Anda di halaman 1dari 34

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii


DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................ 21
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................ 24
BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 31
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus Tipe 2 (DM tipe 2) merupakan suatu kelompok peyakit metabolik
dengan ciri khas hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya.1,2
Resistensi insulin adalah salah satu penyebab DM tipe 2 dimana tubuh tidak dapat
merespon insulin. Keadaan insulin tidak bekerja dengan baik terjadi terus menerus dapat
meningkatkan kadar gula darah yang diikuti dengan pelepasan insulin lebih banyak lagi.
Hal ini dapat menguras tenaga pankreas dalam memproduksi insulin sehingga semakin
lama insulin yang dihasilkan semakin sedikit dan akan menyebabkan kadar gula darah
semakin tinggi (hiperglikemia).3
Diabetes menjadi masalah kesehatan utama yang telah mencapai kekhawatiran.
Sekarang ini, hampir setengah miliar jiwa hidup dengan diabetes di seluruh dunia. 3Dalam
beberapa tahun terakhir, diabetes terdaftar sebagai penyebab utama kematian ketujuh di
Amerika Serikat. Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa
diabetes bertanggung jawab atas hampir 5 juta kematian di seluruh dunia, terhitung
14,5% dari semua penyebab kematian secara global pada orang dewasa usia 20-79 tahun
dan lebih dari 75% orang dengan diabetes tinggal di negara berpenghasilan menengah ke
bawah.1
Penderita diabetes memiliki risiko tinggi sejumlah masalah kesehatan serius yang
mengancam jiwa. Hal ini berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang cukup
besar, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan kematian. Kadar glukosa darah yang
terus-menerus tinggi menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang mempengaruhi
jantung, mata, ginjal, dan saraf serta mengakibatkan berbagai komplikasi. 8Dengan
demikian, pembahasan mengenai DM tipe 2 lebih lanjut diperlukan agar dapat
memberikan pengetahuan dan perlunya usaha penanggulangan DM tipe 2 khususnya
dalam upaya pencegahan.4
Seiring dengan peningkatan prevalensi obesitas pada anak dan remaja, terjadi pula
peningkatan prevalensi berbagai komplikasi obesitas, termasuk Diabetes Melitus Tipe-2
(DM tipe-2), pada anak dan remaja. Awitan DM tipe-2 pada anak dan remaja paling sering
ditemukan pada dekade ke-2 kehidupan dengan median usia 13,5 tahun dan jarang
terjadi sebelum usia pubertas. DM tipe-2 pada anak dan remaja banyak berasal dari
keluarga dengan riwayat DM tipe-2.5,6
Faktor risiko DM tipe-2 terutama adalah obesitas dan riwayat keluarga dengan
DM tipe-2. Faktor risiko lainnya adalah berat badan lahir rendah (kecil masa kehamilan)
dan status gizi buruk (IMT rendah) pada usia 2 tahun. Gambaran klinis anak dan remaja
dengan DM tipe-2 bisa bervariasi dari hiperglikemi tanpa gejala yang ditemukan pada
skrining atau pemeriksaan fisik rutin sampai koma ketoasidosis (25% pasien) atau status
hiperosmolar hiperglikemik yang bisa meningkatkan risiko mortalitas.1,7
Pengelolaan DM tipe-2 pada anak dan remaja membutuhkan penanganan
komprehensif terutama perubahan gaya hidup yang meliputi pengaturan diet dan
aktivitas fisik, serta terapi obat-obatan dan insulin. Konsensus nasional DM Tipe-2 ini
dibuat untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis serta mengelola DM Tipe-2 pada
anak dan remaja.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Diabetes Melitus Tipe 2 (DM tipe 2) yang dikenal sebagai non insulin dependent
diabetes melitus (NIDDM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia akibat resistensi serta defisiensi insulin, hingga kelainan sekresi
insulin.2,9DM tipe 2 muncul akibat adanya interaksi faktor genetik dan lingkungan yang
dapat menyebabkan penurunan fungsi sel β yang bermanifestasi klinis sebagai
hiperglikemia. DM tipe 2 sangat berkaitan dengan resistensi dan kelainan sekresi insulin
dikarenakan proses inflamasi dan stres metabolik.10

2.2 Epidemiologi

DM tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi, yaitu sebanyak
90%-95% dari seluruh kasus diabetes yang ada dan penderitanya merupakan penduduk di
negara yang berpenghasilan menengah ke bawah.3,9Perkiraan jumlah penderita diabetes di
seluruh dunia pada tahun 2017 terdapat 415 juta jiwa dengan rata-rata terjadi pada usia
20-79 tahun.8Pada tahun 2019, terdapat 463 juta jiwa di seluruh dunia menderita diabetes.
Keadaan ini diperkirakan akan mencapai 578 juta jiwa pada tahun 2030, dan 700 juta
jiwa pada tahun 2045. Duapertiga dari penderita diabetes tinggal di daerah perkotaan dan
3 dari 4 diantaranya termasuk usia kerja. Lebih dari 4 juta orang berusia 20-79 tahun
meninggal karena diabetes pada tahun 2019. Presentase orang dengan diabetes yang tidak
terdiagnosis DM tipe 2 saat sebanyak lebih dari 50%.3
DM tipe 2 paling umum terjadi pada orang dewasa, tetapi bisa juga terjadi pada
remaja dan anak-anak.9Peningkatan prevalensi obesitas di masa kecil telah menyebabkan
munculnya DM tipe 2 pada anak-anak dan dewasa muda. Di Amerika Serikat, prevalensi
DM tipe 2 pada remaja usia 10-19 tahun lebih tinggi pada remaja India-Amerika dan
orang kulit hitamdibandingkan remaja kulit putih.11
Prevalensi DM tipe 2 meningkat secara global. Peningkatan ini dipengaruhi oleh
bertambahnya usia, perubahan sosial-ekonomi, dan urbanisasi yang mengarah ke
sedentary lifestyle dan konsumsi makanan tidak sehat yang berkaitan dengan obesitas.3,1
Wanita lebih sering terkena DM tipe 2 dari semua kelompok. 3Kejadian DM tipe 2
pada wanita di Timur Tengah lebih tinggi daripada pria. Wania lebih berisiko mengindap
diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang indeks massa tubuh yang besar
untuk mengarah ke obesitas. Sedangkan di Eropa prevalensi diabetes lebih tinggi pada
pria daripada wanita.4Namun, saat ini di seluruh dunia banyak melaporkan prevalensi
diabetes pada pria dan wanita itu sama.1
Indonesia dengan jumlah orang dewasa yang menderita diabetes berusia 20-79
tahun, pada tahun 2019 ada sekitar 10,7 juta penduduk Indonesia yang menderita diabetes
melitus sehingga menduduki peringkat ke-7 di dunia dan diprediksikan pada tahun 2045
akan menduduki peringkat ke-8 dengan 16, 6 juta jiwa.3
DM tipe-2 dapat terjadi pada semua ras, tetapi terdapat prevalensi yang lebih besar
pada keturunan Eropa non kulit putih, misalnya pada keturunan kulit hitam Afrika,
Amerika Utara, Hispanik-Amerika, Asia, Asia Selatan dan penduduk pulau Pasifik. Di
Hongkong, 90% dari diabetes pada anak dan remaja adalah DM tipe-2, di Taiwan
50%, dan hampir mendekati 60% di Jepang. Di Amerika Serikat dan Eropa hampir semua
anak dan remaja dengan DM tipe-2 mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas
persentil 85 sesuai usia dan jenis kelamin, namun di Jepang, 15% anak DM tipe-2 tidak
obes; di Taiwan 50% tidak obes. Rasio laki-laki dan perempuan bervariasi antara 1:4-1:6
di Amerika Utara hingga 1:1 di Asia dan Libia. Di Amerika dan Eropa, anak dan remaja
dengan DM tipe-2 banyak berasal dari kalangan sosial ekonomi rendah sementara di Cina
dan India lebih banyak ditemukan pada keluarga kaya.3,12

2.3 Patofisiologi

DM tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada
awalnya tampak terdapat resistensi dari sel sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin
mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian
terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan
meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan DM
tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikat insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya
responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin
instrinsik.Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin
dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja
insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel βdengan menurunya jumlah insulin yang
beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.13
Gambar 2.1 Patofisiologi Hiperglikemia pada Diabetes Melitus Tipe 2.14

DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel-sel
sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulinsecara normal.Resistensi insulin
banyak terjadi akibat obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita
DM tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut. Pada awal
perkembangan DM tipe 2 sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase
pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B
pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua
faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.15

2.4 Faktor Risiko

Faktor Resiko Diabetes Melitus:


1. Aktivitas fisik kurang,
2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative),
3. Etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native American, Asian American,
Pacific Islander),
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau riwayat
Diabetes Melitus Gestasional (DMG),
5. Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi),
6. Kolesterol HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL,
7. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium,
8. Riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa terganggu
(GDPT),
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas, akantosis
nigrikans) Berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m2),
10. Riwayat penyakit kardiovaskular.16
11. Umur berisiko untuk menderita intolerasi glukosameningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
12. Konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2.
Alkohol akan mengganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita
DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan
darah.
13. Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa dan DM Tipe 2.16,2

2.5 Diagnosis

Diagnosis diabetes mellitus berdasarkan gejala dibagi menjadi dua bagian:


1. Gejala khas: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria(banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah.
2. Gejala tidak khas: Lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.2
Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala
khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis juga
dapat ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis berikut:16

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis DM


Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
1 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/ dL (11,1 mmol/L)
.
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2 Atau
. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/ dl (7,0 mmol/L) Puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3 Glukosa plasma 2 jam pada TTGO '200 mg/dL (1 1,1 mmol/L)
. TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya
resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat
abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl, atau trigliserida
≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.16,18
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) standar.16

Gambar 2.2 Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)

Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994):16


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari(dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3. Diberikan beban glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
4. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai.
5. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
6. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:
1. < 140 mg/dL = normal
2. 140-< 200 mg/dL = toleransi glukosa terganggu
3. > 200 mg/dL = diabetes

Gambar 2.3 Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi


Glukosa

2.6 Tatalaksana

Tujuan Tatalaksana
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.17
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan.17
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang
pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.17
2. Terapi Nutrisi Medis
Tujuan terapi nutrisi medis untuk orang dewasa dengan diabetes adalah:
1. Untuk mempromosikan dan mendukung makan sehat pola, menekankan berbagai
makanan padat nutrisi yang sesuai ukuran porsi, untuk meningkatkan kesehatan
keseluruhan
2. Untuk memenuhi kebutuhan gizi individu berdasarkan preferensi pribadi dan
budaya, melek kesehatan dan berhitung,akses ke makanan sehat, kemauan dan
kemampuan untuk melakukan perubahan perilaku, dan hambatan untuk berubah
3. Menjaga kesenangan makan dengan memberikan pesan yang tidak menghakimi
tentang pilihan makanan
4. Untuk menyediakan individu dengan diabetes dengan alat praktis untuk
pengembangan pola makan yang sehat daripada berfokus pada nutrisi makro
individu, zat gizi mikro, atau tunggal makanan
Terapi nutri medis disampaikan oleh ahli diet terdaftar menunjukkan penurunan
A1C sebesar 0,3-1% untuk orang dengan diabetes tipe 1 (35-37) dan 0,5–2% untuk
diabetisi tipe 2. 16
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Individu dengan diabetes harus menggantikan karbohidrat olahan dan
menambahkan gula dengan biji-bijian utuh, polong-polongan, sayuran, dan buah-buahan.
Konsumsi minuman yang dimaniskan dengan gula dan produk "rendah lemak"
ditambahkan gula harus dicegah. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total
asupan energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi. Pembatasan karbohidrat total
<130 g/hari tidak dianjurkan. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).19
Protein
Penderita diabetes penyakit ginjal (dengan albuminuria, mengurangi estimasi
filtrasi glomerulus rate), protein diet harus dipertahankan pada tunjangan harian yang
direkomendasikan 0,8 g/kg berat badan per hari. Pada individu dengan diabetes tipe 2,
termakan protein dapat meningkatkan insulin respons terhadap karbohidrat diet.
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber protein yang baik
adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah
lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.19
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang dianjurkan. lemak
jenuh < 7 % kebutuhan kalori,lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak
tidak jenuh tunggal. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
fullcream. Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.17
Sodium
Adapun populasi umum, orang dengan diabetes harus membatasi konsumsi sodium
mereka hingga 2.300 mg / hari. Penurunan asupan sodium (mis., 1.500 mg /hari) dapat
manfaat untuk tekanan darah dalam keadaan tertentu. Asosiasi Jantung Amerika
merekomendasikan 1.500 mg/hari untuk Afrika-Amerika; orang yang didiagnosis dengan
hipertensi, diabetes, atau kronis penyakit ginjal; dan orang-orang di atas 51 tahun usia.19
Cara menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan Tentukan dahulu status gizi
diabetisi berdasarkan berat badan dan tinggi badan dengan menggunakan rumus indek
masa tubuh (İMT) atau dengan rumus berat badan relatif (BBR).
İMT = indeks Masa Tubuh =BB (kg) / TB2 (m) x 100%
Klasifikasi dari konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe2 di
Indonesia 2011)
IMT <18,5 : BB kurang
IMT 18,5-22,9 : BB Normal
İMT >23.0 : BB lebih
İMT 23.0-24.9 : Dengan risiko
İMT 25.0- 29.9 : Obes I
İMT >30 : Obes II
* WHO WPR/IASO/IOTF dalam the Asia-Pasific Perspective: Redefining Obesity
and its Treatment,
Kebutuhan kalori/hari untuk menuju ke berat badan normal:
1. Berat badan kurang , kebutuhan kalori sehari: 40-60 kal/kg BB
2. Berat badan normal, kebutuhan kalori sehari: 30 kal/kg BB
3. Berat badan lebih, kebutuhan kalori sehari: 20 kal/kg BB
4. Obesitas, kebutuhan kalori sehari: 10-15 kal/kg BB.17
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan beratbadan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.16

Gambar 2.4 Aktivitas Sehari-hari

4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan
kurang. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular,
tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer.Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas IIV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati.Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati
secara berkala.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama
dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
1) Acarbose
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan
ialah kembung dan flatulens.
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1 (GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan
yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan perangsang kuat
penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Sekresi GLP1
menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP1
bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.17
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuairespons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin: sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan
pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi
(secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua
macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan
kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.17
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar
jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi
kombinasi insulin.17
Secara keseluruhan tatalaksana diabetes mellitus tipe 2 dapat dilihat pada
Algoritme pengelolaan DM tipe 2 (Konsensus Perkeni 2015):

Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar
yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan
145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada
batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus
pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping
hipoglikemia dan interaksi obat.16
Gambar 2.5 Target Pengendalian DM

Penyulit Diabetes Mellitus


Penyulit Akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala
asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300320 mOs/mL) dan
terjadi peningkatan anion gap.
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330380
mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap normal atau sedikit meningkat.Catatan: kedua
keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang
memadai.16
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya:
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/Dl. Bila
terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan
pengawasan yang lebih lama. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik
(berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik
(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai.Bagi pasien
dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat
atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui
intravena.Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian
glukosa.Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat. Penyandang
diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih
dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya
kesadaran.17
Penyulit Menahun
1) Makroangiopati
Pembuluh darah jantungpenyakit arteri perifer sering terjadipada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering
tanpagejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainanyang pertama
muncul.Selainitu juga terjadi pada pembuluh darah otak17
2) Mikroangiopati:
Retinopati diabetik dan Nefropati diabetik harus memiliki kendali glukosa dan
tekanan darah yang baik untuk mengurangi risiko Pembatasan asupan protein dalam diet
(0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risikoterjadinya nefropati.

3) Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal.Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki dan amputasi.Gejala
yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di
malam hari.Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun. Semua penyandang
diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk
mengurangi risiko ulkus kaki.17

2.7 Pencegahan

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki
faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM
dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat
badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan
kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit
ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan
penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak
pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian
antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang diabetes.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada
pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya
dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup
yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum
kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk
mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai
disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi
medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan
tersier.17

2.8 Prognosis

Diabetes melitus tipe 2 tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan status
metaboliknya seperti KGDS dan HbA1C. Berdasarkan The United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS), lebih dari 5000 pasien dengan diabetes tipe 2 yang
ditindaklanjutin hingga 15tahun, mereka yang berada dalam kelompkk perawatan secara
intensif memiliki tingkat perkembangan komplikasi mikrovaskular yang jauh lebih
rendah daripada pasein yang menerima perawatan standar. Hasil menunjukkan, setiap
penurunan 1% dari HbA1C akan menurunkan resiko komplikasi sebesar 3%. Sehingga
upaya mencegah komplikasi menahun dari diabetes tergantung pada usia penyandang
diabetes,fasilitas perawatan dan motivasi berobat untuk memonitor status kesehatan
secara rutin.20
BAB III LAPORAN
KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Athifa Fitrtiyya

Usia : 10 Th, 11 bl 25 hr
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Aceh Besar
No CM : 1-23-51-51
Tanggal Masuk : 21 Juli 2020
Tanggal Periksa : 24 Juli 2020

3.2 Anamnesis

Keluhan utama : Sesak Napas


Keluhan tambahan : Mual, nyeri perut
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan sesak napas sejak sabtu siang, sesak memberat sejak ± 5
jam SMRS. Pasein juga mengalami mual sejak tadi sore. BAB ada ± 6 jam
SMRS dengan konsistensi : keras. BAK terakhir saat tiba di IGD menurut
keluarga banyak.

Riwayat penyakit dahulu :


DM type 2 sejak Januari 2020
Riwayat pengobatan :
Levemir lalu diganti metformin 1x500 mg
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga yang DM
Riwayat kehamilan :
Anak ke-2 dari 2 bersaudara, lahir secara pervaginam di RS dgn BBL 3.4
kg, tidak ada rawat di NICU, selama hamil ibu tidak ada sakit

Riwayat persalinan :
Pasien merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara. Lahir cukup bulan secara
normal dengan berat badan lahir 3300 gram. Saat lahir pasien segera menangis,
tidak ada riwayat sianosis dan ikterik. Tidak ada riwayat pecah ketuban dini saat
kelahiran. Pasien diberikan injeksi vitamin K setelah lahir. Setelah lahir pasien
tidak ada riwayat dirawat di NICU.

Riwayat imunisasi :
Imunisasi dasar lengkap

Riwayat nutrisi :
Selama sakit hanya makan sedikit dan pantang semua makanan
3.3 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi vital sign, status antropometri, status general
dan status neurologis.

a. Vital Sign
Keadaan umum : Sadar
Nadi : 129 x/menit
Respiratory Rate : 60 x/menit, isi cukup
o
Temperatur : 36,7 C
Sp. O2 : 95-100%

b. Status Antropometri
Berat Badan : 34 kg
Tinggi Badan : 139cm
Lingkar Kepala : 53 cm
Lingkar lengan atas : 22 cm
HA : 10 bulan
TB/U : 96%
BB/U : 94 %
BB/PB : 100%
Kesan : Normal

c. Status general
Mata : Konjungtiva palpebra inf anemis (-)
Telinga : Normotia
Hidung : secret (-)
Mulut : sianosis(-)
Tenggorokan : Tonsil Hiperemis (-/-), T1 – T1
Faring Hiperemis (-)
Leher : Pemb. KGB (-)
Paru : simetris, vesikuler, ronki dan wheezing(-)
Jantung : BJ1>BJ2, bising tidak ada
Abdomen : simetris, supel, organomegaly (-),
perstaltik normal, nyeri tekan tidak ada
Ekstremitas : akral hangat, CRT< 2s
KGDS : 454 mg/dl

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium

Tabel 3. 1 Hasil pemeriksaan darah rutin 21 Juli 2020

Jenis pemeriksaan (satuan) Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hemoglobin 14.6 12-15 g/dL
Hematokrit 41 37-42 %
6 3
Eritrosit 5,7 4.2-5,4 10 /mm
3
Leukosit 17.800* 4.500-10.500 /mm
3
Trombosit 454.000* 150.000-450.000 /mm
MCV 72 80-100 fL
MCH 25 27-31 Pg
MCHC 36 32-36 %
RDW 16.7 11.5-14.5 %
LED 9 7.2-11.1 mm/jam
Eosinofil 912 0-3 %
Basofil 02 0-6 %
Netrofil batang 0 0-2 %
Netrofil segmen 0 2-6 %
Limfosit 77 50-70 %
Monosit 17 20-40 %
Retikulosit 6 2-8 %

Tabel 3.2 Hasil laboratorium tanggal 21 Juli 2020 di RSUDZA


Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Diabetes
Glukosa Darah Puasa 168 60-110 mg/dL
Hematologi
Diabetes
Hb-A1c 14.80 <6.5 %
Analisis Gas Darah
pH 7.029 7.35-7.45 mmHg
pCO2 12.10 35-45 mmHg
pO2 155 80-100 mmHg
Bikarbonat (HCO3) 6.2 23-26 mmol/L
Total CO2 3.6 23.2-27.6 mmol/L
Kelebihan basa (BE) 25 (-2)-(+2)
Saturasi O2 98 95-100 %
Kimia Klinik
Hati&Empedu
SGOT 11 <31 U/L
SGPT 11 <34 U/L
Elektrolit serum
Natrium 137 132-146 mmol/L
Kalium 43 3.7-5.4 mmol/L
Klorida 112 98-106 mmol/L
Diabetes
Glukosa darah sewaktu 522 <200 mg/dL
Urinalisa
Warna Kuning
muda
Kejernihan Jernih
Berat jenis 1.020 1.003-1.030
pH 5.0 5.0-9.0
Lekosit Negative Negative
Protein Positif (+1) Negative
Glukosa Positif (+2) Negative
Keton Positif Negative
Nitrit Negative Negative
Urobilinogen Negative Negative
Bilirubin Negative Negative
Darah Negative Negative
Kesan : DM dengan KAD.

3.5 Diagnosis Banding

DM tipe 2

3.6 Diagnosis Kerja


KAD

3.7 Tatalaksana
 O2 nasal kanul 2 L/menit
 Loading NaCl 0.9% 340 cc habis dalam 1 jam
 Derajat dehidrasi (ringan) 3% = 30 ml/kg
Defisit cairan
3% x 34 x 1000 = 1020 cc
 Kebutuhan rumatan @48 jam
BB : 34 kg = 1780/24 jam = 3560/48 jam
Kebutuhan total @48 jam
3560 + 1020 = 4580 (95 cc/jam)
Line I : 47.5 cc
Line II : 47.5 cc
 Insulin = 50 IU dalam 50 cc Nacl 0.9%
Kecepatan 1.7-3.4 cc/jam continuous drip
 Diet puasa sementara

3.8 Prognosis
Prognosis pasien adalah sebagai berikut.

Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam


Quo ad Functionam : Dubia ad Sanam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Malam
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan sesak napas sejak sabtu siang, sesak memberat sejak ± 5
jam SMRS. Pasein juga mengalami mual sejak tadi sore. BAB ada ± 6 jam SMRS
dengan konsistensi : keras. BAK terakhir saat tiba di IGD menurut keluarga banyak.
Hal ini sesuai dengan gejala klinis KAD, penderita biasanya mengalami
nyeri perut, mual, muntah, dehidrasi, dan hiperpnea. Nyeri perut dapat

menyerupai gejala klinis apendisitis, perforasi usus, dan pankreatitis.21 Muntah


pada pasien KAD disebabkan karena asidosis metabolik, sedangkan nyeri
perut terjadi akibat menurunnya perfusi mesenterium, dehidrasi otot dan jaringan
usus serta paralisis saluran cerna akibat gangguan keseimbangan asam basa
dan elektrolit. Muntah dan nyeri perut ini sering menyebabkan terjadinya salah

diagnosis saat awal pasien datang.22


Pada penderita baru, berdasarkan anamnesis sering didapatkan polidipsi,
poliuri, nokturia, enuresis serta penurunan berat badan yang cepat dalam
beberapa waktu terakhir. Pernapasan Kussmaul tampak pada asidosis. Pada
KAD sering juga didapatkan napas berbau keton. Dan pada kasus yang berat
dapat terjadi penurunan kesadaran dan kejang. Pada pasien yang telah
didiagnosis menderita diabetes, KAD dapat dicurigai bila terdapat keluhan nyeri
perut, muntah, atau malaise. Diagnosis lebih sulit pada penderita baru karena
kurangnya kewaspadaan terhadap DMT1 dan gejala klinis yang menyerupai
penyakit lain. Pada semua penderita harus dicari kemungkinan adanya

infeksi sebagai faktor pemicu KAD.23

Ketoasidosis diabetik (KAD) dapat ditemukan pada penderita-penderita DM

tipe-1 yang tidak patuh jadwal dengan suntikan insulin, pemberian insulin
dihentikan karena anak tidak makan/sakit, dan kasus baru DM tipe-1.
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat
digunakan oleh sel untuk metabolisme karena glukosa tidak dapat memasuki
sel, akibatnya kadar glukosa dalam darah meningkat (hiperglikemia). Pada anak
sakit walaupun tidak makan, didalam tubuh tetap terjadi mekanisme

glukoneogenesis sehingga tetap terjadi hiperglikemia.24


Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik, kesadaran
sadar, suhu 36,7 °C, frekuensi nadi 129 x/menit, frekuensi nafas 30 x/menit. Berat
badan 34 kg, tinggi badan pasien 139 cm. Status gizi pasien dikategorikan
normorweight karena BB/TB yaitu 100%. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan
tidak ada organomegaly dan nyeri perut. Pada pemeriksaan urin ditemukan urin
berbau khas (aseton).
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Gula Darah Sewaktu (GDS) 454
mg/dl. Pada pasien tersebut ditemukan hasil GDS >200 mg/dL. Hal ini sesuai
dengan kriteria diagnosis KAD yaitu terdapat hiperglikemia atau kadar gula

darah >200 mg/dl.6 Pada penelitian Haryudi 2011 yang dilakukan pada pasien
DM tipe 1 Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar antara tahun 2005 dan 2009
usia 1-14 tahun didapatkan kadar glukosa darah terbanyak dijumpai antara 300-
500 mg/dl pada 14 kasus (52%), lebih dari 500 mg/dl pada 10 (37%) kasus dan

antara200-300 mg/dl pada 5 (12%) kasus.25

Diagnosis DM sudah dapat ditegakkan bila memenuhi salah satu kriteria,


yaitu bila ditemukan gejala klinis poliuria, polidipsia, polifagia, berat badan
menurun, dan kadar glukosa darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl. Bila tanpa
gejala, diagnosis ditegakkan bila kadar glukosa darah sewaktu harus lebih 200
mg/dl atau kadar gula darah puasa lebih tinggi dari normal atau dengan tes toleransi

glukosa kadar glukosa darah puasa >140mg/dl.24,26 Pada pemeriksaan urinalisis


ditemukan, glukosa positif (+2), keton positif. Pada pasien tersebut ditemukan
hasil glukosuria, ketonuria, hematuria mikroskopik, dan proteinuria. Pada
pemeriksaan kimia urin ditemukan kalium 4.3 mEq/L. Pada pemeriksaan HbA1c
hasil yang didapatkan 14.8% atau terjadi peningkatan yang menunjukkan kadar gula
darah pasien 3 bulan terakhir tinggi. Hal ini sesuai dengan diagnosis DM menurut
Standard of Medical Care In Diabetes 2012, yang dikeluarkan oleh ADA,

yaitu HbA1c >6,5%.16

Pasien didiagnosis KAD+DM karena pasien mengalami gejala klasik DM


yaitu polifagi, polidipsi, poliuri, ditambah gejala sistemik berupa lemah dan
penurunan berat badan yang drastis dalam waktu 4 minggu serta gejala neurologi
berupa kesemutan ekstremitas inferior. Pasien juga memiliki riwayat keluarga
yang menderita diabetes mellitus. Gula Darah Sewaktu (GDS) pasien lebih dari
200 mg/dL. Pada urin pasien juga ditemukan glukosa dalam jumlah yang signifikan.
Usia pasien termasuk kategori anak-anak (<18 tahun) yang secara epidemiologi
lebih banyak penderita DM anak merupakan DM tipe 1. Pasien mengalami
gejala mual dan muntah berulang setiap makan dan kondisi pasien tampak gelisah.
Urin berbau aseton dan pada pemeriksaan urinalisa ditemukan keton dalam jumlah
yang signifikan. Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan hipokalemi yang merupakan
gejala dehidrasi. Pada pemeriksaan HbA1c dapat disimpulkan kadar gula darah
pasien tinggi dalam tiga bulan terakhir. Sehingga pasien didiagnosis KAD
dengan DM.
Gejala seperti poliuria, polydipsia, dan polifagia yang khas sebagai bagian
dari DM tak terkontrol timbul selama 3-4 minggu sebelumnya. Begitu
pula dengan penurunan berat badan yang bahkan telah timbul lebih lama lagi,
yakni tiga sampai enam bulan sebelumnya dengan rata-rata penurunan 13
kilogram. Patut diperhatikan gejala-gejala akut yang timbul dalam waktu
singkat, seperti nausea, vomitus dan nyeri abdomen, di mana dapat dijadikan
sebagai peringatan untuk pasien bahwa dirinya sedang menuju ke arah

KAD.27
Ada 5 prinsip penatalaksanaan KAD pada anak. Prinsip tersebut adalah
diagnosis KAD, koreksi cairan, pemberian insulin, koreksi asidosis dan

elektrolit, serta pemantauan.28 Koreksi cairan pada KAD dilakukan untuk mengganti
kehilangan cairan. Kehilangan cairan dapat terjadi akibat dehidrasi karena

poliuria, hiperventilasi, muntah serta diare.21 Perhitungan kebutuhan cairan


pada penderita KAD dilakukan dengan menghitung derajat dehidrasi
kemudian ditambahkan dengan defisit cairan serta kebutuhan rumatan selama
48 jam. Pertama yang dilakukan adalah menentukan derajat dehidrasi.
Pasien ini dikategorikan dalam derajat dehidrasi ringan karena pada pasien
turgor kulit masih baik, mukosa mulut kering, dan takipnea yaitu frekuensi
napas 28 x/menit, sehingga kehilangan cairan yang terjadi yaitu 3% atau 30
ml/kgBB. Kedua, menentukan defisit cairan dengan cara menghitung defisit
cairan berdasarkan berat badan, yaitu mengalikan persentase kehilangan cairan
dengan berat badan dan 1000 ml cairan. Ketiga, menentukan kebutuhan rumatan
untuk 48 jam. Pada pasien diberikan Intra Venous Fluid Drip (IVFD) NaCL 0,9%
25 gtt makro/menit. Hal ini sesuai dengan cairan pilihan untuk resusitasi pada
penderita KAD tanpa syok adalah NaCl 0,9%. Jika terdapat keadaan syok maka
dapat diberikan NaCl 0,9% atau RL sebanyak 20 mL/kg BB bolus melalui
infus secepatnya dan dapat diulang kembali sesuai dengan respons klinis
penderita. Perhitungan cairan setelah resusitasi awal termasuk dalam
perhitungan total kebutuhan cairan dalam 48 jam. Produksi urin tidak

dimasukkan dalam perhitungan kebutuhan cairan dalam 48 jam.23 Pada pasien


diberikan cairan maintenance NaCL 0,9%+KCl 10 mEq 25 gtt makro/menit.
Hal ini sesuai dengan teori, dimana setelah resusitasi awal maka
pemberian cairan untuk defisit dan kebutuhan rumatan dipilih cairan yang
memiliki tonisitas sama atau lebih rendah dari NaCl 0,9% dengan menambahkan
kalium klorida (KCl) atau kalium fosfat (KPO4) atau kalium asetat. Pemberian
NaCl 0,9% dalam jumlah besar dapat menyebabkan hiperkloremik.
Jika sudah memungkinkan diberikan cairan oral maka dapat diberikan
cairan per oral dan jumlah cairan intravena dikurangi. Pemberian asupan oral
harus sudah dimulai kurang dari 24 jam kecuali bila terdapat sakit berat atau

pada penderita usia sangat muda.29 Pemberian insulin bertujuan untuk


mengendalikan kadar gula darah dan menekan proses lipolisis dan ketogenesis.
Pemberian insulin dilakukan segera setelah resusitasi cairan awal.
Pemberian resusitasi cairan yang adekuat saja akan dapat menurunkan gula

darah sekitar 180-270 mg/dL. Insulin diberikan melalui jalur intravena.23


Tabel Perhiutang kebutuhan cairan
BB Kebutuhan cairan perhari
3-10kg 1000 ml/kg
10-20 kg 1000 ml + 50 ml/kg setiap kgBB diatas 10 kg
>20 kg 1500 ml + 20 ml/kg setiap kgBB diatas 20 kg

Pada pasien, pemberian insulin awal yaitu dengan insulin regular drip
dengan dosis 0,1 U/kgBB/jam. Hal ini sesuai dengan teori yaitu jenis insulin yang
diberikan adalah insulin reguler/rapid dengan dosis 0,05-0,1 unit/kgBB/jam
(contoh pengenceran 5 unit insulin reguler dalam 50 mL NaCl 0,9%, 1 mL= 0,1
unit insulin). Pada penderita yang sensitif terhadap insulin maka dapat diberikan
dosis yang lebih rendah yaitu sebesar 0,05 unit/kgBB/jam. Pemberian
insulin bolus tidak dianjurkan karena akan meningkatkan risiko terjadinya
edema serebri. Pasien memiliki berat badan 68 kg sehingga pemberian insulin
menjadi 0,1x68= 6,8 U/jam atau kecepatan pemberian insulin yaitu 7
cc/jam. Pasien diberikan insulin kerja pendek yaitu Novorapid 10 UI dalam NaCl
0,9% 100 ml via syringe pump dengan kecepatan 7 cc/jam. Insulin diberikan hingga
terjadi perbaikan klinis dan laboratorium. Perbaikan laboratorium ditandai
dengan pH >7,3; bikarbonat >15 mEq/L dan atau anion gap mendekati

normal.23,29

BAB V
KESIMPULAN

Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe2) adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh selbeta pankreas
dan atau ganguan fungsiinsulin yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-sel B
pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll), penurunan reseptor glukosa
pada kelenjar pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Penderita
diabetes melitus biasanya mengeluhkan gejala khas seperti poliphagia (banyak makan),
polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malamhari) nafsu
makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat, mudah lelah, dan kesemutan.
Menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang
khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah
puasa>126 mg/dl.
DM tipe 2 memiliki proporsi 10-20% dari seluruh kasus diabetes pada anak.
Peningkatan Kejadian Diabetes Melitus tipe 2 ditimbulkan oleh faktor faktor seperti
riwayat diabetes melitus dalam keluarga, Obesitas, BBLR, kurang aktivitas, status gizi
buruk, riwayat DM pada kehamilan. Untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe
2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa>126 mg/dl. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
dapat dilakukan dengan pemilihan obat oral hiperglikemik dan insulin serta modifikasi
gaya hidup seperti diet dan olahraga teratur untuk menghindari komplikasi
mikrovaskular.
DAFTAR PUSTAKA

1. Powers AC, Niswender KD, Molina CE. Diabetes Mellitus: Diagnosis,


Classification, and Pathophysiology. In: Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 20th ed. New York: Mc Graw Hill Education; 2018. p. 2850–9.
2. PERKENI. Konsesus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia 2015 [Internet]. PB. Perkeni; 2015. Available from:
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://pbperkeni.or.id/
wp-content/uploads/2019/01/4.-Konsensus-Pengelolaan-dan-Pencegahan-
Diabetes-melitus-tipe-2-di-Indonesia-PERKENI-
2015.pdf&ved=2ahUKEwjy8KOs8cfoAhXCb30KHQb1Ck0QFjADegQIBhAB&u
sg=AOv
3. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas [Internet]. 9th ed. 2019.
Available from: http://www.idf.org/about-diabetes/facts-figures
4. Wass JAH, Stewart P. Oxford Textbook of Endocrinology and Diabetes. 2nd ed.
United Kingdom: Oxford University Press; 2011.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pokok-Pokok Hasil Riskesdas
Indonesia 2013 [Internet]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2013. Available from:
http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Pokok Pokok Hasil Riskesdas
Indonesia 2013.pdf
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riskesdas 2018
[Internet]. Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan
kesehatan; 2018. Available from:
http://dinkes.babelprov.go.id/sites/default/files/dokumen/bank_data/20181228 -
Laporan Riskesdas 2018 Nasional-1.pdf
7. International Diabetes Federation. Type 2 Diabetes. 2020; Available from:
https://www.idf.org/aboutdiabetes/type-2-diabetes.html
8. Cho NH, Shaw JE, Karuranga S, Huang Y, da Rocha Fernandes JD, Ohlrogge
AW, et al. IDF Diabetes Atlas: Global estimates of diabetes prevalence for 2017
and projections for 2045. Diabetes Res Clin Pract [Internet]. 2018;138:271–81.
Available from: https://doi.org/10.1016/j.diabres.2018.02.023
9. World Health Organization. Classification of Diabetes Mellitus 2019 [Internet].
Geneva; 2019. Available from: https://www.who.int/health-topics/diabetes
10. American Diabetes Association. Classification and Diagnosis of Diabetes:
Standards of Medical Care in Diabetes 2019. Stand Med Care Diabetes [Internet].
2019;42(1):513–28. Available from: https://doi.org/10.2337/dc19-S002
11. Forouhi NG, Wareham NJ. Epidemiology of diabetes. Medicine (Baltimore)
[Internet]. 2014;42(12):698–702. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.mpmed.2014.09.007
12. Ramadhan N, Marissa N. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2
Berdasarkan Kadar HbA1c di Puskesmas Jaya Baru Kota Banda Aceh. SEL.
2015;2(2):49–56.
13. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. In:
Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012. p.
1259–74.
14. Zheng Y, Ley SH, Hu FB. Global aetiology and epidemiology of type 2 diabetes
mellitus and its complications. Nat Rev Endocrinol [Internet]. 2017;14:88–98.
Available from: http://dx.doi.org/10.1038/nrendo.2017.151
15. Fatimah RN. Diabetes Melitus Tipe 2. J Major. 2015;4(5):93–101.
16. Aru W. Sudoyo. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Imu
Penyakit Dalam. 2014. 2575-2584 p.
17. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, et al.
Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia
2015. Perkeni. 2015.
18. American Diabetes Association. American Diabetes Association (ADA) Diabetes
Guidelines Summary Recommendation from NDEI. Natl Diabetes Educ Initiat.
2016;39(1):1–46.
19. American Diabetes Association. Standard medical care in diabetes 2016. J Clin
Appl Res Educ. 2016;
20. Intensive blood-glucose control with sulphonyureas or insulin compared with
conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes
(UKPDS). UK Prospect Diabetes Study (UKPDS) Lancet [Internet]. 1998;837–53.
Available from: https://doi.org/10.1016/S0140-6736(98)07019-6
21. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al.
Global IDF/ ISPAD guideline for diabetes in childhood and adolescent.
International Diabetes Federation. 2011; 70-81.
22. Salvodelli SD, Farhat SCL, Manna TD. Alternative management of
diabetic ketoacidosis in a Brazilian pediatric emergency department.
Diabetol Metab Synd. 2010;2:1-9.
23. Chua AR, Schneider H, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic
ketoacidosis-a systematic review. Ann Intensive Care. 2011; 1:1-12.
24. Sacks DB, Arnold M, Bakris GL. Position statement executive summary:
guidelines and recommendations for laboratory analysis in the diagnosis
and management of diabetes mellitus. Diabetes Care. 2011; 341419-1423.
25. Wolfsdorf JI. The International Society of Pediatric and Adolescent
Diabetes guidelines for management of diabetic ketoacidosis: do the
guidelines need to be modified. Pediatr Diabetes. 2014. 15(4):277-286.
26. Rabbone I, Joseph I, Wolfsdorf, Hanas R. Diabetes Ketoacidosis
Management in Children and Adolescent. ISPAD versus ISPED:
Similiarities and Differences in Research into Childhood–Onset
Diabetes. Springer. 2017; 11-19.
27. Davis SM, Maddux AB, Alonso GT, Okada CR, Mourani PM, Maahs
DM. Profound hypokalemia associated with severe diabetic
ketoacidosis. Pediatr Diab. 2016; 17(1):61-5.
28. Cherubini V, Pintaudi B, Rossi MC, Lucisano G, Pellegrini F,
Chiumello G, et al. Severe Hypoglycemia and Ketoacidosis Over One
Year in Italian Pediatric Population with Type 1 Diabetes Mellitus: A
Multicenter Retrospective Observational Study. Nutr
Metab Cardiovasc Dis NMCD. 2014; 24: 538-46.
29. Marigliano M, Mprandi A, Maschio M, Costantini S, Contreas G,
D’Annunzio G, et al. Diabetic Ketoacidosis at Diagnosis: Role of
Family History and Class II HLA Genotypes. Eur J Endocrinol/Eur
Feder Endocrine Soc. 2013; 168:107-111.

Anda mungkin juga menyukai