Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN November 2021


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN CHOLELITIASIS

OLEH:
Dinda Fuadila Al Humaira
105505406818

PEMBIMBING:
dr. Dzulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Dinda Fuadila Al Humaira


NIM : 105505406818
Judul Laporan Kasus : Manajemen Anestesi Pada Pasien Cholelitiasis

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, November 2021


Pembimbing,

(dr. Dzulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An)


KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat
diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar
Nabi Muhammad SAW.
Laporan kasus berjudul “Manajemen Anestesi Pada Pasien Cholelitiasis”
ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat
untuk dalam menyelesaikan Kepanitraan Klinik di Bagian Anestesiologi. Secara
khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr.
Dzulfikar Tahir M.Kes, Sp.An. Selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi
selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada
semua orang.

Makassar, November 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Kolelitiasis merupakan salah satu penyakit yang paling sering ditemui dan
salah satu penyebab utama morbiditas abdomen di seluruh dunia.1Insiden penyakit
batu empedu meningkat secara global karena perubahan besar dalam kebiasaan diet,
perubahan gaya hidup yang terkait dengan konsumsi makanan cepat saji yang tinggi
dan gaya hidup yang meningkat. (1)
Kolelitiasis atau batu empedu adalah adanya endapan yang mengeras dari
cairan pencernaan yang terbentuk di kantong empedu. Kantung empedu adalah organ
kecil yang terletak tepat di bawah hati. Organ ini menghasilkan cairan pencernaan
yang dikenal sebagai cairan empedu, yang akan dilepaskan ke usus kecil. Kolelitiasis
mempengaruhi sekitar 5,3-25 % dari populasi, menurut laporan survei klinis dari
Eropa, Amerika Utara dan Selatan, dan Asia. Umumnya gangguan ini terjadi tanpa
gejala, dan hanya 20% penderita kolelitiasis yang mengalami nyeri dan komplikasi.
Faktor risiko kolelitiasis yang paling umum adalah jenis kelamin, dengan perempuan
menjadi salah satu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan juga terkait dengan
kejadian sindrom metabolik. Ada beberapa faktor risiko lain dari kolelitiasis, seperti
genetik, kurangnya aktivitas fisik yang juga berhubungan dengan sindrom metabolik,
obesitas yang berhubungan dengan peningkatan pembentukan batu empedu
kolesterol, faktor diet, dan penyakit penyerta lainnya.(5)
BAB II

LAPORAN KASUS

A. PREOPERATIF/PREANESTESI
I. Identitas pasien
Nama : Ny. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 32 tahun
Berat Badan : 60 kg
Agama : Islam
Alamat : Bantaeng
Diagnosis : Cholelitiasis
II. Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri Perut Kanan
a) Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk ke UGD RS Pelamonia dengan keluhan nyeri pada
perut sebelah kanan yang dirasakan semakin memberat 4 hari terakhir.
Riwayat demam, mual, muntah disangkal. BAK berwarna seperti teh,
BAB lancar namun pasien tidak pernah memperhatikan warna fesesnya.
Riwayat penyakit dahulu:
1) Riwayat asma (-)
2) Riwayat hipertensi (-)
3) Riwayat penyakit jantung (-)
4) Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
5) Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)

b) Riwayat operasi (-)


III. Pemeriksaan fisik
GCS : E4M6V5
Vital Sign : Tekanan darah : 104/71 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,5C
Pernafasan : 20 x/menit

a) B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular
(-),leher pendek (-),tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi
pernapasan: 20 kali/menit, suara pernapasan: vesikular (+/+), suara
pernapasan tambahan ronchi(-/-), wheezing(-/-), skor Mallampati : 2,
massa (-) pada leher, gigi ompong (-) graham belakang, gigi palsu (-).

b) B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+),
tekanan darah: 104/71 mmHg, denyut nadi :82 kali/menit, reguler, kuat
angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
c) B3 (Brain) :
Kesadaran: Composmentis, Pupil: bulat isokor Ø 2,5 mm/2,5mm, refleks
cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, defisit neurologi
(-).
d) B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 5-8 kali sehari berwarna seperti
teh.
e) B5 (Bowel) :
peristaltik (+) kesan normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (-).
f) B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-)

IV. Pemeriksaan penunjang


a) Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Lab Nilai Normal
Hematologi (12/11/2021)
Hemoglobin 12,4 11,7- 15,5 g/dL
Leukosit 11,52 4.400-11.300 /L
Hematokrit 38,6 35-47%
Eritrosit 4,39 3,8-5,2 x106/
Trombosit 397 150-450 103/L
MCV 87,9 84-96µm3
MCH 28,2 26,5-33,5 pg
LED 60 0,0-20 mm
Clotting time 9’30” 6 – 15 detik
Bleeding Time 2’00” 1.0 – 3.0 detik
SGOT 13 0-31 U/L
SGPT 15 0-42 U/L
Ureum 14 10-50 mg/dl
Creatinin 0,72 0,6-1,2 mg/dl
GDS 94 70 – 200 mg/dl
NAAT Isothermal SARS- Negatif Negatif
CoV-2
V. Diagnosis
Cholelitiasis
VI. Penatalaksaan
Rencana operasi : Laparoscopy Cholecystectomy

Di UGD :
KIE (+), surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan tindakan
anestesi (+),
 IVFD RL 18 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1gr/12/iv
 Rencana laparoscopy cholecystectiomy

Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:

Diagnosis Preoperatif : Choleliyhiasis

Status Operatif : PS ASA II, skor Mallampati 2

Jenis Operasi : Laparoscopy Cholecystectomy

Jenis Anastesi : General Anestesi (GETA)

B. PREINDUKSI

Pemeriksaan fisik preoperatif


B1 (Breath) :
Airway: bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-),
buka mulut 2,8 cm, jarak mentohyoid 5 cm, jarak hyothyoid 4,2 cm, leher
pendek (-), gerak leher terbatas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-),
frekuensi pernapasan: 28 kali/menit, suara pernapasan: vesikular (+/+),
suara pernapasan tambahan ronchi(+/+), wheezing(-/-), skor Mallampati :
2, massa (+) pada leher, gigi ompong (-) graham belakang, gigi palsu (-).
B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (-/-) dan ekstremitas bawah (-/-),
tekanan darah: 160/100 mmHg, denyut nadi :120 kali/menit, reguler, kuat
angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
B3 (Brain) :
Kesadaran: Composmentis, Pupil: bulat isokor Ø 2,5 mm/2,5mm, refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), defisit
neurologi (-).

B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 6-10 kali sehari berwarna
merah.
B5 (Bowel) :
Abdomen : Peristaltik (+) kesan normal, massa (-), jejas (-), nyeri tekan
(+).
B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema
ekstremitas bawah (-/-).

Persiapan pasien preoperatif :


IVFD RL 500 cc.

Persiapan dikamar operasi :


Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Alat-alat resusitasi (STATICS).
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anestesia
 Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel komponen STATICS

Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
T Tubes
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½.
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
A Airways
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
T Tapes
tercabut.
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
I Introducer
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan
introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Prosedur intubasi:
1) Mesin siap pakai
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat
epiglotis, dorong blade sampai pangkal epiglotis
12) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
14) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan2
C. INTRAOPERATIF
1. Diagnosis pra bedah : Cholelithiasis
2. Diagnosis pasca bedah : Cholelitiasis + Cholecysticis
3. Penatalaksanaan anestesi
a. Jenis anestesi : General Anestesi
b. Lama anestesi : 13.30 – 14.00 (30 menit)
c. Lama operasi : 14.00 – 15.30 (90 menit)
d. Anestesiologi : dr. Dian Wirdiyana, Sp.An, M.Kes
e. Ahli Bedag Digestive : dr. Samuel Sampetoding, Sp.B-KBD MARS
f. Posisi : Supine
g. Infus : 1 line dengan connecta di tangan kanan
h. Teknik anastesi : General Endo Tracheal Anesthesia (GETA)
i. Premedikasi : Midazolam 8 mg (0,1 -0,2mg/KgBB)
Fentanyl 6 ml (1-2 mcg/KgBB)
j. Induksi : Propofol 10 mg/mL (2-2,5 mg/KgBB)
k. Relaksan : Tramus 30 mg / (0,5-0,6 mg/KgBB)
l. Emergency : Ephedrine HCl 50 mg/mL
Lidocain HCl 2 ml
m. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg/8jam/iv
n. Maintanance : O2 via Ventilator
o. Respirasi : Pernapasan via ventilator
p. Posisi : Supinasi
q. Cairan durante operasi : RL500 ml
C. POST OPERATIF
Pemantauan di Recovery Room :

 Pengawasan tanda-tanda vital


 Memasang O2 3 liter/menit nasal kanul
 Ringer Laktat 28 tpm

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. Cholelithiasis
a. Definisi.
Kolelitiasis atau batu empedu adalah endapan cairan
pencernaan yang mengeras yang dapat terbentuk di kantong
empedu. Kantung empedu adalah organ kecil yang terletak tepat di
bawah hepar. Kantung empedu menyimpan cairan pencernaan
yang dikenal sebagai cairan empedu yang akan dilepaskan ke usus
kecil. (1)
.
b. Epidemiologi
Kolelitiasis cukup umum dan dapat ditemukan pada sekitar 6%
pria dan 9% wanita.
Meskipun angka kejadian batu empedu terbilang tinggi, namun
lebih dari 80% orang tetap asimtomatik. Namun, nyeri bilier akan
berkembang setiap tahun pada 1% hingga 2% individu yang
sebelumnya tidak menunjukkan gejala. Mereka yang mulai
merasakan gejala dapat terus beresiko mengalami komplikasi
seperti ; kolesistitis, koledokolitiasis, pankreatitis batu empedu,
kolangitis yang angka kejadiannya terjadi pada tingkat 0,1%
hingga 0,3% setiap tahun. (1)
c. Faktor resiko.
 Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan
dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40
tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis di
bandingkan dengan usia yang lebih muda. Di Amerika
serikat 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap
batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu
empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh:
1.Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
2.Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu
sesuai dengan bertambahnya usia.
3.Empedu semakin itogenik bila usia semakin bertambah.
 Jenis Kelamin
Wanita memiliki resiko dua kali lipat untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan pria, hal ini
disebabkan karena pada wanita dipengaruhi oleh
hormon estrogen, yang berpengaruh terhadap
peningkatan eksresi kolesterol oleh kandung empedu.
Hingga decade ke-6, 20 % pada wanita dan 10 %
pada pria menderita batu empedu dan prevalensinya
meningkat dengan bertambahnya usia.(2)
 Berat Badan (BMI)
Pada orang yang memiliki Body Mass Indeks (BMI)
tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
kolelitiasis, hal ini dikarenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol di dalam kandung empedu
tinggi dan mengurangi garam empedu serta mengurangi
kontraksi / pengosongan kandung empedu.(2)
 Makanan
Konsumsi makanan yang mengandung lemak
terutama lemak hewani beresiko untuk menderita
kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari
lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam
cairan empedu melebihi batas normal, maka cairan
empedu dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi
batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang
cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi
kandung empedu.(2)
 Aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin
disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.(2)
d. Patofisiologi
Batu empedu kolesterol terbentuk terutama karena adanya
sekresi kolesterol yang berlebihan oleh sel-sel hati dan
hipomotilitas atau gangguan pengosongan kandung empedu. Pada
batu empedu berpigmen, kondisi dengan pergantian heme tinggi,
bilirubin dapat hadir dalam empedu pada konsentrasi yang lebih
tinggi dari normal. Bilirubin kemudian dapat mengkristal dan
akhirnya membentuk batu. (1)
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi kolelitiasis biasanya tidak spesifik dan tidak
berhubungan dengan adanya batu empedu. Gejala yang biasa
dirasakan oleh pasien adalah dyspepsia, mual, muntah, kembung,
distensi perut, nyeri dada, kepenuhan postprandial atau cepat
kenyang, dan perut kembung. Nyeri viseral berasal dari benturan
batu, atau mikrolitiasis pada duktus sistikus atau ampula Vater.
Kondisi ini menyebabkan distensi dan kontraksi dari kantong
empedu dan saluran empedu.(3)
Pada kasus yang asimptomatik, keluhan berupa nyeri didaerah
epigastrium, kuadran kanan atau precordium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada
sepertiga kasus timbul secara tiba-tiba. Penyebaran nyeri dapat
ke punggung bagian tengah, scapula, atau puncak bahu, disertai
mual dan muntah.(2)
Kolik bilier biasanya disebabkan oleh kontraksi kandung
empedu sebagai respons terhadap beberapa bentuk stimulasi,
memaksa batu melalui kandung empedu untuk masuk ke duktus
sistikus, yang menyebabkan peningkatan ketegangan dan tekanan
pada dinding kandung empedu yang sering mengakibatkan nyeri
yang dikenal sebagai kolik bilier. Saat kantong empedu rileks,
batu sering jatuh kembali ke kantong empedu, dan rasa sakitnya
mereda dalam waktu 30 hingga 90 menit. (1)
Pada pemeriksaan fisik, dapat dijumpai ikterus dan nyeri tekan
pada kuadran kanan atas (RUQ) selama palpasi perut. Tanda
Murphy positif juga dapat positif. Pada kasus emergensi dapat
ditemukan trias Charcot (demam, nyeri tekan RUQ, dan ikterus)
yang sangat mengindikasikan adanya kolangitis, dimana
penanganan darurat harus segera dilakukan untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut.(3)
f. Diagnosis
Diagnosis kolelitiasis ditegakkan dengan melakukan anamnesis ,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, dan ultrasonografi.
 Tes laboratorium

Beberapa tes laboratorium harus dipertimbangkan


dalam mendiagnosis kolelitiasis. Hitung sel darah lengkap
(CBC) dapat menunjukkan peningkatan jumlah sel darah
putih (WBC), meskipun hasil WBC yang normal terkadang
tidak menyingkirkan kemungkinan dalam menegakkan
diagnosis. Komponen laboratorium lainnya termasuk: tes
fungsi hati, lipase, amilase, urinalisis, tes kehamilan pada
wanita usia subur, dan tes guaiac tinja untuk menyingkirkann
perdarahan intestinal

 Tes pencitraan

Sangat penting untuk memiliki modalitas pencitraan


yang akurat pada kolelitiasis untuk memastikan intervensi
dini dan mencegah komplikasi (infeksi bakteri pada kantong
empedu, perforasi, dll.). Modalitas pencitraan juga dapat
mencegah pengobatan yang tidak perlu jika ditemukan hasil
positif palsu. Beberapa alat diagnostik yang berguna adalah
ultrasonografi (USG), computed tomography (CT), magnetic
resonance cholangiopancreatography.
Ultrasonografi adalah metode pilihan dan juga dikenal
sebagai standar emas untuk mendiagnosis kolelitiasis.
Ultrasonografi dianggap sebagai metode yang sangat baik
karena memiliki akurasi diagnostik yang tepat dan dapat
dilakukan untuk memeriksa hampir semua organ perut,
terlepas dari non-invasif, kekurangan radiasi, dan biaya yang
relatif rendah. Sebuah studi dari Scruggs et al. menemukan
bahwa USG juga memiliki sensitivitas tinggi (97%) dan
spesifisitas (93,6%). Penelitian sebelumnya melaporkan
bahwa salah satu keuntungan paling penting dari USG
dibandingkan teknik pencitraan lain dalam penyelidikan
kolelitiasis adalah kemampuan untuk menilai tanda Murphy
sonografi, yang merupakan indikator kolelitiasis yang dapat
diandalkan dengan sensitivitas 92%. Penebalan dinding
kandung empedu dengan adanya batu empedu oleh USG
memiliki nilai prediksi positif 95% untuk diagnosis
kolelitiasis. 

Gambar 1 : Pemeriksaan USG pada kolelitiasis


Meskipun kolescintigrafi juga memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi (masing-masing 96% dan 90%) untuk
diagnosis kolelitiasis, modalitas ini memiliki beberapa kelemahan
yang membatasi penggunaannya dalam praktik klinis. Metode ini
tidak dapat menilai struktur di luar saluran empedu, dan seringkali
tidak tersedia peralatan dan personel, penuh dengan paparan radiasi,
dan membutuhkan waktu berjam-jam untuk melakukannya.(3)

g. Tatalaksana
 Farmakologi
Pengobatan untuk nyeri kolik diberikan terapi obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID) atau pereda nyeri
narkotika, dan juga dapat disertai dengan pengobatan
simtomatik untuk mual, muntah, dan demam sesuai
kebutuhan. Pilihan lain untuk analgetik adalah agen anti-
spasmodik (hyoscine-N-butyl bromide), yang digunakan
untuk mengurangi kontraksi kandung empedu. Namun, studi
perbandingan telah menunjukkan bahwa NSAID memberikan
lebih cepat dan bekerja lebih efektif sebagai pereda nyeri.
Pasien harus berpuasa sebagai bagian dari manajemen
konservatif nyeri kolik dan untuk menghindari pelepasan
kolesistokinin endogen. Sebuah studi dari Eropa Association
for the Study of the Liver (EASL) menunjukkan bahwa asam
ursodeoxycholic (UDCA) tidak diindikasikan sebagai obat
pencegahan penyakit batu empedu di populasi umum. Jika
tidak, UDCA profilaksis (500 g/hari) dapat mencegah
pembentukan batu pada pasien pascaoperasi bariatrik. Sebuah
studi uji coba terkontrol secara acak (RCT) yang diterbitkan
pada tahun 2003 menemukan penurunan risiko pembentukan
batu empedu secara signifikan dalam waktu 24 bulan setelah
operasi bypass lambung restriktif.(3)
 Non Farmakologi
Manajemen bedah untuk pasien dengan gejala batu
empedu dapat dibagi menjadi dua kategori; (1) mereka
yang mengalami kolik bilier sederhana dan (2) mereka
yang mengalami komplikasi. Sebagian besar pasien dengan
batu empedu simtomatik dapat diobati menggunakan
kolesistektomi laparoskopi. Tetapi tinjauan Cochrane
tentang kolesistektomi laparoskopi versus kolesistektomi
terbuka menunjukkan hasil yang sama dalam tingkat
komplikasi dan waktu pembedahan, tetapi rawat inap yang
lebih pendek.
II. Manajemen Anestesi Pada Pasien Cholelitiasis

Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor,


antara lain : umur, jenis kelamin, status fisik, jenis operasi,
ketrampilan operator dan peralatan yang dipakai,
ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan sarananya, status
rumah sakit, dan permintaan pasien. Saat ini sekitar 70-75 % operasi
pada rumah sakit, dilakukan di bawah anestesi umum (general
anesthesia). Operasi sekitar kepala, leher, dada, dan abdomen sangat
baik dilakukan dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan
pipa endotrakheal, sejak diketahui bahwa dengan metode ini jalan
nafas dapat dikontrol dengan baik sepanjang waktu.

Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur


laparoskopi, karena iritasi yang mengenai diafragma dari insuflasi CO2
bisa menyebabkan sakit pada pundak, ditambah lagi waktu
penyembuhan untuk pengembalian fungsi yang lengkap bisa lama.(4)

Evaluasi Preoperasi

Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih


dulu anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan
hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien selama prosedur
laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk
mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru berat dan gangguan
fungsi jantung.(5)

Pasien yang akan melakukan operasi dengan general endotracheal


anesthesia harus terlebih di lakukan evaluasi untuk kemungkinan
kesulitan intubasi. Penilaian untuk kemungkinan adanya kesulitan
untuk laringoskopi dan intubasi dapat dinilai dengan kriteria
LEMON.

L = Look externally

Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien


membutuhkan tindakan ventilasi atau intubasi dan evaluasi
kesulitan secara fisik, misalkan leher pendek, trauma facial,
gigi yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang besar.

E = Evaluate 3 – 3 – 2 rule

3 – 3 – 2 rule adalah penentuan jarak anatomis


menggunakan jari sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa
besar bukaan mulut.

M = Mallampati score
Mallampati score digunakan sebagai alat klasifikasi
untuk menilai visualisasi hipofaring, caranya pasien berbaring
dalam posisi supine, membuka mulut sambil menjulurkan
lidah.

Klasifikasi

Derajat I : Glottis terlihat penuh, plika vocalis terlihat jelas.

Derajat II : Glottis bagian depan tidak tampak, plika vocalis


terlihat sedikit.

Derajat III : terlihat epiglottis tetapi Glotis tidak terlihat

Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat.6

Perlu diingat bahwa Metode Mallampati ini tidak dapat


digunakan sebagai pemeriksaan tunggal, tetapi merupakan
salah satu bagian dari teknik pemeriksaan untuk memprediksi
kesulitan intubasi endotrakeal. Kombinasi teknik pemeriksaan
tersebut disingkat sebagai LEMON.

O = Obstruction/Obesity

Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan


obstruksi misalkan abses peritonsil, trauma.
Obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena
memperberat ketika melakukan laringoskop dan mengurangi
visualisasi laring.

N = Neck deformity

Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan


berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi menjadi
sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan ekstensi dengan bebas ketika
laringoskopi atau intubasi, Ektensi leher "normal" adalah 35°.

Manajemen Intraoperatif

Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan


anestesi umum dengan menggunakan monitor standar. Pengukuran
tekanan darah noninvasive dan kapnografi penting untuk mengikuti
efek hemodinamik dan pneumoperitoneum pada respirasi dan
perubahan posisi. Dalam situasi tertentu, monitor pengukuran tekanan
arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan monitor tekanan arteri
secara invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal CO2 arteri
yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya
dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter
arteri paru atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk
pasien dengan gangguan fungsi jantung atau hipertensi paru.(5)

Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus


memadai pada prosedur laparoskopi, seperti pada keadaan kehilangan
darah. Akses untuk memasukkan obat secara intravena yang adekuat
adalah kunci dari resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan
pendarahan yang tidak terkontrol atau emboli gas. Akses ke vena
sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan vena
perifer.(5)

Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu


pemasangan pipa endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik
atau nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan
udara lambung, menurunkan resiko kerusakan gaster, dan
memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan
intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa
endotracheal dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi
yang positif untuk mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan
kelebihan CO2 yang diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat
menyebabkan perubahan posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan
trakea yang pendek, dimana ketika carina bergerak ke atas pipa
endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga memasang
pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan
untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien.(5)

Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent,


opioid intravena, dan obat pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan
bahwa N2O sebaiknya dihindari selama prosedur laparoskopi karena
ini akan meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi.
Penggunaan klinis N2O ini masih menjadi perdebatan.(5)

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan


Trendelenburg atau Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien
sebaiknya dihindari dengan mengamankan dan membantali seluruh
ekstremitas. Tekanan pernafasan bisa meningkat dengan perubahan
posisi dan ventilasi, biasanya butuh penyesuaian.(5)
Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah
laparoskopi dengan anestesi umum adalah menjaga agar tetap
normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan hemodinamik.
Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit setelah insuflasi CO2.
Untuk menormalkan kembali CO2 ini, ventilasi ditingkatkan biasanya
dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume tidal yang
tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur
bedah diubah menjadi prosedur bedah terbuka.(5)

Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen


selama prosedur laparoskopi. Jika tekanan darah meningkat maka
pemberian kadar obat anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat
ditambahkan dengan pemberian obat seperti nitropusside (nitropusside
menyebabkan reflek tackikardi, berpotensi untuk menimbulkan
keracunan sianida), esmolol, atau calcium channel blocker.
Pengobatan dengan alpha agonist seperti clonidine atau
dexmedetomidine adalah strategy lain (alpha agonist dapat
menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi inhalasi, berpotensi
menjadi bradikardi). Walaupun pasien yang sehat dapat mentoleransi
perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung yang
buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah
dengan penggunaan monitor secara invasif (arterial line, central line,
transesofageal ochocardiografi) selama prosedur berlangsung.(5)

Manajemen Pasca Operasi

Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap


terjadi selama 45 menit setelah prosedur selesai. Insiden mual muntah
pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai
42%. Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi
dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari pneumoperitoneum, dan
karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal maupun dalam
kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi
metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk
menurunkan insiden mual dan muntah pasca operasi dapat dilakukan
dengan meminimalkan dosis opioid dan mempertimbangkan
pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur
laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada saat
pasien akan pulang juga diperlukan.(5)

Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya


lebih sedikit dibandingkan dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas
penggunaan analgesik harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi
karena insisi, visceral, atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum.
Manajemen nyeri diawali sebelum atau selama prosedure
pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfine) dalam
kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman
pada akhir dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti
bupivacaine pada port sites kulit dan peritoneum memblock nyeri
somatik dan visceral. Analgesik pasca operasi dilanjutkan dengan
pemberian opioid intravena secara intermiten atau medikasi nyeri
peroral. Pada beberapa pasien bisa dilakukan dengan pemasangan
sebuah kateter epidural untuk manajemen nyeri pasca operasi.(5)

.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. DISKUSI
Pasien masuk ke UGD RS Pelamonia dengan keluhan nyeri pada perut
sebelah kanan yang dirasakan semakin memberat 4 hari terakhir. Riwayat
demam, mual, muntah disangkal. BAK berwarna seperti teh, BAB lancar
namun pasien tidak pernah memperhatikan warna fesesnya.
Berdasarkan teori pasien dengan cholelithiasis mengalami keluhan
seperti yang dialami oleh pasien yatiu nyeri pada perut sebelah kanan yang
dirasakan hilang timbul.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 104/71
mmHg; nadi 82x/menit; respirasi 20x/menit; suhu 36,5˚C. Dari pemeriksaan
laboratorium hematologi didapatkan hasil yang bermakna yaitu WBC : 11.52
x 103/µL, LED : 60mm.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA II.
Pasien masuk ke kamar operasi pukul 13.30., kemudian dilakukan
persiapan pada pasien dengan tanda – tanda vital awal : TD 116/59 mmHg,
HR 99 x/menit, RR: 16x/menit, Suhu 36,5 ̊C, Sp O2 99%. Setelah pasien dan
instrumen untuk pembedahan telah siap, pukul 13.30 dilakukan persiapan
untuk anestesi dengan prosedur GETA.
Untuk penilaian jalan nafas pada pasien ini dari pemeriksaan luar tidak
didapatkan massa pada leher. Dari penilaian Mallampati pasien masuk dalam
kategori II. Tidak ditemukan tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan
mobilitas leher yang baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diperkirakan
tidak ditemui kesulitan untuk laringoskopi dan intubasi berdasarkan hasil
pemeriksaan obyektif.
Pada pasien dipilih untuk dilakukan tindakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakeal napas terkendali dengan pertimbangan keuntungan yang
didapat dari tindakan anestesia tersebut. Keuntungan dari tindakan ini antara
lain:

 Jalan nafas yang aman dan terjamin karena terpasang ETT


 Pasien akan merasa lebih nyaman karena dalam keadaan tertidur, serta
terhindar dari trauma terhadap operasi.
 Kondisi pasien lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan
operasi.
 Waktu pulih sadar lebih cepat dengan kondisi nafas spontan.
Bila memakai teknik nafas spontan diperlukan obat anestesi banyak
yang dapat mendepresi pernafasan dan jantung (hipotensi, bradikardi, nafas
dangkal). Untuk mencegah pemakaian obat yang banyak pada operasi yang
memerlukan otot lemas atau relaksasi sebaiknya digunakan teknik nafas
kendali dengan memberikan obat pelemas otot jangka panjang. Dengan cara
ini dicapai relaksasi otot yang baik tanpa menggunakan anestetika yang
banyak dan menghindarkan anestesi yang terlalu dalam.
Setelah dipasang jalur intravena dengan cairan RL (ringer Laktat)
sebagai loading mulai dimasukkan obat-obat premedikasi Midazolam 2 mg +
fentanyl 150 mcg sebagai analgetik opioid, propofol 100 mg sebagai obat
induksi anestesia, muscle relaksan dengan golongan non-depolarisasi jenis
intermediete acting yaitu tramus dosis 25 mg/2,5 ml, sebagai obat anestesi
inhalasi diberikan isofluran 2 % vol dengan tambahan O2 dan N2O dengan
perbandingan 2:2.
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan pemberian oksigen 8 liter
permenit. Pukul 14.00 operasi berlangsung, dilakukan pemantauan monitor
untuk tanda-tanda vital pasien. Pukul 15.30 operasi selesai, TTV terakhir : TD
110/70 mmHg, HR 80x/ menit, RR 20x/ menit, Suhu 36,4 ̊C, Sp O2 99%.
BAB IV

KESIMPULAN

Kolelitiasis atau batu empedu adalah endapan cairan pencernaan yang


mengeras yang dapat terbentuk di kantong empedu. Kantung empedu adalah organ
kecil yang terletak tepat di bawah hepar. Kantung empedu menyimpan cairan
pencernaan yang dikenal sebagai cairan empedu yang akan dilepaskan ke usus kecil.

Pasien dengan cholelitiasis yang akan melakukan laparoskopi colesistektomi


sangat baik dilakukan dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa
endotrakheal, sejak diketahui bahwa dengan metode ini jalan nafas dapat dikontrol
dengan baik sepanjang waktu. Namun sebelum di lakukan anestesi umum perlu
dilakukan evaluasi untuk menilai kemungkinan adanya kesulitan untuk laringoskopi
dan intubasi yang dapat dinilai dengan kriteria LEMON.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanaja JJ, Lopes RA, Meer JM. Cholelithiasis. Emory University School of
medicine. August 11, 2021

2. Pimpale R, Katawar P, Akhtar M. Cholelithiasis: Causative Factors, Clinical


Manifestations and Management. International Surgery Journal. June 2019.

3. Febyan, Ruswhandi. Cholelithiasis: A Brief Review on Diagnostic Approach


and Management in Clininal Practice. Faculty Of Medicine, Keida Wacana
Christian University, Indonesia. July 2020.

4. Morgan GE, Mikhail MS, J. Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition.
McGraw Hill. New York. 2006

5. Mishra Rk, Jiri PJ. World Journal of Laparoscopic Surgery. An Official


Publication of the World Association of Laparoscopic Surgeons, UK. Volume
14. May- August 2021

Anda mungkin juga menyukai