PENDAHULUAN
1
BAB II
KEPUSTAKAAN
2.1 Anatomi
2
intestinum tenue dan omentum majus. Perdarahan colon ascendens dan fleksura
coli dextra terjadi melalui arteria ileocolica dan arteri colica dextra, cabang arteria
mesenterica superior. Vena ileocolica dan vena colica dextra, anak cabang vena
mesenterica superior, mengalirkan balik darah dari colon ascendens. Pembuluh
limfe melintas ke nodi lympjoidei paracolici dan nodi lymphoidei epicolici dan
kemudian ke nodi lymphoidei mesenterici superiores. Saraf untuk colon
ascendens berasal dari pleksus mesentericus superior.3
3
sinister, ventral terhadapnya. Seperti juga pada colon ascendens, terdapat fossa
paracolica disebelah medial dan lateral colon descendens.3
4
Gambar 1. Anatomi kolon
5
Gambar 3. Arteri dan Vena dari
kolon
6
Gambar 5. Pembuluh Limfe Kolon
2.2 Fisiologi
Fungsi utama kolon adalah absorpsi air sampai dengan 90% dan elektrolit
kimus untuk membentuk feses yang padat, penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Kolon tidak memproduksi enzim, tetapi hanya mukus. Terdapat
sejumlah bakteri pada kolon, yang mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, dan
menghasilkan sedikit nutrien bagi tubuh. Bakteri juga memproduksi vitamin K
dan juga gas, sehingga menimbulkan bau pada feses. Secara imunologis, oleh
karena banyak limfonodus terutama di appendiks dan rektum; dan sel imun
dilamina propria. Feses juga bewarna coklat yang disebabkan pigmen empedu.6
7
Gerakan Mendorong-“Gerakan Massa” dorongan dari sekum dan kolom
berlangsung persistem dengan waktu 8 smapai 15 jam utuk menggerakan kimus
dari katup ileosekal melalui kolon dengan kimus sudah menjadi lumpur setengah
padat. Dari sekum sampai sigmoid hanya terjadi satu sampai tiga kali setiap hari
terutama 15 menit sesuadah makan pagi. Gerakan massa adalah jenis peristaltik
yang ditandai dengan timbul sebuah cincin kontriksi sebagai respon dari tempat
teregang dikolon transversum kemudian sepanjang 20 cm pada bagian distal
cincin kontraksi tandi akan kehlangan haustrasinya dan justru mendorong maju
materi feses menuruni kolon. Satu rangkaian gerakan massa biasanya menetap
selama 10 sampai 30 menit. Lalu mereda dan mungkin timbul kemabli setengah
hari kemudian. Bila gerekan sudah mendorongmassa feses ke dalam rektum akan
timbul keinginan untuk defekasi. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir untuk
menampung masa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung.
Kapasitas absorbsi usus besar adalah sekitar 2000ml per hari, bila jumlah ini
dilampaui maka akan terjadi dia.7
8
Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit
kolitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua
kriteria mayor harus dipenuhi untuk diagnosis kolitis ulseratif. (Marc D, 2011)
9
Gambar 6. Hasil pemeriksaan histopatologis pada kolitis ulseratif kronik
eksaserbasi akut menunjukkan inflamasi difus,
limfoplasmasitosis basal, atrofi dan iregularitas pada kripte, dan
erosi superfisial11
10
dapat terjadi dengan atau tanpa megakolon toksik. Pneumoperitoneum masif
biasanya menyertai perforasi kolon. Residu feses biasanya tidak terlihat pada
usus yang mengalami inflamasi. Gambaran edema pada dinding usus biasa
tampak pada fase akut dari kolitis ulseratif, yang disebut juga gambaran
thumbprinting.
Terdapat juga gambaran pseudopolip yang menunjukkan mukosa yang
udem diantara mukosa yang mengalami ulserasi. Pada fase kronik, terjadi
pemendekan usus akibat spasme muskulus longitudinal atau fibrosis yang
ireversibel. Selain itu, haustra pada kolon desendens menghilang.13,14
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan
pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen
ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan
kontra indikasi.15
Gambar 7. Gambar foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif
eksaserbasi akut menunjukkan gambaran thumbprinting pada
fleksura splenika dari kolon14
Gambar 8. Foto polos abdomen pada pasien dengan riwayat kolitis ulseratif
menunjukkan striktur/spasme yang panjang pada kolon
asendens/sekum. Perhatikan bahwa terdapat pseudopoliposis
11
pada kolon desendens14
2. Pemeriksaa Barium enema
Gambaran radiologi kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema
sangat bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat lebih
sempit, dan hal ini bisa saja berhubungan dengan pengisian usus yang tidak
sempurna akibat spasme dan iritabilitas pada kolon.16
Pada pemeriksaan ini dapat menunjukkan hilangnya haustra pada lumen
kolon. Adanya granula dapat disebabkan oleh hiperemia dan udem pada mukosa
yang dapat menyebabkan ulserasi. Ulser superfisial dapat menyebar dan menutupi
semua lapisan mukosa. Terdapat gambaran bintik-bintik pada mukosa akibat
perlengketan barium pada ulser superfisial. Collar button ulcers merupakan
ulserasi yang lebih dalam pada mukosa yang udem dengan kripte abses pada
submukosa.13,17 Striktur dapat terjadi pada 1-11% pasien yang menderita kolitis
ulseratif dalam jangka waktu yang lama. Striktur terutama ditemukan pada kolon
asendens.16,17
12
Gambar 11. Pemeriksaan barium enema menunjukkan keterlibatan striktur
yang panjang pada kolitis ulseratif, yang ditandai dengan penyempitan lumen
kolon desendens yang ireguler17
13
Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan penebalan
dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang.
Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat
dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya
haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada
potongan transversal atau cross-sectional. Dengan USG Doppler, pada kolitis
ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding usus dapat pula dilihat adanya
hypervascular pada dinding usus tersebut.15
4. CT-scan
Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu dalam membedakan kolitis
ulseratif dan penyakit Crohn, jika pemeriksaan barium enema menunjukkan
kemiripan di antara keduanya. CT dapat mendeteksi bagaimana karakteristik dari
kolitis ulseratif. CT-Scan abdomen dan pelvis menunjukkan dilatasi, penebalan
pada bagian mural, dan permukaan mukosa yang ireguler, serta terdapat target
sign. Dapat juga terlihat pseudopolip pada dinding kolon, dan pembuluh darah
yang berdilatasi akibat adanya inflamasi dan hiperemia.19
14
Gambar 12. CT-Scan abdomen dan Gambar 13. CT-Scan abdomen dan
pelvis potongan aksial menunjukkan pelvis potongan aksial menunjukkan
target sign, seperti yang pelebaran pembuluh darah
diperlihatkan pada tanda panah19 perisigmoid dan ascites, seperti yang
diperlihatkan pada tanda panah19
5. Pemeriksaan MRI
MRI resolusi tinggi dapat menjadi modalitas pencitraan yang baru untuk
mendeteksi perubahan dinding kolon pada kolitis ulseratif. Hasil in vitro
menunjukkan bahwa MRI dapat melihat lapisan dinding kolon secara
keseluruhan. Secara khusus pada kolitis ulseratif, T1-weighted spin-echo
MRI menunjukkan penebalan dan hiperintensitas dari lapisan mukosa dan
submukosa.
6. Pemeriksan Endoskopi
Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema
difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mukus, darah
dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah
karakteristik. Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rektum), tidak ada
daerah mukosa normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai.
Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan
kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada kolitis ulseratif
tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biopsi rektal bisa memastikan
radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan
penampilan granuler, dan bisa terdapat pseudopolip.15
15
Gambar 14. Gambaran kolitis ulseratif pada Gambar 15. Gambaran colitis ulsertatif
kolonoskopi16 cronic15
Gejala utama kolitis ulserosa adalah diare berdarah dan nyeri abdomen,
seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada
penyakit ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang
mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik.
16
Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang
terjadi dan laju endap darah. Perjalanan penyakit colitis ulseratif dapat dimulai
dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat
secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan
panjangnya kolon yang terlibat. Pada colitis ulseratif, terdapat reksi radang yang
secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,, kolon tampak
berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang
adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa
mukosa yang normal.
2.6 Penanganan
17
secara lokalpada kolon untuk menurunkan respon inflamsi dan secara
sistemik menghambat sintesis prostaglandin.
4. Antihistamin
Pasien Kolitis ulseratif sering kali diberikan terapi antihistamin, karena
histamine terdapat pada enterochromaffin like cell, sel mast, dan nervus
intramural pada traktus gastrointestinal, yang menstimulasi sekresi asam
lambung, beberapa cairan dan mucus, mempengaruhi motilitas usus dan
berperan dalam alergi tipe cepat dan respon inflamasi. Semua efek ini
dimediasi oleh reseptor H1, H2, H3, dan H4. Inflamasi pada colitis
ulseratif utamanya mengenai mukosa dan meningkatkan pengeluaran
mediator sel mast intestinal
5. Antidiare
Obat antidiare seperti loperamid dan difenoksilat dapat mengurangi
pengeluaran tinja berlebih dan melegakan urgensi rektal, namun dapat
mengurangi dosis pemakaian steroid. Pada colitis berat, obat antidiare
merupaka kontraindikasi karena dapat mencetuskan megakolon
6. Kortikosteroid
Diberikan pada colitis ulseratif berat, kronik dan progresif yang tidak
membaik dengan sulfasalazine atau obat lainnya. Kortikosteroid
meningkatkan absorpsi natrium, menstimulasi aktivitas Na-K ATPase di
kolon dan ileum
2.7 Komplikasi
18
BAB III
KESIMPULAN
Kolitis ulserosa merupakan radang kronik non spesifik pada mukosa kolon
yang bersifat difus dan ulseratif. Berdasarkan histologinya, dinding usus besar
memiliki tiga lapis yaitu lapisan mukosa, lapisan muskularis, dan lapisan serosa.
Kolon dibagi menjadi Kolon ascenden, tranversum, desenden dan sigmoid. Fungsi
utama kolon adalah absorpsi air sampai dengan 90% dan elektrolit kimus untuk
membentuk feses yang padat, penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan.
Pemeriksaan patologgi anatomi (PA) pada kasus colitis ulseratif merupakan
pemeriksaan yang penting untuk dilakukan dan bisanya yang dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan penunjang untuk kolitis ulserosa adalah
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan histopatologi.
Gejala klinis adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan demam
dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit ringan, bisa terdapat
satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan
tanpa manifestasi sistemik. Penanganan dari kolitis ulserosa lebih kepada
menghambat terjadinya inflamasi. Komplikasi yang terjadi seperti perforasi usus
yang terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik
(terutama pada colitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna.
19
Daftar Pustaka:
20
14. Khan AN, Lin EC. Ulcerative colitis imaging . Available in Medscape
Reference,Drug, Disease and Procedures (www.emedicine.medscape.com),
Update Juli 22, 2011. (diakses pada 5 April 2017)
15. McQuaid KR. Gastrointestinal Disorders . In : McPhee SJ, Papadakis MA
editors Current Medical Diagnosis & Treatment 2009.: McGraw-Hill; 2009.
16. Basson MD, Katz J. Ulcerative colitis . Available in Medscape Reference,
Drug,Diq sease and Pr ocedures (www.emedicine.medscape.com), Update
2011. Diakses pada 5 April 2017
17. Brant WE. Pediatric chest. In: Brant WE, Helms CA, editors. Fundamentals
of diagnostic radiology 2nd ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2007.
18. Eastman GW, Wald C, Crossin J. Getiing started in clinical radiology from
image to diagnosis. Germany: Thieme; 2006. p. 197-8.
19. Roggeveen MJ, Tismenetsky M, Shapiro R. Best cases from the AFIP:
ulcerative colitis. RadioGraphics 2006; 26, 3: 947-51.
20. Arisetine, Dina Aprilia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi,
Klinik dan Patogenesa. Universitas Sumatera Utara - Fakultas Kedokteran
Medan. www.scribd.com/affannurrochman/d/40473357-Kolitis.
21. Feuerstein JD, Cheifetz AS. Ulcerative Colitis: Epidemiology, Diagnosis, and
Management. Mayo Clin Proc. 2014;89(11):1553-1563
22. Zittan E, Ma GW, Wong-Chong N, et al. Ileal pouch-anal anastomosis for
ulcerative colitis: a Canadian institution's experience. Int J Colorectal Dis.
2017 Feb. 32(2):281-5.
23. Djojoningrat, Dharmika. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi
ke-IV. Hal. 384-388.
21