PERITONITIS GENERALISATA
Et causa APENDIKS PERFORASI
Disusun Oleh :
IRMA PRYUNI AINANDA
I11109008
Lembar Persetujuan
Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul :
PERITONITIS GENERALISATA
e.c APENDIKS PERFORASI
Telah disetujui,
Singkawang, 05 April 2015
Pembimbing Laporan Kasus,
Disusun oleh :
BAB I
LATAR BELAKANG
Apendisitis akut adalah kondisi bedah akut yang paling umum dari
abdomen. Diagnosis ini dibuat berdasarkan keseluruhan riwayat klinis,
pemeriksaan dan didukung oleh pemeriksaan penunjang. Diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat dan cepat dapat mengurangi risiko perforasi dan
mencegah komplikasi lainnya.
Tingkat kematian akibat apendisitis non-perforasi kurang dari 1%.
Perforasi apendiks dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi yaitu
sekitar 5% dan bisa lebih ekstrim bila dihubungkan dengan tingkat usia dengan
keterlambatan dalam deteksi dini atau diagnosis pada kelompok usia muda dan
beberapa komorbiditas pada masa lansia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Apendiks vermivormis adalah struktur berbentuk cacing yang muncul
dari posteromedial dari dinding sekum, kira-kira 2 cm di bawah ileum. Posisi
ini mungkin menempati dari beberapa posisi. Posisi apendiks yang lain sepeti
retrosekal, retrokolik (dibelakang sekum atau kolon ascenden), pelvical atau
descenden (pinggir panggul atau tergantung didekat ovarium atau rahim. Itu
semua adalah posisi yang paling sering dijumpai di praktek. Posisi lain yang
kadang-kadang terlihat terutama ketika ada mesentrium apendiks yang
panjang memungkinkan mobilitas yang lebih besar, termasuk subcaecal (di
bawah sekum), preilial (ke anterior terminal ileum), postileal (belakang
terminal ileum).1
Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus
vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena
itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.2
Vaskularisasi Appendiks berasal dari percabangan A. ileocolica.
Gambaran histologis Appendiks menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid
pada submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih
nodul limfoid. Lumen Appendiks biasanya mengalami obliterasi pada orang
dewasa. 2
Gambar 3. Letak
appendiks pada
rongga abdomen
B. Definisi
Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis.
Appendiks. Sjamsuhidajat (2002) membagi apendisitis menjadi apendisitis
akut, apendisitis rekuren, dan apendisitis kronik. Peradangan akut appendiks
menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan
tindakan bedah.2
C. Epidemiologi
Apendisitis terjadi pada 8,6% laki-laki dan 6,7% wanita, dengan
insidensi tertinggi pada dekade kedua atau ketiga. Insidens apendisitis dapat
terjadi pada semua usia, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Setelah diteliti ternyata hiperplasia dari limfoid menjadi penyebab
meningkatnya insidens apendisitis pada usia muda. Anak yang lebih muda
memiliki resiko tinggi sebesar 50 85% mengalami perforasi. Apendisitis
pada pediatrik rata-rata terjadi saat usia 6 10 tahun. Appendicitis akut
merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anakanak dan remaja.2,3,4
D. Etiologi & Patofisiologi
Etiologi apendisitis akut adalah infeksi bakteri (sekitar 60% cairan
aspirasi yang didapatkan dari Apendisitis didapatkan bakteri jenis anaerob)
akibat obstruksi lumen.5
Gambar 6.
Apendiks yang
mengalami
inflamasi
Obstruksi lumen yang tertutup
disebabkan
oleh
hambatan
pada
bagian
proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang
distensi. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,
mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di
bawah epigastrium. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal
hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan
intalumen sekitar 60 cmH20.6
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding apendiks). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas
dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Gangren
dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam.7
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Infiltrat apendikularis merupakan tahap
patologi apendisitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha
pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks
dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang
dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat.2,7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah.7
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika
urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan
ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka
akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum
abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar istirahat (bedrest).7
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang
diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi
dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.2
E. Gejala Klinis2,6
apendisitis
akut,
kemudian
menjadi
c. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: 5
Rovsings sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan
iritasi peritoneum. Sering positif pada Apendisitis namun tidak
spesifik.
Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang
lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian
tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri
pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan
akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan
Appendiks. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas
abdomen.
Gambar 9.
Psoas sign
Obturator
sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak
kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian
pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan
articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri
pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendiks, abscess
lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Apendisitis letak retrocaecal, atau
adanya hernia obturatoria.
Gambar 10.
Blumbergs
Obturator sign
sign (nyeri lepas
kontralateral)
Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini
dikatakan positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di
RLQ.
Wahls sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat
dilakukan perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di
lateral
Dunphys sign (nyeri ketika batuk)
G. Pemeriksaan Penunjang2
a. Pemeriksaan Laboratorium
-
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
b. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
c. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses.
Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding
seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya. Gambaran USG yang
merupakan kriteria diagnosis appendicitis akut adalah appendiks dengan
diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith,
adanya cairan atau massa periappendiks.
d. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi
dari appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat
akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk menegakkan
diagnosis appendisitis khronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan
dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan
usus oleh fekalit.
e. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga
dapat menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
f. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara
langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila
pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks
BAB III
PENYAJIAN KASUS
I.
ANAMNESA
A. Identitas
1. Nama lengkap
: Tn. J
2. Jenis Kelamin
: Laki-laki
3. Umur
: 52 tahun
4. Pekerjaan
: Wiraswata
5. Alamat
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah
: 120/90 mmHg
Nadi
: 100 x/ menit
Nafas
: 22 x/ menit
Suhu
: 38,90C
Kulit
Kepala
Mata
Mulut
Leher
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Paru
-
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
suara
nafas
pokok
vesikuler
(+/+),
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Ekstremitas
Edema (-), sianosis (-), jari tabuh (-), capillary refill < 2 detik pada anggota
gerak atas dan bawah.
Status Lokalis (R. iliaka dextra)
-
Inspeksi
Palpasi
Pemeriksaan RT
-
TMSA normal
Mukosa licin
Ampula longgar
Massa (-)
III.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Eritrosit
: 5.32 juta/cmm
Leukosit
: 12.300/cmm
: 213.000/cmm
Hb
: 15,3 g/dL
Ht
: 40,5 %
Golongan darah
:A
Bleeding time
: 320
Clotting time
: 600
HIV
: non reaktif
HbsAg
: non reaktif
IV.
DIAGNOSIS
Peritonitis generalisata ec Apendiks perforasi
V.
VI.
TERAPI/TATALAKSANA
-
: dubia ad bonam
Ad Functionam
: dubia ad bonam
Ad Sanactionam
: dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, datang ke IGD dengan keluhan utama adanya nyeri seluruh
lapang perut terutama perut kanan bawah. Nyeri perut kanan bawah sejak 2
minggu yang lalu. Nyeri dirasakan hilang timbul seperti terkena benda tumpul,
nyeri terasa semakin kuat saat pasien sedang berolahraga (lari pagi) ataupun
akitifitas lain seperti mengangkat barang yang berat. Selama beberapa hari
tersebut, pasien merasa mual dan nafsu makan berkurang, muntah disangkal. 2
hari yang lalu pasien mengaku nyeri semakin terasa diseluruh bagian perut, nyeri
yang dirasakan masih sama dengan sebelumnya yaitu hilang timbul. 1 hari SMRS
pasien mengeluh tidak bisa buang angin dan BAB. Muntah (+) 1 kali, cairan
berwarna bening dan berisi makanan. BAK tidak ada keluhan. Demam (+), pusing
(-).
Gejala utama Apendisitis adalah nyeri perut. Pada apendisitis akut gejala
khas yang sering timbul adalah adanya radang mendadak pada appendiks yang
memberikan gejala lokal. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di periumbilical,
kemudian terlokalisir di RLQ, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi
nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Variasi dari lokasi
anatomi Appendiks berpengaruh terhadap lokasi nyeri.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendiks,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Apendisitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendiks. Penyebab
lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen,
diet rendah serat, dan parasit.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri
visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah
atau di bawah epigastrium. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Bila kemudian arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut
dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendiks perforasi. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36
jam.
Pada pasien ini gejala apendisitis yang muncul sejak 2 minggu yang lalu
kemudian berkembang menjadi apendiks perforasi. Kecepatan rentetan peristiwa
tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis
pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga
organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan
melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan
sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis.
Berdasarkan pemeriksaan fisik abdomen ditemukan adanya nyeri tekan
kanan bawah dan seluruh lapang perut yang menunjukkan adanya inflamasi local
apendiks yang diikuti gejala peritonitis oleh apendiks perforasi yang terjadi.
Defans muscular umumnya juga dapat terjadi akibat adanya rangsangan
peritoneum parietal. Pada auskultasi ditemukan adanya bising usus menurun yang
dapat terjadi karena ileus paralitik yang muncul pada peritonitis akibat apendiks
yang perforasi tersebut.
Terdapat beberapa maneuver diagnostic yang biasa digunakan pada
pemeriksaan apendisitis. Pada pasien ini didapatkan tanda positif pada titik Mc.
Burney, Rovsing sign, Blumberg sign, psoas sign dan obturator sign. Maneuver ini
umumnya bergantung pada letak apendiks pasien.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis yang
menggambarkan adanya infeksi.
Keterlambatan diagnosis dan penanganan, merupakan faktor utama yang
berperan dalam terjadinya perforasi apendiks. Insidens perforasi pada penderita di
atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya
insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan
berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen dan
arteriosklerosis.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut dan perut
menjadi tenggang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di
seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan,
peristaltik usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik.
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat
secara mudah serta pembersihan kantong nanah.
Selain dilakukan laparotomi dan apendiktomi, pasien ini juga diberikan
analgetik ketorolac 30mg/8jam sebagai obat simptomatik untuk menghilangkan
nyeri pasien. Ceftriaxone 1g/12 jam diberikan sebagai antibiotic spectrum luas
yang mana salah satu penyebab apendisitis adalah infeksi yang juga ditandai
dengan leukositosis pada hasil pemeriksaan laboratorium pasien. Ranitinin
50mg/12 jam diberikan sebagai protector lambung. Ranitidin merupakan agen H2
blocker. Ranitidin diberikan untuk melindungi lambung akibat kerja dari NSAID
yang mengurangi prostaglandin (COX-1 & COX-2) untuk perbaikan sel epitel
lambung. Ranitidin mengurangi produksi asam lambung, sehingga dapat
mencegah iritasi pada lambung, mengurangi rasa mual dan muntah.
Terapi dan pembedahan yang segera pada pasien ini dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien sehingga prognosis yang baik masih bisa dicapai.
DAFTAR PUSTAKA