Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Kolitis ulseratif dan Crohn’s disease merupakan bagian dari inflammatory


bowel disease (IBD). Kolitis ulseratif dan Crohn’s disease memiliki gejala-gejala
yang mirip, yang berbeda adalah area yang terlibat dalam tubuh. Crohn’s disease
dapat terjadi pada seluruh bagian dari traktus gastrointestinal, sedangkan kolitis
ulseratif terbatas pada kolon . Crohn’s diseases dapat melibatkan seluruh
ketebalan dinding usus, sedangkan kolitis ulseratif hanya melibatkan lapisan
dalam dari kolon.1
Kolitis ulserosa merupakan radang kronik non spesifik pada mukosa kolon
yang bersifat difus dan ulseratif. Keterlibatan rectum tercatat hingga 95% kasus.
Kolitis ulcerative juga dapat meluas ke proksimal, dan dapat melibatkan sebgian,
atau seluruh usus besar. Gejala klinisnya berupa nyeri perut, diare yang berdarah,
sering disertai dengan gejala lainnya seperti tenesmus. Fase eksaserbasi dan remisi
dapat terjadi secara spontan atau sebagai respon dari pengobatan
Kolitis ulseratif terjadi pada hampir 500.000 orang di Amerika Serikat,
dengan insiden 8-12 per 100.000 populasi per tahun. Insiden ini dilaporkan
konstan selama lima dekade terakhir. Insiden kolitis ulserosa pada pria dan wanita
adalah sama. Walaupun bisa mengenai semua umur namun paling sering pada
umur 20-30 tahun dan 70-80 tahun. Kolitis ulseratif menyebabkan sekitar
seperempat juta kunjungan dokter setiap tahunnya, 30.000 rawat inap, dan
kehilangan lebih dari satu juta hari kerja per tahun. Biaya medis yang dikeluarkan
melebihi empat miliar dolar per tahun, yang terdiri dari biaya rumah sakit lebih
dari US $ 960 juta dan biaya obat dari $ 680. Dilaporkan bahwa 20% penderita
kilitis ulcerosa mempunyai keluarga yang menderita penyakit kolitis ulcerosa dan
Crohn disease. Insiden paling tinggi terdapat pada kulit putih dan Yahudi.2

1
BAB II

KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi

Usus besar (inestinum crassum) merupakan tabung muskular berongga


dengan panjang sekitar 1.500cm yang terbentang dari sekum sampai canalis ani.
Usus besar dibagi menjadi sekum, colon (ascenden, tranversum, descenden,
sigmoid) dan rektum. Pada sekum terdapat katup illeosekal dan appendik yang
melekat pada ujung sekum. Sekum menempati 2/3 atau 3 inchi pertama dari usus
besar. Katup illeosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum.3

Berdasarkan histologinya, dinding usus besar memiliki tiga lapis yaitu


lapisan mukosa (bagian dalam), yang berfungsi untuk mencernakan dan absorpsi
makanan, lapisan muskularis (bagian tengah) yang berfungsi untuk menolak
makanan ke bagian bawah, dan lapisan serosa (bagian luar), bagian ini sangat
licin sehingga dinding usus tidak berlengketan satu sama lain di dalam rongga
abdomen.4 Berbeda dengan mukosa usus halus, pada mukosa kolon tidak dijumpai
villi dan kelenjar biasanya lurus-lurus dan teratur. Permukaan mukosa terdiri dari
pelapis epitel tipe absortif (kolumnar) diselang seling sel goblet. Pelapis epitel
kripta terdiri dari sel goblet. Pada lamina propria secara sporadik terdapat nodul
jaringan limfoid. Sel berfungsi mengabsorpsi air, lebih dominan pada kolon
bagian proksimal (asendens dan tranversum), sedangkan sel goblet lebih banyak
dijumpai pada kolon desenden. Lamina propria lebih seluler (sel plasma, limfosit
dan eosinofil) pada bagian proksimal dibanding dengan distal dan rektum. Pada
bagian distal kolon, sel plasma hanya ada dibawah epitel permukaan. Sel paneth
bisa ditemukan pada sekum dan kolon asenden. Pada anus terdapat sfingter anal
internal (otot polos) dan sfingter anal eksternal (otot rangka) yang mengitari anus.5

Colon dibagi menjadi colon ascenden, tranversum, desenden dan sigmoid.


Colon ascendens terletak retroperitoneal sepanjang sisi kanan dinding abdomen
dorsal, tetapi disebelah ventral dan pada sisi-sisinya tertutup oleh peritoneum.
Peritoneum disebelah kanan dan sebelah kiri colon ascenden membentuk fossa
paracolica. Colon ascendens terpisah dari dinding abdomen ventral oleh liku-liku

2
intestinum tenue dan omentum majus. Perdarahan colon ascendens dan fleksura
coli dextra terjadi melalui arteria ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteria
mesenterica superior. Vena ileocolica dan vena colica dextra, anak cabang vena
mesenterica superior, mengalirkan balik darah dari colon ascendens. Pembuluh
limfe melintas ke nodi lympjoidei paracolici dan nodi lymphoidei epicolici dan
kemudian ke nodi lymphoidei mesenterici superiores. Saraf untuk colon
ascendens berasal dari pleksus mesentericus superior.3

Colon transversum adalah bagian intestinum crassum terbesar dan paling


mobil. Bagian intestinum crassum ini melintasi abdomen dari fleksura coli dextra
ke fleksura coli sinistra, dan disini membelok ke arah kaudal menjadi colon
descendens. Flexura coli sinistra terletak pada bagian kaudal ren sinister dan
dihubungkan pada diafragma oleh ligamentum phrenicocolium. Mesocolon
transversum adalah mesenterium colon transversum yang mobil. Radix mesenterii
ini terletak sepanjang tepi kaudal pankreas dan sinambung dengan peritoneum
parietale disebelah dorsal. Karena mesenterium ini demikian mobil, letak colon
transversum dapat berubah-ubah. Biasanya colon transversum tergantung ke
bawah sampai setinggi anulus umbilicalis. Pada orang yang tinggi dan kurus colon
transversum dapat sampai di pelvis. Perdarahan arterial colon transversum
terutama terjadi melalui arteria colica media, cabang asteria mesenterica superior,
tetapi memperoleh juga darah melalui arteria colica dextra dan arteria colica
sinistra. Penyaluran darah balik dari colon transversum terjadi melalui vena
mesenterica superior. Limfe dari colon transversum dislaurkan ke nodi
lymphoidei mesenteici superiores. Saraf-saraf berasal dari plexus mesentericus
superior dan mengikuti areria colica dextra dan arteria colica media. Saraf ini
membawa serabut saraf simpatis dan parasimpatis(vagal). Saraf yang mengikuti
arteria colica sinistra berasal dari pleksus mesentericus inferior.3

Colon descendens melintas retroperitoneal dari flexura coli sinistra ke


fossa iliaca sinistra dan beralih menjadi colon sigmoideum. Peritoneum
menutupinya disebelah ventral dan lateral, dan menetapkannya pada dinding
abdomen dorsal. Pada lintasannya ke kaudal colon melewati tepi lateral ren

3
sinister, ventral terhadapnya. Seperti juga pada colon ascendens, terdapat fossa
paracolica disebelah medial dan lateral colon descendens.3

Colon sigmoideum, jerat usus berbentuk S dengan kepanjangan yang


variabel. Menghubungkan colon descendens dengan rectum. Colon sigmoideum
meluas dari tepi pelvis sampai segmen sacrum ketiga, untuk beralih menjadi
rectum. Berakhirnya taenia coli menunjukkan permulaan rectum. Peralihan
rektosigmoideum terletak kira-kira 15 cm dari anus. Colon sigmoideum biasanya
memiliki mesenterium yang panjang dan dikenal sebagai mesocolon sigmoideum.
Radiks mesocolon sigmoideum berbentuk V yang disebelah kranial melintas
sejajar dengan pembuluh iliaca exnterna, dan disebelah kaudal melintas dari
bifurcatio pembuluh iliaca communis ke permukaan ventral sakrum. Perdarahan
arterial colon descendens diurus oleh arteria colica sinistra dan arteria sigmoidea
superior. Arteriae sigmoidea, cabang arteria mesenterica inferior melintas ke
kaudal secara serong ke kanan, lalu bercabang menjadi ramus ascendens dan
ramus descendens yang memasok darah kepada colon sigmoideum. Arteriae
sigmoideae terkranial beranastomosis dengan ramus descendens arteria colica
sinistra. Vena mesenterica inferior membawa balik darah dari colon sigmoideum
dan colon descendens. Pembuluh limfe dari colon descendens dan colon
sigmoideum melintas ke nodi lymphoidei colici medii sepanjang arteria colica
sinistra. Dari kelenjar ini limfe disalurkan ke nodi lymphoidei mesenterici
inferiores sekitar arteria mesenterica inferior. Persarafan simpatis colon
descendens dan colon sigmoideum berasal dari truncus sympatheticus bagian
lumbal dan plexus hypogastricus superior melalui pleksus sepanjang cabang
arteria mesenteriica inferior. Persarafan parasimpatis dari nervi splanchinici
pelvici.3

4
Gambar 1. Anatomi kolon

Gambar 2. Histologi kolon

5
Gambar 3. Arteri dan Vena dari
kolon

Gambar 4. Persarafan kolon

6
Gambar 5. Pembuluh Limfe Kolon

2.2 Fisiologi

Fungsi utama kolon adalah absorpsi air sampai dengan 90% dan elektrolit
kimus untuk membentuk feses yang padat, penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Kolon tidak memproduksi enzim, tetapi hanya mukus. Terdapat
sejumlah bakteri pada kolon, yang mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, dan
menghasilkan sedikit nutrien bagi tubuh. Bakteri juga memproduksi vitamin K
dan juga gas, sehingga menimbulkan bau pada feses. Secara imunologis, oleh
karena banyak limfonodus terutama di appendiks dan rektum; dan sel imun
dilamina propria. Feses juga bewarna coklat yang disebabkan pigmen empedu.6

Gerakan mencampur “Haustrasi” melalui cara yang sama dengan


terjadinya gerakan segmentasi dalam usus halus, kontriksi-kontriksi sirkular yang
besar terjadi pada usus besar. Pada setiap kontraksi sekitar 2,5 cm otot sirkular
akan berkontraksi dan pada saat yang bersamaan otot longitudinal kolon akan
berkontraksi juga sehingga menyebabkan bagian usus besar tidak terangsang
menonjol keluar memberikan bentuk serupa kantung yang disebut haustrasi.
Setiap haustrasi mencapai puncak padat 30 detik dan menghilang 60 detik
berikutnya. Terkadang kontraksi dapat terjadi lambat terutama pada sekum dan
kolon ascenden menyebabkan sejumlah kecil dorongan isi kolon ke depan.
Dengan cara ini semua bahan feses bersentuhan dengan permukaan mukosa usus
besar dan cairan serta zat-zat terlarut diabsorbsi 80 sampai 200 ml feses yang
dikeluarkan setiap hari.7

7
Gerakan Mendorong-“Gerakan Massa” dorongan dari sekum dan kolom
berlangsung persistem dengan waktu 8 smapai 15 jam utuk menggerakan kimus
dari katup ileosekal melalui kolon dengan kimus sudah menjadi lumpur setengah
padat. Dari sekum sampai sigmoid hanya terjadi satu sampai tiga kali setiap hari
terutama 15 menit sesuadah makan pagi. Gerakan massa adalah jenis peristaltik
yang ditandai dengan timbul sebuah cincin kontriksi sebagai respon dari tempat
teregang dikolon transversum kemudian sepanjang 20 cm pada bagian distal
cincin kontraksi tandi akan kehlangan haustrasinya dan justru mendorong maju
materi feses menuruni kolon. Satu rangkaian gerakan massa biasanya menetap
selama 10 sampai 30 menit. Lalu mereda dan mungkin timbul kemabli setengah
hari kemudian. Bila gerekan sudah mendorongmassa feses ke dalam rektum akan
timbul keinginan untuk defekasi. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir untuk
menampung masa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung.
Kapasitas absorbsi usus besar adalah sekitar 2000ml per hari, bila jumlah ini
dilampaui maka akan terjadi dia.7

2.3 Patologi Anatomi

Pemeriksaan patologgi anatomi (PA) pada kasus colitis ulseratif


merupakan pemeriksaan yang penting untuk dilakukan dan bisanya yang
dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi. Yang termasuk kriteria
histopatologik adalah perubahan arsitektur mukosa, perubahan epitel dan
perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur mukosa meliputi perubahan
permukaan, berkurangnya densitas kripta, gambaran abnormal arsitektur kripta
(distorsi, bercabang, memendek). Perubahan epitel seperti berkurangnya musin
dan metaplasia sel Paneth serta permukaan villiform juga diperhatikan. Perubahan
lamina propria meliputi penambahan dan perubahan distribusi sel radang.
Granuloma dan sel-sel berinti banyak biasanya ditemukan. Gambaran
mikroskopik ini berhubungan dengan stadium penyakit, apakah stadium akut,
resolving atau kronik/menyembuh. Pada kolon normal, permukaan datar, kripta
tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat
muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina
propria.8

8
Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit
kolitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua
kriteria mayor harus dipenuhi untuk diagnosis kolitis ulseratif. (Marc D, 2011)

Kriteria mayor kolitis ulseratif:


a. Infitrasi sel radang yang difus pada mukosa
b. Basal plasmositosis
c. Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
d. Abses kripta
e. Kriptitis
f. Distorsi kripta
g. Permukaan viliformis
Kriteria minor kolitis ulseratif:
a. Jumlah sel goblet berkurang
b. Metaplasia sel Paneth8
Pada kolitis ulseratif, terdapat dua tanda histologis yang menunjukkan
kronisitas dan membantu membedakannya dari kolitis ulseratif akut dan kolitis
ulseratif yang self-limiting. Tanda tersebut yaitu terdapat kripte yang terdistorsi
pada kolon, kripte bisa saja berbentuk bifida dan sedikit  jumlahnya, dan
seringkali terdapat celah di antara dasar kripte dan muskularis mukosa.
Selanjutnya yaitu beberapa pasien memiliki sel basal plasma dan agregasi limfoid
basal multipel. Dapat juga ditemukan kongesti vaskuler pada mukosa, dengan
edema dan perdarahan fokal, dan infiltrat sel-sel inflamasi, seperti neutrofil,
limfosit, sel plasma, dan makrofag. Neutrofil menginvasi epithelium, biasanya ke
dalam kripte, dan dapat menimbulkan kriptitis dan abses kripte.9,10

Tetapi pada kolitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat


dibedakan dari kolitis infektif. Dan kolitis ulseratif mempunyai tiga stadium yang
gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada seorang
penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu sediaan.8

9
Gambar 6. Hasil pemeriksaan histopatologis pada kolitis ulseratif kronik
eksaserbasi akut menunjukkan inflamasi difus,
limfoplasmasitosis basal, atrofi dan iregularitas pada kripte, dan
erosi superfisial11

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan anemia dan
trombositosis, selain itu dapat juga ditemukan leukositosis, namun bukan
merupakan indikator yang spesifik  pada penyakit ini.9 Pada pemeriksaan kimia
darah dapat ditemukan hipoalbuminemia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan
alkali fosfatase yang meningkat. Adanya peningkatan sedimentasi eritrosit dan C-
reaktif protein pada pemeriksaan laboratorium berhubungan dengan fase akut dari
penyakit ini.
Sedangkan, pemeriksaan feses dilakukan untuk menyingkirkan penyebab
lain dari gejala yang ditimbulkan.9 Pada pemeriksaan kultur feses, yaitu patogen
usus, Escherichia coli O157:H7, adanya parasit dan toksin Clostridium difficile
biasanya menunjukkan hasil yang negatif.8 Selain itu, pemeriksaan antibodi p-
ANCA dan ASCA, yaitu antibodi Saccharomyces cerevisae mannan berguna
untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn.12
2.4.2 Pemeriksaan Radiologi
1. Foto polos abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen dapat membantu dalam penegakan
diagnosis dari kolitis ulseratif, dimana pada pemeriksaan tersebut menunjukkan
gambaran dilatasi kolon yang masif dan disertai dengan kontur mukosa yang
abnormal. Dilatasi yang terjadi seringkali terdapat pada kolon transversal.
Perforasi kolon merupakan salah satu komplikasi dari kolitis ulseratif. Perforasi

10
dapat terjadi dengan atau tanpa megakolon toksik. Pneumoperitoneum masif
biasanya menyertai perforasi kolon. Residu feses biasanya tidak terlihat pada
usus yang mengalami inflamasi. Gambaran edema pada dinding usus biasa
tampak pada fase akut dari kolitis ulseratif, yang disebut juga gambaran
thumbprinting.
Terdapat juga gambaran  pseudopolip yang menunjukkan mukosa yang
udem diantara mukosa yang mengalami ulserasi. Pada fase kronik, terjadi
pemendekan usus akibat spasme muskulus longitudinal atau fibrosis yang
ireversibel. Selain itu, haustra pada kolon desendens menghilang.13,14
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan
pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen
ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan
kontra indikasi.15

Gambar 7. Gambar foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif
eksaserbasi akut menunjukkan gambaran thumbprinting pada
fleksura splenika dari kolon14

Gambar 8. Foto polos abdomen pada pasien dengan riwayat kolitis ulseratif
menunjukkan striktur/spasme yang panjang pada kolon
asendens/sekum. Perhatikan bahwa terdapat  pseudopoliposis
11
pada kolon desendens14
2. Pemeriksaa Barium enema
Gambaran radiologi kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema
sangat  bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat lebih
sempit, dan hal ini bisa saja berhubungan dengan pengisian usus yang tidak
sempurna akibat spasme dan iritabilitas pada kolon.16
Pada pemeriksaan ini dapat menunjukkan hilangnya haustra pada lumen
kolon. Adanya granula dapat disebabkan oleh hiperemia dan udem pada mukosa
yang dapat menyebabkan ulserasi. Ulser superfisial dapat menyebar dan menutupi
semua lapisan mukosa. Terdapat gambaran bintik-bintik pada mukosa akibat
perlengketan barium pada ulser superfisial. Collar button ulcers merupakan
ulserasi yang lebih dalam pada mukosa yang udem dengan kripte abses pada
submukosa.13,17 Striktur dapat terjadi pada 1-11% pasien yang menderita kolitis
ulseratif dalam  jangka waktu yang lama. Striktur terutama ditemukan pada kolon
asendens.16,17

Gambar 9. Pemeriksaan barium enema dengan double contrast menunjukkan


kolitis ulseratif  pada stadium awal, di mana mukosa masih
normal dan tampak pseudopolip18

Gambar 10. Pemeriksaan barium enema dengan double contrast menunjukkan


keterlibatan kolon dengan collar button ulcers yang banyak seperti yang
diperlihatkan dengan tanda panah17

12
Gambar 11. Pemeriksaan barium enema menunjukkan keterlibatan striktur
yang panjang pada kolitis ulseratif, yang ditandai dengan penyempitan lumen
kolon desendens yang ireguler17

Gambar 10. Pemeriksaan barium enema menunjukkan hilangnya haustra pada


seluruh kolon desendens disertai dengan ulserasi, sehingga
memberikan gambaran “lead-pipe”13

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan modalitas
pemeriksaan yang sering untuk kasus-kasus Inflamatory Bowel Disease. Sebelum
dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran pencernanya
dengan menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan banyak
minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat
sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air.12

13
Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan penebalan
dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang.
Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat
dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya
haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada
potongan transversal atau cross-sectional. Dengan USG Doppler, pada kolitis
ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding usus dapat pula dilihat adanya
hypervascular pada dinding usus tersebut.15
4. CT-scan
Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu dalam membedakan kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn, jika pemeriksaan barium enema menunjukkan
kemiripan di antara keduanya. CT dapat mendeteksi bagaimana karakteristik dari
kolitis ulseratif. CT-Scan abdomen dan pelvis menunjukkan dilatasi, penebalan
pada bagian mural, dan permukaan mukosa yang ireguler, serta terdapat target
sign. Dapat juga terlihat pseudopolip pada dinding kolon, dan pembuluh darah
yang berdilatasi akibat adanya inflamasi dan hiperemia.19

Gambar 11. CT-Scan abdomen dan pelvis potongan coronal menunjukkan


penebalan dinding mukosa dan iregularitas yang terjadi pada
kolon asendens dan desendens, seperti yang diperlihatkan pada
tanda panah19

14
Gambar 12. CT-Scan abdomen dan Gambar 13. CT-Scan abdomen dan
pelvis potongan aksial menunjukkan pelvis potongan aksial menunjukkan
target sign, seperti yang pelebaran pembuluh darah
diperlihatkan pada tanda panah19 perisigmoid dan ascites, seperti yang
diperlihatkan pada tanda panah19

5. Pemeriksaan MRI

MRI resolusi tinggi dapat menjadi modalitas pencitraan yang baru untuk
mendeteksi perubahan dinding kolon pada kolitis ulseratif. Hasil in vitro
menunjukkan bahwa MRI dapat melihat lapisan dinding kolon secara
keseluruhan. Secara khusus pada kolitis ulseratif, T1-weighted spin-echo
MRI menunjukkan penebalan dan hiperintensitas dari lapisan mukosa dan
submukosa.

6. Pemeriksan Endoskopi
Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema
difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mukus, darah
dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah
karakteristik. Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rektum), tidak ada
daerah mukosa normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai.
Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan
kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada kolitis ulseratif
tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biopsi rektal bisa memastikan
radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan
penampilan granuler, dan bisa terdapat pseudopolip.15

15
Gambar 14. Gambaran kolitis ulseratif pada Gambar 15. Gambaran colitis ulsertatif
kolonoskopi16 cronic15

2.4.3 Pemeriksaan Histopatologi


Hasil pemeriksaan histopatologi sesuai dengan perjalanan klinis dan hasil
pemeriksaan endoskopi dari kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif terbatas pada
mukosa dan submukosa yang superfisial, lapisan bagian dalam tidak terlibat
kecuali pada kolitis ulseratif fulminan. Pada kolitis ulseratif, terdapat dua tanda
histologis yang menunjukkan kronisitas dan membantu membedakannya dari
kolitis ulseratif akut dan kolitis ulseratif yang self-limiting. Tanda tersebut yaitu
terdapat kripte yang terdistorsi pada kolon, kripte bisa saja berbentuk bifida dan
sedikit  jumlahnya, dan seringkali terdapat celah di antara dasar kripte dan
muskularis mukosa. Selanjutnya yaitu beberapa pasien memiliki sel basal plasma
dan agregasi limfoid  basal multipel. Dapat juga ditemukan kongesti vaskuler
pada mukosa, dengan edema dan perdarahan fokal, dan infiltrat sel-sel inflamasi,
seperti neutrofil, limfosit, sel plasma, dan makrofag. Neutrofil menginvasi
epithelium, biasanya ke dalam kripte, dan dapat menimbulkan kriptitis dan abses
kripte.9,10
2.5 Gejala Klinis

Gejala utama kolitis ulserosa adalah diare berdarah dan nyeri abdomen,
seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada
penyakit ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang
mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik.

16
Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang
terjadi dan laju endap darah. Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai
dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat
secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan
panjangnya kolon yang terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reksi radang yang
secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon tampak
berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang
adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa
mukosa yang normal.

Perjalanan klinis colitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan


mendertia relaps dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat
rekuren dari penyakit. Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang
berkepanjangan hanya dengan gejala minimal. Pada umumnya, beratnya gejala
mencerminkan luasnya keterlibatan kolon dan intensitas radang. 20

2.6 Penanganan

Terapi kolitis ulseratif lebih ditekankan pada penghambatan kaskade


inflamasi, karena adanya faktor atau agen proinflamasi yag dapat mencetuskan
proses inflamasi kronik pada kelompok rentan, maka diusahakan mengeliminasi
hal tersebut dengan cara pemberian antibiotic, lavase usus, pengikat produk
bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola dietetik.21
Terapi colitis ulseratif terdiri dari terapi farmakologi dan pembedahan.
Pengobatan farmakologi yang dapat diberikan antara lain: 21
1. Pengobatan simptomatis
2. Rehidrasi dengan oralit atau cairan infus (Ringer laktat, dekstrose 5%
dalam NaCl 0,09%)
3. Sulfasalazin
Sulfasalazin merupakan derivate dari 5-acetil salisilic acid , yang
mempunyai efek antiinflamasi. Fungsinya adalah untuk mempertahankan
remisi dan untuk menginduksi remisi pada serangan ringan. Sulfasalazin
berguna untuk mengobati colitis ulseratif ringan-sedang. Obat ini bekerja

17
secara lokalpada kolon untuk menurunkan respon inflamsi dan secara
sistemik menghambat sintesis prostaglandin.
4. Antihistamin
Pasien Kolitis ulseratif sering kali diberikan terapi antihistamin, karena
histamine terdapat pada enterochromaffin like cell, sel mast, dan nervus
intramural pada traktus gastrointestinal, yang menstimulasi sekresi asam
lambung, beberapa cairan dan mucus, mempengaruhi motilitas usus dan
berperan dalam alergi tipe cepat dan respon inflamasi. Semua efek ini
dimediasi oleh reseptor H1, H2, H3, dan H4. Inflamasi pada colitis
ulseratif utamanya mengenai mukosa dan meningkatkan pengeluaran
mediator sel mast intestinal
5. Antidiare
Obat antidiare seperti loperamid dan difenoksilat dapat mengurangi
pengeluaran tinja berlebih dan melegakan urgensi rektal, namun dapat
mengurangi dosis pemakaian steroid. Pada colitis berat, obat antidiare
merupaka kontraindikasi karena dapat mencetuskan megakolon
6. Kortikosteroid
Diberikan pada colitis ulseratif berat, kronik dan progresif yang tidak
membaik dengan sulfasalazine atau obat lainnya. Kortikosteroid
meningkatkan absorpsi natrium, menstimulasi aktivitas Na-K ATPase di
kolon dan ileum

Terapi pembedahan pada colitis ulseratif dilakukan jika terdapat kegagalan


terapi medikamentosa, terdapat megakolon toksik, perforasi, perdarahan massif,
gejala kronik tidak teratasi, dan terdapat komplikasi karsinoma, atau berisiko
tinggi terkena karsinoma.22

2.7 Komplikasi

Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi seperti perforasi


usus yang terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon
toksik (terutama pada colitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna.
Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13%.23

18
BAB III
KESIMPULAN

Kolitis ulserosa merupakan radang kronik non spesifik pada mukosa kolon
yang bersifat difus dan ulseratif. Berdasarkan histologinya, dinding usus besar
memiliki tiga lapis yaitu lapisan mukosa, lapisan muskularis, dan lapisan serosa.
Kolon dibagi menjadi Kolon ascenden, tranversum, desenden dan sigmoid. Fungsi
utama kolon adalah absorpsi air sampai dengan 90% dan elektrolit kimus untuk
membentuk feses yang padat, penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan.
Pemeriksaan patologgi anatomi (PA) pada kasus colitis ulseratif merupakan
pemeriksaan yang penting untuk dilakukan dan bisanya yang dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan penunjang untuk kolitis ulserosa adalah
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan histopatologi.
Gejala klinis adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan demam
dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit ringan, bisa terdapat
satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan
tanpa manifestasi sistemik. Penanganan dari kolitis ulserosa lebih kepada
menghambat terjadinya inflamasi. Komplikasi yang terjadi seperti perforasi usus
yang terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik
(terutama pada colitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna.

19
Daftar Pustaka:

1. Danese S, Fiocchi C. Ulcerative Colitis. N Engl J Med. 2011; 365(18):1713-


1725.
2. Ng SC, Bernstein CN, Vatn MH, et al. Geographical variability and
environmental risk factors in inflammatory bowel disease. Gut.
2013;62(4):630-649
3. Keith L.M., Agus. Anatomi klinis dasar. Jakarta : Hipokrates. 2002. Hal 111-
113
4. Ulcerative Colitis. avaible at: http://www.Orpha net/data/patho/GB/uk-UC.
Diakses pada tanggal : 4 April 2017
5. Francis A,Farraye ,Diagnosis and Management of Fllat and Polypoid
Dysplasia in Inflamatory Bowel Disease, available at: -xplain.com/The
patient Education Institute.INC
6. Gary.R et al ,Colon (Anatomy), available at : www:wikipedia/colon-
anatomy.htm.com. Diakses pada tanggal : 4 April 2-17
7. Hall, E. J. Guyton dan Hall Buku Aja Fisiologi Kedokteran. Saunders
Elsevier : Singapore. 2014
8. Marc D Basson. 2011.http://emedicine.medscape.com/article/183084-
overview. Akses pada 5 April 2017.
9. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et
al,editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New York:
McGraw Hill, Health Professions Division; 2008. 5.
10. Keshav S. Ulcerative colitis and crohn’s disease. In: Keshav S, editor. The
gastrointestinal system at a glance. USA: A Blackwell Publishing company;
2004.p 78-9
11. Danese S, Fiocchi C. Ulcerative colitis. The New England Journal of
Medicine 2011; 365, 18: 1713-25.
12. Adam Schoenfeld. 2010. http://www.medicinenet.com/ulcerative_colitis
/article.htm. akses pada 5 April 2017
13. Herring W. Ulcerative colitis. Available in GI Radiology
(www.learningradiology.com), Update 2005.(diakses pada 5 April 2017)

20
14. Khan AN, Lin EC. Ulcerative colitis imaging . Available in Medscape
Reference,Drug, Disease and Procedures (www.emedicine.medscape.com),
Update Juli 22, 2011. (diakses pada 5 April 2017)
15. McQuaid KR. Gastrointestinal Disorders . In : McPhee SJ, Papadakis MA
editors Current Medical Diagnosis & Treatment 2009.: McGraw-Hill; 2009.
16. Basson MD, Katz J. Ulcerative colitis . Available in Medscape Reference,
Drug,Diq sease and Pr ocedures (www.emedicine.medscape.com), Update
2011. Diakses pada 5 April 2017
17. Brant WE. Pediatric chest. In: Brant WE, Helms CA, editors. Fundamentals
of diagnostic radiology 2nd ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2007.
18. Eastman GW, Wald C, Crossin J. Getiing started in clinical radiology from
image to diagnosis. Germany: Thieme; 2006. p. 197-8.
19. Roggeveen MJ, Tismenetsky M, Shapiro R. Best cases from the AFIP:
ulcerative colitis. RadioGraphics 2006; 26, 3: 947-51.
20. Arisetine, Dina Aprilia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi,
Klinik dan Patogenesa. Universitas Sumatera Utara - Fakultas Kedokteran
Medan. www.scribd.com/affannurrochman/d/40473357-Kolitis.
21. Feuerstein JD, Cheifetz AS. Ulcerative Colitis: Epidemiology, Diagnosis, and
Management. Mayo Clin Proc. 2014;89(11):1553-1563
22. Zittan E, Ma GW, Wong-Chong N, et al. Ileal pouch-anal anastomosis for
ulcerative colitis: a Canadian institution's experience. Int J Colorectal Dis.
2017 Feb. 32(2):281-5. 
23. Djojoningrat, Dharmika. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi
ke-IV. Hal. 384-388.

21

Anda mungkin juga menyukai