Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

PERITONITIS

Disusun Oleh:

ANNISA APRILIA ATHIRA


1102014029

Pembimbing:
Dr. Kalis Satya Wijaya, Sp.B, Sp.BA

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Periode 8 April – 23 Juni 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW,
dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridha-Nya, penulis
dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul “Peritonitis”. Penulisan laporan kasus ini
dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh kepanitraan klinik di bagian departemen
ilmu bedah di RSUD Kabupaten Bekasi.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan laporan kasus ini tidak terlepas dari
bantuan dan dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada dr. Kalis
Satya Wijaya, Sp.B,Sp.BA yang telah memberikan arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan
padatnya aktivitas beliau.
Penulis menyadari penulisan presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun demi perbaikan penulisan presentasi kasus ini. Akhir kata penulis berharap
penulisan presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bekasi, 29 April 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Peritonitis merupakan suatu kejadian mengancam nyawa yang umumnya disertai adanya
bacteremia dan sindrom sepsis.1 Peritonitis sendiri didefinisikan sebagai adanya peradangan pada
peritoneum baik lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history,
dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya. Peritonitis akut umumnya bersifat infectious dan
berhubungan dengan perforasi holoviskus (disebut sebagai peritonitis sekunder).1,2 Etiologi umum
dari peritonitis sekunder, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau
duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, volvulus, kanker, dan strangulasi.2

Tingkat mortalitas dari peritonitis yang terasosiasi dengan perforasi ulkus, appendiks, dan
diverticulum dibawah 10% pada pasien tanpa riwayat penyakit penyerta, namun tingkat mortalitas
sampai 40% dilaporkan pada pasien geriatrik, pasien dengan riwayat penyakit penyerta, dan
apabila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam.1 Oleh karena itu, sebagai calon dokter
umum yang akan berjaga di Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit, harus dapat mendiagnosis
dan memberikan penanganan awal yang tepat pada peritonitis akut agar resiko terjadinya
mortalitas dapat dihindari.
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. R

Umur : 20 Tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Berat Badan : 58 kg

Tanggal masuk RS : 29 April 2019

Tanggal Pemeriksaan : 29 April 2019

II. ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis dengan pasien

Tanggal : 29 April 2019

Tempat : Ruang Perawatan Shasta 2

A. Keluhan Utama : Nyeri seluruh lapang perut

B. Keluhan Tambahan : Mual, demam

C. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Kab. Bekasi dengan keluhan utama nyeri seluruh
lapang perut terutama sebelah kanan bawah sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Pada awalnya, nyeri dirasakan pada bagian kanan bawah lalu 1 hari ini nyeri menyebar
ke seluruh perut. Nyeri dirasakan terus menerus, dideskripsikan seperti ditusuk-tusuk.
Pasien mengaku semakin nyeri apabila batuk, bersin, berjalan atau menekuk perutnya.
Nyeri dikatakan berkurang apabila pasien tidur. Pasien juga merasa mual, namun tidak
muntah. Pasien mengeluh demam, namun tidak mengukur suhunya. Pasien mengaku
kurang suka memakan makanan tinggi serat seperti sayur dan buah-buahan, dan pasien
mengatakan jadwal makannya tidak teratur sehingga sering mengalami sakit maagh.
Buang air kecil tidak ada keluhan, namun pasien tidak dapat buang air besar sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien biasanya buang air besar setiap hari. Pasien masih
dapat buang angin hingga saat ini.

D. Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Tidak ada riwayat operasi
sebelumnya.

E. Riwayat Penyakit Keluarga :

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit keluarga yang ada hubungannya dengan
keluhan pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : tampak sakit berat


Kesadaran : composmentis
Tanda Vital
- Nadi : 94 x/menit, regular
- Tekanan Darah : 140/100 mmHg
- RR : 20 x/menit
- Suhu : 36,6 oC (axilla)
- SpO2 : 98 %

B. Pemeriksaan Khusus

Status Generalis:
Kepala Bentuk : Normocephale
Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-),
Mulut : Sianosis (-)
Leher
Inspeksi : Bentuk normal, deviasi trakea (-)
Palpasi : Tidak ada pembesaram KGB

Thoraks Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Tidak tampak ictus kordis
Palpasi : Teraba ictus cordis di sekitar papilla mammae sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen Inspeksi : Bentuk cembung, tidak tampak darm contour atau


darm steifung

Auskultasi : Bising usus (+) menurun (2x/menit)


Tidak ada clicking sound maupun metallic sound
Perkusi : Timpani pada kesembilan regio abdomen, nyeri
saat perkusi (+) di seluruh lapang abdomen,
Palpasi : Nyeri tekan pada seluruh regio abdomen
Defans muscular (+), nyeri lepas seluruh lapang
abdomen (+), massa (-), hepar dan lien tidak
membesar.

Pemeriksaan Khusus: Rovsing’s sign (+), Psoas


sign (+), Obturator sign (+)

Ekstremitas Superior : deformitas (-), edema (-/-), CRT < 2 detik


Inferior : deformitas (-), edema (-/-), CRT < 2 detik

Kulit Inspeksi : Ikterik (-), sianosis (-)


Palpasi : Turgor kulit baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan H2TL 29/04/2019

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Hemoglobin 15,8 g/dL 15,2-23,6
Leukosit 13.300 /µL 3.400-34.000
Hematokrit 50,7 % 44-72
Trombosit 447.000 /µL 150.000-450.000

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Basofil 0 % 0,0 – 1,0
Eosinofil 0 % 1,0 – 6,0
Neutrofil 87 % 50 – 70
Limfosit 8 % 20 – 40
Monosit 5 % 2–9
Laju Endap Darah 16 mm/jam <10
(LED)

Pemeriksaan Kimia Klinik

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Gula Darah Sewaktu 91 mg/dL Normal : 80 - 170

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN

Natrium 138 mmol/L 135-145

Kalium 3.9 mmol/L 3.4-6.0

Klorida (Cl) 101 mmol/L 96-106


Pemeriksaan Hemostasis

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI


RUJUKAN

Waktu Perdarahan 2.00 menit 1–3

Waktu Pembekuan 5.00 menit 1–6

Pemeriksaan Foto Thorax


V. DIAGNOSIS KERJA
Peritonitis ec Appendicitis perforasi

VI. DIAGNOSIS BANDING


Peritonitis ec. Diverticulitis
Peritonitis ec small bowel perforation

VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan Preoperatif
1. Puasa
2. IVFD Asering 20 tpm
3. Inj Ranitidin 2 x 50mg
4. Inj Ketorolac 3 x 30 mg
5. Inj Ceftriaxone 1 x 2 gr
6. Rencana operasi laparotomi cito

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
3.1.1 Anatomi Peritoneum

Peritoneum terletak pada sebelah dalam fasia ekstraperitoneal (Gambar 1). Struktur ini
terdiri atas membran serosa tipis yang melapisi dinding kavitas abdominalis dan pada beberapa
titik berefleksi ke visera abdomen untuk berperan sebagai penutup lengkap atau sebagian. Pada
laki-laki, rongga peritoneum tertutup sepenuhnya, sementara pada perempuan rongga ini
berhubungan dengan tuba uterina dan secara tidak langsung berhubungan juga dengan eksterior
tubuh. Ada 2 lapisan peritoneum; peritoneum yang melapisi dinding abdomen disebut peritoneum
parietal, sementara peritoneum yang melapisi visera disebut peritoneum viseral.melalui kavitas
peritoneal, di atas intesninum dan di permukaan visera.1,22

Fungsi dari peritoneum adalah meminimalisir friksi, mencegah infeksi, dan menyimpan
lemak. Ia juga melindungi visera abdomen. Dalam merespons cedera atau infeksi, peritoneum
mengeksudasi cairan dan sell serta membatasi atau melokalisir infeksi.1

Gambar 1. Lapisan dinding abdomen


Gambar 2. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal dan visceral

Gambar dikutip dari: Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring
S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Edition. Churchill
Livingstone El Sevier. 2008.

3.1.2 Ruang Peritoneum

Peritoneum memiliki rongga yang dibagi menjadi beberapa ruang. ruang subfrenik
sebenarnya mencakup daerah antara diafragma dan kolon transverse dan mesokolon. Maka, abses
subhepatik juga termasuk ke dalam kelompok ini. Rongga subfrenik ini dibagi menjadi bagian
suprahepatik dan infrahepatik. Tiap kompartemennya dibagi lagi menjadi tiga ruang yang lebih
kecil. Dari diafragma hingga hati, ligamentum falsiformis suspensorium membagi ruang
suprahepatik menjadi ruangan menjadi ruang kanan dan kiri dengan ukuran yang sama.(Gambar
2) Bagian suprahepatik kanan sibagi oleh ekstensi lateral dari ligamentum kardinal dari hati
menjadi ruang anterior superior dan ruang posterior superior yang lebih kecil. Bagian infrahepatik
dibagi juga menjadi setengah kanan dan setengah kiri oleh round ligament dan ligamen dari duktus
venosus. Di sana juga terdapat ruang inferior kanan, di ruang anterior inferior kiri dan posterior
inferior kiri.24,25
Gambar 2.Potongan koronal dari rongga peritoneum.24

3.1.3 Persarafan peritoneum

Peritoneum viseral tidak memiliki sistem saraf, sementara peritoneum parietal disuplai
oleh saraf-saraf seperti saraf frenik dan torako-abdominal. Persarafan peritoneum parietal ini
berhubungan dengan dinding abdomen dan sebagian besar dari mereka sensitif terhadap nyeri.
Iritasi peritoneum dapat menstimulasi saraf aferen viseral, sehingga dapat menimbulkan gejala
mual dan muntah.22,26

Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen yang
mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen,6 sedangkan peritoneum visceral
dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga memberikan suplai saraf otonom pada organ
visceral tersebut.7 Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi
apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau parietal. Nyeri yang
terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor)
di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap
lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi
nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal
peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized hypercontractility (muscle guarding) dan
perut papan (rigidity of abdominal wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak
memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal.
Ketika saraf visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu
daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur
midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7
3.1.4 Mekanisme pertahanan peritoneum

Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah membran
basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa, makrofag, fibroblast,
limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen.4 Total luas permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2.
Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan
yang berisikan makrofag, sel mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat
difusi semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara terus-
menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti cairan dan zat-zat
terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat orifisum yang dibentuk oleh sel-sel
mesotelium terspesialisasi yang terletak di permukaan subdiafragma dalam rongga peritoneum
menuju sirkulasi limfatik.4 Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan diafragman dan tekanan
thorako-abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh untuk
menjaga peritoneum tetap steril.

Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada rongga


peritoneum.4 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya inflamasi, namun
adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-4 jam dan sel-sel PMN
(Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam 48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan
mengeluarkan sitokin, antara lain interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor),
leukotriene, platelet activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya
inflamasi lokal pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan
fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh yang secara
temporer menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga peritoneum serta menjerat
bakteri dalam sebuah “perangkap”.4 Mekanisme pertahanan inilah yang menyebabkan
pembentukan sebuah abses. Selain itu, omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk
memfasilitasi pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah daerah
subphrenic.
Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan eksudat)
memiliki efek paradoks.4 Eliminasi mekanik pada mekanisme pertahanan yang pertama
sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila masif dapat mengakibatkan shok septik dan
berakhir dengan kematian. Pembentukan eksudat dan reaksi peradangan yang kaya akan sel
fagositik dan opsonin dapat menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin berpindah pada
rongga abdomen.

3.2 Peritonitis

3.2.1 Definisi

Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh
selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen. Peritonitis merupakan
penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronis, biasanya disertai dengan
gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan
biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran
infeksi yang berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi
dari organ lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar dari
organ lain yang menjalar melalui darah.(3)

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecil), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, hal tersebut
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.7

3.2.2 Etiologi

Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga disebabkan oleh zat
kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi obat atau diinduksi oleh penyebab
lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat diklasifikasikan primer atau sekunder,
bergantung pada apakah integritas saluran gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP) merupakan infeksi
bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Hal ini
jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi
monomikroba. Streptococcus pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya.
Faktor risiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra
abdomen, imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan
asites.3,4,6,7
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang terjadi akibat
hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan anaerob sering terlibat, dan
kuman tersering adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1) invasi langsung
dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen, infeksi saat laparatomi); (2)
translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak (misalnya pada perforasi ulkus
duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya
anastomosis); (3) melalui aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis
primer dimana terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus
β-hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal hati dan
asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung dari
lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis akut, perforasi uterus akibat
alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis,
dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster. Peritonitis steril akan
berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu beberapa jam akibat transmigrasi
mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan dapat terjadi
berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat penyatuan duktus sistikus saat
kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis tuberkulosis, peritonitis
klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4

Area sumber Penyebab


Esofagus Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Sindrom Boerhaave
Lambung Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma,
tumor stroma gastrointestinal)
Trauma
Iatrogenik
Duodenum Perforasi ulkus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenik
Traktus bilier Kolesistitis
Perforasi batu dari kandung empedu
Keganasan
Kista duktus koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu
empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon
Hernia inkarserata
Obstruksi loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma
Kolon desendens dan Iskemia kolon
apendiks Divertikulitis
Keganasan
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Apendisitis
Volvulus kolon
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma

3.2.3 Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:17
1. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara
hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen
.Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococ
us. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik : misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah pasien
dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupuseritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites

2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan
menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organism dapat
memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas
dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum
peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh
bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendicitis.
3. Peritonitis tersier
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu,
getah lambung, getah pankreas, dan urine.
4. Peritonitis bentuk lain dari peritonitis, yaitu :
- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis

3.2.4 Patofisiologi

Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda dalam
patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya peritonitis tidak berasal dari traktus
gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi tidak berhubungan langsung dengan gangguan
organ gastrointestinal),3,8 sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas
traktus (perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi.3

Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap
mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8 Dalam keadaan fisiologis tidak ada
hubungan langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun apabila
terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti appendisitis
perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena
diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau
obturator).2 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan
Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk dalam rongga
peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial (gram negatif
aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut menyebabkan reaksi
peradangan seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan peritoneum (dari
eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik menjadi salah satu jalur
utama bagi bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah (bakteremia) yang pada akhirnya
dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS (Multiple Organ
Dysfunction Syndrome). Reaksi peradangan lokal menyebabkan peningkatan permeabilitas dari
pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan ke “rongga ketiga” yang dapat
berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat berlanjut menjadi SIRS
(Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana dapat ditemukan dua tanda berikut,
antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90 kali/menit, laju nafas >20 kali/menit, or PaCO2
<32 mmHg, WBC >12,000 sel/mm3 or <4000 sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang).
Proses inflamasi akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis
dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan
tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus
paralitik menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.

Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai patofisiologi
terjadinya peritonitis.11 Pada manifestasi lokal ditemukan adanya nyeri perut hebat, nyeri tekan
seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum), rebound tenderness, adanya muscle guarding
atau rigidity (perut papan), dan manifestasi klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen,
penurunan bising usus), sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan adanya demam,
takikardia, takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS).

3.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis pada peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat atau tersebar di
seluruh abdomen. Nyeri akan semakin berat apabila pasien bergerak.

Gejala lainnya seperti demam dimana temperatur >38C namun pada kondisi sepsis yang
berat dapat terjadi hipotermia, mual dan muntah dapat timbul akibat adanya kelainan patologis
organ visera atau akibat iritasi peritoneum, adanya cairan dalam rongga abdomen dapat
mendorong diafragma yang mengakibatkan kesulitan bernafas. Apabila pendarahan terjadi terus
menerus, dapat terjadi kondisi hipovolemia yang mengakibatkan syok hipovolemik, distensi
abdomen dengan penurunan / tidak terdengarnya bising usus, perut papan (rigiditas abdomen)
yang terjadi akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon terhadap
penekanan pada dinding abdomen maupun involunter sebagai respon terhadap iritasi
peritoneum, nyeri tekan dan nyeri lepas, takikardia akibat pelepasan mediator inflamasi, serta
tidak dapat buang air besar atau flatus.

3.2.6 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik abdomen dapat ditemukan adanya distensi perut pada
inspeksi,suara bising usus yang menurun, nyeri tekan, nyeri lepas, dan defans muskular positif
pada palpasi, serta pada perkusi dapat ditemukan nyeri ketok, hipertimpani akibat perut
kembung, redup hepar yang menghilang akibat perforasi organ berisi udara sehingga udara akan
mengisi rongga peritoneal dan terjadi perubahan suara redup menjadi timpani.

Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan leukositosis dengan pergeseran ke kiri


pada Differential count leukosit. Pada pasien immunocompromised dapat terjadi leukopenia.
Pada pemeriksaan foto polos abdomen dapat ditemukan adanya bayangan peritoneal fat line dan
psoas line yang kabur karena inflitrasi sel radang, selain itu dapat tampak udara usus merata
berbeda dengan gambaran ileus obstruksi, dapat juga terlihat penebalan dinding usus akibat
edema, dan gambaran udara bebas. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
dengan USG abdomen. CT-scan, dan MRI.

Gambar 3. Hasil X ray abdomen pada pasien dengan peritonitis karena perforasi jejunum yang
menggambarkan udara bebas subdiafragma dextra pada panah A, air fluid level ekstralumen
pada panah B, bayangan psoas line hilang pada panah C, dan air fluid level normal di
lambung pada panah D.38

Gambar 5. Hasil USG yang menunjukkan apendisitis akut dengan abses periappendiceal.
39

Gambar 6. Hasil CT scan abdomen yang menunjukka apendiks yang inflamasi pada bagian ruptur
dengan abses disekeliling apendiks. Apendicolith terlihat di dalam lumen apendiks. Terbentuk gas

di dalam abses dan adanya fat stranding pada mesenterika sekeliling apendiks.39
3.2.7 Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad spectrum,
seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau ceftriaxone 1x2 gram),
penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang dewasa
dengan fungsi ginjal normal). 12 Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien
dengan primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya
mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah yang negatif).
Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya rekurensi pada SBP, sampai 70%
pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan
tingkat rekurensi menjadi <20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik,
antara lain ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.12

Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi etiologi (source
control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik sistemik, dan terapi suportif
(resusitasi).2 Tidak seperti penanganan peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-
pembedahan, sine qua non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan
bersifat life-saving.12 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and definitive source
control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat mengeliminasi bakteri
dan toksinnya dalam rongga abdomen.13 Keterlambatan dan tidak adekuatnya tindakan
pembedahan dapat memperburuk prognosis.

Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi cairan


(resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk mencegah terjadinya syok
hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah disfungsi organ.2,13 Pemberian antibiotik
mencakup bakteri gram positif dan negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi
upper GI tract lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan colon lebih
mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).2,4 Beberapa pilihan regimen antibiotik yang
direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/ β-lactamase inhibitor
(ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750
mg intravena), atau sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan
metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan
imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena).12 Pemberian antibiotik
dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal dan hitung jenis batang < 3%.11
Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain
mean arterial pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central
venous pressure CVP antara 8-12mmHg).4 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric
tube (NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan.13 Pada pasien
penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari kontaminasi (koreksi
etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan mencegah sepsis.4,13 Pendekatan bedah
dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan
komplit tercapai.13 Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami
perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).4,11 Pada perforasi kolon lebih
aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus di
kemudian hari (beberapa minggu setelah keadaan umum pasien membaik).11 Pembilasan
(peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan
bilasan jernih dengan tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis
dan re-akumulasi dari pus).4,11,13 Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan
iodine atau agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara
ideal, fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup
dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat
dilakukan (delayed primary closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen,
pada laporan kasus ini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).

3.2.10 Komplikasi
Komplikasi lain yang dapat muncul pada kasus peritonitis adalah adesi dan shock sepsis.
Adesi dari organ - organ intra abdomen dapat menyebabkan obstruksi usus atau volvulus. Penilaian
suspek sepsis pada pasien dengan infeksi yang tidak dirawat dalam ICU dapat dilakukan dengan
Quick Sepsis-related Organ Failure Assesment (qSOFA). qSOFA terdiri dari variabel takipnea
lebih dari sama dengan 22, perubahan status kesadaran dengan GCS < 15, dan hipotensi dengan
tekanan darah sistolik 100 mmHg. Setiap variabelnya memiliki poin satu dan total poin 0 atau 1
memiliki risiko yang rendah dan pasien dapat ditangani dengan manajemen yang sesuai. Namun,
total poin 2 atau 3 diasosiasikan dengan tingkat mortalitas lebih dari 10% dan pasien harus
ditangani dengan evaluasi tanda - tanda adanya disfungsi organ. Untuk menilai disfungsi organ
secara lebih lanjut dan kemungkinan sepsis dapat dilakukan Sepsis-related Organ Failure
Assesment (SOFA).16, 18
Gambar 7. Penilaian SOFA.
3.2.9 Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah 10%-40% pada
perforasi kolon (Tabel 2).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias yang tinggi adalah
etiologi penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum
penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10%
ditemukan pada pasien dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi
bakteri yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk
(APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat serum
albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi yang membutuhkan
penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.

Tabel 2. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi

Tabel dikutip dari: Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM,
ed. CURRENT Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855.
BAB IV
KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder paling sering
adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster, divertikulitis dan penyakit ulkus duodenale,
serta perforasi kolon. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi
hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding
perut akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi postoperatif sering
terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,
keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan
awal pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake R L, Vogl A W, Mitchell A W M et al. Dasar-Dasar Anatomi Gray. 1st ed.


Singapore: Elsevier; 2014.
2. Thomas, G., Lahunduitan, I. and Tangkilisan, A. (2016). Angka kejadian apendisitis
di

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015.
Jurnal e-Clinic, 4(1).

3. Schwartz S, Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, Dunn D, Hunter J et al. Schwartz's


principles of surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2015.
4. Buja L, Krueger G, Netter F. Netter's illustrated human pathology. London: Elsevier
Health Sciences; 2014.
5. Hardin M. Acute Appendicitis: Review and Update. Am Fam Physician.
1999;60(7):2027-2034.
6. de Castro S, Ünlü Ç, Steller E, van Wagensveld B, Vrouenraets B. Evaluation of the
Appendicitis Inflammatory Response Score for Patients with Acute Appendicitis.
World Journal of Surgery. 2012;36(7):1540-1545.

7. Saucier A, Huang E, Emeremni C, Pershad J. Prospective Evaluation of a Clinical


Pathway for Suspected Appendicitis. Pediatrics. 2013;133(1):e88-e95.
8. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston textbook of surgery. 20th
ed. Philadelphia: Elsevier; 2017.
9. Hlibczuk V et al. Diagnostic accuracy of noncontrast computed tomography for
appendicitis in adults: A systematic review. Ann Emerg Med 2010 Jan; 55:51.
10. Solomkin J, Mazuski J, Bradley J, Rodvold K, Goldstein E, Baron E et al. Diagnosis
and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children
Guidelines by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of
America. Clinical Infectious Diseases. 2010;50(2):133-164.

10. Fleming FJ, Kim MJ, Messing S, et al: Balancing the risk of postoperative surgical

infections: A multivariate analysis of factors associated with laparoscopic


appendectomy from the NSQIP database. Ann Surg 252:895–900, 2010.
11. McGory ML, Zingmond DS, Tillou A, et al: Negative appendectomy in pregnant
women is associated with a substantial risk of fetal loss. J Am Coll Surg 205:534–540,
2007.

12. Parks NA, Schroeppel TJ: Update on imaging for acute appendicitis. Surg Clin North
Am 91:141–154, 2011.
13. Prystowsky JB, Pugh CM, Nagle AP: Current problems in surgery. Appendicitis.
Curr Probl Surg 42:688–742, 2005.
14. Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson J, Loscalzo J et al. Harrison's
principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.
15. Skipworth RJE, Fearon KCH. Acute abdomen: peritonitis. Emergency Surgery.
2007;26(3):98 - 101.
16. Knaus WA, Draper EA, Wagner DP, Zimmerman JE. APACHE II: a severity of
disease classification system. Crit Care Med. 1985 Oct;13(10):818-29.
17. Marik P, Taeb A. SIRS, qSOFA and new sepsis definition. Journal of Thoracic
Disease. 2017;9(4):943-945.
18. Meljnikov I, Radojcić B, Grebeldinger S, Radojcić N. [History of surgical treatment
of appendicitis]. Med Pregl [Internet]. [cited 2018 May 19];62(9–10):489–92.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20391748

19. Sadler T, Langman J. Langman's medical embriology. Philadelphia: Lippincott


Williams & Wilkins;

20. Hodge BD, Bhimji SS. Anatomy, Abdomen, Appendix [Internet]. StatPearls.
StatPearls

Publishing; 2018 [http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29083761

21. Craig S, Brenner BE. Appendicitis: Practice Essentials, Background, Anatomy. 2017
22. Muller O, Carpenter, Swenson. Basic Human Anatomy: The abdominal viscera and
peritoneum. In 2008. Available from:
https://www.dartmouth.edu/~humananatomy/part_5/chapter_26.html

23. Bier D. Peritoneal Cavity and Gastrointestinal Tract | Radiology Key [Internet]. 2016
24. Ransom HK. Complications Associated with Appendicitis. Assoc Profr Surg.
2014;(0):1–5.
25. Barlow A, Muhleman M, Gielecki J, Matusz P, Tubbs RS, Loukas M. The
vermiform appendix: A review. Clin Anat. 2013;26(7):833–42.
26. Ceresoli M, Zucchi A, Allievi N, Harbi A, Pisano M, Montori G, et al. Acute
appendicitis: Epidemiology, treatment and outcomes- analysis of 16544 consecutive
cases. World J Gastrointest Surg 8(10):693–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27830041

27. Naderan M, Babaki AES, Shoar S, Mahmoodzadeh H, Nasiri S, Khorgami Z. Risk


factors for the development of complicated appendicitis in adults. Ulus cerrahi Derg
[Internet]. 2016. 32(1):37–42. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26985166

28. Nouri S, Kheirkhah D, Soleimani Z, Sci JRM. The risk factors for infected and
perforated appendicitis Chemical Injuries Research Center , Baqiyatallah University
of Medical Sciences , Tehran , Iran. 2017;5(1):23–6.

29. Ishikawa H. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis. Jmaj.


2003;127(5):217–21.

30. Kothadia JP, Katz S, Ginzburg L. Chronic appendicitis: uncommon cause of chronic
abdominal pain. Therap Adv Gastroenterol [Internet];8(3):160–2. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

31. Schein M. Management of intra-abdominal abscesses. 2001 [cited 2018 May 18];
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK6937/
32. Frimann-Dahl J. The Administration of Barium Orally in Acute Obstruction;
Advantages and Risk. Acta radiol [Internet]. 2010 [cited 2018 May 19];42. Available
from: http://www.tandfonline.com/action/journalInformation?journalCode=iaro20

33. Sartelli M, Chichom-mefire A, Labricciosa FM, Hardcastle T, Abu-zidan FM,


Adesunkanmi AK, et al. The management of intra-abdominal infections from a global
perspective : 2017 WSES guidelines for management of intra- abdominal infections.
2017;1–34.
34. Paryani JJ, Patel V, Rathod G. Etiology of Peritonitis and Factors Predicting.
2013;4(1).

35. Filippone A, Cianci R, Pizzi A, Esposito G, Pulsone P, Tavoletta A et al. CT findings


in acute peritonitis: a pattern-based approach. Diagnostic and Interventional
Radiology. 2015;21(6):435-440.

36. Bhatti KM, Ali MZ, Khalid A, Mushtaq U, Anwar MI. Extra-luminal Air Fluid Level
on Abdominal X-ray of a Patient with Isolated Jejunal Blow Out. Sultan Qaboos Univ
Med J.2012;12(2): 221–224.

37. Puylaert, Julien. (2003). Ultrasonography of the acute abdomen: gastrointestinal


conditions. Radiologic clinics of North America. 41. 1227-42, vii.
38. Almy TP, Howell DA. Medical Progress. Diverticular disease of the colon. N Engl J
Med 1980;302:324–331.
39. Sugihara K, Muto T, Morioka Y, Asano A, Yamamoto T. Diverticular disease of the
colon in Japan. A review of 615 cases. Dis Colon Rectum 1984;27:531–537.
40. Kim JS, Cha SG, Kim YT, Yoon YB, Song IS, Choi KW, et al. The prevalence and
clinical features of Diverticular disease of the colon. Korean J Gastroenterol
1993;25:305–314.

41. Holly, Lillie D. Diverticulitis Disease: Diagnosis and Treatment [Internet]. Vol. 72,
American Family Physician. American Academy of Family Physicians; 19701229-
1234 p. Available from:
https://www.aafp.org/afp/2005/1001/p1229.html

44. Schiessel R. The research progress of acute small bowel perforation. Journal of
Acute Disease. 2015;4(3):173-177.
45. Kruis W, Morgenstern J, Schanz S. Appendicitis/diverticulitis: Diagnostics and
conservative treatment. Dig Dis. 2013;31(1):69–75.

Anda mungkin juga menyukai