Anda di halaman 1dari 40

1.

Anatomi
Usus besar merupakan suatu saluran tertutup yang terdiri dari cecum, appendix,
colon, rectum, dan anal canal. Usus besar dapat dibedakan dari usus halus karena
adanya tenia coli (3 penebalan batang otot), haustra (sakulasi colon antara tenia coli),
omental appendices (proyeksi lemak kecil dari omentum), dan diameternya jauh lebih
besar dari usus halus.

Gambar 1.1 Anatomi Usus Besar


Cecum adalah bagian pertama dari usus besar yang berlanjut dengan ascending
colon, yang panjangnya sekitar 7,5 cm. Terletak pada kuadran kanan bawah di iliac
fossa, inferior terhadap junction dari terminal ileum dan cecum. Tidak memiliki
mesenterium. Mempunyai lipatan superior dan inferior terhadap ileocecal orifice
yang membentuk ileocecal valve.
Appendix merupakan pipa buntu yang berbentuk seperti cacing dan
berhubungan dengan cecum di ileocecal junction. Letaknya bervariasi pada tiap

orang, namun paling banyak retrosekal. Letak pangkal appendix vermiformis lebih ke
dalam dari titik pada batas antara sepertiga lateral dan dua pertiga medial garis miring
antara spina iliaca anterior superior dan annulus umbilicalis (titik McBurney).
Ascending colon merupakan bagian kedua dari usus besar, yang melintas dari
cecum ke arah kranial pada sisi kanan abdominal cavity ke hepar, dan membelok ke
kiri sebagai colic flexure kanan. Terletak retroperitoneal di sisi kanan posterior
dinding abdomen, tetapi di bagian anterior dan sisinya ditutupi peritoneum.
Peritoneum disebelah kanan dan kiri ascending colon membentuk fossa paracolica.
Dipisahkan dari anterolateral dinding abdomen oleh greater omentum.
Transverse colon merupakan bagian colon yang paling besar dan paling mobile,
sehingga letak transverse colon dapat berubah-ubah. Panjangnya sekitar 45 cm,
dimulai dari colic flexure kanan sampai colic flexure kiri. Biasanya tergantung ke
bawah sampai setinggi anulus umbilikalis.
Descending colon melintas dari colic flexure sampai iliac fossa kiri dan disini
beralih menjadi sigmoid colon. Di bagian ventral dan lateral ditutupi oleh peritoneum,
dan terdapat fossa paracolica di sebelah medial dan lateral dari descending colon.
Sigmoid Colon berbentuk seperti huruf S, panjangnya sekitar 40 cm,
menghubungkan descending colon dengan rectum. Sigmoid Colon meluas dari tepi
pelvis sampai segmen sacrum ke-3, untuk beralih menjadi rectum. Berakhirnya tenia
coli menunjukkan permulaan rectum. Peralihan rectosigmoid junction terletak kirakira 15 cm dari anus.
Rectum merupakan bagian distal dari usus besar yang bersambung dengan
sigmoid colon. Rectum mengikuti kurva sacrum dan coccyx, sebelum anorectal
flexure anal canal. Terbagi menjadi tiga bagian yaitu superior, intermediate, dan
inferior. Memiliki bagian ampula tempat akumulasi massa feces. Peritoneum melapisi
bagian anterior dan lateral sepertiga superior rectum, permukaan anterior dari
sepertiga tengah. Bagian inferior tidak dilapisi peritoneum.
1.1 Suplai Darah Usus Besar
1.1.1 Arteri Usus Besar
Cecum, ascending colon dan bagian kanan transversum colon diperdarahi oleh
cabang superior mesenteric artery yaitu ileocolic artery, colic artery kanan, dan

middle colic artery. Transversum colon bagian kiri, descending colon, sigmoid colon
dan sebagian besar rectum diperdarahi oleh inferior mesenteric artery melalui colic
artey kiri, sigmoid artery, dan superior rectal artery.

Gambar 1.2 Arteri Usus Besar


1.1.2

Vena Usus Besar


Pembuluh vena kolon berjalan paralel dengan arterinya. Secum, ascending

colon, transversum colon aliran darah venanya disalurkan melalui superior


mesenteric vein kemudian bermuara ke portal vien. Descending colon, sigmoid dan
rectum aliran darah venanya disalurkan melalui splenic vein kemudian bermuara ke
portal vein. Keduanya bermuara ke vena cava inferior. Aliran vena dari kanalis analis
menuju ke vena cava inferior. Karena itu anak sebar yang berasal dari keganasan
rektum dan anus dapat ditemukan di paru, sedangkan yang berasal dari kolon
ditemukan di hati.

Gambar 1.3 Vena Usus Besar


1.1.3

Kelenjar Limfe Usus Besar


Kolon dilingkari oleh lymphatic channel yang berlokasi di submukosa dan

muskularis mukosa. Aliran limfe kolon sejalan dengan aliran darahnya. Hal ini
penting diketahui sehubungan dengan penyebaran keganasan dan kepentingannya
dalam reseksi keganasan kolon. Sumber aliran limfe terdapat pada muskularis
mukosa, jadi selama suatu keganasan kolon belum mencapai lapisan muskularis
mukosa kemungkinan besar belum ada metastasis.

Gambar 1.4 Kelenjar Limfe Usus Besar


1.1.4

Persarafan Usus Besar


Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus splanknikus

dan pleksus presakralis serta serabut parasimpatis yang berasal dari nervus vagus.
Rektum dipersarafi oleh simpatis yang berasal dari trunkus simpatikum bagian
lumbal dan pleksus hipogastrikus superior sedangkan parasimpatis berasal dari nervus
splanknikus pelvikus.
Karena distribusi persarafan usus tengah dan usus belakang berbeda, maka nyeri
alih pada kedua bagian kolon kiri dan kanan pun berbeda. Lesi pada kolon bagian
kanan yang berasal dari usus tengah terasa mula-mula pada epigastrium. Nyeri pada
apendisitis akut mula-mula terasa pada epigastrium, kemudian berpindah ke perut

bagian bawah. Nyeri dari lesi bagian kolon desenden dan sigmoid yang berasal dari
usus belakang terasa mula-mula di hipogastrium.
Gambar 1.5 Persarafan Usus Besar

1.2 Histologi Usus Besar


Kolon dindingnya terdiri dari 4 lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika submukosa,
tunika muskularis, dan tunika serosa atau adventitia.
Tunika Mukosa terdiri dari epitel silindris yang sel-selnya memiliki mikrovilli
pendek dan tidak teratur. Lamina propria merupakan jaringan ikat longgar yang kaya
vaskularisasi, pembuluh limfe, dan sel otot polos, banyak limfosit dan limfonoduli.
Muskularis mukosa berfungsi untuk meningkatkan pergerakan tunika mukosa.
Tunika Submukosa mempunyai jaringan ikat padat, pembuluh darah, pleksus
saraf submukosa (plexus Meissners), kelenjar, jaringan limfoid. Jaringan limfoid
pada lamina propria dan submukosa untuk proteksi terhadap invasi bakteri.
Tunika Muskularis terdiri dari otot polos sirkular dan longitudinal, yang mana
serat-serat ini bergabung dalam 3 pita tebal memanjang yang disebut Tenia koli.
Diantara kedua lapisan otot, terdapat plexus saraf myenterikus (plexus Auerbach),
pembuluh darah, pembuluh limfe, jaringan ikat.
Tunika Adventitia atau Serosa. Tunika serosa merupakan lapisan tipis jaringan
ikat longgar, kaya pembuluh darah, pembuluh limf, jaringan lemak, dibungkus oleh
epitel selapis gepeng (mesotelium). Bagian saluran cerna yang dilapisi tunika serosa
adalah colon transversum, colon sigmoid. Tunika adventitia merupakan lapisan tebal
jaringan ikat tanpa mesotelium. Bagian saluran cerna yang dilapisi oleh adventitia
adalah anus. Bagian saluran cerna yang dilapisi oleh tunika serosa dan adventitia
adalah colon ascending dan colon descending.
Rectum memiliki lapisan-lapisan yang sama dengan lapisan pada usus besar
lainnya, kecuali pada lapisan muskular longitudinal. Epitel permukaannya adalah
kolumnar dan terdapat sel goblet. Lamina propia terdapat kelenjar intestinal yg lebar.
Submukosa mempunyai bagian pusat atau tengah yg dilapisi mukosa. Taenia koli
pada kolon tidak dilanjutkan ke rectum. Sebagian rectum meliputi adventisia dan
serosa.18,19

Gambar 1.6 Lapisan Usus Besar


1.3 Fisiologi Usus Besar
Fungsi usus besar yaitu menyerap air, vitamin, elektrolit, ekskresi mukus,
pembentukan dan penyimpanan feses, serta proses defekasi.
Usus besar tidak mensekresikan enzim pencernaan, hal tersebut tidak diperlukan
karena proses pencernaan telah selesai sebelum kimus mencapai kolon, namun
bakteri

kolon

melakukan

pencernaan

terhadap

sebagian

selulosa

dan

menggunakannya untuk kepentingan metabolisme bakteri. Sekresi kolon terdiri dari


larutan mukus alkalis (HCO3-) yang fungsinya adalah untuk melindungi mukosa usus
besar dari cedera kimiawi dan mekanis. Mukus menghasilkan pelumas untuk
memudahkan feses lewat, sedangkan HCO3- menetralkan asam-asam iritan yang
dihasilkan oleh fermentasi bakteri.
Tahap akhir pencernaan melalui aktivitas bakteri kemudian akan dieliminasi:
-

Fermentasi kimus (H2, CO2, methan)


Perubahan protein menjadi asam amino dan substansi terkecil (Indole,
Skatole, Hydrogen Sulfide). Indole dan skatole di eliminasi melalui feses dan
mempengaruhi bau feses, sisanya di absorpi dan ditranspor ke liver untuk dirubah
menjadi less toxic compounds dan diekskresikan melalui urin.

Dekomposisi bilirubin
Bilirubin di dekomposisi menjadi pigmen sederhana untuk warna feses.
Zat produk bakteri
Bakteri menghasilkan vitamin B dan K untuk di absorpsi.
Kolon dalam keadaan normal menyerap air, vitamin, elektrolit, dan ekskresi

mukus. Melalui penyerapan garam dan air terbentuk massa feses yang padat, dari 500
ml bahan yang masuk ke kolon setiap harinya sebanyak 350 ml yang diserap kembali
dan meninggalkan 150 g feses untuk dikeluarkan dari tubuh untuk setiap harinya.
Bahan feses ini terdiri dari air, garam inorganik, sel epitel mukosa pencernaan yang
mengelupas, bakteri dan hasil dekomposisinya, residu makanan yang tidak diserap,
bilirubin.
Gas usus atau flatus terutama berasal dari udara yang ditelan sebanyak 500 ml
(udara ditelan sewaktu makan, minum, menelan ludah) dan gas yang dihasilkan oleh
fermentasi bakteri di kolon. Oksigen dan CO2 diserap melalui mukosa usus,
sedangkan nitrogen bersama dengan hasil pencernaan dan peragian dikeluarkan
sebagai flatus. Pada infeksi usus produksi gas meningkat dan bila terjadi obstruksi
usus gas tertimbun di saluran pencernaan yang menimbulkan flatulensi.
Proses defekasi terjadi sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke
dalam rektum sehingga terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang
reseptor regang di dinding rektum dan memicu refleks defekasi. Normal buang air
besar yaitu 2 atau 3 kali per hari sampai dengan 3 atau 4 kali per minggu.

2.
2.1

Karsinoma Kolorektal
Epidemiologi
Karsinoma Kolorektal berdasarkan estimasi WHO menyatakan sekitar 945.000

kasus baru per tahunnya dilaporkan diseluruh dunia dengan 492.000 kematian setiap
tahunnya.Insidensnya di negara-negara maju, seperti Eropa Barat , Amerika Utara,

Australia dan New Zealand lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang


seperti Afrika dan Asia.

Gambar 2.1 Epidemiologi Karsinoma Kolorektal


Karsinoma Kolorektal merupakan keganasan viseral terbanyak yang terdapat
pada gastrointestinal tract. Di negara-negara barat, pada wanita Karsinoma
Kolorektal menempati urutan ke-2 setelah kanker payudara, sedangkan pada laki-laki
Karsinoma Kolorektal menempati urutan ke-3 setelah kanker paru dan kanker prostat.

Gambar 2.2 Insidens Karsinoma Kolorektal


Insidens Karsinoma Kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga
dengan angka kematiannya. Insidens pada pria sama dengan wanita.Risiko untuk
mendapatkan Karsinoma Kolorektal mulai meningkat setelah umur 40 tahun dan
meningkat tajam pada umur 50 sampai 55 tahun, kemudian meningkat setiap dekade

berikutnya. Insidens tertinggi adalah pada usia diatas 55 tahun. Karsinoma Kolorektal
merupakan salah satu jenis penyakit karsinoma, yang termasuk dalam 10 jenis
penyakit karsinoma yang terbanyak di Indonesia. Berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia 2004, di Indonesia karsinoma menunjukkan peningkatan peringkat pada
pola penyakit penyebab kematian umum yaitu pada tahun 2001 karsinoma menempati
urutan ke-5 sebesar 5,0%. Berdasarkan peringkat utama penyakit neoplasma,
Karsinoma Kolorektal menempati peringkat ke-8 sebesar 3,9%.
2.1.1

Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi Karsinoma Kolorektal bersifat multifaktor. National Cancer Institute

mengelompokan faktor risiko yang dapat menyebabkan Karsinoma Kolorektal


berdasarkan faktor biologi, faktor genetik, faktor kondisi medis sebelumnya, faktor
prilaku dan lingkungan.
2.1.1.1

Faktor Biologi

2.1.1.1.1 Usia
Umumnya Karsinoma Kolorektal menyerang lebih sering pada usia tua. Lebih
dari 90% penyakit ini menimpa penderita diatas usia 50 tahun., kemudian meningkat
setiap dekade berikutnya. Insidens tertinggi adalah pada usia diatas 55 tahun.
Walaupun pada usia yang lebih muda dari 50 tahunpun dapat saja terkena. Karsinoma
Kolorektal dapat pula dijumpai pada pasien dengan usia kurang dari 50 tahun, yaitu
dengan persentase antara 0,4% sampai dengan 35, 6%.Terdapat beberapa perbedaan
mengenai batasan kelompok usia muda pasien Karsinoma Kolorektal, sebagian besar
peneliti menetapkan < 40 tahun tercatat dalam 37 artikel jurnal, sedangkan yang lain
ada yang menetapkan usia < 30 tahun tercatat dalam 14 artikel jurnal, dan < 25 tahun
tercatat dalam 1 artikel jurnal.
2.1.1.1.2 Jenis Kelamin
Insidens pada pria sama dengan wanita dengan perbandingan rasio 1:1.
2.1.1.2

Faktor Genetik

1. Sporadic cancer
Karsinogenesis yang dianut adalah perubahan dari sel normal, adenoma, dan
menjadi sel karsinoma (adenoma-carcinoma sequence) dan diketahui perlu 4
sampai 6 mutasi gen untuk perubahan dari sel epitel usus besar normal menjadi
karsinoma. Mutasi gen pada keadaan ini terjadi akibat adanya instabilitas
kromosom (chromosomal instability = CIN) dan dimulai dari mutasi pada gen
APC (Adenomatous Polyposis Coli), K-ras, DCC (Deleted Colorectal Cancer)
dan diakhiri oleh berupa hilangnya heterozygositas pada gen p53.
2. Familial Adenomatous Polyposis (FAP)
Pada penyakit FAP, gen APC mengalami mutasi, dimana APC terdapat pada
lengan panjang kromosom 5 (5q). Gen ini mengalami mutasi juga pada sindroma
Gardner dan pada sebagian besar sindroma Turcot. APC membuat kode peptida
asam amino, dan asam amino ini terekspresikan pada sebagian besar jaringan
tubuh. APC menyebabkan mutasi pada gen somatik, sehingga tidak ditemukan
pada jaringan di sekitar lesi-lesi tersebut. Mutasi tersebut menimbulkan inaktivasi
alel kedua gen ini sehingga kemampuannya sebagai gen penekan tumor menjadi
hilang. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa mutasi terjadi pada tahap awal,
gen ini dianggap sebagai peristiwa pertama di dalam karsinogenesis Karsinoma
Kolorektal.
3. Hereditary Non Polyposis Colon Carcinoma (HNPCC)
Merupakan lynch syndrom autosomal dominant inheritance. Bentuk yang
paling sering dari kelainan gen yang dapat menyebabkan Karsinoma Kolorektal
ini adalah hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC), yang disebabkan
adanya perubahan pada gen HNPCC. HNPCC diduga berperan pada < 10 %
Karsinoma Kolorektal. Pada sindroma herediter lainnya (HNPCC), terdapat
perubahan pada masing-masing DNA, sehingga menimbulkan perbedaan pada
keduanya dan keadaan ini disebut sebaghai bagian micro-satellite. HNPCC
ditandai oleh predominan karsinoma kolon kanan, onset usia dini, dan

peningkatan risiko berkembangnya tumor ekstra kolon, termasuk endometrium,


gaster, traktus urinarius, dan payudara.
2.1.1.3 Faktor Perilaku dan Lingkungan
Berdasarkan jenis studi epidemiologi, seperti kohort, kasus-kontrol, dan
sejumlah laporan seri kasus dan studi obervasi lainnya, faktor-faktor prilaku dan
lingkungan yang telah diketahui memiliki asosiasi yang kuat dengan terbentuknya
Karsinoma Kolorektal adalah sebagai berikut :
2.1.1.3.1

Diit Tinggi Karbohidrat, Lemak, Protein

Diit tinggi lemak memiliki efek terhadap mitogenesis epitelial, sekresi asam
empedu, konsentrasi insulin serum, level prostaglandin E2, immunokompetensi pada
host, dan karakteristik membran tumor. Mekanismenya adalah diit tinggi lemak akan
menyebabkan peningkatan konsentrasi asam empedu yang kemudian akan
menimbulkan peningkatan konsentrasi diasilgliserol sebagai hasil interaksi antara
lemak, asam empedu dan fermentasi bakteri. Zat ini diduga mempunyai efek
karsinogenik sebab akan menstimulasi proliferasi sel-sel mukosa usus secara
berlebihan melalui aktivasi protein-kinase C pada sistem transduksi sinyal.
Secara rata-rata, diit tinggi lemak adalah lemak menjadi sumber asupan antara
40% sampai dengan 45% dari kebutuhan total kalori tubuh. Sedangkan yang
termasuk diit rendah lemak adalah apabila asupan lemak tidak melebihi dari 10 %
dari kebutuhan total kalori tubuh.
2.1.1.3.2 Diit Rendah Sayur-Sayuran dan Buah-Buahan
Sayur-sayuran, buah-buahan dan diit tinggi serat mempunyai efek protektif
terhadap Karsinoma Kolorektal. Yang dimaksud dengan diit tinggi serat adalah diit
yang mengandung senyawa kompleks antara serat yang tidak larut (misalnya selulosa
dan wheat bran) dengan serat yang mudah larut (misalnya dried bean).

Beberapa mekanisme yang potensial berperan adalah pengikatan asam empedu,


peningkatan kadar air pada feses sehingga terjadi dilusi karsinogenik dan percepatan
waktu transit. Serat merupakan media yang baik bagi fermentasi bakteri usus dan
melalui proses ini asam lemak rantai pendek, seperti butirat, akan lebih banyak
dihasilkan. Butirat dapat menghambat berbagai zat karsinogenik dan bahan bakar
penting bagi epitel kolon.
2.1.1.3.3

Obesitas

Komponen energi total yang masuk dan komponen individual pada diit
mempunyai implikasi penting pada terbentuknya Karsinoma Kolorektal. Mekanisme
biologiknya adalah terdapatnya peningkatan hormon-hormon endogen seperti hormon
sex, insulin, dan IGF-1. Semakin tinggi Body Mass Index (BMI) seseorang semakin
tinggi pula risiko relatifnya untuk terkena Karsinoma Kolorektal.Seseorang semakin
tinggi pula risiko relatifnya, yaitu masing-masing dengan BMI 25 sampai dengan
29.9, 30 sampai dengan 34.9, dan 35 sampai dengan 35.9, adalah risiko relatifnya
menjadi 1.20, 1.47, dan 1.84.
2.1.1.3.4

Alkohol

Hubungan antara meminum alkohol dengan risiko Karsinoma Kolorektal belum


begitu jelas, mayoritas penelitian menunjukkan asosiasi yang positif dengan
peningkatan insidens Karsinoma Kolorektal pada para peminum alkohol berat.
Mekanisme alkohol berhubungan dengan deplesi asam folat akibat konsumsi alkohol
yang tinggi. American Cancer Society (ACS) memberikan rekomendasi untuk
menghindari konsumsi alkohol. Konsumsi lebih dari 1 kali (1 botol) diminum per hari
sudah meningkatkan risiko tersebut.

2.1.1.3.5

Rokok

Perokok mempunyai peningkatan risiko untuk menderita karsinoma pada kolon


atau rektum. Berdasarkan hasil Cancer Prevention Study di Amerika Serikat, risiko
menderita Karsinoma Kolorektal meningkat setelah paling sedikit dibutuhkan masa
merokok selama 20 tahun dan dosis rokok lebih dari 1 bungkus per harinya.
Mekanisme tembakau dapat menyebabkan Karsinoma Kolorektal diduga
berhubungan dengan adanya beberapa karsinogen pada rokok yaitu polycilic
aromatic hydrocarbons (PAHs), nitrosamine, dan aromatic amine.
2.1.1.3.6

Aktivitas Fisik Rendah

Berdasarkan penelitian bahwa terdapat hubungan yang terbalik antara aktivitas


fisik tinggi dengan insidens Karsinoma Kolorektal, yaitu akan mengurangi risiko
terjadinya Karsinoma Kolorektal. Yang dimaksud aktivitas fisik tinggi adalah
aktivitas fisik reguler yang lebih dari 2 jam per minggu. Aktivitas fisik adalah setiap
gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi (pembakaran
kalori). Pengeluaran energi untuk aktivitas fisik harian ditentukan oleh jenis,
intensitas dan lamanya aktivitas fisik dan olah raga. Aktifitas fisik yang dianjurkan
minimal 30 menit per harinya. bahwa terdapat hubungan yang terbalik antara
aktivitas fisik tinggi dengan insidens Karsinoma Kolorektal, yaitu akan mengurangi
risiko relatif sebesar 40%.
Mekanisme aktifitas fisik diduga berhubungan dengan efek prostaglandin pada
mukosa kolon, stimulasi transit intestinal, dan pencegahan hiperinsulinemia.
Meskipun demikian, tidak mudah menyimpulkan dari hasil berbagai penelitian
tersebut karena banyaknya variabel perancu yang mungkin berperan seperti pola diit,
dan body mass index(BMI).

2.1.1.4

Faktor Kondisi Medis Lainnya

2.1.1.4.1 Riwayat Kanker Sebelumnya


1. Polyp Adenoma
Polyp adenoma adalah pertumbuhan tumor pada dinding sebelah dalam usus
besar dan rektum. Sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Kebanyakan polyp ini
adalah tumor jinak, tetapi sebagian dapat berubah menjadi Karsinoma Kolorektal,
secara keseluruhan hanya 2 % adenoma saja yang akan menjadi Karsinoma
Kolorektal dalam waktu paling sedikit 10 tahun.
2. Kanker payudara atau genitalia wanita
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pada wanita yang memiliki riwayat karsinoma
indung telur, karsinoma rahim, karsinoma payudara memiliki risiko yang tinggi
untuk terkena Karsinoma Kolorektal.
2.1.1.4.2

Riwayat Kolitis Ulserativa dan Penyakit Crohn

Kolitis ulserativa dan penyakit Crohn yang telah diderita lebih dari 10 tahun
meningkat 10-29% untuk menjadi Karsinoma Kolorektal. Hal ini berhubungan
dengan meningkatnya dysplasia berat pada kedua penyakit tersebut jika sudah
berlangsung lebih dari 15 tahun.
2.1.1.4.3

Riwayat Menjalani Cholecystectomy

Individu yang telah menjalani cholecystectomy akan memiliki peningkatan


risiko untuk menderita Karsinoma Kolorektal, terutama pada kolon kanan. Hal ini
terungkap pada dua meta-analisis untuk studi kohort dan kasus kelola. Penelitian
lainnya menunjukkan peningkatan risiko relatif sampai dengan 91 % dalam masa
observasi 7 sampai dengan 23 tahun setelah cholecystectomy.
Meningkatnya risiko tersebut berhubungan dengan pemaparan asam empedu
yang meningkat dan kontinyu pada kolon kanan yang berperanan di dalam sirkulasi
enterohepatik dan asam tersebut adalah karsinogenik yang poten.

Gambar 2.3 Faktor Risiko Karsinoma Kolorektal

2.1.2

Patogenesis Karsinoma Kolorektal

Perkembangan Karsinoma Kolorektal ada dua jalur (pathway), yaitu :


1. First Pathway (APC atau -catenin Pathway)
Instabilitas kromosom
Akumulasi mutasi pada sejumlah onkogen dan gen supresor tumor
Terjadi evolusi molekuler dari kanker kolon:
Proliferasi epitel kolon yang terlokalisasi
Pembentukan adenoma-adenoma kecil
Membesar dan lebih displastik
Karsinoma invasif
Gambar 2.4 Patogenesis Karsinoma Kolorektal
2. Second Pathway (Microsatellite Instability Pathway)
Mikrosatelit adalah fragmen-fragmen dari sequence berulang pada genom
manusia, terdapat 50.000 sampai 100.000 mikrosatelit. Sequences ini cenderung
mengalami misalignment (tidak berurutan) selama replikasi DNA. Pada sel
normal, misalignment ini diperbaiki oleh DNA repair gene. Kebanyakan sequence
mikrosatelit berada di noncoding region, dan mutasi pada gen-gen ini tidak
berbahaya. Tetapi beberapa sequence mikrosatelit berada di coding region atau
promoter dari gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel, contohnya type
II TGF- receptor (menghambat perumbuhan sel epitel kolon) dan BAX
(menyebabkan apoptosis). Sistem MMR (mismatch repair) DNA pada manusia
bertanggung jawab dalam memperbaiki ketidakcocokan (mismatch) yang dapat
terjadi selama replikasi. Gen ini dalam keadaan normal diperlukan untuk
mereparasi kesalahan di dalam replikasi DNA (Replication Error) dan kehilangan
basa secara spontan. Terdapat empat jenis gen ini pada manusia yaitu hMSH2
(kromosom2p), hMLH1 (kromosom 3p2l), hPMS1 (kromosom 2q31-33), dan

hPMS2 (kromosom 7p22). Gen ini mengalami mutasi pada individu penderita
HNPCC.
Inaktivasi DNA mismatch repair genes
Kerusakan DNA repair
Perubahan mikrosatelit
Mutasi gen yang mengatur pertumbuhan sel
Karsinoma Kolorektal
Gambar 2.5 Patogenesis Karsinoma Kolorektal
Sampai dengan saat ini, analisis patobiologi molekuler secara genetik pada
mekanisme karsinogenesis Karsinoma Kolorektal telah diketahui terdapat dalam dua
bentuk yaitu :
1. Jalur Karsinoma Kolorektal sporadik

Sekitar 88-94 % dari penderita Karsinoma Kolorektal di negara-negara


Eropa Barat dan Amerika.

Terjadi sebagai akibat beberapa tahapan mutasi pada gen, mutasi yang
terjadi pada gen-gen tersebut berbanding lurus dengan makin
bertambahnya usia, karena kerusakan penyebab mutasi pada gen
berhubungan dengan proses penuaan dan pajanan terhadap bahanbahan karsinogenik yang ada di lingkungan.

2. Karsinoma Kolorektal herediter

Sekitar 6 -12 % dari penderita Karsinoma Kolorektal di negara-negara


Eropa Barat dan Amerika.

Terjadi sebagai akibat beberapa tahapan mutasi pada gen, mutasi gen
yang diperoleh dari orang tua penderita menyebabkan timbulnya
kanker setelah berinteraksi dengan faktor lingkungan yang juga
menyebabkan mutasi gen berikutnya.

lemak

serat

Biosintesis kolesterol

Kadar bile acid usus

Diit kolesterol

Kerusakan
mukosa

Secodary bile acid


Steroid metabolit

Aktivitas
metabolik
dari flora
fekal

ornitine decarboxylase
Aktivasi protein kinase
Pelepasan arakhidonat
Asam arakhidonat Prostaglandin

Proliferasi seluler

Aktivasi karsinogen
dan pembentukan
mutagen onkogen

Karsinoma Kolorektal

Perubahan genetik :
Perubahan protoonkogen
Hilangnya aktivitas gen supresor tumor
Abnormalitas pada gen yang terlibat dalam
DNA repair

Gambar 2.6 Patogenesis Karsinoma Kolorektal

Gambar 2.7 Faktor Genetik Pada Karsinogenesis Kolorektal


2.1.3

Gen yang mendasari Karsinoma Kolorektal

2.1.3.1 Hilangnya Gen APC


APC terdapat pada lengan panjang kromosom 5 (5q). APC membuat kode
peptida asam amino, dan asam amino ini terekspresikan pada sebagian besar jaringan
tubuh. APC menyebabkan mutasi pada gen somatik, maka tidak ditemukan pada
jaringan di sekitar lesi-lesi tersebut. Mutasi tersebut menimbulkan inaktivasi alel gen
ini sehingga kemampuannya sebagai gen penekan tumor menjadi hilang. Oleh karena
banyak bukti yang menunjukkan bahwa mutasi terjadi pada tahap awal, gen ini
dianggap sebagai peristiwa pertama di dalam karsinogenesis Karsinoma Kolorektal.
2.1.3.2 Mutasi K-Ras
Gen ini adalah onkogen yang berlokasi pada lengan pendek kromosom 12 dan
bekerja secara dominan. Protein K-ras akan berinteraksi dengan molekul efektor
sehingga menghasilkan respon pertumbuhan. Proses transduksi sinyal ini akan
berubah akibat protein K-ras mutan.

2.1.3.3 Hilangnya SMAD4


SMAD4 dikenal juga sebagai DPC4 terletak di kromosom 18. Fungsi normal
gen ini berperan sebagai supresor tumor

.
2.1.3.4 Hilangnya p53
Gen p53 terletak pada lengan pendek kromosom 17 (17p). Gen p53 adalah
gen yang paling menentukan di dalam karsinogenesis. Gen p53 adalah merupakan
faktor transkripsi karena kemampuannya untuk mengaktivasi ekspresi gen yaitu gen
p53 akan berikatan dengan sekuens DNA pada daerah promotor gen lainnya untuk
meningkatkan transkripsi. Hampir semua gen yang diaktivasi oleh p53 adalah gen
yang berperanan di dalam penghambatan pertumbuhan sel. Oleh sebab itu, inaktivasi
gen ini akan menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali.
2.1.3.5 Aktivasi Telomerase
Telomerase berfungsi untuk menjaga stabilitas telomere dan mencegah
apoptosis. Pada Karsinoma Kolorektal, aktivitas telomerase meningkat sehingga sel
terus-menerus tumbuh dan menjadi karsinoma.
2.1.3.6 Gen DCC (Deleted in Colorectal Carcinoma)
Gen ini terdapat pada lengan panjang kromosom 18 (18q). Produk gen ini
berkaitan dengan adhesi antar sel dan interaksi matriks sel yang sangat penting di
dalam pencegahan pertumbuhan, invasi, dan metastasis tumor. Gen terutama
berperanan penting di dalam kemampuan tumor bermetastasis sehingga dapat
dijadikan prognosis tumor dan status metastasisnya.
2.1.4

Patologi

2.1.4.1 Makroskopik
Secara makroskopik terdapat 3 tipe Karsinoma Kolorektal yaitu tipe polipoid,
tipe sikrus, tipe ulseratif. Karsinoma kolorektal tampak sebagai massa tumor pada
mukosa dengan tepi tumor yang menonjol dan terdapat ulkus pada daerah sentral
tumor. Jika tumor telah mengenai seluruh lumen kolon atau rektum, akan tampak
melingkar dengan memberikan gambaran lesi yang konstriktif dan disebut sebagai
"Apple-core lesion". Gambaran lesi pada sekum dan kolon asendens lebih sering
tampak rata atau polipoid. Pada rektum, tumor dapat berbentuk eksopitik (fungating)

atau ulseratif. Oleh karena berasal dari epitel mukosa maka tumor ini akan menembus
lapisan kolon dan jaringan sekitarnya sehingga dapat bermetastasis secara limfogen
maupun hematogen.
2.1.4.2 Mikroskopik
Diferensiasi dimulai dari bentuk sel-sel tumor yang kolumner seperti adenoma
sampai dengan yang tidak berdiferensiasi sama sekali (anaplasia). Tumor yang
memproduksi musin dalam jumlah banyak, secara mikroskopik akan memberikan
gambaran seperti cincin (signet ring cell).
Derajat diferensiasi sel tumor didasarkan pada arsitektur kelenjar, polaritas
nukleus, derajat mitosis, dan daya invasi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Diferensiasi baik
-

Arsitektur kelenjar utuh

Polaritas nukleus berada di basal

Derajat mitosis jarang

Daya invasi minimal

Gambar 2.8 Mikroskopik Karsinoma Kolorektal Diferensiasi Baik

2. Diferensisi moderat
-

Arsitektur kelenjar berkurang dan

Derajat mitosis lebih banyak

irreguler

Daya invasi moderat

Polaritas nukleus tidak merata

Gambar 2.9 Mikroskopik Karsinoma Kolorektal Diferensiasi Moderat


3. Diferensiasi buruk
-

Arsitektur kelenjar tidak ada

Derajat mitosis banyak

Polaritas nukleus hilang

Daya invasi signifikan

Gambar 2.10 Mikroskopik Karsinoma Kolorektal Diferensiasi Buruk

2.1.5

Lokasi Anatomi
Semua kepustakaan melaporkan bahwa lokasi terbanyak Karsinoma Kolorektal

mengenai rektum dan sigmoid. Insidens berdasarkan letaknya di usus besar adalah
kolon asending (30%), kolon transversum (10%), kolon desending (15%), kolon
sigmoid (25%), rektum (20%).

Gambar 2.11 Distribusi Karsinoma Kolorektal


2.1.6

Stadium Keganasan

2.1.6.1 Sistem Dukes


Tabel 2.1 Klasifikasi Karsinoma Kolorektal berdasarkan Dukes
Stadium
A
B

Dalamnya infiltrasi
Terbatas pada dinding usus
Menembus lapisan muskularis mukosa

C
Metastasis kelenjar limfe
Dikutip dari : Clinical Manual Practical Oncology.

2.1.6.2 Astler-Coller Modifikasi dari Sistem Dukes


Tabel 2.2 Astler-Coller Modifikasi dari Sistem Dukes
Stadium
A

Kedalaman Infiltrasi
Karsinoma yang letaknya terbatas pada
mukosa
Karsinoma yang telah menginfiltrasi

B
B1

muskularis propia dan serosa


Karsinoma yang menginfiltrasi sebagian

B2

muskularis propia
Karsinoma yang menginfiltrasi seluruh

tebal muskularis propia


Karsinoma yang telah mengadakan

metastase ke kelenjar limfe mesenterial


B1 dengan metastase ke kelenjar limfe
B1 dengan metastase ke kelenjar limfe
Karsinoma dengan penyebaran metastase

C1
C2

jauh
Dikutip dari : Clinical Manual Practical Oncology.33

Gambar 2.12 Astler-Coller Modifikasi dari Sistem Dukes

2.1.6.3 Tumor-Node-Metastasis (TNM)


Tabel 2.3 Sistem TNM pada Karsinoma Kolorektal
Tumor primer (T)
Tx

Tumor primer tidak bisa dinilai

T0

Tidak dapat dibuktikan adanya tumor primer

Tis

Karsinoma in situ

T1

Tumor menginfiltrasi lapisan submukosa

T2

Tumor menginfiltrasi lapisan muskularis propia

T3

Tumor

menginfiltrasi

subserosa,

serosa,

atau

lemak

perikolik/perirektal
T4

Tumor menginfiltrasi peritoneum viserale dan struktur /organ di


dekatnya.

Kelenjar Getah Bening Regional (N)


Nx

Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0

Tidak ditemukan adanya metastasis pada kelenjar getah bening

N1

Terdapat metastasis

pada 1 s/d 3 kelenjar getah bening

mesenterial terdekat.
N2

Terdapat metastasis pada lebih dari 4 buah kelenjar getah


bening mesenterial

N3

Terdapat metastasis sepanjang pembuluh darah mesenterial


kolon/rektum

Metastasis jauh (M)


Mx

Adanya metastasis jauh tidak bisa dinilai

M0

Tidak terbukti adanya metastasis jauh

M1

Terdapat metastasis jauh

Dikutip dari : Marvin L. Corman, M.D.

Gambar 2.13 Sistem Tumor-Node-Metastasis (TNM)

2.1.6.4 TNM, Dukes dan Modified Astler-Coller


Tabel 2.4

Perbandingan Sistem TNM, Duke, dan modifikasi Duke (Astler-

Coller)
AstlerSistem TNM
0

T
Tis

N
N0

M
M0

Duke

Coller

T1

N0

M0

II

T2
T3

N0
N0

M0
M0

B1
B2

III

T4
SetiapT

N0
N1

M0
M0

C1,C2

IV

SetiapT
SetiapT

N2, N3
Setiap N

M0
M1

Dikutip dari : Clinical Manual Practical Oncology.

Gambar 2.14 Stadium Karsinoma Kolorektal


2.1.7

Metastasis
Karsinoma Kolorektal mulai berkembang pada mukosa dan tumbuh sambil

menembus dinding dan meluas secara sirkuler. Di daerah rektum penyebaran ke arah
anal jarang melebihi 2 sentimeter. Penyebaran perkontinuitatum menembus jaringan
sekitar atau organ sekitarnya misalnya ureter, vesika urinaria, uterus, vagina, atau
prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke kelenjar parailiaka, mesenterium, dan
paraaorta. Penyebaran hematogen terutama ke hati. Penyebaran peritoneal
mengakibatkan peritonitis karsinomatosa dengan atau tanpa asites.13,22

Gambar 2.15 Metastasis Karsinoma Kolorektal


2.1.8

Manifestasi Klinik
Keganasan Karsinoma Kolorektal adalah akhir dari suatu proses panjang,

perubahan dari mukosa kolon yang normal paling sedikitnya dibutuhkan 10 tahun.
Karena proses yang panjang ini, tidak mengherankan jika manifestasi klinis dari
Karsinoma Kolorektal asymptomatic.
Manifestasi klinis yang menyertai Karsinoma Kolorektal, berhubungan dengan
ukuran dan lokasi dari karsinoma. Banyak tanda dan gejala dari Karsinoma
Kolorektal bersifat non spesifik. Umumnya gejala pertama timbul karena penyulit,
yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan, atau akibat penyebaran. Ketika
manifestasi klinis muncul, prognosis sudah menjadi buruk karena Karsinoma
Kolorektal telah berada pada stadium lanjut.
Gejala klinis karsinoma pada kolon kiri berbeda dengan yang kanan. Karsinoma
kolon kiri bersifat sikrotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan
obstruksi, terlebih karena feses sudah menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan

jarang terjadi stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi. Nyeri
pada kolon kiri lebih nyata daripada kolon kanan. Tempat yang dirasakan sakit
berbeda karena asal embrioniknya yang berlainan, yaitu dari usus tengah dan usus
belakang. Nyeri pada kolon kiri bermula di bawah umbilikus, sedangkan pada kolon
kanan di epigastrium.
Karsinoma yang berlokasi di sekum dan kolon asenden tidak khas, seringkali
berupa gejala umum berupa dispepsia, kelemahan umu, dan penurunan berat badan.
Karsinoma kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan pola defekasi seperti
konstipasi atau defekasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses makin
menipis, atau lebih cair disertai dengan darah atau lendir. Tenesmi merupakan gejala
yang biasa didapat pada karsinoma rektum. Perdarahan akut jarang dialami, demikian
juga nyeri di daerah panggul berupa tanda penyakit lanjut.
Tabel 2.5 Manifestasi Klinis Karsinoma Kolorektal Berdasarkan Lokasi
Aspek klinis
Nyeri
Defekasi

Kolon kanan
Kolon kiri
Kolitis
Obstruksi
Karena penyusupan Karena obstruksi
Diare atau diare
Konstipasi

Rektum
Proktitis
Tenesmi
Tenesmi terus-

Obstruksi
Darah pada feses

berkala
Jarang
Samar

progresif
Hampir selalu
Samar atau

menerus
Tidak jarang
Makroskopis

Feses
Dispepsi
Memburuknya

Normal atau diare


Sering
Hampir selalu

makroskopis
Normal
Jarang
Lambat

Perubahan bentuk
Jarang
Lambat

Lambat

Lambat

keadaan umum
Anemia
Hampir selalu
dikutip dari : Sjamsuhdrajat, R.
2.1.9

Diagnosis dan Pemeriksaan

2.1.9.1 Diagnosis

Diagnosis

Karsinoma

Kolorektal

ditegakan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan fisik, rectal toucher (RT), dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon
dengan kontras ganda. Sebaiknya untuk usia diatas 45 tahun, pemeriksaan ini
dilakukan setiap tiga tahun. Kepastian diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan
patologi anatomi.
2.1.9.2 Pemeriksaan
Pada pemeriksaan, tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut,
bila teraba, menunjukkan keadaan yang sudah lanjut. Massa di dalam sigmoid lebih
jelas teraba daripada massa di bagian lain kolon. Pemeriksaan rectal toucher (RT)
merupakan keharusan dan dapat disusul dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi.
Foto kolon dengan barium merupakan kelengkapan dalam menegkan diagnosis
Karsinoma Kolorektal. Biopsi dilakukan melalui endoskopi.
Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan dengan ketepatan hampir 100%
disusul dengan foto kolon dengan barium dan kontras ganda sebesar 90 %,
rektosigmoidoskopi sebesar 75%, dan rectal toucher sebesar 40%.

Gambar 2.16 Kolonoskopi

Gambar 2.17 Karsinoma Kolorektal dengan Pemeriksaan Barium Enema

Gambar 2.18 Rektosigmoidiskopi


Untuk menjaring subjek yang asymtomatic, tes yang cukup baik dilakuakan
adalah tes feses dalam darah (Fecal Occult Blood Test / FOBT). Pemeriksaan ini
merupakan metode yang sederhana dan sensitif untuk mendeteksi dini Karsinoma

Kolorektal dan dapat mengarahkan pada pemeriksaan yang lebih definitif. Meskipun
sensitifitas FOBT tidak tinggi, tetapi dengan pemeriksaan teratur dapat mendeteksi
sekitar 92% dari karsinoma.
Pemeriksaan laboratorium lain yang bisa dilakukan adalah
1. Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia
2. Test Guaiac pada feces untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feces, karena
semua Karsinoma Kolorektal mengalami perdarahan intermitten.
3. CEA (carcinoembryogenic antigen) merupakan protein yg dihasilkan oleh fetal
tissues (khususnya liver, intestinal, dan pancreatic tissue). Menghilang setelah
lahir tapi sering timbul pada saat sel yang berasal dari jaringan tersebut menjadi
karsinoma. Oleh karena itu CEA sebagai tumor marker. Antigen ini dapat
dideteksi oleh radioimmunoassay dari serum atau cairan tubuh lainnya.
4. Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat
meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi
serum protein, kalsium, dan kreatinin.
5. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya dan
lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam usus
bagian bawah, karsinoma tampak sebagai massa mengisi lumen usus, konstriksi,
atau gangguan pengisian.
6. X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru.
7. CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI), atau
pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah sudah mengenai
organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastase tumor.
Tabel 2.6 Ringkasan Diagnosis Karsinoma Kolorektal
Kolon kanan
-

anemia dan kelemahan

darah samar di feses

dispepsia

perasaan yang kurang enak diperut bagian bawah

massa perut kanan bawah

temuan koloskopi

Kolon kiri
-

perubahan pola defekasi

darah di feses

gejala dan tanda obstruksi

penemuan koloskopi

Rektum
-

perdarahan rektum

darah di feses

perubahan pola defekasi

pascadefekasi perasaan tidak puas atau rasa penuh

penemuan tumor pada rectal toucher

- penemuan tumor rektosimoidoskopi


Dikutip dari : Sjamsuhdrajat, R.

Gambar 2.19 Algorithma Skrining Karsinoma Kolorektal Pada Pasien Dengan


Faktor Risiko
2.1.10 Diagnosis Banding
Berbagai kelainan di rongga perut yang bergejala sama atau mirip dengan
Karsinoma Kolorektal adalah ulkus peptik, neoplasma lambung, kolesistitis, abses

hati, neoplasma hati, abses apendiks, massa paraapendikular, diverkulitis, kolitis


ulserosa, enteritis regional, proktitis pascaradiasi, dan polip rektum.
Tabel 2.7 Ringkasan Diagnosis Banding Karsinoma Kolorektal
Kolon kanan
Abses apendiks
Massa apendiks

Kolon tengah
Tukak peptik
Karsinoma

Kolon kiri
Kolitis ulserosa
Polip

Polip
Proktitis

Amuboma

lambung
Abses hati

Divertikulitis

Fisura anus

Endometriosis

hemoroid
Karsinoma anus

Enteritis regionalis

Karsinoma hati
Kolesistitis
Kelainan pankreas
Kelainan saluran

Rektum

empedu
Dikutip dari : Sjamsuhdrajat, R.
2.1.11 Penanganan
Penatalaksanaan keganasan Usus Besar primer hampir hanya berupa tindakan
bedah sebagai terapi kuratif dan terapi tambahan berupa kemoterapi dan radiasi hanya
bersifat paliatif dan tidak memberikan manfaat kuratif.
1. Pembedahan
Pembedahan bertujuan untuk mengeksisi lesi primer dengan batas adekuat,
untuk membentuk kembali kesinambungan usus bila mungkin dan untuk
mencegah komplikasi. Berbagai jalur penyebaran harus dipertimbangkan
mencakup vena dan perlu
2. Radiasi
Terapi radiasi sering diberikan sebelum operasi yang bertujuan untuk
mengerutkan atau memperkecil tumor (Shrink the tumor), merubah sel-sel
keganasan (Alter malignant cells), atau keduanya (both of them)

Setelah dilakukan hemikolektomi perlu dipertimbangkan untuk


melakukan radiasi dengan dosis yang adekuat. Kadang-kadang radiasi
dilakukan sebelum operasi, terutama pada karsinoma di rektum dan sigmoid
yang dapat dilakukan tindakan pembedahan.
3. Kemoterapi
Pemberian dari beberapa sitostatika yang dapat diberikan misalnya 5Fluorourasil (5-FU), Thio Tepa, Mitomicyn C. Pemberian yang paling
umum digunakan yaitu 5-Fluorourasil (5-FU).
5-Fluorourasil (5-FU) merupakan suatu analog pirimidin, mempunyai
satu atom yang stabil pengganti atom hidrogen pada posisi 5 cincin urasil.
Fluorin mengganggu konversi asam deoksiuridilat menjadi asam timidilat,
mengakibatkan sel akan kekurangan precursor penting dalam sintesis DNA
sehingga menimbulkan gangguan perkembangan sel dan akhirnya kematian
sel.
2.1.12 Prognosis
Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastasis jauh, yaitu klasifikasi
penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor.
Tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan
hidup 5 tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan
penyebaran kelenjar 32%, dan dengan metastasis jauh 1%. Bila disertai diferensiasi
sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk.

Tabel 2.8 Prognosis Karsinoma Kolorektal Berdasarkan Stadium Patologi

Sistem Dukes

Prognosis Hidup

Astler-Coller

Prognosis Hidup

Setelah 5 Tahun

Modifikasi dari

Setelah 5 Tahun

Sistem Dukes
A
B
C

97%
80%
C1
C2

65%
35%
< 5%

A
B1
B2
C1
C2
D

75-100%
65%
50%
40%
15%
< 5%

Anda mungkin juga menyukai