Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

Laki-laki 57 tahun
dengan nyeri dada

dr. Christa Levina Daniswara

RSU Sumber Waras

Ciwaringin, Kab. Cirebon

2018
LAPORAN KASUS

Identitas

 Nama : Tn. K

 Jenis Kelamin : Laki - laki

 Usia : 57 tahun

 Alamat :-

 Pekerjaan : Pensiunan

 Agama : Islam

 Status : Menikah

 Suku : Sunda

 Tanggal Pemeriksaan : 9 Maret 2018

 Waktu Kedatangan : 01.30 WIB

Anamnesis

 Autoanamnesis

 Keluhan Utama : nyeri dada sejak 6 jam SMRS

 Keluhan Tambahan : nyeri perut sejak 2 hari SMRS

 Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang karena nyeri dada kiri sejak 6 jam SMRS. Nyeri dada dirasakan
seperti berat dan sulit bernapas. Pasien tidak dapat menunjuk dengan jari tangan lokasi
nyeri dada. Nyeri dada tidak menjalar. Terkadang disertai adanya sesak. Sesak tidak
dipengaruhi oleh posisi maupun aktivitas. Batuk disangkal.
Sejak 2 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri di daerah ulu hati. Nyeri ulu hati
dirasakan hilang timbul dan tidak menjalar. Nyeri ulu hati tidak dipengaruhi makan. Pasien
mengalami mual setiap diberi makan. Pasien juga mengalami muntah 2 hari SMRS,
muntah sekitar 3 kali berisi makanan.

Keluhan demam, gangguan BAK, maupun gangguan BAB disangkal.

 Riwayat Pengobatan :-

 Riwayat Penyakit Dahulu :

o Riwayat diabetes mellitus tidak diketahui


o Riwayat hipertensi tidak diketahui
o Riwayat penyakit jantung disangkal
o Riwayat asma disangkal
o Riwayat alergi disangkal

 Riwayat Keluarga :-

Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum : tampak sakit sedang

 Kesadaran : compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)

 Tekanan Darah : 100/70 mmHg

 Nadi : 116 kali/menit

 Pernapasan : 24 kali/menit

 Suhu : 36,60C

 Kepala

o Kepala : normocephali, deformitas (-)


o Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat/bulat,
isokor/isokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+.
o Leher : trakea di tengah, pembesaran KGB (-), massa (-)
 Thorax

o Paru

o Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris baik statis dan dinamis


o Palpasi : fremitus taktil teraba simetris
o Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi : bunyi nafas vesikular +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

o Jantung

o Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat


o Palpasi : ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra ICS IV
o Perkusi : batas-batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi : bunyi jantung reguler, murmur(-), gallop(-)
 Abdomen

o Inspeksi : datar, lesi(-), sikatriks(-), pelebaran vena(-)


o Auskultasi : bising usus (+), 6x/ menit
o Perkusi : timpani pada seluruh kuadran
o Palpasi : supel, nyeri tekan (+) a/r epigastrium, massa(-)

 Ekstremitas : akral teraba dingin, CRT <2 detik, edema (-)


Resume

Pasien laki-laki, usia 57 tahun datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 6 jam SMRS.
Nyeri dada dirasakan berat dan pasien tidak dapat menunjuk dengan jari tangan lokasi nyeri dada.
Nyeri dada terkadang disertai sesak.

Nyeri ulu hati sejak 2 hari SMRS. Nyeri ulu hati tidak dipengaruhi makan. Mual setiap
diberi makan. Pasien sempat muntah 3 kali berisi makanan.

Dari Pemeriksaan fisik didapatkan:

Tanda-tanda vital

o Keadaan Umum : tampak sakit sedang


o Kesadaran : compos mentis
o Tekanan Darah : 100/70 mmHg
o Nadi : 116 kali/menit
o Pernapasan : 24 kali/menit
o Suhu : 36,60C
 Pemeriksaan Fisik
o Abdomen : nyeri tekan (+) a/r epigastrium

Diagnosis

 Diagnosis Kerja :

Suspek infark miokard

 Diagnosis Banding :

Epigastrium pain ec suspek ulkus peptikum


Pemeriksaan Penunjang

 Lab (9 Maret 2018):


o Darah Lengkap
 Hb : 13,3 g/dL
 Leukosit : 16.670 uL
 Hematokrit : 41 %
 Trombosit : 211.000 uL
o Gula Darah Sewaktu : 166 mg/dL
o Ureum : 49 mg/dL
o Creatinin : 1,42 mg/dL
o CKMB : 292,7
 EKG (9 Maret 2018):

Kesan : ST elevasi V1,V2,V3 ; ST depresi V4,V5,V6


Kesimpulan : STEMI anterior
Interpretasi EKG

- Frekuensi : 113 kali / menit


- Irama : sinus takikardi
- Sumbu : left axis deviation
- Segmen ST : ST elevasi lead V1,V2,V3,V4,V5 dan V6
- Kesimpulan : STEMI Anterior

Diagnosis Akhir

 Diagnosis Kerja :

STEMI Anterior Luas


Penatalaksanaan IGD

 IVFD RL 20 TPM
 Extra ondansetron 4 mg IV
 Extra ketorolac 30 mg IV
 Clopidogrel 4 x 75 mg
 Aspilet 4 x 80 mg
 ISDN 5 mg sublingual

Penatalaksanaan DPJP (dr. Tedjo Sp. PD)


 Rawat ICU
 IVFD RL 20 TPM
 Arixtra 1 x 2,5 mg IV
 Esomax 1 x 40 mg IV
 Ondansetron 3 x 4 mg IV
 ISDN 3 x 5 mg PO
 Aspilet 1 x 80 mg PO
 Digoksin 1 x 0,25 mg PO
 Clopidogrel 1 x 75 mg PO
 Bisoprolol 1 x 5 mg PO
 MST kp 3 x 1 PO
 Lactulac syr 3 x 1 PO
 Simvastatin 1 x 10 mg PO

Saran Pemeriksaan :-

Prognosis

 Quo ad vitam : dubia ad malam

 Quo ad fungsionam : dubia ad malam

 Quo ad sanationam : dubia ad malam


TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT JANTUNG KORONER

Pendahuluan
Penyakit jantung koroner merupakan suatu kegawatan kardiovaskular yang memiliki potensi
komplikasi yang berakibat fatal. Infark miokard merupakan penyebab utama kejadian henti
jantung mendadak yang disebabkan aritmia maligna yang terjadi saat serangan1.
Sindrom coroner merupakan sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang merujuk ke
diagnosis iskemia miokard akut. Klasifikasi penyakit jantung coroner terdiri dari1 :
- Angina pectoris tidak stabil (APTS)
- Infark miokard akut non elevasi segmen ST (NSTEMI)
- Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)

Epidemiologi
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa secara nasional
terdapat 0,5% prevalensi penyakit jantung coroner yang didiagnosis dokter. Prevalensi tertinggi
pada provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, DKI Jakarta dan Aceh. Di provinsi DKI Jakarta
pada tahun 2008 – 2009 berdasarkan Jakarta Acute Coronary Syndrome Registry terdapat 2103
pasien sindrom coroner akut dan 654 diantaranya adalah STEMI.

Patofisiologi
Penyebab terjadinya penyakit coroner secara teoritis akibat thrombosis coroner dan robekan plak.
Thrombosis coroner umumnya dihubungkan dengan adanya robekan plak. Perubahan secara tiba-
tiba angina stabil menjadi tidak stabil atau infark miokard berhubungan dengan robekan plak
dengan shear stressnya tnggi dan dapat terjadi pada plak aterosklerosis yang besar maupun kecil.
Plak yang mengalami robekan akan merangsang agregasi trombosit yang selanjutnya akan
membentuk thrombus. Beberapa hal yang mendasari patofisiologi penyakit coroner adalah sebagai
berikut2 :
1. Plak tidak stabil
Penyebab utara penyakit coroner adalah rupturnya plak yang kaya lipid. Adanya komponen
sel inflamasi yang berada di subendotel merupakan predisposisi terjadinya ruptur plak.
2. Ruptur Plak
Terjadinya ruptur plak akan memicu agregasi trombosit. Trombosit akan menutupi atau
menempel pada plak yang ruptur. Platelet kemudian akan diselimuti oleh fibrinogen dan
merangsang pembentukan thrombin.
3. Angina tidak stabil
Sumbatan thrombus yang parsial akan menimbulkan gejala iskemik progresif (lebih lama
atau terjadi pada aktivitas yang lebih ringan), gejala iskemi yang baru pertama terjadi, atau
terjadi pada saat istirahat. Pada fase ini thrombus kaya akan platelet sehingga terapi dengan
aspirin paling efektif.
4. Trombus oklusif
Jika thrombus menyumbat total pembuluh darah coroner, maka akan menyebabkan
STEMI. Bekuan ini kaya akan fibrin sehingga pemberian fibrinolysis secara cepat dan tepat
akan membatasi luasnya infark.

Gambar 1. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner2


Diagnosis
a. Gejala
Diagnosis penyakit jantung coroner berdasarkan keluhan khas angina. Keluhan pasien dapat
menunjukkan khas angina maupun sesak napas atau keluhan lain yang tidak khas seperti nyeri
epigastrium. Keluhan khas angina harus diikuti perubahan pada elektrokardiogram (EKG) dan atau
perubahan enzim jantung.1
Gejala umum iskemia atau infark adalah nyeri dada retrosternal. Yang perlu diperhatikan :
- Lokasi : retrosternal. Pasien sulit melokalisasi rasa nyeri.
- Deskripsi nyeri : pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit, ditekan atau dada terasa
penuh.
- Penjalaran nyeri : nyeri dapat menjalar ke lengan kiri, bahu, punggung, leher atau kadang
penjalaran dapat pada kedua lengan
- Lama nyeri : nyeri pada coroner dapat berlangsung lebih dari 20 menit, pada STEMI nyeri
dapat lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan istirahat atau nitrat sublingual
- Gejala sistemik : mual, muntah, atau keringat dingin
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penyakit coroner pada umumnya normal. Terkadang dapat terlihat
keringat dingin atau tanda komplikasi seperti takipnea, takikardi – bradikardi, gallop S3,
ronkhi basah atau terdengar murmur
c. EKG
Berdasarkan gambaran EKG, pasien penyakit jantung coroner dapat diklasifikasikan menjadi
3 kelompok3 :
- Elevasi segmen ST atau left bundle branch block (LBBB) baru / dianggap baru
- Depresi segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada saat pasien mengeluh
nyeri dada
- EKG non diagnostik baik normal atau hanya ada perubahan minimal
Perjalanan infark miokard dengan elevasi segmen ST dapat terlihat dengan evolusi EKG dari
waktu ke waktu. Dalam beberapa menit setelah oklusi pembuluh darah coroner, dapat terlihat
gelombang T hiperakut yang akan diikuti dengan elevasi segmen ST. Jika telah terjadi
nekrosis maka gelombang Q pada EKG dapat muncul mulai 1 jam pertama setelah oklusi.
Tingginya elevasi segmen ST kemudian semakin lama akan menurun. Inversi T dapat terlihat
dalam 72 jam dan kembali normal dalam waktu yang sangat bervariasi. Pada akhirnya segmen
ST akan kembali isoelektrik namun gelombang Q akan menetap (Q patologis).3

Gambar 2. Evolusi EKG sindrom koroner akut.3

1) EKG normal 2) Gelombang T Hiperakut 3) Elevasi Segmen ST


4) Gelombang Q patologis 5) Inversi gelombang T 6) ST dan T kembali normal,
meninggalkan q patologis

Gambar 3. Prediksi lokasi kerusakan dan sumbatan arteri koroner3


d. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menilai adanya nekrosis miokard adalah
CKMB, troponin I, troponin T, dan myoglobin.
- Mioglobin : merupakan suatu protein yang dilepas dari sel miokard saat mengalami
kerusakan. Myoglobin meningkat pada awal terjadinya infark dan mencapai puncak
pada jam 1 s/d 4 dan tetap tinggi hingga 24 jam.
- CKMB : merupakan isoenzim dari creatinine kinase dengan konsentrasi terbesar
terdapat pada miokardium. Mulai meningkat 3 jam setelah infark dan mencapai puncak
jam 12-14. CKMB akan mulai menurun 47-72 jam setelah infark.
- Troponin : enzim troponin akan meningkat pada jam ke 3 hingga ke 12 setelah onset
iskemik dan mencapai puncak pada jam ke 12-24, serta masih tetap tinggi hingga hari
ke 8-21 (troponin T) dan hari ke 7-14 (troponin I).1

Tatalaksana
Secara umum tatalaksana sindrom coroner dengan ST elevasi dan tanpa ST elevasi hampir sama.
Perbedaan terdapat pada strategi reperfusi dimana pada STEMI ditekankan untuk segera
melakukan reperfusi baik secara medikamentosa (fibrinolysis) atau intervensi (PCI).

Tatalaksana awal di IGD1 :


 Oksigen 4 LPM dengan nasal kanul bila didapatkan
dyspnea, hipoksemia, dan tanda gagal jantung (saturasi
O2<90%)
 Aspirin 160-325 mg dikunyah
 Nitrogliserin / nitrat sublingual
 Morfin IV bila nyeri tidak berkurang dengan
nitrogliserin/nitrat

Oksigen
Berdasarkan pedoman tahun 2010, oksigen diberikan pada semua pasien dengan sesak napas,
tanda gagal jantung, syok atau saturasi oksigen <94%.1 Studi menyatakan bahwa terapi oksigen
pada pasien dengan saturasi normal dapat meningkatkan risiko injuri miokard dan luasnya infark
setelah 6 bulan. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pemberian oksigen tidak mempengaruhi
angka kematian, hilangnya nyeri dada dan berkurangnya luas infark. Indikasi terapi oksigen adalah
sebagai berikut :

- Pasien dengan nyeri dada menetap, berulang atau hemodinamik tidak stabil
- Pasien dengan tanda bendungan paru
- Pasien dengan saturasi oksigen < 90%.

Penelitian pada tahun 2015 menunjukkan tingginya konsentrasi oksigen arterial (PaO2>300
mmHg) dapat membahayakan berbagai organ dan memperburuk prognosi jangka panjang.
Berdasarkan 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With Non-ST-Elevation
Acute Coronary Syndromes menyebutkan suplemen oksigen diberikan hanya pada kondisi saturasi
oksigen < 90%, distres pernapasan dan bukti hipoksemia lainnya.4

Aspirin dan NSAID

Aspirin dapat menurunkan reoklusi coroner dan berulangnya kejadian iskemik setelah terapi
fibrinolitik. Dosis pemeliharaan adalah 75 – 100 mg/hari. Obat NSAID baik selektif maupun non
selektif tidak boleh diberikan pada penyakit jantung coroner karena dapat meningkatkan risiko
kematian, reinfark, gagal jantung, dan ruptur miokard. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
dosis inisial aspirin 162 mg lebih efektif dan aman dibandingkan dosis 325 mg yang lebih berisiko
terjadinya pendarahan sedang maupun berat.5

Nitrogliserin

Tablet nitrogliserin sublingual dapat diberikan hingga 3 kali dengan interval 3-5 menit jika tidak
terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hemodinamik tidak
stabil seperti TD sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan TD awal,
bradikardi <50 kali/menit atau takikardi > 100 kali/menit, dan adanya infark ventrikel kanan.6
Gambar 4. Jenis obat dan dosis nitrat untuk penyakit jantung koroner

Analgetik (Morfin)

Morfin diberikan pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian nitrogliserin. Morfin dapat
menyebabkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel dan mengurangi beban ventrikel
sehingga mengurangi kebutuhan oksigen. Morfin berikatan dengan reseptor opioid di otak
sehingga dapat mengurangi persepsi nyeri serta menurunkan respon emosional terhadap nyeri.
Dosis yang digunakan biasanya 2-4 mg IV setiap 5-15 menit. Pasien dengan pengobatan morfin
memerlukan pemantauan ketat. Seperti diketahui sebelumnya bahwa morfin memiliki efek sedasi
yang dapat menurunkan respiratory drive sehingga status respirasi harus dimonitor secara ketat
(saturasi oksigen). Efek samping yang dapat timbul seperti mual, mulut kering, mengantuk dan
nyeri kepala. Perlu diwaspadai pada pasien dengan gagal jantung kanan atau pasien dengan infark
inferior karena hipotensi dapat terjadi. Jika memungkinkan pemasangan EKG 12 lead diperlukan
untuk menyingkirkan kemungkinan infark inferior. Seiring berjalannya waktu, penggunaan morfin
saat ini memerlukan beberapa pertimbangan. Diantaranya muncul rekomendasi untuk menghindari
penggunaan morfin dikombinasikan dengan obat P2Y12 inhibitor (ticagrelor, klopidogrel). Hal ini
disebabkan morfin dapat memperlambat efek absorbsi antiplatelet sehingga sering berkaitan
dengan efek jangka panjang seperti recurrent infark miokard, gagal jantung kongesti, dan syok
kardiogenik.6
ADP/P2Y12 Inhibitor dan Antiplatelet lain

Pemberian ADP inhibitor dikombinasikan dengan aspirin direkomendasikan pada pasien sindrom
coroner akut. Beberapa ADP inhibitor yang digunakan saat ini1 :

- Ticagrelor (180 mg loading dose PO, 90 mg 2 kali sehari)


- Klopidogrel (300-600 mg loading dose PO, 75 mg 1 kali sehari)

Infark Miokard Akut dengan ST Elevasi (STEMI)

Pasien dengan STEMI biasanya terjadi penyumbatan total pada arteri coroner. Pengobatan pada
STEMI adalah dengan terapi reperfusi segera yang dapat dilakukan dengan cara fibrinolitik atau
PCI.

Terapi Fibrinolisis Terapi Invasif (PCI)


 Onset < 3 jam  Onset < 12 jam
 Terapi invasif bukan pilihan atau akan  Tersedia ahli PCI :
menimbulkan penundaan : - Door to balloon time < 90 menit
- Door to balloon time > 90 menit - Door to balloon time dikurangi door to
- Door to balloon time dikurangi door to needle time kurang dari 1 jam
needle time lebih dari 1 jam  Terdapat kontraindikasi fibrinolysis
 Tidak terdapat kontraindikasi fibrinolisis  STEMI risiko tinggi
 Diagnosis STEMI diragukan

Terapi Fibrinolisis

Pengobatan fibrinolysis lebih awal (<30 menit) dapat membatasi luasnya infark, memperbaiki
fungsi ventrikel dan mengurangi angka kematian. Jenis obat fibrinolysis dibagi menjadi yang
spesifik (alteplase, reteplase, tenecteplase) dan non fibrin spesifik (streptokinase). Di Indonesia
yang umum tersedia adalah streptokinase dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta unit dilarutkan
dalam 100 cc NaCl 0,9% atau Dekstrose 5% diberikan secara infus selama 30-60 menit.
Fibrinolisis bermanfaat untuk diberikan pada STEMI atau LBBB baru, infark miokard luas, dan
pasien usia muda sehingga risiko pendarahan intraserebral lebih rendah. Fibrinolisis berbahaya
jika diberikan pada depresi segmen ST, onset > 24 jam, dan tekanan darah tinggi (TD sistolik >
175 mmHg).

Penilaian keberhasilan fibrinolysis dilakukan 60-90 menit dimulai dari saat obat fibrinolysis
dimasukkan. Tanda keberhasilan fibrinolisis adalah resolusi komplit dari dari nyeri dada, ST
elevasi menurun >50% dan aritmia reperfusi. Bila fibrinolisis tidak berhasil maka harus secepatnya
dilakukan rescue PCI.1

Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif


 Pendarahan intracranial  Tekanan darah tidak terkontrol
 Stroke iskemik < 3 bulan dan > 3 jam  TD sistolik > 180 mmHg dan TD
 Tumor intracranial diastolic > 110 mmHg
 Ada kelainan struktur vascular serebral  Riwayat stroke iskemik > 3 bulan,
 Kecurigaan diseksi aorta demensia
 Pendarahan internal aktif atau  Trauma atau RJP lama (>10 menit) dan
gangguan sistem pembekuan darah operasi besar < 3 bulan
 Cedera kepala atau wajah dalam 3  Pendarahan internal dalam 2-4 minggu
bulan terakhir  Hamil
 Ulkus peptikum
 Sedang menggunakan antikoagulan
dengan INR tinggi

Terapi Intervensi Koroner Perkutan / PCI

Dilakukan pada STEMI bila dapat dilakukan kontak door-balloon < 90 menit pada pusat kesehatan
dengan fasilitas PCI terlatih. Pedoman 2015 merekomendasikan PCI pada onset keluhan kurang
dari 12 jam dan kontak pertama dengan tenaga kesehatan < 120 menit.

Rekomendasi pedoman 2015 berkaitan dengan tindakan PCI1 :


- Pada pasien dewasa dengan STEMI di unit gawat darurat RS tanpa fasilitas PCI,
disarankan agar pasien segera dipindahkan tanpa fibrinolisis sebelumnya ke RS dengan
fasilitas PCI. Bukan diberikan fibrinolisis di RS awal kemudian dipindahkan untuk
dilakukan PCI
- Kombinasi tindakan fibrinolisis diikuti PCI tidak dianjurkan
- Jika waktu onset gejala yang timbul diketahui, interval kontak pertama dengan petugas
medis dan reperfusi harus tidak lebih dari 120 menit
- Pada STEMI dengan onset 2 jam, fibrinolisis segera lebih direkomendasikan
dibandingkan dengan PCI bila diperkirakan keterlambatan untuk PCI mencapai lebih dari
60 menit.
- Tindakan invasive segera dilakukan pada pasien NSTEMI dengan risiko tinggi dan sangat
tinggi

Angina Pektoris Tidak Stabil / Infark Miokard NSTEMI

Diagnosis angina pectoris tidak stabil atau NSTEMI harus dilakukan secara terintegrasi dengan
stratifikasi risiko. Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk mengidentifikasi pasien yang pada
pemeriksaan awal tanpa risiko tinggi tetapi didapatkan sindrom coroner akut yang signifikan pada
proses diagnostik. Stratifikasi risiko dapat menjadi acuan untuk melakukan terapi invasive dini
pada NSTEMI.1

Kriteria risiko sangat tinggi  Tindakan  Angina refrakter


invasif segera ( dalam 2 jam)  Tanda gagal jantung atau regurgitasi
mitral
 Hemodinamik tidak stabil
 Angina atau iskemik rekuren waktu
istirahat
 VT menetap atau VF
Kriteria risiko tinggi  Tindakan invasif dini  Bukan salah satu diatas, namun skor
(dalam 24 jam) GRACE > 140
 Perubahan temporal pada level
troponin
 Depresi segmen ST baru
Kriteria risiko sedang  Tindakan invasif  Bukan salah satu diatas, dengan
tertunda (dalam 25-72 jam) diabetes mellitus
 Insufisiensi ginjal (GFR<60)
 Penurunan fungsi sistolik (EF<0,40)
 Angina dini pasca infark
 Riwayat PCI 6 bulan terakhir
 Riwayat CABG
 Skor GRACE 109-140 , TIMI skor 2
Selain dengan parameter klinis seperti hemodinamik dan aritmia, stratifikasi risiko dapat dilakukan
dengan beberapa sistem skoring seperti TIMI dan GRACE.
Gambar 5,6 : Skoring GRACE dan Klasifikasi GRACE

Gambar 7. Skoring TIMI

Pada sindrom koroner risiko rendah atau sedang (EKG normal atau perubahan segmen ST-T non
diagnostic) maka perlu dilakukan 1:

- Lakukan pemeriksaan enzim jantung serial


- Ulang EKG dan monitoring EKG
- Pertimbangkan pemeriksaan non invasif
- Bila kemudian tidak ditemukan bukti iskemia atau infark dengan tes yang dilakukan
maka pasien dapat dipulangkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih A, Sugiman T. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS Indonesia.
Edisi 2017. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Jakarta :
PERKI, 2016.
2. [Online]. 2011 Jan 10 [cited 2018 April 22]. Available from :
http://medicinembbs.blogspot.co.id/2011/01/cadcoronary-artery-disease.html
3. Kaunang D, et al. Elektrokardiografi dalam Kedaruratan. Edisi Kedua. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Jakarta : PERKI, 2017.
4. Amsterdam E, et al. 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of Patients with Non-
ST-Elevation Acute Coronary Syndromes. Circulation. 2014;130:e344-e426
5. Berger JS, et al. Initial aspirin dose and outcome among ST-elevation myocard infarction
patients treated with fibrinolytic therapy. Circulation. 2008 Jan 15;117(2):192-9. Epub
2007 Dec 17.
6. Fitzgerald LJ et al. The effects of oral isosorbide 5-mononitrate on morality following acute
myocardial infarction: a multicenter study. Eur Heart J 1990;11:120-126. PubMed
7. Farag M, Spinthankis N, et al. Should STEMI Patients Receive Opiate Analgesia? Curr
Vasc Pharmacol 2018; Pub Med.

Anda mungkin juga menyukai