Laki-laki 57 tahun
dengan nyeri dada
2018
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama : Tn. K
Usia : 57 tahun
Alamat :-
Pekerjaan : Pensiunan
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku : Sunda
Anamnesis
Autoanamnesis
Pasien datang karena nyeri dada kiri sejak 6 jam SMRS. Nyeri dada dirasakan
seperti berat dan sulit bernapas. Pasien tidak dapat menunjuk dengan jari tangan lokasi
nyeri dada. Nyeri dada tidak menjalar. Terkadang disertai adanya sesak. Sesak tidak
dipengaruhi oleh posisi maupun aktivitas. Batuk disangkal.
Sejak 2 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri di daerah ulu hati. Nyeri ulu hati
dirasakan hilang timbul dan tidak menjalar. Nyeri ulu hati tidak dipengaruhi makan. Pasien
mengalami mual setiap diberi makan. Pasien juga mengalami muntah 2 hari SMRS,
muntah sekitar 3 kali berisi makanan.
Riwayat Pengobatan :-
Riwayat Keluarga :-
Pemeriksaan Fisik
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 36,60C
Kepala
o Paru
o Jantung
Pasien laki-laki, usia 57 tahun datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 6 jam SMRS.
Nyeri dada dirasakan berat dan pasien tidak dapat menunjuk dengan jari tangan lokasi nyeri dada.
Nyeri dada terkadang disertai sesak.
Nyeri ulu hati sejak 2 hari SMRS. Nyeri ulu hati tidak dipengaruhi makan. Mual setiap
diberi makan. Pasien sempat muntah 3 kali berisi makanan.
Tanda-tanda vital
Diagnosis
Diagnosis Kerja :
Diagnosis Banding :
Diagnosis Akhir
Diagnosis Kerja :
IVFD RL 20 TPM
Extra ondansetron 4 mg IV
Extra ketorolac 30 mg IV
Clopidogrel 4 x 75 mg
Aspilet 4 x 80 mg
ISDN 5 mg sublingual
Saran Pemeriksaan :-
Prognosis
Pendahuluan
Penyakit jantung koroner merupakan suatu kegawatan kardiovaskular yang memiliki potensi
komplikasi yang berakibat fatal. Infark miokard merupakan penyebab utama kejadian henti
jantung mendadak yang disebabkan aritmia maligna yang terjadi saat serangan1.
Sindrom coroner merupakan sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang merujuk ke
diagnosis iskemia miokard akut. Klasifikasi penyakit jantung coroner terdiri dari1 :
- Angina pectoris tidak stabil (APTS)
- Infark miokard akut non elevasi segmen ST (NSTEMI)
- Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)
Epidemiologi
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa secara nasional
terdapat 0,5% prevalensi penyakit jantung coroner yang didiagnosis dokter. Prevalensi tertinggi
pada provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, DKI Jakarta dan Aceh. Di provinsi DKI Jakarta
pada tahun 2008 – 2009 berdasarkan Jakarta Acute Coronary Syndrome Registry terdapat 2103
pasien sindrom coroner akut dan 654 diantaranya adalah STEMI.
Patofisiologi
Penyebab terjadinya penyakit coroner secara teoritis akibat thrombosis coroner dan robekan plak.
Thrombosis coroner umumnya dihubungkan dengan adanya robekan plak. Perubahan secara tiba-
tiba angina stabil menjadi tidak stabil atau infark miokard berhubungan dengan robekan plak
dengan shear stressnya tnggi dan dapat terjadi pada plak aterosklerosis yang besar maupun kecil.
Plak yang mengalami robekan akan merangsang agregasi trombosit yang selanjutnya akan
membentuk thrombus. Beberapa hal yang mendasari patofisiologi penyakit coroner adalah sebagai
berikut2 :
1. Plak tidak stabil
Penyebab utara penyakit coroner adalah rupturnya plak yang kaya lipid. Adanya komponen
sel inflamasi yang berada di subendotel merupakan predisposisi terjadinya ruptur plak.
2. Ruptur Plak
Terjadinya ruptur plak akan memicu agregasi trombosit. Trombosit akan menutupi atau
menempel pada plak yang ruptur. Platelet kemudian akan diselimuti oleh fibrinogen dan
merangsang pembentukan thrombin.
3. Angina tidak stabil
Sumbatan thrombus yang parsial akan menimbulkan gejala iskemik progresif (lebih lama
atau terjadi pada aktivitas yang lebih ringan), gejala iskemi yang baru pertama terjadi, atau
terjadi pada saat istirahat. Pada fase ini thrombus kaya akan platelet sehingga terapi dengan
aspirin paling efektif.
4. Trombus oklusif
Jika thrombus menyumbat total pembuluh darah coroner, maka akan menyebabkan
STEMI. Bekuan ini kaya akan fibrin sehingga pemberian fibrinolysis secara cepat dan tepat
akan membatasi luasnya infark.
Tatalaksana
Secara umum tatalaksana sindrom coroner dengan ST elevasi dan tanpa ST elevasi hampir sama.
Perbedaan terdapat pada strategi reperfusi dimana pada STEMI ditekankan untuk segera
melakukan reperfusi baik secara medikamentosa (fibrinolysis) atau intervensi (PCI).
Oksigen
Berdasarkan pedoman tahun 2010, oksigen diberikan pada semua pasien dengan sesak napas,
tanda gagal jantung, syok atau saturasi oksigen <94%.1 Studi menyatakan bahwa terapi oksigen
pada pasien dengan saturasi normal dapat meningkatkan risiko injuri miokard dan luasnya infark
setelah 6 bulan. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pemberian oksigen tidak mempengaruhi
angka kematian, hilangnya nyeri dada dan berkurangnya luas infark. Indikasi terapi oksigen adalah
sebagai berikut :
- Pasien dengan nyeri dada menetap, berulang atau hemodinamik tidak stabil
- Pasien dengan tanda bendungan paru
- Pasien dengan saturasi oksigen < 90%.
Penelitian pada tahun 2015 menunjukkan tingginya konsentrasi oksigen arterial (PaO2>300
mmHg) dapat membahayakan berbagai organ dan memperburuk prognosi jangka panjang.
Berdasarkan 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of Patients With Non-ST-Elevation
Acute Coronary Syndromes menyebutkan suplemen oksigen diberikan hanya pada kondisi saturasi
oksigen < 90%, distres pernapasan dan bukti hipoksemia lainnya.4
Aspirin dapat menurunkan reoklusi coroner dan berulangnya kejadian iskemik setelah terapi
fibrinolitik. Dosis pemeliharaan adalah 75 – 100 mg/hari. Obat NSAID baik selektif maupun non
selektif tidak boleh diberikan pada penyakit jantung coroner karena dapat meningkatkan risiko
kematian, reinfark, gagal jantung, dan ruptur miokard. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
dosis inisial aspirin 162 mg lebih efektif dan aman dibandingkan dosis 325 mg yang lebih berisiko
terjadinya pendarahan sedang maupun berat.5
Nitrogliserin
Tablet nitrogliserin sublingual dapat diberikan hingga 3 kali dengan interval 3-5 menit jika tidak
terdapat kontraindikasi. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hemodinamik tidak
stabil seperti TD sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg lebih rendah dari pemeriksaan TD awal,
bradikardi <50 kali/menit atau takikardi > 100 kali/menit, dan adanya infark ventrikel kanan.6
Gambar 4. Jenis obat dan dosis nitrat untuk penyakit jantung koroner
Analgetik (Morfin)
Morfin diberikan pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian nitrogliserin. Morfin dapat
menyebabkan venodilatasi yang akan mengurangi beban ventrikel dan mengurangi beban ventrikel
sehingga mengurangi kebutuhan oksigen. Morfin berikatan dengan reseptor opioid di otak
sehingga dapat mengurangi persepsi nyeri serta menurunkan respon emosional terhadap nyeri.
Dosis yang digunakan biasanya 2-4 mg IV setiap 5-15 menit. Pasien dengan pengobatan morfin
memerlukan pemantauan ketat. Seperti diketahui sebelumnya bahwa morfin memiliki efek sedasi
yang dapat menurunkan respiratory drive sehingga status respirasi harus dimonitor secara ketat
(saturasi oksigen). Efek samping yang dapat timbul seperti mual, mulut kering, mengantuk dan
nyeri kepala. Perlu diwaspadai pada pasien dengan gagal jantung kanan atau pasien dengan infark
inferior karena hipotensi dapat terjadi. Jika memungkinkan pemasangan EKG 12 lead diperlukan
untuk menyingkirkan kemungkinan infark inferior. Seiring berjalannya waktu, penggunaan morfin
saat ini memerlukan beberapa pertimbangan. Diantaranya muncul rekomendasi untuk menghindari
penggunaan morfin dikombinasikan dengan obat P2Y12 inhibitor (ticagrelor, klopidogrel). Hal ini
disebabkan morfin dapat memperlambat efek absorbsi antiplatelet sehingga sering berkaitan
dengan efek jangka panjang seperti recurrent infark miokard, gagal jantung kongesti, dan syok
kardiogenik.6
ADP/P2Y12 Inhibitor dan Antiplatelet lain
Pemberian ADP inhibitor dikombinasikan dengan aspirin direkomendasikan pada pasien sindrom
coroner akut. Beberapa ADP inhibitor yang digunakan saat ini1 :
Pasien dengan STEMI biasanya terjadi penyumbatan total pada arteri coroner. Pengobatan pada
STEMI adalah dengan terapi reperfusi segera yang dapat dilakukan dengan cara fibrinolitik atau
PCI.
Terapi Fibrinolisis
Pengobatan fibrinolysis lebih awal (<30 menit) dapat membatasi luasnya infark, memperbaiki
fungsi ventrikel dan mengurangi angka kematian. Jenis obat fibrinolysis dibagi menjadi yang
spesifik (alteplase, reteplase, tenecteplase) dan non fibrin spesifik (streptokinase). Di Indonesia
yang umum tersedia adalah streptokinase dengan dosis pemberian sebesar 1,5 juta unit dilarutkan
dalam 100 cc NaCl 0,9% atau Dekstrose 5% diberikan secara infus selama 30-60 menit.
Fibrinolisis bermanfaat untuk diberikan pada STEMI atau LBBB baru, infark miokard luas, dan
pasien usia muda sehingga risiko pendarahan intraserebral lebih rendah. Fibrinolisis berbahaya
jika diberikan pada depresi segmen ST, onset > 24 jam, dan tekanan darah tinggi (TD sistolik >
175 mmHg).
Penilaian keberhasilan fibrinolysis dilakukan 60-90 menit dimulai dari saat obat fibrinolysis
dimasukkan. Tanda keberhasilan fibrinolisis adalah resolusi komplit dari dari nyeri dada, ST
elevasi menurun >50% dan aritmia reperfusi. Bila fibrinolisis tidak berhasil maka harus secepatnya
dilakukan rescue PCI.1
Dilakukan pada STEMI bila dapat dilakukan kontak door-balloon < 90 menit pada pusat kesehatan
dengan fasilitas PCI terlatih. Pedoman 2015 merekomendasikan PCI pada onset keluhan kurang
dari 12 jam dan kontak pertama dengan tenaga kesehatan < 120 menit.
Diagnosis angina pectoris tidak stabil atau NSTEMI harus dilakukan secara terintegrasi dengan
stratifikasi risiko. Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk mengidentifikasi pasien yang pada
pemeriksaan awal tanpa risiko tinggi tetapi didapatkan sindrom coroner akut yang signifikan pada
proses diagnostik. Stratifikasi risiko dapat menjadi acuan untuk melakukan terapi invasive dini
pada NSTEMI.1
Pada sindrom koroner risiko rendah atau sedang (EKG normal atau perubahan segmen ST-T non
diagnostic) maka perlu dilakukan 1:
1. Kosasih A, Sugiman T. Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS Indonesia.
Edisi 2017. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Jakarta :
PERKI, 2016.
2. [Online]. 2011 Jan 10 [cited 2018 April 22]. Available from :
http://medicinembbs.blogspot.co.id/2011/01/cadcoronary-artery-disease.html
3. Kaunang D, et al. Elektrokardiografi dalam Kedaruratan. Edisi Kedua. Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Jakarta : PERKI, 2017.
4. Amsterdam E, et al. 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of Patients with Non-
ST-Elevation Acute Coronary Syndromes. Circulation. 2014;130:e344-e426
5. Berger JS, et al. Initial aspirin dose and outcome among ST-elevation myocard infarction
patients treated with fibrinolytic therapy. Circulation. 2008 Jan 15;117(2):192-9. Epub
2007 Dec 17.
6. Fitzgerald LJ et al. The effects of oral isosorbide 5-mononitrate on morality following acute
myocardial infarction: a multicenter study. Eur Heart J 1990;11:120-126. PubMed
7. Farag M, Spinthankis N, et al. Should STEMI Patients Receive Opiate Analgesia? Curr
Vasc Pharmacol 2018; Pub Med.