Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
 
I.I Latar Belakang
Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010)
Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus
yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun
sektorik di saluran pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek
fungsi system imun yang jelas (syamsyuhidayat, 2005).
Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang.
Namun, dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
di duga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian
(Santacroce,2009).
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat
dalam bentuk asuhan keperawatan. Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan
resiko terjadinya perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan
inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons inflamasi
permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan
material abses, maka akan memberikan manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses dan
kemudian juga akan memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi
apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis,
2005).
Tujuh persen penduduk di Amerika menjalani apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dengan insidens 1,1/1000 penduduk pertahun, sedang di negara-
negara barat sekitar 16%. Di Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi
cenderung meningkat oleh karena pola dietnya yang mengikuti orang barat
(www.ilmubedah.info.com, 2011).

 
1
I.2   Rumusan Masalah
1.      Apa defenisi dari apendisitis ?
2.      Apa etiologi dari apendisitis ?
3.      Bagaimana patofisiologi apendisitis ?
4.      Apa manifestasi klinis apendisitis ?
5.      Bagaimana Pemeriksaan Penunjang ?
6.      Apa saja penatalaksanaan medis dari apendisitis ?
7.      Jelaskan Komplikasi apendisitis !
8.      Bagaimana  Pencegahan apendisitis ?
9.      Jelaskan  Prognosis apendisitis !

1.3 Tujuan
1. mengetahui definisi dari apendisitis
2. mengerahui etiologi apendistis
3. mengetahui patofisiologis apendistis
4. mengatahui manifestasi klinis apendistis
5. mengatahui pemeriksaan penunjang
6. mengatahui penatalaksanaan medis dari apendistis
7. mengerahui komplikasi apendistis
8. mengetahui pencegahan apendistis
9. mengetahui prognis apendistis

2
BAB II
PEMBAHASAN
 
A. APENDISITIS

1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2000).
Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum
inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling
umum untuk bedah abdomen darurat.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis  adalah kondisi dimana
terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering
terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain  :
1.    Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental setempat
sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.
2.    Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa  di tutupi
pendinginan oleh omentum.
3.    Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan  diagnosa
merupakan faktor yang berperan  dalam terjadinya perforasi apendiks.
4.    Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendiks
tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya
untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
5.    Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

 
3
2. Etiologi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya
apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya
penyakit ini diantaranya sumbatan lumen  apendiks, hiperplasia  jaringan  limfe, fekalit, tumor
apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan   rendah   serat   dan   pengaruh   konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga
merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan   tekanan
intrasekal yang berakibat  timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut
(Sjamsuhidayat, 2004).
 
3  Patofisiologi
Apendisitis  biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen  apendiks  oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit,  benda asing,  striktur  karena  fibrosis  akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma. Obstruksi tersebut   menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks  mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan  intralumen.  Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada   saat inilah terjadi
apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah,
dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat  sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan
lambat,  omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu
massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena  omentum  lebih pendek dan apendiks
lebih panjang, maka dinding  apendiks  lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
 
4
4.  Manifestasi Klinik
Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di
daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri
akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga
terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap namun
dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan
pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal perkusi ringan
pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis akut sering tampil
dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan
tanda setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada  apendiks  yang terinflamasi, nyeri tekan dapat
dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan
spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi
atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di
belakang sekum, nyeri tekan terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda
ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung
apendiks  berada dekat  rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks
dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan
dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi  kuadran  bawah kiri yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks
telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi
pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala  apendisitis  dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit
lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens
perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari
bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi klinis
apendisitis adalah  sebagai berikut:
1.    Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan
seringkali muntah
2.    Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari
bagian bawah otot rektus kanan

5
3.    Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri tekan, spasme
otot, dan konstipasi serta diare kambuhan
4.    Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah , yang
menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)
5.    Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi
abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
 
5  Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga
appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di
atas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah
serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
2.      Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini
sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau
batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
3.      Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis
akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.
4.      Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
5.      Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.
pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak 

6
6.  Penatalaksanaan Medis
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:
1.      Tindakan medis
a.    Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak terdiagnosa,
dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat
tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut.  Bila diperlukan maka dapat diberikan cairan
aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti
barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan
rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen
dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda
lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b.    Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang menandakan
bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah
lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap terpasang.
c.    Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang berat
dan demam yang tinggi .
2.      Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol
ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya
diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai 
praksi mortalitas 1 % secara primer  angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya
disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.
3.      Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam,
syok hipertermia, atau gangguan  pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah sadar,
sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan
sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai  15 ml/jam selama 4-5 jam
lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.  Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat
tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk  diluar kamar. Hari
ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang. 
7
7. Pathway

8
8.  Komplikasi
Komplikasi   utama  apendisitis  adalah  perforasi   apendiks  yang   dapat
berkembang   menjadi  peritonitis  atau  abses.  Insidens  perforasi  adalah   10% sampai 32%.
Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah
awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan
toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).
 
9.  Pencegahan
1.      Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan dalam
saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.
2.      Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan
membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan. 
10. Prognosis Appendisitis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit apendisitis sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak
diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2000).

9
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Focus
a. Wawancara : Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai :
 Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut
kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian
setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.Sifat
keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang
lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
 Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan klien
sekarang.
 Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.
 Kebiasaan eliminasi.
b. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
 Sirkulasi : Takikardia.
 Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
 Aktivitas/istirahat : Malaise.
 Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
 Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising
usus.
 Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat
berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk,
atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki
kanan/posisi duduk tegak.
 Demam lebih dari 38oC.
 Data psikologis klien nampak gelisah.
 Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
 Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada
daerah prolitotomi.
 Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
c. Pemeriksaan Penunjang
 Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin
terlihat “ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan cairan udara di sekum atau
ileum).
 Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat.
 Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.
 Peningkatan leukosit, neutrofilia, tanpa eosinofil.
 Pada enema barium apendiks tidak terisi.
 Ultrasound: fekalit nonkalsifikasi, apendiks nonperforasi, abses apendiks.

10
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data-data hasil pengkajian, diagnose keperawatan yang biasanya muncul
pada klien dengan appendicitis adalah :
1) Nyeri berhubungan dengan terputusnya continuitas jaringan/insisi bedah ; Trauma
jaringan ; Dstensi jaringan usus oleh inflamasi
2) Aktual / Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah ; Kehilangan
volume cairan secara aktif ; Kegagalan mekanisme pengaturan ; Pembatasan pasca
operasi (puasa)
3) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan
Ingesti ; Digesti ; Absorbsi
4) Cemas berhubungan dengan Perubahan status kesehatan ; Kemungkinan dilakukannya
operasi
5) Resiko infeksi berhubungan dengan Tidak adekuatnya pertahanan tubuh ; Prosedur
invasive (insisi bedah)
6) Kurang pengetahuan berhubungan dengan Kurang terpaparnya informasi ; Keterbatasan
kognitif

3. Intervensi
1) Mengurangi nyeri
a. Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan.
b. Observasi ketidaknyamanan non verbal
c. Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk memenuhi
kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan
yang tidak terburu-buru.
d. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan.
e. Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.
f. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.
g. Mempertahankan keseimbangan cairan
h. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
i. Monitor vital sign dan status hidrasi.
j. Monitor status nutrisi
k. Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu pembekuan.
l. Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi.
m. Atur kemungkinan transfusi darah.
2) Memenuhi kebutuhan nutrisi
a. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
b. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
c. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
d. Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.
e. Pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.
3) Mengurangi kecemasan
a. Memberikan informasi kepada klien mengenai prosedur dan tujuan dilakukan tindakan
pembedahan

11
b. Brbincang dengan klien mengenai apa yang akan dikerjakan
c. Menggunakan pendekatan yang tenang untuk meyakinkan klien
d. Memotivasi keluarga untuk selalu menemani klien
4) Menghindari infeksi
a. Melakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptic
b. Mengobservasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda infeksi
c. Memberikan antibiotic sesuai indikasi
d. Memberikan pendidikan kesehatan
e. Memberikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya
f. Memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang tindakan dan perkembangan
kondisi klien

12
BAB III
PENUTUP
 
1  Kesimpulan
 

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab


abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2000).
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain  :
1.    Apendisitis akut
2.    Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
3.    Apendisitis perforata
4.    Apendisitis rekuren
5.    Apendisitis kronis
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya
apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya
penyakit ini diantaranya sumbatan lumen  apendiks, hiperplasia  jaringan  limfe, fekalit, tumor
apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan   rendah   serat   dan   pengaruh   konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga
merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Apendisitis  biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen  apendiks  oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit,  benda asing,  striktur  karena  fibrosis  akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma.
 
2  Saran
Jagalah kesehatan dengan minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang
air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

13
DAFTAR PUSTAKA
 
Baughman, Diane C  dan  Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku
untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Johnson, Marion,dkk. Nursing Outcome Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby
Yearbook,Inc.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
_____________2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
Mc. Closkey, Joanne. 1996. Nursing Intervention Classsification (NIC). St. Louis, Missouri:
Mosby Yearbook,Inc.
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.

14

Anda mungkin juga menyukai