Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

PERITONITIS GENERALISATA
Et causa APENDIKS PERFORASI

Disusun Oleh :
IRMA PRYUNI AINANDA
I11109008

SMF ILMU BEDAH


RSUD DOKTER ABDUL AZIZ SINGKAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2015

Lembar Persetujuan
Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul :
PERITONITIS GENERALISATA
e.c APENDIKS PERFORASI

disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Modul Bedah

Telah disetujui,
Singkawang, 05 April 2015
Pembimbing Laporan Kasus,

Disusun oleh :

dr. Zepri Sitorus, Sp.B

Irma Pryuni Ainanda

BAB I
LATAR BELAKANG
Apendisitis akut adalah kondisi bedah akut yang paling umum dari
abdomen. Diagnosis ini dibuat berdasarkan keseluruhan riwayat klinis,
pemeriksaan dan didukung oleh pemeriksaan penunjang. Diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat dan cepat dapat mengurangi risiko perforasi dan
mencegah komplikasi lainnya.
Tingkat kematian akibat apendisitis non-perforasi kurang dari 1%.
Perforasi apendiks dikaitkan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi yaitu
sekitar 5% dan bisa lebih ekstrim bila dihubungkan dengan tingkat usia dengan
keterlambatan dalam deteksi dini atau diagnosis pada kelompok usia muda dan
beberapa komorbiditas pada masa lansia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Apendiks vermivormis adalah struktur berbentuk cacing yang muncul
dari posteromedial dari dinding sekum, kira-kira 2 cm di bawah ileum. Posisi
ini mungkin menempati dari beberapa posisi. Posisi apendiks yang lain sepeti
retrosekal, retrokolik (dibelakang sekum atau kolon ascenden), pelvical atau
descenden (pinggir panggul atau tergantung didekat ovarium atau rahim. Itu
semua adalah posisi yang paling sering dijumpai di praktek. Posisi lain yang
kadang-kadang terlihat terutama ketika ada mesentrium apendiks yang
panjang memungkinkan mobilitas yang lebih besar, termasuk subcaecal (di
bawah sekum), preilial (ke anterior terminal ileum), postileal (belakang
terminal ileum).1
Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus
vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena
itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.2
Vaskularisasi Appendiks berasal dari percabangan A. ileocolica.
Gambaran histologis Appendiks menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid
pada submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih
nodul limfoid. Lumen Appendiks biasanya mengalami obliterasi pada orang
dewasa. 2

Gambar 3. Letak

appendiks pada

rongga abdomen

Gambar 4. Anatomi Appendiks

Gambar 5. Variasi Posisi Appendiks


Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang
terjadi apabila Appendix mengalami peradangan.

B. Definisi
Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis.
Appendiks. Sjamsuhidajat (2002) membagi apendisitis menjadi apendisitis
akut, apendisitis rekuren, dan apendisitis kronik. Peradangan akut appendiks
menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan
tindakan bedah.2
C. Epidemiologi
Apendisitis terjadi pada 8,6% laki-laki dan 6,7% wanita, dengan
insidensi tertinggi pada dekade kedua atau ketiga. Insidens apendisitis dapat
terjadi pada semua usia, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Setelah diteliti ternyata hiperplasia dari limfoid menjadi penyebab
meningkatnya insidens apendisitis pada usia muda. Anak yang lebih muda
memiliki resiko tinggi sebesar 50 85% mengalami perforasi. Apendisitis
pada pediatrik rata-rata terjadi saat usia 6 10 tahun. Appendicitis akut
merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anakanak dan remaja.2,3,4
D. Etiologi & Patofisiologi
Etiologi apendisitis akut adalah infeksi bakteri (sekitar 60% cairan
aspirasi yang didapatkan dari Apendisitis didapatkan bakteri jenis anaerob)
akibat obstruksi lumen.5

Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi

Appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium


dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan parasit. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya
ini mempermudah timbulnya apendisitis akut. Frekuensi obstruksi meningkat
sejalan dengan keparahan proses inflamasi.2

Gambar 6.

Apendiks yang

mengalami

inflamasi
Obstruksi lumen yang tertutup

disebabkan

oleh

hambatan

pada

bagian

proksimalnya

dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang
distensi. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,
mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di
bawah epigastrium. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal
hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan
intalumen sekitar 60 cmH20.6
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding apendiks). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas
dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Gangren
dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam.7

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Infiltrat apendikularis merupakan tahap
patologi apendisitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha
pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks
dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang
dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat.2,7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah.7
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika
urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan
ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka
akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum
abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar istirahat (bedrest).7
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang
diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi
dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.2
E. Gejala Klinis2,6

Gejala utama Apendisitis adalah nyeri perut. Pada apendisitis akut


gejala khas yang sering timbul adalah adanya radang mendadak pada
appendiks yang memberikan gejala lokal. Awalnya, nyeri dirasakan difus
terpusat di periumbilical, kemudian terlokalisir di RLQ, kadang disertai kram
yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 46 jam. Variasi dari lokasi anatomi Appendiks berpengaruh terhadap lokasi
nyeri.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendiks,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Apendisitis.
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua
kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Umumnya, urutan munculnya gejala Apendisitis adalah anoreksia,
diikuti nyeri perut dan muntah. Gejala gastrointestinal yang terjadi sebelum
onset nyeri mengarahkan ke etiologi yang berbeda, seperti gastroenteritis.
Penderita apendisitis juga dapat mengeluhkan sensasi obstipasi sebelum onset
nyeri dan merasa onset nyeri berkurang dengan defekasi.

Gambar 7. Nyeri pada

apendisitis

akut,

awalnya nyeri dirasakan di

ulu hati atau sekitar

pusat sebagai nyeri viseral,

kemudian

menjadi

nyeri lokal akibat rangsangan pada peritoneum setempat.


F. Tanda Klinis2,8
a. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita

dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat


pada massa atau abses appendikuler.
b. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu nyeri tekan di Mc. Burney, nyeri lepas, dan defans
muscular lokal (defans muscular menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietal). Pada appendiks letak retroperitoneal, defans
muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung dapat berupa nyeri tekan
kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing), nyeri kanan bawah bila tekanan
di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg), nyeri kanan bawah bila peritoneum
bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan.

Gambar 8. Titik McBurneys (1, spina iliaca anterior superior; 2, umbilicus; x,


titik McBurneys)

c. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: 5
Rovsings sign

Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan
iritasi peritoneum. Sering positif pada Apendisitis namun tidak

spesifik.
Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang
lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian
tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri
pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan
akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan
Appendiks. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas
abdomen.

Gambar 9.

Psoas sign
Obturator

sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak
kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian
pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan
articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri
pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendiks, abscess
lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Apendisitis letak retrocaecal, atau
adanya hernia obturatoria.

Gambar 10.
Blumbergs

Obturator sign
sign (nyeri lepas

kontralateral)
Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini
dikatakan positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di

RLQ.
Wahls sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat
dilakukan perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di

segitiga Scherren pada auskultasi.


Baldwins test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat
tungkai kanannya ditekuk.
Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendiks.
Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di

cavum Douglasi atau Apendisitis letak pelvis.


Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi

lateral
Dunphys sign (nyeri ketika batuk)

G. Pemeriksaan Penunjang2
a. Pemeriksaan Laboratorium
-

Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan


kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, Creaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan
meningkat.

Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri


di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan

diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
b. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
c. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses.
Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding
seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya. Gambaran USG yang
merupakan kriteria diagnosis appendicitis akut adalah appendiks dengan
diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith,
adanya cairan atau massa periappendiks.
d. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi
dari appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat
akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk menegakkan
diagnosis appendisitis khronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan
dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan
usus oleh fekalit.
e. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga
dapat menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
f. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara
langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila
pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks

maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan


appendiks.
g. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard)
untuk diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat
mengenai gambaran histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini
didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran
histopatologi appendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran
histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan operasi.
H. Diagnosis dan Diagnosis Banding2,6
Semua penderita dengan suspek Apendisitis akut dibuat skor Alvarado
untuk membantu penegakan diagnosis.
Skor penilaian yaitu 0-4: tidak mungkin apendisitis, 5-6: samar-samar,
7-8: mungkin apendisiitis, 9-10: kemungkinan besar apendisitis.

Tabel 2. Skor Alvarado

Diagnosis banding Apendisitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi


anatomi dari inflamasi Appendiks, tingkatan dari proses dari yang simple
sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin.
a. Gastroenteritis akut
b. Ileitis akut
c. Limfadenitis mesenterika
d. Kelainan ovulasi
e. Infeksi panggul (salfingitis, PID)
f. Kehamilan ektopik
g. Torsio kista ovarium
h. Endometriosis eksterna
i. Batu saluran kemih
j. Divertikulitis
k. Kelainan urogenital pada pria
l. Demam dengue
I. Tatalaksana

Pemberian obat-obatan dapat berupa obat simptomatik berupa


antinyeri untuk menghilangkan nyeri yang hebat pada penderita. Antibiotik
penting karena penyebab apendisitis salah satunya adalah bakteri.2
Operasi pada apendisitis bersifat segera (cito), jenis operasi yang
sering digunakan adalah operasi apendektomi. Bila diagnosis klinis sudah
jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan merupakan satusatunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.2,3
J. Komplikasi
a. Massa Periapendikuler
Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada
massa periapendikular dengan pembentukan dinding yang belum
sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika
perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata.
Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di
perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka
kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut.
Apendiktomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kkuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu
sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Pada anak kecil,
wanita hamil dan penderita usia lanjut, jika secara konservasif tidak
membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
b. Apendisitis Perforata
Keterlambatan diagnosis, merupakan faktor utama yang berperan dalam
terjadinya perforasi apendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia
60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya
insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa

penyempitan lumen dan arteriosklerosis. Inidens tinggi pada anak


disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan proses
pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang cepat dan omentum
anak belum berkembang.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut dan
perut menjadi tenggang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler
terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di
regio iliaka kanan, peristaltik usus dapat menurun sampai menghilang
akibat adanya ileus paralitik.
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran
fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan kantong nanah.
Akhir-akhir ini, mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi
secara laparoskopi apendiktomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat
dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan laparotomi terbuka.
K. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan
berulang dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.

BAB III

PENYAJIAN KASUS
I.

ANAMNESA
A. Identitas
1. Nama lengkap

: Tn. J

2. Jenis Kelamin

: Laki-laki

3. Umur

: 52 tahun

4. Pekerjaan

: Wiraswata

5. Alamat

: Jl. R.A Kartini, Singkawang Tengah

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan Utama : Nyeri seluruh lapang perut terutama perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri perut kanan bawah sejak 2 minggu yang lalu. Nyeri dirasakan hilang
timbul seperti terkena benda tumpul, nyeri terasa semakin kuat saat pasien
sedang berolahraga (lari pagi) ataupun akitifitas lain seperti mengangkat
barang yang berat. Selama beberapa hari tersebut, pasien merasa mual dan
nafsu makan berkurang, muntah disangkal.
2 hari yang lalu pasien mengaku nyeri semakin terasa diseluruh bagian
perut, nyeri yang dirasakan masih sama dengan sebelumnya yaitu hilang
timbul.
1 hari SMRS pasien mengeluh tidak bisa buang angin dan BAB. Muntah
(+) 1 kali, cairan berwarna bening dan berisi makanan. BAK tidak ada
keluhan. Demam (+), pusing (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat
hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa.


II.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum

: tampak sakit ringan.

Kesadaran

: Compos Mentis

Tanda vital

Tekanan darah

: 120/90 mmHg

Nadi

: 100 x/ menit

Nafas

: 22 x/ menit

Suhu

: 38,90C

Kulit

: warna kulit kecoklatan, sianosis (-), pucat (-), ikterik (-)

Kepala

: tidak ada kelainan bentuk, simetris.

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga: Sekret (-)


Hidung

: Rhinorea (-), Deviasi septum (-)

Mulut

: bibir sianosis (-)

Leher

: pembesaran limfonodi (-)

Jantung

Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: iktus kordis tidak teraba

Perkusi

: batas atas: SIC II linea parasternal sinistra


batas jantung kiri : SIC IV linea midklavikularis
batas jantung kanan : SIC V linea parasterna dekstra

Auskultasi : BJ I/II reguler, gallop (-), murmur (-)

Paru
-

Inspeksi

: statis : simetris, dinamis : gerakan paru simetris

Palpasi

: fremitus taktil sama di paru dekstra-sinistra

Perkusi

: sonor di seluruh lapang paru


-

Auskultasi

suara

nafas

pokok

vesikuler

(+/+),

wheezing (-/-), rhonki (-/-)


Abdomen
-

Inspeksi

: Distensi (-), darm contour (-)

Auskultasi

: bising usus (+) menurun


- Palpasi : Nyeri tekan (+) seluruh lapang perut dan kanan
bawah, massa (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: timpani pada seluruh lapang abdomen

Ekstremitas
Edema (-), sianosis (-), jari tabuh (-), capillary refill < 2 detik pada anggota
gerak atas dan bawah.
Status Lokalis (R. iliaka dextra)
-

Inspeksi

: dalam batas norma

Palpasi

: massa (-), nyeri (+)


Nyeri tekan Mc. Burney (+)
Rovsing sign (+)
Iliopsoas sign (+)
Obturator sign (+)

Pemeriksaan RT
-

TMSA normal

Mukosa licin

Ampula longgar

Massa (-)

NT arah jam 11 (+)

Prostat tidak membesar

Handscoon : lendir darah (-) dan feses (-)

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Eritrosit

: 5.32 juta/cmm

Leukosit

: 12.300/cmm

Hitung jenis leukosit : 0/0/0/85/11/2


Trombosit

: 213.000/cmm

Hb

: 15,3 g/dL

Ht

: 40,5 %

Golongan darah

:A

Bleeding time

: 320

Clotting time

: 600

HIV

: non reaktif

HbsAg

: non reaktif

b. Foto Rontgen Abdomen 3 posisi

c. Foto rontgen toraks

IV.

DIAGNOSIS
Peritonitis generalisata ec Apendiks perforasi

V.

VI.

TERAPI/TATALAKSANA
-

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

Rencana operasi laparatomi eksplorasi dan apendiktomi

Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam

Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam

Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam


PROGNOSIS
Ad Vitam

: dubia ad bonam

Ad Functionam

: dubia ad bonam

Ad Sanactionam

: dubia ad bonam

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, datang ke IGD dengan keluhan utama adanya nyeri seluruh
lapang perut terutama perut kanan bawah. Nyeri perut kanan bawah sejak 2
minggu yang lalu. Nyeri dirasakan hilang timbul seperti terkena benda tumpul,
nyeri terasa semakin kuat saat pasien sedang berolahraga (lari pagi) ataupun
akitifitas lain seperti mengangkat barang yang berat. Selama beberapa hari
tersebut, pasien merasa mual dan nafsu makan berkurang, muntah disangkal. 2
hari yang lalu pasien mengaku nyeri semakin terasa diseluruh bagian perut, nyeri
yang dirasakan masih sama dengan sebelumnya yaitu hilang timbul. 1 hari SMRS
pasien mengeluh tidak bisa buang angin dan BAB. Muntah (+) 1 kali, cairan
berwarna bening dan berisi makanan. BAK tidak ada keluhan. Demam (+), pusing
(-).
Gejala utama Apendisitis adalah nyeri perut. Pada apendisitis akut gejala
khas yang sering timbul adalah adanya radang mendadak pada appendiks yang
memberikan gejala lokal. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di periumbilical,
kemudian terlokalisir di RLQ, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi
nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Variasi dari lokasi
anatomi Appendiks berpengaruh terhadap lokasi nyeri.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendiks,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Apendisitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendiks. Penyebab
lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen,
diet rendah serat, dan parasit.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri

visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah
atau di bawah epigastrium. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Bila kemudian arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut
dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendiks perforasi. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36
jam.
Pada pasien ini gejala apendisitis yang muncul sejak 2 minggu yang lalu
kemudian berkembang menjadi apendiks perforasi. Kecepatan rentetan peristiwa
tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis
pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga
organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan
melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan
sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis.
Berdasarkan pemeriksaan fisik abdomen ditemukan adanya nyeri tekan
kanan bawah dan seluruh lapang perut yang menunjukkan adanya inflamasi local
apendiks yang diikuti gejala peritonitis oleh apendiks perforasi yang terjadi.
Defans muscular umumnya juga dapat terjadi akibat adanya rangsangan
peritoneum parietal. Pada auskultasi ditemukan adanya bising usus menurun yang

dapat terjadi karena ileus paralitik yang muncul pada peritonitis akibat apendiks
yang perforasi tersebut.
Terdapat beberapa maneuver diagnostic yang biasa digunakan pada
pemeriksaan apendisitis. Pada pasien ini didapatkan tanda positif pada titik Mc.
Burney, Rovsing sign, Blumberg sign, psoas sign dan obturator sign. Maneuver ini
umumnya bergantung pada letak apendiks pasien.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis yang
menggambarkan adanya infeksi.
Keterlambatan diagnosis dan penanganan, merupakan faktor utama yang
berperan dalam terjadinya perforasi apendiks. Insidens perforasi pada penderita di
atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya
insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan
berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen dan
arteriosklerosis.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut dan perut
menjadi tenggang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di
seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan,
peristaltik usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik.
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat dilakukan
pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat
secara mudah serta pembersihan kantong nanah.
Selain dilakukan laparotomi dan apendiktomi, pasien ini juga diberikan
analgetik ketorolac 30mg/8jam sebagai obat simptomatik untuk menghilangkan
nyeri pasien. Ceftriaxone 1g/12 jam diberikan sebagai antibiotic spectrum luas
yang mana salah satu penyebab apendisitis adalah infeksi yang juga ditandai
dengan leukositosis pada hasil pemeriksaan laboratorium pasien. Ranitinin
50mg/12 jam diberikan sebagai protector lambung. Ranitidin merupakan agen H2
blocker. Ranitidin diberikan untuk melindungi lambung akibat kerja dari NSAID
yang mengurangi prostaglandin (COX-1 & COX-2) untuk perbaikan sel epitel
lambung. Ranitidin mengurangi produksi asam lambung, sehingga dapat
mencegah iritasi pada lambung, mengurangi rasa mual dan muntah.

Terapi dan pembedahan yang segera pada pasien ini dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien sehingga prognosis yang baik masih bisa dicapai.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bashin SK et al. 2007. Vermiform Appendix and Acute Appendicitis. JK


Science.
2. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
EGC. Jakarta.
3. Brunicardi FC. 2010. Schwartzs Principles of Surgery. Tenth Edition.
New York. Mc Graw-Hill.
4. Mattox KL. 2004. Philadelphia: Elsevier Saunders : 1381-93
5. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendiks. In: Sabiston Texbook of
Surgery. 17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,
6. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surge ry sevent
edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies.
Enigma an Enigma Electronic Publication.
7. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid
Kedua. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
8. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American
Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science
Center, Temple, Texas .http://www.aafg.org

Anda mungkin juga menyukai