalanan tahapan diabetik nefropati menurut Mogensen dan Christensen adalah sebagai berikut :

Tabel Tahapan Perjalanan Penyakit Diabetik Nefropati Pada pasien ini, didapatkan proteinuri +4 pada urinalisis, atau sebanding dengan > 300 mg/menit, yang artinya pasien berada pada tahap 4 yaitu makroalbumiuria atau proteinuria, dimana disertai juga dengan penurunan LFG dan adanya hipertensi.

16

Berdasarkan tabel di atas, prognosis pasien mungkin msih bisa stabilisasi namun sudah irreversibel. Hal tesebut tergantung intervensi yang dilakukan. Intervensi yang tepat dan dilakukan sedini mungkin dapat mencegah terjadinya kerusakan ginjal yang semakin progresif. Untuk klasifikasi penggolongan penyakit ginjal kronis nya sendiri, pasien pada kasus ini termasuk penyakit ginjal kronik stadium III, dimana LFG pasien mengalami penurunan sedang, yaitu 32 mL/menit/1,73m2. Pengelolaan penyakit ginjal kronis stadium III diantaranya meliputi evaluasi dan pengobatan komplikasi, selain mengatasi penyakit penyebabnya yaitu diabetes. Pembahsan megenai penatalaksanaan akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya. 3.3 Patogenesis DM Nefropati Patogenesis kelainan ginjal pada diabetes belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat multi faktor yang berperan dalam timbulnya diabetik nefropati. Hingga saat ini, hiperfiltrasi akibat kondisi hiperglikemia masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner et al pada hewan coba menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami kekurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut (Hendromartono, 2006). Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtasi glomerulus pada diabetik nefropati ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormone vasoaktif, nitric oxide, prostaglandin, dan glucagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah akibat dari produk oksidasi glukosa yaitu AGEs (Advanced GlycationEnd-Product) yang dapat menyebabkan perubahan pada fungsi selular terutama sel-sel mesangeal, tubulus, dan podosit pada ginjal, serta induksi produksi radikal bebas yang akan memperparah kerusakan sel dan jaringan. Kerusakan sel ini diperantarai oleh induksi faktor transkripsi seperti NFK yang akan menyebabkan produksi sitokin proinflamasi dan infiltrasi sel-sel radang pada glomerulus (Juan F, 2011). Selain itu, hiperglikemia juga dapat menginduksi hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-beta yang diperantarai oleh aktivasi PKC (protein kinase C) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vascular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler (Hendromartono, 2006). Keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG (Diacylglycerol) yang selanjutnya mengaktivasi protein kinase C, utamanya pada isoform beta dan delta. Aktivasi PKC menyebabkan beberapa akibat pathogenik melalui pengaruhnya terhadap endothelial nitric 17

oxide synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor (TGF) dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan aktivasi NF-kB dan NAD(P)H oxidase. Berikut ini bagan yang menjelaskan mekanisme kerusakan ginjal akibat aktivasi Protein Kinase-C pada Kondisi Hiperglikemia :

Mekanisme Kerusakan Ginjal Akibat Hiperglikemia Melalui Aktivasi Protein Kinase C

3.4 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik a. Hipertensi Hipertensi yang terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik disebabkan oleh adanya restriksi garam sehingga meningkatkan retensi cairan yang akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Pada pasien ini hipertensi yang terjadi merupakan hipertensi sekunder yang disebabkan karena kelainan pada ginjalnya. Pasien baru mengetahui memiliki hipertensi sejak 2 bulan yang lalu. Riwayat keluarga yaitu ayah pasien menderita diabetes mellitus sedangkan ibu menderita diabetes mellitus dan hipertensi. b. Anemia Pada pasien ini didapatkan tanda-tanda anemia, yaitu badan lemas, konjungtiva pucat dan Hb 7,9 g/dL Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dapat terjadi anemia, baik normokrom normositer ataupun hipokrom mikrositer. Pada anemia normokrom mikrositer mekanisme yang terjadi adalah menurunnya produksi erythropoietin oleh korteks ginjal yang diperlukan untuk proses hemopoeisis. Sedangkan anemia hipokrom mikrositer dapat disebabkan oleh defisiensi Fe, baik karena kurangnya asupan Fe, hilangya ferritin melalui urin, maupun proses inflamasi yang menyebabkan lepasnya mediator inflamasi, interleukin 1, yang mengakibatkan kurangnya absorbsi Fe pada sumsum tulang. Selain itu, kadar ureum dalam darah tinggi dapat menyebabkan uremia gastropaty. Uremia gastropati dapat 18

menghambat penyerapan zat besi di dalam usus sehingga anemia yang terjadi pada gagal ginjal kronis dapat berupa anemia hipokrom mikrositer. Ada 2 pilihan terapi yang dapat diberikan kepada pasien. Pertama dengan menggunakan transfusi dan kedua adalah dengan menggunakan rekombinan eritropoietin. Pada pasien ini tidak dilakukan tranfusi karena anemia disebabkan oleh kadar besi, TIBC, feritin serum yang menurun sehingga diberikan ferrous sulfate 3x200 mg dan asam folat 1x3. Pada pasien ini tidak digunakan EPO karena kadar besi, TIBC, feritin serum yang menurun sehingga bahan untuk pembuatan sel darah merah kurang, oleh karena itu diberi asam folat dahulu. Selain itu, efek samping EPO yang menjadi kontraindikasi pada pasien ini yaitu hipertensi. 3.5 Penatalaksanaan Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan kendali lemak darah. Disamping itu, perlu pula dilakukan mengubah gaya hidup seperti pengaturan diet, penurunan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok dll. Secara non farmakologis terdiri dari 3 pengelolaan penyakit ginjal diabetik yaitu: 1. Edukasi. Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman tentang penyakit DM dan komplikasi nya terhadap ginjal, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, dll. 2. Perencanaan makan Pada penderita DM dengan komplikasi penyakit ginjal diabetic disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis. Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada penderita DM Tipe I diberi diet mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan resiko terjadinya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76 %. Pada umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada penderita dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai menurun, maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Jenis protein sendiri juga berperan dalam terjadinya dislipidemia. Pemberian diet rendah protein ini harus diseimbangkan dengan pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam.

19

Pada pasien ini diberikan diet Diet DM dan ginjal 1700 kcal/hari, RG <2gr/hari, rendah protein 0,6-0,8 g/KgBB/hari. Pemberian diet rendah protein dan rendah garam ini ditujukan untuk mencegah penurunan LFG sehingga progresifitas kerusakan ginjal dapat dicegah. 3. Latihan Jasmani Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani penderita. Contoh latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Endurance). Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah: 1. Pengendalian DM Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan ribuan penderita telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada DM tipe I maupun tipe II. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga mencapai kadar yang diharapkan. Pada pasien ini, dengan kadar gula darah GDP 215 dan GD2hPP 201, maka diberikan injeksi insulin intermediate acting 0-8 iu. 2. Pengendalian Tekanan Darah Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ kardiovaskuler. Pada penderita diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang dianjurkan oleh American Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood Institute adalah < 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat 1 gr/24 jam, maka target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg. Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu nonfarmakologis dan famakologis. Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya hidup antara lain menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok, serta mengurangi konsumsi garam. Sedangkan terapi farmakologis seringkali memakai kombinasi berbagai jenis obat anti hipertensi. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun jenis obat yag dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), 20 Prinsipnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive,

dikenal mempunyai efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada penderita DM. Pada penderita hipertensi dengan mikroalbuminuria atau

makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima atau memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan Non Dihydropyridine Calcium Channel Blockers (NDCCBs). Pada pasien ini diberikan obat antihipertensi golongan ACE inhibitor (Captopril 2x12.5 mg) dan ARB (Telmisartan 1 x 80 mg) hingga target tekanan darah < 130/80 mmHg.

21

BAB 4 KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan 1. Salah satu penyebab terbanyak dari penyakit ginjal kronik adalah diabetik nefropati, yang sebenarnya merupakan komplikasi mikrovaskular kronis pembuluh darah kapiler ginjal pada penderita diabetes mellitus. 2. Tanpa intervensi yang tepat, diabetik nefropati akan menyebabkan kerusakan ginjal secara progresif sehingga menjadi penyakit ginjal kronik dan seringkali berujung pada kondisi gagal ginjal. 3. Penanganan sedini mungkin dari diabetik nefropati dapat mencegah terjadinya penyakit ginjal kronik. Penatalaksanaan dapat berupa terapi non farmakologis maupun terapi farmakologis. Terapi non farmakologis berupa edukasi, pengaturan diet, dan aktifitas fisik. Terapi farmakologis dilakukan dengan cara pengendaian kadar gula darah dengan menggunakan insulin atau OAD dan juga pengedalian tekanan darah dengan obat-obatan antihipertensi, terutama ARB atau ACE inhibitor. Selain itu, perlu dilakukan terapi untuk gejala lain seperti anemia dan kondisi hiperkalemia.

22

DAFTAR PUSTAKA

Juan F, et al. 2011. Overview of inflammatory molecules and signaling pathways in diabetic nephropathy. Nature Reviews Nephrology 7, 327-340 Mark E. 2003. Pathogenesis, prevention, and treatment of diabeticnephropathy. The Lancet, Volume 352, Issue 9123,, Pages 213219 National Kidney Foundation. 2002. K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. AmJ Kidney Dis, vol. 39 (2), page 1-266 Pradeep Arora. 2010. http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview (MedScape Reference) Roesli, R., 2008. Hipertensi, diabetes, dan gagal ginjal di Indonesia. Dalam: Lubis, H.R., et al (eds). 2008. Hipertensi dan Ginjal. USU Press, Medan: 95-108 Roestenberg, 2006. Diabetic Nephropathy and the pathogenic role of growth factors. Nephrological Issue in Experimental Research, vo;5, page 34-41 Sidabutar, R.P., Wiguno, P., 1998. Hipertensi Esensial. Dalam: Soeparman., et al., Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 205-223. Sukandar, E., 2006. Nefrologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD. Suwitra, K., 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Edisi keempat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 570-573. Waspadji, S., 1996. Gambaran Klinis Diabetes Melitus. Dalam: Noer, S., et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 586-589.

23

Anda mungkin juga menyukai