Diabetes Melitus Tipe 2 (DM tipe 2) merupakan suatu kelompok peyakit metabolik
dengan ciri khas hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya.1,2
Resistensi insulin adalah salah satu penyebab DM tipe 2 dimana tubuh tidak dapat
merespon insulin. Keadaan insulin tidak bekerja dengan baik terjadi terus menerus dapat
meningkatkan kadar gula darah yang diikuti dengan pelepasan insulin lebih banyak lagi.
Hal ini dapat menguras tenaga pankreas dalam memproduksi insulin sehingga semakin
lama insulin yang dihasilkan semakin sedikit dan akan menyebabkan kadar gula darah
semakin tinggi (hiperglikemia).3
Diabetes menjadi masalah kesehatan utama yang telah mencapai kekhawatiran.
Sekarang ini, hampir setengah miliar jiwa hidup dengan diabetes di seluruh dunia. 3Dalam
beberapa tahun terakhir, diabetes terdaftar sebagai penyebab utama kematian ketujuh di
Amerika Serikat. Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa
diabetes bertanggung jawab atas hampir 5 juta kematian di seluruh dunia, terhitung
14,5% dari semua penyebab kematian secara global pada orang dewasa usia 20-79 tahun
dan lebih dari 75% orang dengan diabetes tinggal di negara berpenghasilan menengah ke
bawah.1
Penderita diabetes memiliki risiko tinggi sejumlah masalah kesehatan serius yang
mengancam jiwa. Hal ini berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang cukup
besar, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan kematian. Kadar glukosa darah yang
terus-menerus tinggi menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang mempengaruhi
jantung, mata, ginjal, dan saraf serta mengakibatkan berbagai komplikasi. 8Dengan
demikian, pembahasan mengenai DM tipe 2 lebih lanjut diperlukan agar dapat
memberikan pengetahuan dan perlunya usaha penanggulangan DM tipe 2 khususnya
dalam upaya pencegahan.4
Seiring dengan peningkatan prevalensi obesitas pada anak dan remaja, terjadi pula
peningkatan prevalensi berbagai komplikasi obesitas, termasuk Diabetes Melitus Tipe-2
(DM tipe-2), pada anak dan remaja. Awitan DM tipe-2 pada anak dan remaja paling sering
ditemukan pada dekade ke-2 kehidupan dengan median usia 13,5 tahun dan jarang
terjadi sebelum usia pubertas. DM tipe-2 pada anak dan remaja banyak berasal dari
keluarga dengan riwayat DM tipe-2.5,6
Faktor risiko DM tipe-2 terutama adalah obesitas dan riwayat keluarga dengan
DM tipe-2. Faktor risiko lainnya adalah berat badan lahir rendah (kecil masa kehamilan)
dan status gizi buruk (IMT rendah) pada usia 2 tahun. Gambaran klinis anak dan remaja
dengan DM tipe-2 bisa bervariasi dari hiperglikemi tanpa gejala yang ditemukan pada
skrining atau pemeriksaan fisik rutin sampai koma ketoasidosis (25% pasien) atau status
hiperosmolar hiperglikemik yang bisa meningkatkan risiko mortalitas.1,7
Pengelolaan DM tipe-2 pada anak dan remaja membutuhkan penanganan
komprehensif terutama perubahan gaya hidup yang meliputi pengaturan diet dan
aktivitas fisik, serta terapi obat-obatan dan insulin. Konsensus nasional DM Tipe-2 ini
dibuat untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis serta mengelola DM Tipe-2 pada
anak dan remaja.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diabetes Melitus Tipe 2 (DM tipe 2) yang dikenal sebagai non insulin dependent
diabetes melitus (NIDDM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia akibat resistensi serta defisiensi insulin, hingga kelainan sekresi
insulin.2,9DM tipe 2 muncul akibat adanya interaksi faktor genetik dan lingkungan yang
dapat menyebabkan penurunan fungsi sel β yang bermanifestasi klinis sebagai
hiperglikemia. DM tipe 2 sangat berkaitan dengan resistensi dan kelainan sekresi insulin
dikarenakan proses inflamasi dan stres metabolik.10
2.2 Epidemiologi
DM tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling sering terjadi, yaitu sebanyak
90%-95% dari seluruh kasus diabetes yang ada dan penderitanya merupakan penduduk di
negara yang berpenghasilan menengah ke bawah.3,9Perkiraan jumlah penderita diabetes di
seluruh dunia pada tahun 2017 terdapat 415 juta jiwa dengan rata-rata terjadi pada usia
20-79 tahun.8Pada tahun 2019, terdapat 463 juta jiwa di seluruh dunia menderita diabetes.
Keadaan ini diperkirakan akan mencapai 578 juta jiwa pada tahun 2030, dan 700 juta
jiwa pada tahun 2045. Duapertiga dari penderita diabetes tinggal di daerah perkotaan dan
3 dari 4 diantaranya termasuk usia kerja. Lebih dari 4 juta orang berusia 20-79 tahun
meninggal karena diabetes pada tahun 2019. Presentase orang dengan diabetes yang tidak
terdiagnosis DM tipe 2 saat sebanyak lebih dari 50%.3
DM tipe 2 paling umum terjadi pada orang dewasa, tetapi bisa juga terjadi pada
remaja dan anak-anak.9Peningkatan prevalensi obesitas di masa kecil telah menyebabkan
munculnya DM tipe 2 pada anak-anak dan dewasa muda. Di Amerika Serikat, prevalensi
DM tipe 2 pada remaja usia 10-19 tahun lebih tinggi pada remaja India-Amerika dan
orang kulit hitamdibandingkan remaja kulit putih.11
Prevalensi DM tipe 2 meningkat secara global. Peningkatan ini dipengaruhi oleh
bertambahnya usia, perubahan sosial-ekonomi, dan urbanisasi yang mengarah ke
sedentary lifestyle dan konsumsi makanan tidak sehat yang berkaitan dengan obesitas.3,1
Wanita lebih sering terkena DM tipe 2 dari semua kelompok. 3Kejadian DM tipe 2
pada wanita di Timur Tengah lebih tinggi daripada pria. Wania lebih berisiko mengindap
diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang indeks massa tubuh yang besar
untuk mengarah ke obesitas. Sedangkan di Eropa prevalensi diabetes lebih tinggi pada
pria daripada wanita.4Namun, saat ini di seluruh dunia banyak melaporkan prevalensi
diabetes pada pria dan wanita itu sama.1
Indonesia dengan jumlah orang dewasa yang menderita diabetes berusia 20-79
tahun, pada tahun 2019 ada sekitar 10,7 juta penduduk Indonesia yang menderita diabetes
melitus sehingga menduduki peringkat ke-7 di dunia dan diprediksikan pada tahun 2045
akan menduduki peringkat ke-8 dengan 16, 6 juta jiwa.3
DM tipe-2 dapat terjadi pada semua ras, tetapi terdapat prevalensi yang lebih besar
pada keturunan Eropa non kulit putih, misalnya pada keturunan kulit hitam Afrika,
Amerika Utara, Hispanik-Amerika, Asia, Asia Selatan dan penduduk pulau Pasifik. Di
Hongkong, 90% dari diabetes pada anak dan remaja adalah DM tipe-2, di Taiwan
50%, dan hampir mendekati 60% di Jepang. Di Amerika Serikat dan Eropa hampir semua
anak dan remaja dengan DM tipe-2 mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas
persentil 85 sesuai usia dan jenis kelamin, namun di Jepang, 15% anak DM tipe-2 tidak
obes; di Taiwan 50% tidak obes. Rasio laki-laki dan perempuan bervariasi antara 1:4-1:6
di Amerika Utara hingga 1:1 di Asia dan Libia. Di Amerika dan Eropa, anak dan remaja
dengan DM tipe-2 banyak berasal dari kalangan sosial ekonomi rendah sementara di Cina
dan India lebih banyak ditemukan pada keluarga kaya.3,12
2.3 Patofisiologi
DM tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada
awalnya tampak terdapat resistensi dari sel sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin
mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian
terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan
meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan DM
tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikat insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya
responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin
instrinsik.Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin
dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja
insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel βdengan menurunya jumlah insulin yang
beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia.13
Gambar 2.1 Patofisiologi Hiperglikemia pada Diabetes Melitus Tipe 2.14
DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel-sel
sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulinsecara normal.Resistensi insulin
banyak terjadi akibat obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita
DM tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut. Pada awal
perkembangan DM tipe 2 sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase
pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B
pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua
faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.15
2.5 Diagnosis
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya
resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat
abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl, atau trigliserida
≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.16,18
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) standar.16
Gambar 2.2 Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan
Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)
2.6 Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.17
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan.17
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang
pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.17
2. Terapi Nutrisi Medis
Tujuan terapi nutrisi medis untuk orang dewasa dengan diabetes adalah:
1. Untuk mempromosikan dan mendukung makan sehat pola, menekankan berbagai
makanan padat nutrisi yang sesuai ukuran porsi, untuk meningkatkan kesehatan
keseluruhan
2. Untuk memenuhi kebutuhan gizi individu berdasarkan preferensi pribadi dan
budaya, melek kesehatan dan berhitung,akses ke makanan sehat, kemauan dan
kemampuan untuk melakukan perubahan perilaku, dan hambatan untuk berubah
3. Menjaga kesenangan makan dengan memberikan pesan yang tidak menghakimi
tentang pilihan makanan
4. Untuk menyediakan individu dengan diabetes dengan alat praktis untuk
pengembangan pola makan yang sehat daripada berfokus pada nutrisi makro
individu, zat gizi mikro, atau tunggal makanan
Terapi nutri medis disampaikan oleh ahli diet terdaftar menunjukkan penurunan
A1C sebesar 0,3-1% untuk orang dengan diabetes tipe 1 (35-37) dan 0,5–2% untuk
diabetisi tipe 2. 16
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Individu dengan diabetes harus menggantikan karbohidrat olahan dan
menambahkan gula dengan biji-bijian utuh, polong-polongan, sayuran, dan buah-buahan.
Konsumsi minuman yang dimaniskan dengan gula dan produk "rendah lemak"
ditambahkan gula harus dicegah. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total
asupan energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi. Pembatasan karbohidrat total
<130 g/hari tidak dianjurkan. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).19
Protein
Penderita diabetes penyakit ginjal (dengan albuminuria, mengurangi estimasi
filtrasi glomerulus rate), protein diet harus dipertahankan pada tunjangan harian yang
direkomendasikan 0,8 g/kg berat badan per hari. Pada individu dengan diabetes tipe 2,
termakan protein dapat meningkatkan insulin respons terhadap karbohidrat diet.
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber protein yang baik
adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah
lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.19
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang dianjurkan. lemak
jenuh < 7 % kebutuhan kalori,lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak
tidak jenuh tunggal. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
fullcream. Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.17
Sodium
Adapun populasi umum, orang dengan diabetes harus membatasi konsumsi sodium
mereka hingga 2.300 mg / hari. Penurunan asupan sodium (mis., 1.500 mg /hari) dapat
manfaat untuk tekanan darah dalam keadaan tertentu. Asosiasi Jantung Amerika
merekomendasikan 1.500 mg/hari untuk Afrika-Amerika; orang yang didiagnosis dengan
hipertensi, diabetes, atau kronis penyakit ginjal; dan orang-orang di atas 51 tahun usia.19
Cara menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan Tentukan dahulu status gizi
diabetisi berdasarkan berat badan dan tinggi badan dengan menggunakan rumus indek
masa tubuh (İMT) atau dengan rumus berat badan relatif (BBR).
İMT = indeks Masa Tubuh =BB (kg) / TB2 (m) x 100%
Klasifikasi dari konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe2 di
Indonesia 2011)
IMT <18,5 : BB kurang
IMT 18,5-22,9 : BB Normal
İMT >23.0 : BB lebih
İMT 23.0-24.9 : Dengan risiko
İMT 25.0- 29.9 : Obes I
İMT >30 : Obes II
* WHO WPR/IASO/IOTF dalam the Asia-Pasific Perspective: Redefining Obesity
and its Treatment,
Kebutuhan kalori/hari untuk menuju ke berat badan normal:
1. Berat badan kurang , kebutuhan kalori sehari: 40-60 kal/kg BB
2. Berat badan normal, kebutuhan kalori sehari: 30 kal/kg BB
3. Berat badan lebih, kebutuhan kalori sehari: 20 kal/kg BB
4. Obesitas, kebutuhan kalori sehari: 10-15 kal/kg BB.17
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga
dapat menurunkan beratbadan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.16
4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan
kurang. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular,
tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer.Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
kelas IIV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati.Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati
secara berkala.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama
dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan,
gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
1) Acarbose
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan
ialah kembung dan flatulens.
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1 (GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan
yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan perangsang kuat
penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Sekresi GLP1
menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP1
bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2.17
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuairespons
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin: sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan
pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi
(secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua
macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan
kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.17
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi
OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 610 unit yang diberikan sekitar
jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi
kombinasi insulin.17
Secara keseluruhan tatalaksana diabetes mellitus tipe 2 dapat dilihat pada
Algoritme pengelolaan DM tipe 2 (Konsensus Perkeni 2015):
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan pengendalian DM
yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar
yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan
145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada
batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus
pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping
hipoglikemia dan interaksi obat.16
Gambar 2.5 Target Pengendalian DM
3) Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal.Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki dan amputasi.Gejala
yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di
malam hari.Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun. Semua penyandang
diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk
mengurangi risiko ulkus kaki.17
2.7 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki
faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM
dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat
badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan
kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit
ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian
pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan
penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak
pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian
antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang diabetes.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada
pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya
dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup
yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum
kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk
mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai
disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi
medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan
tersier.17
2.8 Prognosis
Diabetes melitus tipe 2 tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan status
metaboliknya seperti KGDS dan HbA1C. Berdasarkan The United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS), lebih dari 5000 pasien dengan diabetes tipe 2 yang
ditindaklanjutin hingga 15tahun, mereka yang berada dalam kelompkk perawatan secara
intensif memiliki tingkat perkembangan komplikasi mikrovaskular yang jauh lebih
rendah daripada pasein yang menerima perawatan standar. Hasil menunjukkan, setiap
penurunan 1% dari HbA1C akan menurunkan resiko komplikasi sebesar 3%. Sehingga
upaya mencegah komplikasi menahun dari diabetes tergantung pada usia penyandang
diabetes,fasilitas perawatan dan motivasi berobat untuk memonitor status kesehatan
secara rutin.20
BAB III LAPORAN
KASUS
Usia : 10 Th, 11 bl 25 hr
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Aceh Besar
No CM : 1-23-51-51
Tanggal Masuk : 21 Juli 2020
Tanggal Periksa : 24 Juli 2020
3.2 Anamnesis
Riwayat persalinan :
Pasien merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara. Lahir cukup bulan secara
normal dengan berat badan lahir 3300 gram. Saat lahir pasien segera menangis,
tidak ada riwayat sianosis dan ikterik. Tidak ada riwayat pecah ketuban dini saat
kelahiran. Pasien diberikan injeksi vitamin K setelah lahir. Setelah lahir pasien
tidak ada riwayat dirawat di NICU.
Riwayat imunisasi :
Imunisasi dasar lengkap
Riwayat nutrisi :
Selama sakit hanya makan sedikit dan pantang semua makanan
3.3 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi vital sign, status antropometri, status general
dan status neurologis.
a. Vital Sign
Keadaan umum : Sadar
Nadi : 129 x/menit
Respiratory Rate : 60 x/menit, isi cukup
o
Temperatur : 36,7 C
Sp. O2 : 95-100%
b. Status Antropometri
Berat Badan : 34 kg
Tinggi Badan : 139cm
Lingkar Kepala : 53 cm
Lingkar lengan atas : 22 cm
HA : 10 bulan
TB/U : 96%
BB/U : 94 %
BB/PB : 100%
Kesan : Normal
c. Status general
Mata : Konjungtiva palpebra inf anemis (-)
Telinga : Normotia
Hidung : secret (-)
Mulut : sianosis(-)
Tenggorokan : Tonsil Hiperemis (-/-), T1 – T1
Faring Hiperemis (-)
Leher : Pemb. KGB (-)
Paru : simetris, vesikuler, ronki dan wheezing(-)
Jantung : BJ1>BJ2, bising tidak ada
Abdomen : simetris, supel, organomegaly (-),
perstaltik normal, nyeri tekan tidak ada
Ekstremitas : akral hangat, CRT< 2s
KGDS : 454 mg/dl
DM tipe 2
3.7 Tatalaksana
O2 nasal kanul 2 L/menit
Loading NaCl 0.9% 340 cc habis dalam 1 jam
Derajat dehidrasi (ringan) 3% = 30 ml/kg
Defisit cairan
3% x 34 x 1000 = 1020 cc
Kebutuhan rumatan @48 jam
BB : 34 kg = 1780/24 jam = 3560/48 jam
Kebutuhan total @48 jam
3560 + 1020 = 4580 (95 cc/jam)
Line I : 47.5 cc
Line II : 47.5 cc
Insulin = 50 IU dalam 50 cc Nacl 0.9%
Kecepatan 1.7-3.4 cc/jam continuous drip
Diet puasa sementara
3.8 Prognosis
Prognosis pasien adalah sebagai berikut.
Pasien datang dengan sesak napas sejak sabtu siang, sesak memberat sejak ± 5
jam SMRS. Pasein juga mengalami mual sejak tadi sore. BAB ada ± 6 jam SMRS
dengan konsistensi : keras. BAK terakhir saat tiba di IGD menurut keluarga banyak.
Hal ini sesuai dengan gejala klinis KAD, penderita biasanya mengalami
nyeri perut, mual, muntah, dehidrasi, dan hiperpnea. Nyeri perut dapat
tipe-1 yang tidak patuh jadwal dengan suntikan insulin, pemberian insulin
dihentikan karena anak tidak makan/sakit, dan kasus baru DM tipe-1.
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat
digunakan oleh sel untuk metabolisme karena glukosa tidak dapat memasuki
sel, akibatnya kadar glukosa dalam darah meningkat (hiperglikemia). Pada anak
sakit walaupun tidak makan, didalam tubuh tetap terjadi mekanisme
darah >200 mg/dl.6 Pada penelitian Haryudi 2011 yang dilakukan pada pasien
DM tipe 1 Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar antara tahun 2005 dan 2009
usia 1-14 tahun didapatkan kadar glukosa darah terbanyak dijumpai antara 300-
500 mg/dl pada 14 kasus (52%), lebih dari 500 mg/dl pada 10 (37%) kasus dan
KAD.27
Ada 5 prinsip penatalaksanaan KAD pada anak. Prinsip tersebut adalah
diagnosis KAD, koreksi cairan, pemberian insulin, koreksi asidosis dan
elektrolit, serta pemantauan.28 Koreksi cairan pada KAD dilakukan untuk mengganti
kehilangan cairan. Kehilangan cairan dapat terjadi akibat dehidrasi karena
Pada pasien, pemberian insulin awal yaitu dengan insulin regular drip
dengan dosis 0,1 U/kgBB/jam. Hal ini sesuai dengan teori yaitu jenis insulin yang
diberikan adalah insulin reguler/rapid dengan dosis 0,05-0,1 unit/kgBB/jam
(contoh pengenceran 5 unit insulin reguler dalam 50 mL NaCl 0,9%, 1 mL= 0,1
unit insulin). Pada penderita yang sensitif terhadap insulin maka dapat diberikan
dosis yang lebih rendah yaitu sebesar 0,05 unit/kgBB/jam. Pemberian
insulin bolus tidak dianjurkan karena akan meningkatkan risiko terjadinya
edema serebri. Pasien memiliki berat badan 68 kg sehingga pemberian insulin
menjadi 0,1x68= 6,8 U/jam atau kecepatan pemberian insulin yaitu 7
cc/jam. Pasien diberikan insulin kerja pendek yaitu Novorapid 10 UI dalam NaCl
0,9% 100 ml via syringe pump dengan kecepatan 7 cc/jam. Insulin diberikan hingga
terjadi perbaikan klinis dan laboratorium. Perbaikan laboratorium ditandai
dengan pH >7,3; bikarbonat >15 mEq/L dan atau anion gap mendekati
normal.23,29
BAB V
KESIMPULAN
Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe2) adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh selbeta pankreas
dan atau ganguan fungsiinsulin yang terjadi melalui 3 cara yaitu rusaknya sel-sel B
pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll), penurunan reseptor glukosa
pada kelenjar pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Penderita
diabetes melitus biasanya mengeluhkan gejala khas seperti poliphagia (banyak makan),
polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malamhari) nafsu
makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat, mudah lelah, dan kesemutan.
Menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang
khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah
puasa>126 mg/dl.
DM tipe 2 memiliki proporsi 10-20% dari seluruh kasus diabetes pada anak.
Peningkatan Kejadian Diabetes Melitus tipe 2 ditimbulkan oleh faktor faktor seperti
riwayat diabetes melitus dalam keluarga, Obesitas, BBLR, kurang aktivitas, status gizi
buruk, riwayat DM pada kehamilan. Untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe
2 yaitu ditemukan keluhan dan gejala yang khas dengan hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa>126 mg/dl. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
dapat dilakukan dengan pemilihan obat oral hiperglikemik dan insulin serta modifikasi
gaya hidup seperti diet dan olahraga teratur untuk menghindari komplikasi
mikrovaskular.
DAFTAR PUSTAKA